I. Pendahuluan
Fenomena yang terjadi dalam masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari perilaku yang ada dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan gejala sosial yang
merupakan fenomena yang terjadi berdasarkan sikap dan perilaku anggota
masyarakat yang ada. Gejala-gejala yang terjadi dalam masyarakat pada
umumnya terjadi secara spontan dan pada umumnya dapat menimbulkan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat baik yang mengarah pada
perubahan yang positif maupun perubahan yang negatif.
Dalam artian bahwa sebuah transformasi yang terjadi dalam strukur masyarakat
merupakan proses perkembangan unsur sosio-budaya dari waktu ke waktu yang
dapat membawa perbedaan yang berarti dalam stuktur dan fungsi
masyarakat.[1]Salah satu gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat adalah
masalah atau fenomena mengenai agama seperti yang dikisahkan dalam “Film
PK”.
Agama memang bisa dipahami baik secara teologis maupun secara sosiologis.
Secara teologis agama sebagai sebuah institusi harus dipahami dalam kaitan
dengan Wahyu Allah yang mendasari keberadaannya. Sementara itu, secara
sosiologis agama dipahami sebagai sebuah eksteriorisasi manusia.[2] Untuk
memahami agama secara komprehensif, kedua pendekatan seharusnya saling
melengkapi. Meskipun keduanya bisa dibedakan, keduanya tidak terpisahkan.
Adanya dua dimensi dalam agama itu yang sebenarnya bisa memberi peran khas
pada agama dalam pola hubungannya dengan kebudayaan.
Dalam menulis paper ini, kelompok merujuk pada sumber utama yaitu “Film PK”.
Kelompok melihat bahwa pokok atau topik ini sangat menarik untuk dikaji
karena mampu memberikan pemahaman serta refleksi yang baru tentang
bagaimana menghayati kehidupan beragama dan relasi dengan agama lain. Oleh
karena itu, kelompok akan menganalisis Film PK untuk melihat gejala sosial yang
terjadi di dalamnya. Tulisan ini juga bertujuan untuk memenuhi
Ujian Akhir Semester mata kuliah “Sosisologi Agama” sekaligus
menambah pengetahuan baru atau cakrawala berpikir bagi kelompok untuk
memahami dan menghormati agama yang ada di sekitar.
Peekay merupakan film India yang dirilis pada akhir tahun 2014, bercerita tentang
seorang alien yang diperankan oleh artis Aamir Khan. Dia berkunjung ke bumi
dalam misi mempelajari kebudayaan manusia dan mendadak terdampar di wilayah
Rajahstan, India tepatnya kota Mandawa. Ketika pertama kali menginjakkan
kakinya di bumi, alien tersebut (PK) langsung kebingungan melihat keadaan serta
aktivitas manusia. Tetapi malangnya, kalung yang menjadi senjata remote control
untuk bisa kembali ke planetnya berhasil dicuri oleh manusia yang pertama dia
lihat di bumi. PK menjadi panik dan berusaha mencari kalungnya tersebut.
Ketika pada suatu hari, dia bertemu dengan saudagar kaya yang bernama Bhairon
Singh yang kemudian menjadi saudaranya. Bhairon Singh menemukan hal yang
aneh pada PK karena dia memegang tangan orang tanpa komunikasi. Melihat
perilaku PK yang sangat aneh ini, Bhairon berpikir PK menginginkan gadis-gadis.
Karena itu Bhairon membawa ke tempat prostitusi. Ketika sampai di tempat
Prostitusi, ia hanya memegang tangan PSK selama 6 jam untuk menyerap ilmu
pengetahuan dan bahasa yang ada pada diri PSK. Dengan tindakan tersebut PK
bisa berbicara dan kembali bertemu dengan Bhairon Singh. Ia menjelaskan
tujuannya dan apa yang dicari di bumi kepada Bhairon Singh. Ia menjelaskan
bahwa kalungnya telah dicuri orang dan dia sangat membutuhkan kalung tersebut
untuk bisa kembali lagi ke planetnya. mendengar itu, Bhairon Singh menyarankan
dia untuk mencarinya di Dehli.
Sedangkan ditempat lain (Brussels, Belgia) seorang jurnalis bernama Jaggu yang
sedang melakukan liputan di Eropa, dia bersiap-siap untuk menyaksikan
pertunjukkan artis favoritnya. Ketika Jaggu berada di depan gedung pertunjukan
itu, dia bertemu Sarfaraz (Sushant Singh) seorang mahasiswa arsitektur yang juga
sedang bekerja di Brussels. Singkat cerita, mereka berdua lalu saling mencintai
satu sama lain. Tetapi identitas mereka menjadi penghalang karena masalah
perbedaan agama dan negara. Jaggu berasal dari keluarga India penganut Hindu
fanatik sedangkan Sarfaraz, seorang Muslim taat yang berasal dari Pakistan.
Keduanya pun lalu berpisah untuk waktu yang cukup lama.
Namun manusia tidak ada yang tahu, dan kebanyakan dari mereka menyarankan
supaya PK langsung bertanya kepada Tuhan, “kenapa kamu tidak tanyakan saja
kepada Tuhan?” Banyak sekali ia mendengar kata Tuhan setiap kali ia bertanya
kepada manusia. Ia pun memutuskan untuk mencari Tuhan dan bertanya kepada
Tuhan di mana kalung remote control-nya. Dalam pencarian Tuhan, Peekay sudah
begitu banyak melakukan ritual-ritual keagamaan. Dia pergi ke Kuil, Gereja dan
Masjid tetapi dia benar-benar bingung karena masing-masing agama itu memiliki
cara yang berbeda untuk ibadah dan aturan yang berbeda. Dalam proses pencarian
Tuhan, PK tidak menemukan apa-apa. Karena itu dia mulai membagi-bagikan
pamflet untuk mencari Tuhan. Dalam proses pencariannya itu, Pk bertemu dengan
Jaggu, seorang reporter TV dan Jaggu melihat sesuatu yang aneh pada PK maka
Jaggu mengikutinya ke ruangan terkunci untuk meminta informasi tentang
dirinya.
Sementara itu, Bhairon menangkap pencuri yang mencuri Remote control PK dan
membawa dia ke Delhi, tetapi keduanya binasa dalam ledakan bom teroris yang
meninggalkan PK terguncang. Dalam acara TV nanti, Tapasvi Ji menantang PK
untuk mengatakan kebenaran cerita Sarfaraz dan mengambil kembali remote
control-nya. PK mengungkapkan bagaimana sebuah surat yang salah (dan
perbedaan beragama) memisahkan Sarfaraz dan Jaggu. Selanjutnya Jaggu dan
Sarfaraz didamaikan setelah PK menang mendapatkan remotenya kembali.
Di akhir ceritanya, PK didampingi oleh Jaggu ke padang pasir di mana ia
menyebutnya sebagai ruang angkasanya. Ketika PK kembali ke planetnya, Jaggu
mengetahui bahwa ternyata PK mencintainya melalui kaset translator yang berisi
hanya suara dari Jaggu. Akhirnya PK belajar juga dari manusia untuk berbohong.
Bahwa kenyataanya, walaupun dia juga mencintai perempuan tersebut. PK juga
harus berkorban demi hidup Jaggu dan pacarnya Sarfaraz.
Dia pun mulai bertanya kepada orang-orang yang ada di sana tentang bagaimana
cara mendapatkan remote control tersebut. Jawaban yang diberikan orang-orang
itu hampir sama bahwa hanya Tuhan yang tahu keberadaan remote control itu, dan
hanya Tuhan yang bisa membantu untuk menemukan benda tersebut. Dengan
jawaban orang-orang tersebut, PK mulai mencari di mana Tuhan, siapakah Tuhan
itu? dan bagaimana caranya supaya bisa bertemu dengan Tuhan agar remote
control tersebut bisa ditemukan kembali.
PK mulai masuk ke tempat ibadah agama-agama di India dan mengikuti berbagai
macam ritual keagamaan dari masing-masing agama itu. Dia sering kali
menyaksikan “mobil bergoyang,” dan berbagai macam ritual keagamaan yang
berbeda-beda dengan memiliki tuhannya masing-masing. Dalam kebingungannya
mencari Tuhan, PK sering kali melakukan tindakan yang aneh di mata manusia.
Tindakan PK yang aneh itu misalnya ketika PK mengambil kembali uang yang
telah dimasukkannya ke dalam kotak donasi di sebuah tempat ibadah dan
kemudian PK diteriaki sebagai pencuri. Di tempat lain ia membawa dua botol
anggur ke Masjid setelah mengetahui dari penganut agama Katolik kalau anggur
merupakan persembahan kepada Tuhan. Tentu saja orang Islam yang melihat
perilaku PK membawa anggur ke masjid menjadi marah dan mengejarnya.
Dari kebingungan PK kita dapat menangkap sebuah gejala yang sekaligus menjadi
kritikan PK terhadap agama-agama. Setiap agama mengklaim diri sebagai yang
benar dan yang lain adalah sesat. Kelompok beragama sering menjadi penghalang
bagi orang lain untuk berjumpa dengan tuhan. Gejala sosial ini misalnya tampak
ketika PK masuk ke sebuah Gereja, Ia diusir oleh orang Gereja ketika melihat dia
membawa air kelapa untuk dipersembahan kepada Tuhan. Selanjutnya fakta
perbedaaan itu nampak pada setiap agama yang belum siap untuk hidup
berdampingan dan menerima satu sama lain. Orang beragama tampil sebagai
penghalang dan penutup jalan bagi setiap orang bertobat dan kembali kepada
Tuhan. Kebingungan PK menjelaskan sangat gamblang gejala sosial yang dimiliki
orang beragama yaitu sikap eksklusif, fanatik sehingga nama, pakaian, ritual
menjadi sebuah masalah dan menjadi sebuah identitas yang tidak boleh ditiru oleh
penganut agama lain.
Kehidupan sosial dalam film tersebut menampilkan suasana dan prilaku manusia
beragama yang selalu mengadakan ritual untuk memenuhi tanggung jawab
keagamaannya. Mereka setiap hari selalu berbondong-bondong ke rumah ibadat
untuk mengadakan ritual keagamaan, memberikan persembahan dan sajian di
rumah ibadat. Dalam melakukan upacara ritual tersebut, mereka bekerjasama
sehingga muncul rasa kebersamaan yang saling mengikat satu sama lain di dalam
kelompok agama tersebut. Dengan kesamaan identitas sebagai satu kelompok
agama, mereka semakin menyadari ikatan di antara satu dengan yang lain dan
melihat terdapat saling kesalingtergantungan di antara yang satu dengan yang lain.
Suatu hal yang tak dapat dipungkiri bahwa setiap agama mempunyai ritual dan
penghayatan yang berbeda-beda. Keragaman tersebut tentu adalah sebuah
kewajaran. Namun menjadi tidak wajar pada saat ungkapan penghayatan tersebut
dilakukan secara tidak masuk akal. Gejala tersebut tampak misalnya penyiksaan
diri dan puasa. Penghayat ini memiliki tujuan yang bervariasi. Ada yang puasa
bermaksud empati dan solider dengan orang yang menderita mencari makanan.
Namun apakah dengan demikian orang lain yang menjadi objek dari penghayatan
tersebut dengan sendirinya kenyang dan bahagia karena mereka puasa dan
menyiksa diri.
Gejala sosial dalam film PK juga dapat ditinjau dari perspektif Marx terhadap
agama bahwa agama adalah candu bagi manusia.[4] Hal tersebut dapat dilihat
dalam kehidupan manusia beragama di dalam film PK. Mereka dikelabui oleh
tawaran-tawaran ilusi dari agama. Kesadaran mereka dirusak oleh iming-iming
dari agama. Oleh karena alasan agama, mereka tidak menghargai hidup di sini, di
dunia ini. Hal ini terlihat jelas dalam praktek ritual keagamaan yang menyiksa diri
seperti berpuasa, dan memukul atau melukai tubuh. Mereka rela menderita
berguling-guling di tanah hanya demi kebenaran yang bagi Marx hanya bersifat
ilusi. Mereka rela mengorbankan kehidupan duniawi dan rela menderita hanya
demi kebahagian di luar kehidupan duniawi. Hal ini kemudian melegahkan hati
para penguasa agama. Dengan membaca situasi dan pemahaman agama dari para
pengikutnya, para penguasa agama memanfaatkan para pengikutnya untuk tujuan
kejayaan mereka. Dengan tawaran yang menarik perhatian para pengikutnya,
mereka melakukan berbagai tipu daya untuk menguras kehidupan masyarakat.
Gejala sosial terkait dengan rasa kesamaan identitas sebagai satu kelompok agama
dalam kehidupan keagamaan pada film tersebut juga diafirmasi oleh Durkheim.
Rasa kesamaan identitas yang melahirkan kesadaran kolektif untuk mencapai
tujuan yang sama melalui jalan yang sama. Dalam agama yang dianut oleh
penganut agama di atas telah melahirkan suatu rasa kesalingtergantungan di antara
sesama yang oleh Durkheim disebut sebagai kesadaran kolektif (collective
conciousness).[5]Dengan cita-cita dan keyakinan yang sama, masyarakat semakin
membentuk suatu kesatuan yang solid dan solider.
5.3 Greetz
5.4 P. Berger
Teropong Berger juga dapat dipakai untuk mengamati dan mengangkat persoalan
gejala sosial yang ada dalam film PK. Berger berpendapat bahwa agama
merupakan sebuah bentuk hasil kebudayaan yang dapat membantu mengarahkan
kehidupan masyarakat pada kebaikan dan keharmonisan. Agama bagi Berger
adalah sumber prinsip, hukum (nomos) yang mampu mengarahkan dan
mengorganisir umat manusia untuk dapat sampai pada cita-cita hidupnya.[7] Hal
ini juga dialami oleh umat manusia dalam film. Dalam kelompok agamanya,
mereka semakin diarahkan kepada tujuan akhir hidupnya dengan mengikuti
berbagai aturan dan prinsip yang berlaku dari agama yang dianutnya.
Filim PK hadir dan coba memberi kritikan terhadap praktek kegamaan dalam
masyarakat. Film ini sarat dengan kritikan tajam terhadap ritual keagamaan yang
dipraktekkan dalam suatu kelompok tertentu. Kritikan-kritikan tersebut
mempunyai kebenaran berkaitan dengan praktek keagamaan. Salah satu
kebenaran yang coba diungkapkan dalam film ini mengenai agama yang
disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencari keuntungan. Agama
dijadikan lahan bisnis untuk mengumpulkan uang yang sebanyk-
banyaknya. Dalam analisis ini, ada bebrapa gejala sosial dalam film yang
memiliki relevansi dengan teori-teori sosiologi agama.
Dalam gagasannya, Karl Max melihat agama sebagai sebuah alienasi, agama
dilihat sebagai sebuah ciptaan manusia sendiri atau hasil proyeksi dari manusia.
Manusia menciptakan Allah dan bukan Allah yang menciptakan manusia. “Bukan
Allah yang menciptakan manusia menurut gambarNya tetapi manusialah yang
menciptakan Allah menurut gambaran atau bayangannya.”[8] Dalam salah satu
adengan film, PK mengatakan bahwa agama sebenarnya buatan pemimpin agama
sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan dari para pengikutnya. Keyakinan
itu misalnya gambar atau patung yang dihormati oleh anggota keagamaan. Ia
sangat heran bahwa Tuhan orang beragama bisa dibuat dalam bentuk patung. Ia
semakin heran bahwa Permohonan dapat dibayar dengan uang dalam berbagai
macam ritual.
Dalam film tersebut, PK menemukan ada dua Tuhan di dunia yakni, Tuahan yang
menciptakan alam semesta dan Tuhan yang dibuat oleh orang tertentu (hasil
proyeksi). Tuhan pencipta alam semesta adalah Tuhan yang penuh misteri
sedangkan Tuhan tiruan adalah Tuhan yang dapat dilindungi dengan maksud
tertentu. Dalam perdebatan dengan salah satu pemimpin agama, PK dengan jelas
mengatakan bahwa seringkali orang membuat “Tuhan tiruan”, maksudnya adalah
orang sering melupakan bahwa Tuhan itu hnya satu. Ia yang menciptakan alam
semesta dan segala isinya. Tuhan pencipta adalah Tuhan yang memberi harapan
kepada umatnya. Ini adalah sebuah makna yang terdalam dari sebuah agama yakni
harapan.
Dalam arti tertentu, PK adalah tokoh yang ditampilkan sebagai orang yang
mencari, yang ingin memiliki pengetahuan mengenai eksistensi Tuhan. Dia tampil
sebagai orang yang mewakili kaum empirisme, yang tidak dengan muda
menerima apa yang diyakini, dipraktikkan dan dipercayakan oleh semua manusia
mengenai Tuhan. Ia hadir sebagai seorang pendobrak dogmatisisme dan menuntut
sebuah pertanggungjawaban dari setiap kelompok agama mengenai Tuhan.
Namun tindakan PK melahirkan sebuah persoalan pada saat kaum beragama
tersebut tidak memberi peluang bagi rasio untuk mempertanyakan imannya.
Dari film ini, kita dapat melihat sebuah relevansi dengan hidup keagamaan khusus
dalam konteks Indonesia. Relevansi tersebut nampak kalau kita mencoba
membandingkan gejala sosial yang terdapat dalam tindakan PK khusus dalam
hubungannya dengan agama, tidak memiliki perbedaan yang begitu kelihatan
dengan kelompok keagamaan di Indonesia. Dari agama Kristen misalnya
ada orang tertentu yang menilai Ahmadya sesat. Masalah ini persis ketika PK
pergi ke sebuah Masjid membawa angur untuk Tuhan. Ketika umat muslim
melihatnya maka mereka semua mengejarnya.
VIII. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA