Anda di halaman 1dari 21

UJIAN TENGAH SEMESTER HUKUM PERSAINGAN BISNIS

Nama : Luh Ketut Nanda Priangbidari


NIM : 2104551296
Mata Kuliah : Hukum Persaingan Bisnis
Kelas :A
Dosen Pengampu : Dewa Ayu Dian Sawitri, S.H., M.H

1. Jelaskan Pengertian, Pengaturan, Asas, dan Tujuan Hukum Persaingan Bisnis.


Jawab: Pada dasarnya persaingan binis sama dengan persaingan usaha. Hukum
Persaingan Usaha terdiri dari kata hukum, persaingan, dan usaha. Hukum merupakan
pengatur dan petunjuk dalam kehidupan bermasyarakat (levensvoorschriten) sehingga
hukum selalu sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat itu sendiri. Persaingan
merupakan suatu perjuangan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang
agar memperoleh kemenangan dengan memperlihatkan keunggulan masing-masing.
Sedangkan usaha dapat diartikan sebagai upaya manusia untuk melakukan sesuatu
guna mencapai tujuan tertentu, usaha atau dapat diartikan suatu bentuk kegiatan
secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan. Secara umum
hukum persaingan bisnis adalah kerangka hukum yang mengatur dan mengawasi
persaingan antara perusahaan dalam perekonomian negara.1 Dimana hukum
persaingan bisnis ini lebih menekankan pentingnya proses persaingan daripada
perlindungan terhadap pelaku usaha. Menurut Hermansyah hukum persaingan usaha
adalah seperangkat aturan hukum yang mengtaur mengenai segala aspek yang
berkaitan dengan persaingan usaha, yang mencangkup hal-hal yang boleh dilakukan
dan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha.2 Hukum persaingan usaha
adalah hukum yang mengatur tentang interaksi atau hubungan perusahaan atau pelaku
usaha di pasar. Hukum persaingan usaha diciptakan dalam rangka mendukung
terbentuknya sistem ekonomi pasar agar persaingan antar pelaku usaha dapat tetap
hidup dan berlangsung secara sehat, sehingga masyarakat dapat terlindungi dari ajang
eksploitasi bisnis. Hukum persaingan usaha sifatnya mencegah terjadinya praktek
monopoli dan/atau mencegah terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.

1
Nurhidayah, N., 2022. “Etika Persaingan Usaha Menurut Yusuf Qardhawi”. (Doctoral dissertation, IAIN
Parepare). hlm. 19
2
Hermansyah. 2008. “Pokok-Pokok Persaingan Usaha di Indonesia”. Jakarta: Kencana. hlm 2
Secara umum, kegiatan perekonomian nasional Indonesia diatur dalam 33
Undang-Undang Dasar 1945 dimana ekonomi diatur oleh kerjasama berdasarkan
prinsip gotong royong. Secara tidak langsung dalam Pasal 33 UUD 1945 menekankan
pronsip demokrasi ekonomi yang diwujudkan oleh semua anggota masyarakat untuk
kepentingan seluruh masyarakat, dan harus mengabdi kepada kesejahteraan seluruh
rakyat. Pemikiran demokrasi ekonomi perlu diwujudkan dalam menciptakan kegiatan
ekonomi yang sehat untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Ketentuan
larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia terdapat
dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 No. 33 pada tanggal 5 Maret 1999 dan berlaku secara efektif 1 (satu) tahun sejak
diundangkan. Sebelum UU No. 5 Tahun 1999 berlaku secara efektif dan menjadi
dasar hukum persaingan usaha, telah ada sejumlah peraturan perundangundangan
yang mengatur mengenai persaingan usaha. Pengaturannya terdapat dalam sejumlah
peraturan perundang-undangan yang tersebar secara terpisah (sporadis) satu samalain.
Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai antimonopoli dan
persaingan usaha tidak sehat adalah sebagai berikut:
a. Pasal 382 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
b. Pasal 1365 KUHPerdata
c. Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok
Agraria
d. Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 jo Undang-Undang No. 12 Tahun 1970 jo
Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
e. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
f. Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 jo Undang-Undang No. 14 Tahun
1997tentang Merek
g. Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
h. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
i. Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
j. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan
dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas
k. Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum
Asas dari UU No. 5 Tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 2 bahwa:
“Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan pelaku
usaha dan kepentingan umum” Asas demokrasi ekonomi tersebut merupakan
penjabaran Pasal 33 UUD 1945 dan ruang lingkup pengertian demokrasi ekonomi
yang dimaksud dahulu dapat ditemukan dalam penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945.
Demokrasi ekonomi pada dasarnya dapat dipahami dari sistem ekonominya
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar. Dalam Risalah Sidang
BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945 di Gedung Pejambon Jakarta dapat diketahui
bahwa Supomo selaku ketua Panitia Perancang UUD menolak paham individualisme
dan menggunakan semangat kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat pedesaan
Indonesia. Di sini ia mengikuti ajaran filsafat idealisme kekeluargaan dari Hegel,
Adam Muller, dan Spinoza. Adam Muller adalah penganut aliran NeoRomantisisme
Jerman, aliran yang timbul sebagai reaksi terhadap ekses-ekses individualisme
Revolusi Perancis.3
Adapun tujuan dari UU No. 5 Tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 3
adalah untuk:
1. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional
sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
2. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha
yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha
kecil;
3. mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
4. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

2. Jelaskan sejarah dan sistem pendekatan Hukum Persaingan Usaha.


Jawab: Setelah runtuhnya sistem ekonomi perencanaan di Eropa Timur lebih dari
satu dasawarsa yang lalu, banyak negara dunia ketiga juga mulai memilih kebijakan
ekonomi yang baru. Negara berkembang semakin sering memanfaatkan
instrumen-instrumen seperti harga dan persaingan, untuk meningkatkan dinamika
pembangunan di negara masing-masing. Hal ini disebabkan oleh pengalaman
menyedihkan dari kegagalan birokrasi, yang terlalu membebani pemerintah dan
penjabat negara dalam sistem ekonomi terencana. Persaingan hanya terjadi kalau ada

3
Johnny Ibrahim. 2007. “Hukum Persaingan Usaha: Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia”
Bayumedia, Malang, Cetakan kedua. hlm. 192.
dua pelaku usaha atau lebih yang menawarkan produk dan jasa kepada para pelanggan
dalam sebuah pasar. Untuk merebut hati konsumen, para pelaku usaha berusaha
menawarkan produk dan jasa yang menarik, baik dari segi harga, kualitas dan
pelayanan. Kombinasi ketiga faktor tersebut untuk memenangkan persaingan merebut
hati para konsumen dapat diperoleh melalui inovasi, penerapan teknologi yang tepat,
serta kemampuan manajerial untuk mengarahkan sumber daya perusahaan dalam
memenangkan persaingan. Jika tidak, pelaku usaha akan tersingkir secara alami dari
arena pasar.4 Sementara itu para ekonom dan praktisi hukum persaingan sepakat
bahwa umumnya persaingan menguntungkan bagi masyarakat. Agar persaingan dapat
berlangsung, maka kebijakan ekonomi nasional di negara berkembang harus
menyediakan sejumlah prasyarat yaitu mewujudkan pasar yang berfungsi dan
mekanisme harga. Adapun sejarah persaingan usaha diberbagai negara yaitu:5
a. Amerika Serikat
Berbagai nama telah diberikan terhadap aturan hukum yang menjadi
dasar terselenggarannya persaingan usaha yang sehat. Pada tahun 1890, atas
inisiatif senator John Sherman dari partai Republik, Kongres Amerika Serikat
mengesahkan undang-undang dengan judul “Act to Protect Trade and
Commerce Againts Unlawful Restraints and Monopolies”, yang lebih dikenal
dengan Sherman Act disesuaikan dengan nama penggagasnya. Akan tetapi, di
kemudian hari muncul serangkaian aturan perundang-undangan sebagai
perubahan atau tambahan untuk memperkuat aturan hukum sebelumnya.
Kelompok aturan perundang-undangan tersebut diberi nama “Antitrust Law”,
karena pada awalnya aturan hukum tersebut ditujukan untuk mencegah
pengelompokan kekuatan industri-industri yang membentuk “trust”
(gabungan beberapa perusahaan) untuk memonopoli komoditi strategis dan
menyingkirkan para pesaing lain yang tidak tergabung dalam trust tersebut.
Antitrust law terbukti dapat mencegah pemusatan kekuatan ekonomi pada
sekelompok perusahaan sehingga perekonomian lebih tersebar, membuka
kesempatan usaha bagi para pendatang baru, serta memberikan perlindungan
hukum bagi terselenggaranya proses persaingan yang berorientasi pada
mekanisme pasar.

4
Fahmi Lubis, Andi, et al. 2017. “Hukum Persaingan Usaha”. ed. 2. (Jakarta:Komisi Pengawas Persaingan
Usaha). hlm 27
5
Ibid. hlm 27-34
b. Jepang
Pada tanggal 14 April 1947, Majelis Nasional (Diet) Jepang
mengesahkan undang-undang yang diberi nama “Act Concerning Prohibition
of Private Monopoly and Maintenance of Fair Trade” (Act No. 54 of 14 April
1947). Nama lengkap aslinya adalah Shiteki Dokusen no Kinshi Oyobi Kosei
Torihiki no Kakuho ni Kansuru Horitsu, namun nama yang panjang disingkat
menjadi Dokusen Kinshi Ho. Dengan berlakunya undang-undang tersebut,
beberapa raksasa industri di Jepang terpaksa direstrukturisasi dengan
memecah diri menjadi perusahaan yang lebih kecil. Raksasa industri seperti
Mitsubishi Heavy Industry dipecah menjadi tiga perusahaan, sedangkan The
Japan Steel Corp dipecah menjadi dua industri yang terpisah. Meskipun dalam
era pemberlakuan Dokusen Kinshi Ho, sempat terjadi gelombang merger
(penggabungan), namun Industrial Structure Council, sebuah lembaga riset
industri di bawah Kementerian Perdagangan dan Industri (MITI) secara
berkala menerbitkan laporan praktik dagang yang tidak adil dan bersifat
antipersaingan, baik yang dilakukan oleh perusahaan Jepang maupun oleh
mitra dagangnya di luar negeri
c. Korea Selatan
Pada tanggal 31 Desember 1980, Korea Selatan mengundangkan
Undang-Undang No. 3320 yang diberi nama “The Regulation of Monopolies
and Fair Trade Act”. Melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan tanggal 1
April 1981, undang-undang tersebut diberlakukan. Sekurang-kurangnya sudah
tujuh kali dilakukan amandemen terhadap undang-undang yang awalnya
terdiri atas 62 pasal tersebut. Korea Selatan sekarang merupakan sebuah
kekuatan ekonomi yang di-perhitungkan dunia, karena pengelolaan
perekonomian yang berorientasi pada mekanisme pasar. Dibandingkan dengan
negara tetangganya (Korea Utara) yang masih fanatik dengan pola
perekonomian terpusat sesuai paham komunis, apa yang dicapai Korea Selatan
adalah sebuah fenomena.
d. Indonesia
Latar belakang langsung dari penyusunan undang-undang
antimonopoli adalah perjanjian yang dilakukan antara Dana Moneter
Internasional (IMF) dengan Pemerintah Republik Indonesia, pada tanggal 15
Januari 1998. Dalam perjanjian tersebut, IMF menyetujui pemberian bantuan
keuangan kepada Negara Republik Indonesia sebesar US$ 43 miliar yang
bertujuan untuk mengatasai krisis ekonomi, akan tetapi dengan syarat
Indonesia melaksanakan reformasi ekonomi dan hukum ekonomi tertentu. Hal
ini menyebabkan diperlukannya undang-undang antimonopoli. Akan tetapi
perjanjian dengan IMF tersebut bukan merupakan satu-satunya alasan
penyusunan undang-undang tersebut.
Sejak 1989, telah terjadi diskusi intensif di Indonesia mengenai
perlunya perundangundangan antimonopoli. Reformasi sistem ekonomi yang
luas dan khususnya kebijakan regulasi yang dilakukan sejak tahun 1980,
dalam jangka waktu 10 tahun telah menimbulkan situasi yang dianggap sangat
kritis. Timbul konglomerat pelaku suaha yang dikuasai oleh keluarga atau
partai tertentu, dan konglomerat tersebut dikatakan menyingkirkan pelaku
usaha kecil dan menengah malalui praktik usaha yang kasar serta berusaha
untuk mempengaruhi semaksimal mungkin penyusunan undang undang serta
pasar keuangan. Hal ini pun disadari bahwa pembubaran ekonomi yang
dikuasai negara dan perusahaan monopoli saja tidak cukup untuk membangun
suatu perekonomian yang bersaing. Disadari juga hal-hal yang merupakan
dasar pembentukan setiap perundang-undangan antimonopoli, yaitu justru
pelaku usaha itu sendiri yang cepat atau lambat melumpuhkan dan
menghindarkan dari tekanan persaingan usaha dengan melakukan perjanjian
atau penggabungan perusahaan yang menghambat persaingan serta
penyalahgunaan posisi kekuasaan ekonomi untuk merugikan pelaku usaha
yang lebih kecil.
Tahun-tahun awal reformasi di Indonesia memunculkan rasa
keprihatinan rakyat terhadap fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar yang
disebut konglomerat menikmati pangsa pasar terbesar dalam perekonomian
nasional Indonesia. Dengan berbagai cara mereka berusaha mempengaruhi
berbagai kebijakan ekonomi pemerintah sehingga mereka dapat mengatur
pasokan atau supply barang dan jasa serta menetapkan harga secara sepihak
yang tentu saja menguntungkan mereka. Koneksi yang dibangun dengan
birokrasi negara membuka kesempatan luas untuk menjadikan mereka sebagai
pemburu rente. Apa yang mereka lakukan sebenarnya hanyalah mencari
peluang untuk menjadi pemburu rente (rent seeking) dari pemerintah yang
diberikan dalam bentuk lisensi, konsesi, dan hak-hak istimewa lainnya.
Kegiatan pemburuan rente tersebut, oleh pakar ekonomi William J. Baumol
dan Alan S. Blinder dikatakan sebagai salah satu sumber utama penyebab
inefisiensi dalam perekonomian dan berakibat pada ekonomi biaya tinggi
(high cost economy).
Indonesia sendiri baru memiliki aturan hukum dalam bidang
persaingan, setelah atas inisiatif DPR disusun RUU Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. RUU tersebut akhirnya disetujui
dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 18 Februari 1999, dalam hal ini
pemerintah diwakili oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi
Ramelan. Setelah seluruh prosedur legislasi terpenuhi, akhirnya
Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat ditandatangani oleh Presiden B.J. Habibie dan diundangkan pada
tanggal 5 Maret 1999 serta berlaku satu tahun setelah diundangkan.
Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5 Tahun 1999) sebagai
tindak lanjut hasil Sidang Istimewa MPR-RI yang digariskan dalam Ketetapan
MPR-RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan
dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional, maka
Indonesia memasuki babak baru pengorganisasian ekonomi yang berorientasi
pasar.6
Dalam hukum persaingan usaha, terdapat dua pendekatan yang digunakan,
yaitu pendekatan per se illegal dan rule of reason. Pendekatan per se illegal adalah
menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa
pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan
usaha tersebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi
penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga penjualan
kembali Sebaliknya pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang
digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai
akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu
perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan.7

6
Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Tri Anggraini, Kurnia Toha, et. all. “Hukum Persaingan Usaha”, Jakarta:
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), hlm. 33-34
7
Ibid. hlm 66
3. Sebutkan dan Jelaskan Perjanjian Yang Dilarang
Jawab: Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis
atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat
akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. Menurut Salim HS, Perjanjian
adalah hubungan hukum antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam
bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan
begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya
sesuai dengan yang telah disepakatinya.8 Menurut Pasal 1313 KUH Perdata “Suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam
Pasal 1320 KUH Perdata yang mengemukakan terdapat empat syarat yaitu:
1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak
2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
3. Adanya suatu hal tertentu
4. Adanya sebab yang halal
Ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian dalam KUH Perdata ini merupakan
asas-asas dan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku untuk semua perjanjian secara
umum. Di samping itu, suatu undang-undang khusus dapat saja mengatur secara khusus
yang hanya berlaku untuk ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yang khusus
tersebut. Hal ini dapat ditemui dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang mengatur secara khusus apa yang
dimaksud dengan perjanjian. Menurut Pasal 1 huruf g UU No. 5 Tahun 1999, perjanjian
didefinisikan sebagai“Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk
mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun,
baik tertulis maupun tidak tertulis” UU No. 5 Tahun 1999 juga mengatur mengenai
beberapa perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:
a. Oligopoli (Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1999)
Oligopoli merupakan salah satu struktur pasar, dimana sebagian besar
komoditi (barang dan jasa) dalam pasar tersebut dikuasai oleh beberapa
perusahaan. Oligopoli menurut ilmu ekonomi merupakan salah satu bentuk
struktur pasar, di mana di dalam pasar tersebut hanya terdiri dari sedikit

8
Salim MS. 2008.”Hukum Kontrak, Teori & Tekriik Penyusunan Kontrak”. (Jakarta:Sinar Grafika). hlm. 27
perusahaan. Setiap perusahaan di pasar memiliki kekuatan (yang cukup) untuk
mempengaruhi harga pasar, dan perilaku masing-masing perusahaan
mempengaruhi perilaku perusahaan lain di pasar.9 Sedikitnya jumlah perusahaan
yang beroperasi di pasar dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti karena
adanya barrier to entry yang mampu menghalangi pemain baru untuk masuk ke
dalam pasar. Sedikitnya jumlah pemain ini juga menyebabkan adanya saling
ketergantungan (mutual interdependence) antar pelaku usaha, dan faktor inilah
yang membedakan struktur pasar oligopoli dengan struktur pasar yang lain.10
b. Penetapan harga
Perjanjian penetapan harga merupakan suatu perjanjian yang dilarang
yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pekau usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang dapat menciptakan
persaingan usaha tidak sehat. Pengaturan mengenai perjanjian penetapan harga
terdapat dalam Pasal 5 s.d Pasal 8 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, yang
terdiri dari:
- Penetapan harga (Price Fixing Agreement) (Pasal 5 UU No. 5 Tahun
1999)
Perjanjian penetapan harga (price fixing agreement) merupakan
salah satu strategi yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang
bertujuan untuk menghasilkan laba yang setinggi-tingginya. Dengan
adanya penetapan harga yang dilakukan di antara pelaku usaha
(produsen atau penjual), maka akan meniadakan persaingan dari segi
harga bagi produk yang mereka jual atau pasarkan, hal tersebut dapat
berdampak pada consumers surplus yang seharusnya dinikmati oleh
pembeli atau konsumen dipaksa beralih ke produsen atau penjual.11
Kekuatan untuk mengatur harga, pada dasarnya merupakan perwujudan
dari kekuatan menguasai pasar dan menentukan harga yang tidak
masuk akal.12

9
Aziz, K. H. A. G. 2021. “Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Perspektif Hukum Persaingan Usaha
Indonesia”. JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan), 5(2). hlm 51
10
Fahmi Lubis, Andi, et al. 2017. Op.Cit. hlm 92
11
Pratidinda sembiring, Emya, et al. 2022. “Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Penetapan Harga Tiket Pada
Sektor Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri”. (Locus Journal of
Academic Literature Review). hlm 50
12
Fahmi Lubis, Andi, et al. Op.Cit. hlm. 95
Pasal 5 ayat (2), UU No. 5 Tahun 1999 memberikan
pengecualian, bahwa tidak semua perjanjian penetapan harga (price
fixing agreement) dilarang. Suatu perjanjian penetapan harga (price
fixing) yang dibuat dalam suatu usaha patungan dan yang didasarkan
kepada undang-undang yang berlaku, tidak dilarang.13
- Diskriminasi harga (Price Discrimination Agreement) (Pasal 6 UU No.
5 Tahun 1999)
Diskriminasi Harga adalah kemampuan pelaku usaha untuk
menentukan harga pada barang dan jasa yang sama pada kualitas yang
sama pada konsumen yang berbeda.14 Perjanjian diskriminasi harga
adalah perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha
lainnya di mana untuk suatu produk yang sama dijual kepada setiap
konsumen dengan harga yang berbeda-beda. Secara sederhana, suatu
diskriminasi harga telah terjadi apabila terjadi perbedaan harga antara
satu pembeli dengan pembeli lainnya. Terdapat beberapa syarat untuk
terjadinya diskriminasi harga yaitu:15
a. Para pihak haruslah mereka yang melakukan kegiatan bisnis
b. Terdapat perbedaan harga baik secara langsung maupun tidak
langsung
c. Dilakukan terhadap pembeli yang berbeda.
d. Terhadap barang yang sama tingkat dan kualitasnya.
e. Perbuatan tersebut secara substansial akan merugikanatau
mencegah terjadinya persaingan yang sehat atau dapat
menyebabkan monopoli pada suatu aktifitas perdagangan
Praktik diskriminasi harga seperti dirumuskan dalam Pasal 6 UU
No. 5 Tahun 1999 dapat menyebabkan pembeli tertentu (di mana
pembeli tersebut merupakan pelaku usaha juga) terkena kewajiban
harus membayar dengan harga yang lebih mahal dibandingkan pembeli
lain (yang juga merupakan pelaku usaha) yang sama-sama berada
dalam pasar yang sama, sehingga dapat menyebabkan pembeli yang
mengalami diskriminasi tersebut tersingkir dari pasar karena dia akan

13
Pratidinda sembiring, Emya, et al. log cit.
14
Hariningsih, E. 2019. “Skenario Diskriminasi Harga dalam Pemasaran Jasa”. (Jurnal Bisnis Dan Akuntansi
(Equilibrium), 13(1), hlm. 50
15
Fahmi Lubis, Andi, et al. op cit. hlm. 98
kalah bersaing dengan pelaku usaha lainnya yang memperoleh harga
yang lebih rendah.
- Jual Rugi (Predatory Pricing) (Pasal 7 UU No. 5 Tahun 1999)
Praktek jual rugi dengan tujuan menyingkirkan atau mematikan
pelaku usaha pesaingnya di pasar dalam konteks persaingan usaha
adalah suatu perilaku pelaku usaha yang umumnya memiliki posisi
dominan di pasar atau sebagai pelaku usaha incumbent menetapkan
harga yang merugikan secara ekonomi selama suatu jangka waktu yang
cukup panjang. Strategi ini dapat mengakibatkan pesaingnya tersingkir
dari pasar bersangkutan dan atau menghambat pelaku usaha lain untuk
masuk ke pasar. Dalam jangka pendek, jual rugi sangat menguntungkan
konsumen, namun setelah menyingkirkan pesaing dari pasar dan
menghambat calon pesaing baru, pelaku usaha dominan atau pelaku
usaha incumbent tersebut mengharap dapat menaikkan harga secara
signifikan. Umumnya harga yang ditetapkan untuk menutupi kerugian
tersebut merupakan harga monopoli (yang lebih tinggi) sehingga dapat
merugikan konsumen.16 Praktek ini adalah upaya untuk
memaksimalkan keuntungan dan menutup kerugian yang ditimbulkan
ketika melakukan jual rugi atau harga rendah.
- Pengaturan Harga Jual Kembali (Resale Price Maintenance) (Pasal 8
UU No. 5 Tahun 1999)
Terdapat dua macam resale price maintenance yaitu penetapan
harga secara maksimum (maximum price fixing). Dengan penetapan
harga maksimum ini, maka sebenarnya masih terdapat persaingan
antara pelaku usaha, yang mungkin akan menguntungkan konsumen,
karena yang diperjanjikan adalah larangan untuk menjual lebih mahal
atau di atas harga maksimum yang disepakati, sehingga pelaku usaha
masih bisa berkompetisi di harga jual sepanjang hal tersebut masih di
atas harga predatori. Jenis kedua adalah minimum resale price
maintenance (floor price) yaitu kesepakatan antar pelaku usaha di
mana pembeli akan menjual kembali barang yang dia beli pada harga di
mana tidak boleh di bawah harga yang ditentukan. Dengan demikian

16
Manda, I. D. G. R., & Indrawati, S. A. A. 2013. “Praktik Jual Rugi (Predatory Pricing) Pelaku Usaha Dalam
Perspektif Persaingan Usaha”. hlm 4
adanya perjanjian minimum resale price maintenance yang telah dibuat
sebelumnya oleh perusahaan manufaktur dengan perusahaan
penyalurnya mengakibatkan perusahaan penyaluran tidak lagi memiliki
kebebasan untuk menjual produk yang disalurkannya tersebut dengan
harga yang lebih rendah dari harga yang ditetapkan perusahaan
penyalur lainnya.17
c. Pembagian wilayah (Market Division) (Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1999)
Pada prinsipnya perjanjian di antara pelaku usaha untuk membagi wilayah
pemasaran di antara mereka akan berakibat kepada eksploitasi terhadap
konsumen, di mana konsumen tidak mempunyai pilihan yang cukup baik dari
segi barang maupun harga.18 Adapun yang menjadi tujuan dari perjanjian
pembagian wilayah adalah untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar
atas barang atau jasa atau yang dikenal dengan istilah “location clause” yaitu
suatu klausula yang mengatur lokasi di mana suatu pelaku usaha diberikan
kewenangan untuk menjual barang atau jasa. Tujuan lebih lanjutnya adalah untuk
mengontrol kepadatan distribusi dan mencegah terjadinya kelebihan barang pada
lokasi tertentu. Perjanjian pembagian wilayah ini dilarang karena menyebabkan
pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian menjadi memonopoli pada wilayah di
mana dia dialokasikan. Namun, perjanian ini tidak dapat berjalan secara efektif
apabila konsumen mempunyai kemampuan yang cukup untuk berpindah dari
pasar yang satu ke pasar yang lain untuk membeli kebutuhannya.
d. Pemboikotan (Group Boycott And Horizontal Refusal To Deal) (Pasal 10 UU No.
5 Tahun 1999)
Perjanjian pemboikotan ini merupakan bentuk perjanjian horizontal antara
pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak mengadakan
hubungan dagang dengan pelaku usaha lain. Boikot ini mengandung arti
penghentian pasokan barang oleh produsen untuk memaksa distributor menjual
kembali barang tersebut dengan ketentuan khusus. Boikot juga dapat diartikan
sebagai pelarangan impor atau ekspor tertentu, atau pelarangan sama sekali
melakukan perdagangan internasional dengan Negara tertentu oleh
Negara-negara.19

17
Fahmi Lubis, Andi, et al. op cit. hlm. 102
18
Rusli, Tami. 2021. “Hukum Persaingan Usaha”. (Lampung:Universitas Bandang Lampung (UBL) Perss).
hlm 243
19
Rachmad Soepadmo, Nurianto. 2020. “Hukum Persaingan Usaha”. (Sidoarjo:Zifatma Jawara). hlm 37
Pemboikotan atau concerted refusal to deal pada umumnya merupakan
tindakan kolektif sekelompok pesaing.20 Perjanjian ini merupakan salah satu
bentuk usaha yang dilakukan para pelaku usaha untuk mengeluarkan pelaku
usaha lain dari pasar yang sama, atau juga untuk mencegah pelaku usaha yang
berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama, yang
kemudian pasar tersebut dapat terjaga hanya untuk kepentingan pelaku usaha
yang terlibat dalam perjanjian pemboikotan tersebut.
e. Kartel (Cartel) (Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999)
Praktik kartel merupakan salah satu strategi yang diterapkan di antara
pelaku usaha untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi
pelaku usaha. Seringkali suatu industri hanya mempunyai beberapa pemain yang
mendominasi pasar. Keadaan demikian dapat mendorong mereka untuk
mengambil tindakan bersama dengan tujuan memperkuat kekuatan ekonomi
mereka dan mempertinggi keuntungan. Ini akan mendorong mereka untuk
membatasi tingkat produksi maupun tingkat harga melalui kesepakatan bersama
diantara mereka. Semuanya dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya
persaingan yang merugikan mereka sendiri.21
Pada umumnya terdapat beberapa karakteristik dari kartel. Pertama,
terdapat konspirasi antara beberapa pelaku usaha. Kedua, melakukan penetapan
harga. Ketiga, agar penetapan harga dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi
konsumen atau produksi atau wilayah. Keempat, adanya perbedaan kepentingan
di antara pelaku usaha misalnya karena perbedaan biaya. Oleh karena itu perlu
adanya kompromi antar anggota kartel misalnya dengan adanya kompensasi dari
anggota kartel yang besar kepada mereka yang lebih kecil.22 Praktik kartel dapat
berjalan sukses apabila pelaku usaha yang terlibat di dalam perjanjian kartel
tersebut haruslah mayoritas dari pelaku usaha yang berkecimpung di dalam pasar
tersebut.
f. Trust (Pasal 12 UU No. 5 Tahun 1999)
Trust pertama di Amerika Serikat yang sangat terkenal adalah Standard Oil
yang terbentuk pada tahun 1882, yang kemudian diikuti oleh banyak industri
lainnya. Hal ini menyebabkan banyaknya kemajuan-kemajuan di Amerika

20
Fahmi Lubis, Andi, et al. op cit. hlm. 107
21
Rachmad Soepadmo, Nurianto. log.cit
22
Fahmi Lubis, Andi, et al. op cit. hlm. 110
Serikat. Namun, karena trust juga mengakibatkan adanya pemusatan kekuasaan,
maka trust dianggap melanggar hukum.23 Trust sebenarnya merupakan wadah
bagi pelaku usaha yang didisain untuk membatasi persaingan dalam bidang usaha
atau industri tertentu. Gabungan antara beberapa perusahaan yang bersaing
dengan membentuk organisasi yang lebih besar yang akan mengendalikan seluruh
proses produksi dan atau pemasaran suatu barang. Suatu trust terjadi di mana
sejumlah perusahaan menyerahkan saham mereka kepada suatu “badan trustee”
yang kemudian memberikan sertifikat dengan nilai yang sama kepada anggota
trust.
g. Oligopsoni (Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1999)
Oligopsoni adalah suatu kondisi di mana terdapat sedikit pembeli yang
menguasai pasar, sehingga mereka dapat mempengaruhi harga dan kualitas
barang atau jasa yang dibeli. Oligopsoni merupakan bentuk suatu pasar yang
didominasi oleh sejumlah konsumen yang memiliki kontrol atas pembelian.
Struktur pasar ini memiliki kesamaan dengan struktur pasar oligopoli hanya saja
struktur pasar ini terpusat di pasar input. Dengan demikian distorsi yang
ditimbulkan oleh kolusi antar pelaku usaha akan mendistorsi pasar input.
Oligopsoni merupakan salah satu bentuk praktik antipersaingan yang cukup unik,
karena dalam praktik oligopsoni yang menjadi korban adalah produsen atau
penjual, di mana biasanya untuk bentuk-bentuk praktik antipersaingan lain
(seperti price fixing, price discrimination, kartel, dan lain-lainnya) yang menjadi
korban umumnya konsumen atau pesaing.24 Dalam oligopsoni, konsumen
membuat kesepakatan dengan konsumen lain dengan tujuan agar mereka secara
bersama-sama dapat menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, dan pada
akhirnya dapat mengendalikan harga atas barang atau jasa pada pasar yang
bersangkutan.
h. Integrasi vertikal (Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999)
Integrasi vertikal merupakan perjanjian yang bertujuan untuk menguasai
beberapa unit usaha yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/atau
jasa tertentu. Integrasi vertikal bisa dilakukan dengan strategi penguasaan unit
usaha produksi ke hulu di mana perusahaan memiliki unit usaha hingga ke
penyediaan bahan baku maupun ke hilir dengan kepemilikan unit usaha hingga ke

23
Fahmi Lubis, Andi, et al. op cit. hlm. 119
24
Fahmi Lubis, Andi, et al. op cit. hlm. 120
distribusi barang dan jasa hingga ke konsumen akhir.25 Dampak negatif dari
perjanjian ini adalah dapat mengurangi kompetisi di antara penjual di tingkat
hulu, memfasilitasi kolusi di antara pelaku usaha di tingkat hulu, integrasi vertikal
ke arah hilir (downstream integration) dapat memfasilitasi diskriminasi harga,
meningkatnya hambatan masuk (entry barriers) di mana pelaku usaha yang harus
melalui dua tahap jika ingin masuk ke dalam pasar.
Oleh karena terdapat dampak negatif yang mungkin muncul dari suatu
integrasi vertikal, maka UU No. 5 Tahun 1999 memasukan integrasi vertikal ke
dalam pengaturan kelompok perjanjian yang dilarang. Pasal 14 UU No. 5 Tahun
1999 menyebutkan bahwa: ”Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk
yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/ atau jasa tertentu yang
mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses
lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/atau
merugikan masyarakat.”
i. Perjanjian Tertutup (Exclusive Dealing)
Pada konteks perjanjian tertutup, pada umumnya pelaku usaha bersedia
menerima persaingan antar produk yang bersaing yang dihasilkan oleh produsen
yang berbeda pada pasar yang sama (interbrand competition) yang ketat, tetapi
kemudian secara sangat kuat mengendalikan persaingan antar distributor
(intrabrand competition). Dengan demikian, melalui perjanjian tertutup, pelaku
usaha dapat secara negatif memanfaatkan peluang besar yang dimilikinya dan
diperoleh dari perjanjian tertutup tersebut untuk mengurangi persaingan yang
sehat, dan selanjutnya menggangu iklim usaha. Perjanjian tertutup terdiri dari:26
- Exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat (1) UU No. 5 Tahun
1999)
Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima produk hanya
akan memasok atau tidak memasok kembali produk tersebut kepada
pihak tertentu atau pada tempat tertentu saja, atau dengan kata lain

25
Rachmad Soepadmo, Nurianto. op.cit. hlm 37
26
Fahmi Lubis, Andi, et al. op cit. hlm 125-130
pihak distributor dipaksa hanya boleh memasok produk kepada pihak
tertentu dan tempat tertentu saja oleh pelaku usaha manufaktur.
- Tying agreement (Pasal 15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999)
Tying agreement terjadi apabila suatu perusahaan mengadakan
perjanjian dengan pelaku usaha lainnya yang berada pada level yang
berbeda dengan mensyaratkan penjualan ataupun penyewaan suatu
barang atau jasa hanya akan dilakukan apabila pembeli atau penyewa
tersebut juga akan membeli atau menyewa barang lainnya.
- Vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat (3) UU No. 5 Tahun
1999)
Apabila pelaku usaha ingin mendapatkan harga diskon untuk
produk tertentu yang dibelinya dari pelaku usaha lain, pelaku usaha
harus bersedia membeli produk lain dari pelaku usaha tersebut atau
tidak akan membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha
lain yang menjadi pesaing.
j. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri (Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999)
Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa “pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat
ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasal
ini mengatur suatu keadaan khusus apabila pelaku usaha di dalam negeri
melakukan perjanjian dengan pihak pelaku usaha di luar negeri.

4. Sebutkan dan Jelaskan Kegiatan yang dilarang, Posisi Dominan dan Perbuatan
yang dikecualikan.
Jawab: Selain bentuk perjanjian yang dilarang dalam hukum persaingan usaha,
beberapa kegiatan juga tidak diperkenankan dalam persaingan usaha. Kegiatan yang
dilarang adalah tindakan atau perbuatan atau perbuatan hukum sepihak yang
dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tanpa adanya
keterkaitan hubungan (hukum) secara langsung dengan pelaku usaha atau kelompok
usaha lainnya.27 Kegiatan yang dilarang menurut UU No. 5 Tahun 1999 meliputi:
a. Monopoli (Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999)

27
Yani Ahmad dan Gunawan Widjaja. “Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli”. (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada).
hlm 31
Istilah monopoly berasal dari bahasa Inggris, yaitu monopoly dan istilah
tersebut menurut sejarahnya berasal dari bahasa Yunani, yakni “monos polein”
yang berarti sendirian menjual.28 Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun
1999 yang dimaksud dengan monopoli adalah: “Penguasaan atas produksi dan
atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha“. Secara teoritis, suatu industri dikatakan
berstruktur monopoli bila hanya ada satu pelaku usaha/produsen saja tanpa
memiliki pesaing langsung atau tidak langsung, termasuk di dalamnya tersebut
pesaing nyata maupun pesaing potensial, dimana hasil/produk dari pelaku
usaha/produsen tersebut memiliki substitusi dekat (close substitute) di pasar.29
b. Monopsoni (Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1999)
Secara sederhana monopsoni dapat diartikan sebagai situasi pasar dimana
hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa
pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal dan sementara pelaku
usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjualnya banyak.
Akibatnya pembeli tunggal tersebut dapat mengontrol dan menentukan bahkan
mengendalikan tingkat harga yang diinginkannya.30
c. Penguasaan Pasar (Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1999)
Pangusaan pasar adalah proses, cara, atau perbuatan mengusai pasar.
Dengan demikian, pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lainnya yang
mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
d. Persekongkolan (Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999)
Secara sederhana Persekongkolan adalah bersepakat melakukan kejahatan
(kecurangan). Persekongkolan mempunyai karakteristik tersendiri, karena dalam
persekongkolan terdapat kerjasama yang melibatkan dua atau lebih pelaku usaha
yang secara bersama-sama melakukan tindakan melawan hukum.
Selain itu terdapat juga istilah posisi dominan. Posisi dominan berkaitan erat
dengan pengaruhnya sangat kuat. Posisi dominan atau menjadi lebih unggul di pasar
bersangkutan adalah menjadi salah satu tujuan pelaku usaha. Pasal 1 angka 4 UUNo.
5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku

28
H. Kusnadi. 1977. “Ekonomi Mikro”. FE Unbraw, Malang. hlm. 370
29
Rachmad Soepadmo, Nurianto. op.cit. hlm 39
30
Rachmad Soepadmo, Nurianto. op.cit. hlm 40
usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti dipasar bersangkutan dalam kaitan
dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara
pesaingnya dipasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan,
kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan
pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu. Sementara itu, Pasal 25 UUNo. 5
Tahun 1999 menyatakan bahwa:
(1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk:
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk
mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan
atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk
memasuki pasar bersangkutan.
(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1)
apabila:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50%
(lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau
jasa tertentu; atau
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai
75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.”
Kemudian perbuatan yang dikecualikan adalah perbuatan yang tidak dianggap sebagai
pelanggaran hukum persaingan usaha. Perbuatan yang dikecualikan berdasarkan pasal 50 UU
No. 5 Tahun 1999 meliputi:
“Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah:
1. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan
perundangundangan yang berlaku; atau
2. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten,
merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan
rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
3. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak
mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau
4. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk
memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada
harga yang telah diperjanjikan; atau
5. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup
masyarakat luas; atau
6. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
atau
7. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu
kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
8. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
9. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.”

5. Jelaskan mengenai Monopoli dan Monopsoni.


Jawab: Monopoli merupakan masalah yang menjadi perhatian utama dalam setiap
pembahasan pembentukan hukum persaingan usaha. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU
No. 5 Tahun 1999 yang dimaksud dengan monopoli adalah: “Penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha“.Pasal 17 UU No, 5 Tahun 1999
menyebutkan bahwa: ”
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya;
atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam
persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih
dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau
jasa tertentu.”
Pada dasarnya praktik monopoli ini merupakan pemusatan kekuatan ekonomi
oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau
pemasaran barang atau jasa tertenu sehingga dapat menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Berdasarkan uraian di atas dapat
kita ambil unsur-unsur dari praktik monopoli yaitu:
a. terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha,
b. terdapat penguasaan atas produksi atau pemasaran barang atau jasa tertentu,
c. terjadi persaingan usaha tidak sehat, dan
d. tindakan tersebut merugikan kepentingan umum
Kemudian definisi teoritis tentang monopsoni adalah suatu pembeli dominan atau
pembeli tunggal yang berhadapan dengan beberapa penjual. Pada dasarnya monopsoni
adalah pantulan cermin dari monopoli, apabila monopolis memaksa harga jual dengan
melakukan pembatasan produksi maka monopsonis akan melakukan kebalikannya yaitu
memaksa harga jual menjadi sedemikan rendah dengan membatasi pembelian. Dalam
pasar monopsoni, biasanya harga barang atau jasa akan lebih rendah dari harga pada
pasar yang kompetitif. Meskipun kasus monopsoni sangat jarang terjadi, akan tetapi
dalam satu waktu atau suatu daerah tertentu hal ini bisa terjadi. Contoh kasus
monopsoni yang banyak terjadi di negara-negara berkembang adalah masalah
hubungan antara petani dengan pabrik. Biasanya pada suatu wilayah tertentu hanya
terdapat satu pabrik yang akan menampung seluruh hasil produksi pertanian. Dalam
kondisi seperti ini biasanya petani sangat tergantung kepada produsen, sebaliknya
produsen akan berusaha menekan petani. Pada kondisi inilah kemudian kita
menyaksikan ada salah satu pihak yang dirugikan, karenanya hukum harus mengatur
dengan tegas kondisi yang menyebabkan turunnya kesejahteraan secara agregat.31
Monopsoni dalam UU No. 5 Tahun 1999 dilarang secara rule of reason yang artinya
bahwa monopsoni tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi
sehingga berakibat terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha usaha tidak
sehat. Praktik monopsoni yang dilarang oleh hukum persaingan usaha adalah
monopsoni yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli serta persaingan usaha
tidak sehat.

31
Fahmi Lubis, Andi, et al. op cit. hlm 160-161
DAFTAR PUSTAKA

Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Tri Anggraini, Kurnia Toha, et. all. “Hukum Persaingan
Usaha”, Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Aziz, K. H. A. G. 2021. “Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Perspektif Hukum
Persaingan Usaha Indonesia”. JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan), 5(2).
Fahmi Lubis, Andi, et al. 2017. “Hukum Persaingan Usaha”. ed. 2. (Jakarta:Komisi
Pengawas Persaingan Usaha).
H. Kusnadi. 1977. “Ekonomi Mikro”. FE Unbraw, Malang
Hariningsih, E. 2019. “Skenario Diskriminasi Harga dalam Pemasaran Jasa”. (Jurnal Bisnis
Dan Akuntansi (Equilibrium), 13(1)
Hermansyah. 2008. “Pokok-Pokok Persaingan Usaha di Indonesia”. Jakarta: Kencana.
Johnny Ibrahim. 2007. “Hukum Persaingan Usaha: Filosofi, Teori dan Implikasi
Penerapannya di Indonesia” Bayumedia, Malang, Cetakan kedua.
Manda, I. D. G. R., & Indrawati, S. A. A. 2013. “Praktik Jual Rugi (Predatory Pricing)
Pelaku Usaha Dalam Perspektif Persaingan Usaha”
Nurhidayah, N., 2022. “Etika Persaingan Usaha Menurut Yusuf Qardhawi”. (Doctoral
dissertation, IAIN Parepare)
Pratidinda Sembiring, Emya, et al. 2022. “Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Penetapan
Harga Tiket Pada Sektor Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas
Ekonomi Dalam Negeri”. (Locus Journal of Academic Literature Review)
Rachmad Soepadmo, Nurianto. 2020. “Hukum Persaingan Usaha”. (Sidoarjo:Zifatma
Jawara)
Rusli, Tami. 2021. “Hukum Persaingan Usaha”. (Lampung:Universitas Bandang Lampung
(UBL) Perss)
Salim MS. 2008.”Hukum Kontrak, Teori & Tekriik Penyusunan Kontrak”. (Jakarta:Sinar
Grafika)
Yani Ahmad dan Gunawan Widjaja. “Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli”. (Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada)

Anda mungkin juga menyukai