Anda di halaman 1dari 3

PQ

Hamzah Fansuri di dalam Mekkah,


mencari Tuhan di Bait Al-Ka’bah.
Dari Barus ke Qudus terlalu payah,
akhirnya dijumpa di dalam Rumah.

EMPAT abad yang lampau itu, semenjak Hamzah Fansuri mencari Tuhan di Ka’bah dan
menulis syair Sidang Ahli Suluk, ada seorang makhluk angkasa luar yang dengan susah payah juga
mencari Tuhan.
Dengan catatan: ini sebuah dongeng modern. Persisnya, sebuah satire. Saya mengikutinya,
dan menikmatinya, di sebuah bioskop: film PK, karya sutradara Rajkumar Hirani.
”PK” adalah nama yang diberikan kepada sesosok makhluk angkasa luar yang turun di
Rajasthan, dari kata ”pi-kai”, kata Hindi yang kurang-lebih berarti ”slebor”. Makhluk itu,
dimainkan oleh aktor Aamir Khan dengan sangat bagus, dianggap manusia bumi sebagai seseorang
yang oleng pikirannya.
Ia memang tampak demikian. Begitu turun ke bumi, alat komunikasinya dengan pesawat
ruang angkasanya dicuri orang. Ia memburu benda itu—tapi ia tak bisa berbahasa manusia. Ia
sosok yang ganjil. Ke mana-mana ia bertelanjang bulat. Ia baru mendapatkan pakaian dari mencuri
baju dan celana pasangan manusia yang menanggalkan pakaiannya untuk bersetubuh di dalam
mobil yang diparkir. Setelah melalui salah paham yang merepotkan, ia baru bisa berbahasa
manusia—dalam hal ini bahasa Bhojpuri—setelah menyedot isi kesadaran seorang pelacur dengan
cara memegang tangannya erat-erat selama beberapa jam.
Dengan kecakapan baru itu ia meneruskan perjalanannya mendapatkan kembali
instrumennya yang hilang. Ia ke Delhi. Tapi tentu saja di kota dengan penduduk lebih dari 11 juta
itu ia ibarat mencari sebutir kedelai dalam unggunan kacang polong. Hanya Tuhan yang tahu,
begitu ia dengar orang menjawab pertanyaannya.
Maka ia pun mencari Tuhan.
Ia tak tahu bagaimana wujud Tuhan. Ia pun datang ke dalam kuil Hindu, gereja Katolik,
masjid, dan menjalani ritual yang (menurut kata orang) dikehendaki Tuhan agar permintaannya
dipenuhi. Ia mencoba—dalam keadaan putus asa—berhubungan dengan Yang Maha-Tahu dan
Maha Penolong. Tapi orang ramai tak paham. Ia malah dikejar-kejar karena dianggap mencemari
apa yang sakral.
Akhirnya ia mulai melihat bahwa berhubungan dengan Tuhan sebagaimana ditentukan
agama-agama tak akan mendapatkan apa-apa. Bahkan teperdaya. Bahkan bisa menghasilkan
sesuatu yang negatif. Manusia di dunia mencoba mengontak yang ilahi, tapi itu seperti seseorang
yang menelepon dan tersambung pada nomor yang salah dan mendapat jawaban yang bukan dari
Tuhan sendiri.
”Salah nomor” adalah sindiran film ini kepada agamaagama. Di balik nomor yang salah itu
yang bersuara adalah kehausan manusia akan kuasa. Personifikasinya adalah seseorang yang
diagung-agungkan sebagai aulia besar, Tapasvi Maharaj. Orang bertubuh tambun dan tinggi ini
dengan efektif mempertontonkan wibawa. Ia mengeluarkan fatwa dan petunjuk yang diyakini
umat, meskipun menyesatkan. Umat takut, mereka cemas, dan dengan mudah mempercayainya.
Juga ketika fatwa itu tak adil, atau menimbulkan penderitaan, atau meminta orang
mempersembahkan segalanya untuk kemegahan sang pemberi sabda.
Akhirnya PK membongkar semua itu: kita telah ”salah nomor”. Dan di mana Tuhan? Tetap
tak ada yang tahu, meskipun iman tetap utuh.
Yang jelas, penghuni angkasa luar itu mendapatkan kembali alat komunikasi yang dicarinya
dengan susah payah karena persentuhannya dengan manusia—dalam hal ini Jaggu (dimainkan
Anushka Sharma), seorang gadis presenter TV yang dengan setia mendampinginya.
Juga seseorang yang mengalami bagaimana agama-agama memisahkannya dari laki-laki
yang dicintainya, Sarfaraz, seorang pria muslim, hidup di Pakistan.
Dengan kata lain, Tuhan yang tak tampak, yang selamanya dicari, sebenarnya dapat ditemui
ketika seseorang terketuk hatinya oleh seorang lain, melampaui ketakutan, kecurigaan, dan
kebencian. Satire yang kocak dan tajam dalam PK mengandung sesuatu yang sering diingatkan
seorang sufi.
Ada bait lain dalam Sidang Ahli Suluk yang seperti itu:

Sidang Faqir empunya kata,


Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata,
lihatlah dirimu rata-rata.
Tuhan ”terlalu nyata”, bila kita tak menutup mata kita sebagai bagian dari sesama yang
fana, tapi sebenarnya tak bisa disimpulkan dengan gampangan.

Bandung, 2021

Anda mungkin juga menyukai