Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

“MONOPOLI DAN OLIGOPOLI”

DOSEN PENGAMPU:
Samariadi, S.H., M.H.

MATA KULIAH:
HUKUM ANTI MONOPOLI PERSAINGAN USAHA

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5

1. Michelle Tamana (2109112143)


2. Refiza Amanda (2109112513)
3. Fatma Khairani (2109125225)
4. Adam Furqan (2109134832)

ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS RIAU
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Hukum Anti Monopoli
Persaingan Usaha, dengan judul: “Monopoli dan Oligopoli.” Penulis juga berterima
kasih kepada Bapak dosen yang telah memberikan bimbingan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran, dan kritik sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk masukan bahkan kritik yang
membangun dari berbagai pihak. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan bagi para pembaca dan penulis khususnya, serta memberikan
manfaat bagi perkembangan dunia Pendidikan.

Pekanbaru, 18 September 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I ............................................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................ 2
BAB II ........................................................................................................................... 4
2.1 Kasus Monopoli ............................................................................................. 4
2.2 Kasus Oligopoli ............................................................................................ 12
BAB III ....................................................................................................................... 18
3.1 Kesimpulan ................................................................................................... 18
3.2 Saran ............................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kehidupan sehari-hari bisa dipastikan bahwa kita memerlukan berbagai
kebutuhan hidup yang tidak bisa kita peroleh secara langsung dari alam.Oleh karena
itu,untuk memenuhi kebutuhan kita melakukan proses jual beli baik itu dipasar maupun
tempat yang bisa digunakan untuk proses jual beli.
Persaingan dalam dunia bisnis merupakan suatu dinamika tersendiri yang tidak
dapat dihindari. Bagi beberapa pebisnis, persaingan berkonotasi negatif karena bisa
mengancam bisnis karena takut akan berkurangnya profit atau konsumen lebih memilih
harga rendah dari pesaing. Namun pada kenyataannya tidak demikian.Persaingan yang
sehat dapat memberikan hal yang baik bagi pebisnis,pesaing itu sendiri dan bahkan
para pelanggan. Pasar monopoli timbul akibat adanya praktek monopoli,yaitu
pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu pelaku usaha atau penjual yang mengakibatkan
dikuasainnya produksi dan atau pemasaran atas barang dan jasa tertentu.pada saat
sekarang perusahaan yang seratus persen yang bersifat monopoli jarang di
temui,mungkin hanya beberapa komoditi jasa seperti telpon, listrik, dan air yang benar-
benar dikuasai oleh penjual tunggal di Indonesia dipegang oleh peruusahaan
pemerintah.
Persaingan usaha yang sehat dapat membawa pengaruh positif terhadap para
pengusaha yang saling bersaing karena dapat menimbulkan upaya peningkatan
produktivitas, efisiensi dan kualitas produk yang dihasilkannya. Sebaliknya, apabila
para pengusaha bersaing dengan cara tidak sehat, maka akan merusak perekonomian
negara yang merugikan masyarakat. 1 Persaingan dalam dunia usaha seharusnya
dipandang sebagai suatu hal yang positif. Namun, dengan perkembangan usaha yang
pesat, para pelaku usaha tidak sedikit yang melakukan persaingan usaha dengan tidak

1 Sanusi Bintang and Dahan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi Dan Bisnis (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2000). Hlm. 97

1
sehat demi meraup keuntungannya sendiri. 2 Salah satu bentuk persaingan usaha tidak
sehat yaitu perjanjian tertutup dan penguasaan pasar.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai tool of social control and a tool of social
engineering. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 berusaha untuk meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui
pengaturan persaingan usaha yang sehat, dan berusaha menciptakan efektivitas dan
efisiensi dalam kegiatan usaha. 3 Artinya, keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan
yang sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah
timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat
lainnya dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, di mana setiap
pelaku usaha dapat bersaing secara wajar dan sehat. 4

1.2 Rumusan Masalah


1. Kasus Monopoli Perusahaan Air Minum PT Tirta Investama dan PT Balina
Agung Perkasa (Putusan KPPU Nomor 22/KPPU/-I/2016
2. Kasus Oligopoli Persaingan Tarif Antara Telkomsel dan Indosat di Industri
Telekomunikasi (Putusan KPPU Nomor 7/KPPU-L/2007

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk memenuhi tugas di mata kuliah Hukum Anti Monopoli Persaingan
Usaha yang diberikan oleh dosen pengampu;

2 L. Budi Kagramanto, Mengenal Hukum Persaingan Usaha Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun


1999 (Surabaya: Laros, 2008). Hlm. 16
3 Ayudha D. Prayoga, Persaingan Usaha Dan Hukum Yang Mengaturnya Di Indonesia

(Jakarta: Proyek ELIPS, 2000). Hlm. 53


4 Devi Meyliana, Hukum Persaingan Usaha “studi Konsep Pembuktian Terhadap Perjanjian

Penetapan Harga Dalam Persaingan Usaha (Malang: Setara Press, 2013). Hlm. 15-16

2
2. Untuk mengetahui lebih dalam sekaligus memberikan informasi kepada
pembaca mengenai Kasus Monopoli Perusahaan Air Minum PT Tirta
Investama dan PT Balina Agung Perkasa (Putusan KPPU Nomor 22/KPPU/-
I/2016;
3. Untuk mengetahui lebih dalam sekaligus memberikan informasi kepada
pembaca mengenai Kasus Oligopoli Persaingan Tarif Antara Telkomsel dan
Indosat di Industri Telekomunikasi (Putusan KPPU Nomor 7/KPPU-L/2007.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kasus Monopoli


1. Kronologi Kasus
Pertengahan tahun 2016 lalu tengah bergulir kasus dugaan monopoli dan
produsen Aqua yaitu PT Tirta Investama dan PT Balina Agung Perkasa dengan tuduhan
bahwa Aqua melarang outlet di Jabodetabek untuk menjual produk Le Minerale. PT
Tirta Investama dan PT Balina Agung Perkasa pada awalnya menyampaikan himbauan
lisan kepada pedagang Star Outlet (SO) dari akhir 2015 hingga pertengahan 2016.
Dalam kasus ini terdapat pula perjanjian tertulis yang memerintahkan bahwa penjual
yang menjadi Star Outlet (SO) dari produk PT. Tirta Investama bersedia untuk tidak
menjual produk air minum dalam kemasan (AMDK) dengan merek Le Minerale, dan
bersedia menjadi konsekuensi sanski dari PT. Tirta Investama berupa penurunan harga
ke Wholeseller apabila menjual produk kompetitor sejenis dengan merek Le Minerale.
Selain itu, terdapat bukti komunikasi email antara PT Tirta Investama dan PT Balina
Agung Perkasa mengenai tindakan degradasi toko Star Outlet dengan pertimbangan
toko Star Outlet tersebut masih menjual produk kompetitor, dan dalam hal tersebut
adalah tindakan nyata bahwa terlapor melakukan tindakan anti persaingan dengan
tujuan untuk menghambat laju kompetitor, sehingga akibat dari tindakan pelarangan
untuk menjual produk tersebut, maka PT Tirta Investama dan PT Balina Agung Perkasa
diduga melanggar ketentuan Pasal 15 ayat (3) huruf b mengenai perjanjian tertutup dan
Pasal 19 huruf a dan b mengenai penguasaan pasar.
Terkait Indikasi Pelanggaran UU NO. 5 Tahun 1999 yang Dilakukan Oleh PT
Tirta Investama dan PT Balina Agung Perkasa, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam menganalisis pelanggaran pelanggaran yang dilakukan oleh PT
Tirta Investama dan PT Balina Agung Perkasa adalah:

4
a. Struktur Pasar
❖ Dalam UU No. 5 Tahun 1999 pasal 1 angka 11 struktur pasar didefinisikan
sebagai berikut:
“Struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang
aspek-aspek yang memiliki pengaruh penting terhadap perilaku pelaku usaha
dan kinerja pasar, antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan
keluar pasar, keragaman produk, system distribusi, dan penguasaan pangsa
pasar.”
b. Pangsa Pasar
❖ Dalam UU No. 5 Tahun 1999 pasal 1 angka 13 “Pangsa pasar adalah persentase
nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha
pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu”. Dalam hal ini
berdasarkan data yang diperoleh dari periode Januari 2015 sampai dengan Mei
2017 dengan produk SPS 600 ML untuk wilayah Jakarta dan Jawa Barat, Aqua
memiliki persentase paling unggul diantara merek air mineral lainnya dengan
persentase 35%-49,5%, selain itu pangsa pasar Aqua menduduki pangsa pasar
paling tinggi diantara merek air mineral yang lain.
c. Pasar Bersangkutan
❖ Berdasarkan pasal 1 angka 10 UU No. 5 Tahun 1999 pasar bersangkutan
didefinisikan sebagai berikut:
“Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah
pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau
sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.”
d. Posisi Dominan
❖ UU No. 5 Tahun 1999 mendefinisikan Posisi Dominan dalam pasal 1 angka 4
sebagai berikut:
“Posisi Dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai
pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar
yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara
pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan,

5
kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.”
❖ Penyalahgunaan Posisi Dominan
Perusahaan yang menguasai pasar memiliki potensi untuk menyalahgunakan
posisi dominan dengan melakukan berbagai perilaku antipersaingan.
Penyalahgunaan posisi dominan sangat merugikan pelaku usaha lain,
konsumen, dan perekonomian secara keseluruhan. Sehingga penyalahgunaan
posisi dominan harus dihindari dan dicegah sesegera mungkin. 5 Terdapat tiga
bentuk kegiatan posisi dominan yaitu:6
a. Jabatan rangkap atau kepengurusan terafiliasi
b. Kepemilikan saham mayoritas
c. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Salah satu larangan penggunaan posisi dominan yang dapat dilakukan oleh
pelaku usaha adalah menghambat pelaku usaha yang lain yang berpotensi
menjadi persaing di pasar bersangkutan, ketentuan ini ada kesamaan dengan
larangan pada pasal 19 huruf a yang menetapkan menolak dan atau
menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama
di pasar bersangkutan.7

2. Analisis Putusan KPPU Nomor 22/KPPU-I/2016 tentang Penguasaan Pasar dan


Perjanjian Tertutup yang Dilakukan PT Tirta Investama dan PT Balina Agung
Perkasa berdasarkan Teori Per Se Illegal dan Teori Rule of Reason
Dalam menganalisis indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha,
akan dilakukan analisis berdasarkan teori yuridis. Dalam teori yuridis terdapat 2 (dua)
macam dasar pengaturan untuk menganalisis apakah suatu perbuatan telah melanggar
undang-undang antimonopoli yaitu melalui teori per se illegal dan rule of reason. Teori

5
Suhasril, Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat di Indonesia (Ghalia Indonesia 2010).[142].
6
L. Budi Kagramanto, Mengenal Hukum Persaingan Usaha (Berdasarkan UU No. 5 Tahun
1999) (Laros 2015).[214].
7
Andi Fahmi Lubis, et. al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, (Deutsche
Gessellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) 2009).[182].

6
per se illegal merupakan teori yang menganggap tindakan tertentu sebagai ilegal, tanpa
menyelidiki lebih lanjut mengenai dampak tindakan tersebut terhadap persaingan.
Teori Rule of Reason merupakan teori yang menggunakan analisis ekonomi untuk
mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti apakah suatu tindakan pelaku usaha
memiliki implikasi kepada persaingan, sebaliknya, apabila menerapkan per se illegal,
maka tindakan pelaku usaha tertentu selalu dianggap melanggar Undang-undang.
Dalam kasus ini, PT Balina Agung Perkasa dan PT Tirta Investama diduga
melanggar pasal 15 ayat (3) huruf b, secara teori, pasal 15 menggunakan teori per se
illegal, namun, pada praktiknya harus tetap dibuktikan karena tidak semua perjanjian
tertutup menimbulkan perilaku yang dapat menimbulkan persaingan tidak sehat.
Dalam kasus ini, Terlapor menetapkan harga beli distributor dan menetapkan
rekomendasi strata harga jual produk yang ditetapkan kepada Sub-Distributor (Star
Outlet, Whole Seller, dan Retail), dan terlapor membuat perjanjian terkait harga atau
potongan harga karena kedudukan pelaku usaha dalam bagian sub-Distributor
menentukan tingkat harga yang didapat pelaku usaha yang dipasok tersebut, dan dari
perjanjian tersebut dijelaskan apabila pelaku usaha sub-Distributor tetap memasarkan
barang yang merupakan produk Le Minerale maka terlapor akan memberikan sanksi
berupa degradasi yang berdampak pada harga beli yang diperoleh. 8
Berdasarkan hal tersebut, pasal 15 ayat (3) huruf b terpenuhi karena telah
terbukti bahwa tindakan tersebut merugikan pelaku usaha pesaing dan dapat
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.
Selain pasal 15 ayat (3) huruf b UU No. 5 Tahun 1999, PT Balina Agung
Perkasa dan PT Tirta Investama juga diduga melanggar ketentuan pasal 19 huruf a dan
b UU No. 5 Tahun 1999 yang mana pasal tersebut dirumuskan secara rule of reason
sehingga harus dibuktikan dan diuji apakah perbuatan tersebut bertujuan untuk
menyingkirkan atau mematikan pesaing dan harus dievaluasi terlebih dahulu untuk
melihat akibat yang ditimbulkannya terhadap persaingan dengan membuktikan apakah
terjadi praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dalam kasus ini,

8
Putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016.[438].

7
terdapat perilaku PT Tirta Investama dan PT Balina Agung Perkasa yang membuat
pelaku usaha pesaing terhalangi dalam mendistribusikan air minum dalam kemasan
dikarenakan produk Aqua yang merupakan AMDK yang memiliki market share yang
paling banyak dibandingkan dengan produk lainnya sehingga produsen dan distributor
dari Aqua melarang produk pesaing dipasarkan di pasar yang sama yang dimiliki oleh
produk Aqua dengan ancaman bahwa apabila tetap menjual produk tersebut maka
status dari toko tersebut akan di turunkan levelnya, bentuk lainnya adalah dengan
melarang untuk tidak mendisplay produk Le Minerale.9
Bentuk penguasaan pasar yang dilakukan adalah para terlapor melakukan
monitoring pada toko-toko di level Star Outlet yang masih tetap menjual produk Le
Minerale. Tidak hanya dengan lisan saja, namun dibuktikan dengan adanya surat
pernyataan, surat elektronik, bukti komunikasi, dan sebagainya. Surat pernyataan berisi
perintah yang mengharuskan untuk tidak menjual air kemasan Le Minerale, surat
pernyataan ini terjadi pada pedagang di wilayah Cibubur, sementara surat elektronik
berisi penurunan strata toko terhadap pedagang yang masih melakukan usaha dengan
menjual produk Le Minerale.10

3. Analisis Putusan KPPU Nomor 22/KPPU-I/2016 tentang Penguasaan Pasar dan


Perjanjian Tertutup yang Dilakukan PT Tirta Investama dan PT Balina Agung
Perkasa berdasarkan Undang-Undang
PT Balina Agung Perkasa dan PT Tirta Investama diduga melanggar ketentuan
pasal 15 ayat 3 huruf b dan pasal 19 huruf a dan b UU No. 5 Tahun 1999. Pelanggaran
yang dilakukan oleh tergugat tersebut membuat PT Tirta Investama dikenakan denda
sebesar 13.8 Milyar dan PT Balina Agung Perkasa dikenakan denda sebesar 6.2 Milyar
yang mana dalam menjatuhkan denda pasti melalui beberapa pertimbangan. Mengenai
unsur-unsur dalam pasal yang dikenakan, sebelumnya harus ditentukan terlebih dahulu
pasar bersangkutan, yang mana berkaitan dengan pasar produk dan pasar geografis
dalam pasar bersangkutan yang mana sebagaimana yang telah dijelaskan di bagian

9
Putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016.[77].
10
Putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016.[92].

8
pasar bersangkutan bahwa Le Minerale dan Aqua ini masuk dalam pasar bersangkutan
yang sama.
Dalam memasarkan produk yang dimiliki oleh PT Tirta Investama maka
melalui rantai distributor, yang kemudian distributor menjual produk baik secara
Wholeseller, Retailer, maupun Star Outlet yang kemudian konsumen akhir membeli
produknya. PT Tirta Investama dan PT Balina Agung Perkasa memiliki perjanjian
resmi mengenai kerjasama distributor antara PT Tirta Investama dan PT Balina Agung
Perkasa, dari perjanjian distributor tersebut tugasnya adalah menjual produk PT Tirta
Investama ke gerai-gerai dan peran tanggung jawab PT Tirta Investama adalah
memberikan pengetahuan produk atas merek yang dijual kepada distributor.
Hubungan antara PT Tirta Investama dan PT Balina Agung Perkasa selaku
distributor adalah ada beberapa hak dan kewajiban dari masing masing pihak seperti
PT Tirta Investama memiliki akses bebas untuk mengaudit lokasi atau gudang milik
PT Balina Agung Perkasa dan PT Balina Agung Perkasa memiliki kewajiban untuk
memberikan laporan tertulis setiap minggu dan setiap bulan kepada PT Tirta Investama
mengenai penjualan kepada pengecer, dan pengawasan-pengawasan lain yang
dilakukan PT Tirta Investama terhadap distributornya.
PT Balina Agung Perkasa dalam mengkategorikan tingkatan distribusi
membagi menjadi Star Outlet, Wholeseller dan Retail. Perbedaan dari ketiga kategori
tersebut adalah dari segi perbedaan harga yang diberikan berdasarkan tingkatan status.
Star Outlet biasanya grosir minuman dalam jumlah besar berkisar 50 – 200, perusahaan
90% mengirim ke Star Outlet langsung dari pabrik, penentuan Star Outlet tersebut
melalui survey yang dilakukan dari sisi sub distributor dan dari pihak toko tersebut,
aspek yang dilihat adalah gudangnya memadai atau tidak, dilihat juga prinsipal lain
memperlakukan toko ini sebagai Star Outlet, kemudian di bulan berikutnya apabila
tidak memenuhi target Star Outlet maka diturunkan menjadi Whole Seller. Harga yang
diberikan terhadap outlet dengan status Star Outlet lebih murah daripada harga yang
diberikan dengan status Wholeseller dan Retail. Berdasarkan konsep ini maka Star
Outlet memiliki pasar yang lebih luas karena dapat menjual produk kepada pedagang

9
dengan strata Wholeseller, Retail, dan konsumen akhir, ini lah yang membuat Star
Outlet lebih diminati distributor.
Dalam kesepakatan yang dilakukan PT Tirta Investama dan PT Balina Agung
Perkasa, sebagai distributor tidak dapat memproduksi, mengimpor, mewakili,
mendistribusikan produk-produk sejenis atau produk pesaing di dalam area fokus
tersebut, jadi dengan jelas PT Tirta Investama melarang kepada distributornya
memasarkan produk pesaing dari PT Tirta Investama. Majelis Komisi menilai bahwa
karena pengawasan yang dilakukan oleh PT Tirta Investama tersebut membuat PT
Balina Agung Perkasa tidak memiliki independensi dalam hal pemasaran sehingga PT
Balina Agung Perkasa tidak dapat dipisahkan dari penguasaan pasar yang dimiliki oleh
PT Tirta Investama dalam konteks pemasaran produk. Terkait dengan degradasi toko
yang dilakukan oleh PT Tirta Investama dan PT Balina Agung Perkasa, yang dilakukan
apabila menjual tidak sesuai target namun pada kenyataannya di beberapa toko yaitu
pada toko Noval, toko Sinar Jaya, toko Yania, dan masih banyak toko yang lain
diturunkan levelnya dari Star Outlet menjadi Wholeseller dikarenakan toko tersebut
mengikuti gathering Le Minerale dan menjual produk Le Minerale. Selain itu, ada salah
satu toko yang terkena degradasi dengan alasan telah berlaku tidak tertib dan disiplin
dan juga tidak mencapai target volume yang telah disepakati, yaitu toko Chunchun.
Namun, pada saat investigasi berlangsung terdapat kejanggalan karena toko Chunchun
menempati urutan ke 7 terbesar volume penjualan dari 24 Star Outlet, sementara tidak
ada satu toko pun yang dikenakan degradasi, sehingga majelis komisi menilai bahwa
degradasi tersebut bukan karena kinerja namun dikarenakan tindakan toko Chunchun
yang telah menjual produk Le Minerale berdasarkan bukti-bukti tersebut yang
menyatakan bahwa terjadi penurunan dari Star Outlet ke Wholeseller maka Majelis
Komisi menilai adanya tindakan untuk menghalangi pelaku usaha pesaing pada pasar
bersangkutan.
Fakta-fakta lain yang ditemukan adalah, PT Fresindo Jaya (produsen Le
Minerale) telah melakukan somasi terhadap pihak-pihak yang melakukan tindakan
melarang toko-toko untuk menjual produk PT Tirta Fresindo Jaya yaitu Le Minerale.
Pemberlakuan somasi tersebut dilakukan pasalnya pada toko-toko terkait tetap masih

10
dapat menjualkan produk Le Minerale tersebut namun dengan kondisi diletakkan di
belakang bahkan di gudang belakang. Setelah somasi tersebut dilakukan pihak dari
Aqua sudah mulai mereda dan pemilik toko juga tidak ketakutan terhadap kejadian ini.
PT Tirta Investama dan PT Balina Agung Perkasa sebagaimana yang kita tahu
melanggar pasal 15 ayat (3) huruf b dan pasal 19 huruf a dan b. Dalam membuktikan
unsur-unsur dari pasal 15 ayat (3) huruf b dan pasal 19 huruf a dan b, majelis komisi
berpendapat bahwa dalam perkara ini berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan,
keterangan saksi-saksi maupun ahli, alat bukti yang telah ada, serta terpenuhinya semua
unsur dalam pasal 15 ayat (3) huruf b dan pasal 19 huruf a dan b, maka PT Tirta
Investama dan PT Balina Agung Perkasa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan perjanjian penguasaan pasar dan perjanjian tertutup sesuai dengan
ketentuan pasal 15 ayat (3) huruf b dan pasal 19 huruf a dan b.
Apabila dilakukan analisis lebih lanjut, sebenarnya kasus ini dapat dikenakan
pasal 25 UU No. 5 Tahun 1999 tentang posisi dominan, karena Aqua memiliki pangsa
pasar yang paling tinggi sehingga Aqua memiliki potensi untuk menguasai pasar Air
Minum Dalam Kemasan di pasar bersangkutan karena peminat dari Aqua yang tinggi.
Kasus yang dialami oleh PT Tirta Investama dan PT Balina Agung Perkasa memiliki
keterkaitan dengan Pasal 25 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 dalam hal:
a) Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan
menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik
dari segi harga maupun kualitas. Seperti yang sudah diketahui, bahwa PT Tirta
Investama dan PT Balina Agung Perkasa melakukan perjanjian tertutup berupa
pelarangan untuk menjual produk pesaing yaitu Le Minerale yang apabila dari
toko toko tersebut masih memperlihatkan produk tersebut maka dilakukan
penurunan rantai distribusi, dengan adanya hal tersebut maka konsumen di toko
tersebut tidak dapat memperoleh produk Le Minerale dan Aqua berpotensi
untuk menguasai pasar tersebut;
b) Membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau dengan dilakukannya hal
sebagaimana dalam huruf a, PT Tirta Investama dan PT Balina Agung Perkasa

11
berusaha untuk membatasi pasar dari segi inovasi serta pengembangan barang
dan jasa;
c) Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk
memasuki pasar bersangkutan.
Syarat-syarat yang ditetapkan oleh PT Tirta Investama dan PT Balina Agung
Perkasa membuat Le Minerale tidak dapat ditemukan di toko toko terkait sehingga
penyebaran produk Le Minerale menjadi terhambat dan tidak dapat memasuki pasar
bersangkutan yang sama dengan Aqua.

2.2 Kasus Oligopoli


1. Kronologi Kasus
Dalam Perkara Temasek, Kelompok Usaha Temasek lewat anak perusahaannya
STT dan Singtel, memiliki saham pada dua perusahaan jasa telekomunikasi selular
Indonesia yang saling bersaing yaitu PT Indosat dan PT Telkomsel. Kepemilikan STT
sebesar 41,94 persen pada PT Indosat dan Singtel sebesar 35 persen pada PT
Telkomsel, dianggap Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah melanggar
Pasal 27 huruf a UU No. 5 Tahun 1999 tentang kepemilikan silang. Terdapat beberapa
pihak terlapor, yang semuanya merupakan kepanjangan tangan dari Temasek. Terlapor
I: Temasek Holdings Pte.Ltd, Terlapor II: SingTel, Terlapor III: STT Communications
Ltd, Terlapor IV: Asia Mobile Holdings Company Pte Ltd, Terlapor V: Asia Mobile
Holdings Pte Ltd,Terlapor VI: Indonesia Communications Ltd, Terlapor VII: Indonesia
Communications Pte Ltd, Terlapor VIII: Singapore Telecommunications Pte Ltd,
Terlapor IX: Singapore Telecom Pte Ltd. Dalam sidang ini, KPPU menyatakan adanya
hubungan sebab-akibat yang jelas antara kepemilikan silang (cross ownership)
Temasek dengan kerugian di industri seluler. KPPU membeberkan bahwa kepemilikan
silang (cross ownership) Temasek di Indosatdan Telkomsel telah menimbulkan
kerugian konsumen di industri seluler sebesar Rp 14,7 triliun-30,8 triliun selama 2003-
2006. Temasek Holding Pte. Ltd. juga dianggap melanggar Pasal 17 ayat (1) karena
melaksanakan hambatan interkoneksi dan mempertahankan harga tinggi sehingga
bersifat anti persaingan. Dalam pembelaannya, kelompok Temasek mendalilkan bahwa

12
KPPU tidak berwenang memeriksa karena perusahaan-perusahaan yang termasuk
dalam kelompok Temasek bukanlah didirikan berdasarkan Hukum Indonesia dan tidak
beraktivitas secara langsung di Indonesia. KPPU menepis pembelaan kelompok
Temasek tersebut dengan menyatakan bahwa kelompok Temasek adalah badan usaha
sehingga memenuhi unsur “setiap orang” atau “badan usaha” dalam Pasal 1 angka 5
UU No. 5 Tahun 1999 yang berdasarkan prinsip entitas ekonomi tunggal (single
economic entity doctrine) dinyatakan dalam relasi induk-anak perusahaan, perusahaan
anak tidak memiliki independensi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan.
Konsekuensi dari prinsip tersebut adalah pelaku usaha dapat dimintakan
pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh perusahaan lain dalam satu
entitas ekonomi, dalam hal ini kelompok Temasek, meskipun pelaku usaha yang
pertama beroperasi di luar yurisdiksi hukum persaingan usaha suatu negara, sehingga
sifat ekstrateritorialitas dari penegakan hukum persaingan usaha dapat terpenuhi.

2. Analisis Putusan KPPU Nomor 7/KPPU-L/2007 tentang Persaingan Tarif antara


Telkomsel dan Indosat di Industri Telekomunikasi berdasarkan Teori
Dalam menganalisis indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, akan
dilakukan analisis berdasarkan teori yuridis. Dalam teori yuridis terdapat 2 (dua)
macam dasar pengaturan untuk menganalisis apakah suatu perbuatan telah melanggar
undang-undang antimonopoli yaitu melalui teori per se illegal dan rule of reason. Teori
per se illegal pada intinya menyatakan bahwa untuk menentukan ada atau tidaknya
pelanggaran, maka hal tersebut dapat didasarkan hanya pada bukti yang cukup di mana
bukti tersebut menunjukkan bahwa sebuah tindakan (conduct) telah dilakukan oleh
seorang pelaku usaha. 11 Teori ini tidak mengharuskan terdapatnya bukti bahwa
tindakan tersebut telah menimbulkan dampak negatif terhadap persaingan karena
secara hukum dipercaya (legal presumption) bahwa tindakan pelaku usaha tersebut
menimbulkan dampak negatif kepada persaingan usaha.

11
Henny Damaryanti, Setyo Utomo, and Annurdi, ‘Penerapan Pendekatan Per Se Illegal Dalam
Pemeriksaan Kasus Penetapan Harga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Kasus Putusan KPPU RI No.
Nomor 14/KPPU-I/2014)’, 2.2 (2014), 327–30.

13
Sedangkan teori rule of reason pada intinya menyatakan bahwa untuk menentukan
ada atau tidaknya sebuah pelanggaran, maka hal tersebut tidak hanya cukup dengan
didasarkan pada bukti formal atas terjadinya sebuah tindakan (conduct) usaha, namun
juga memerlukan bukti lain, yakni bahwa tindakan usaha tersebut dapat atau telah
menimbulkan dampak negatif terhadap persaingan dan kepentingan umum. 12

Sehingga, dalam teori ini memerlukan adanya analisis dampak suatu tindakan pelaku
usaha terhadap persaingan.
Dari segi rumusannya, larangan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dapat
dikelompokkan menjadi larangan yang dapat dianalisisis dengan menggunakan teori
per se illegal dan larangan yang dapat dianalisisis dengan menggunakan teori rule of
law. 13 Ketentuan-ketentuan pasal yang mengandung kalimat “dapat menimbulkan
praktek monopoli” dan/atau “persaingan usaha tidak sehat” dapat dikelompokkan ke
dalam larangan yang dapat dianalisisis dengan menggunakan teori rule of law sehingga
memerlukan analisis dampak suatu kegiatan atas persaingan atau cara suatu kegiatan
diselenggarakan, atau memerlukan analisis bahwa kegiatan usaha tersebut dilakukan
secara tidak adil. Dan ketentuan-ketentuan yang tidak mengandung salah satu dari
kalimat tersebut, maka ketentuan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam larangan
yang dapat dianalisisis dengan menggunakan teori per se illegal.
Dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dapat menggunakan kedua teori tersebut
dalam hal penentuan ada atau tidaknya pelanggaran yang telah dilakukan. Menurut
teori per se illegal, telah terjadi pelanggaran terhadap pasal ini apabila berdasarkan
bukti yang cukup telah terpenuhi sekurang-kurangnya dua unsur penting yaitu terdapat
pelaku usaha yang mengendalikan atau mendirikan beberapa perusahaan dalam suatu
pasar terkait dan pengendalian atau pendirian tersebut memberikan hasil berupa
penguasaan pasar bagi pelaku usaha tersebut lebih dari 50%. Sehingga, tindakan

12
Revina Aprilia Dewantari and Munawar Kholil, ‘Penerapan Teori Efisiensi Dalam Pedekatan Rule of
Reason Pada Pembuktian Kasus Persaingan Usaha Tidak Sehat’, Privat Law, VI.2 (2018), 277–81.
13
Putusan KPPU No. 7/KPPU-L/2007.[624]

14
(conduct) yang dilarang adalah mempunyai pengendalian atau pendirian atas beberapa
perusahaan, dan akibat yang dilarang adalah penguasaan pasar lebih dari 50%. Teori
per se illegal juga beranggapan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 27
apabila terdapat pelaku usaha yang terbukti memiliki saham mayoritas di dua atau lebih
perusahaan yang bersaing, dan atas kepemilikan tersebut menghasilkan penguasaan
pasar lebih dari 50%. Dan juga pada Pasal 27 tidak tercantum salah satu dari dua
kalimat “dapat menimbulkan praktek monopoli” dan atau “persaingan usaha tidak
sehat”.
Selanjutnya, menurut teori rule of reason, pelanggaran terhadap Pasal 27 dikatakan
terjadi apabila memenuhi unsur adanya praktik usaha (conduct) yang dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap persaingan, selain memenuhi dua unsur pada
teori per se illegal. 14 Dalam teori ini, praktik usaha (conduct) yang dilarang adalah
praktik usaha yang menyalahgunakan penguasaan di pasar yang menimbulkan dampak
negatif terhadap persaingan.

3. Analisis Putusan KPPU Nomor 7/KPPU-L/2007 tentang Persaingan Tarif antara


Telkomsel dan Indosat di Industri Telekomunikasi berdasarkan Undang-Undang
Terlapor merupakan pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5
Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat dikarenakan Temasek, STT, STTC, AMHC, AMH, ICL,
ICPL, SingTel, dan SingTel Mobile membentuk satu kelompok usaha sesuai dengan
penerapan doktrin entitas ekonomi tunggal. Doktrin pada perkara ini dibuktikan dengan
Temasek Holdings yang mengendalikan anak-anak perusahaannya. Kepemilikan
saham secara bertingkat dari Temasek terhadap anak perussahaannya diikuti dengan
kewenangan mengangkat direksi di setiap tingkat.
Fakta hukum yang dapat dilihat secara jelas adalah penguasaan/kepemilikan
kontrol melalui saham yang dimiliki secara signifikan oleh Temasek di 2 (dua) operator
telekomunikasi yang dominan di pasar, yaitu pada Telkomsel (sebesar 35% saham) dan

14
Putusan KPPU No. 7/KPPU-L/2007.[625]

15
Indosat (sebesar 40,77% saham). Terkait fakta kepemilikan saham silang tersebut,
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menggariskan secara jelas dan tegas yaitu:
Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan
sejenis yang melakukan kegiatan usaha yang sama dalam bidang yang sama pada
pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki
kegiatan yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut
mengakibatkan: (a) satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50%
(lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; (b) dua atau tiga
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran Pasal 27 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, struktur pemegang saham Telkomsel dan Indosat adalah:
Komposisi Pemegang Saham Telkomsel:
i. PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (Telkom) sebesar 65%; dan
ii. Singapore Telecom Mobile Pte, Ltd. sebesar 35%.
Komposisi Pemegang Saham Indosat:
i. Pemerintah Republik Indonesia, sebesar 14,58%;
ii. Indonesia Communication Limited (anak perusahaan STT Telecommunication)
sebesar 40,77%; dan
iii. Pemegang saham publik sebesar 44,65%.
Menurut teori hukum korporasi, besar jumlah kepemilikan saham
mencerminkan bagian yang proporsional atas hak-hak tertentu dalam manajemen dan
profit dari suatu perusahaan selama masa eksistensinya.15 Urgensi kepemilikan saham
dalam jumlah yang signifikan tidak hanya sebatas jumlah bagian keuntungan atau sisa
aset yang dapat diperoleh pemegang saham, namun juga sampai kepada hak suara yang
bertujuan dalam penentuan strategi untuk menghadapi ketatnya persaingan dengan

M. Fadhil Hasan, ‘Refleksi Persaingan Usaha Pada Industri Telekomunikasi Di Indonesia’, BISNIS
15

& EKONOMI POLITIK Quarterly Review of the Indonesian Economy\, 9 (2008), 1–8.

16
kompetitor. Meskipun pada kenyataannya Temasek hanya menguasai 35% saham di
Telkomsel sehingga unsur “memiliki saham mayoritas” dalam Pasal 27 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat menjadi kabur. Namun, pengertian saham mayoritas harus lebih
lanjut diinterpretasikan terlepas dari kepemilikan saham secara fisik. Dalam artian luas,
setiap saham yang dikuasai oleh satu pemegang saham memiliki kendali atas pemegang
saham lain atas jalannya suatu perseroan melalui hak suara yang dimiliki pemegang
saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Dampak kepemilikan silang (cross ownership) berdasarkan perkara Nomor
7/KPPU-L/2007 tentang Persaingan Tarif antara Telkomsel dan Indosat di Industri
Telekomunikasi yang diperiksa dan diputus oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) Republik Indonesia terkait dengan adanya pelanggaran terhadap Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat yaitu:16
a. Terdapat saham mayoritas pada 2 (dua) perusahaan dalam bidang yang sama
melakukan kegiatan usaha. Hal ini melanggar Pasal 27 ayat a Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat. Saham mayoritas yang dimaksud dengan adanya satu pelaku usaha
yang mempunyai kendali atas pelaku usaha lainnya.
b. Terdapat tarif yang tinggi. Hal ini melanggar Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat sebagai dampak dari kenaikan tingkat industri yang meningkatkan
market power sehingga memberikan konsentrasi bagi pelaku usaha dalam
melakukan penetapan harga (price market).

16
Putri Regina and Faizah Bafadhal, ‘Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Oleh
Temasek Holding Dalam Perspektif UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat’, Zaaken: Journal of Civil and Business Law, 1.1 (2020), 1–14
<http://online-journal.unja.ac.id/zaaken>.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
PT Balina Agung Perkasa dan PT Tirta Investama telah melakukan praktek
perjanjian tertutup dan penguasaan pasar karena telah melanggar pasal 15 ayat (3) huruf
b dan pasal 19 huruf a dan b. Dalam membuktikan perbuatan tersebut yang harus
dilakukan adalah melihat struktur pasar, pangsa pasar, pasar bersangkutan, setelah itu
baru dapat melakukan pembuktian terhadap adanya penguasaan pasar dan perjanjian
tertutup. Hal tersebut berawal dari somasi yang dilakukan oleh PT Fresindo Jaya (Le
Minerale) akibat larangan penjualan produk Le Minerale yang dilakukan oleh PT Tirta
Investama dan PT Balina Agung (Aqua) kepada toko Star Outlet dengan ancaman
degradasi toko. Putusan KPPU yang telah dijatuhkan kepada PT Tirta Investama dan
PT Balina Agung Perkasa telah tepat karena telah memenuhi unsur pada pasal 15 ayat
(3) huruf b dan pasal 19 huruf a dan b UU No. 5 Tahun 1999. Namun, sebenarnya
apabila dikaji lebih lanjut, sebenarnya PT Tirta Investama dan PT Balina Agung
Perkasa dapat melanggar ketentuan pasal 25 UU No. 5 Tahun 1999 tentang
penyalahgunaan posisi dominan. Aqua sebenarnya memiliki market power karena
pangsa pasar yang paling tinggi diantara merek Air Minum Dalam Kemasan yang lain.
Pemilik market power ini juga sebagai pemilik posisi dominan di pasar bersangkutan.
Sebagai pemilik posisi dominan, tidak seharusnya Aqua melakukan perbuatan yang
dapatmerugikan pelaku usaha pesaing yakni penguasaan pasar dan melakukan
perjanjian tertutup.
Cross-Ownership oleh Temasek di Telkomsel dan Indosat mengakibatkan
tingginya konsentrasi struktur industri dan market power serta turunnya derajat
kompetisi diduga melanggar Pasal 27 huruf a UU No.5/1999. Disamping itu,
penggunaan market power oleh Telkomsel dengan mengenakan excessive pricing
diduga melanggar pasal 17 ayat (1) UU No.5/1999. Oleh karena itu, perlu kiranya agar

18
struktur pasar industri telekomunikasi seluler Indonesia ditata kembali agar tidak
terjadi cross ownership dengan divestasi oleh Temasek di Telkomsel atau di Indosat.

3.2 Saran
Dengan dibuatnya makalah ini penulis berharap dapat menambah wawasan
lebih dalam mengenai Monopoli dan Oligopoli kepada para pembaca. Dan penulis juga
menyadari bahwasanya makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami
membutuhkan saran dan masukan dari pembaca.

19
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Jurnal
Anna Marina dan Didin Fatihudin. (2008). “PASAR OLIGOPOLI DI INDONESIA
(Kasus Trading Term dan Dominansi Carrefour pada Pasar Ritel Modern di
Indonesia)” dalam BALANCE Economics, Bussiness, Management and
Accounting Journal No. 9.
Henny Damaryanti, Setyo Utomo, and Annurdi. (2014). “Penerapan Pendekatan Per
Se Illegal Dalam Pemeriksaan Kasus Penetapan Harga Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Kasus Putusan KPPU RI No. Nomor
14/KPPU-I/2014)” Vol. 2, No. 2
M. Fadhil Hasan. (2008). “Refleksi Persaingan Usaha Pada Industri Telekomunikasi di
Indonesia” dalam Jurnal BISNIS & EKONOMI POLITIK Quarterly Review of
the Indonesian Economy, Vol. 9.
Mashur Malaka. (2014). “ Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha” dalam Jurnal Al-
‘Adl, Vol. 7, No. 2.
Putri Regina and Faizah Bafadhal. (2020). “Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat Oleh Temasek Holding Dalam Perspektif UU Nomor 5 Tahun
1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”
dalam Zaaken: Journal of Civil and Business Law, Vol. 1, No. 1.
Revina Aprilia Dewantari and Munawar Kholil. (2018). “Penerapan Teori Efisiensi
Dalam Pedekatan Rule of Reason Pada Pembuktian Kasus Persaingan Usaha
Tidak Sehat” dalam Jurnal Privat Law, Vol. 2.
Rikrik Rizkiana, et. al. (2008). “Persaingan Usaha Industri Telekomunikaai Seluler di
Indonesia” dalam Jurnal Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 9, No. 1.
Titop Dwiwinarno, AM. Kusnadi, dan Eni Andari. (2011). “Studi Kelayakan Bisnis
Air Minum Dalam Kemasan PDAM Kabupaten Kulonprogo” dalam EFEKTIF
Jurnal Bisnis dan Ekonomi, Vol. 2, No. 2.

20
Windi Arista. (2013). “Praktek Monopoli Yang Merupakan Kegiatan Ilegalitas di
Indonesia” dalam Jurnal Varia, Edisi No. 29.
Zaini Ibrahim. (2009). “Kajian Teoritis Tentang Praktek Monopoli” dalam Jurnal Al-
Ahkam, Vol. 3, No. 1.

Sumber Buku
Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya. (1999). Anti Monopoli. Raja Grafindo.
Andi Fahmi Lubis, et. al. (2009). Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks,
(Deutsche Gessellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ).
Ayudha D. Prayoga. (2000). Persaingan Usaha Dan Hukum Yang Mengaturnya Di
Indonesia. Jakarta: Proyek ELIPS.
Budi Kagramanto. (2015). Mengenal Hukum Persaingan Usaha (Berdasarkan UU No.
5 Tahun 1999. Laros.
Devi Meyliana. (2013). Hukum Persaingan Usaha Studi Konsep Pembuktian Terhadap
Perjanjian Penetapan Harga Dalam Persaingan Usaha. Malang: Setara Press.
(KPPU), Komisi Pengawas Persaingan Usaha. (2017). Buku Teks Hukum Persaingan
Usaha Edisi Kedua. Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
L. Budi Kagramanto. (2008). Mengenal Hukum Persaingan Usaha Berdasarkan UU
Nomor 5 Tahun 1999. Surabaya: Laros.
Rokan, Mustapa Khamal. (2019). Hukum Persaingan Usaha: Teori dan Praktiknya di
Indonesia. Depok: Rajawali Pers.
Sanusi Bintang and Dahan. (2000). Pokok-Pokok Hukum Ekonomi Dan Bisnis.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Suhasril, Mohammad Taufik Makarao. (2010). Hukum Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia. Ghalia Indonesia.

Putusan
Putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016 mengenai dugaan pelanggaran pasal 15 ayat (3)
huruf b dan pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam
Produk Air Minum dalam Kemasan Air Mineral.

21
Putusan KPPU Nomor 7/KPPU-L/2007 tentang Persaingan Tarif antara Telkomsel dan
Indosat di Industri Telekomunikasi.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3817).
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pedoman
Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

22

Anda mungkin juga menyukai