Anda di halaman 1dari 13

TINDAK PIDANA ( JARIMAH ) MURTAD DAN MAKAR ( BUGHAT )

MENURUT ULAMA MADHAB DAN PEMIKIR FIQH KONTEMPORER


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Hukum Pidana Islam II

Disusun Oleh :
Maisari Nasution 0205212035
Ansori Ritonga 0205213108
Fauzan Asfahari Rambe 0205213146

HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
TA 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materi. Penulis sangat berharap semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bagi kami sebagai
penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………... 1
DAFTAR ISI………………………………………………………………………… 2
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………. 3
LATAR BELAKANG………………………………………………………………... 3
RUMUSAN MASALAH…………………………………………………………… 3
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………. 4
A. MURTAD ( RIDDAH )………………………………………………………… 4
B. PEMBERONTAKAN ( BUGHAT )……………………………………………… 7
BAB III PENUTUP………………………………………………………………... 11
KESIMPULAN……………………………………………………………………. 11
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………… 12

2
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Di dalam Islam untuk menetapkan suatu hukuman atas perbuatan haruslah
disertai dengan syarat-syarat serta pembuktian yang kuat mengenai suatu kesalahan
yang telah diperbuat, tidak terkecuali dalam hal ini mengenai kejahatan-kejahatan
yang dalam hukum pidana Islam disebut sebagai Jarimah. Jarimah sendiri merupakan
suatu penetapan hukum berupa ketentuan-ketentuan yang dilarang dan diperbolehkan
dengan berdasarkan pada sumber hukum Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW yang
pada klasifikasinya ditentukan dengan hukuman had/hudud maupun hukuman ta’zir.
Pada tulisan ini, penulis akan berfokus pada pembahasan mengenaiJarimah Hudud
yang berkenaan dengan tindak pidana murtad (Riddah),tindak pidana pemberontakan
(bughat) yang mana semua tidak pidana tersebut ditetapkan suatu hukuman yang telah
ditentukan batas, jenis, dan jumlahnya dalam syara’ dan hukuman itu merupakan hak
Allah dengan pengertian bahwa hukuman tersebut tidak bisa ditambah, dikurangi oleh
siapapun, dan tidak mempunyai batas tertinggi atau terendah. Juga yang dimaksud
dengan hak Allah di sini adalah setiap hukuman yang dikehendaki oleh kepentingan
umum untuk memelihara ketenteraman dan keamanan masyarakat.

2. Rumusan Masalah
1) Penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan Jarimah Hudud?
2) Penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan Riddah, Bughat?
3) Penjelasan mengenai bagaimana unsur, pembuktian, sanksi dan dasar hukum
dari tindak pidana Riddah, Bughat?

3
BAB II
PEMBAHASAN

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Had
secara bahasa adalah pemisah antara dua hal supaya tidak bercampur dengan yang
lainnya, atau batasan antara satu dengan yang lainnya, atau pemisah antara dua hal
yang sudah mempunyai batas seperti pemisah antara yang halal dan yang haram. Had
yang dimaksud adalah hukuman yang telah ditentukan batas, jenis dan jumlahnya, dan
hukuman itu merupakan hak Allah dengan pengertian bahwa hukuman tersebut tidak
bisa ditambah, dikurangi oleh siapapun, dan tidak mempunyai batas tertinggi atau
terendah. Juga yang dimaksud dengan hak Allah di sini adalah setiap hukuman yang
dikehendaki oleh kepentingan umum untuk memelihara ketenteraman dan keamanan
masyarakat. Dengan kata lain setiap jarimah yang mengganggu kepentingan
masyarakat berarti telah mengganggu hak Allah dan pantas dihukum dengan
ketentuan-Nya.1

A. Murtad (Riddah)
1. Pengertian
Istilah murtad atau riddah yang berakar kata dari kata radd, secara etimologi
berarti berbalik kembali , murtad atau riddah menurut Wahbah al-Zuhaili
sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Mutawali adalah keluar..nya seseorang
dari Islam menjadi kafir (sesudah beriman), baik dengan niat, ucapan atau perbuatan
yang menyebabkan seseorang dikategorikan kafir.
Menurut istilah, Murtad adalah kembalinya seorang muslim yang berakal dan
baligh untuk memilih keyakinan agama lain atas dasar pilihannya bukan atas paksaan.
Dari pengertian tersebut anak-anak yang memilih agama berbeda dengan agama
orangtuanya tidak termasuk murtad, begitu pula orang gila. Orang yang karena
terpaksa harus meninggalkan keyakinan karena diancam dan membahayakan diri serta
keluarganya dengan ancaman berat sehingga dia harus menyelamatkan diri memeluk
agama lain, juga tidak termasuk golongan riddah.

1
Reni Surya, “Klasifikasi Tindak Pidana Hudud dan Sanksinya dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal HukummKeluarga dan
Hukum Islam, Volume 2, Nomor 2, Juli-Desember 2018, h. 531-533.

4
2. Unsur-Unsur dan Pembuktian Tindak Pidana
Terdapat tiga unsur dan pembuktian bahwa bagaimana seseorang dapat
dinyatakan murtad atau jika ia keluar dari Islam. Pertama, dari aspek tingkah sepakat
bahwa hukuman mati terhadap orang murtad berlaku bagi pria dan wanita.

Menurut A. Hasan sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Mutawali,


hukuman bagi pelaku riddah dibagi menjadi 3 alternatif yaitu dibunuh, disalib, dan
diasingkan. Lanjutnya, Islam sama sekali tidak memaksa orang untuk memeluk
agama Islam, tetapi juga tidak mengizinkan orang yang beragama Islam pindah ke
agama lain. Selanjutnya A. Hanafi menjelaskan bahwa sanksi bunuh atas orang yang
murtad disebabkan oleh hilangnya jaminan hak atas keselamatan jiwanya. Ketika ia
menjadi muslim, maka ia dalam jaminan, karena itu ketika ia murtad, maka dengan
sendirinya jaminannya juga hilang. Selain sanksi utama berupa hukuman mati, pelaku
riddah diberikan juga sanksi tambahan yaitu berupa hilangnya hak kepemilikannya
terhadap hartanya. Seperti dalam hal pembagian harta warisan, tidak boleh saling
mewarisi antara anak dengan ayah, ibu, suami dengan istri karena ada perbedaan
agama.

Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi`i dan Imam Malik hilangnya
kepemilikan terhadap hartanya terhitung sejak pelakunya berbuat riddah. Penerapan
hukuman mati terhadap orang yang keluar dari agama Islam (riddah) didasari oleh
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut 2 :
a) Menolak keyakinan yang telah diyakininya, berarti kafir.
b) Menghalalkan yang telah diharamkan oleh Allah dan/atau sebaliknya
mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah.
c) Keluar dari Islam dan menganut agama lain yang diiringi dengan melecehkan
Allah dan melecehkan Rasulullah SAW.
d) Memusuhi dan menentang umat Islam.
e) Menyebarkan kemunkaran dan berbuat kerusakan di dalam masyarakat.
f) Tidak mau bertaubat dan kembali ke jalan Allah. Secara historis, pada masa-masa
awal pemerintahan khalifah Abu Bakar, terjadi peristiwa riddah secara besar-
besaran yang menggoncangkan stabilitas dan eksistensi negara Islam yang telah

2
Muhammad Mutawali, “Murtad: Antara Hukuman Mati dan Kebebasan Beragama”, h. 2-3.

5
dibangun oleh Rasulullah SAW. mana pada saat itu kota Madinah telah menjadi
pusat sistem sosial dan politik, yang di dalamnya agama menjadi bagian penting.

kesetiaan terhadap Islam adalah perbuatan yang dapat melemahkan negara,


karena tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pemberontakan atau pengacauan.
Abu Bakar terpaksa memadamkan pembangkangan itu dengan kekerasan yang dalam
sejarah Islam dikenal dengan sebutan perang Riddah. Peristiwa yang terjadi pada
masa Abu Bakar inilah yang menjadi pijakan pemberlakuan segala macam
konsekuensi hukuman bagi orang-orang yang murtad. Para ulama selalu
mencontohkan apa yang terjadi pada masa Abu Bakar mengenaai riddah sebagai bukti
sejarah awal pemberlakuan hukuman riddah.

Namun pada saat era modern ini, doktrin tersebut mengandung problem untuk
bisa diterapkan. Masyarakat modern akan menentangnya, mereka beranggapan bahwa
urusan memeluk agama adalah urusan pribadi yang termasuk dalam hak asasi setiap
manusia. Siapapun, termasuk doktrin agama, tidaklah boleh melanggar hak asasi
orang lain. Syahrur sebagaimana yang dikutip oleh Zakaria Syafe’i berpandangan
bahwa kriteria satu-satunya untuk mengambil atau tidak hukum-hukum yang terdapat
dalam sunnah Nabi ialah apakah hukum-hukum tersebut seiring ataukah bertentangan
dengan Al-Qur’a dan kenyataan hidup Karena Ketetapan hukum harus memerhatikan
keadaan masyarakat setempat (Sosiologi Hukum).

Seandainya sesuai, maka diambil dan jika bertentangan dengannya harus


dijauhi. Maulana Muhammad Ali sebagaimana yang dikutip oleh Zakaria Syafe’i,
ketika mengomentari hadist “Barangsiapa murtad dari agamanya, bunuhlah dia”,
menyatakan bahwa yang dimaksud dalam hadist tersebut ialah orang yang mengubah
agamanya dan bergabung dengan musuh-musuh Islam, lalu bertempur melawan kaum
muslimin.. demikian kata-kata hadist itu bertalian dengan waktu perang. Wahbah al
Zuhaily sebagaimana yang dikutip oleh Zakaria Syafe’i menyebutkan bahwa dasar
dibunuhnya orang yang murtad adalah memerangi dan menentang umat Islam,
menyebarkan kekafiran dan kemunkaran, perencanaan niat busuk, dan berbuat
kerusakan di muka bumi. Jadi jika perbuatan riddah itu tidak menimbulkan efek
negatif lainnya seperti menyebarkan kemunkaran, memerangi umat Islam, atau
berbuat kerusakan

6
Tidak mengherankan jika ulama kontemporer mempunyai pandangan lain,
bahwa sesungguhnya perbuatan riddah itu sama sekali tidak termasuk pada klasifikasi
jarimah hudud, sebab di samping tidak bersandarkan kepada nash Al- Qur’an, juga
sangat bertentangan dengan fakta historis, bahwa Islam sejak 14 abad yang lalu telah
menegaskan dan mengumandangkan pluralisme beragama, kebebasan memilih agama,
dan toleransi beragama yang mana telah dipraktekan oleh nabi Muhammad SAW.3

B. Pemberontakan (Bughat)
1. Pengertian
Pemberontakan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan
sebagai proses, cara, perbuatan memberontak, dan penentangan terhadap kekuasaan
yang sah. Terdapat beragam pendapat antara para mujtahid dalam memberikan
terminologi mengenai pemberontokan, antara lain4
a. Ulama Malikiyah : Pemberontakan adalah menolak untuk tunduk dan taat kepada
orang yang kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam maksiat,
dengan cara menggulingkannya disertai dengan alasan-alasan tertentu.
b. Ulama Hanafiyah : Pemberontakan adalah keluar dari ketaatan kepada imam
(kepala negara) yang benar (sah) dengan cara yang tidak benar (sah).
c. Ulama Safi’iyah dan Hambali : Pemberontakan adalah keluarnya kelompok yang
memiliki kekuatan dan pimimpin yang ditaati, dari kepatuhan kepada kepala
negara (imam), dengan menggunakan alasan (ta wil‟ ) yang benar.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana dan Pembuktian


Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu kejatahan pemberontakan
dalam tindak pidana Islam bila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1) Pembangkangan terhadap kepala Negara Untuk terwujudnya jarimah
pemberontakan disyaratkan harus ada upaya pembangkangan terhadap kepala
negara. Yang dimaksud membangkan disini adalah menentang kepala negara
dan berupaya untuk memberhentikannya, atau menolak untuk melaksanakan
kewajiban sebagai warga negara. Kewajiban atau hak tersebut bisa
merupakan hak Allah yang ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, dan
3
Muhammad Mutawali, “Murtad: Antara Hukuman Mati dan Kebebasan Beragama”, h. 9-10.
4
Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam): Memahami Tindak Pidana Dalam Hukum Islam, h. 178 179.

7
bisa juga berupa hak individu yang ditetapkan untuk kepentingan perorangan
(individu). Seperti contoh penolakan untuk membayar tetapi menurut imam
hanafi, mereka itu sudah dianggap sebagai pemberontak. Hal ini karena
menurut imam Hanafi pemberontakan itu dimulai sejak mereka berkumpul
untuk menghimpun kekuatan dengan maksud untuk berperang dan
membangkang terhadap imam, bukan menunggu sampai terjadinya
penyerangan secara nyata, dengan situasi yang seperti itu dikhawatirkan lebih
sulit untuk menolak dan menumpasnya.5
2) Adanya Niat Melawan Hukum Untuk terwujudnya tindak pidana
pemberontakan, disyaratkan adanya niat untuk melawan hukum dari mereka
yang membangkang. Unsur ini terpenuhi apabila seseorang bermaksud
menggunakan kekuatan untuk menjatuhkan imam atau tidak mentaatinya.
Apabila tidak ada maksud keluar dari imam atau tidak ada maksud
menggunakan perbuatan melawan hukum, maka perbuatan pembangkang itu
belum dikatagorikan sebagai pemberontak. Untuk bisa dianggap keluar dari
imam, disyaratkan bahwa pelaku bermaksud untuk mencopot
(menggulingkan) imam, atau tidak mentaatinya, atau menolak untuk
melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh syara’. Dengan demikian,
apabila niat atau tujuan pembangkangannya itu untuk menolak kemaksiatan,
pelaku tidak dianggap sebagai pemberontak. Apabila seorang pembangkang
tidak melakukan jarimah sebelum mugholabah (penggunaan kekuatan) atau
setelah selesainya pemberontakan maka disini tidak diperlukan adanya niat
untuk memberontak, karena dalam hal ini ia tidak dihukum sebagai
pemberontak melainkan sebagai jarimah biasa.6

Sanksi Bughat tidak dihukumi sebagai kafir sehingga kepada para pelaku
bughat wajib dituntun kepada kebenaran dengan cara mengajak mereka kembali taat
Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam) kepada imam/pemimpin. Usaha
mengajak mereka kembali taat dilakukan dengan cara bertahap, yaitu dari cara yang
paling ringan hingga diperangi. Dalam menentukan sanksi bagi bughat dibagi menjadi
tiga bentuk, yakni Pertama, bughat yang melakukan tindak pidana yang berkaitan
langsung dengan pemberontakan.. berbagai tindak pidana yang muncul sebagai
5
Imam Maulana, “Sanksi Bughat dan Makar: Menurut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif”,h. 33-34.
6
Umi Habibah, “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak Pidana Pemerasan dan Pengancaman Dengan Nista” h. 35-36.

8
bentuk pemberontakan terhadap pemerintah, seperti perusakan fasilitas publik,
pembunuhan, penganiayaan, penawanan, dan lain sebagainya. Sebagai konsekuensi
dari berbagi kejahatan yang langsung berkaitan dengan pemberontakan tersebut, maka
bughat mendapat hukuman mati (jarimah hudud).

Akan tetapi, jika pemimpin/imam memberikan pengampunan (amnesti), maka


bughat akan mendapatkan jarimah ta’zir. Kedua, bughat yang melakukan tindak
pidana yang tidak berkaitan langsung dengan pemberontakan.. berbagai tindak
kejahatan yang tidak ada korelasinya dengan pemberontakan, tapi dilakukan pada saat
terjadinya pemberontakan atau peperangan. Beberapa kejahatan tersebut seperti
minum- minuman keras, zina atau perkosaan, pencurian, dan lain sebagainya. Ketika
beberapa perbuatan tersebut dilakukan, maka bughat akan mendapatikan jarimah
hudud dan hukuman sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Selanjutnya yang
ketiga, bughat yang tidak memiliki kekuatan pasukan maupun kekuatan senjata dan
tidak memiliki daerah pertahanan yang mereka gunakan untuk berperang, maka
pemerintah boleh menahan atau memenjarakan mereka sampai mereka kembali taat
dan taubat. Sedangkan bughat yang memiliki kekuatan pasukan maupun kekuatan
senjata dan memiliki suatu daerah pertahanan yang mereka gunakan untuk berperang,
maka pemerintah boleh memerangi mereka.

Dalam penerapan pertanggung jawaban perdata terdapat perbedaan pendapat


dikalangan ulama mazhab. Imam Hanafi berpendapat tidak ada pihak. Untuk
menentukan hukum dalam Islam, selain pertimbangan nash, juga ada kaidah fiqh yang
bisa menjadi pedoman. Salah satu kaidah fiqh tersebut adalah maslahat mursalah,
yakni menetapkan hukum dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan (secara
eksplisit) dalam Al-Quran maupun Al-Hadist, dengan pertimbangan untuk
kemaslahatan atau kepentingan hidup manusia yang bersendikan pada asas menarik
manfaat dan menghindari kerusakan.

Prinsip ketaatan terhadap penguasa yang sah merupakan salah satu hal penting
dalam kepemimpinan. Ketaatan di sini bisa bermakna tidak keluar untuk mengangkat
senjata, meskipun tidak sesuai dengan aspirasinya. Prinsip ketaatan ini untuk menjaga
kelangsungan sistem sosial agar tidak terjadi anarki. Kalau ingin melakukan
perbaikan, dalam bahasa Imam al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Nur Kholik

9
Ridwan disebutkan, untuk membangun sebuah bangunan, tidak perlu merobohkan
sebuah kota. Meski begitu, tidak semua jenis perlawanan terhadap pemerintah yang
sah harus dikategorikan sebagai pemberontak. Ini sudah sangat jelas. Kritik, misalnya,
tidak bisa semena-mena dikategorikan sebagai pemberontakan.

Kritik harus dipandang sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Sebagai
amar ma’ruf nahi munkar, kritik bisa juga dalam bentuk sebuah demonstrasi. Sebagai
bentuk amar ma’ruf, kritik dan upaya perbaikan juga harus dilakukan secara
berjenjang dan mempertimbangkan posisi: apabila seseorang memiliki kekuasaan,
maka ia harus bisa mengubah keadaan dengan kekuasaannya. Bila hanya mampu
dengan lisan, maka perbaikan harus dilakukan dengan lisan. Bila hanya mampu
dengan do’a, maka perbaikan mungkin dilakukan dengan doa. Yang terakhir adalah
selemah-lemah iman. Jadi, sangat jelas bughat hukumnya harus diperangi. Tapi,
bughat harus dibedakan dengan kritik dan amar ma’ruf atas penguasa. Dan, kritik
sendiri tidak bisa dikategorikan sebagai bughat sejauh tidak memenuhi tiga syarat.
unsur- unsur tindak pidana bughat di atas.

10
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Had
secara bahasa adalah pemisah antara dua hal supaya tidak bercampur dengan yang
lainnya, atau batasan antara satu dengan yang lainnya, atau pemisah antara dua hal
yang sudah mempunyai batas seperti pemisah antara yang halal dan yang haram. Had
yang dimaksud adalah hukuman yang telah ditentukan batas, jenis dan jumlahnya, dan
hukuman itu merupakan hak Allah dengan pengertian bahwa hukuman tersebut tidak
bisa ditambah, dikurangi oleh siapapun, dan tidak mempunyai batas tertinggi atau
terendah. Juga yang dimaksud dengan hak Allah di sini adalah setiap hukuman yang
dikehendaki oleh kepentingan umum untuk memelihara ketenteraman dan keamanan
masyarakat.

11
DAFTAR PUSTAKA

Reni Surya, “Klasifikasi Tindak Pidana Hudud dan Sanksinya dalam Perspektif
Hukum Islam”, Jurnal HukummKeluarga dan Hukum Islam, Volume 2,
Nomor 2, Juli-Desember
Imam Maulana, “Sanksi Bughat dan Makar: Menurut Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Positif”.
Umi Habibah, “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak Pidana Pemerasan
dan Pengancaman Dengan Nista.
Muhammad Mutawali, “Murtad: Antara Hukuman Mati dan Kebebasan Beragama”,
Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam): Memahami Tindak Pidana
Dalam Hukum Islam,

12

Anda mungkin juga menyukai