Anda di halaman 1dari 20

Problematika Dakwah

(Syaikh Muhammad Sayyid Romadhon Al-Bauti)

Permasalahan Pertama, yakni Persoalan Mengkafirkan Manusia

Ini adalah salah satu masalah paling penting yang muncul dari psikologi manusia yang
belum bisa dikendalikan oleh mereka sendiri yang tidak sesuai dengan keilmuan dan hukum-
hukum kitab Al-Qur’an dan Sunnah.

Jadi itu sebagai pengantar saja bahwa pada bab ini akan dijelaskan beberapa kaidah
untuk mempertemukan pendapat ulama salaf dengan pendapat ulama kontemporer, kecuali
Khawarij yang telah ijma’ sepakat untuk mengenakan (menghukumi) mereka dengan istilah
menyimpang dan keluar dari apa yang dikehendaki oleh nash Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini
adalah dasar dimana orang dapat dikategorikan antara Islam dan kafir. Perilaku yang
mencerminkan kafir, tentang perbedaannya dan banyaknya hal lain, tidak diluar dari ketiga
jenis berikut:

Jenis yang pertama yakni keyakinan. Seperti seseorang yang mengingkari sesuatu dari
rukun iman atau Islam, menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal dari apa apa
yang kita ketahui dari agama.

Seperti mengingkari ke-Esahan Allah, hari kebangkitan, surga dan neraka, persoalan
kewajiban untuk shalat, puasa atau zakat atau haji, atau mengingkari pengharaman zina atau
riba dalam bentuk yang mutlak dan umum.

Jenis yang kedua yaitu perbuatan. Ukuran perbuatan yang mengkafirkan adalah
menyangkal dzat yang ada dengan menunjukkan sesuatu yang bertentangan dengan rukun
iman. Seperti menyembah patung (berhala), menempatkan salib di leher, atau mencium salib
tersebut, dan seperti berpakaian dengan pakaian yang dikhususkan untuk pengikut agama lain,
atau yang memiliki tanda sebagai agama lain, karena sesungguhnya perbuatan-perbuatan ini
memiliki tanda yang jelas, dan tidak lebih sedikit dari tanda-tanda dalam bentuk ucapan, dan
maksud dari contoh yang pertama adalah keyakinan terhadap ketuhanan suatu patung yang
mereka sembah, dan keyakinan terhadap penyaliban nabi Isa as pada contoh kedua, dan
seterusnya.
Kemudian sungguh perbuatan yang mengkafirkan ini semata-mata hanya perbuatan
manusia yang murni dari kehendak dan pilihannya. Sama saja maksudnya (perbuatan itu)
terpikirkan atau tidak.

Jenis ketiga yaitu segala hal yang mencakup kata-kata celaan atau hinaan. Standarnya
adalah dengan mencela prinsip-prinsip dan hukum-hukum orang-orang yang mengkafirkan
(hukum atau prinsip) itu dengan mengingkarinya. Seperti mencela perbuatan shalat atau haji
atau surga atau neraka. Mencela dan menghina Al-Qur’an atau salah satu rasul atau nabi, atau
Fiqih Islam pada umumnya, atau menghina syair-syair terkemuka bagi Islam, seperti adzan di
Masjid, dzikir-dzikir dan sebagainya.

Apabila seseorang belum tercampur dengan sesuatu dari ketiga jenis perilaku di atas,
maka dia adalah Muslim dan tidak boleh ditakfirkan. Begitu pula jika kita berada dalam
keraguan atas tersifatinya dengan salah satu dari perkara-perkara diatas, karena sesungguhnya
asalnya adalah terlepas dari perkara tersebut, tidak boleh menghukuminya dengan sebaliknya
dan keluar dari Islam kecuali bersandarkan pada dalil atau tanda-tanda yang berkeyakinan
terhadap hal tersebut.

Mari kita ambil kaidah ini dan menyetujuinya atas permasalahan yang ada saat ini dan
terjadi disekitarnya seperti banyaknya kejadian yang diperbincangkan manusia terkait perkara
dakwah Islam. Kecuali permasalahan bagi siapa yang belum menghukumi dengan apa yang
Allah swt turunkan, apakah kembali menjadi kafir dengan diwajibkan kaidah ini atau tidak?

Agar jawabannya menjadi jelas, maka kita harus mempersoalkan tentang arti
“menghukumi selain apa yang Allah turunkan”, maka apakah artinya?

Artinya menentukan sesuatu dan menetapkan apa yang bertentangan dengan apa yang
Allah swt syariatkan. Sama seperti menentukan sesuatu terhadap manusia dalam hak-hak atas
dirinya, atau dalam hak keluarganya, atau dalam hak teman-temannya atau sahabatnya, atau
hak umat dan masyarakatnya.

Maka bagi yang memvonis dengan keluarnya istri atau anak perempuannya yang sudah
baligh dengan tidak tahu malu dan tidak rendah diri dengan menyembunyikan Islam, maka ia
menghukumi tidak dengan apa yang Allah swt turunkan. Dan bagi yang memvonis dengan
menegakkan satu kemunkaran diantara banyaknya kemunkaran di kampungnya, maka ia
menghukumi tidak dengan apa yang Allah swt turunkan. Anggota masyarakat yang bermukim
dan mengulangi transaksi disertai riba karena sejalan dengan Undang-Undang masyarakat
mereka, maka mereka menghukumi tidak dengan apa yang Allah swt turunkan. Dan hakim
yang memvonis dalam suatu masalah tidak dengan apa yang Allah swt perintahkan, maka ia
menghukumi tidak dengan apa yang Allah swt turunkan. Dan hakim (yang lebih tinggi) yang
membenarkan apa yang telah disahkan oleh hakim ini, maka ia menghukumi tidak dengan
hukum Allah swt.

Setiap manusia yang disebutkan diatas, dan contoh-contoh mereka yang tidak kami
sebutkan panjang lebar, mereka yang menghukumi tidak dengan apa yang Allah swt turunkan.
Dan tidak akan ditemukan motif apapun untuk membedakan antara mereka dengan yang lain.

Maka, kita kembali kepada persoalan kita: apakah orang-orang yang disebutkan diatas
dengan motif dan perilaku-perilaku mereka di sebuah daerah yang murtad dan kafir,
mengeluarkan mereka dari kebaikan Islam?

Jawabannya, sesungguhnya perilaku-perilaku ini berdasarkan batasan dzatnya, tidak


termasuk kedalam jenis pertama dari hal-hal yang mengkafirkan yaitu keyakinan. Namun, tidak
terkecuali pada perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan.

Dan tidak pula termasuk kedalam jenis yang kedua, dan tidak juga ke dalam jenis yang
ketiga dari hal-hal yang mengkafirkan. Sebagaimana telah dijelaskan perbandingannya.

Jadi kami berpendapat bahwa, jika digabungkan orang-orang yang menghukumi tidak
dengan apa yang Allah swt turunkan, bukti yang nyata atas pengingkaran keyakinan, atau
hinaan dan kebencian, terhadap hukum yang berkaitan dengan kelima rukun Islam atau hal-hal
yang telah disepakati diketahui dan dibutuhkan dalam agama – maka sesungguhnya hal
tersebut termasuk pengkafiran, dan mengkafirkan orang yang berbuat dan berperilaku tersebut.

Tetapi jika tidak digabungkan dengan bukti-bukti nyata atas sifat-sifat mereka yang
telah disebutkan, maka sesungguhnya perkara tersebut cukup berpotensi kepada pengkafiran
tersebut dengan motif menghinakan, atau pemuasan atas keinginan dan angan-angan belaka,
tidak dengan motif ingkar. Dan jika hanya terdapat kemungkinan-kemungkinan tanpa ada
bukti-bukti, maka tidak boleh menghukuminya dengan takfir.

Oleh karena itu, dapat diketahui bahwasanya tidak boleh mengkafirkan salah satu dari
kaum muslimin yang kita lihat mereka sedang menyepakati perkara mereka atau perkara orang-
orang dengan tidak berlandaskan syari’at Allah, hanya semata-mata karena mereka berbuat
demikian. Demikian sama halnya dengan mereka melakukannya dibawah naungan kekuasaan,
atau di rumah-rumah mereka diantara keluarga mereka. Atau dalam sistem mereka dan keadaan
kemasyarakatan mereka yang terdesak.

Dan mereka yang berpegang teguh pada hukumnya mengkafirkan manusia, Allah swt
bersabda dalam surat Al-Maidah: “Barang siapa yang tidak menghakimi apa yang wahyukan
Allah, bagi mereka termasuk orang-orang kafir, dan barang siapa yang tidak menghakimi apa
yang diwahyukan Allah, bagi mereka termasuk orang-orang dzalim, dan barang siapa yang
tidak menghakimi apa yang diwahyukan Allah, bagi mereka termasuk orang-orang yang fasik.”
(Ayat 48, 49, dan 50).

Maka dapat diketahui bahwa ketiga ayat tersebut turun dan disepakati para mufassir
dan ulama hadits yang berpendapat pada hakikatnya orang-orang Yahudi juga berhukum
kepada Rasulullah dalam menegakkan had (batas hukuman) zina kepada wanita yang berzina,
atau didalam hukum cambuk orang Yahudi, yang mana seperti mewajibkan untuk merajamnya.
Salah satu dari mereka ada yang berselisih, “Apakah hal ini termasuk dalam hukum Allah swt
seperti apa yang kamu ketahui?”, maka pemahaman orang-orang Yahudi yang mudah berubah.
Diriwayatkan oleh imam muslim didalam hadits shahihnya, Ahmad, Abu Daud, Ibn Jarir,
semuanya dari Bara’ bin ‘Azzaib. Dan diriwayatkan Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar
ra, Abu Daud dari Zaid bin Aslam dari Ibn Umar, dan zahri murtsal yang tidak bisa disebutkan
satu persatu, dan semua yang termasuk mereka.

Kemudian para ulama berselisih akan didalam kalam Allah pada tiga ayat terakhir;
“Barang siapa yang tidak menghakimi apa yang Allah wahyukan, bagi mereka termasuk orang-
orang kafir, orang-orang dzalim, dan orang-orang fasik”. Apa maksud dari orang Yahudi
terhadap turunnya ayat-ayat tentang hak mereka, atau apa yang mereka maksudkan termasuk
gambaran secara umum dan meluas?

Abdullah bin Abbas ra, semoga Allah Swt senang terhadap mereka, bahwasanya
menyimpulkan:

Apa yang dimaksud masyarakat umum, selain orang-orang Yahudi, menyangkal


terhadap deskripsi kekafiran kepada siapapun yang tidak menghukumi sebagaimana yang
Allah turunkan, dan mendeskripsikan dzalim dan fasik dari apa yang dipahaminya, akan tetapi
lalai atau lebih memenuhi keinginannya.

Dan dimaksudkan orang-orang Yahudi selain mereka, dan semua dalam kategori
deskripsi dari kafir, dzalim, dan fasik terutama dengan turunnya ayat tentang hak mereka, dan
termasuk didalamnya secara umum siapa yang dimaksud kafir. Kemudian dipilihlah setelah
berulang kali ini dimaksudkan untuk mendeskripsikannya dari tiga ahli kitab tentang turunnya
ayat tentang kebenaran mereka, atau siapapun yang tidak menghukumi apa yang Allah
turunkan dengan menyangkal dan mengingkari akan syair-syair orang-orang kafir.

Ini diriwayatkan Ibn Jarir dan selain dari dirinya, Ali bin Talhah dari Ibn Abbas.

Dan diriwayatkan pula oleh Ibn Abbas, Jabbar bin Zaid, dan Ibn Shabarramah dan
masyarakat, deskripsi orang-orang kafir pada ayat pertama ditujukan pada orang-orang
muslim, deskripsi orang-orang dzalim yang kedua ditujukan pada orang-orang Yahudi, dan
deskripsi orang-orang fasik yang ketiga ditujukan pada orang-orang Nasrani. Mereka
mengatakan bahwa orang-orang Muslim yang menjadi kufur bukanlah kafir yang menyebut
tentang agama, akan tetapi mereka kafir tanpa kekufuran, kecuali menghukumi selain apa yang
Allah turunkan kepadanya. Hal itu merupakan kekafiran yang nyata yang disebut murtad.

Jika Anda memikirkan apa yang kami jelaskan, dari perkataan yang dimaksud ulama
yang ada pada tiga kalimat ini, (ini merupakan ulasan dari semua yang dikatakan para ulama)
saya belajar bahwa mereka semua sepakat bahwa Muslim seharusnya tidak dihakimi atas
kekufurannya hanya karena hukumnya selain apa yang diturunkan Allah swt. Kembali pada
tiga kalimat ini, terutama turunnya ayat tentang hak mereka atau masyarakat umum. Tetapi,
inilah masalah pengkafiran atas hal apapun, ketidaktahuan dan pengingkaran seperti yang saya
saksikan.

Tidak ada perselisihan pada ketentuan yang telah disepakati kecuali satu kelompok,
mereka adalah orang-orang Khawarij yang tertutup dan menentang Ijma’, yang mengkafirkan
orang-orang Muslim yang melakukan dosa besar.

Dan ini, tanda-tanda dari kesepakatan seluruh ulama Muslim yang dimulai pada masa
Sahabat, tak terkecuali mereka. Kemudian tanpa mereka dalam menafsirkan ketiga ayat ini,
dan penciptaan penafsiran yang baru, mereka menyatakan bahwa siapa pun yang tidak
membenarkan apa yang telah diturunkan Allah swt, maka dikatakan kafir secara mutlak –
menyimpang dari kewajiban untuk mentaati kaidah-kaidah yang diketahui dan disepakati
dalam penafsiran Al-Qur’an, dan tidak akan ditemukannya kebenaran mereka selain kebenaran
yang ada dalam kitab Allah Yang Maha Kuasa.

Apabila ini telah jelas, maka sesungguhnya kita melihat ke dalam status yang
diputuskan dalam suatu perkara, tanpa melibatkan syari’at Allah Swt. Maka apabila muncul
bagi kami dari perkataannya atau keadaannya bukti-bukti yang kuat atas pengingkarannya
terhadap syari’at Allah Azza Wa Jalla, atau terhadap penghinaan baginya, maka hukumnya
berkaitan dengan salah satu dari rukun Islam atau dari hal-hal yang telah diketahui dari agama
secara jelas. Maka sesungguhnya dia mengingkari janjinya, dan mengingkari pengakuan
dengan perbuatan seperti itu, sama seperti orang tua dalam sebuah keluarga, atau partisipator
dalam sebuah organisasi, atau seorang yang tidak memenuhi hak terhadap dirinya, atau seorang
hakim dalam sebuah mahkamah, atau seorang pemimpin dalam sebuah negara. Tanpa pembeda
satu sama lain.

Namun, apabila belum tampak bukti-bukti yang kuat atas penghinaannya atau
pengingkarannya, atau perkara ini berkaitan dengan hukum yang tidak diketahui dengan jelas
dalam agama, maka harus dihadapi dengan susah payah, atau tidak tampak kecuali orang-orang
yang memiliki pengetahuan pada bidangnya. Maka sesungguhnya tindakan ini semata-mata
hanya agar tidak diasumsikan kalau kita menghukumi karena banyaknya pemberontakan dan
kedurhakaan.

Maka bertakwalah kepada Allah, orang-orang yang mengambil resiko dalam


menetapkan adanya hukum Allah Swt dengan mengkafirkan setiap orang yang tidak
menghukumi dengan apa yang Allah turunkan, tanpa mengembalikannya kepada standar-
standar tersebut dari petunjuk ilmu dan kaidah-kaidahnya, dan perhatikanlah ketegangan
dirinya di belakang amarah yang tidak dihukumi oleh metode Islam dan standar-standarnya.
Dan tidak menuju kepada Allah yang Maha Esa.

Dan diantara petunjuk yang jelas ini yaitu kecurigaan tersebut, sesungguhnya mereka
membayangkan kepada penetapan dengan tidak menggunakan apa yang telah Allah turunkan
kecuali dengan satu maksud, yaitu tidak ada selainnya dalam mentakfirkan mereka, kecuali
seorang pemimpin tertinggi yang menetapkan kepada kaumnya atau bangsanya, maka ia
menghukuminya atas syari’at Allah Azza Wa Jalla.

Sedangkan apa yang menjadi tujuan orang-orang pada umumnya dalam rumah-rumah
mereka dan bersama keluarga mereka atau kerabat mereka atau organisasi mereka, dari adanya
kemaksiatannya, apabila mereka mengikat perkara mereka atau perkara orang yang
mendominasi mereka yang bertentangan dengan syari’at Allah – maka mereka terbebas dari
dosa kekafiran dan kemurtadan, dan mereka tidak masuk dalam hukum yang tidak disertai
dengan apa yang Allah turunkan.

Kenapa? Dan bagaimana muncul perbedaan ini? Kami tidak tahu.


Dan sungguh saya akan menyebutkan sebuah janji yang telah dilalui oleh negara ini.
Duduk bersila didalamnya diatas kursi hukum, menteri keadilan, orang-orang yang masih
bersaksi dengan agama dan Islam, dan bersaksi sebelum kami, mereka adalah orang-orang
yang mengkafirkan diri mereka sendiri. Dan mereka menjatuhkan hukuman kepada mereka,
seperti yang mereka lakukan sebelumnya, dan setelahnya. Tanpa hukum yang Allah turunkan,
dengan banyaknya permasalahan dan perkara, bisakah mereka ditetapkan sebagai kafir, dan
keluarnya mereka dari Islam, seperti menetapkan hukum orang-orang sebelum mereka dan
orang-orang yang datang setelah mereka dalam kebenaran? Dan apa yang membedakan dari
kekurangan disini dan kemuliaannya, hingga dirinya menuduh adanya kekafiran ini tanpa
memandang kebenarannya.

Apabila penengah dalam hal ini adalah syari’at Islam, dan Rasulullah Saw adalah suri
tauladan bagi kita dalam perkara ini, maka kepadanyalah intisari petunjuk Nabi Saw dalam
masalah ini:

Diriwayatkan oleh Syaikhoni (Bukhori dan Muslim) dari ’Ubadah bin Shamit ra,
sesungguhnya dia berkata:”Rasulullah Saw memanggil kami, lalu beliau membai’at kami.
Diantara yang beliau tekankan kepada kami adalah agar kami selalu mendengar dan taat
(kepada penguasa) dalam keadaan suka maupun tidak, dalam kesulitan ataupun kemudahan,
bahkan dalam keadaan penguasa mengurus kepentingannya kamu sekalipun (tetap wajib taat).
Dan tidak boleh kami mempersoalkan suatu perkara yang berada di tangan ahlinya
(penguasa). Selanjutnya beliau bersabda; “kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas
dan kalian memiliki bukti yang nyata dari Allah dalam hal itu”.”

Dan diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, dan Abu Daud. Dari Usamah bin
Zaid ra berkata: “Rasulullah Saw mengutus kami bersama pasukan kecil, maka kami pun
menyerang beberapa wilayah dari qabilah Juhainah, maka aku pun berhadapan dengan
seseorang, kemudian dia mengucapkan “La ilaha Illallah”, namun aku tetap menikamnya.
Namun setelah itu aku merasa tidak enak akan hal itu, maka aku pun menceritakan hal ini
kepada Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw bersabda; “Apakah ia mengucapkan La ilaha
Illallah lantas engkau tetap membunuhnya?”, Aku berkata, “Ya Rasulullah dia
mengucapkannya hanya karena ia takut pedangku!”, Rasulullah Saw bersabda; “Mengapa
engkau tidak membelah hatinya hingga engkau tahu bahwa dia mengucapkannya karena takut
atau tidak?”, maka Nabi Saw terus mengulang-ulang perkataannya kepadaku hingga aku
berangan-angan seandainya aku baru masuk Islam saat itu.”
Dan Usamah bin Zaid membenarkan dari Rasulullah Saw bahwa sesungguhnya Allah
Swt telah mengetahui sifat nifaq pada orang-orang munafiq dan orang-orang yang berjuang
dalam agama Islam diantara para sahabat, dan meskipun begitu, Allah enggan untuk
memperlakukan mereka kecuali dengan perlakuan terhadap kaum muslimin. Dan mengadzab
mereka dengan keadaan yang tampak.

Dari Umar bin Khattab telah memohon kepada Rasulullah Saw untuk mengizinkan
dirinya membunuh Abdullah bin Abi Salul, namun beliau tidak mengizinkan. Dan datang
Abdullah bin Abi Salul meminta izin kepada Rasulullah Saw untuk membunuh ayahnya.
Ketika dia ingin meminta maaf dari tanda-tanda nifaq pada perang Murisi’, maka Rasulullah
Saw menolak dan bersabda: “Tapi pergaulilah dia dengan ramah dan berbuat baik kepadanya.
Semua yang dilakukannya benar, karena Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam hati dan
dalam diri mereka. Lalu bagaimana cara kita untuk menembus ke dalam hati mereka dari apa-
apa yang terlihat bertentangan dengan mereka?”

Dan Rasulullah Saw mewajibkan para sahabat untuk memutuskan perkara dengan
keputusan dari apa-apa yang tampak bagi mereka. Dan menyerahkan perkara-perkara yang tak
terlihat kepada Allah Azza Wa Jalla.

Ini semua seperti apa yang telah diriwayatkan oleh Muslim dan yang lainnya dari hadits
Ibnu Umar ra. Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Jika seorang laki-laki telah
memaafkan kesalahan saudaranya, maka ia telah kembali kepada salah satu darinya.”

Imam Syafi’i ra telah menjelaskan panjang lebar dalam kitabnya “Al-Umm”, dalam
menjelaskan ini, Allah Swt mewajibkan kepada hambanya untuk bermu’amalah diantara
mereka dalam hal-hal yang didasarkan kepada kehidupan dunia. Dan kepadanya dapat
disimpulkan apa yang dikatakannya dalam hal tersebut.

Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada makhlukNya untuk taat kepada Nabi-Nya,


dan tidak menjadikan baginya sesuatu apapun. Dan lebih utama untuk tidak mengambil
keputusan ketika salah satunya tidak ada, tidak dengan bukti-bukti dan prasangka, untuk
mengabaikan pengetahuan mereka dari pengetahuan para nabi yang diwajibkan oleh Allah
terhadapnya untuk berhenti dari apa-apa yang datang kepadanya, hingga datang kepada mereka
suatu perkaraNya. Karena sesungguhnya Dia Maha Besar lagi Maha Perkasa, yang
menunjukkan kepada mereka alasan-alasan pada apa-apa yang menjadikan hukum kepada
mereka di dunia. Dengan tidak memutuskan sebuah hukum kecuali dengan hal-hal yang
tampak dari seseorang yang diberikan keputusan hukuman, dan tidak melampaui kebaikan
yang tampak olehnya, maka Allah mewajibkan kepada Nabi-Nya untuk memerangi orang-
orang yang menyembah berhala, hingga mereka masuk Islam. Dan menumpahkan darah
mereka jika memerangi Islam, kemudian menjelaskan tentang Allah dan RasulNya,
sesungguhnya rahasia-rahasia mereka tidak akan diketahui ketika mereka mempercayai Islam
kecuali Allah mengetahuinya...Malik memberitahukan kepada kami dari Ibnu Syihab dari
‘Atha bin Yazid Al-Laitsi dari Ubaidillah bin Adi ibnu-i-khiyar, sesungguhnya seorang laki-
laki berjalan kepada Nabi Saw, kami tidak mengetahui apa yang menyebabkan dia berjalan
kepada Rasulullah hingga Rasulullah menampakkan diri, dan dia berdiskusi dengan Rasulullah
dalam perkara memerangi seorang laki-laki dari kaum munafik. Maka Rasulullah bersabda;
“Bukankah dia bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah?”, dia berkata; “Tentu saja, dan
tidak ada syahadat baginya.” Maka Rasulullah Saw bersabda lagi; “Bukankah dia shalat?”,
dia berkata; “Tentu saja, tapi tidak ada shalat baginya.” Dan Rasulullah Saw bersabda;
“Merekalah orang-orang yang Allah larang kepadaku untuk memeranginya...” Kemudian dia
berkata; “Dan oleh sebab itu, keputusan-keputusan Rasulullah Saw dalam hal hukum-hukum
dan semua hak seorang hamba telah berlalu, dan mengajarkan mereka bahwa sesungguhnya
semua keputusan-keputusannya atas apa-apa yang tampak pada mereka, dan sesungguhnya
Allah yang mengetahui apa-apa yang tidak tampak. Maka barang siapa yang membuat
keputusan hukum kepada manusia dengan bertentangan dari apa-apa yang tampak bagi
mereka, dari bukti-bukti yang ditampakkan, yang berpotensi kepada yang tidak ditampakkan,
dengan bukti dari mereka atau tanpa bukti sekalipun, maka tidak akan aku selamatkan karena
menentang Al-Qur’an dan Sunnah.”

Hal ini telah dijelaskan Imam Syafi’i ra secara panjang lebar, dengan mempertemukan
kesepakatan semua pemimpin dengan ahli agama kecuali kaum Khawarij.

Maka bertaqwalah kepada Allah, wahai orang-orang yang bertentangan dengan apa
yang Allah tentukan dan Hadits rasul-Nya, dan kesepakatan imam Muslim. Untuk memuaskan
hawa nafsunya dalam mengkafirkan orang-orang yang tidak pantas dikafirkan yang mana
sudah jelas taat terhadap Islam sebagai agama Allah swt.

***

Permasalahan kedua: problematika negara kafir dan negara Islam

Permasalahan negara Islam dengan negara kafir muncul dari sebab yang sama, yakni
sebab kebodohan berdasarkan syari’at hukum Islam, kemudian meninggalkan sifat alamiah diri
sendiri, mempertimbangkan apa yang diinginkan atas cara kemurtadan mereka, kemudian
memisahkan hukum yang memberatkan syara’ Islam, negara Allah swt menghukumi apa yang
ada secara keseluruhan selain kafir dan peperangan.

Apakah hakikatnya syara’ hukum didalam persoalan ini?

Perlu untuk diketahui bahwa suatu sebab mereka, atas seruan syari’at para imam
Muslim atas penggolongan negara yang diungkapkan atas dasar dua bagian atau bahkan tiga
bagian. Sungguh sebabnya adalah perlunya menempatkan ukuran yang pasti, bagaimana
negara itu disebut sebagai negara muslim dan bagaimana negara itu disebut sebagai negara
kafir.

identitas pertama : negara Islam

identitas kedua : negara kafir.

Kedua identitas ini ada diantara umat muslim yang disebabkan adanya saling
membunuh, yang bisa disebut sebagai negara peperangan. Atau keduanya dituntut untuk saling
berdamai yang disebut sebagai negara perdamaian.

Sungguh menyangkut pautkan kabar (peperangan) mereka dengan mempelajari hal ini
tentang negara Islam. Jadi, bagaimanakah mengistilahkan negara Islam? Apakah dengan
mengunjungi negara Islam, apa maksud negara kafir dalam ketentuan hukum Islam?

Memenuhi sabda empat madzhab imam, yang disebut sebagai negara Islam, apabila
umat muslim memiliki kedaulatan, sebagaimana kekuasaan mereka itu menampakkan
keislamannya, dan mempertahankan diri dari musuh-musuh mereka. Status tersebut terpenuhi
secara nyata disebabkan dari adanya kemenangan yang memaksa atau secara damai. Untuk
menjadi negara Islam, hukum negaranya harus dipertahankan dan dilindungi, atau pindah dari
tempat itu, kemudian status negara islam ini tidak bisa dipertahankan, dan musuh-musuh yang
mengambil alih kekuasaan mereka, maka diharuskan bagi orang-orang Muslim dalam
melakukan apa saja untuk melindungi negara mereka dan mengusir musuh mereka. Dan
menegakkan hukum Allah didalamnya.

Ibnu Jarir berkata sebagaimana dalam kitabnya Tuhfah al-Muhtaj, mengutip dari ar-
Rafi’ dan ulama ahli fiqih as-Syafi’i: “Sesungguhnya negara Islam ada tiga bagian, bagian
yang ditempati umat muslim. Bagian pertama adanya wilayah yang ditinggali oleh
keluarganya dengan membayar pajak, bagian kedua berdiam diri, kemudian mengalahkan
orang-orang kafir, ar-Rafi’ berkata; “bagian kedua dijanjikan, hanya ada di negara Islam
maka akan berada di bawah perlindungan para imam meskipun tidak dalam keadaan muslim.”

Hal ini telah dijelaskan oleh para imam lainnya: Hambali, Maliki, Hanifah. Mereka
sepakat dalam penamaan negara Islam, dimana umat Muslim memiliki kedaulatan atas diri
mereka sendiri, sehingga orang Muslim dapat menerapkan hukum dan syari’at Islam.
Kemudian, tanda ini tidak dapat dielakkan atau dirubah, baik itu setelah adanya pertentangan,
kelemahan dan sejenisnya. Kecuali pengikut madzhab Abu Hanifah, mereka menegaskan
bahwa negara Islam akan kembali menjadi negara kafir, apabila dalam tiga kondisi; pertama
memasukkan hukum-hukum kafir dan menerapkannya. Kedua, berdekatan (bercampunya)
darul Islam dan darul kufr menjadi satu. Ketiga, tidak tersisa satu pun Muslim di dalam negara
tersebut, baik itu Muslim yang dzimmi ataupun Muslim yang awalnya hidup tentram disana.
Ketiga perkara ini muncul di masyarakat jika mengembalikan negara Islam berdasarkan hal
tersebut – menurut banyaknya pendapat dari madzhab Hanifiyah – kepada negara kafir.

Maka apabila saya memikirkan hal ini, yakni kesepakatan para pemimpin muslim
terhadap makna negara Islam, maka saya bisa mengetahui penerapan hukum-hukum syari’at
wajib yang umum dan terorganisir bagi mereka yang termasuk negara Islam, dan bukanlah
syarat untuk menamakan negara Islam.

Maka lihatlah dari kedua gambaran tersebut, dan kepada dampak kebodohan yang
mencampuri keadaan mereka, dan terbalik dengan perkara-perkaranya dan bertolak belakang
dengan tujuan yang diinginkan.

Dan apabila menggampangkan perkara kebodohan, meskipun permasalahan yang ada


hanya persoalan kebodohan, maka tidak mungkin permasalahan itu akan selesai secara
keseluruhan dengan ilmu.

Akan tetapi yang lebih bodoh adalah keraguan dalam memutuskan sebuah hukum bagi
orang banyak, menjadikan keegoisan (fanatisme) dalam pemikirannya, maka tidaklah
bermanfaat darinya suatu ilmu dan hal-hal yang mengikatnya pada kondisi tertentu.

Kaum muslimin yang mementingkan perkara mereka daripada orang-orang muslim


yang masih tetap berpaling dari setiap hal yang telah disebutkan dan disepakati oleh para imam
terkait makna “negara Islam” dan berusaha untuk meletakkan definisi lain untuk negara Islam
yang disepakati oleh kecenderungan mereka dan keinginan mereka. Yaitu sesungguhnya
negara Islam adalah negara yang masyarakat didalamnya adalah masyarakat muslim, dan setiap
hukum-hukum yang diterapkan didalamnya di ambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
Saw. Apabila tidak sempurna hal-hal tersebut didalamnya, seperti keadaan masyoritas pada
saat ini, mungkin terdapat pada setiap negara-negara Islam, maka ia adalah negara kafir!...ia
adalah negara kafir, dan jika kesepakatan pemimpin muslim semuanya berbeda dengan hal
tersebut, dan belum menemukan seseorang yang mendukung mereka kecuali kaum Khawarij,
yang mengisolasi diri dengan pergi ke suatu negara yang didalamnya terdapat orang-orang
yang melakukan dosa-dosa besar dan beralih dari negara Islam menjadi negara kafir.

Maka demi hal ini, maslahat apa dari maslahat Islam atau dakwah Islam, untuk
mengusir ketidakaturan ini dari jalur Salafusholih dan imam umat Muslim?

Manakah yang benar-benar harus dilaksanakan untuk melakukan kewajiban agama


pada diri kamu? Kami berkata: “Sesungguhnya negara ini menjadi negara kafir, maka kami
beristirahat sejenak dari setiap tanggung jawab, dan kami tidak membawa diri kami untuk
melaksanakan kewajiban mengembalikan tanah kami, dan tidak pula mengusir musuh, dan
tidak menentukan batas kewajiban atau perkara yang baik dan melarang kemunkaran. Dan
tidak dengan mengumpulkan orang-orang dalam keadaan shalat jum’at, atau berkumpul
bermusyawarah untuk perkara Islam, dan orang muslim – atau kami berkata (sebagaimana
yang telah disepakati ulama salaf) sesungguhnya negara ini masih menjadi bagian dari
negara-negara Islam. Karena negara ini telah masuk kedalam kedaulatan dan kekuasaan
kaum muslim, maka karakteristik ini tidak akan hilang sampai hari kiamat. Maka hal ini
menjadi sebuah amanat bagi generasi-generasi selanjutnya, dan kita memiliki izin untuk
memulihkan kembali apa yang telah musuh perbuat didalamnya seperti negeri Palestina dan
sebagainya, dan memerdekakan dari apa yang terjadi didalamnya dibawah kekuasaan
penjajah yang mendominasi, dan kami semua berusaha untuk memperluas koridor hukum
Islam didalamnya dan untuk membangun masyarakat Islami didalamnya?”

Karena sungguh hukum dengan beralihnya negara-negara Islam menjadi negara-negara


kafir atau negara yang diperangi, dan orang-orang berkata bahwa hal ini diperlukan. Maka dia
harus pergi dan pindah ke tempat yang mereka namakan sebagai negara Islam. Maka,
kemanakah mereka akan berpindah?... Dan dimanakah negara Islam yang sesuai dengan
pandangan mereka saat ini?... Apakah memungkinkan untuk mencarinya di seluruh benua
Eropa atau sebagian Amerika?

Kemudian apa yang disebut dengan kemaslahatan dakwah Islam, apakah dengan kita
menyibukkan pikiran pemuda-pemuda muslim dengan permasalahan ini. Atau membiasakan
pikiran-pikiran mereka dengan keyakinan bahwa sebagian besar negara-negara muslim
menjadi negara kafir?... Apa yang memastikan kebenaran dari hasil dakwah Islam dan
petolongan Islam jika bermaksud untuk menumbuhkan ketidakaturan ini, menerima dan
mewarisi adanya kaum Khawarij dalam hal tersebut?... Dan apa yang mereka lewatkan dari
keuntungan-keuntungan tersebut, jika bermaksud untuk berpegang teguh terhadap keyakinan
yang diteguhkan oleh generasi-generasi muslimin sampai sekarang, dan keyakinan mereka
bahwa seluruh dunia akan dimuliakan oleh Allah Swt dengan kemenangan Islam, tidak akan
berbalik darinya kemuliaan ini hingga hari kiamat, dan sesungguhnya kewajiban generasi
muslim adalah untuk menjaga dan melindungi penghargaan dengan menegakkan masyarakat
muslim diatasnya?

Itu adalah sebuah kesalahan, yang mungkin terjadi pada salah satu didalamnya, jika
mengira bahwa kata negara Islam adalah sebuah lambang bagi masyarakat Islam yang
dijadikan sebagai keteladanan dan keputusasaan, dan sesungguhnya para fuqaha bermaksud
mencari makna dari kata (Dar al-Islam) ini. Dan memutuskan, berdasarkan pandangan ini,
bahwa sesungguhnya negara kita saat ini tidaklah seperti tingkatan ini, dan tidak pula
mendekatinya, akan tetapi menjadi negara kafir bukan negara Islam!

Dan jika pendapat ini diketahui, sesungguhnya hal itu tidaklah lebih dari simbol dan
tanda yang membedakan tanah-tanah dan negara yang pernah menjadi milik kaum muslim, dan
didalamnya mereka memiliki kekuasaan atas diri mereka sendiri dan kewajiban keagamaan
mereka, melakukan kewajiban sebagaimana mestinya, dan menegakkan tugas dalam islam oleh
kaum muslim didalamnya – jadi, ketika menemukan kalimat ini di setiap kesempatan, dan
ketika melibatkan dirinya dan melibatkan orang-orang yang tidak tahu, maka tidak perlu
baginya dan tidak ada gunanya.

Akan tetapi, bagaimana dengan keadaan mereka dalam mengetahui kebenaran (hakikat)
dan mereka tidak kembali kepada kebenaran tersebut? Dan bagaimana keadaan mereka yang
menolak, kecuali untuk membuat kesalahan terhadap prinsip-prinsip Islam yang ada pada
pemikiran para generasi muda?

Banyak anak muda yang bertanya di beberapa kesempatan tentang negara Islam dan
negara kafir, apakah mereka hidup di salah satu negara tersebut, atau bahkan keduanya, dan
persoalan ini telah memenuhi pikiran dan hati manusia!... Sedangkan yang lain telah memenuhi
dirinya sendiri sebagai ganti persoalan diatas, seperti membaca al-Qur’an, dan mengetahui
hukum-hukum halal dan haramnya sesuatu, serta tata cara beribadah.
Sesungguhnya pemuda-pemuda sekarang tidak membutuhkan ruang untuk bimbingan
dan dakwah akan keislaman, karena kebanyakan mereka telah mengetahui kebenaran yang
nyata akan Islam dengan logika maupun dalil. Dan mereka jadikan hal itu sebagai sebab
perilaku yang baik dan istiqomah terhadap manhaj Islam yang benar, dan hal tersebut adalah
dengan mengikuti jalan yang telah kami sebutkan sebelumnya.

Dan setiap hal yang memenuhi pikiran mereka belakangan ini adalah hal-hal positif
dari kedengkian, atau hukum-hukum mengkafirkan manusia, atau dari hadits ini tidak
berdampak bagi negara kafir dan negara Islam. Menurut saya, “Semua ini hanyalah permainan
bathil yang tidak memberikan manfaat untuk dekat dengan Allah Swt, dan tidak memperkaya
budaya atau keilmuan, lebih baik menghilangkan hal itu dari hati mereka, dan itu bisa
mengganggu pendapat mereka sehingga tidak bermanfaat untuk diketahui, hal itu bisa
membuang waktu yang berharga karena tidak ada hasil yang baik. Apa yang kemudian lebih
mudah – jika semua ini bisa meningkatkan ketaqwaan mereka dan tetap pada kebenaran –
untuk menjadi murtad dan kembali seperti sebelumnya dalam kekufuran, ketika menghadapi
ujian dan musibah.

Dan Allah Maha Penolong yang memahami dan akan membimbing kita dalam
kebenaran, dan memberikan kita rasa ikhlas untuk menghadapinya.

***

Permasalahan ketiga: Strategi orang Muslim dalam mengurus anak dan keluarga.

Persoalan-persoalan bisa muncul kapanpun dan diketahui sebabnya salah satunya


melalui hati salah seorang didalam anggota keluarga tanpa kekuasaan diri, seperti anak-anak,
dan tetap pada jalan Allah swt dalam kedamaian, wawasan dan pengetahuan. Akan tetapi,
sebagian dari keluarga kebanyakan berlawanan dengan apa yang diturunkan Allah swt.
Bagaimana cara menghadapinya? Bagaimana melakukan kewajiban atas kehendak Allah swt?
Bisakah memutuskan atas pendapat Allah swt karena sebab yang tidak benar (fasik) dan
kejahatan diantara mereka?

Sebagian membahas persoalan ini dalam risalah “Islam dan Permasalahan pemuda”,
tetapi sepertinya masalahnya masih sering terjadi dan Muslim mempertanyakan jalan
keluarnya dalam memecahkan solusinya?

Saya akan mencoba menjelaskan perkara yang ada, sekali lagi, sejauh mana hal itu
terjadi disekitar pemuda, berdasarkan risalah ini dengan jelas dan menyeluruh.
Generasi muda khawatir dari permasalahan fiqih yang menjelaskan perilaku beragama
dalam kewajiban islam, perilakunya pantas menjadi contoh dalam keluarganya yang
menyimpang dari kebenaran – wajib bagi pemuda itu memperhatikan kebijakan syari’at dalam
keluarganya, seperti jenis hubungan antara dirinya dengan keluarganya.

Permasalahannya dibagi menjadi dua jenis;

Yang pertama, hubungan anak-anak dengan orang tuanya. Yang kedua, hubungan
kekerabatan dari kerabat-kerabat, keluarga, satu sama lain, saudara laki-laki dan saudara
perempuannya, sepupu-sepupunya, dan saudara perempuan dari ibu, dan lain-lain.

Jika permasalahan pada jenis pertama, pemuda muslim harus mengikuti cara sebagai
berikut:

Pertama, segera setelah mereka merasakan atau memperoleh hidayah Allah swt di
hatinya, dan mereka sendiri memiliki kecintaan (taat) untuk mengikuti perilaku Islam sesuai
apa yang diperintahkan Allah kepadanya, meningkatkan kebaikan terhadap orang tuanya,
meningkatkan kebaktian dalam melayani dan merawat mereka, dan menjaga keridhoan dari
orang tua, meskipun mereka dalam kesesatan dan ingkar, dan pemikiran mereka tidak sama
atau menolak adanya kebenaran.

Apa yang saya maksudkan dari perkataan ini, dia tidak diperbolehkan untuk berhenti
mengikuti kewajiban yang Allah Swt perintahkan dalam menghadapi orang tuanya. Namun,
diluar hal itu, seperti tidak menganggap itu sebagai permasalahan, dan tidak menempatkan
dirinya pada posisi untuk berdakwah kepada Allah Azza Wa Jalla. Adapun situasi ini, harus
melampaui batasan atas semua hal, baik itu pelayanan, lingkungan keluarga, dan perawatan,
karena dia memiliki misi yang harus dicapai, dan memiliki masalah yang harus dipecahkan.

Kedua, tidak berhenti melayani dan berbuat baik kepada orang tua, situasi tersebut tidak
membuat dirinya di doktrin berada diantara mereka dalam kejahatan (maksiat), jangan
pedulikan itu, berbuat baiklah kepada orang tua.

Dia juga tidak harus membatasi dirinya – berbuat baik kepada orang tua – sebagaimana
apa yang digambarkan dalam tugas keislaman mereka, yang sudah diperintahkan Allah Swt
kepadanya dan merupakan suatu kewajiban.

Apabila dia mengikuti orang tuanya, maka dosa telah terjadi di dalam keluarga tersebut,
dalam hal ini terdapat satu diantara dua hal, bukanlah tiga: harus mengingatkan mereka untuk
bertaqwa kepada Allah Swt, menjelaskan adanya kesalahan, adanya siksaan bagi mereka yang
disebabkan ketidakpatuhan. Berhati-hati dalam mengingatkan dan memperingatkan dengan
hikmah dan kasih sayang...hingga Allah Swt mengirimkan di hati keduanya akan dampak dari
kalimat yang disampaikan, sehingga terangkatlah maksiat dan hilanglah kemunkaran... atau
ikutilah majlis, dengan kebijaksanaan dan kelembutan, setelah usaha yang pertama tidak
membuahkan hasil.

Maka setiap muslim – harus mengingat dan berhati-hati di dalam mengikuti sebuah
majelis – menguatkan pendapat atau memberi nasehat kepada orang tuanya dari mimbar yang
tinggi dan disertai pengajaran, atau dengan menggugah perasaan mereka bahwasanya
tindakannya tidak sesuai dengan apa yang Allah Swt perintahkan, sebagaimana makhluk Allah
Swt yang menjadi panutan umat manusia khususnya orang tua. Pemimpin yang menjadi
panutan dalam hal ini, Allah Azza Wa Jalla mengatakan; “Sesungguhnya engkau harus
berusaha sebagaimana tidak mempunyai apa-apa selain ilmu, dan jangan mengikuti mereka
dan berteman dengan mereka selama hidup di dunia.”

Ketiga, tidak memutuskan untuk berpisah dengan orang tua dalam situasi apapun,
hingga mendapati mereka taat, dan apa yang disampaikan anak akan ketaqwaan dan
istiqomahnya karena sesungguhnya hubungan anak dengan orang tua itu harus benar, tidak
ingkar dan durhaka, dilarang untuk tidak menghormatinya, bahkan menyerah terhadap mereka.

Maka sesungguhnya tidak diragukan lagi bahwa dia harus melakukan kewajiban
agamanya atas nama Allah Azza Wa Jalla, dan tugasnya yang lain kepada orang tua. Ketika
terdapat adanya kesalahan dan kekacauan, saya berpendapat; “Apabila kamu meningkatkan
kebaikanmu kepada mereka, melayani mereka dengan sungguh-sungguh, mengorbankan
sebagian waktumu dan kenyamananmu serta dunia, melakukannya dengan cara yang terbaik,
maka hal itu akan menurunkan dirimu – dalam rasa malu atau kesal. Namun hal itu akan
menguntungkanmu secara perlahan, dan kamu akan menemukan mereka dalam keadaan
memenuhi keinginanmu, memfasilitasi cara untuk menuju kehidupan agamamu, dan mereka
akan menghargai perasaanmu terhadap agama, setidaknya, tidak hanya pada kewajibanmu
terhadap agama Allah Swt.”

Akan tetapi, kekacauan itu bisa muncul ketika anak mengalami kegagalan akan prinsip
pentingnya kepada orang tua, dan membangun perilaku agamanya di depan orang tua dengan
menunjukkan kewibaannya. Tindakan ini merupakan ketidaktahuan yang amat besar,
Permasalahaan kembali pada jenis yang kedua, yakni permasalahan yang muncul dari
adanya hubungan teman dan kerabat diantara mereka, seperti saudara dan satu sama lain, dalam
mengatasi persoalan tersebut dengan cara berikut:

Pertama, bagi pemuda muslim yang dirinya perlu dakwah untuk keluarga terdekatnya
yang jauh dari Islam dan pelaksanaan hukum-hukumnya, maka ia harus menunjukkan sikap-
sikap yang baik kepada keluarganya, dan merawat atau membantu mereka, maka hal itu akan
membuka hati mereka. Dan tidak diragukan lagi bahwa berbuat baik dengan akhlak yang
terpuji ini membutuhkan pengorbanan yang besar. Dan mungkin saja akan mendapatkan
kesulitan ketika melakukan hal tersebut untuk pertama kalinya. Akan tetapi, ketahuilah bahwa
sungguh hal ini merupakan jihad besar yang Allah muliakan, dan didalamnya terdapat balasan
yang besar dan pahala di sisi Allah Azza Wa Jalla, pahala yang tidak dapat terbayangkan
bentuknya, dan tidak terbatas. Dan hendaklah seseorang berdakwah kepada Allah dalam ruang
lingkup keluarganya terlebih dahulu.

Kedua, sering mengunjungi mereka dan mencari mereka, seperti yang dikatakan Imam
Nawawi di dalam kitabnya al-Raudhoh pada bab pertama tentang jihad. Seperti pula yang
diungkapkan Imam Ghozali di dalam kitabnya al-Ihya’, dia harus berkunjung yang disertai
dengan merawat mereka dan memperhatikan mereka, membolehkan dalam hal apapun, dan
memanfaatkan kesempatan yang ada untuk menunjukkan semuanya sebaik mungkin.

Kemudian, membuat subjek dalam sebuah cerita kepada mereka, setiap kali dia bertemu
mereka, subjek yang bisa memberikan bimbingan dan saran untuk mengajak mereka
mendekatkannya pada Allah Swt, dengan belas kasihan dan rasa cinta kepada mereka, serta
menyemangati mereka. Dan untuk menyusun cara berbicara dan berhujjah serta berdiskusi
bersama mereka, sebelumnya, dengan meminta pertolongan kepada Allah Swt terlebih dahulu,
dengan kerendahan hati memohon kepadaNya agar dibukakan hati mereka melalui
pembicaraannya, dan melimpahkan kepada mereka akan petunjuk yang benar, dan
melindunginya dari hasutan kesombongan dan riya’, dan memberikan rizki secara ikhlas dan
mengharap keridhaanNya.

Ketiga, maka apabila di dalam suatu kelompok ditemukannya hal yang tidak terlepas
dari maksiat, seperti perempuan yang bepergian, atau perkataan yang tidak diridhoi Allah, atau
sesuatu tanpa seizinnya... dari apa-apa yang tidak termasuk ke dalam golongan dosa-dosa
besar. Maka kelompok tersebut harus diingatkan akan dosa mereka, menyangkal mereka, dan
berilah nasehat ketika mereka menyerah, dan memperingatkan mereka akan kemurkaan Allah
Swt dan balasanNya. Jika kelompok tersebut menanggapinya maka beruntunglah kamu, jika
mereka menyangkal, maka berharaplah pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, dan berusaha
tidak ada maksud lain bagi mereka kecuali mengingatkan kebenaran dan mendakwahi mereka
agar kembali kepada Allah Swt.

Hingga muncul keyakinan dalam hatinya – dari berbagai percobaan dan upaya yang
banyak – agar tidak putus asa dari ketaatan mereka terhadap kebenaran, memberi keputusan
terhadap mereka, dan tetap mengunjungi mereka, sebagai upaya untuk melaksanakan perintah
Allah Azza Wa Jalla dalam hal tersebut; “Dan jika setan benar-benar menjadikan engkau lupa,
setelah ingat kembali janganlah engkau duduk bersama orang-orang yang dzalim.” (Q.S al-
An’am: 68) bahwa hal ini murni untuk menghadap Allah Swt, bukanlah untuk keuntungan
pribadi, dan tujuan ini akan muncul dari kamu dengan mengikuti adab-adab berikut:

1. Janganlah kamu menolak untuk memberi pertolongan kepada mereka, meskipun dari
golonganmu sendiri, akan tetapi kamu harus memberi bantuan kepada mereka dengan
segenap kemampuanmu setiap kali mereka membutuhkan pertolongan.
2. Apabila berpapasan salah satu dari mereka di jalan atau majlis atau tempat umum, maka
terimalah mereka dengan senyuman dan senang hati, dan menanyakan keadaannya.
Apabila ia menolak, maka terimalah penolakannya dengan sebaliknya.
3. Janganlah kamu mengingatkan hukum-hukum (Islam) seperti dalam situasi darurat
seperti menjenguk orang sakit, atau acara kematian (pemakaman), atau terkena
musibah, dan sebagainya. Tetapi mengingatkan mereka kepada Allah Swt setiap kali
kamu mengunjunginya dalam setiap kesempatan, dan melarang mereka dengan
bijaksana dan lemah lembut terhadap perbuatan munkar yang kamu lihat pada mereka.
4. Bagi setiap muslim yang berdakwah kepada Allah Swt agar mengetahui bahwa setiap
kali mengunjungi kerabat-kerabatnya dan keluarganya, janganlah mengunjungi mereka
hanya karena rindu kepada mereka atau untuk memperoleh kesenangan dengan mereka,
akan tetapi memaksudkan kunjungan ini sebagai tugas yang Allah Swt perintahkan, dan
itu sebagai tugas dakwahnya kepada Allah Swt, tidak hanya memberi kasih sayang
kepada keluarga maupun kerabatnya.

Dan semua itu dilakukan ketika menghabiskan waktu bersama mereka dengan
mengingatkan dan menasehati. Dan untuk mengingatkan ada dua makna, yang pertama
makna khusus, berkaitan dengan melarang perbuatan munkar dan segala hal yang
berhubungan dengannya, atau yang berkaitan dengan perintah yang wajib namun ditolak
mereka. Dan telah saya jelaskan makna ini pada artikel ketiga.

Adapun makna umum, yaitu memposisikan diri pendakwah sebagai pembimbing dan
penasehat yang mengingatkan mereka kepada Allah Swt dan sifat-sifatNya dan qadarNya.
Dan menjelaskan mukjizat olehNya, dan tentang kematian dan kejadian-kejadian
setelahnya yang ghaib dan jauh dari hari ini, kejadian esok hari yang akan terjadi dan
disaksikan serta tak ada tempat untuk melarikan diri.

Dan mempertimbangkan untuk menghubungkan mereka dengan pelajaran yang


sifatnya berkala, termasuk didalamnya tafsir kalamullah Azza Wa Jalla atau perjalanan
Rasulullah Saw.

Maka apabila tidak dipertimbangkan untuk meletakkan metode yang bersifat periodik
seperti itu, ditakutkan tidak ada respon dan kewajiban bagi mereka. Maka tetapkanlah
antara pelajaran tersebut dengan dirinya, bersibuklah dengan pelajaran tersebut setiap kali
mengunjungi mereka atau dikunjungi mereka. Semua hal itu dilakukan dengan cara yang
bijak dengan tidak melemahkan Sang Pemilik Kebijaksanaan yang Maha Sempurna dalam
mengobati semua perkara.

Apabila seorang muslim mengikuti jalan ini dalam bermu’amalah dengan kerabat-
kerabatnya dan keluarganya, dan menetapkan hal tersebut, dan bersabar terhadap segala
cobaan di jalan yang diridhoi Allah Azza Wa Jalla, maka sungguh ia akan kembali dan
tidak ragu dengan salah satu dari dua kebaikan berikut:

Baik itu petunjuk dari Allah Swt yang didatangkan dalam hati sanak saudaranya atau
beberapa dari mereka. Sebesar apapun pahala seorang hamba bukan menjadi ukuran ia
masuk surga, akan tetapi seorang hamba akan masuk surga karena rahmat Allah.

Dan hal ini adalah perkara yang tetap bagimu dalam setiap keadaan, apabila tujuanmu
hanya menghadap kepada Allah Swt.

Dan meskipun begitu, berpegang teguhlah kepada firman Allah Swt: “Dan barang
siapa yang baik perkataannya adalah orang-orang yang berdakwah di jalan Allah Swt
dan beramal shalih, dan sesungguhnya Aku bersama orang-orang muslim.”
Kritik atas problematika dakwah Syekh Muhammad Sayyid Romadhon Al-Bauti,
bahwasanya bahasa yang digunakan sedikit rumit, banyak bahasa kiasan yang dipergunakan.
Sehingga harus pintar-pintar bagi penulis (penerjemah) dalam memahami maksudnya. Selain
itu, pembahasan mengenai

Akan tetapi mengapa Syekh Muhammad Sayyid menjelaskan perkara ini hanya pada
lingkup tertentu, padahal banyak sekali problematika dakwah yang terjadi dalam Islam.
Menurut penulis, berhubung beliau hidup di era 21, sepertinya beliau memahaminya dari hal
ini saja sesuai konteks lingkungan. Apa yang beliau ketahui di masyarakat dan menerapkannya
pada catatan yang beliau tulis, yang sampai sekarang masih banyak minat pembacanya.
Khususnya materi yang dikelola sangat menarik, meskipun tata bahasanya sangat kontemporer.

Anda mungkin juga menyukai