Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Dalam aktivfitas bisnis dapat dipastikan selalu terjadi persaingan diantara para pelaku

usaha. Pelaku usaha akan berusaha menciptakan, mengemas, serta memasarkan produk yang
dimiliki dihasilkannya sebaik mungkin agar menarik minat konsumen.1 Kkompetisi antara para
pelaku usaha seharusnya akan bertujuan meningkatkan manfaat yang diperoleh konsumen.
Dalam pasar bebas harus dicegah penguasaan pasar oleh satu, dua, atau beberapa pelaku usaha
saja, karena dalam pasar yang hanya dikuasai oleh sejumlah pelaku usaha saja, maka cenderung
terbuka peluang untuk menghindari atau mematikan bekerjanya mekanisme pasar sehingga para
pelaku usaha dapat membuat berbagai kesepakatan untuk yang kontra terhadap persaingan
seperti membagi wilayah pemasaran, mengatur harga, kualitas, dan kuantitas barang dan jasa
yang ditawarkan guna dengant tujuan memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya dalam
waktu yang relatif singkat.2 Ooleh karena itu, peraturan perangkat hukum untuk menjamin
terselenggaranya pasar bebas secara adil adalah mutlak diperlukan.
Pada periode awal reformasi di Indonesia, hanya segelintir perusahaan-perusahaan besar
yang menikmati pangsa pasar terbesar dalam perekonomian nasional Indonesia. Dengan berbagai
cara mereka berusaha mempengaruhi berbagai kebijakan-kebijakan ekonomi Ppemerintah
sehingga mereka dapat mengatur pasokan barang dan jasa serta menetapkan harga-harga secara
sepihak yang tentu saja hanya bersifat menguntungkan bagi mereka.3 Atas kondisi tersebut, maka
pada tanggal 5 Maret 1999 diundangkanlah undang-undang tentang larangan praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat ( UU Nomor 5 Tahun 1999).

Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Prakteknya di Indonesia),
(Jakarta:Raja Grafindo Persada,2009) hlm. 1.
2
Andi Fahmi Lubis, et.al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks,
(Jakarta:Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GZT) GmbH, 2009) hlm. 3.
3
Ibid., hlm. 13.

UU Nomor 5 Tahun 1999 bertujuan untuk menjaga kepentingan umum dan melindungi
konsumen: menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang
sehat, dan menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang; mencegah
praktek-praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha;
serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan
efisiensi efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan
rakyat.4
Sebagian kalangan menganggap bahwa nilai nilai persaingan sebagaimana diatur dalam UU
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai institusi pengawasannya adalah titipan
Internatsional Monetary Fund (IMF). Namun, hal tersebut tidak sepenuhnya benar.
Keinginan untuk memiliki instrumen dan kebijakan yang pro persaingan sehat dan
struktur usaha anti konglomerasi telah dicanangkan oleh rakyat melalui MPR sebagaimana
dalam Arah Kebijakan Ekonomi GBHN 1988 yang menggariskan: a) mengembangkan sistem
ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip
persaingan sehat; b) menghindarkan terjadinya struktur pasar yang monopolistik; c)
mengoptimalkan peran pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dengan
menghilangkan seluruh hambatan yang mengganggu mekanisme pasar. Tekad ini kemudian
diperkuat lagi oleh TAP MPR X Tahun 1998. Dokumen konstitusional ini menunjukkan bahwa
persaingan usaha dan KPPU sebenarnya adalah kulminasi keinginan rakyat Indonesia sendiri
yang tidak puas pada pola usaha dan struktur ekonomi pada masa lalu. DPR pun meresponnya
merespon keinginan rakyat ini dengan menjadikan Undang-Undang Persaingan Usaha sebagai
Undang-Undang UU inisiatif pertama dalam sejarah legislasinya.5

Memiliki Menyongsong era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di tahun 2015 ini,
Ppemerintah perlu membentuk membangun daya saing nasional dilakukan dengan membenahi
seluruh faktor yang dapat memberikandengann nilai perbaikan padadan

aspek yang yang

sifatnya dapat mendukung keunggulan negarbangsa. Perbaikan investasi, perbaikan regulasi,


4

Indonesia (a), Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan persaingan Usaha Tidak Sehat, UU. 5
Tahun 1999, TLN No. 3817, Penjelasan Umum
5
A. Junaidi , Nasionalisme Persaingan, dalam Negara Dan Pasar Dalam Bingkai Kebijakan Persaingan, (Jakarta:
Komisi Pengawasan Usaha RI, 2011), hlm. 2.

perbaikan sumberdaya manusia, perbaikan teknologi, perbaikan infrastruktur, perbaikan sarana


kesehatan dan kemudahan transportasi akan mendorong meningkatnya kemampuan bersaing
suatu bangsa.6
Wilayah Indonesia yang dengan kondisi geografis berbentuk kepulauan dengan jarak
tempuh antar pulau membuat keberadaan transportasi udara sangat penting dalam
menghubungkan dan memperpendek waktu tempuh antar pulau. Sebagai negara kepulauan
dengan infrastruktur dan sarana transportasi yang terbatas, Indonesia diharuskan untuk mampu
membuat membangun jaringan produksi dan mekanisme distribusi yang agar dapat memastikan
ketersediaan barang dan jasa hingga keseluruh wilayah pedesaan sesuai daya jangkau masyarakat
setempat.7
Sehubungan dengan kondisi geografis Indonesia tersebut, pasca jak era krisis moneter
pada tahun 1998, masyarakat Indonesia telah menjadi semakin peduli terhadap nilai uang yang
mereka keluarkan untuk mendapatkan suatu barang dan/atau jasa. Mereka ingin memperoleh
kualitas barang maupun jasa dengan kualitas yang terbaik, namun dengan

tanpa harus

mengeluarkan uang yang banyak.8 Termasuk dalam barang dan/atau jasa dengan kualitas terbaik
yang diharapkan oleh masyarakat tersebut, adalah jasa transportasi udara. TTuntutan aktivitas
masyarakat yang harus berpindah kota tempat secara cepat untuk keperluan bisnis maupun
keperluan pribadi juga membuat jasa transportasi udara termasuk sebagai barang dan/atau jasa
yang dewasa ini semakin dinikmati diminati oleh konsumen karena waktu tempuh yang singkat
dan tawaran harga tiket yang relatif murah.

Bisnis pelayanan angkutan udara bterjadwal dalam negeri di Indonesia dewasa ini telah
dilayani oleh 17 maskapai.9 Setiap perusahaan maskapai penerbangan memiliki metode yang
berbeda-beda dalam usaha menarik dan menciptakan kepuasaan pelanggankonsumen. Salah satu
strategi yang digunakan adalah penerapan konsep penerbangan dengan biaya murah atau Low
6

Ahmad Ramadhan Siregar, Daya Saing Industri dan Agribisnis Indonesia, Jurnal Persaingan Usaha Komisi
Pengawasan Persaingan Usaha, Edisi 4, Desember 2010, hlm. 99.
7
Benny Pasaribu, Regulasi Dan Persaingan Sehat Dalam Sistem Ekonomi Indonesia, Jurnal Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Edisi 4, Desember 2010, hlm. 51.
8
Air A
sia: Memberi Warna Baru Industri Penerbangan Nasional, SWA 20/XXI/29 September- 12 Oktober 2005.
9
http://hubud.dephub.go.id/?id/aoc/index/filter:tahun, diakses pada tanggal 1 maret 2016, pukul 21.00 WIB.

Cost Carriers (LCC).10 Untuk pelanggan konsumen yang sensitif terhadap harga biaya, biasanya
harga murah adalah sumber kepuasaan yang penting, karena dengan demikian, maka konsumen
akan mendapatkan Value for Mmoney yang tinggi. Dengan menawarkan harga tiket yang murah
tentu dibutuhkan pemanfaatan pesawat yang lebih tinggi, antara lain dengan cara :11
1. LCC cenderung untuk memiliki jumlah kursi yang lebih banyak dipesawatnya.
2. LCC tidak menyediakan makanan dan minuman tambahan.
3. Sistem pemesanan tiket secara Online, tanpa point reward pelanggan (frequent flyer
point) sehingga menghilangkan biaya untuk men-set-up dan me-maintain program
tersebut.
Akan tetapi didalam kenyataannya walaupun para pihak terkait telah mengerti dan
memahami tujuan UU No. 5/1999, tidak otomatis persaingan usaha yang kondusif tersebut dapat
tercipta.12 Salah satu penyebab belum kondusifnya iklim persaingan usaha ialah diterbitkannya
regulasi-regulasi yang tidak pro persaingan oleh pemerintah. Pada tanggal 30 Desember 2014
telah ditetapkan regulasi yang dianggap oleh beberapa pihak tidak sesuai dengan semangat
mewujudkan iklim kompetisi yang sehat, yaitu Peraturan Menteri Perhubungan Republik
Indonesia Nomor: PM 91 Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor: PM 51 Tahun 2014 Tentang mekanisme formulasi perhitungan dan
penetapan tarif batas atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga
Berjadwal Dalam Negeri. Pasal 1 Permenhub tersebut mengikuti ketentuan ayat Pasal 9 ayat (4)
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 51 Tahun 2014 sehingga ayat tersebut berbunyi:
Badan usaha angkutan udara dalam menetapkan tarif normal serendah-rendahnya 40% dari tarif
batas atas sesuai kelompok pelayanan yang diberikan.
Salah satu pemicu terbitnya Permenhub tersebut adalah kecelakaan yang menimpa
Pesawat Airbus A320-216 (nomor penerbangan: QZ8501) milik maskapai Indonesia AirAsia
pada saat terbang dari Surabaya, Indonesia menuju Singapura pada tanggal 28 Desember 2014.
Pesawat tersebut mengangkut 155 penumpang dan 7 orang kru di dalam pesawat. 13 Maskapai
AirAsia sendiri memiliki reputasi sebagai salah satu maskapai LCC terbaik yang terbukti dengan
10

Tren Penerbangan LCC Tetap Jadi Andalan, Marketing Edisi 12/V/Desember 2005.
Cranfield College of Aeronatics, Europes Low Cost Airlines: An Analysis of the economics and low cost
scheduled carriers. Air Transport Group, Cranfield University, Cranfield, 2000.
12
Udin Silalahi, Upaya Menciptakan Iklim Usaha yang Kondusif dalam Menciptakan Iklim Usaha yang Kondusif,
(Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2011), hlm. 200.
13
http://www.abcnews.go.com/Internasional/passenger-plane-missing-pasific/story?id27856490, diakses pada
tanggal 7 Maret 2016, pukul 20.00 WIB .
11

penghargaan sebagai maskapai berbiaya rendah terbaik dunia selama enam tahun berturut-turut
(2009-2014) dari Skytrax dan penghargaan World AirLine Awards 2012 sebagai maskapai
berbiaya rendah terbaik.14
Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan memiliki alasan mengeluarkan kebijakan
pengaturan tarif batas bawah. Tarif batas bawah diatur 40% dari tarif batas atas karena tidak
ingin maskapai mengabaikan aspek keselamatan karena harga tiket yang dijual terlalu murah.
Lanjut Johan, dirinya tidak akan mengubah kebijakan tersebut, kecuali yang ada keputusan yang
menyebutkan kebijakan tersebut melanggar ketentuan seperti persaingan usaha.15
Penerapan tariff batas bawah tersebut menuai banyak kritik dan berbagai pihak. Menurut,
survei, sebanyak 70% penumpang angkutan udara merupakan pengguna jasa penerbangan murah
(low cost carrier) yang sensitive terhadap besaran tarif. Akibat selanjutnya, penumpang angkutan
udara dikelas ini mungkin akan berahlih ke moda transportasi lainnya.16 Peraturan baru tarif
penerbangan ini juga dikritik oleh KPPU, M. Nawir Messi. 17 Menurutnya, perhitungan harga
tiket pesawat harus dihitung secara keseluruhan atau rata-rata per-tiket. Permenhub, tersebut bisa
berimbas pada kemampuan masyarakat kelas menengah ke bawah dalam menggunakan

jasa penerbangan. Dalam perspektif kebijakan persaingan, penerapan tarif batas bawah
akan mengurangi insentif maskapai penerbangan untuk lebih efisien.18
Salah satu hal yang menarik dalam Hukum persaingan Usaha adalah dapat ditemukannya
pengecualian dari diberlakukannya aturan Hukum Persaingan Usaha dalam berbagai bentuk.
Salah satu diantaranya adalah proteksi yang disebut dengan Monopoli Alamiah (Natural
Monopoly), keadaan ini diberlakukannya untuk sesuatu yang bersifat dan berhubungan dengan
sarana publik (public utilities) dimana upaya masuk pasar (entry), tarif dan pelayanan akan diatur
dalam regulasi. Pertimbangan dan alasan pembenaran hal ini dilakukan adalah bila produksi
dilakukan oleh sutu pelaku saja akan jauh lebih efisien, dimana biaya rata-rata produksi (average
14

http://www.airasia.com/ot/en/about-us/awards,page, diakses pada tanggal 7 Maret 2016, pukul 20.30 WIB.


http://finance.detik.com/read/2016/01/06/203342/2795782/4/ini-alasan-menhub-jonan-batasi-harga-tiketpesawat-murah.html, diakses pada tanggal 7 Maret 2016, pukul 21.00 WIB.
16
http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/3623-selamatkan-industri-penerbangan-nasional.html, diakses pada tanggal
7 Maret 2016, pukul 21:20 WIB.
17
http://www.hukumonline.com/berita/baca/It54b5d4ed13fdd/kppu-kritik-perhitungan-baru-tiket-pesawat, diakses
pada tanggal 7 Maret 2016, pukul 21:30 WIB.
18
http://www.kppu.go.id/id/blog/2014/11aspek-keselametan-dan-harga-tiket-pesawat/, diakses pada tanggal 7
Maret 2016, pada pukul 22:00 WIB.
15

cost) akan menurun output ditingkatkan, sehingga lebih efisien kalau industri di monopoli oleh
satu pelaku saja.
Regulasi dibutuhkan karena ada suatu kemungkinan suatu jenis industri yang dimonopoli
oleh sedikit pelaku usaha, maka pelaku monopoli alamiah mungkin memberlakukan harga
monopoli yang dapat mengakibatkan terjadinya deadweight loss dan mengakibatkan perpindahan
cusumer surplus kepada producer surplus regulasi dibutuhkan untuk menentukan industri mana
yang akan dilakukan oleh hanya satu perusahaan dan kemudian baru diatur mengenai tarif, harga,
pelayanan serta nilai investasinya. Secara ekonomi dasar untuk memberikan monopoli alamiah
dalam suatu industri adalah bila biaya investasi (sunk cost) yang dibutuhkan cukup besar
sehingga pengolalaannya diputuskan untuk diberikan kepada badan-Bbadan Uusaha Mmilik
Negara (BUMN), misalnya untuk sarana publik seperti air, listrik, atau telekomunikasi. Oleh
sebab itu pelaku usaha yang mendapat kesempatan monopoli alamiah wajib mendapat
pengontrolan dalam hal kinerja dan pelayanan yang diharapkan.

UU No. 5 Tahun 1999 telah memasukkan ketentuan mengenai bentuk tindakan yang
dikecualikan dari aturan Hukum Persaingan Usaha. Hal tersebut diatur dalam Pasal 50 UU No.5
Tahun 1999 yang menyatakan:19
Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah:
a. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundangundangan yang berlaku;atau
b. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi,
paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik
terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;atau
c. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak
mengekang dan atau menghalangi persaingan;atau
d. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat kentuan untuk
memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada
harga yang telah diperjanjikan;atau

19

Andi Fahmi Lubis, et.al.,op,cit., hlm. 220

e. Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup
masyarakat luas;atau
f. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik
Indonesia;atau
g. Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu
kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;atau
h. Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;atau
i. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani
anggotannya.20
j.
k.
Pengecualian terhadap UU No. 5 Tahun 1999 juga dapat diberikan kepada kegiatan yang
dinilai berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan cabang-cabang produksi yang penting
bagi Negara seperti yang diatur dalam pasal 51 UU No.5 Tahun 1999 yang menyatakan:
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan tau
pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta
cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara diatur dengan undang-undang dan
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan/atau badan/atau lembaga yang
dibentuk atau ditunjuk Pemerintah.21
Pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Perhubungan menetapkan tarif
batas minimum angkutan udara niaga yang berjadwal dalam negeri dengan alasan utama untuk
memastikan bahwa maskapai penerbangan akan menggunakan standar keamanan tinggi dalam
operasionalnya. Menarik untuk dicermati bahwa pada bagian menimbang dalam Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor: PM 91 Tahun 2014 hanya disebutkan aturan ini ditetapkan sesuai
dengan evaluasi terhadap stakeholders penerbangan tanpa menyebutkan uraian mendetail
mengenai evaluasi tersebut. Dalam bagian Mengingat Peraturan Menteri Perhubungan Nomor:
PM 91 Tahun 2014 juga tidak menyinggung peraturan perundang-undangan terkait Hukum
Persaingan Usaha.

20
21

Indonesia (a), Undang-undang No. 5 Tahun 1999, Pasal 50.


Ibid., Pasal 51.

Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, penetapan tarif batas bawah (floor
price) angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri menarik untuk dianalisis lebih lanjut oleh
penulis agarberdasarkan paradigm hukum persaingan usaha yang berlaku, diketahui apakah
penetapan tarif tersebut dapat dikategorikan kebijakan yang anti persaingan atau tidak.

1.2.

Pokok Permasalahan
Dari latar belakang yang sudah Penulis paparkandijabarkan di atas, rumusan

permasalahan yang akan Penulis diteliti lebih lanjut untuk dijadikan fokus pembahasan dalam
penulisan skripsi ini terdiri dari dua pertanyaan, yaitu:
1. Bagaimana hukum persaingan usaha memandang mengenai penetapan tarif batas bawah
layanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri?
2. Bagaimana dampak dari penetapan tarif batas bawah dalam jasa layanan kelas ekonomi
angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri terhadap industri penerbangan di
Indonesia?
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pespersktif perspektif hukum persaingan usaha dalam mengenai

1.3.

penetapan tarif batas bawah layanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal
dalam negeri.
2. Untuk mengetahui dampak dari penetapan tarif batas bawah dalam jasa layanan kelas
ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri terhadap industri penerbangan di
Indonesia.

1.4.

Definisi Operasional
8

Agar tidak terjadi salah pengertianambiguitas mengenai istilah dan terminologi yang
digunakan dalam penelitian ini, berikut akan Penulis dijabarkan mengenai definisi operasional
yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain:
1. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negeri Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian, penyelenggaraan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi.22
2. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara
tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.23
3. Pelaku usaha adalah setiap orang atau perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam
bidang ekonomi.24
4. Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun
tidak tertulis.25
5. Pasar adalah lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan atau jasa.26
6. Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran
tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau
substitusinya dari barang atau jasa tersebut.27

7. Struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang aspek-aspek
yang memiliki pengaruh penting terhadap perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar, antara

22

Ibid., Pasal 1 angka 5.


Ibid., Pasal 1 angka 6.
24
Ibid., Pasal 1 angka 5.
25
Ibid., Pasal 1 angka 7.
26
Ibid., Pasal 1 angka 9.
27
Ibid., Pasal 1 angka 10.
23

lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar, keragamaan produk,
sistem distribusi, dan penguasaan pangsa pasar.28
8. Perilaku pasar adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam kapasitasnya
sebagai pemasok atau pembeli barang dan atau jasa untuk mencapai tujuan perusahaan,
antara lain pencapaian laba, pertumbuhan aset, target penjualaan, dan metode persaingan
yang digunakan.29
9. Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai
oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.30
10. Harga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan atau jasa sesuai
kesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan.31
11. Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang adan atau jasa baik untuk
kepentingan diri sendiri maupun kepentingan pihak lain.32
12. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
Imaupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.33
13. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau presentasi yang
diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku
usaha.34
14. Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.35

15. State Action Doctrine adalah doktrin yang memungkinkan perbuatan tertentu
dikecualikan dari aturan Hukum Persaingan Usaha selama perbuatan tersebut dilakukan
untuk menjalankan peraturan perundang-undangan atau kebijakan pemerintah.36

28
29
30
31
32
33
34
35
36

Ibid., Pasal 1 angka 11.


Ibid., Pasal 1 angka 12.
Ibid., Pasal 1 angka 13.
Ibid., Pasal 1 angka 14.
Ibid., Pasal 1 angka 15.
Ibid., Pasal 1 angka 16.
Ibid., Pasal 1 angka 17.
Ibid., Pasal 1 angka 18.
Stephen F. Ross, Priciples of antitrust Law, (New York: The Foundation Press Inc., 1993), hlm. 496

10

16. Hajat hidup orang banyak adalah barang adan atau jasa yang memiliki fungsi alokasi,
distribusi, dan stabilisasi.37
17. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara adalah ragam usaha produksi atau
penyediaan barang dan atau jasa yang memiliki sifat strategis.38
18. Badan atau lembaga yang ditunjuk pemerintah adalah badan atau lembaga yang
mendapatkan kewenangan dari pejabat administrasi negara yang berwenang dan bersifat
penetapan untuk menyelenggarakan atau menjalankan kegiatan tertentu secara sepihak.39
19. Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara,
pesawat udara, Bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan
keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya. 40
20. Pesawat udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang diatmosfer karena gaya
angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang
digunakan untuk penerbangan.41
21. Pesawat Terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara bersayap tetap, dan
dapat terbang dengan tenaga sendiri.42
22. Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk
mengangkut penumpang, kargo, dan atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu
Bandar udara ke Bandar udara yang lain atau beberapa Bandar udara.43
23. Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut
pembayaran.44

24. Angkutan udar dalam negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani
angkutan udara dari satu Bandar udara ke Bandar udara lain di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.45
25. Rute penerbangan adalah lintasan pesawat udara dari Bandar udara asal kebandar udara
tujuan melalui jalur penerbangan yang telah ditetapkan.46
37

Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor: 89/KPPU/Kep/III/2009 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Ketentuan pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, hlm. 5.
38
Ibid., hlm. 6.
39
Ibid., hlm. 7.
40
Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Penerbangan, UU No. 1 Tahun 2009, LN No. 1 Tahun 2009, TLN No.
4956, Pasal 1 angka 1.
41
Ibid., Pasal 1 angka 3.
42
Ibid., Pasal 1 angka 4.
43
Ibid., Pasal 1 angka 13.
44
Ibid., Pasal 1 angka 14.
45
Ibid.,Pasal 1 angka 16.
46
Ibid.,Pasal 1 angka 10.

11

26. Badan usaha angkutan udara adalah badan usaha milik Negara, badan usaha milik daerah,
atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan
utamanya mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang,
kargo, dan/atau pos dengan memunggut pembayaran.47
27. Tanggung Jawab Pengangkut adalah kewajiban perusahan angkutan udara untuk
mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak
ketiga.48
28. Kargo adalah setiap barang yang diangkut oleh pesawat udara termasuk hewan dan
tumbuhan selain pos, barang kebutuhan pesawat selama penerbangan, barang bawaan,
atau barang yang tidak bertuan.49
29. Pengangkut adalah badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan
udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan
undang-undang ini, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang
membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.50
30. Tiket adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya,
yang merupakan salah satu alat bukti adanya perjanjian angkutan udara antara
penumpang dan pengangkut , dan hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara
atau diangkut dengan pesawat udara.51

31. Perjanjian pengangkutan udara adalah perjanjian antara pengangkut dan pihak
penumpang dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau dengan
pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain.52
32. Bandar udara adalah kawasan didaratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu
yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun
penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antarmoda
transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan,
sertafasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya.53
47
48
49
50
51
52
53

Ibid.,Pasal
Ibid.,Pasal
Ibid., Pasal
Ibid., Pasal
Ibid., Pasal
Ibid., Pasal
Ibid., Pasal

1
1
1
1
1
1
1

angka
angka
angka
angka
angka
angka
angka

20.
22.
23.
26.
27.
29.
33.

12

33. Keselamatan penerbangan adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan


wilayah udara, pesawat udara, Bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, serta
fasilitas penunjang dan fasilitas lainnya.54
34. Keamanan penerbangan adalah salah satu keadaan yang memberikan perlindungan
kepada penerbangan dari tindakan melawan hukum melalui keterpaduan pemanfaatan
sumber daya manusia, fasilitas, dan prosedur.55
35.
1.5.

Metode Penelitian
a. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian yang akan dipakai oleh penulis adalah penelitian evaluatif. 56
Berdasarkan disiplin hukum yang mempunyai ruang lingkup yang begitu luas, penelitian
ini merupakan penelitan yuridis normatif,57 yakni penelitian yang dilakukan terhadap
hukum positif baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Penggunaan metode penelitian ini
untuk menjawab permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini berdasarkan atas asasasas hukum yang ada, hukum positif yang mengatur permasalahan dalam penelitian ini
serta beberapa teori-teori pendukung lainnya.
b. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah data yang tidak diperoleh langsung dari lapangan.
Data ini diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan atau dokumen. Namun demikian,
jika dianggap perlu maka untuk melengkapi serta mendukung data sekunder yang
dipergunakan wawancara dengan sumber-sumber yang dinilai memahami beberapa
konsep atau pemikiran terkait data sekunder. Data sekunder didalam penelitian ini terdiri
dari bahan pustaka dalam bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier yang dapat diperinci sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang terikat 58 berupa UU No.5
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
UU No.1 Tahun 1999 Tentang Penerbangan, Peraturan Menteri Perhubungan

54
55
56
57
58

Ibid., Pasal 1 angka 48.


Ibid., Pasal 1 angka 49.
Sri Mamudji et., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum
Ibid., hlm. 9.10.
Ibid., hlm. 4.

13

Republik Indonesia Nomor: PM 91 Tahun 2014 Tentang perubahan Kedua Atas


Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: Pm 51 Tahun 2014 Tentang Mekanisme
Formulasi Perhitungan Dan Penetapan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas
Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, dan Peraturan perundangundangan lainnya yang terkait dengan penelitian ini.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal
yang berkaitan dengan isi bahan hukum primer serta implementasinya 59. Bahan
hukum sekunder yang Penulis gunakan adalah buku, juenal ilmiah, skripsi, tesis,
disertasi, penelusuran internet, dan putusan pengadilan.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap sumber bahan hukum primer atau sumber hukum sekunder.60
Bahan hukum tersier yang Penulis gunakan antara lain Kamus Besar Bahasa
Indonesia dan Blacks Law Dictionary.

c. Alat Pengumpulan Data


Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen yang didapat dari berbagai
sumber seperti perpustakaan, literature mengenai hukum persaingan usaha, literature
mengenai industri penerbangan dan jurnal-jurnal online yang tersedia di internet. Data
yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara kuatitatif.
d. Bentuk Hasil Penelitian
Adapun bentuk hasil penelitian ini berupa laporan yang bersifat deskriptif analitis. 61
Penulis Penilitian ini akan memaparkan fakta-fakta yang diperoleh untuk kemudian
memberikan saran mengenai kebijakan apa yang seharusnya dibuat oleh Ppemerintah
dalam bidang angkutan udara yang sesuai dengan semangat persaingan.

59
60
61

Ibid., hlm. 31.


Ibid
Ibid., hlm 67.

14

1.6.

BAB 1

Sistematika Penulisan
Adapun Kerangka penulisan skripsi ini adalah:
PENDAHULUAN
Dalam BAB 1 Penulis akan menguraikanakan diuraikan tentang latar belakang,
pokok masalah, tujuan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.

BAB 2

KAJIAN TEORI MENGENAI HUKUM PERSAINGAN USAHA


Pada BAB 2 ini penulis akan menjelaskanakan dijelaskan tentang metode
pendekatan Per se IIlegal dan Rule of Reason. Selanjutnya penulis akan
memberikanjuga akan diberikan penjelasan mengenai pendekatan Per se IIlegal
dan Rule of Reason dalam Hukum Persaingan Usaha. Kemudian akan dibahas
juga latar belakang lahirnya State Action Doctrine State Action Doctrine dalam
Hukum Persaingan Usaha dan penggunaannya.

BAB 3

GAMBARAN UMUM INDUSTRI MASKAPAI PENERBANGAN DI


INDONESIA
Pada BAB 3 ini Penulis akan memberikanakan diberikan gambaran mengenai
industri maskapai penerbangan di Indonesia. Selanjutnya Penulis akan
memberikan penjelasan juga akan dijelaskan mengenai peranan lembaga-lembaga
yang memiliki peran dalam penentuan Tarif penerbangan serta jenis-jenis
maskapai berdasarkan pelayanan yang ditawarkan pada konsumen di Indonesia
dan perang tarif yang terjadi selama ini.

15

BAB 4

ANALISA

PENETAPAN

TARIF

BATAS

BAWAH

PENUMPANG

PELAYANAN KELAS EKONOMI ANGKUTAN UDARA BERJADWAL


DALAM

NEGERI

BERDASARKAN

PERATURAN

MENTERI

PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PM 91 TAHUN 2014


DIKAITKAN DENGAN HUKUM PERSAINGAN USAHA
Pada BAB 4 ini Penulis akan membahasakan dibahas secara lebihsecara
mendalam mengenai proses penetapan tarif angkutan udara berjadwal dalam
negeri, dan analisa peraturan penetapan tarif batas bawah angkutan udara
berjadwal dalam negeri menurut sudut pandang hukum persaingan usaha, Penulis
juga akan menjabarkanjuga penjabaran mengenai dampak diberlakukannya tarif
batas bawah angkutan udara berjadwal dalam negeri terhadap industri
penerbangan. Dalam bagian ini
Penulis juga akan melakukan juga akan dilakukan tinjauan terkait
penetapan tarif batas bawah penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan udara
berjadwal dalam negeri berdasarkan Pperaturan Mmenteri Pperhubungan
Rrepublik Indonesia Nomor: PM 91 Tahun 2014 Dikaitkan dengan keberadaan
State Action Doctrine.
Penulis akan memaparkan dan menjelaskan Selanjutnya juga akan
dipaparkan serta dijelaskan dampak dari penetapan tarif batas bawah dalam jasa
layanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri terhadap
industri penerbangan di Indonesia.
BAB 5

PENUTUP
BAB 5 ini merupakan kesimpulan dan saran dari pembahasan yang telah dibahas
pada BAB sebelumnya.

16

Anda mungkin juga menyukai