Anda di halaman 1dari 106

NILAI-NILAI PENDIDIKAN TAUHID DALAM

SERAT WIRID HIDAYAT JATI


KARYA R. Ng RANGGAWARSITA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat


guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam

Oleh
MISBAKHUL MUNIR
NIM. 3103294

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010

i
ii
iii
iv

ABSTRAK

Misbakhul Munir (NIM :3103294). Nilai-nilai Pendidikan Tauhid Dalam


Serat Wirid Hidayat Jati Karya Raden Ngabehi Ronggowarsito.

Tauhid (pengesaan terhadap Allah SWT) merupakan hal yang paling


mendasar dalam agama Islam, karena tauhid merupakan inti dari semua ajaran
akidah maupun syari’ah Islam. Aplikasi dan Implementasi dari tauhid adalah
akhlak. Maka terasa tepatlah ketika ada ayat “inna maa bu’itstu li utammia
makarimal akhlaq”. Akhlak terpuji atau makarimal akhlak itu bisa terjadi atau
terwujud andai ajaran tauhid itu sudah mampu tertanam dengan baik terhadap
pribadi seseorang. Nilai-nilai pendidikan tauhid ini bisa ada dimana saja termasuk
dalam cerita atau sastra.
Ronggowarsito atau Bagus Burhan adalah seorang pujangga terkenal dari
Surakarta. Darah bangsawan dan seni memang mengalir dari keluarganya.
Sebagai seorang pujangga ia terkenal hingga negeri Belanda. Selain ‘Serat
Kalatidha” yang merupakan jangka atau ramalan mengenai ‘zaman edan’, banyak
karya sastranya yang terkenal. Salah satu diantaranya adalah “serat wirid hidayat
jati” yang telah penulis teliti nilai-nilai pendidikan tauhid di dalamnya.
Tentunya dalam melakukan penelitian ini, penulis terlebih dahulu
membedah serat wirid itu sendiri untuk kemudian dipilah dengan berbagai
metode, diantara metode hermeneutika hingga penelusuran unsur intrinsik.
Setelah itu dianalisis berbagai pendidikan tauhid yang ada dalam serat tersebut.
Setelah melakukan penelitian baru penulis ketahui bahwa Ronggowarsito
dalam serat wirid yang berbentuk jarwa (prosa) ini, memakai dua sudut pandang
(point of view) yaitu sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang
ketiga. Sudut pandang orang pertama ini baru diketahui ketika ia memakai
sandiasma (penyamaran nama) dalam candra sengkala : rong songga warga
sinuta. Nama samaran yang dipakai dalam serat ini adalah Kiyahi Muhammad
Sirollah Kedhung Kol.
Kemudian setelah dianalisis ternyata dalam serat ini Ronngowarsito
menjabarkan dengan cukup jelas mengenai pendidikan tauhid, proses
pengajarannya serta penejelasannya. Hampir rata-rata keterangan dari berbagai
sumber kitab salaf. Sedang nilai-nilai pendidikan tauhid yang terkandung dalam
serat ini adalah nilai pendidikan tauhid rububiyah, nilai pendidikan tauhid
uluhiyah dan nilai asma’ dan sifat. Mengenai tapa-laku atau ritual-ritual dalam
serat ini, meski penulis belum bisa menilai atau mengkategorikan manekung,
lelaku atau wirid yang ada didalamnya sebagai pendidikan tauhid ubudiyah, tetapi
manekung itu pada dasarnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
v

MOTTO

:‫ﻢ ﴿ﻟﻘﻤﺎﻥ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﻈ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻙ ﹶﻟ ﹸﻈ ﹾﻠ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺸ‬


 ‫ﻪ ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟ‬ ‫ﻙ ﺑﹺﺎﻟﻠﱠ‬ ‫ﺸ ﹺﺮ‬
 ‫ﺗ‬ ‫ ﹶﻻ‬‫ﻨﻲ‬‫ﺑ‬ ‫ﺎ‬‫ ﻳ‬‫ﻌﻈﹸﻪ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻭﻫ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺑﹺﻨ‬‫ﻻ‬ ‫ﺎ ﹸﻥ‬‫ﻭﹺﺇ ﹾﺫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹸﻟ ﹾﻘﻤ‬
﴾13
Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar". (QS. Al Luqman: 13)

(163 :‫ﻢ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬ ‫ﻴ‬‫ﺮﺣ‬ ‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻮ ﺍﻟﺮ‬ ‫ﻪ ﹺﺇﻷﱠ ﻫ‬ ‫ﺪ ﹶﻻ ﹺﺇﹶﻟ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺍ‬‫ﻪ ﻭ‬ ‫ﻢ ﹺﺇﹶﻟ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﻭﹺﺇﹶﻟﻬ‬
Adapun Tuhanmu itu adalah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan melainkan dia
yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (QS. Al Baqarah : 163)
vi

PERSEMBAHAN
Dengan tidak mengurangi rasa syukurku kepada Allah swt, Tuhan sumber
segala muara esensi.
Kupersembahkan totalitas usaha, karya, dan buah pikiran Skripsi ini untuk:

Ayahanda M. Nurhadi & Ibunda Titik Sulastri tercinta, yang telah


memberikan motivasi dan mengorbankan segalanya demi kesuksesan ananda.
Robbighfir lii waaliwaalidayya warhamhuma kama Robbayaanii shoghiro
Saudara-saudaraku tersayang : Mbak Qiswatun Nuriyah (alm), Dinda Yuli
Nurrohmah dan keponakan tersayang Nur Muhammad Zawal al Falahi yang
telah memberikan semangat pada diriku untuk mencapai cita-cita.
Keluarga Kelompok Pekerja Teater beta. Kang Rofiurrutab, M.Si, Mbak
Istrokhah, S.Ag,
Teman- teman seperjuangan, Rois, Aisah, Taufiq, Ilham dan semua teman-
teman angkatan 2003 yang telah memberikan dorongan dan membantu dalam
penyusunan skripsi ini.
Almamaterku, IAIN Walisongo Semarang,
Kampus yang berbasis, Diniyah, Ukhuwah dan Ilmiah.
vii

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi
ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 28 Juni 2010


Deklarator

Misbakhul Munir
NIM. 3103294 (033111294)
viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillâhilladzî nawwaranâ bi al’ilmi wa al’aqli. Segenap puja dan


puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, hidayah, dan bimbingan serta kekuatan lahir batin kepada diri
peneliti, sehingga skripsi ini yang merupakan hasil dari sebuah usaha ilmiah dan
proses akademik yang cukup panjang dapat terselesaikan sebagaimana mestinya.
Sholawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan kita
Nabi Agung Muhammad saw, sosok historis yang membawa proses transformasi
dari masa ”uncivilized” yang gelap gulita ke arah alam yang sangat terang
benderang dan berperadaban ini, juga kepada para keluarga, sahabat serta semua
pengikutnya yang setia disepanjang zaman.
Penelitian yang berjudul ”NILAI-NILAI PENDIDIKAN TAUHID
DALAM SERAT WIRID HIDAYAT JATI KARYA RADEN NGABEHI
RONGGOWARSITO” ini pada dasarnya disusun untuk memenuhi persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang. Oleh karena itu, karya ilmiah ini merupakan kulminasi-
formal akademik yang sudah barang tentu tetap disertai akuntabilitas akademik
juga dan bukan hanya untuk memenuhi kewajiban akademik (scholar duty) an
sich tetapi juga sebagai media untuk memberikan wacana dan solusi dalam dunia
kependidikan.
Cukup terharu rasanya ketika penulis telah menyelesaikan proses
akademik dan penyusunan skripsi ini. Karena dengan media ini penulis telah
banyak belajar, berfikir, berimajinasi, mencurahkan segenap kemampuan dalam
hal pemikiran, kreativitas dan ketelitian untuk memenuhi kebutuhan curiosity
(rasa ingin tahu) penulis atas problematika hasil belajar peserta didik yang rendah
dalam mengarungi suatu setting pertempuran intelektualitas yang cukup
menantang sehingga dapat mencari dan menemukan identitas diri sebagai seorang
manusia yang dianugerahi akal oleh Sang Kholiq. Oleh karenanya, penulis
semakin sadar akan berbagai kelemahan, kebodohan dan keterbatasan yang ada
dalam diri penulis, ”wamâ ûtîtum min al’ilmi illa qalîlan”.
ix

Dalam proses penyusunan penelitian tersebut, peneliti banyak


mendapatkan bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, oleh karena
itu izinkan peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada hamba-hamba Allah
yang telah membantu peneliti sehingga karya sederhana ini bisa menjadi
kenyataan, bukan hanya angan dan keinginan semata. Peneliti ucapkan terima
kasih yang tak terhingga kepada :
1. Prof. DR. H. Abdul Jamil, MA., Rektor IAIN Walisongo Semarang.
2. Prof. DR. H. Ibnu Hadjar, M. ED., Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo.
3. Ahmad Muthohar, M.Ag, Ketua Jurusan PAI.
4. Nasiruddin, M.Ag., Sekretaris Jurusan PAI.
5. Ahmad Muthohar, M.Ag., selaku Pembimbing I (Bidang Materi), yang
telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan fikirannya serta dengan
tekun dan sabar memberikan bimbingan dan pengarahan dalam
penyusunan skripsi ini.
6. Drs. Sajid Iskandar, S, M.Pd., selaku Pembimbing II (Bidang Metodologi),
yang juga telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan fikirannya serta
dengan tekun dan sabar memberikan bimbingan dan pengarahan dalam
penyusunan skripsi ini.
7. Mufidah, M.Pd, selaku Wali Studi selama Penulis menuntut ilmu di IAIN
Walisongo Semarang.
8. Bapak dan Ibu Dosen yang telah membimbing, mendidik dan memberikan
pencerahan untuk selalu berpikir kritis-edukatif, transformatif-inovatif
dalam menggali ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah selama berada di
lingkungan Kampus IAIN Walisongo Semarang.
9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, namun tak
terlupakan bantuannya, baik bantuan materiil maupun sprirtuil yang
langsung maupun tak langsung turut serta dalam penyelesaian penelitian
ini.
x

Akhirnya, semoga segala bantuannya yang tidak ternilai ini mendapatkan


balasan dari Allah SWT dengan balasan yang sepantasnya, dan semoga penelitian
ini bermanfaat khususnya bagi peneliti sendiri.

Semarang, 28 Juni 2010

Penulis
xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................... ii
PENGESAHAN ............................................................................................... iii
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
DEKLARASI ................................................................................................... v
MOTTO ........................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ............................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Penegasan Istilah ....................................................................... 5
C. Perumusan Masalah ................................................................... 7
D Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 8
E. Metodologi Penelitian................................................................ 9
F. Sistematika Penulisan Skripsi .................................................... 12

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN TAUHID


A. Pendidikan Tauhid ...................................................................... 14
B. Materi Pendidikan Tauhid ........................................................... 18
C. Dasar dan Tujuan Pendidikan Tauhid ......................................... 23
1. Dasar Pendididkan Tauhid .................................................... 23
2. Tujuan Pendidikan Tauhid .................................................... 26
D. Metode Pendidikan Tauhid ......................................................... 29
xii

BAB III : BIOGRAFI DAN KARYA SASTRA R.NG RANGAWARSITA


A. Biografi dan Karya-karya R. Ng. Ranggawarsita ....................... 33
B. Karya Sastra dan Tipologi Penulisan R. Ng. Ranggawarsita ...... 44
1. Karya Sastra R.NG Ranggawarsita .......................................... 44
2. Tipologi Tulisan R. NG Ranggawarsita ................................... 46
C. Posisi SWHJ dalam Sastra Jawa ................................................. 47
D. Isi SWHJ yang memuat Pendidikan Tauhid ............................... 50

BAB IV : NILAI PENDIDIKAN TAUHID DALAM SERAT WIRID


HIDAYATJATI KARYA R. NG. RANGGAWARSITA
A. Muatan Pendidikan Tauhid dalam SWHJ Karya R. Ng.
Ranggawasita .............................................................................. 60
B. Nilai Pendidikan Tauhid dalam SWHJ ....................................... 79

BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 88
B. Saran............................................................................................ 89
C. Penutup........................................................................................ 89

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Agama adalah sebuah realitas yang senantiasa melingkupi manusia.
Agama muncul dalam kehidupan manusia dalam berbagai dimensi dan
sejarahnya. Maka memang tidak mudah mendefinisikan agama. Termasuk
mengelompokkan seseorang apakah ia terlibat dalam suatu agama atau tidak.
Agama (religion) dalam pengertian yang paling umum diartikan
sebagai sistem orientasi dan obyek pengabdian.1 Dalam pengertian ini semua
orang adalah makhluk religius, karena tak seorang pun dapat hidup tanpa
sistem yang mengaturnya dan tetap dalam kondisi sehat. Kebudayaan yang
berkembang adalah produk dari tingkah laku keberagamaan manusia.
Sebuah agama biasanya melingkupi tiga persoalan pokok, yaitu:
1. Keyakinan (credial), yaitu keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan
supranatural yang diyakini mengatur dan mencipta alam.
2. Peribadatan (ritual), yaitu tingkah laku manusia dalam berhubungan
dengan kekuatan supranatural tersebut sebagai konsekuensi atau
pengakuan dan ketundukannya.
3. Sistem nilai yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya
atau alam semesta yang dikaitkan dengan keyakinannya tersebut.2
Dalam agama Islam keyakinan (credial) seseorang dijelaskan aturannya
dalam syahadat (kesaksian) dan rukun iman. Kemudian peribadatan (ritual)
dijelaskan aturannya dalam rukun islam. Sedangkan nilai-nilai keislamannya
diaplikasikan dan diimplementasikan dalam akhlak. Kebulatan dari ketiganya
disebut ihsan, dimana seseorang seperti merasa dapat melihat Allah atau
merasa selalu dilihat (diawasi) oleh Allah.
Manusia yang percaya kepada keberadaan Tuhan Yang Maha Esa,
akan selalu merasa dekat dan dilindungi oleh Tuhannya. Mereka yakin bahwa
1
Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi
Umum, (2002), hlm.30
2
Ibid, hlm.31

1
2

tidak ada daya upaya dan kekuatan yang akan mempengaruhi kecuali hanya
Tuhan semata. Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu disebut
tauhid,3 Namun banyak anggota masyarakat belum memahami secara
mendalam tentang tauhid, mereka hanya mengetahui tauhid sebatas
pengakuan dan ucapan yang diwujudkan dalam bentuk penyembahan dan
ritual. Padahal kepercayaan manusia kepada Yang Maha Esa itu berkembang
sesuai dengan perkembangan pikiran dan peradaban manusia itu sendiri.
Kepercayaan tentang adanya Tuhan yang amat mendalam dan sangat penting
adalah tidak terdapat dalam kalangan orang-orang biasa.
Keyakinan tentang adanya Tuhan tidak merupakan hasil pikiran
seorang pujangga, akan tetapi merupakan hasil dari pengalaman bertahun-
tahun ketika manusia berjuang melampaui kegelapan spiritisme dan politisme
sampai pada tingkatan yang tertinggi.4 Untuk mencapai ke tingkatan yang
lebih tinggi ini, manusia terlebih dahulu melalui proses pendidikan yaitu
seorang guru terlebih dahulu memberikan ajaran agama kepada murid
terutama tentang ketauhidan.
Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah saw, yang
menanamkan akidah tauhid ke dalam jiwa umatnya dengan menundukkan
pandangan, mengarahkan pikiran, membangkitkan rasio dan mengingatkan
perilaku. Rasulullah saw. mereformasi dan menganjurkan penanaman akidah
tauhid dengan pendidikan dan mengembangkannya sehingga dapat
mengantarkan pada puncak kesuksesan, dapat memalingkan umat dari
menyembah berhala dan syirik pada akidah tauhid.5
Esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri dan esensi Islam
adalah tauhid atau pengesaan Tuhan, yaitu tindakan yang menegaskan bahwa
Allah sebagai Yang Maha Esa, Pencipta yang mutlak dan transenden,
Penguasa segala yang ada.6 Dengan demikian, masalah pendidikan tauhid

3
Zainuddin, Ilmu Tauhid lengkap, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), hlm. 3.
4
Dikutip dari bukunya M. Habib Mustopo, Ilmu Budaya Dasar, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1998), hlm. 32.
5
Sayid Sabiq, Akidah Islam : Suatu Kajian yang Memposisikan Akal sebagai Mitra
Wahyu, (Surabaya: Al Ikhlas, 1996), hlm. 36.
6
Ismail Raji Al Faruqi, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 16.
3

dalam Islam mendapat perhatian utama dan menjadi tugas terpenting para
rasul. Tauhid itu sebagai misi yang dibawa oleh seluruh para Nabi Allah swt.
untuk disampaikan kepada umatnya, kemudian misi tersebut dilanjutkan oleh
para pewaris nabi (ulama) hingga sampai ke Indonesia, antara lain pulau Jawa,
dan pelopornya antara lain Wali Sanga. Dalam sejarah penyebaran agama di
Jawa, Islam mengalami perkembangan yang cukup unik.
Suatu hal yang sangat menarik ditinjau dari sudut agama adalah
pandangan yang bersifat sinkretis yang mempengaruhi watak dari kebudayaan
dan kepustakaan Jawa. Dan kepustakaan Jawa sendiri terbagi menjadi dua
bagian, yaitu kepustakaan Islam santri dan kepustakaan Islam kejawen.7Salah
satu kepustakaan Islam kejawen yang dimaksud ialah Serat Wirid Hidayat
Jati, yang untuk selanjutnya disingkat SWHJ. Karya sastra tersebut berisi
ajaran ketauhidan (ilmu kemakrifatan) yang bersumber dari riwayatnya
wiradat, ajaran wali di pulau Jawa. SWHJ merupakan salah satu karya sastra
yang berbentuk prosa, yang disusun oleh R. Ng. Ranggawarsita, seorang
pujangga Jawa Muslim, yang hidup dan berkarya pada pertengahan abad ke-
19.8 Karya sastra ini dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial, karena karya
sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu berkaitan dengan
kehidupan masyarakat, norma-norma dan adat istiadat zaman itu.9
Pengarang menggubah karyanya selaku anggota masyarakat sekaligus
menyapa pembaca yang sama-sama merupakan anggota masyarakat tersebut.
Pembahasan hubungan sastra dan masyarakat, biasanya bertolak dari frase,
menurut De Bonald bahwa “literature is an expression of society “.10
Karya sastra yang unggul, kerap kali dipandang sebagai cerminan
hidup masyarakat. Karya sastra tersebut dapat sampai kepada pembaca lewat
perjalanan yang panjang dari generasi ke generasi. Hubungan sangat kuat
antara karya sastra, pengarang dan pembaca telah membentuk ketiganya

7
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Jakarta: Univesitas
Indonesia Press, 1988), hlm. 2.
8
Ibid., hlm. 37.
9
Zulfahnur Z. F., dkk., Teori Sastra, (Jakarta: Depdikbud, 1998), hlm. 21.
10
Rene Wellek and Austin Warren, Theory of Literature, (New Zealand: Penguin Book,
1973), hlm. 95
4

menjadi satu kesatuan yang saling terkait dalam kehadirannya di jagad sastra.
Sebagai hasil karya seorang pujangga, kehadirannya tidak bisa lepas dari
fungsi penyaluran ide pribadi pengarangnya. Bagi masyarakat pembaca, karya
sastra juga mempengaruhi pola tingkah laku mereka karena karya sastra
mengandung unsur pendidikan dan ajaran yang bisa dianut.11
R. Ng. Ranggawarsita telah mampu membawa perubahan besar pada
peta kesusastraan Jawa pada masa itu. Bahkan melalui karya-karyanya,
akhirnya beliau mampu menciptakan suatu garis anutan bagi pembentukan
watak pribadi suatu pola perilaku masyarakat Jawa secara luas. Ini bisa
dipelajari melalui tulisan-tulisannya. Di antara karya sastranya yang paling
terkenal hingga sekarang serat wirid hidayat jati.12 Serat inilah yang akan
dibahas oleh peneliti karena isinya mengandung nilai pendidikan tauhid.
Pujangga tersebut dalam menyusun karya sastra berupa SWHJ,
memuat ajaran Islam dan tradisi budaya Jawa sehingga menimbulkan
persinggungan antara nilai Islam dan nilai budaya Jawa. Persinggungan Islam-
Jawa menjadi persoalan pelik dan telah menghasilkan sejumlah pemikiran
yang patut dijadikan pertimbangan awal.
Menurut Mark R. Wooward, Islam mengalami keberhasilan yang
sempurna di Jawa karena Islam merupakan kekuatan dominan dalam ritus dan
kepercayaan orang Jawa. Pertemuan Islam dan Jawa secara stereotype
(berpandangan sebelah saja) digambarkan berjalan amat damai dan mulus.
Islam yang universal dan Jawa yang akomodatif dianggap sebagai pilar
penyangga utamanya.13
Sejarah Islam-Jawa tidak sekedar soal konversi (peralihan bentuk), tapi
juga soal penegakan Islam sebagai agama kerajaan, suatu proses yang

11
Zulfahnur Z. F., dkk., op. cit., hlm. 12.
12
Adapaun serat atau karya R. Ngabehi Ronggowarsito yang lain diantaranya:
Pustakaradja (memuat cerita wayang Mahabarata), Tjemporet (cerita roman yang bahasanya
indah), Kalatidha (yang terkenal dengan gambaran zaman edan), Jaka Lodhang (berisi ramalan
tentang datangnya zaman baik atau bisa ditafsiri sebagai ramalan akan datangnya kemerdekaan
negara Indonesia), Sabda tama (ramalan tentang sifat zaman makmur dan tingkah laku manusia
yang loba tamak), Sabdajati (berisi tentang ramalan zaman hingga sang pujangga minta diri untuk
memenuhi panggilan Tuhan), lihat R. M. Ng. Poerbatjaraka, Kapustakan Djawi, (Jakarta:
Djambatan, 1954), hlm. 163.
13
Mark R. Woodward, Islam Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 4.
5

mengakibatkan penghancuran banyak kebudayaan Hindu-Budha dan


subordinasi ulama atas kekuasaan keraton. Proses formulasi kerajaan Islam
menguasai kehidupan keagamaan di Jawa sangat kompleks. Dalam kaitan itu
R. Ng. Ranggawarsita melalui karya-karyanya terutama SWHJ yang telah
menunjukkan hasil pendidikan yang ditempuhnya dengan ketajaman nalar dan
wawasannya.
Sebagai contoh dalam SWHJ terdapat suluk dan wedharan dari para
wali, ada ajaran tentang “wisikan ananing dat”.14 Ini merupakan pengenalan
terhadap Tuhan (Allah SWT), yang merupakan ajaran awal untuk melakukan
persaksian. Kemudian dalam “panetep iman” diajarkan pembacaan syahadat
(kesaksian) tetapi dalam bahasa jawa, yang syahadat atau persaksian itu
merupakan tanda seseorang masuk Islam dan merupakan awal seorang muslim
dikenakan hukum taklif. Selain itu pula diterangkan tata cara pelaksanaan
peribadatan yang meski agak terkesan kejawen tetapi tidak menyalahi syarat-
rukun yang ada dalam aturan Islam.

B. Penegasan Istilah
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang masalah yang akan peneliti
kemukakan dan agar tidak terjadi perbedaan persepsi perlu dijelaskan dan
ditegaskan maksud serta batasan-batasan istilah yang digunakan. Adapun
istilah-istilah yang perlu ditegaskan pengertiannya di sini adalah sebagai
berikut:

1. Nilai-nilai pendidikan tauhid


Pendidikan tauhid mempunyai arti suatu proses bimbingan untuk
mengembangkan dan memantapkan kemampuan manusia dalam mengenal
keesaan Allah. Pendidikan tauhid yang berarti membimbing atau
mengembangkan potensi (fitrah) manusia dalam mengenal Allah ini,

14
Selain itu ada juga wedharan wahananing dat, gelaran kahananing dat, panetep iman
dlsb, lihat Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Jakarta: Univesitas
Indonesia Press, 1988), hlm. 174-175.
6

menurut pendapat Chabib Thoha, “supaya siswa dapat memiliki dan


meningkatkan terus-menerus nilai iman dan taqwa kepada Allah Yang
Maha Esa sehingga pemilikan dan peningkatan nilai tersebut dapat
menjiwai tumbuhnya nilai kemanusiaan yang luhur”.15
Dengan kata-kata lain pendidikan tauhid adalah usaha mengubah
tingkah laku manusia berdasarkan ajaran tauhid dalam kehidupan melalui
bimbingan, pengajaran dan pelatihan dengan dilandasi oleh keyakinan
kepada Allah semata.
Dengan pendidikan tauhid, manusia akan menjadi manusia hamba
bukan manusia yang dehumanis, kemudian timbul rasa saling mengasihi,
menolong, memberikan hartanya yang lebih kepada mereka yang
membutuhkan, selalu waspada terhadap tipu daya dunia dan manusia
zalim, dapat belaku sederhana (zuhud) dan hati yang wara.16
Jadi nilai-nilai pendidikan tauhid adalah nilai atau esensi
ketauhidan (ke-Esaan), aplikasi dan implementasinya yang dapat diambil
dari suatu kajian dan ditransformasikan sebagai bahan pengajaran dan
pendidikan.
Nilai-nilai pendidikan tauhid adalah nilai atau esensi ketauhidan
(ke-Esaan), aplikasi dan implementasinya yang dapat diambil dari suatu
kajian dan ditransformasikan sebagai bahan pengajaran dan pendidikan.

2. Serat Wirid Hidayat Jati Karya Raden Ngabehi Ronggowarsito

15
M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1996),hlm. 62
16
Pengalaman ketauhidan yang tercermin pada diri manusia disebabkan seseorang telah
mengetahui dan menginsafi kebenaran kedudukan Allah, menyadari akan keagungan dan
kebesaran-Nya sehingga dari sini segala apa yang dilakukan akan mengarahkasn tujuan
pandangannya ke arah yang baik dan benar. Buah mengenal (ma’rifat) akan adanya Allah ini, di
antaranya akan tersimpul dalam bentuk sikap sebagai berikut :
a. Adanya perasaan merdeka dalam jiwa dari kekuasaan orang lain
b. Adanya jiwa yang berani dan ingin terus maju membela kebenaran
c. Adanya sikap yakin, bahwa hanya Allahlah yang Maha Kuasa memberi rizki
d. Dapat menimbulkan kekuatan moral pada manusia (kekuatan Maknawiah) yang dapat
menghubungkan manusia dengan sumber kebaikan dan kesempurnaan (Allah)
e. Adanya ketetapan hati dan ketenangan jiwa.
f. Allah memberikan kehidupan sejahtera kepada orang mukmin di dunia, lihat Sayyid Sabiq,
Aqidah Islam, terj. Moh. Abdul Rahtomy, (Bandung : Diponegoro, 1996), hlm. 133-13
7

Serat adalah sebutan sebuah kitab kapustakaan Jawa, dan wirid


ialah amalan ibadah yang dijalankan secara terus menerus untuk
menyongsong datangnya anugerah Tuhan. Sedangkan kata hidayat berasal
dari bahasa Arab berarti petunjuk dan kata Jati dalam bahasa Jawa berarti
temen atau benar (nyata). Jadi wirid hidayat jati berarti amalan petunjuk
yang sebenarnya.17
Jadi serat wirid hidayat jati berarti amalan petunjuk yang
sebenarnya.18 Serat ini adalah karangan R. Ng. Ranggawarsita. Isinya
membicarakan masalah kajian makrifat, yakni pandangan terhadap sifat
Tuhan. Ajaran Hidayat Jati ini menerangkan tingkatan ilmu makrifat,
bersumber dari riwayatnya wiradat, ajaran para wali di pulau Jawa.19
Karena nama Ranggawarsito adalah nama pemangku jabatan di
bawah tumenggung yang turun temurun, maka perlu peneliti jelaskan
bahwa yang dimaksud disini adalah Ranggawarsito III. Karena
Ronggowarsito I adalah Yasadipuro II (kakek dari Ronggowarsito III), dan
Ronggowarsito II adalah Suradimejo yang notabenenya adalah ayah dari
Ronggowarsito III.
Jadi yang dimaksud dengan Nilai Pendidikan Tauhid dalam SWHJ
Karya R. Ng. Ranggawarsita di sini ialah hakikat suatu hal yang pantas
diambil dari inti ajaran dengan upaya yang keras dan bersungguh-sungguh
dalam mengembangkan, mengarahkan, membimbing akal pikiran, jiwa,
qalbu dan ruh kepada pengenalan dan cinta kepada Allah dan
melenyapkan segala sifat, af’al, asma dan zat yang negatif dengan positif
serta mengekalkannya dalam suatu kondisi dan ruang.

C. Perumusan Masalah
Langkah selanjutnya setelah penegasan istilah adalah perumusan
pokok permasalahan yang akan dikaji. Menurut Suharsimi Arikunto,

17
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Jakarta: Univesitas
Indonesia Press, 1988), hlm. 277.
18
Ibid
19
R. Ng. Ronggowarsito Wirid Hidayat Jati, (Semarang: Dahara Prize, 1974), hlm. 3.
8

“permasalahan yang paling baik apabila permasalahan itu datang dari diri
sendiri, karena hal itu didorong oleh adanya kebutuhan untuk memperoleh
jawabannya”.20 Pokok permasalahan pengkajian dalam hal ini sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan pendidikan tauhid?
2. Bagaimana isi kitab SWHJ karya R. Ng. Ranggawarsita?
3. Unsur atau aspek pendidikan tauhid apa saja yang mungkin terdapat dalam
SWHJ karya R. Ngabehi Ronggowarsito?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan
Sesuai dengan permasalahan yang diajukan, maka tujuan yang
hendak diperoleh dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pendidikan tauhid.
b. Untuk mengetahui isi kitab dalam SWHJ karya R. Ng. Ranggawarsita.
c. Untuk mengetahui nilai, unsur atau aspek pendidikan tauhid apa saja
yang mungkin terdapat dalam SWHJ karya R. Ng. Ranggawarsita.
2. Manfaat
Setelah lingkup masalah berhasil dirumuskan, maka pada
hakikatnya peneliti telah mengajukan inti dari tujuan penelitian yang akan
dilakukan dalam penelitian.
Rumusan tentang kegunaan hasil penelitian adalah kelanjutan dari
tujuan penelitian. Apabila peneliti telah selesai mengadakan penelitian dan
memperoleh hasil, ia diharapkan dapat menyumbangkan hasil itu kepada
negara, atau khususnya kepada bidang yang sedang diteliti.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Hasil penelitian dapat dimanfaatkan sebagai referensi/acuan yang
dapat dijadikan wacana bagi pendidik dalam menyampaikan materi
pendidikan agama Islam khususnya dalam masalah ketauhidan.

20
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm. 22.
9

b. Hasil penelitian dapat dimanfaatkan sebagai wacana untuk lebih


mendalami pengetahuan tentang akulturasi dan sinkretisme antara
Islam dan Jawa.
c. Hasil penelitian dapat dimanfaatkan sebagai wacana agar para
pembaca tidak mengalami keterjebakan pemahaman tentang Islam-
Kejawen.
d. Hasil penelitian dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar bagi
pelaksanaan penelitian lebih lanjut.

E. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan
pendekatan pustaka (library research), yaitu suatu pendekatan yang
mengkaji serta mengggunakan literature sebagai bahan acuan dan rujukan
dalam mengelola data.21 Penelitian kualitatif ini sebagai prosedur penilaian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
seseorang yang dapat diamati.22 Dalam hal ini objeknya adalah pemikiran
tauhid yang terkandung dalam SWHJ karya Pujangga R. Ng.
Ranggawarsita.

2. Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi
pustaka. Dalam tahapan ini, peneliti berusaha menyeleksi data-data (buku)
yang ada relevansinya dengan pendidikan tauhid dan SWHJ karya R.Ng.
Ranggawarsita.
a. Sumber Data Primer, yaitu data yang sangat mendukung dan pokok
dalam penelitian. Dalam hal ini, peneliti menggunakan Transkripsi
SWHJ karya R. Ng. Ranggawarsita di beberapa museum

21
Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajahmada
University Press, 1999), hlm. 23
22
Sudarto M. Hum., Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Grafindo Persada, 1997),
hlm. 62
10

(Radyapustaka dan Reksacipta di Surakarta dan museum


Ronggowarsito di Semarang). Serta membandingkannya dengan Serat
Wirid Hidayat Jati yang telah diterbitkan oleh beberapa penerbit lain.
b. Sumber Data Sekunder, yaitu data yang berorientasi pada data yang
mendukung secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan
dengan subjek penelitian.23 Data sekunder yang dimaksud dalam hal
ini adalah salinan naskah SWHJ terbitan Administrasi Jawi kandha
Surakarta yang telah dikutip dan dialihbahasakan oleh Simuh dalam
karyanya yang berjudul “Mistik Islam Kejawen R. Ng.
Ranggawarsita”, Hidayat Jati Kawedhar Sinartan Wawasan Islam
disusun oleh R. Ng. Honggopradoto dkk, Pengaruh Islam dalam
Karya-karya R. Ng. Ranggawarsita disusun oleh Dhanu Priyo
Prabowo, Pujangga Ranggawarsita disusun oleh Kamajaya, Babad
Cariyos Lelampahanipun Suwargi R. Ng. Ranggawarsita disusun oleh
Komite Ranggawarsita, Paramayoga Ranggawarsita : Mitos Asal Usul
Manusia Jawa diterjemahkan oleh Otto Sukatno Cr, Filsafat Jawa
disusun oleh Abdullah Ciptoprawiro, R. Ng. Ranggawarsita Apa yang
Terjadi disusun oleh Anjar Any, Kapustakan Djawi disusun oleh R. M.
Ng. Poerbatjaraka, Pendidikan Ketuhanan dalam Islam disusun oleh
Hamdani, Risalah At Tauhid disusun oleh Syekh Muhammad Abduh,
dan referensi lain yang berkaitan.

3. Analisis Data
Data yang telah terkumpul diolah dengan Metode
a. Hermeneutika
Hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu dari
situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, secara harfiah dapat diartikan
sebagai penafsiran atau interpretasi. Karya tokoh diselami untuk

23
Saifudin Anwar, MA., Metode Penelitian, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1998),
hlm. 91
11

menangkap arti dan suasana yang dimaksudkan tokoh secara khas.24


Langkah metode ini adalah sebagai berikut.
1) Hermeneutika teks.
Menerjemahkan atau meneliti kembali teks SWHJ baik
yang berupa bahasa jawa (teks asli), translitan SWHJ maupun
terjemahan SWHJ dalam bahasa Indonesia.
2) Hermeneutika reader.
Melakukan telaah dan studi terhadap pembacaan-
pembacaan SWHJ, antara pembacaan SWHJ masa dulu dan
sekarang.
3) Hermeneutika realita
Melakukan telaah terhadap realita (sosiokultur,
keberagaman dan suasana politik) masa dulu (semasa hidup sang
pujangga) dan realita masa sekarang.25
Semua langkah-langkah ini dimaksud untuk melakukan
interpretasi guna menangkap arti, nilai dan maksud pendidikan tauhid
yang terkandung dalam SWHJ.
b. Analisis Sintesis
Metode ini berarti “cara penanganan terhadap objek ilmiah
tertentu dengan jalan menggabungkan pengertian yang satu dengan
pengertian lain, yang pada akhirnya dapat diperoleh pengetahuan yang
sifatnya baru”.26
Dengan metode ini akan dilakukan analisis tentang SWHJ yang
mengajarkan ilmu kasampurnan yang dengan menggabungkan
konseps ilmu kasampurnan menurut beberapa penulis muslim lain.
c. Content Analysis
Maksudnya ialah “penelitian yang dilakukan terhadap
informasi yang didokumentasikan dalam rekaman, baik gambar, suara,

24
Sudarto M. Hum., op.cit., hlm. 84.
25
Dikutip dari seni menerjemahkan karya A. Widyamartaya, hlm. 20
26
Sudarto M. Hum., op.cit.,., hlm. 61.
12

tulisan dan lain-lain”.27 Dengan metode ini akan dilakukan analisis


data dan pengolahan secara ilmiah tentang isi tulisan dalam SWHJ
tersebut.
d. Intrinsik
Metode penelitian sastra ini bertolak dari interpretasi dan
analisis karya sastra itu sendiri.28 Maksudnya penelitian tersebut
dilakukan terhadap sebuah karya sastra dalam hal ini SWHJ yang
dilihat dari unsur dalamnya dengan cara telaah, kritik dan penilaian
terhadap karya sastra. Dalam hal ini tema yang diusung, amanat (pesan
moral), penokohan, alur atau plot, setting termasuk gaya bahasa dari
SWHJ juga diteliti agar tidak terjadi missinterpretasi dalam pengkajian
lebih lanjut.

F. Sistematika Penulisan Skripsi


Untuk memudahkan pencarian dan penelaahan pokok-pokok masalah
yang akan dibahas, sistematika penulisan skripsi sangat diperlukan.
Sistematika di sini dimaksudkan sebagai gambaran umum yang menjadi isi
pembahasan skripsi ini.
Penulisan sistematika skripsi adalah suatu cara untuk menyusun dan
mengolah hasil penelitian dari data-data dan bahan-bahan yang disusun
menurut urutan tertentu sehingga menjadi kerangka skripsi. Skripsi ini terdiri
dari tiga bagian besar yang merupakan rangkaian dari beberapa bab. Ketiga
bagian besar tersebut adalah sebagai berikut.
1. BAGIAN MUKA
Pada bagian ini memuat : Halaman Judul, Halaman Nota
Pembimbing, Halaman Pengesahan, Halaman Motto, Halaman
Persembahan, Halaman Kata Pengantar, Abtraksi dan Daftar isi.

27
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Bina Aksara, 2000), hlm. 321.
28
Rene Wellek and Austin Warren, Theory of Literature, terj. Melani Budianta, Teori
Kesusastraan, (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hlm. 157.
13

2. BAGIAN ISI
Bagian ini memuat beberapa bab sebagai berikut.
BAB I : Pendahuluan
Bab ini memuat : Latar Belakang Masalah, Alasan Pemilihan
Judul, Penegasan Istilah, Permasalahan Penelitian, Tujuan
Penelitian, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penelitian untuk
Skripsi.

BAB II : Tinjauan Umum Tentang Pendidikan Tauhid


Bab ini membahas Pendidikan Tauhid meliputi: Pengertian
Pendidikan Tauhid, Materi Pendidikan Tauhid, Dasar dan Tujuan
Pendidikan Tauhid, Pentingnya Pendidikan Tauhid.

BAB III: Biografi dan Karya R. Ng. Ranggawarsita


Bab ini membahas tentang : Biografi R. Ng. Ranggawarsita,
Beberapa Karya Sastra dan Tipologi Penulisan R. Ng.
Ranggawarsita, Posisi SWHJ dalam Sastra Jawa dan Isi SWHJ
yang Memuat Pendidikan Tauhid

BAB IV : Analisis Pendidikan Tauhid


Bab ini membahas muatan pendidikan tauhid dalam SWHJ dan
Nilai Pendidikan Tauhid yang terkandung dalam SWHJ karya R.
Ng. Ranggawarsita.

BAB V: Penutup
Bab ini berisi Simpulan, Saran-saran dan Penutup.

3. BAGIAN AKHIR
Pada bagian ini memuat : Daftar pustaka, Lampiran-lampiran dan
Daftar Riwayat Hidup Penyusun.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN TAUHID

A. Pendidikan Tauhid
1. Pengertian Pendidikan Tauhid
Pendidikan merupakan hal yang penting bagi kehidupan
manusia. Dengan pendidikan itulah manusia dapat maju dan berkembang
dengan baik, melahirkan kebudayaan dan peradaban positif yang
membawa kebahagian dan kesejateraan hidup mereka. Hal ini disebabkan
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin tinggi pula
tingkat kebudayaan dan peradabannya. Kata pendidikan berasal dari kata
dasar didik atau mendidik, yang secara harfiah berarti memelihara dan
memberi latihan.29
Dalam bahasa Arab kata pendidikan juga berasal dari kata
rabba-yurabbi-tarbiyatan, berarti mendidik, mengasuh dan memelihara.30
Bahasa Arab pendidikan juga sering diambilkan dari kata ‘allama dan
addaba. Kata allama berarti mengajar (menyampaikan pengetahuan),
memberitahu, mendidik. sedang kata addaba lebih menekankan pada
melatih, memperbaiki, penyempurnaan akhlak (sopan santun) dan berbudi
baik.31 Namun kedua kata tersebut jarang digunakan untuk
diterapkan sebagai wakil dari kata pendidikan, sebab pendidikan itu harus
mencakup keseluruhan, baik aspek intelektual, moralitas atau
psikomotorik dan afektif.
Dengan demikian, ada tiga istilah pendidikan dalam konteks Islam
yang digunakan untuk mewakili kata pendidikan, yaitu tarbiyah,
ta’lim dan ta’dib. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, kata tarbiyah
dipandang tepat untuk mewakili kata pendidikan, karena kata tarbiyah

29
Muhibin Syah, M. Ed., Psikologi Pendidikan, Editor : Anang Solihin Wardan, PT.
Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm 32.
30
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir, (Yogyakarta : PP. Al Munawwir,
1989), hlm. 504
31
Ibid. hlm. 461 dan 1526

14
15

mengandung arti memelihara, mengasuh dan mendidik yang ke


dalamnya sudah termasuk makna mengajar atau ‘allama dan
menanamkan budi pekerti (addab).32
Walaupun demikian, baik tarbiyah, ta’lim dan ta’dib, semua
merujuk kepada Allah. Tarbiyah ditengarai sebagai kata bentukan dari kata
Rabb, yang mengacu kepada Allah sebagai Rabbal ‘alamiin. Ta’lim yang
berasal dari kata ‘allama, juga menuju kepada Allah sebagai Zat
Yang Maha Alim. Selanjutnya kata ta’dib memperjelas bahwa sumber
utamapendidikan adalah Allah.
Dalam Kamus Pendidikan, kata pendidikan diartikan sebagai
“upaya membantu peserta didik untuk mengembangkan dan
meningkatkan pengetahuan, kecakapan, nilai, sikap dan pola tingkah
laku yang berguna bagi hidupnya”.33
Dalam kitab At Tarbiyah wa Thariq At Tadris dijelaskan bahwa

‫ﻓﺎﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ﺍﺫﻥ‬. ‫ﺇﻥ ﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ﻫﻲ ﺍﳌﺆﺛﺮﺍﺕ ﺍﳌﺨﺘﻠﻔﺔ ﺍﱃ ﺗﻮﺟﻪ ﻭﺗﺴﻴﻄﺮ ﳊﻴﺎﺓ ﺍﻟﻔﺮﺩ‬
34
‫ﺗﻮﺟﻴﻪ ﻟﻠﺤﻴﺎﺓ ﺍﻭ ﺗﺸﻜﻴﻞ ﻟﻄﺮﻳﻘﺔ ﻣﻌﻴﺸﺘﻨﺎ‬
Pendidikan adalah berbagai macam pengaruh guna menghadapi
hidup seseorang. Jadi pendidikan berarti menyongsong kehidupan
atau pembentukan pola hidup seseorang.

Adapun arti pendidikan menurut Al Ghazali yaitu


Proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai
akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang
disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, di mana
proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan
masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga
menjadi manusia sempurna.35

32
Abdul Halim (ed.), Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), hlm. 25
33
St. Vembriarto, dkk., Kamus Pendidikan, (Jakarta : Grasindo, 1994), hlm. 47
34
Shaleh Abdul Aziz, At Tarbiyyah wa Thariq At Tadris, (Lebanon : Daarul Ma’arif,
1979), hlm. 13
35
Dikutip dalam karya Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al Ghazali tentang Pendidikan,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 56
16

Pengertian pendidikan dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang


Sistem Pendidikan Nasional Bab I, pasal 1, ayat 1, dijelaskan
bahwa

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan


suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat bangsa dan negara.36

dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pada hakikatnya pendidikan


adalah ikhtiar manusia untuk membantu dan mengarahkan pertumbuhan
dan perkembangan fitrah (kemampuan dasar) atau potensi manusia agar
berkembang sampai titik maksimal sesuai dengan tujuan yang dicita-
citakan.
Kata tauhid berasal dari kata kerja wahhada, yang berarti
“mengesakan, menyatakan atau mengakui Yang Maha Esa”.37 Maksudnya
ialah keyakinan atau pengakuan terhadap keesaan Allah, Zat Yang Maha
Mutlak.
Tauhid menurut pendapat Muhammad Abduh adalah “asal makna
tauhid ialah meyakini bahwa Allah adalah satu, tidak ada syarikat bagi-
Nya”.38 Keyakinan tentang satu atau Esanya Zat Allah, tidak hanya
percaya bahwa Allah ada, yang menciptakan seluruh alam semesta beserta
pengaturannya, tetapi haruslah percaya kepada Allah dengan segala
ketentuan tentang Allah meliputi Sifat, Asma dan af’al-Nya”.39
Dengan demikian, tauhid adalah suatu bentuk pengakuan dan
penegasan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, Zat Yang Maha
Suci yang meliputi sifat, asma dan af’al-Nya.

36
UU RI. Tentang Sistem Pendidikan Nasional, tahun 2003, hlm. 3
37
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., hlm. 164
38
Syekh Muhammad Abduh, Risalah At Tauhid, terj. H. Firdaus A. N., (Jakarta : Bulan
Bintang, 1992), hlm. 3
39
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm. 1
17

Secara sederhana pendidikan tauhid mempunyai arti suatu proses


bimbingan untuk mengembangkan dan memantapkan kemampuan
manusia dalam mengenal keesaan Allah. Menurut Hamdani pendidikan
tauhid yang dimaksud di sini ialah suatu upaya yang keras dan
bersungguh-sungguh dalam mengembangkan, mengarahkan, membimbing
akal pikiran, jiwa, qalbu dan ruh kepada pengenalan (ma’rifat) dan cinta
(mahabbah) kepada Allah SWT; dan melenyapkan segala sifat, af’al,
asma dan dzat yang negatif dengan yang positif (fana’fillah) serta
mengekalkannya dalam suatu kondisi dan ruang (baqa’billah).40
Pendidikan yang dimaksud ialah agar manusia dapat
memfungsikan instrumen-instrumen yang dipinjamkan Allah kepadanya,
akal pikiran menjadi brilian di dalam memecahkan rahasia ciptaan-Nya,
hati mampu menampilkan hakikat dari rahasia itu dan fisik pun menjadi
indah penampilannya dengan menampakkan hak-hak-Nya.41
Pendidikan tauhid yang berarti membimbing atau mengembangkan
potensi (fitrah) manusia dalam mengenal Allah. Chabib Thoha
berpendapat, “supaya siswa dapat memiliki dan meningkatkan terus-
menerus nilai iman dan taqwa kepada Allah Yang Maha Esa sehingga
pemilikan dan peningkatan nilai tersebut dapat menjiwai tumbuhnya nilai
kemanusiaan yang luhur”.42
Dengan pendidikan tauhid ini, manusia akan menjadi manusia
hamba bukan manusia yang dehumanis, kemudian timbul rasa saling
mengasihi, menolong, memberikan hartanya yang lebih kepada mereka
yang membutuhkan, selalu waspada terhadap tipu daya dunia dan manusia
zalim, dapat belaku sederhana (zuhud) dan hati yang wara.
Dengan demikian pendidikan tauhid mempunyai makna yang dapat
kita pahami sebagai upaya untuk menampakkan atau mengaktualisasikan

40
M. Hamdani B. DZ, Pendidikan Ketuhanan dalam Islam, (Surakarta : Muhammadiyah
University Press, 2001), hlm. 10
41
Ibid., hlm. 10
42
M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1996),hlm. 62
18

potensi laten yang dimiliki oleh setiap manusia, yang dalam bahasa
Islamnya potensi laten ini disebut dengan fitrah beragama. Oleh sebab itu
pendidikan tauhid lebih diarahkan pada pengembangan fitrah
keberagamaan seseorang sebagai manusia tauhid. Dengan kata lain
pendidikan tauhid adalah usaha mengubah tingkah laku manusia
berdasarkan ajaran tauhid dalam kehidupan melalui bimbingan, pengajaran
dan pelatihan dengan dilandasi oleh keyakinan kepada Allah semata.
Hal ini sesuai dengan karakteristik ajaran Islam sendiri yaitu,
mengesakan Allah dan menyerahkan diri kepada-Nya. Allahlah yang
mengatur hidup dan kehidupan umat manusia dan seluruh alam. Dialah
yang berhak ditaati dan dimintai pertolongan-Nya.43

B. Materi Pendidikan Tauhid


Islam adalah agama wahdaniyah, yang meliputi beberapa agama
samawi. Islam mendokumentasikan ajarannya dalam Al Qur’an, dan tauhid
merupakan dasar dari beberapa agama samawi, seperti agama yang dibawa
Nabi Ibrahim dan Nabi lainnya yang menegakkan ajaran tauhid.44
Ajaran tauhid bukanlah monopoli ajaran Nabi Muhammad akan tetapi
ajaran tauhid ini merupakan prinsip dasar dari semua ajaran agama samawi.
Para nabi dan rasul diutus oleh Allah untuk menyeru kepada pengesaan Allah
dan meninggalkan dalam penyembahan selain Allah. Walaupun semua nabi
dan rasul membawa ajaran tauhid, namun ada perbedaan dalam hal pemaparan
tentang prinsip-prinsip tauhid. Hal ini dikarenakan tingkat kedewasaan
berfikir masing-masing umat berbeda sehingga Allah menyesuaikan tuntunan
yang dianugrahkan kepada para nabi- Nya sesuai dengan tingkat kedewasaan
berfikir umat tersebut.45
Pemaparan tauhid mencapai puncaknya ketika Nabi Muhammad.
diutus untuk melanjutkan perjuangan nabi sebelumnya. Pada masa itu uraian

43
Zaky Mubarok Latif, dkk., Akidah Islam, UI Press, Yogyakarta, 1998, hlm. 80
44
Syekh Muhammad Abu Zahra, Al ‘Aqidah Al Islamiyyah, (ttp : ‘Udhwal Majmu’,
1969), hlm. 18
45
M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, (Bandung : Mizan, 1996), hlm. 19
19

tentang Tuhan dimulai dengan pengenalan perbuatan dan sifat Tuhan yang
terlihat dari wahyu pertama turun,46 yaitu yang diawali dengan kata
iqra’(bacalah).
Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tauhid dalam pendidikan model
Islam merupakan masalah pertama dan utama yang dikedepankan sehingga
semua orientasi proses pendidikan akhirnya akan bermuara pada pengakuan
akan kebesaran Allah. Adapun Materi pendidikan tauhid yaitu:
1. Adanya Wujud Allah
Untuk membuktikan mengenai wujud Allah, yaitu dengan upaya
mengingatkan akal pikiran manusia, mengarahkan pandangannya kepada
fenomena alam semesta, melakukan perbandingan dengan dimensi yang
hak, memperhatikan tatanan dan peraturan alam serta berlangsungnya
hukum sebab akibat sehingga manusia dapat sampai kepada suatu konklusi
yang meyakinkan bahwa alam semesta ini mempunyi pencipta dan
pencipta ini pasti wajibul wujud lagi Maha mengetahui, Maha Bijaksana
dan Maha Kuasa.47
Bila kita perhatikan alam ini maka timbul kesan adanya
persesuaian dengan kehidupan manusia dan makhluk lain. Persesuaian ini
bukanlah suatu yang kebetulan melainkan menunjukkan adanya
penciptaan yang rapi dan teratur yang berdasarkan ilmu dan
kebijaksanaan; sebagaimana siang dan malam, matahari dan bulan, empat
musim, hewan dan tumbuhan serta hujan. Semua ini sesuai dengan
kehidupan manusia. Hal ini menampakkan kebijaksanaan Tuhan. Dengan
memperhatikan penciptaan manusia, hewan dan lainnya, menunjukkan
bahwa makhluk-makhluk tersebut tidak mungkin lahir dalam wujud
dengan sendirinya. Gejala hidup pada beberapa makhluk juga berbeda-
beda. Misalnya tumbuh-tumbuhn hidup, berkembang dan berubah.
Hewan juga hidup dengan mempunyai insting, dapat bergerak,
bekembang, makan dan mengeluarkan keturunan. Manusia pun demikian,

46
Ibid., hlm 23
47
M. Hamdani B. Dz., op. cit., hlm 15
20

akan tetapi manusi mempunyai kelebihan yaitu dapat befikir. Hal ini
menunjukkan adanya penciptaan yang mengehendaki supaya sebagian
makhluk-Nya lebih tinggi daripada sebagian yang lain.
Selain itu, seseorang bisa mengetahui keberadaan sesuatu tanpa
harus melihatnya secara materi. Dalam kehidupan sehari-hari ini seseorang
bisa mengakui bahwa untuk mengetahui adanya angin dapat dengan cara
merasakannya dan melihat bekas-bekasnya. Seseorang mengakui adanya
nyawa tanpa melihatnya sehingga hal ini cukup menguatkan asumsi bahwa
untuk membuktikan adanya Tuhan tidak harus dengan pembuktian
material.
Dalam jiwa manusia sebenarnya telah tertanam suatu perasaan
adanya Allah, suatu perasaan naluriah (fitrah) yang diciptakan oleh Allah
pada diri manusia sendiri; sebagaimana Firman Allah dalam Surat Ar
Ruum ayat 30:

‫ﻪ‬ ‫ﺨ ﹾﻠ ﹺﻖ ﺍﻟﻠﱠ‬
 ‫ﻟ‬ ‫ﻳ ﹶﻞ‬‫ﺒﺪ‬‫ﺗ‬ ‫ﺎ ﹶﻻ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺱ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺮ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﻲ ﹶﻓ ﹶﻄ‬‫ﻪ ﺍﱠﻟﺘ‬ ‫ﺮ ﹶﺓ ﺍﻟﻠﱠ‬ ‫ﻓ ﹾﻄ‬ ‫ﺣﻨﹺﻴﻔﹰﺎ‬ ‫ﻳ ﹺﻦ‬‫ﻠﺪ‬‫ﻚ ﻟ‬  ‫ﻬ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻗ‬‫ﹶﻓﹶﺄ‬
(30 : ‫ﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﺮﻭﻡ‬‫ﻌﹶﻠﻤ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺱ ﹶﻻ‬ ‫ﺎ ﹺ‬‫ﺮ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ ﹾﻛﹶﺜ‬ ‫ﻜ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻴ‬ ‫ﻳ‬‫ﻚ ﺍﻟﺪ‬
 ‫ﻟ‬‫ﹶﺫ‬
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah),
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
Agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
(QS. Ar Ruum : 30).48

Dari beberapa uraian di atas dapat dipahami, bahwa untuk


meyakinkan adanya Tuhan (wujud Allah.), akal pikiran hendaknya
diarahkan pada fenomena alam, namun mata hati manusia jauh lebih tajam
dan dapat lebih meyakinkan daripada pandangan kasat mata, karena dalam
jiwa manusia sudah tertanam fitrah untuk mengakui adanya Tuhan.

48
Mahmud Junus, Tarjamah Al Qur’an Al Karim, (Bandung : Al Ma’arif, 1990), hlm.
371
21

Dengan demikian segala sesuatu itu ada pasti ada yang menciptakan, yaitu
Allah Zat Yang Maha Pencipta.49
2. Keesaan Allah
Pendidikan tauhid berikutnya yaitu tentang keesaan Allah. Ajaran
mengenai keesaan Allah ini, sudah diterangkan oleh para rasul Allah
sebelum Nabi Muhammad. Hal ini telihat dari beberapa keterangan yang
terdapat dalam Al Qur’an, misalnya seruan Nabi Shaleh, (QS. 11 : 61),
ajaran Nabi Syu’aib (QS. 11 : 84), ajaran Nabi Musa (QS. 20 : 13-14),
ajaran Nabi Isa (QS. 5 : 72) dan Nabi lainnya semua mengajak kepada
keesan Allah.
Keesaan Allah menurut R. Ng. Ranggawarsita adalah Allah itu Zat
yang pertama kali ada, Maha Awal, Maha Esa dan Maha Suci yang
meliputi sifat, asma dan af’al-Nya.50 Sementara menurut Quraish Shihab
yang menganalisa kata ahad (Esa), ia menggolongkan keesaan Allah
menjadi empat yaitu : keesaan Zat, keesan sifat, keesaan perbuatan dan
keesaan dalam beribadah kepada-Nya.51
Yang dimaksud dengan esa pada Zat ialah Zat Allah itu tidak
tersusun dari beberapa bagian dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Esa pada
sifat berarti sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh
makhluk- Nya. Esa pada af’al berarti tidak seorang pun yang memiliki
perbuatan sebagaimana pebuatan Allah. Ia Maha Esa dan tidak ada
sesembahan yang patut disembah kecuali Allah.52
Dengan demikian dapat dipahami bahwa mulai rasul pertama
sampai generasi terakhir Nabi Muhammad hingga pewaris nabi (ulama),
telah mengajarkan tauhid yang seragam. Yang dinamakan Esa dalam
ajaran Islam adalah tidak atau bukan terdiri dari oknum ganda baik pada

49
Sayid Sabiq, Anshirul Quwwah fil Islam, terj. Haryono S. Yusuf, Unsur-unsur
Dinamika dalam Islam, (Jakarta : PT. Intermasa, 1981), hlm. 7
50
R. Ng. Ranggawarsita, Wirid Hidayat Jati, (Semarang : Dahara Prize, t.t), hlm. 17
51
M Quraish Shihab, op cit., hlm 33
52
M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), hln. 17
22

nama, sifat maupun zat-Nya. Allah adalah Maha Esa, Zat Yang Maha Suci
yang meliputi nama, sifat dan af’al-Nya, tidak ada Tuhan selain Allah.
3. Hikmah Mengenal Allah
Seseorang yang mengenal sesuatu yang telah memberikan manfaat
pada dirinya maka akan mempunyai kesan atau hikmah terhadap sesuatu
itu. demikian juga apabila seseorang mengenal Tuhan melalui akal dan
hatinya maka ia akan merasakan buah kenikmatan dan keindahan yang
tercermin dalam dirinya. s
Mengenal (ma’rifat) kepada Allah adalah ma’rifat yang paling
agung. Ma’rifat ini menurut Sayid Sabiq adalah asas yang dijadikan
standar dalam kehidupan rohani dan untuk mengenal Allah dengan melalui
cara : berfikir dan menganalisis makhluk Allah, dan mengenal terhadap
namanama dan sifat-sifat Allah.53
Sifat berkenalan dengan Tuhan menurut penjelasan Sutan Mansur
yaitu seseorang merasa berhadapan dengan Tuhan. Keadaan itu terasa
benar-benar dalam diri bukan lagi berupa kira-kira atau meraba-raba.
seseorang merasakan dalam dirinya dan alam semesta dibawah
pengawasan Tuhan dan Tuhan itu memanggilnya supaya berdoa,
mengabdikan diri serta mendekatkan diri kepada-Nya. Seseorang datang
kepada-Nya dengan mengenal siapa Dia, Zat Yang Maha Kuasa.54
Pengalaman ketauhidan yang tercermin pada diri manusia
disebabkan seseorang telah mengetahui dan menginsafi kebenaran
kedudukan Allah, menyadari akan keagungan dan kebesaran-Nya sehingga
dari sini segala apa yang dilkukan akan mengarahkasn tujuan
pandangannya ke arah yang baik dan benar. Buah mengenal (ma’rifat)
akan adanya Allah ini, di antaranya akan tersimpul dalam bentuk sikap
sebagai berikut :
a. Adanya perasaan merdeka dalam jiwa dari kekuasaan orang lain

53
Sayid Sabiq, Aqidah Islam : Suatu Kajian yang Memposisikan Akal sebagai Mitra
Wahyu, (Surabaya : Al Ikhlas, 1996), hlm. 41
54
A.R. Sutan Mansur, Tauhid Membentuk Pribadi Muslim, (Jakarta : Yayasan Nurul
Islam, 1981), hlm 14
23

b. Adanya jiwa yang berani dan ingin terus maju membela kebenaran
c. Adanya sikap yakin, bahwa hanya Allahlah yang Maha Kuasa
memberi rizki
d. Dapat menimbulkan kekuatan moral pada manusia (kekuatan
Maknawiah) yang dapat menghubungkan manusia dengan sumber
kebaikan dan kesempurnaan (Allah)
e. Adanya ketetapan hati dan ketenangan jiwa.
f. Allah memberikan kehidupan sejahtera kepada orang mukmin di
dunia.55
Dengan demikian seorang yang yakin akan keesaan Allah,
mempunyai sikap hidup optimis yang jauh lebih kuat dibandingkan
dengan orang kafir yang menyekutukan Allah, sebagai satu-satunya Rabb,
pencipta alam semesta beserta isinya ini. Keimanan akan hal ini apabila
sudah menjadi kenyatan yang hebat maka akan dapat mengubah dan
beralih, yang merupakan suatu tenaga dan kekuatan tanpa dicari akan
datang dengan sendirinya dalam kehidupan sehigga keimanan dapat
mengubah manusia yang asalnya lemah menjadi kuat, baik dalam sikap,
kemauan, maupun keputusan menjadai penuh harap dan harapan ini akan
dibuktikan dengan perbuatan nyata.

C. Dasar dan Tujuan Pendidikan Tauhid


1. Dasar Pendidikan Tauhid
Dasar merupakan fundamental dari suatu bangunan atau bagian
yang menjadi sumber kekuatan. Ibarat pohon, dasarnya adalah akar.
Maksud dari dasar pendidikan di sini ialah pandangan yang mendasari
seluruh aspek aktivitas pendidikan, karena pendidikan merupakan bagian
yang sangat penting dalam kehidupan. Dasar pendidikan yang dimaksud di
sini adalah nilai-nilai tertinggi yang dijadikan pandangan oleh suatu

55
Sayyid Sabiq, Aqidah Islam, terj. Moh. Abdul Rahtomy, (Bandung : Diponegoro,
1996), hlm. 133-139
24

masyarakat itu berlaku sehingga dapat diketahui betapa penting


keberadaan dasar pendidikan sebagai tempat pijakan.
Dengan demikian setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang
disengaja untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai landasan tempat
berpijak yang baik dan mapan. Pendidikan tauhid sebagai suatu usaha
membentuk insan kamil harus mempunyai landasan ke mana semua
kegiatan pendidikan dikaitkan dan diorientasikan.
Dasar pendidikan tauhid adalah sama dengan pendidikan Islam,
karena pendidikan tauhid merupakan salah satu aspek dari pendidikan
Islam, sehingga dasar dari pendidikan ini tidak lain adalah pandangan
hidup yang Islami, yang pada hakikatnya merupakan nilai-nilai luhur yang
bersifat transendental dan universal yaitu Al Qur’an dan Hadis.
Adapun uraian dasar pendidikan tauhid adalah sebagai berikut .
a. Al Qur’an
Di dalam Al Qur’an terdapat banyak ajaran yang berkenaan
dengan kegiatan atau usaha pendidikan tauhid. Misalnya dalam surat
Luqman ayat 13, menerangkan kisah Luqman yang mengajari anaknya
tentang tauhid,

(13 :‫ﻢ )ﻟﻘﻤﺎﻥ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﻈ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻙ ﹶﻟ ﹸﻈ ﹾﻠ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺸ‬


 ‫ﻪ ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟ‬ ‫ﻙ ﺑﹺﺎﻟﻠﱠ‬ ‫ﺸ ﹺﺮ‬
 ‫ﺗ‬ ‫ ﹶﻻ‬‫ﻨﻲ‬‫ﺑ‬ ‫ﻳﺎ‬
Hai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya
mempersekutukan Allah itu adalah aniaya yang besar. (QS.
Luqman : 13).56

Pengajaran yang disampaikan Luqman kepada anaknya,


merupakan dasar pendidikan tauhid yang melarang berbuat syirik,
karena pada hakikatnya pendidikan tauhid adalah pendidikan yang
berhubungan dengan kepercayaan akan adanya Allah dengan keesaan-
Nya, sehingga timbul dalam ketetapan dalam hati untuk tidak
mempercayai selain Allah. Kepercayaan itu dianut karena kebutuhan
(fitrah) dan harus merupakan kebenaran yang ditetapkan dalam hati
sanubarinya.

56
Mahmud Junus, op. cit., hlm. 371
25

Dengan demikian, memberikan pendidikan tauhid kepada anak


didik (orang yang belum tahu) sebagai dasar hidupnya dan dasar
pendidikan sebelum memberikan pengetahuan lain agar terhindar dari
azab Allah.
Pada dasarnya semua rasul yang diutus oleh Allah adalah untuk
menegakkan kalimat tauhid. Sebagaimana Firman Allah SWT

‫ﻥ‬ ‫ﻭ‬‫ﺒﺪ‬‫ﻋ‬ ‫ﺎ ﻓﹶﺎ‬‫ﻪ ﹺﺇﻻﱠ ﹶﺃﻧ‬ ‫ﻪ ﻻ ﹺﺇﹶﻟ‬ ‫ﻪ ﹶﺃﻧ‬ ‫ﻴ‬‫ﻲ ﹺﺇﹶﻟ‬‫ﻮﺣ‬‫ﻮ ﹴﻝ ﹺﺇﻻﱠ ﻧ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﻠ‬‫ﺒ‬‫ﻦ ﹶﻗ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﺳ ﹾﻠﻨ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺎ ﹶﺃ‬‫ﻭﻣ‬
(25: ‫)اﻷﻧﺒﻴﺎء‬
Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu,
melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada
Tuhan melainkan Aku maka sembahlah olehmu sekalian akan
Aku. (QS. An Biya’ : 25).57

Ayat ini menjelaskan bahwa semua rasul itu diutus oleh Allah
untuk menegakkan kalimat tauhid. Tugas mereka yang paling pokok
dan utama adalah menyeru manusia untuk bertauhid kepada Allah,
dengan menyatakan bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah
selain Allah. Seruan para rasul itu tentu dengan melalui proses
pendidikan, yaitu dengan memberikan pengajaran tentang ketauhidan.
Pemberian pengajaran tauhid pada diri manusia, pada
hakikatnya adalah menumbuhkan dan mengembangkan pengetahuan
manusia dalam memahami tauhid tersebut sebab setiap manusia sudah
dibekali fitrah tauhid oleh Allah. Sebagaimana Firman Allah

‫ﺨ ﹾﻠ ﹺﻖ‬
 ‫ﻟ‬ ‫ﻳ ﹶﻞ‬‫ﺒﺪ‬‫ﺗ‬ ‫ﺎ ﹶﻻ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺱ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺮ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﻲ ﹶﻓ ﹶﻄ‬‫ﻪ ﺍﱠﻟﺘ‬ ‫ﺮ ﹶﺓ ﺍﻟﻠﱠ‬ ‫ﻓ ﹾﻄ‬ ‫ﺣﻨﹺﻴﻔﹰﺎ‬ ‫ﻳ ﹺﻦ‬‫ﻠﺪ‬‫ﻚ ﻟ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻗ‬‫ﹶﻓﹶﺄ‬
( 30:‫ﻮ ﹶﻥ) ﺍﻟﺮﻭﻡ‬‫ﻌﹶﻠﻤ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺱ ﹶﻻ‬ ‫ﺎ ﹺ‬‫ﺮ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ ﹾﻛﹶﺜ‬ ‫ﻜ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻴ‬ ‫ﻳ‬‫ﻚ ﺍﻟﺪ‬
 ‫ﻟ‬‫ﻪ ﹶﺫ‬ ‫ﺍﻟﻠﱠ‬
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui. (QS. Ar-Ruum : 30)58

57
Ibid., hlm. 292
58
Ibid., hlm. 325
26

Ayat di atas menegaskan bahwa manusia diciptakan oleh Allah


dengan dibekali fitrah tauhid, yaitu fitrah untuk selalu mengakui dan
meyakini bahwa Allah itu Maha Esa, yang menciptakan alam semesta
beserta pengaturannya dan wajib untuk disembah. Oleh karena itu,
untuk mejadikan fitrah ini tetap eksis dan kuat, maka diperlukan suatu
upaya untuk selalu menumbuhkembangkan dalam kehidupan
pemiliknya dengan melaui pendidikan tauhid, agar manusia selalu
ingat dan dekat kepada Tuhannya.

b. Hadis
Hadis merupakan dasar kedua setelah Al_Qur’an. Hadis berisi
petunjuk untuk kemaslahatan hidup manusia dan untuk membina umat
menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa. Inilah tujuan
pendidikan yang dicanangkan dalam Islam.
Dalam sejarah pendidikan Islam, Nabi Muhammad telah
memberikan pendidikan secara menyeluruh di rumah-rumah dan di
masjid-masjid. Salah satu rumah sahabat yang dijadikan tempat
berlangsungnya pendidikan yang pertama adalah rumahnya Arkam di
Mekkah, sedang masjid yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran
adalah masjid Nabawi di Madinah.
Adanya kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad dan dilanjutkan oleh pengikutnya, merupakan realisasi
sunnah Nabi Muhammad sendiri. Adapun hadis yang berkaitan dengan
pendidikan tauhid ialah

‫ ﻣﺎﻣﻦ‬: ‫ﻋﻦ ﺃﰉ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺍﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬
‫ﻣﻮﻟﻮﺩ ﺍﻻ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﻄﺮﺓ ﻓﺄﺑﻮﺍﻩ ﻳﻬﻮﺩﺍﻧﻪ ﻭﻳﻨﺼﺮ ﺍﻧـﻪ ﻭﳝﺠﺴـﺎﻧﻪ) ﺭﻭﻩ‬
( 59‫ﻣﺴﻠﻢ‬
Dari Abu Huraira, ia berkata : Rasulullah saw. bersabda tidak
ada seorang anak pun kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah

59
Muslim, Shahih Muslim, juz II, ( Bairut : Darul Kutub, Al Alamiah, tt), hlm. 458
27

(suci), maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi,


Nasrani, dan Majusi. (HR. Muslim).

2. Tujuan Pendidikan Tauhid


Suatu usaha atau kegiatan dapat terarah dan mencapai sasaran
sesuai dengan yang diharapkan maka harus ada tujuannya, demikian pula
dengan pendidikan. Suatu usaha apabila tidak mempunyai tujuan tentu
usaha tersebut dapat dikatakan sia-sia belaka. Tujuan, menurut Zakiah
Daradjat ialah “suatu yang diharapkan tercapai setelah usaha atau kegiatan
itu selesai”.60
Apabila pendidikan dipandang sebagai suatu usaha melalui proses
yang betahap dan bertingkat maka usaha atau proses itu akan berakhir
manakala tujuan akhir pendidikan sudah tercapai. Namun demikin tujuan
pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan statis tetapi ia
merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang, berkenaan
dengan seluruh aspek kehidupannya.
Tujuan pendidikan secara umum menurut pendapat Hasan
Langgulung adalah “maksud atau perubahan-perubahan yang dikehendaki
dan diusahakan oleh pendidik untuk mencapainya”.61 Pendapat ini bila
dianalisis, pada dasarnya tujuan pendidikan adalah maksud belajar yang
dikomunikasikan secara jelas, meliputi tingkah laku dan kondisi-kondisi
tertentu yang diharapkan muncul di dalamnya setelah dilaksanakannya
proses belajar mengajar.
Sedangkan tujuan pendidikan menurut UU Pendidikan ialah Untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.62

60
Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hlm. 29
61
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisia Psikologi, Filsafat dan
Pendidikan, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1986), hlm. 59
62
UU RI, No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hln. 6
28

Tujuan pendidikan menurut UU Pendidikan pada hakikatnya


adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam
pribadi manusia yang diinginkan, yang mempengaruhi dalam perilaku
lahiriah.
Tujuan pendidikan menurut pendapat Al Ghazali, sebagaimana
yang dikutip oleh Abidin Ibnu Rusn ialah Pendidikan dalam prosesnya
haruslah mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah dan
kesempurnaan insani, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan
hidupnya yaitu bahagia dunia dan akhirat, karena hasil dari ilmu
sesungguhnya adalah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta
alam.63
Sedang menurut Abdul Fattah Jalal, tujuan pendidikan ialah
terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Oleh karena itu pendidikan
haruslah meliputi seluruh aspek manusia, untuk menjadi manusia yang
menghambakan diri kepada Allah, yang dimaksudkan dengan
menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.64
Secara khusus tujuan pendidikan tauhid menurut Chabib Thoha
adalah untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Yang Maha Esa dan
untuk menginternalisasikan nilai ketuhanan sehingga dapat menjiwai
lahirnya nilai etika insani.65
Tujuan pendidikan menurut ketiga pendapat di atas, pada dasarnya
adalah tujuan yang berkaitan dengan pendidikan yang bercorak Islam.
Dalam hal ini Islam menghendaki agar manusia didik supaya ia mampu
merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang digariskan oleh Allah.
Tujuan hidup manusia dalam Islam ialah beribadah. Pendidikan
tauhid sebagai salah satu aspek pendidikan Islam mempunyai andil yang
sangat penting dalam mencapai tujuan pendidikan Islam. Menurut

63
Abidin Ibnu Rusn, op. cit., hlm. 57
64
Ahmad Tafsir, Ilmu pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Rosda Karya,
2000), hlm. 46
65
M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1996), hlm. 72
29

Zainuddin, tujuan dari hasil pendidikan tauhid dapat dirumuskan sebagai


berikut:
1. Agar manusia memperoleh kepuasan batin, keselamatan dan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, sebagaimana yang
dicitacitakan.
Dengan tertanamnya tauhid dalam jiwa manusia maka manusia
akan mampu mengikuti petunjuk Allah yang tidak mungkin salah
sehingga tujuan mencari kebahagiaan bisa tercapai.
2. Agar manusia terhindar dari pengaruh akidah-akidah yang
menyesatkan (musyrik), yang sebenarnya hanya hasil pikiran atau
kebudayaan semata.
3. Agar terhindar dari pengaruh faham yang dasarnya hanya teori
kebendaan (materi) semata. Misalnya kapitalisme, komunisme,
materialisme, kolonialisme dan lain sebainya.66
Dengan demikian, tujuan dari pendidikan tauhid adalah
tertanamnya akidah tauhid dalam jiwa manusia secara kuat, sehingga
nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan
ajaran Islam. Dengan kata lain, tujuan dari pendidikan tauhid pada
hakikatnya adalah untuk membentuk manusia tauhid. Manusia tauhid
diartikan sebgai manusia yang memiliki jiwa tauhid yang dapat
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari melalui perilaku yang
sesuai dengan realitas kemanusianya dan realitas alam semesta, atau
manusia yang dapat mengaktualisasikan nilai-nilai Ilahiah.

D. Metode Pendidikan Tauhid


Tauhid merupakan masalah yang paling mendasar dan utama dalam
Islam. Namun demikian masih banyak dari kalangan awam yang belum
mengerti, memahami dan menghayati sebenarnya akan makna dan hakikat
dari tauhid yang dikehendaki Islam, sehingga tidak sedikit dari mereka secara
tidak dasar telah terjerumus ke dalam pemahaman tentang keyakinan yang

66
Zainuddin, op. cit., hln. 8-9
30

keliru atau salah diartikan.Umat Islam harus memahami dan mengerti risalah
yang dibawah Rasulullah saw.
Dalam pembahasan metodologi pengajaran, yang perlu diperhatikan
adalah pengertian metodologi pengajaran itu sendiri. Metodologompengajaran
dapat diartikan sebagai ilmu yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan
tetentu. Dalam konteks pengajaran maka yang dimaksud adalah proses
penyajian bahan pengajaran; proses komunikasi edukatif dengan siswa untuk
mencapai tujuan pengajaran.67
Dilihat dari jenisnya ada beberapa metode pengajaran yang dapat
diterapkan sesuai dewngan materi dan tujuan yang akan dicapai. Beberapa
metode itu antara lain:
1. Metode ceramah,
2. Metode tanya jawab dan diskusi,
3. Metode drill,
4. Metode demonstrasi dan eksperimen,
5. Metode pemberian tugas (resitasi)
6. Metode kerja kelompok,
7. Metode bermain peranan/ sosio drama, dan
8. Metode karya wisata.68
Pelaksanaan berbagai pengajaran atau pendidikan itu bersifat fleksibel
dan sangat bergantung pada berbagai faktor. Memang tidak dapat dikatakan
ada satu metode tertentu yang selalu terbaik (no single methode is the best),
namun dalam konteks pendidikan Islam, apalagi pendidikan tauhid, perlu
diajarkan dengan metode keteladanan, baik saat di kelas maupun dalam sikap
dan perilaku sehari-hari, karena agama Islam sebaagi sunber nilai dan sebagai
sumber tatanan kehidupan masih bersifat abstrak. Untuk itu nilai-nilai Islam
perlu ditampakkan dalam wujud konkrit yang berupa keteladanan dan
pembiasaan.

67
Djamaludin darwis, Dinamika Pendidikan Islam: Sejarah Ragam Dan Kelembagaan,
(Semarang RasAil,2006), hlm. 107
68
Ibid, hlm 107
BAB III
BIOGRAFI DAN KARYA SASTRA R. NG. RANGGAWARSITA

A. Biografi dan Karya-karya R. Ng. Ranggawarsita


1 Biografi R. Ng. Ranggawarsita
Lahirnya sebuah karya sastra disebabkan oleh penciptanya sendiri.
Dengan sebab, penjelasan tentang kepribadian dan kehidupan pengarang
adalah metode tertua dan paling mapan dalam studi sastra. Karya sastra
bisa terbentuk berangkat dari gagasan pengarangnya, dengan melalui
proses kreasi yang bersifat unik dan rumit. Gagasan tersebut ditafsirkan
diolah dan diulas si pengarang. Penafsiran gagasan tersebut dipengaruhi
pengalaman pribadi, sistem norma atau kaidah, tata nilai dan faktor lain di
sekitar pengarang. Pengalaman pribadi si pengarang pada dasarnya
merupakan penggalan riwayat hidup pengarang tersebut sehingga riwayat
hidup pengarang sedikit banyak ikut mempengaruhi karya sastranya.
Riwayat hidup pengarang sangatlah penting, yaitu sebagai bahan
bantu studi atas karya sastra. Menurut Rene Wellek, “Biografi can be
judged in relation to the light it throws on the actual production of
poetry…”.69 Riwayat hidup pengarang hanya merupakan bahan bantu
untuk mengetahui proses penciptaan karya sastranya bukan merupakan
pedoman pokok untuk menerangkan atau menganalisis karya sastra itu
sendiri.
Penggunaan biografi pengarang sebagai pedoman untuk
menerangkan karya sastranya bisa menyesatkan, sebab suatu karya sastra
mungkin terwujud dari impian pengarang terhadap dunia ideal yang
diidamkannya, dan mungkin merupakan kedok untuk mengingkari diri
sendiri. Atau dengan kata lain, proses terciptanya karya sastra tersebut
mungkin merupakan propaganda pengarang mengenai paham atau ajaran
tertentu (pembelaan dan penyanjungan terhadap karyanya). Berpijak pada

69
Rene Wellek and Austin Warren, Theory of literature, (New Zealand : Penguin Book,
1976), cet. VII, hlm. 75

31
32

uraian tersebut, berikut ini dibicarakan riwayat hidup R. Ng.


Ranggawarsita dan hasil karyanya.
R. Ng. Ranggawarsita dilahirkan pada Senin Legi, 10 Zulkaidah
tahun Be 1728 (Jawa) atau 15 Maret 1802 M, Pukul 12.00, Wuku
Sungsang, Dewi Sri, Wurukung Huwas, Musim Jita.70 Para penyusun
silsilah menceritakan bahwa “leluhur R. Ng. Ranggawarsita masih
keturunan bangsawan”. Hal ini diterangkan dalam manuskrip susunan
Padmawasita.71 Dari pihak ayahnya, ia keturunan ke-13 dari Sultan
Hadiwijaya yang bertahta di pajang (Jawa Tengah) pada tahun 1568 –
1576 M. Dari pihak ibunya, ia keturunan ke-10 dari Sultan trenggana
(Demak), atau keturunan ke-8 dari RT. Sujanapura yang terkenal disebut
Pangeran Karangayam, pujangga kraton Pajang, pengarang kitab
Nitisruti.72
R. Ng. Ranggawarsita nama kecilnya adalah Bagus Burhan. Bagus
adalah gelar bangsawan untuk keturunan yang ke tujuh sedang Burhan
berarti bukti nyata. Bagus Burhan atau R. Ng. Ranggawarsita ini dikenal
dengan sebutan R. Ng. Ranggawarsita III. Ia adalah putra sulung M. Ng.
Pajangswara atau M. Ng. Ranggawarsita II dengan Mas Ajeng
Ranggawarsita, putri R. Ng. Sudiradirja Gantang yang mahir dalam bidang
seni, terutama Sekar Macapat “Cengkok” Lagu Palaran (dari desa Palar).73
Darah seninya mengalir baik dari pihak ayah maupun ibu. Dari
pihak ayah, darah seninya berasal dari kakeknya yaitu R. Ng.
Ranggawarsita I atau R. Ng. Yasadipura II atau disebut juga RT.
Sastranegara, pujangga Surakarta dengan pangkat Bupati Anom, juga
kakek piutnya bernama R. Ng. Yasadipura I adalah pujangga dengan

70
Komite Ranggawarsita, Babad Cariyos Lelambahanipun Suwargi, (Jakarta:
Depdikbud, 1979), hlm. 11
71
Simuh, Mistik Islam Kejawen R. Ng. Ranggawarsita, (Jakarta: UI Press, 1988), Hlm.
36
72
Kamajaya, Pujangga Ranggawarsita, (Jakarta: Depdikbud, 1980), hlm. 14
73
Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Jawa Tengah, Sejarah
Singkat Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Semarang: Depdikbud, 1988), hlm. 2
33

pangkat Kliwon.74 Menurut keterangan Komite Ranggawarsita, ketika RT.


Sastranegara sedang mendekati ajalnya, ia memberi tahu kepada ayah
Burhan, bahwa Bagus Burhan kelak menjadi pujangga penutup di
Surakarta dan kemasyhuran namanya akan melebihi kakeknya.75
Pada usia 2 tahun sampai 12 tahun Bagus Burhan ikut kakeknya
dan diasuh oleh Ki Tanujaya, pelayan RT. Sastranegara yang paling
setia.76 Pada tahun 1740 Jawa atau 1813 Masehi, ketika Bagus Burhan
berusia 12 tahun, ia dikirim ke Panaraga untuk berguru dan belajar
mengaji kepada Kanjeng Kyai Imam Basari di Pondok Pesantren Gerbang
Tinatar. Kanjeng Kyai Imam Basari adalah menantu Sri Paduka
Pakubuwana IV (1788 - 1820) dan juga teman seperguruan RT.
Sastranegara (kakek Bagus Burhan). Pondok Pesantren Gerbang Tinatar
yang diasuh Kanjeng Kyai Imam Besari pada saat itu tergolong pesantren
besar dan terkenal. Gurugurunya pada umumnya adalah priyayi (ulama
kerajaan) yang tingkat kedudukannya sama dengan penghulu sehingga
guru-gurunya diberi gelar Kyai Sepuh atau Kanjeng Kyai.77
Kitab-kitab yang diajarkan ialah kitab berbahasa Arab karangan
ulama terdahulu dan pada umumnya pelajaran yang diberikan di Pondok
Pesantren ini berbentuk syarah dan hasyiyah dalam bermacam-macam
cabang ilmu agama seperti Fiqih, Tafsir Hadist, Ilmu Kalam, Tasawuf,
Nahwu Sharaf dan lain-lain.78 Tangguing jawab terhadap diri Bagus
Burhan selama berguru di Panaraga sepenuhnya diserahkan kepada Ki
Tanujaya. Pada masa awal belajar di pondok pesantren tersebut, agaknya
Bagus Burhan belum sepenuhnya menunjukkan niat untuk berguru dan
belajar (mengaji agama Islam) sehingga ia tidak mendapat kemajun apa-
apa. Ia sangat malas mengikuti pelajaran di Pondok Pesantren Gerbang

74
Ibid., hlm. 2
75
Komite Ranggawarsita, op. cit., hlm. 12
76
Andjar Any, Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita dan Sabdopalon, (Semarang:
Aneka Ilmu, 1989), hlm. 9
77
Marwan Saridjo, dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta : Dharma
Bhakti, 1979), hlm. 34
78
Ibid., hlm. 34
34

Tinatar, bahkan sifatnya yang pemboros dan suka judi sangat


menjengkelkan gurunya.
Kegemaran Bagus Burhan yang lain yaitu mengganggu santri-
santri lain dalam hal belajar. Semua kejadian itu merupakan akibat dari
pengaruh Ki Tanujaya. Oleh karena itu, Kanjeng Kyai Imam Basari lalu
menegur Ki Tanujaya karena merasa tidak senang dengan cara-cara Ki
Tanujaya dalam mengasuh Bagus Burhan. Melihat kelakuan Bagus
Burhan dan Ki Tanujaya tersebut, akibatnya keduanya disarankan untuk
meninggalkan Pondok Pesantren Gerbang Tinatar Panaraga.
Kemudian Ki Tanujaya dan Bagus Burhan meninggalkan Gerbang
Tinatar menuju ke Desa Mara, tempat tinggal Ki Kasan Ngali (sepupu Ki
Tanujaya). Mereka berencana akan melanjutkan perjalanan ke Kediri,
tempat tinggal Pangeran Adipati Cakraningrat. Atas petunjuk Ki Kasan
Ngali, mereka tidak jadi ke Kediri karena Pangeran Adipati Cakraningrat
akan ke Surakarta. Mereka berdua hanya menunggu di Madiun. Untuk
menyambung hidupnya, mereka berjualan klitikan di pasar Madiun. Di
sinilah Bagus Burhan bertemu dengan Raden Ajeng Gombak, putrid
Pangeran Adipati Cakraningrat dari Kediri yang kelak menjadi istrinya.
Pertemuan ini terjadi pada waktu Raden Ajeng Gombak akan membeli
cincin yang dipakai oleh Bagus Burhan.79
Pada sisi lain, kepergian Bagus Burhan yang diiringi Ki Tanujaya
membuat gelisah Kanjeng Kyai Imam Basari. Oleh karena itu Kanjeng
Kyai Imam Basari melaporkan kepergian Bagus Burhan dan Ki Tanujaya
kepada ayah dan kakek Bagus Burhan. Kemudian kakeknya, RT.
Sastranegara menyuruh Ki Jasana dan Ki Kramaleya untuk mencari Bagus
Burhan dan Ki Tanujaya untuk diajak kembali ke Pondok Pesantren
Gerbang Tinatar. Baru beberapa bulan, mereka berdua dapat ditemukan
dan diminta kembali ke Gerbang Tinatar.

79
Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Jawa Tengah, Sejarah
Singkat Raden Ngabehi Ranggawarsita, op. cit., hlm. 6
35

Akhirnya Bagus Burhan dan Ki Tanujaya kembali ke Pondok


Pesantren Gerbang Tinatar. Namun dengan kembalinya kedua orang
tersebut, keduanya tidak menunjukkan adanya perubahan sikap, kenakalan
Bagus Burhan tetap belum berkurang. Tingkah laku yang tidak terpuji itu
masih dilakukan hingga membuat Kanjeng Kyai marah. Namun Kanjeng
Kyai Imam Basari tetap menasehatinya dengan hati-hati dan sabar, hingga
Bagus Burhan menyadari kesalahannya dan menyesali perbuatannya yang
tidak terpuji itu.
Mulai saat itulah Bagus Burhan menyatakan keinsafannya dan
mulai belajar agama Islam dengan sungguh-sungguh dan menyatakan setia
kepada Kanjeng Kyai Imam Basari. Dengan penuh kesadaran, Bagus
Burhan yang memiliki kemauan keras tadi akhirnya berusaha dengan
sekuat tenaga untuk menebus kesalahan-kesalahannya. Ia mulai
memperhatikan sekelilingnya dan bertekad untuk berbuat kebaikan.
Selanjutnya Bagus Burhan mulai mempelajari berbagai hal ilmu yang
bersangkut paut dengan keutamaan. Ia menjalani berbagai pantangan,
bertapa (bersemedi) atau bertirakat dengan bimbingan Kanjeng Kyai dan
petunjuk dari Ki Tanujaya. Bertapa atau bersemedi adalah cara yang lazim
dilakukan pada masa itu untuk mendapatkan suatu penerangan batin dan
keteguhan iman. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga
waktu berguru kepada Sunan Bonang, yaitu bertapa dan bertirakat dalam
menuntut ilmu dengan cara puasa, bertafakur dan sebagainya dengan
segala syaratnya.80
Dengan kemauan yang keras itulah Bagus Burhan mendapatkan
hasil dan dapat menunjukkan kelebihannya dibandingkan dengan teman-
teman seperguruannya. Bahkan oleh Kanjeng Kyai Imam Basari dikatakan
bahwa Bagus Burhan telah mendapatkan ilham, yaitu penerangan batin
dari Yang Maha Kuasa. Selanjutnya Bagus Burhan diangkat sebagai Wali
Guru oleh Kanjeng Kyai Imam Basari untuk membantu tugasnya dalam
proses belajar di pesantren. Ketika dianggap cukup dalam belajar ilmu

80
Umar Hasyim, Sunan Kalijaga, (Kudus : Menara, 1974), hlm. 61
36

agama (Islam) dan ilmu-ilmu lainnya, Bagus Burhan diizinkan untuk


meninggalkan Pondok Pesantren Gerbang Tinatar Panaraga.
Bagus Burhan dengan diiringi abdi setianya menuju ke Surakarta
kemudian ia menetap kembali di rumah RT. Sastranegara. Di tempat itu Ia
menambah berbagai ilmu yang tidak diajarkan di Gerbang Tinatar. Bagus
Burhan dididik langsung oleh kakeknya RT. Sastranegara, terutama di
bidang sastra karena saat itu RT. Sastranegara sebagai Pujangga Kraton
Surakarta Pada 12 Mei 1815 atau 12 Jumadil akhir 1742, Bagus Burhan
dikhitankan kemudian diserahkan kepada Panembahan Buminata (ayah
angkat Raden Ajeng Gombak) oleh RT. Sastranegara untuk berguru dan
mencari ilmu. Di tempat yang baru itu Bagus Burhan diberi pelajaran
tentang ilmu Jaya-kawijayan (kepandaian untuk menolak perbuatan jahat
atau membuat diri seseorang memiliki sesuatu kemampuan yang melebihi
orang banyak), Kadigdayaan (kekebalan), Kagunan Kanuragan
(kecerdasan dan kemampuan batin).81
Dengan demikian, pembentukan jiwa dan kepribadian Bagus
Burhan mengalami tiga tingkatan, yaitu:
a. Pembentukan jiwa dasar
Pendidikan dan pembentukan jiwa dasar (kepribadian) untuk
mengatasi masa puber ini diberikan oleh Kanjeng Kyai Imam Basari.
Beliau adalah seorang rohaniwan dan pendidik. Pembentukan cinta
kasih dari Kanjeng Kyai Imam Basari dan ditunjang oleh Ki Tanujaya,
mengakibatkan Bagus Burhan memiliki jiwa halus, tegas dan
berkemauan keras.
b. Pembentukan jiwa sastra
Pembentukan ini diberikan oleh kakeknya sendiri RT.
Sastranegara, seorang pendidik dan sastrawan yang berpengetahuan
luas. Selain sebagai seorang pendidik RT. Sastranegara terkenal
dengan gubahannya “Sasana Sunu“ dan “Dasanama Djarwa”.

81
Dhanu Priyo Prabowo, Pengaruh Islam dalam Karya-karya R. Ng. Ranggawarsita,
(Yogyakarta : Narasi, 2003), hlm 42
37

c. Pembentukan rasa harga diri


Didikan ini didapatkan dari Gusti Panembahan Buminata,
sehingga Bagus Burhan mendapatkan pendidikan mental yang kuat
dan kekuatan batin terhadap gangguan jahat dari pihak luar.
Dasar-dasar pendidikan yang kuat tersebut ditambah dengan
pengalaman-pengalaman semasa merantau ke Desa Ngadiluwih,
Ragajampi dan Tabanan Bali mengakibatkan Bagus Burhan menjadi
dewasa jiwanya. Ia siap menghadapi hidup di masyarakat luas dengan
segala peristiwanya.
Setelah tamat berguru, pada 28 Oktober 1819 atau Hari Senin
Pahing 8 Sura tahun Alif 1747, Gusti Panembahan Buminata
memohon kepada Sri Paduka Pakubuwana IV agar Bagus Burhan
ditempatkan menjadi Panewu Mantri Jaksa dan Mantri Emban. Akan
tetapi permohonan Gusti Panembahan Buminata belum dapat
dikabulkan walaupun pejabat pada kedudukan yang diminta itu telah
wafat. Menurut peraturan Keraton Surakarta, keturunan dari pejabat
yang memangku jabatan tersebut, yang berhak meneruskan jabatannya
bukan orang lain. Namun, Gusti Panembahan Buminata tetap
mendesak agar Sri Paduka Pakubuwana IV dapat merealisasikan
permintaannya itu.82 Akhirnya, Raja Keraton Surakarta tersebut
memberikan restu dan Bagus Burhan dipanggil oleh Sri Paduka
Pakubuwana IV dan dianugerahi restu dengan sengkalan “ Amuji Suci
Panditaning Ratu”. Bagus Burhan diangkat menjadi abdi dalem Carik
Kadipaten Anom dengan sebutan Mas Rangga Pujangga Anom. Mas
(gelar kebangsawanan untuk tingkat keenam), Rangga (gelar untuk
pangkat di bawah Mantri atau dibawah Ngabehi), Pujangga Anom
(untuk memberi penghormatan, sebab ia masih muda tetapi sudah
memiliki kepandaian setingkat dengan pujangga). Namun jabatan itu

82
Ibid., hlm. 43
38

tidak diberikan dengan cuma-cuma, Bagus Burhan harus melalui


sebuah ujian terlebih dahulu. Ujian itu berupa kurungan di dalam genta
selama dua hari. Bagus Burhan dapat melaksanakan dan ia dinyatakan
berhak menerima jabatan tersebut.83
Pada tahun itu juga, Bagus Burhan atau Mas Rangga Pujangga
Anom yang berumur 20 tahun melaksanakan pernikahnnya dengan
Raden Ajeng Gombak di Buminatan. Tiga puluh lima hari setelah
pernikahan, keduanya berkunjung ke Kediri bersama-sama dengan Ki
Tanujaya, sambil memohon diri untuk pergi ke Surabaya dan Bali
dengan maksud berguru kepada Kyai Tunggulwulung di Ngadiluwih,
Kyai Ajar Wirakanta di Ragajampi, dan Kyai Ajar Sidalaku di
Tabanan Bali. Dari ketiga guru tersebut hanya Kyai Ajar Sidalakulah
yang banyak memberi kesan.
Setelah kembali dari Kediri, pada tahun 1822 Masehi atau 1749
Jawa, Mas Rangga Pujangga Anom diangkat menjadi Mantri Carik
dengan gelar Mas Ngabehi Sarataka, dengan sengkalan “Terus Dadi
Panditaning Ratu”. Ngabehi adalah gelar abdi dalem yang berpangkat
Panewu Kliwon atau Mantri. Bersamaan dengan kenaikan pangkat
tersebut, suasana di tanah Jawa (Surakarta dan Yogyakarta) sedang
diwarnai perang, yaitu perang Dipanegara,84 maka Mas Ngabehi
Sarataka diberi tugas oleh Sri Paduka Pakubuwana IV untuk
mempertahankan Desa Nusupan dari serangan penjajah Belanda dan
akhirnya mendapatkan kemenangan.
Pada usia 23 tahun, Mas Ngabehi Sarataka sudah
menampakkan bakatnya dalam menulis sastra Jawa. Tulisan-tulisannya
mendapat perhatian dari abdi dalem lainnya. Ketika Sri Paduka
Pakubuwana V mengetahui hal tersebut, beliau memerintahkan kepada
para abdi dalem, apabila ingin menulis meniru gaya bahasa yang
digunakan oleh Mas Ngabehi Sarataka. Di samping itu, kemampuan
83
Ibid., hlm. 45
84
Perang Dipanegara terjadi pada jaman pemerintahan Sri Paduka Pakubuwana IV (1823
–1830 M).
39

Mas Ngabehi Sarataka dalam bidang ilmu Keislaman semakin


meneguhkan kedudukannya sebagai seorang pujangga. Karya-
karyanya meliputi berbagai bidang seperti filsafat, kesusasteraan,
sejarah, dongeng, adat dan pewayangan sehingga tulisannya menjadi
model bagi para penulis Jawa.85
Pada 13 Juni 1830 M atau 23 Besar tahun 1757 Jawa, Mas
Ngabehi Sarataka diangkat menjadi abdi dalem Panewu Carik
Kadipaten Anom dengan gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita. Arti
nama Raden Ngabehi Ranggawarsita yaitu: Raden adalah gelar untuk
keturunan raja. Pengangkatan Raden bagi beliau merupakan anugerah
yang telah disesuaikan dengan pangkatnya, sedang Ranggawarsita
adalah dua sebutan dari kata rangga dan warsita. Rangga yaitu gelar
untuk pangkat di bawah Mantri (Ngabehi) dan warsita berarti ucap,
petuah atau mencipta (Jawa: nganggit). Jadi kata “warsita” dapat
berarti pembicaraan, penilaian dalam bidang kepujanggaan.86
Seiring dengan itu kemampuannya dalam berolah sastra Jawa
yang semakin meningkat, sejak itulah beliau dipandang sebagai ahli
atau guru kesusasteraan Jawa. Menurut Kamajaya, R. Ng.
Ranggawarsita mempunyai murid dari kalangan para bangsawan dan
juga dari kalangan orang bangsa Belanda, misalnya: CF. Winter, Jonas
Portier, Dowing, Jansen dan lainnya.87
Setelah RT. Sastranegara wafat,88 R. Ng. Ranggawarsita
diangkat menjadi Kliwon Kadipaten Anom dan menggantikan
kedudukan kakeknya sebagai Pujangga Kraton Surakarta Hadiningrat
pada 14 September 1845, yang ditandai dengan sengkalan “Katon

85
Dhanu Priyo Prabowo, op. cit, hlm. 45
86
Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Jawa Tengah, op. cit.,
hlm. 8.
87
Kamajaya, op. cit., hlm. 18
88
RT. Sastranegara wafat pada tanggal 21 April 1844 dan dimakamkan di lingkungan
Keraton Surakarta Hadiningrat.
40

Pandita Sabdaning Ratu”.89 Dalam kedudukannyaa sebagai pujangga


istana, tugas utama R. Ng. Ranggawarsita adalah menyusun dan
mengembangkan kebudayaan dan kepustakaan Jawa. R. Ng.
Ranggawarsita amat berjasa dalam menyusun karya-karya baru. Dalam
berbagai karyanya, ia tampak melanjutkan upaya sastrawan atau para
pujangga sebelumnya. Usaha R. Ng. Ranggawarsita itu adalah
mempertemukan tradisi kejawen dengan unsur-unsur ajaran Islam. Hal
ini tampak dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Maklumat Jati dan
lainnya karena pada jaman tersebut (jaman Surakarta awal), karya
sastra Jawa mengalami pembaruan dan kebangkitan rohani.90
Hal ini dikarenakan Ilmu ketuhanan dan ajaran tentang
kedekatan Allah dengan manusia (kemanunggalan kawula gusti)
merupakan ilmu kesempurnaan pada masa tersebut. Hidup dan ilmu
yang dimiliki manusia dipandang masih pada taraf kekanak-kanakan
dan belum dikatakan sempurna jika belum mengenal hakikat Tuhan
dan menghayati keberadaan Allah SWT. Filsafat mistik Islam inilah
yang mendasari karya-karya R. Ng. Raggawarsita.91
Sebagai seorang pujanga, R. Ng. Ranggawarsita sangat
memperhatikan perkembangan yang terjadi di lingkungan
masyarakatnya. Rakyat hidup dalam kemiskinan sebagai akibat dari
penjajahan hingga timbulnya perang Diponegoro. Pada masa tersebut
terjadi transisi dan kegelisahan yang hebat karena beberapa faktor, di
antara tumbuhnya perekonomian perdagangan yang mengurangi lahan
petanian, raja mulai merasa kehilangan kewibawaannya karena
sebagian besar wewenang atau wilayahnya sudah jatuh ke tangan
Belanda, dan para pemimpin banyak yang mencari keuntungan pribadi
dan melupakan tugasnya kepada Tuhan, masyarakat, dan negara.
Akibatnya, masyarakat cenderung bersikap masa bodoh dan melarikan

89
Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Jawa Tengah, op. cit.,
hlm. 7.
90
Dhanu Priyo Prabowo, op. cit., hlm. 47
91
Ibid., hlm. 48.
41

diri dari kenyataan hidup. R. Ng. Ranggawarsita sebagai pribadi yang


hidup di dua lingkungan (keraton dan luar keraton) menyaksikannya
dengan penuh keprihatinan. R. Ng. Ranggawarsita adalah seorang
yang abdi negara yang setia pada rajanya. Hal ini terlihat pada
penolakannya atas tawaran C. F. Winter untuk menjadi guru besar,
pengajar bahasa dan sastra Jawa di negeri Belanda dengan imbalan gaji
sebesar f. 1.000,00 perbulan dan jaminan hak pensiun sebesar f. 500,00
per bulan. Dengan adanya penolakan itu maka sebagai gantinya
diambilah R. M. Puspawilaga yang kemudian ke negeri Belanda
hingga meninggal di sana.92
R. Ng. Ranggawarsita memanglah pengikut raja, cendekiawan
dan juga rohaniwan. Sejak pemerintahan Pakubuwana IV, V, VI, VII,
VIII dan IX, beliau terus mengabdi dan mengikuti raja, meskipun ada
pasang surutnya. Seperti pada pemerintahan Raja Pakubuwana IV,
beliau belum mendapat perhatian dari raja, dan baru mencapai puncak
pada masa Raja Pakubuwana VII di mana ia menggantikan kedudukan
kakeknya RT. Sastranegara yang telah wafat. R. Ng. Ranggawarsita
kemudian juga menjabat pujangga keraton. Karier R. Ng.
93
Ranggawarsita memudar pada masa PB IX naik tahta.
R. Ng. Ranggawarsita mempunyai empat orang istri yaitu
Raden Ayu Ranggawarsita atau Raden Ajeng Gombak, Raden Ajeng
Panji Jayengmarjaya, Raden Ajeng Pujadewata, Raden Ajeng
Maradewata. Pada 19 Desember 1848, Raden Ayu Ranggawarsita
(Istri pertama Ranggawarsita) meninggal dan dimakamkan di Palar
Kecamatan Trucuk Kabupaten Klaten. R. Ng. Ranggawarsita wafat
pada 24 Desember 1873, dalam usia 71 tahun, dengan meninggalkan
tiga orang istri yaitu : Raden Ajeng Panji Jayengmarjaya, Raden Ajeng
Pujadewata, Raden Ajeng Maradewata, dan meninggalkan enam anak
yaitu : Raden Ajeng Sudinah, Raden Ajeng Ranakusuma, Raden Mas
92
Andjar Any, Raden Ngabehi Ronggowarsito Apa yang Terjadi, (Semarang: Aneka
Ilmu, 1980), hlm. 85
93
Ibid., hlm. 106
42

Ranakusuma, Raden Mas Sembada, Raden Mas Sutama, Rara


mumpuni.94

B. Karya Sastra dan Tipologi Penulisan R. Ng. Ranggawarsita


1 Karya Sastra R. Ng. Ranggawarsita
Ranggawarsita adalah pujangga penutup. Setelah kematiannya
tidak ada lagi pujangga, yang ada hanyalah penulis. Itulah pendapat yang
lazim di dalam tradisi kepustakaan Jawa. Pujangga memang sebuah
sebutan yang mengandung kebebasan karena selain kemampuan
menggubah karya sastra, seorang pujangga dituntut untuk mempunyai
kemampuan penalaran dan intelektualitas yang tinggi, sambegana atau
cerdas. Selain itu, ia juga harus peka untuk menangkap dan memahami
tanda-tanda zaman atau nawungkrida, dan Ranggawarsitalah yang
memenuhi syarat menyandang sebutan pujangga besar.95
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh C. F. Winter bahwa
“Ranggawarsita adalah gurunya yang tidak tergantikan. Karya-karyanya,
baik prosa maupun puisi mengandung bobot literer yang tinggi. Sebagian
besar dari karya-karyanya merupakan dokumen budaya yang sangat
penting”.96
Konteks penulisan karya sastra R. Ng. Ranggawarsita secara umum
adalah dilatarbelakangi oleh kondisi keberagamaan masyarakat Jawa yang
sinkretis dan penderitaan rakyat akibat kolonialisme, di mana posisi
kerajaan Surakarta sebagai simbol kedaulatan sosial selalu dirongrong oleh
pemerintah Kolonial Hindia Belanda.97
Sebagai Pujangga keraton Surakarta yang terakhir, R. Ng.
Ranggawarsita meninggalkan karya-karya yang monumental. Karya-karya
R. Ng. Ranggawarsita tersebut ditulis dalam bentuk prosa, puisi dan prosa

94
Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Jawa Tengah, op. cit.,
hlm. 9
95
Otto Sukanto Cr, Paramayoga Mitos Asal Usul Manusia, (Yogyakarta: Yayasan
Bintang Budaya 2001), hlm. 1
96
Ibid., hlm. 1
97
Andjar Any, Raden Ngabehi Ronggowarsito Apa Yang Terjadi, op. cit., hlm. 119
43

lirik. Adapun bidang yang ditulis terdiri atas sejarah, pendidikan, seni,
jangka, biografi, politik, filsafat dan ilmu pengetahuan. Karya-karya
tersebut banyak sekali jumlahnya dan dapat dikategorikan menjadi tujuh
kategori: Karya yang ditulis sendiri, Karya Ranggawarsita yang ditulis
bersama orang lain, Karya orang lain yang pernah disalin oleh
Ranggawarsita, Karya almarhum yang ditulis orang lain, Karya orang lain
yang diakui sebagai karya Ranggawarsita, Karya Rangggawarsita yang
digubah bentuknya oleh orang lain dan Karya Ranggawarsita yang diubah
bentuknya oleh orang lain:
a. Karya yang ditulis sendiri meliputi : Serat Wirid Hidayat Jati, Babad
Itih, Serat Pustakaraja Purwa, Serat Mardawa Lagu, Serat
Paramasastra, Serat Pawukon, Rerepen Sekar Trengahan, Sejarah
Pari Sawuli, Serat Iber-Iber, Uran-Iran Sekar Gambuh,
Widyapradana.
b. Karya Ranggawarsita yang ditulis bersama orang lain (C. F. Winter)
meliputi : Kawi Javaansche Woordenboek, Serat Saloka Akaliyan
Paribasan, Serat Saridin, Serat Sidin.
c. Karya orang lain yang pernah disalin oleh Ranggawarsita yaitu : Serat
Bharatayuda, Serat Jayabaya dan Serat Panitisastra.98
d. Karya almarhum yang ditulis orang lain adalah Serat Aji Darma,
Ajinirmala, Aji Pamasa, Budayana, Cakrawati, Cemporet,
Darmasarana, Jakalodang, Jayengbaya, Kalatidha, Nyatnyanaparta,
Pambeganing Nata Binhatara, Panji Jayengtilam, Pamoring Kawula
Gusti, Paramayoga, Partakaraja, Pawarsakan, Purwangkara,
Purwangyana, Purwasana, Sari Wahana, Sidawakya, Wahana
Sampatra, Wedharaga, Wedhasatya, Wirid Sopanalaya, Witaradya,
Yudhayana, Kridamaya, Wirid Maklumat Jati.99
e. Karya orang lain yang diakukan sebagai karya Ranggawarsita yaitu
Serat Kalatidha Piningit.

98
Ketiga Serat tersebut asli dari Yasadipura I
99
Bidang Permuseuman dan Kepurbakalan Kanwil Depdikbud Jateng, op. cit., hlm.8
44

f. Karya Rangggawarsita yang digubah bentuknya oleh orang lain atas


perintah Sri Mangkunagara IV, Serat Pustakaraja karya R. Ng.
Ranggawarsita itu digubah kembali menjadi empat jenis Pakem
Pustakaraja. Pakem tersebut disimpan di Museum Reksapustaka
Mangkunegaran. Adapun keempat pakem itu sebagai berikut.
a. Pakem Pustakaraja Purwa, untuk pedalangan wayang purwa
b. Pakem Pustakaraja Madya, untuk pedalangan wayang madya
c. Pakem Pustakaraja Antara, untuk pedalangan wayang gedhog
d. Pakem Pustakaraja Wasana, untuk pedalangan wayang klitik
e. Karya Ranggawarsita yang diubah bentuknya oleh orang lain yaitu :
Jaman Cacat, Serat Paramayoga.100
Menurut Kamajaya di antara karya-karya Ranggawarsita yang
paling terkenal sampai sekarang adalah :
a. Kalatidha yang terkenal dengan gambaran “zaman edan”.
b. Jaka Lodhang yang berisi ramalan akan datangnya zaman baik.
c. Cemporet berisi cerita roman yang bahasanya sangat indah.
d. Pustaka Purwa memuat cerita wayang Mahabharata.
e. Sabdatama berisi ramalan tentang sifat zaman makmur dan tingkah
laku manusia yang tamak dan loba.
f. Sabdajati memuat ramalan zaman hingga sang pujangga meminta diri
untuk memenuhi panggilan Tuhan (wafat).
g. Wirid Hidayat Jati berisi ilmu kesempurnaan.101

2 Tipologi Tulisan R. NG. Ranggawarsita


Beberapa karya R. NG. Ranggawarsita telah menunjukkan hasil
pendidikan yang ditempuhnya ini dengan ketajaman nalar dan
wawasannya. Hal ini ditunjukkan oleh karakteristik beberapa karyanya
yang merupakan warisan sastra Jawa, dalam bukunya Kamajaya yang

100
Dhanu Priyo Prabowo, op. cit., hlm. 56-57
101
Kamajaya, op. cit., hlm. 19
45

berjudul Pujangga Ranggawarsita, karakteristik secara umum itu


disebutkan sebagai berikut.

a. “Purwakanthi”, akhiran kata atau kalimat bersambung dengan awalan


kata atau kalimat berikutnya yang menjalin irama mengasyikkan.
Misalnya : korup kareping ngaurip, riptane si Jayengbaya.(Serat
Jayengbaya).
b. “Sandiasma”, nama pengarang yang dirahasiakan dalam berbagai
sisipan dalam kalimat atau “gatra” (bagian/bait) atau dalam pada
(pupuh bait Sang Pujangga adalah perintis gaya seperti ini.
Contoh : borong angga suwarga mesi martaya (Serat Kalatiha).
c. “Sengkalan” atau “Candrasangkala”, yaitu angka tahun (Jawa) yang
dijelmakan dalam kalimat-kalimat yang sesuai dengan soal atau tujuan
yang ditulis dalam karangannya.
Contoh : nir sad esthining urip = 1860 Jw. (Serat Jaka Lodhang).
d. “Gancaran” atau “Jarwa”, yaitu prosa yang susunannya indah,
bergairah dan mengasyikkan.
Contoh : Wahyu iku sayekti tuniba marang wong kang gawe ayu, akeh
wong keturunan pulung dene sok atetulung; singa taberi anglakoni
kangelan , bakal antuk pahalan. (Serat Pustakaraja Purwa).
e. Menjalin nasehat bermutu dalam uraiannya.
Contoh : “Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti “ (angkara
murka menguasai dunia, namun hancur lebur oleh panembah dengan
taqwa kepada Tuhan).102

C. Posisi SWHJ dalam Sastra Jawa


Keberadaan R. Ng. Ranggawarsita dalam kesastraan Jawa merupakan
sosok yang tetap dikenang bayak orang. Berbagai kelebihannya, khususnya
dalam menulis sastra Jawa sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Beberapa
karyanya terus dibaca dan dikaji oleh banyak orang untuk keperluan berbagai

102
Ibid., hlm. 20 – 22.
46

hal. R. Ng. Ranggawarsita hidup dan berkarya di dalam suatu jaman di mana
minat terhadap kesusastraan Jawa sejak masa awal penyebaran Islam bangkit
secara meluas. Menurut Simuh, kebangkitan rohani dan kesusastraan Jawa
Baru ini bermula semenjak pusat kerajaan Mataram dipindahkan dari
Kartasura ke Surakarta (1757) sampai wafatnya R. Ng. Ranggawarsita
(1873).103 Beberapa Pujangga seperti Yasadipura, Sindusastra, Mangkunegara
IV hidup sejaman dengan R. Ng. Ranggawarsita, yaitu jaman Surakarta awal
(1750 –1850).104 Hal ini dapat dilihat dari beberapa cerita sekitar hubungan R.
Ng. Ranggawarsita dengan Mangkunegara IV dan Yasadipura II, dan di dalam
karya sastra mereka pun tampak gagasan, pengalaman dan penghayatan yang
sama.
Menurut Abdullah Ciptoprawiro dalam bukunya Filsafat Jawa
dikatakan bahwa “beberapa karya R. Ng. Ranggawarsita kelihatan adanya
jalur yang menghubungkan karyanya dengan kesusastraan jaman dahulu,
seperti SWHJ ditemukan wawasan yang hidup sejak penyebaran agama Islam
oleh para Walisanga dari jaman Demak“.105 Hal ini bisa dilihat dari isi ajaran
SWHJ banyak dipengaruhi oleh karya sastra orang-orang sufi seperti dari
bangsa arab (Hallaj, Bayazid), Sumatra (Abdullah Rauf pendiri Tarikat
Satariyah), Jawa(Abdullah Muhyi dan Walisanga).
Dalam perjalanan sejarah penyebaran Islam di Jawa, ada dua jenis
kepustakaan atau kesusastraan, yaitu Kepustakaan Islam Santri dan
Kepustakaan Islam Kejawen. Kepustakaan Islam Santri yaitu kepustakaan
yang sangat terikat dengan syariat (agama) sedang Kepustakaan Islam
Kejawen ialah salah satu Kepustakaan Jawa yang memuat perpaduan antara
tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam. Unsur-unsur ajaran Islam yang
ada dalam Kepustakaan Islam Kejawen memuat aspek ajaran tasawuf yang
terdapat dalam perbendaharaan kitab-kitab tasawuf.

103
Simuh, Sufisme Jawa : Tranformasi Tasawuf Islam ke Mistik Islam, (Yogyakarta :
Bentang Budaya, 1996), hlm. 151
104
R. M. Ng. Poerbatjaraka, Kepustakan Djawi, (Jakarta : Djambatan, 1954), hlm. 33
105
Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 1986), hlm. 53
47

Adapun ciri Kepustakaan Islam Kejawen yaitu mempergunakan


bahasa Jawa dan sedikit mengungkapkan aspek syariat namun ungkapannya
banyak mengandung aspek tasawuf falsafati Islam. Bentuk Kepustakaan ini
termasuk dalam lingkungan Kepustakaan Islam karena ditulis oleh dan untuk
orang-orang yang telah menerima Islam sebagai agama mereka.106
Menurut Simuh, nama yang sering dipergunakan untuk menyebut
Kepustakaan Islam Kejawen ialah Wirid dan Suluk. Wirid dan Suluk tersebut
isinya bekaitan dengan ajaran tasawuf yang sering disebut ajaran mistik Islam.
Hal ini disebabkan kedua nama itu memang bersumber dari ajaran tasawuf.107
Sastra Jawa ini, bahasanya penuh dengan simbolisme dan kiasan karena karya
mistik penuh simbolisme. Pada jaman itu ajaran-ajaran kejawen jarang
disampaikan secara apa adanya. Hal ini dimungkinkan karena orang Jawa
masa itu belum terbiasa berfikir abstrak, maka segala ide diungkapkan dalam
simbol yang bersifat abstrak agak jarang.108
Dengan demikian dapat dipahami bahwa posisi SWHJ termasuk dalam
Kepustakaan Islam Kejawen karena serat ini memuat perpaduan tradisi Jawa
dengan unsur-unsur ajaran Islam, dan dalam penulisannya pun menggunakan
bahasa Jawa. Isi ajaran dalam SWHJ terdapat unsur-unsur ajaran Islam yang
dipengaruhi oleh ajaran tasawuf. SWHJ ini digubah oleh R. Ng.
Ranggawarsita pada jaman Surakarta Awal. SWHJ tersebut, menurut Rasjid
adalah kitab pelajaran yang dipakai oleh para pembesar di kraton Surakarta
dan Yogyakarta. Salah satu ciri khas kitab tersebut adalah banyaknya istilah
mistik Islam, yang sulit dimengerti oleh seseorang yang belum pernah
membaca kitab-kitab mistik Islam Arab yang tinggi mutunya, seperti insan
kamil, karangan Abdul Karim Al Jilli, Muhyiddin Ibnu Arabi dan lainnya.109
Selain itu SWHJ disusun dalam bentuk Jarwa atau Prosa, yang mana
isi kandungannya cukup padat dan lengkap. Hal tersebut merangsang

106
Simuh, op. cit., hlm. 2
107
Ibid., hlm. 3
108
Sujamto, Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa, (Semarang :
DaharaPrize, 1992), hlm. 73
109
M. Rasjid, Islam dan Kebatinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), hlm.48
48

penyusun mengadakan pembahasan lebih lanjut terhadap SWHJ. Pembahasan


ini terutama dipusatkan pada nilai pendidikan tauhidnya.

D. Isi SWHJ karya R Ngabehi Ronggowarsito


1. Isi SWHJ Secara Umum
Serat wirid karangan R Ngabehi Ronggowarsito ini terbagi dalam
lima bab. Wirid Bab I, berisi ringkasan ajaran para wali serta ajaran lain
yang melengkapi. Sebelum Bab I, diterangkan ajaran para wali itu di
ajarkan dalam tiga masa (angkatan) dan dalam tiap angkatan di ajarkan
oleh delapan wali atau guru.
Angkatan pertama yaitu, Sunan Giri Kedhaton yang mengajarkan
petunjuk keelokan dzat (adanya dzat), Sunan Tandes yang mengajarkan
keterangan tentang kejadian dzat, Sunan Majagung yang mengajarkan
keadaan dzat, Sunan Bonang wejangannya tentang hal-hal mengenai
susunan dalam singgasana Baitul Makmur, Sunan Wuryapada
wejangannya tentang hal-hal mengenai susunan dalam singgasana Baitul
Muharram, Sunan Kalinyamat memberi wejangan berupa peneguh
kesentosaan iman, Sunan Gunung Jati memberi wejangan tentang hal-hal
mengenai susunan dalam singgasana Baitul muqaddas, dan Sunan Kajenar
memberi wejangan tentang sasahidan.
Angkatan kedua yaitu, Sunan Giri Prapen wejangannya berupa
petunjuk tentang adanya dzat, Sunan Drajat wejangannya berupa
penjelasannya tentang dzat, Sunan Ngatasangin wejangannya berupa
penjelasan tentang keadaan dzat, Sunan Kalijaga wejangannya berupa hal-
hal mengenai susunan dalam singgasana Baitul Makmur, Sunan Tembayat
wejangannya berupa hal-hal mengenai susunan dalam singgasana Baitul
Muharram, Sunan Kalinyamat wejangannya berupa hal-hal mengenai
susunan dalam singgasana Baitul Muqaddas, Sunan gunung Jati
wejangannya berupa peneguh kesentosaan iman, dan Sunan Kajenar
wejangannya berupa pensaksian.
49

Angkatan ketiga, pada masa akhir masa Kerajaan Demak hingga


Kerajaan Pajang, yaitu: Sunan Parapen wejangannya berupa petunjuk
adanya dzat, Sunan Drajat wejangannya berupa penjelasan tentang Dzat,
Sunan Ngatasangin wejangannya berupa uraian tentang keadaan dzat,
Sunan Kalijaga wejangannya berupa hal-hal mengenai susunan dalam
singgasana Baitul Makmur, Sunan Tembayat mengajarkan hal-hal
mengenai susunan dalam singgasana Baitul Muharram, Sunan Padusan
ajarannya mengenai susunan dalam singgasana Baitul Muqaddas, Sunan
Kudus wejangannya paneguh kesentosaan iman, Sunan Geseng
wejangannya berupa pensaksian.
Adapun wejangan-wejangan dari para wali itu di satukan atas
kehendak Sultan Agung dari Mataram, akantetapi lama kelamaan ajaran
itu di urai (dipisah-pisah) lagi. Hal ini disebabkan karena banyaknya orang
arif yang menjadi guru dan mengajarkan ilmu dan wejangan itu sesuai
dengan cara mereka.
Pada permulaan Wirid Bab I, dijelaskan tata cara pengajaran
wejangan itu yang dimulai dengan pemilihan waktu dan tempat. Kemudian
menyiapkan bahan-bahan berupa wewangi dan sesaji, setelah itu guru dan
calon murid mengambil air wudhu dan berniat. Adapun urutan-urutan
ajaran atau wejangan itu adalah sebagai berikut:
a. Ajaran adanya dzat.
b. Keterangan tentang kejadian dzat.
c. Uraian keadaan dzat.
d. Susunan dalam singgasana baitul makmur.
e. Susunan dalam singgasana baitul muharram.
f. Susunan dalam singgasana baitul muqoddas.
g. Peneguh keimanan.
h. Sasahidan atau kesaksian.
Sesudah demikian diajarkan tentang mengumpulkan manusia
dengan Tuhan, mensucikan dzat, mengatur singgasana dzat, terbentangnya
50

alam semesta, kesejahteraan keturunan, daya kesaktian. Setelah selesai


dianjurkan untuk berkenduri demi keselamatan jiwa raga.
Dalam Bab I diterangkan pula orang-orang yang pantas menjadi
guru, syarat orang menjadi guru, pedoman orang yang menjadi guru, dan
keutamaan orang yang menjadi guru. Dalam bab ini pula diterangkan
tentang syarat menjadi murid.
Wirid Bab II merupakan penjelasan lebih terperinci dari ajaran-
ajaran yang telah diuraikan pada Bab I. Pada permulaan wirid Bab II ini
diterangkan sandaran serat wirid ini adalah Al-Qur'an, hadis, ijma' dan
Qiyas. Dilanjutkan dengan penjelasan mengenai sangkan paraning dumadi
dalam istilah tasawuf islam disebut al mabda’ dan al ma’ad.
Mula-mula di terangkan asal-muasal penciptaan dan urutan-
urutannya. Dalam serat wirid dikatakan :
Sejatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awing uwung durung
ana sawiji-wiji, kang ana dingin iku Ingsun, ora ana Pangeran
anging Ingsun, sejatine Dat kang Amaha Suci, anglimputi ing
sipating-Sun, anartani ing asmaning-Sun, amaratandani ing
apngaling-Sun.
Kemudian dilanjut dengan keterangan urutan pencipataan kehidupan dan
semesta.
Sajatine Ingsun Dat kang amurba amisesa, kang kuwasa anitahake
sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka kodrating-Sun,
ing kono wis kanyatahan pratandani apngaling-Sun, minongko
bubukaning iradating-Sun: kang dhingin Ingsun anitahake kayu,
aran sajaratul yakin, tumuwuh iang sajroning ngalam (ng)adam-
makdum ajali abadi, nuli cahaya aran Nur Muhammad, nuli kaca
aran miratul kayai, nuli nyowo aran roh ilapi, nuli sosotya aran
darrah, nuli dhindhing jalal ran kijab, kang minangka warananing
kalarating-Sun.
51

Dalam Bab II ini pula asal usul semesta (‘alam), konsepsi


penciptaan manusia dan itu di terangkan secara terperinci. Penjelasan
mengenai mikrokosmos dalam diri manusia juga dijelaskan dengan detail.
Hal yang semacam ini ternyata juga ada dalam beberapa kitab
sastra islam. Diantaranya , ada kitab Daqoiq Al Akhbar karya Imam
Abdurrohim ibn Ahmad Al Qodhi, yang dalam bab awal juga menjelaskan
tentang awal penciptaan, yaitu: sajaratul yaqin, Nur Muhammad, hijjab,
mirratul haya’ dan sebagainya.
Selanjutnya pada Bab III berisi tanda-tanda akan datangnya ajal
setiap manusia yang sering dinamakan kiamat kecil. Diterangkan dalam,
wirid bab ini tanda-tandanya yaitu:
a. Yen sampun asring uninga ngkang boten nate ketingal, tandha kirang
satahun.
b. Yen sampun asring mireng ingkang boten nate kapiyarsa, kadosta
mireng raraosaning jin, setan, sato kewan, tandha kirang setengah
tahun.
c. Yen sampun asring malih paningalipun, kadosta wulan muharram,
sapar, aningali langit katingal abrit. Mulud, Rabingulakhir, srengenge
katingal cemeng. Rejeb, Ruwah, toya katingal abrit. Siyam, sawal,
weayanganipun ketingal kalih. Dulkangidah, Besar, latu katingal
cemeng. Sadhaya punika tandha kirang kalih wulan.
d. Yen dariji panunggul dipun bekuk kapetelaken dalak epek-epekipun,
dariji manis kaangkat, yen sampun kaangkat anjunjung dariji
nmanisipun wau, tandha kirang kawandasa dinten.
e. Yen kawawas darijinipun sanpun katingal kurang, ugel-ugel sampun
katingal pedhot, tandha kirang sawulan.
f. Yen sampun katingal wananipun piyambak, tandha kirang setengah
wulan.
g. Yen sampun rumaos mboten ejng punapa-punapa, tandha kirang
pendhak dinten.
52

h. Yen keteking asta sampun mboten wonten, tuwin garebenging talingan


sampun kendel, punapa dene pramayaning kenaka sampun oncat,
pramayaning tingal sampun sepen, anadadosaken rengating imba, ing
wekasan pucuking parji sampun keraos asrep, punika tandha sampun
puncading dinten kiyamat, jumeneng kaliyan pribadi.
Dilanjut dengan penjelasan tentang tatacara manekung (semedi) dan wirid-
wirid yang harus dibaca ketika menghadapi datangnya syakaratul maut
ataupun untuk mencapai penghayatan makrifat dan kesatuan dengan tuhan.
Manekung dan wirid-wirid itu menggunakan bahasa jawa tapi nilai
nilainya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Wirid Bab IV berisi wejangan tambahan dan penjelas mengenai
bab kematian. Dalam bab ini, dijelaskan kematian itu ada bermacam-
macam, yaitu:
a. Kang dhingin, kang mati iku napsune, kadi ta pangandhikaning Allah
tangala, tegese : sakehe napsune iku padha angrasani
(angerasakke)pati.
b. Kang kaping pindho iku mati rohe, kadi ta pangandhikaning Allah
tangala, tegese: sirnaning rahsane.
c. Kang kaping telu iku, mati kaweruhekadi ta pangandhikaning Allah
tangala, tegese: kang mati mau, utawa turun imane.
d. Kaping pat patining ati, kadi ta pangandhikaning Allah tangala,
tegese: sirna pangucape kelawan lesan.
Dalam Wirid Bab IV ini dijelaskan tanda makrifat itu ada enam hal
yaitu:
a. Katingaling jaman ciptaning kahanan jati, warna ireng
b. Aningali warna repta, tegesipun maksih ing pandamelan samar.
c. Aningali warna kuning. Tegesipun angrencana nyanyamuringkang
sejati.
d. Aningali warna seta, tegesipun cahaya ingkang putih, sadaya wau
sampun kumpul dados kahanan tunggal, gumilang-gilang tar (tanpa)
wawayanganmaring kahanan jati.
53

e. Aningali sinamar jatining warna, tgesipun inggih punika sajatosing


panunggaling-Sun, maring kahanan kang sejati, dadiya samarica
binubut bali maring suksmaning-Sun.
f. Jangkeping pemejangipun para waliyullah, kang wus anampani
kanugrahananing Allah tangala wejangan ingkang maksih kineker
kaawisan dening para wali, anuduhake panggonan kraton agung.
Kemudian dijelaskan pula tata cara pengajaran guru, yaitu:
a. Wonten wejanganipun guru ingkang amedharaken rahsaning ngelmu
wisikaning ananing Dat, kikiyasan saking dalil sapisan.
b. Wonten wejanganipun guru ingkang amedharaken rahsaning ngelmu
wedharan wahananing Dat, kikiyasan saking dalil kapingkalih.
c. Wonten wewejanganipun guru ingkang amedharaken rahsaning
ngelmu gelaran kahananing Dat, kikiyasan saking dalil kaping tiga.
d. Wonten wejangaingn guru ingkang amedharaken rahsaneng ngelmu
kayektening kahana, kikiyasan saking dalill kaping sekawan.
e. Wonten wejangan guru ingkang amedharaken rahsaning ngelmu
saking santosaning iman abubuka sahadat jati, utawi saking
sasahidan.
Selain itu dalam bab ini di jelaskan idiom-idom atau sanepa yang
berkaitan dengan pengajaran ilmu tauhid dan makrifat, yang tentu saja
mengunakan bahasa jawa.
Pada bab ini pula menjelaskan mengenai akibat murid yang tidak
mengindahkan semua ajaran. Akibat dari perbantahan atau pengingkaran
terhadap ajaran ini murid akan menjadi gila, sakit ayan (epilepsi),
kadhengdheng (tebal telinga), gendheng (sinting), dan kodheng (kacau
pikirannya). Dijelaskan pula mengenai tingkatan-tingkatan ilmu talek dan
ilmu patah (ilmu membuat keajaiban) tetapi tidak diterangkan dalam serat
ini bagaimana cara mendapatkan atau topo laku ilmu talek dan ilmu patah.
Wirid Bab V berisi ulasan ulang, tetapi lebih detail mengenai
penciptaan manusia yang dilanjutkan tentang penjelasan mengenai tujuh
tingkat penghayatan yang akan dialami oleh orang yang meninggal dunia
54

atau yang ingin mencapai penghayatan kesatuan dengan Tuhan, dan


godaan-godaan yang menyesatkan dalam tiap tingkat. Dalam wirid bab ini
di jelaskan pula mengenai orang yang wenang (boleh) jadi murid itu
mempunyai delapan syarat, yaitu:
a. Nastiti (teliti)
b. Nastapa(berani menderita)
c. Kulina (membiasakan diri)
d. Santosa(teguh)
e. Diwasa(dewasa)
f. Engetan(baik ingatan)
g. Santika(terampil)
h. Lana (tahan uji)
Dalam wirid bab ini pula keadaan manusia setelah meninggal
dijelaskan mulai dari pembusukan jasad atau raga (dalam serat ini disertai
dengan gambar) sampai tingkatan-tingkatan alam dan penghayatan
(sebelum datang kiamat kubra atau hari pembalasan). Dijelaskan pula
dalam bab ini persyaratan untuk menghadapi syakaratul maut ada empat
yaitu: ikhlas, rela pada hukum (kepastian) Allah, merasa tidak memiliki
apa-apa dan yang terakhir harap berserah diri kepada kehendak Allah
Ta’ala. Sedikit banyak disinggung mengenai alam ruhiyah, alam siriyah
hingga alam uluhiyah. Secara singkat wirid Bab V ini menjadi pamungkas
ajaran dari wirid Bab-bab sebelumnya.
2. Materi Pendidikan Tauhid dalam SWHJ
Sebagaimana ajaran keagamaan yang ada, ajaran dalam SWHJ
meliputi ajaran tentang ketuhanan, manusia dan alam semesta. Ajaran
tersebut bersumber dari riwayatnya wiradat ajaran wali di Jawa. Namun
yang dibahas dalam skripsi ini adalah yang berkaitan dengan pendidikan
tauhid. Keseluruhan dari ajaran dalam Wirid Hidayat Jati adalah dijiwai
oleh ajaran Tasawuf. Ajaran tersebut dipengaruhi oleh Tarekat Syatariyah
55

Syekh Abdul Rauf (ulama sufi dari Singkel Aceh) beserta muridnya Syekh
Abdul Muhyi, yang terkenal sebagai wali negeri Priyangan.110
Gagasan tentang Allah sebagai Zat Yang Mutlak dan kedekatan
Allah dalam diri manusia juga bersumber dari ajaran Tasawuf. Secara
sepintas, ajaran ketuhanan dalam Wirid Hidayat Jati menjelaskan, bahwa
manusia sebagai makhluk yang diciptakan-Nya, wajib mengetahui dan
mengenal tentang keesaan Tuhan Yang Maha Esa, Zat, Sifat, Asma dan
Af’al-Nya yang Agung.
Pengenalan sifat-sifat Tuhan baik yang wajib maupun yang mukhal
(mustahil). Ajaran ketuhanan yang terdapat dalam karya R. Ng.
Ranggawarsita bukanlah ketuhanan sebagai pengetahuan atau ilmu saja,
melainkan semata-mata sebagai kepercayaan kepada Tuhan (iman), sebuah
kekuatan yang tiada taranya dan yang menjadi pusat segala kekuasaan.
Adapun isi SWHJ yang memuat pendidikan tauhid yaitu:
a. Ajaran adanya Tuhan, yang berbunyi :
Sajatine ora ana apa-apa, awit maksih awang-uwung durung ana
sawiji-sawiji, kang ana dingin iku Ingsun sajatining ora ana
Pangeran nanging Ingsun, sajatining dad kang Maha Suci,
angliputi ing sifatingsun, amartani ing asmaningsun,
amratandhani ing apngalingsun.111

Sebenarnya tidak ada suatu apapun sebab ketika masih kosong


(awang-uwung) belum ada sesuatu, yang pertama adalah Aku (Allah),
tidak ada Tuhan kecuali Aku, hakikat Yang Maha Suci, meliputi segala
sifat-Ku, memberitakan nama-Ku, menandai af’al- Ku (perbuatan-Ku).
Ajaran yang terkandung pada ajaran pertama yaitu tentang
wisikan ananing zat (ajaran tentang adanya zat), adalah bahwa sewaktu
alam ini masih kosong belum ada apapun (belum ada sesuatu yang
diciptakan), maka yang ada lebih dahulu adalah Aku (Allah) Zat Yang
Maha Suci yang meliputi segala asma, sifat dan af’al-Nya (perbuatan).

110
MH. Ainun Nadjib, Suluk Pesisiran, (Bandung : Bandung, 1989), hlm. 7
111
R. Ng. Ranggawarsita, Serat Wirid Hidayat Jati, Transkripsi Suroyo, (Solo:
Perpustakaan Reksapustaka Istana Mangkunagaran, 1980), hlm. 3
56

b. Ajaran tentang wahana zat, yang berbunyi :


Sajatine Ingsun Dat kang Amurba Amisesa kang kawasa
anitahaken sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka ing
kodratingsun, Ing kono wus kanyatan pratandhaning apngalingsun
kang minangka bebukaning Iradatingsun.112
Sesungguhnya Aku (Allah) Zat Yang Maha Kuasa
menciptakan segala sesuatunya, menjadikan seketika., sempurna atas
kodrat-Ku. Disitulah kenyataan menunjukklan af’al-Ku (perbuatan-
Ku) yang merupakan pembuka Iradat-Ku.
Ajaran yang terkandung dalam ajaran kedua, tentang wedaran
wahananing zat (ajaran tentang keadaan zat) yaitu, bahwa Aku (Allah)
adalah Zat Yang Maha Kuasa, yang berkuasa untuk menciptakan
barang apapun juga yang ada di alam semesta beserta isinya. Sesuatu
itu bisa tercipta dengan cepat dan sempurna karena sudah menjadi
kuasa dan kehendak Allah sendiri, selain Allah itu Maha Pencipta juga
mempunyai sifat Maha Suci, Maha Luhur dan bersifat kekal.
c. Ajaran Peneguh Keimanan, yang berbunyi :
Ingsun anekseni, satuhune ora ana pangeran anging Ingsun, lan
anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun.113

Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Aku (Allah), dan
Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusanKu.
Ajaran tersebut menerangkan tentang hakikat tauhid (kenyataan
Allah Yang Maha Esa). Ajaran ini dalam Wirid Hidayat Jati disebut
panetep santosaning iman (penguat sentosanya iman). Diawali dengan
syahadad jati (kesaksian nyata) sebab mengajarkan dengan jalan
memberi tahu secara batin tentang penguat keyakinan kita, dalam
menghayati yang senyatanyatanya hidup kita pribadi. Bahwa kita
adalah makhluk yang diciptakan oleh tuhan yaitu Allah Yang Maha
Esa dan Allah mempunyai utusan untuk menyampaikan risalah-Nya
yaitu yang bernama Muhammad saw.

112
Ibid., hlm. 5
113
Ibid., hlm. 15
57

d. Ajaran Sasahidan, berbunyi :


Ingsun anekseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pengeran
anging Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku
utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun,
Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku cahyaningsun, iya Ingsun
kang urip ora kena ing pati, iya Ingsun kang eling ora kena ing
lali, iya Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir kahanan jati,
iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya
Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora
kukurangan ing pangerti, byar sampurna padhang terawangan,
ora karasa apa-apa, ora katon apa-apa, amung Ingsun kang
angliputi ing alam kabeh kalawan kodratingsun.114

Aku (manusia) bersaksi kepada Zat-Ku (Zat Yang Maha Esa


yaitu Allah) sendiri, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku
(Allah), dan Aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad itu
utusan-Ku, sesungguhnya yang bernama Allah itu badan-Ku, Rasul
Rahsa-Ku, Muhammad cahya-Ku. Akulah (Allah) yang hidup tidak
akan mati. Akulah (Allah) yang selalu ingat tidak akan lupa. Akulah
(Allah) yang kekal tidak ada perubahan dalam segala keadaan. Akulah
Allah) yang bijaksana tiada kekurangannya di dalam pengertian,
sempurna terang benderang, tidak terasa, tidak kelihatan, hanya Aku
(Allah) yang meliputi alam semesta, karena kodrat-Ku.
Ajaran di atas pada dasarnya merupakan penjabaran dari ajaran
Sasahidan, yaitu sebagai penjelasannya. Kalimat tersebut setiap kali
diulang di dalam segala ajaran dengan perubahan disana-sini. Ajaran
ini diangkat atau diucapkan sesudah mengetahui arti syahadat jati yaitu
tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya,
kemudian mengangkat saksi dari segala makhluk yang terbentang di
alam dunia seperti: bumi, langit, matahari, bulan, bintang, api, angin,
air dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar semuanya menjadi saksi,
bahwa manusia telah mengakui Tuhan Yang Maha Suci pencipta alam
semesta.

114
Ibid., hlm. 16
BAB IV
NILAI PENDIDIKAN TAUHID DALAM SERAT WIRID HIDAYAT JATI
KARYA R. NG. RANGGAWARSITA

Salah satu warisan budaya yang ada di Indonesia adalah warisan budaya
Jawa. Warisan ini mengandung banyak nilai budaya yang terdapat dalam karya
sastra Jawa. Dalam khasanah sastra Jawa, nilai pendidikan religius banyak
tersimpan dalam sastra yang berbentuk wirid atau suluk. Nilai tersebut sangat
bermanfaat bagi pembinaan dan pendidikan mental spritual, dalam hal ini disebut
dengan pendidikan tauhid Pendidikan tauhid mempunyai arti suatu proses
bimbingan untuk mengembangkan dan memantapkan kemampuan manusia dalam
mengenal keesaan Allah. Dengan pendidikan tauhid ini, manusia akan menjadi
manusia hamba bukan manusia yang dehumanis, kemudian timbul rasa saling
mengasihi, tolong menolong, selalu waspada terhadap tipu daya dunia dan
manusia zalim, dapat berlaku sederhana (zuhud) dan hati yang wara serta
sebagainya.
Dengan demikian, pendidikan tauhid mempunyai makna yang dapat
dipahami sebagai upaya untuk menampakkan atau mengaktualisasikan potensi
laten yang dimiliki oleh setiap manusia, yang dalam bahasa Islamnya potensi laten
ini disebut dengan fitrah. Salah satu fitrah manusia adalah fitrah beragama, yaitu
mengakui keesaan Allah, Pencipta alam semesta, maka dari itu pendidikan tauhid
lebih diarahkan pada pengembangan fitrah keberagamaan seseorang sebagai
manusia tauhid.
Dalam dunia pendidikan, warisan budaya Jawa yang berbentuk SWHJ ini
dapat digunakan sebagai media dalam pendidikan tauhid, sebab SWHJ ini banyak
mengandung ajaran yang dapat diambil nilai pendidikan tauhidnya. Untuk dapat
mengambil nilai pendidikan tauhid dalam SWHJ, terlebih dahulu mengetahui
muatan pendidikan tauhid yang ada dalam serat tersebut.
A. Muatan Pendidikan Tauhid dalam SWHJ Karya R. Ng. Ranggawarsita
Ajaran keagamaan yang ada dalam SWHJ meliputi ajaran tentang
ketuhanan, manusia dan alam semesta. Ajaran tersebut bersumber pada

58
59

riwayatnya wiradat ajaran wali di Jawa, namun yang dibahas dalam skripsi ini
adalah yang berkaitan dengan pendidikan tauhid.
Keyakinan tentang Allah sebagai Zat Yang Maha Suci dan kedekatan
Allah dalam diri manusia juga bersumber dari ajaran Tasawuf. Secara
sepintas, ajaran ketuhanan dalam Wirid Hidayat Jati menjelaskan, bahwa
manusia sebagai makhluk yang diciptakan-Nya, wajib mengetahui dan
meyakini keesaan Allah Yang Maha Esa, tentang Zat, Sifat, Asma dan Af’al-
Nya yang Agung. Pengenalan sifat-sifat Tuhan baik yang wajib maupun yang
mukhal (mustahil).
Ajaran ketuhanan yang terdapat dalam karya R. Ng. Ranggawarsita
bukanlah ketuhanan sebagai pengetahuan atau ilmu saja, melainkan
sematamata sebagai kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (iman),
sebuah kekuatan yang tiada taranya dan yang menjadi pusat segala kekuasaan.
Menurut Simuh, “bentuk ajaran Wirid Hidayat Jati adalah bukan
Hindu-Budha; sebagaimana yang dituduhkan oleh Harun Hadiwijono, bahwa
ajaran Wirid Hidayat Jati adalah “a Hinduistic doctrine with a Muslim
garment”, tetapi Islam Kejawen.115
Sebelum menganalisis lebih lanjut mengenai muatan pendidikan tauhid
dalam SWHJ ini, perlu diingat lagi bajwa pendidikan merupakan sebuah
proses yang berkesinambungan. Jadi pendidikan bukan merupakan sesuatu
yang langsung jadi. Meskipun manusia dibekali potensi, tetapi manusia
dilahirkan tanpa memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki manusia
merupakan hasil perolehan (proses pendidikan).
Setelah mengetahui bahwa pendidikan merupakan proses yang
berkesinambungan, tentunya dalam proses pendidikan tersebut ada tahapan
yang harus ditempuh. Tahapan-tahapan itu bisa berupa materinya, jenjang
pendidikannya atau pemahaman dalam proses pendidikan itu sendiri.

115
Simuh, Mistik Islam Kejawen R. Ng. Ranggawarsita, (Jakarta: UI Press, 1988), hlm.
375
60

Dalam SWHJ karya R Ngabehi Ronggowarsito ini, sebelum


membahas tentag pendidikan tauhidnya, sebaiknya dibahas dulu mengenai
sudut pandang (point of view) R Ngabehi Rongowrsito dalam penulisan SWHJ
ini. Raden Ngabehi Ronggowarsito, memakai sudut pandang (point of view)
sebagai orang pertama dan orang ketiga. Sudut pandang sebagai orang
pertama ini Memang agak disamarkan oleh Ronggowarsito sendiri dengan
memakai nama "Kyai Ageng Muhammad Sirullah Kedung Kol". Hal ini
diungkap sendiri oeh Ronggowarsito dalam Bab awal sebelum membahas
ajaran tauhid, ia menyatakan :
"…mila samangke dipun persudi dhateng Kiyai Ageng Muhammad
Sirrollah ing kedhung kol, inggih punika sakiduling kedhung kol
penganten, mawi tinengeran ing tahun punika: Rong songga warga
sinuta salebeting alip = 1779, kadhawahan ilham, rinilan dening
Pangeran Kang Amaha Suci, Anat (anata) urut-uruting patraping
ngelmu makrifat, sarta andunungaken murad maksudipun pisan..."

… oleh sebab itu kemudian diusahakan oleh kyai ageng Muhammad


sirrollahkedhung kol, yakni di sebelah selatan kedhung kol penganten
dengn cir-ciri tahun : rong songga warga sinuta dalam tahun alif 1779
jawa, seeorang yang mendapat ilham, diizinkan Tuhan untuk
menyusun pengamalan ilmu makrifat serat menjelaskan arti
maksudnya…
Dalam candara sengkala di atas (rong songga warga sinuta) ternyata
merupakan sandiasma dari nama Ronggowarsito sendiri. Dalam hal ini
Tanaya menerangkan sebagai berikut.
Demikian pula sang pujangga, pada karangannya tentang ilmu
kewalian, sering mengunakan nama Kyai Ageng Muhammad Sirrullah
dari kedhung kol. Adapaun yang dinamakan kedhung kol itu, kini
termasuk wilayah kampong Yasadipuran, sebelah timur Pasr Kliwon,
di kota Sala; karena dulu pernah didiami oleh Pujangga Yasadipura I
dan Yasadipura II, hingga pujangga Ranggawarsita.116

Maka bisa dikatakan, Ronggowarsito juga menjadi pendidik atau guru dalam
pendidikan tauhid dalam SWHJ yang ia karang.

116 Ibid., hlm. 270


61

Sudut pandang (point of view) kedua yang dipakai oleh Ronggowarsito


adalah sudut pandang orang ketiga aktif. Ini seperti gabungan antara sudut
pandang orang pertama dan orang ketiga. Hal ini tampak dalam beberapa
tulisannya yang masih menggunakan kata "guru". Padahal jika dirunut, dalam
SWHJ ini, dia adalah guru atau pendidik ajaran tauhidnya. Bahkan
Rangowarsito sendiri telah membuat kriteria orang yang pantas menjadi guru
dan murid. Tentang kriteria guru Ronggowarsito menjelaskan sebagai berikut.
a. Syarat orang yang pantas jadi guru, ada delapan, yaitu:
1) Bangsaning ngawirya, tegesipun bangsa luhur, ingkang taksih
kadrajatan
( golongan wirya, yaitu golongan yang luhur dan mempunyai derajat)
2) Bangasaning ngagama, tegese kang bangsa ngulama kang ngalim ing
kitab
(golongan agama yaitu ulama yang alim, menguasai kitab agama)
3) Bangsaning ngatapa tegesipun bangsa pandhita ingkang taksih ulah
lampah
( yaitu pendeta yang masih ahli riyalat)
4) Bangsaning sujana, tegesipun bangsa linuwih ingkang dados tiyang
sae
(golongan sujana yaitu golongan yang mempunyai kelebihan dan
menjadi orang baik)
5) Bangasaning ngaguna, tegesipun bangas saged ingkang ngulah
kasagedan
(golongan aguna, yaitu yang mempunyai kepandaian dan menekuni
ilmu)
6) Bangsaning prawira, tegesipun bangsa prajurit ingkang taksih kasub
kaprawiranipun
(golongan perwira, yaitu golongan prajurit yang tersohor
keperwiraannya)
7) Bangsaning supunya, tegesipun bangsa sugih ingkang taksih kabegjan
(golongan berada, yaitu golongan orang kaya yang masih berharta)
62

8) Bangsaning supatya, tegesipun bangsa tani ingkang temen


(golongan supatya yaitu dari golongan petani yang jujur)
b. Pedoman orang yang menjadi guru, ada delapan, yaitu:
1) Asih ing murid, den anggep putra wayah
(kasih kepada murid, dianggap anak-cucu sendiri)
2) Telaten pamulangipun, mboten mawi wigah-wigih
(telaten mengajar, tanpa rasa kikuk)
3) Lumuh ing pamrih, boten darbe pangangkah punopo-punopo
(tanpa pamrih, tidak mengharap apa-apa)
4) Tanggap ing sasmita, saged anampeni pasemoning muri
(tajam perasan, dapat menangkap gelagat murid)
5) Sepen ing panggrayangan, boten dados kinten-kintening murid
(tidak menambil apapun, sehingga tidak menimbulkan prasangka dari
murid)
6) Boten ambaekaken pitaken
(tidak menolak pertanyaan)
7) Boten angendhak kagunan
(tidak menolak kecakapan)
8) Boten amburu aleman, angunggul-ngunggulaken kasagedanipun.
(tidak mencari pujian, tidak menyombongkan kepandaian)
c. Keutamaan orang yang menjadi guru, ada delapan, yaitu:
1) Mulus ing sarira
(baik keadaan tubuhnya, tidak cacat)
2) Alus ing wicara, boten asring mimisuh miwah supaos
(halus kata-katanya, tidak sering berkata kotor dan tidak sering
bersumpah)
3) Jatmika ing solah
(sopan tingkah-lakunya)
4) Antepan bubudenipun
(teguh pendiriannya)
5) Paramarta lalabuhanipun
63

(baik pengorbanannya)
6) Patitis ing nalariun
(tajam pemikirannya)
7) Sae lalabetanipun
(baik rasa pengabdiannya)
8) Boten darbe pakareman
(tidak punya kesenangan khusus)
Meskipun tidak sedetail dalam taksonomi Bloom mengenai
profesionalisme guru (personal, sosial, profesi dan peadagogik), setidaknya
kriteria dan syarat-syarat yang dijelaskan Ronggowarsito diatas cukup
mewakili. Karena menurut menurut peneliti, dalam SWHJ mengenai
profesionalisme guru itu hanya kurang kecakapan dalam bidang profesi.
Selanjutnya kriteria murid (peserta didik), Ronggowarsito menjelaskan
dalam SWHJ Bab I, sebagai berikut.
1. Tedhak turun (keturunan orang baik)
2. Tunggil bangsa (sebangsa dengan gurunya)
3. Tunggil agami (seagama dengan gurunya)
4. Tunggil basa (sebahasa dengan gurunya)
5. Sumerep ing sastra (dapat tulis-baca)
6. Sampun kalangkung tengah tuwuh (sudah lewat setengah usia)
7. Tanpa sesakit (tidak berpenyakit)
8. Tanpa kuciwa (tidak bercacat)

Dalam syarat-syarat diatas memang ada syarat yang sebenarnya


ditujukan untuk murid tharikat yaitu pada syarat yang keenam. Selain pada
syarat, yang kedua dan ketiga sebenarnya hanya untuk meneguhkan
pentingnya penguasaan bahasa. Boleh saja guru dan murid itu beda bangsa
tetapi keduanya (khusunya murid) haruslah mengetahui dan memahami
bahasa gurunya.
Setelah mengetahui kriteria guru dan murid, dilanjutkan dalam SWHJ
pada permulaan Bab I, tentang permulaan proses belajar mengajar (tauhid).
Ronggowarsito sebagai pujangga sekaligus guru menulis demikian,
64

Ingkang rumiyin wiwiting patrap ingkang dados kuwajiban, punika


guru akaliyan badhe murid sami angambil toya wulu117 sarta niyat
ingkang maksud kados mekaten :
Nawetu rapngal kadasi, sohirota wal kabirata, parlan lillahi
tangala Allahu akbar.
Niayatngsun amek banyu kadas, karana angilangake kadas
cilik lan kang gedhe, parlu karana Allah. Sic)118

Adapun tata-cara pertama yang wajib dilakukan adalah : guru dan


calon murid mengambil air wudhu, dan mengucapkan lafal niat seperti
di bawah ini :
"nawaitu raf'al hadasi shaghirata wal kabirata fardlan lillahi
ta'ala, Allahu Akbar (saya berniat untuk menghilangkan dosa
kecil dan dosa besar, karena Allah)"

Berdasar pada tulisan diatas, hendaknya pendidik (guru) ataupun


peserta didik sebelum memulai sebuah proses belajar mengajar dalam keadaan
bersih dan suci sehingga dapat mudah memberi dan menerima pelajaran
karena kondisi fisik terasa nyaman dan segar. Pelajaran lain yang dapat
diambil adalah pentingnya penanaman niat dalam proses belajar mengajar.
Karena dengan niat kita bisa melihat tujuan yang akan kita tempuh. Sehingga
guru bisa memilih Metode apa yang ingin digunakan.
Dalam hal ini, para ahli pendidikan mengidentifikasi ada empat elemen
yang perlu diperhatikan:
1. Identifikasi tujuan yang akan dicapai.
2. Pertimbangan dan penentuan pendekatan yang dipakai untuk mencapai
tujuan.
3. Pertimbangan dan penetapan langkah-langkah yang ditempuh sejak
dimulainya proses pendidikan samapi tercapainya tujuan
4. Pertimbnagan dan penetapan tolok ukur untuk mengukur tingkat
pencapaian tujuan.119

117 Wulu disini yang dimaksudkan adalah wudhu'.,peneliti


118 Peneliti kurang setuju dengan niyat ini, karena dalam berbagai keterangan kitab-kitab
salaf, berwudlu hanya untuk menghilangkan hadas kecil, sedang untuk menghilangkan hadas besar
dengan cara mandi (besar).
65

Kemudian Ranggawarsito menuliskan lagi,


Nunten sami dandos busana sarwi suci, boten kenging ingkang
mawi emas: utaminipun menawi kersa ngagem kuluk. Lajeng angliga
sarira, akokonyoh gandawida, sarta lingan kiwa, akalian sekar oncen-
oncen usus ayam karangkep tiga, wangun marga supana, utawi
gombyok wakingan kados penganten enggal.
Nunten ing pamejangan katata dipun pasangi tutuwuhan maju
sekawan, sarta kadekekan lampit ingkang resik, lajeng ktumpangan
gelaran pasir ingkang tigas, ing nginggil pisan katumpangan sinjang
pethak (mori), saules lapis pitu, apesipun lapis tiga, mawi kasebaran
sekar campur bawur.

Dalam serat diatas Ronggowarsito menjelaskan bahwa, dalam belajar


agama khususnya tauhid, setelah memperoleh niat yang benar maka
dilanjutkan dengan tata-caranya. Sebagai guru, Ronggowarsito yang juga
bernama Kyai Ageng Muhammad Sirrullah, dengan cerdas memilih strategi
dan pendekatan yang tepat dengan memberi sentuhan budaya jawa agar murid
tidak merasa asing dengan Metode ataupun tata-cara yang akan ditempuh.
Dengan memakai sesaji dan wewangi yang memang lekat dengan
budaya jawa diharapkan murid atau peserta didik merasa nyaman sehingga
proses belajar mengajar bisa berjalan dengan nyaman pula. Selanjutnya, dalam
serat diatas pula, ronggowarsito sudah memulai proses belajar dengan tidak
boleh bermewah-mewah (cenderung bersikap sederhana dan zuhud) dalam
proses belajar mengajar. Ronggowarsito menuliskan disitu tidak boleh
menggunakan pakaian yang berbahan dari emas (boten kenging ingkang mawi
emas). Beliau juga memilih tikar yang sederhana dan alas yang berbahan kain
mori. Ini merupakan pelajaran yang diberikan Ronggowarsito kepada
muridnya bahwa hidup itu harus berani lorolopo (laku tirakat). Pemakaian
kain mori bisa diartikan Ronggowarsito (pendidik) ingin memberi pelajaran
secara tidak langsung kepada peserta didik untuk tidak berlebih-lebihan dalam
menjalani hidup karena yang akan dibawa dari dunia ini hanya kain mori dan
amal semasa hidup, karena hidup itu sesaat ibarat mampir ngombe.

119 Dikutip dari Dinamika Pendidikan Islam: Sejarah, Ragam Dan Kelembagaan karya
Dr. jamaludin Darwis (Semarang: RaSAIL, 2006). Baca lengkapnya di halaman 88.
66

Kemudian setelah itu Ronggowarsito ataupun para pendidik lain segara


bersama-sama dengan murid (peserta didik) menuju ke tempat pemejangan
yang telah disiapkan sebagaimana diatas. Ronggowarsito menulis demikian:
Nunten ing ngantawis menawi sampun sirep tiyang utawi wanci
tengah dalu sami tindak dhateng enggan pamejangan, ingkag badhe
kawejangan lenggah majeng mangilen, sarta dudupa ratus kaasapaken
ing talingan kiwa, lajeng ing grana, wekasan ing jaja, punika kawit
kawejang gurunipun, mawi saksi sekawan ingkang sampun tunggil
ngelmu.

Setelah tengah malam, semua orang telah tidur, bersama-sama


(guru dan murid) ke tempat memberi wejangan. Orang yang akan
diwejang duduk menghadap ke arah barat, lalu membakar kemenyan,
diasapkan telinga kiri, hidung dan akhirnya dada dengan di saksikan
empat orang yang seilmu.
Pemilihan waktu malam hari dilakukan Ronggowarsito maupun juga
guru-guuru sebelumnya karena waktu malam lebih tenang dan hening.
Suasana tenang dan hening ini dipilih dan disesuaikan dengan pemilihan
tempat.
Selanjutnya, setelah persiapan selesai guru menjelaskan ajaran tauhid
secara bertahap dan berurutan. Dalam SWHJ ini, Ronggowarsito yang juga
seorang guru, menjelaskan urut-urutannya. Namun mulai serat yang
mengajarkan wejangan tauhid ini Ronggowarsito memindah sudut pandang
sebagai orang pertama (sebagai guru).
Adapaun urut-urutan wejangan tauhid sebagaimana tukisan
Ronggowarsito yaitu pertama adalah ajaran adanya Tuhan, yang berbunyi :
Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung
ana sawiji-wiji, kang ana dhingin iki Ingsun sajatining ora ana
Pangeran nanging Ingsun, sajatining dat kang Maha Suci,
angliputi ing sifatingsun, anartani ing asmaningsun,
amratandhani ing afngalingsun.

Sebenarnya tidak ada suatu apa pun sebab ketika masih kosong
(awang-uwung) belum ada sesuatu, yang pertama adalah Aku (Allah),
67

tidak ada Tuhan kecuali Aku (Allah), hakekat Yang Maha Suci, meliputi
segala sifat-Ku, memberitakan nama-Ku, menandai perbuatan-Ku.
Jadi pendidikan tauhid yang Ronggowarsito (sebagaimana para
wali dan guru sebelumnya) ajarkan kepada murid atau peserta didik adalah
ajaran tentang adanya Tuhan. Bahwa Tuhan itu yang pertama (yang Awal)
sebelum semua kejadian dan semua penciptaan. Sebelum penciptaan alam
semesta, Allah SWT, telah bersemayam dalam nukat ghaib, tidak sama
dengan kosong seperti pendapat Hadiwijono yang mengatakan, “bahwa
hakikat Allah adalah kekosongan yang kekal”.120 Pendapat ini adalah
kurang tepat, sebab Allah adalah Zat Yang Maha Awal dan Yang Maha
Akhir. Hal ini sesuai dengan Firman Allah yang berbunyi :

﴾3: ‫ﻢ ﴿ ﺍﳊﺪﻳﺪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﻠ‬ ‫ﻲ ٍﺀ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻮ ﹺﺑ ﹸﻜﻞﱢ‬ ‫ﻭﻫ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻃ‬ ‫ﺎ‬‫ﺍﹾﻟﺒ‬‫ﺮ ﻭ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺍﻟﻈﱠﺎ‬‫ ﻭ‬‫ﺧﺮ‬ ‫ﻭﹾﺍ َﻷ‬ ‫ ﹸﻝ‬‫ﻮﹾﺍ َﻷﻭ‬ ‫ﻫ‬
Dialah yang awal dan yang akhir, yang lahir dan yang batin, dan
Dia mengetahui segala sesuatu. (QS. Al Hadid : 3)121

Ayat yang menyatakan bahwa Allahlah Yang Maha Awal dan Dia
pula Yang Maha Akhir. Bila ditinjau dari sini, kita dapat lihat bahwa
awang-uwung yang dimaksud bukanlah Allah, akan tetapi keadaan
sebelum penciptaan yang masih kosong. Selain itu ada ayat kedua dari
surat Al-Fatihah :


“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam”

Lafal Rabb (Tuhan) dimaknai secara lebih luas, yaitu sebagai


Tuhan yang mencipta dan merawat, dalam sunnatullah-Nya, segala

120
Harun Hadiwijono, Kebatinan Islam Abad Enambelas, (Jakarta: Gunung Mulia, 1989),
hlm. 59
121
Mahmud Junus, Tarjamah Al Qur’an dan Al Karim, (Bandung: Al Maarif, 1990), hlm
485
68

cipataan-Nya yang meliputi alam manusia, alam hewan, alam tumbuhan,


benda-benda mati, semesta dan alam gaib.122
Hendaknya seorang guru tidak hanya mengenalkan adanya Tuhan
sebagai Pencipta dan Perawat alam semesta ini dalam dalam dalil naqli
saja, tetapi juga dengan dalil aqli. Sehingga perimbangan antara wahyu
dan otak atau rasio. Hal ini juga bisa dimaksudkan unuk menambah
keyakinan peserta didik atau murid, karena dalil naqli yang diperoleh
ternyata tidak bertentangan dengan rasio mereka. Misal saja dengan
memberi contoh dengan pemakaian logika humanis yang simple saja,
bahwa dunia ini ada tentunya ada yang membuat atau mencipta. Yang
mencipta itulah yang bernama “Tuhan”. Dan Tuhan itu menjadi sebab
segala sesuatu. Dalam hukum kausalitas disebut sebagai “causa prima”
(sebab utama yang tidak menjadi akibat, karena tidak ada sebab lagi di
atasnya). Maka terasa sesuailah, ketika Ronggowarsito mengatakan dalam
SWHJ “Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung
durungana sawiji-wiji kang ana dhingin iki Ingsun sajatining ora
anaPangeran nanging Ingsun …” Tuhan (Allah)-lah yang menjadi causa
prima segala kejadian dan penciptaan.
Muatan pendidikan ketauhidan yang ada pada ajaran pertama ini,
juga sama dengan dalam Serat Wirid Maklumat Jati karangan R. Ng.
Ranggawarsita. Sebagaimana yang dikutip oleh Dhanu, ajarannya yaitu :
Sadurunge ana apa-apa, kahananing alam kabir karo alam zahir
saisen-isene durung padha dumadi kabeh, kang ana dhigin
dhewe amung Zat Kang Amaha Suci. Sajatining Zat Kang Amaha
Suci iku asifat Esa, dibasakake zat mutlak kang kadim azali
abadi, tegese asifat sawiji, kang amasthi dhigin dhewe nalika isih
awang uwung….

Sebelum ada apa-apa, keadaan alam besar dan alam zahir


seisinya belum ada yang menjadi semua. Yang terlebih dahulu
hanyalah Zat Yang Maha Suci. Sesungguhnya Zat Yang Maha

122
Dikutip dari Al-Jumanatul ‘Ali, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara
Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an, Rev. Terjemah Oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an
DEPAG RI (CV. PENERBIT J-ART, 2005), hlm. 1
69

Suci itu bersifat Esa, yang dinyatakan sebagai Zat mutlak yang
awal abadi, yang bersifat tunggal yang berdiri sendiri ketika
masih kosong….123

Jadi, awang-uwung merupakan istilah yang digunakan oleh R. Ng.


Ranggawarsita untuk menggambarkan keadaan sebelum terjadinya
penciptaan. Hal tersebut sebagaimana pendapat Zainuddin Ibnu Abdul
Aziz Al Malybari dalam kitab Irsyadul Ibad, bahwa Allah itu qadim
(dahulu) tidak ada permulaannya dan kekal tidak ada batas akhirnya dan
sesungguhnya Tuhan adalah Tunggal, Esa, tidak ada yang menyamai baik
sifat, nama maupun Zat-Nya.124
Kalimat berikutnya yang berarti, hakekat Yang Maha Suci,
meliputi segala sifat-Ku, menyertai nama-Ku, menandai af’al-Ku. Kalimat
tersebut sering diungkapkan oleh Ranggawarsita dalam beberapa karyanya
yang lain yang berkaitan dengan ajaran tasawuf. Istilah ini merupakan
ungkapan tentang Tuhan, yang sudah biasa digunakan dalam dunia
tasawuf secara universal. Secara singkat pengertian Zat, Sifat, asma dan
Af’al dapat diterangkan sebagai berikut :
a. Zat dapat ditafsirkan sebagai Zat Tuhan yang hakikatnya tidak bisa
dilihat karena tidak kelihatan, tetapi keberadaannya meliputi segala
yang ada. Oleh karena itu, Zat Tuhan sering dikatakan tan kena kinaya
ngapa, yang berarti Tuhan tidak dapat digambarkan sebagai apa dan
tidak dapat dikatakan bagaimana keadaan-Nya. Untuk membatasi
pengertian tentang Zat Tuhan Yang Maha Esa diberikan sifat-sifat
yang dapat mengesakannya dalam segala-galanya, yang dapat
membedakan-Nya dari makhluk.
b. Sifat, sebenarnya merupakan sebutan setelah adanya Zat. Dalam karya
Ranggawarsita dikatakan bahwa Tuhan memiliki berbagai sifat,

123
Dhanu Priyo Prabowo, Pengaruh Islam dalam Karya-karya R. Ng. Ranggawarsita,
(Yogyakarta: Narasi, 2003), hlm.120.
124
Zainuddin Ibnu Abdul Aziz Al Malybari, Irsyadul Ibad, terj. Mahrus Ali, (Surabaya:
Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 10
70

misalnya hayyu (hidup), Zat Kang Wisesa (Zat Yang Maha Kuasa), Zat
Kang Sampurna.
c. Asma dapat ditafsirkan sebagai nama Tuhan, sebagaimana yang
terangkum dalam Asmaul Husna.
d. Af’al merupakan kerja atau perbuatan Tuhan. Dalam berbuat Tuhan
tidak membutuhkan bantuan sebab kekuasaan-Nya bersifat Mutlak.125
Dengan demikian, keempat istilah tersebut dapat dibedakan,
namun keempatnya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
keempatnya saling berhubungan. Muatan pendidikan tauhid yang ada pada
ajaran pertama ini mengandung pengertian bahwa Allah adalah Zat Yang
Maha Suci, Yang Maha Esa, Maha Awal, yang mencipatakan alam
semesta. Alam semesta ini ada karena diciptan oleh Allah. Jadi Dia ada
sebelum adanya alam semesta ini, dan Zat Allah itu ada meliputi Asma,
Sifat dan Af’al-Nya.
Sesudah mengajarkan peserta didik atau murid memperoleh
pengetahuan bahwa alam semesta ini ada yang menciptakan, yaitu Tuhan,
Allah SWT, Ronggowarsito mengajarkan dan menjelaskan ajaran tauhid
tahap yang kedua yaitu : Ajaran tentang wahana zat, yang berbunyi :
Sajatine Ingsun Dat kang Amurba Amisesa kang kawasa
anitahaken sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka ing
kodratingsun, Ing kene wus kanyatan pratandhaning
apngalingsun kang minangka bebukaning iradatingsun.126

Sesungguhnya Aku (Allah) Zat Yang Maha Kuasa menciptakan


segala sesuatunya, menjadikan seketika, sempurna atas kodrat-
Ku. Di situlah kenyataan menunjukklan af’al-Ku yang
merupakan pembuka iradat-Ku.

Ronggowarsito menjelaskan dalam ajaran kedua, tentang wedaran


wahananing zat (ajaran tentang kejadian zat) ini, bahwa Aku (Allah)
adalah Zat Yang Maha Kuasa, berkuasa untuk menciptakan barang apapun
juga yang ada di alam semesta beserta isinya. Sesuatu itu bisa tercipta

125
Dhanu Priyo Prabowo, op. cit., hlm. 124-125
126
R. Ng. Ranggawarsita, op. cit., hlm. 5
71

dengan cepat dan sempurna karena sudah menjadi Kuasa dan kehendak
Allah sendiri.
Selain itu Ronggowarsito juga menerangkan melalui serat ini
bahwa selain Allah itu Maha Pencipta juga mempunyai sifat Maha Suci,
Maha Luhur dan bersifat kekal. Kata ‘Aku’ di sini, merujuk pada ‘Aku’
Tuhan (Allah) bukan ‘Aku’ manusia. Namun dalam serat ini,
Ronggowarsito maupun guru-guru sebelumnya hanya menerangkan sedikit
tentang 'af'al Allah yang juga meupaka sifat jaiz bagi Allah SWT.
Hendaknya para pendidik setelah mengajarkan ajaran tentang
adanya Tuhan (Allah SWT) langsung mengajarkan tentang sifat wajib,
sifat muhal dan sifat jaiz bagi Allah SWT. Hal ini dimaksudkan untuk
menambah pengenalan peserta didik kepada Allah SWT. Meskipun pada
pengajaran dalam wirid di atas hanya disebutkan sedikit, mengenai sifat
Allah (Dat kang amurba amisesa dan iradat) tetapi sebagai pendidik harus
mengajarkan keseluruhan sifat, asma dan af’al Allah SWT secara
keseluruhan.
Adapun sifat wajib bagi Allah itu ada 20 dan sifat muhal Allah
juga ada 20 diantara yaitu wujud yang berarti ada. Lawannya (yang
menjadi sifat muhal bagi Allah) adalah ‘adam artinya tidak ada.
Selanjutnya qidam artinya Allah itu dahulu dan tidak ada yang
mendahului, lawannya adalah huduts artinya baru. Baqa’ artinya abadi,
lawannya adalah fana’ artinya rusak. Mukholafatu li al-hawadits artinya
tidak serupa (berbeda) dari seluruh makhluk, lawannya adalah
mumatsalatu li alkhawadits artinya Allah itu meneyerupai makhluk. Sifat
wajib yang selanjutnya adalah qiyamuhu binafsihi artinya Allah SWT ada
(berdiri) dengan dzat dan kuasa-Nya sendiri, lawannya adalah ihtiyaj
artinya Allah SWT membutuhkan sesuatu yang lain untuk ada.
Wahdaniyat artinya Allah SWT itu Esa, lawannya adalah ta’addud artinya
Allah itu berbilang. Sifat wajib Allah selanjutnya adalah qudrat artinya
kuasa Allah untuk mewujudkan atau meniadakan segala sesuatu.
Lawannya adalah ‘ajzu artinya Allah itu tidak mampu. Selanjutnya iradat
72

artinya kemungkinan Allah untuk menciptakan sesuatu atau


meniadakannya, lawannya adalah karahah. ‘ilmu artinya adalah Alla
mengetahui segala sesuatu, lawannya adalah jahlu artinya Allah itu bodoh
dan tidak mengetahui segala sesuatu. Selanjutnya hayat artinya Allah itu
hidup dan pernah mati, lawannya adalah maut artinya Allah itu mati.
Sama' artinya Allah mendengar segala sesuatu, lawannya adalah shummun
artinya Allah itu tuli. Bashirun artinya Allah itu melihat segala sesuatu,
baik yang jelas maupun yang samar, lawannya adalah ‘umyun artinya
Allah itu buta tidak bisa melihat. Selanjutnya adalah kalam adalah Allah
itu berbicara, akan tetapi kalam Allah tidak berhuruf dan tidak bersuara.
Lawannya adalah bukmu artinya Allah itu bisu, dan seterusnya.
Sedang sifat jaiz bagi Allah ada satu yang juga disebut sebagai
‘af’al Allah SWT, yaitu: Allah berhak menciptakan sesuatu atau tidak
menciptakannya, tidak ada yang yang bagi Allah untuk menciptakan
sesuatu atau meniadakan sesuatu.127 Jika ada yang mewajibkan Allah
untuk mencipta atau meniadakan sesuatu berarti Allah bukan Tuhan yang
“causa prima”, dan itu jelas muhal atau tidak mungkin.
Pada ajaran ini, Ronggowarsito atau pendidik menjelaskan kepada
peserda didik mengenai kejadian segala sesuatu. Af’al Allah SWT dalam
menciptakan segala sesuatu. Jadi sesuai dengan Wirid di atas, ketika Allah
SWT menghendaki segala sesuatu, Ia hanya tinggal mengucapkan maka
akan terjadi (tercipta).
Allah menciptakan segala sesuatunya menjadi seketika dengan
sabda Ilahi kun fa yakun (ada lalu berada), yaitu sabda yang
mengungkapkan penjadian alam semesta karena perintah Allah. Menurut
Hamzah Fansuri, Allah menciptakan segala sesuatu menjadi seketika
dengan sabda kun fa yakun. Maksudnya sesuatu bisa terjadi dengan
melalui proses yaitu dari yang sudah ada menjadi berada, sebab sabda Ilahi
ini ialah segala realitas akali yang masih terpendam itu keluar sebagai

127 Dikutip dari kitab Tijan Al-Darari karya Syekh Ibrahim Al-Bajuri (Jakarta:Karya
Insan Indonesia, TT) hlm, 3-10
73

dunia gejala. Misalnya pohon itu berada karena sudah ada bijinya
(perbendaharaannya).128
Dengan demikian alam seisinya bisa tercipta dengan sempurna
karena perbuatan Allah, yang sudah menjadi kuasa Allah untuk
berkehendak. Kehendak (iradah) Allah ini menurut ajaran Ahli sunnah
wal Jamaah ada dua yaitu :
a. Iradah Kauniyah, yaitu adanya kehendak Allah namun tidak harus
disenangi-Nya, atau dalam istilah lain disebut masy’iyah.
Sebagaimana Firman Allah, “Seandainya Allah menghendaki, tidaklah
mereka tebunuh. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendakinya”.
(Al Baqarah : 253).
b. Iradah Syar’iyah, yaitu kehendak yang tidak mesti harus terjadi namun
kehendak ini disenangi oleh Allah.
Kedua iradah tersebut adalah berdasarkan hikmah dan hikmah itu
hanya Allah yang mengetahui dengan sebenarnya. Manusia mungkin tahu
sebagian atau tidak sama sekali akan hikmah apa yang terjadi, karena
jangkauan akal manusia yang sangat terbatas.
Dalam terminologi syariat Islam, istilah tauhid ini disebut tauhid
rubbubiyah, yang berarti percaya bahwa hanya Allahlah satu-satunya
Pencipta, Penguasa, Pemilik, Pengendali makhluk dan alam raya dengan
kehendak-Nya. Ia menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan
alam seisinya dengan sunnah-sunnah-Nya.
Setelah itu Ronggowarsito melanjutkan materi pendidikan tauhid
yang selanjutnya, yang ketiga, dalan SWHJ adalah ajaran Peneguh
Keimanan, yang berbunyi :
Ingsun anekseni, satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun, lan
anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun.

Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Aku (Allah), dan
Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Ku.

128
Harun Hadiwijono, op. cit., hlm. 45
74

Dalam ajaran tersebut ronggowarsito menerangkan tentang hakikat


tauhid (kenyataan Allah Yang Maha Esa). Ajaran ini dalam Wirid Hidayat
Jati disebut panetep santosaning iman (penguat sentosanya iman).
Ronggowarsito mengawali dengan syahadad jati (kesaksian nyata) sebab
mengajarkan dengan jalan memberi tahu secara batin tentang penguat
keyakinan manusia, dalam menghayati yang senyata-nyatanya hidupnya
sendiri. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah Zat Yang Maha Esa, tidak
ada Tuhan yang patut disembah selain diri-Nya, maka manusia hidup dan
tunduk hanya untuk Allah.
Setelah mengetahui ajaran tentang adanya Tuhan (Allah SWT),
dan wedharan wahananing dat, maka peserta didik bertambah
keyakinannya dan melakukan kesaksian yang dalam Islam disebut dengan
syahadat. Syahadat dalam islam sendiri terbagi menjadi dua yaitu:
syahadat tauhid dan syahadat rasul. Syahadat tauhid adalah pengesaan
terhadap Allah SWT, menyaksikan bahwa Allah adalah satu-satunya
Tuhan yang wajib di taati dan disembah. Ini tertuang dalam lafal “asyhadu
an laa ilaaha illa Allah”. Sedang syahadat rasul adalah persaksian bahwa
Muhammad saw, benar-benar utusan-Nya yang membawa risalah dan
ajaran agama islam. Ini tertuang dalam lafal “ wa asyhadu anna
Muhammad rasulullah”. Setelah melakukan syahadat, seorang murid atau
peserta didik secara umum sudah dianggap mukmin sehingga sudah
terkena beban taklif, sehingga sudah bisa dikenai kewajiban dan segala
hukum-hukum dalam Islam beserta resikonya (dosa dan pahala).
Tauhid manusia tidak akan sempurna hingga dia bersaksi bahwa
tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah. Jadi dia meniadakan
uluhiyyah dari apa saja selain Allah dan menetapkan uluhiyyah untuk
Allah saja. Selanjutnya Kata ‘Aku’ pada kalimat kedua (Aku bersaksi)
menunjukkan keakuan manusia dan kata ‘Aku’ berikutnya (Muhammad
adalah utusan-Ku) menunjukkan keakuan Tuhan (Allah), sama dengan
penjelasan di atas.
75

Dengan demikian ajaran ketauhidan yang ada dalam SWHJ ini,


nampaknya merupakan kelanjutan dari paham tasawuf yang dibawa oleh
Mansur Al Hallaj, yang mana menurut Muhammad Daud Ali ajaran itu
disebut sebagai tasawuf falsafi yang menganut aliran fana, karena teori-
teori yang dikemukakannya banyak mengandung unsur-unsur filsafat.129
Sedang tasawuf sendiri menurut Junaidi Al Bagdadi tidak
bertentangan dengan syariat, karena tasawuf berdasarkan Al Qur’an dan
Hadis. Tasawuf merupan bentuk pengalaman syariat secara sangat intensif
atau bersungguh- sungguh dengan memberikan perhatian utama pada
sikap hati atau batin.130
Pendidikan tauhid pada ajaran ini mengandug pengertian bahwa
Allah itu Zat Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dan Nabi
Muhammad adalah utusan Allah, yang diutus untuk menyampaikan risalah
Islam kepada umatnya. Dengan demikian seseorang bisa dikatakan muslim
manakala ia mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut.
Selanjutnya, Ronggowarsito mengajarkan dan menjelaskan materi
pendidikan tauhid dalam SWHJ, yang keempat, adalah ajaran Sasahidan,
berbunyi :

Ingsun anekseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana


Pengeran anging Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune
Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku
badan Ingsun, Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku
cahyaningsun, iya Ingsun kang kang Urip tan kena ing pati, iya
Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kang langgeng
ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang
waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba
amisesa, kang kawasa wicaksana ora kakurangan ing pangerti,
byar sampurna padhang terawangan, ora karasa apa-apa, ora
katon apa-apa, amung Ingsun kang angliputi ing ngalam kabeh
kalawan kodratingsun.

Aku bersaksi kepada Zat-Ku sendiri, bahwa sesungguhnya tidak

129
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2002), cet. IV, hlm. 161
130
Ibid, hlm. 159
76

ada Tuhan selain Aku (Allah), dan Aku bersaksi bahwa


sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yang
bernama Allah itu badan-Ku, Rasul Rahsa-Ku, Muhammad
cahya-Ku. Akulah (Allah) yang hidup tidak akan mati. Akulah
(Allah) yang selalu ingat tidak akan lupa. Akulah (Allah) yang
kekal tidak ada perubahan dalam segala keadaan. Akulah (Allah)
yang bijaksana tiada kekurangannya di dalam pengertian,
sempurna terang benderang, tidak terasa, tidak kelihatan, hanya
Aku (Allah) yang meliputi alam semesta, karena kodrat-Ku.

Ajaran ini pada dasarnya merupakan penjabaran dari ajaran


sebelumnya (Sasahidan), yaitu sebagai penjelasannya. Kata ‘Aku’ di sini
adalah ‘Aku’ manusia, sebagaimana penjelasan di atas. Sedang kata “Zat-
Ku sendiri” maksudnya adalah Zat Allah yang menciptakan manusia dan
alam semesta ini beserta pengaturannya. Jadi maksud dari ajaran ini ialah
aku (manusia) bersaksi kepada Zat Allah sendiri Yang Maha Esa dan
Maha Suci yang menciptakan manusia dan alam semesta beserta
pengaturannya.
Pada bagian yang berbunyi “tiada Tuhan kecuali Aku” adalah
kalimat pernyataan manusia tentang kemahaesaan Allah, sebagaimana
yang ada dalam Al Qur’an Surat Al Anbiya’, ayat 25 yang berarti “Tidak
ada Tuhan kecuali Aku (Allah)”.131
Kalimat tersebut setiap kali diulang di dalam segala ajaran dengan
perubahan disana-sini. Menurut R. Ng. Ranggawarsita, ajaran ini diangkat
atau diucapkan sesudah mengetahui arti syahadat jati, kemudian
mengangkat saksi dari segala makhluk yang terbentang di alam dunia
seperti : bumi, langit, matahari, bulan, bintang, api, angin, air dan
sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar semuanya menjadi saksi, bahwa
manusia telah mengakui Allah adalah Zat Yang Maha Esa dan semua yang
ada di alam semesta adalah ciptaan-Nya. Kalimat tersebut diucapkan
dalam batin.132

131
Mahmud Junus, op. cit., hlm 477
132
R. Ng. Ronggowarsito, op. cit., hlm. 41
77

Muatan pendidikan tauhid dalam SWHJ selanjutnya yaitu


mengenai nama dan sifat yang dimiliki oleh Allah. Dalam SWHJ ini nama
dan sifat yang dimiliki oleh Allah di antaranya yaitu Aku (Allah) yang
hidup tidak kenal mati, yang ingat tidak kenal lupa, yang abadi tidak kenal
perubahan keadaan sejati, yang waspada tidak samar kepada masing-
masing, yang perkasa, yang kuasa dan bijaksana, tidak kekurangan
pengertian, Allah Zat Yang Maha Kuasa yang meliputi semua alam
dengan kehendak Allah sendiri.
Sifat-sifat Allah dalam serat tersebut merupakan bagian dari
beberapa sifat Allah yang ada dalam Al Qur’an. Sifat sifat Allah disebut
dalam Al Qur’an dengan nama-nama yang indah (Asmaul Husna) yang
berjumlah 99.
Setelah itu Ronggowarsito juga menerangkan dalam tulisannya
andaikata murid atau peserta didik masih kurang faham dengan ajaran
yang telah disampaikan dan ingin menambah pengetahuan dan
pemahaman dengan berguru pada orang lain, maka ia diperbolehkan
dengan syarat meminta ijin dulu kepada guru sebelumnya. Dalam
tulisannya ia mengatakan demikian :
Kajawinipun saking mekaten, saumpami ingkang kawejang wau
dereng anarimah, utawi taksih kirang padhang ing panampinipun,
menawi badhe anggeguru ing sanesipun malih mboten dados
punapa, angger anedha idining guru ingkang amejang ngelmu
punika.

B. Nilai Pendidikan Tauhid dalam SWHJ


1 Nilai Rububiyah
Nilai pendidikan tauhid yang dapat diambil dalam serat tersebut
adalah nilai rububiyah. Suatu kepercayaan bahwa yang menciptakan alam
semesta beserta isinya ini, hanyalah Allah sendiri tanpa bantuan siapapun.
Atau dengan kata lain, alam semesta ini ada, tidak berada dengan
sendirinya tetapi ada yang menciptakan yaitu Allah, sebab sebelum alam
semesta ini ada Allahlah yang pertama kali ada.
78

R Ngabehi Ronggowarsito dalam SWHJ, menunjukkan bahwa


hendaknya tauhid rububiyyah ini diajarkan atau dijelaskan kali pertama
dalam pengajaran tauhid.
Hal ini sebagaimana yang diajarkan dalam serat tersebut yaitu :
Sajatine Ingsun Dat kang Amurba Amisesa kang kawasa
anitahaken sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka ing
kodrat Ingsun, Ing kana wus kanyatan pratandhaning apngal
Ingsun kang minangka bebukaning Iradat Ingsun.133

Sesungguhnya Aku (Allah) Zat Yang Maha Kuasa menciptakan


segala sesuatunya, menjadikan seketika, sempurna atas kodrat-
Ku. Disitulah kenyataan menunjukklan af’al-Ku (perbuatan-Ku)
yang merupakan pembuka iradat-Ku.

Dengan adanya Allah sebagai Zat pencipta alam semesta beserta


isinya maka manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya harus mengakui dan
mengagungkan Allah. Manusia harus bertuhan hanya kepada Allah, tidak
kepada yang lain. Pengakuan akan kekuasaan Allah dalam penciptaan
alam semesta beserta pengaturannya ini, sebagaimana yang diterangkan
dalam Firman Allah

(16 : ‫ﺭ )ﺍﻟﺮﻋﺪ‬ ‫ﺎ‬‫ﺪ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻬ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺍ‬‫ﻮ ﺍﹾﻟﻮ‬ ‫ﻭﻫ‬ ‫ﻲ ٍﺀ‬ ‫ﺷ‬ ‫ ﹸﻛﻞﱢ‬‫ﻟﻖ‬‫ﺎ‬‫ﻪ ﺧ‬ ‫ﻗﹸ ﹺﻞ ﺍﻟﱠﻠ‬
katakanlah : “Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dialah
Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”.(QS. Ar_Ra’du: 16).134

Pengertian rububiyah ialah “kepercayaan bahwa pencipta alam ini


adalah Allah, tetapi ia tidak mengabdi kepada- Nya saja”. Pengertian ini
jelas, kemutlakan Allah dalam segala sifat dan nama-Nya, tidak murni
lagi. Dia masih terbatas pada lingkungan dan situasi, sehingga orang boleh
saja suatu saat tunduk pada-Nya namun dilain waktu ia menghindarinya
dan tunduk pada selain Allah misalnya menyembah berhala.
Tauhid inilah yang pernah dilakukan oleh kaum kafir Quraisy yang
menyembah berhala, mereka percaya adanya Tuhan Yang Maha Pencipta

133
R. Ng. Ronggowarsito, op. cit., hlm. 18
134
Mahmud Junus, op. cit., hlm. 227
79

namun ia tetap menyembah berhala.135 Dengan demikian, tauhid


rububiyah akan rusak apabila ada pengakuan bahwa yang mengurus alam
ini ada dua Tuhan atau lebih. Keyakinan akan banyaknya Tuhan akan
merusak akal dalam memahami alam dan merusak paham terhadap tugas-
tugas keagamaan, bahkan merusak pengetahuan manusia terhadap hakikat
manusia, sebagaimana Firman Allah:

‫ﺼﻔﹸﻮ ﹶﻥ‬
 ‫ﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ﻋﻤ‬ ‫ﺵ‬
‫ﺮ ﹺ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺏ ﺍﹾﻟ‬
‫ﺭ ّﹺ‬ ‫ﷲ‬
ِ ‫ﻦ ﺍ‬ ‫ﺤ‬‫ﺴﺒ‬
 ‫ﺎ ﹶﻓ‬‫ﺪﺗ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﻪ ﹶﻟ ﹶﻔ‬ ‫ﻬ ﹲﺔ ﹺﺇﻟﱠﺎ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﻟ‬‫ﺎ َﺁ‬‫ﻴ ﹺﻬﻤ‬‫ﻮ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻓ‬ ‫ﹶﻟ‬
(22 : ‫)ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ‬
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya
itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada
136
apa yang mereka sifatkan. (QS. Al_Anbiya’:22)

Islam mengajarkan bahwa adanya Tuhan Yang Maha Kuasa,


Dialah Pencipta alam semesta dan seisinya. Inilah akidah yang harus
diimani dalam hati setiap insan yang dibuktikan dalam pengalaman. Akal
yang sehat tidaklah dapat memungkiri adanya Tuhan Yang Maha Pencipta
karena setiap makhluk atau ciptaan pasti ada yang menciptakannya
(khalik).
Ketika akal fikiran manusia telah mencapai pengakuan terhadap
adanya tuhan (Allah) maka kesadaran mengharuskan beriman, dan jika
beriman maka keimanan itu akan berpindah kepada fase lain yaitu
keyakinan bahwa seluruh alam semesta ini tercipta oleh Pencipta Yang
Agung.
Sesungguhnya orang yang beranggapan bahwa dirinya adalah
ciptaan Allah dan kelangsungan hidupnya tergantung pada pengaturan
daya Yang Bijaksana, tidak mungkin akan berbuat sesuatu tanpa
memperdulikan perintah penciptanya. Dengan pandangan yang realistis ini

135
Abdurrahman An Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fil Baiti wal
Madrasati wal Mujtama, terj. Shihabuddin, Pendidikan di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,
(Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm. 87
136
Mahmud Junus, op. cit., hlm. 292
80

dia melihat bahwa jasad, ruh, akal dan nuraninya adalah ciptaan
Allah._Oleh karena itu dia berkeyakinan bahwa Allah adalah penciptanya
dan pemiliknya yang hakiki.
2 Nilai Uluhiyyah
Nilai Uluhiyah yang dimaksud di sini ialah pengakuan dan
keyakinan akan adanya Allah sebagai satu-satunya Tuhan, dengan kata
lain meyakini bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Dengan keesaan Allah
maka manusia hanya bersujud kepada Allah dan wajib mentaati perintah-
Nya serta menjauhi larangan-Nya.137 Uluhiyah inilah yang dibawa oleh
para rasul Allah di muka bumi ini.
Ronggowarsito menjelaskan tentang tauhid pendidikan uluhiyyah
ini dalam ajaran peneguh sentosaning iman dan sasahidan. Ia menulis dan
mengajarkan peneguh sentosaning iman demikian :
Ingsun anekseni, satuhune ora ana pangeran anging Ingsun, lan
anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun.
Setelah itu Ronggowarsito mengajarkan wejangan sasahidannya demikian:
Ingsun anekseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pengeran
anging Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku
utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun,
Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku cahyaningsun, iya Ingsun
kang urip ora kena ing pati, iya Ingsun kang eling ora kena ing
lali, iya Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir kahanan jati,
iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya
Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora
kukurangan ing pangerti, byar sampurna padhang terawangan,
ora karasa apa-apa, ora katon apa-apa, amung Ingsun kang
angliputi ing alam kabeh kalawan kodratingsun.
Hal ini sesuai dengan berbagai dalil naqli dalam Al-Qur'an.
Adapun di antara ayat yang menyatakan keesaan Allah ialah

(163 :‫ﻢ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬ ‫ﻴ‬‫ﺮﺣ‬ ‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻮ ﺍﻟﺮ‬ ‫ﻪ ﹺﺇﻷﱠ ﻫ‬ ‫ﺪ ﹶﻻ ﹺﺇﹶﻟ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺍ‬‫ﻪ ﻭ‬ ‫ﻢ ﹺﺇﹶﻟ‬ ‫ﻜﹸ‬‫ﻭﹺﺇﹶﻟﻬ‬
Adapun Tuhanmu itu adalah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan
melainkan dia yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (QS. Al
Baqarah : 163).138

137
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm. 17
138
Mahmud Junus, op. cit., hlm. 23
81

Menurut pendapat Muhammad Thahir Badrie, batasan uluhiyyah


adalah “kepercayaan untuk menetapkan bahwa sifat ketuhanan itu
hanyalah milik Allah belaka dengan penyaksian bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah yang dilahirkan dengan mengucapkan kalimat Thayibah Laa
ilaaha illallah”.139 Selain itu makhluk hanya berbakti kepada Allah saja.
Jika ia mendapat musibah, ia lari, mengadu dan berserah diri hanya kepada
Allah, kalau ia mengerjakan amalan maka tujuan utamanya hanya Allah
semata.
Hal ini sebagaimana keyakinan akan keesaan Allah dalam Wirid
Hidayat Jati yang diajarkan dan tulis oleh Ronggowarsito, dalam serat
disebut Panetep Santosaning Iman, yang berbunyi
Ingsun anekseni, satuhune ora ana pangeran amung Ingsun, lan
anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun.140
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Aku (Allah), dan
Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Ku.
Ajaran tersebut menerangkan tentang kenyataan Allah adalah Zat
Yang Maha Esa. Syahadat ini mengajarkan dengan jalan memberi tahu
secara batin tentang penguat keyakinan manusia, dalam menghayati yang
senyata-nyatanya hidup manusia pribadi bahwa manusia adalah makhluk
ciptaan Allah, manusia bisa hidup karena diberi kehidupan oleh Allah.
Oleh karena itu manusia harus beri’tiqad bahwa Allah adalah Maha Esa
dan wajib mentaati segala perintah dan larangan-Nya.
Selanjutnya keyakinan akan keesaan Allah juga diajarkan oleh
Ronggowarsito dalam ajaran Sasahidan yang berbunyi:
Ingsun Anekseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana
Pengeran amung Ingsun, lan nekseni Ingsun satuhune
Muhammad iku utusan Ingsun.
Ronggowarsito menerangkan bahwa sesungguhnya tidak ada
Tuhan selain Aku (Allah), dan Aku bersaksi bahwa sesungguhnya
Muhammad itu utusan-Ku. Kalimat yang mempunyai arti, Aku bersaksi,

139
Muhammad Thahir Badrie, op. cit., hlm. 25
140
Ronggowarsito, Wirid Hidayat Jati, terj. R. Tanojo, (Surakarta: t. p, 1954), hlm. 10
82

bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah utusan Allah. Kalimat syahadat ini merupakan revolusi rohani yang
Maha Dasyat, sebuah proklamasi kemerdekaan jiwa dari penjajahan ilah-
ilah yang tercipta dalam sejarah; sebagaimana yang dialami Nabi Ibrahaim
dalam masa pencarian Tuhan Yang Maha Benar. Apabila kalimat tersebut
dianalis dengan arti kata “ilah” sebagai pelindung, yang menguasai aturan
hukum alam, penguasa yang tunggal, yang ditaati, maka akan didapati
implikasi yang dapat menimbulkan statemen bahwa tidak ada pelindung,
tidak ada penguasa tunggal, tidak ada yang ditaati secara mutlak kecuali
Allah SWT.
Dengan mengetahui makna tersebut tanpa ada pengamalan dalam
keseharian, manusia tidak akan pernah dapat menyadari pentingnya ajaran
Islam. Perbedaan antara orang yang beriman dengan orang yang tidak
beriman bukan hanya terletak pada kalimat tauhid (syahadat) saja, sebab
beberapa kata tidak akan dapat membuat perbedaan yang begitu besar
diantara manusia. Kekuatan yang sesungguhnya terletak pada penerimaan
secara utuh dan mutlak terhadap ajaran Islam dan penerapannya di dalam
kehidupan nyata. Hal ini disebabkan, tauhid dalam Islam diyakini sebagai
tauhid i’tiqodi ilmi (keyakinan teoritis) dan tauhid amali suluki (tingka
laku praktis).
Syahadat yang benar adalah harus mendasarkan atas pengetahuan
dan pengertian terhadap apa yang diyakini kebenarannya. Dalam hal ini
syahadat yang benar yang harus dimulai dengan ilmu pengetahuan dan
pengertian yang benar tentang Allah SWT. sehingga syahadat dapat
dikatakan sebagai puncak klimak, titik kulminasi dan keseimbangan akhir
dari pengetahuan, pengertian, kesadaran seseorang tentang wujud Allah
dan ke-illahi-an-Nya.
Hal ini sebagaimana dalam ajaran Wirid Hidayat Jati, sebelum
mengajarkan tentang syahadat terlebih dahulu di mulai dengan
pengetahuan dan pengertian tentang keesaan Allah beserta penciptaan-
Nya, yaitu bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Esa dan Maha Awal
83

sebelum penciptaan alam semesta (ajaran adanya Zat), kemudian


menyadari tentang penciptaan alam semesta (ajaran wahana Zat Yang
Maha Kuasa) setelah mengetahui, mengerti dan menyadari tentang wujud
Allah beserta keilahian-Nya, baru kemudian menegaskan kalimat syahadat
la ilaaha ilallah.
Dengan demikian penanaman tauhid ke dalam diri manusia akan
membawa manusia pada kedudukannya yang mulia dan menghendaki
manusia untuk memakai atribut manusia tauhid yang bertaqwa. Manusia
tauhid ini merupakan manusia yang hidup dengan nilai-nilai ilahiyah,
yaitu manusia yang mengaktualisasikan nilai-nilai ketuhanan. Misalnya
Allah Maha Penyayang, maka manusia sebagai makhluk-Nya hendaknya
dapat mengimplementasikan nilai ketauhidannya yaitu dengan
menyayangi sesama manusia dan sesama makhluk lainnya, Allah Maha
Penolong maka manusia hendaknya hidup saling menolong dengan sesama
makhluk.
3 Nilai Asma dan Sifat
Nilai Asma dan Sifat ini maksudnya adalah suatu kepercayaan dan
keyakinan bahwa hanya Allah sendirilah yang berhak atas nama dan sifat-
sifat-Nya. Dari pengertian itu, jelaslah bahwa asma wa sifat Allah berdiri
di atas tiga asas yaitu:
a. Meyakini bahwa Allah Maha Suci dari kemiripan dengan makhluk dan
dari segala kekurangan.
b. Mengimani seluruh nama dan sifat Allah yang ada dalam Al Qur’an
dan Hadis tanpa mengurangi atau menambahi, dan tanpa mengubah
atau mengabaikan.
c. Menutup keinginan untuk mengetahui kaifiyah (kondisi) sifat-sifat itu.
Dalam SWHJ Ronggowarsito mengajarkannya dalam dalam
sebagian wirid wejangan sasahidan yang berbunyi
'.., iya Ingsun kang urip ora kena ing pati, iya Ingsun kang eling
ora kena inglali, iya Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir
kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-
wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora
84

kukurangan ing pangerti, byar sampurna padhang terawangan,


ora karasa apa-apa, ora katon apa-apa, amung Ingsun kang
angliputi ing alam kabeh kalawan kodratingsun.
Untuk mentauhidkan nama dan sifat-Nya Ronggowarsito menerangkan
dengan cara mensucikan dan mengagungkan Allah dalam kesempurnan-
Nya.
Dalam pendidikan ini, Ronggowarsito menegaskan dan
menjelaskan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang tidak sama dalam
subtansi dan kapasitasnya dengan makhluk. Perbedaan itupun mesti
diyakini walaupun dari segi bahasa yang digunakan untuk merujuk sifat
tersebut sama.
Allah menyerukan kepada setiap muslim agar mensucikan-Nya
dari sifat-sifat negatif, yaitu memiliki sifat yang tidak beristri, tidak
bersekutu, tidak memiliki tandingan dan menyuruh manusia agar hanya
berlindung kepada-Nya. Dia tidak memerlukan istirahat, tidak mengantuk
dan lelah. Dia tidak mati, tidak bodoh, tidak lupa dan tidak memiliki sifat-
sifat kekurangan lainnya. Hal tersebut sebagaimana dalam ajaran SWHJ
yang ada pada ajaran adanya Zat yang menerangkan bahwa, sesungguhnya
Yang Maha suci itu meliputi sifat-Ku (Allah), menyertai nama-Ku (Allah),
menunjukkan kepada perbuatan-Ku (Allah). Selain itu ajaran tentang
mensucikan asma dan sifat Allah yaitu ada pada ajaran Sasahidan yang
artinya ; Akulah (Allah) yang hidup tidak akan mati, Akulah yang selalu
ingat tidak akan lupa, Akulah yang kekal tidak ada perubahan dalam
segala keadaan, Akulah yang bijaksana tidak ada kekurangan di dalam
pengertian, sempurna terang benderang tidak terasa tidak kelihatan, hanya
Aku yang meliputi alam semesta karena kodrat-Ku.141
Ajaran tersebut mengajarkan bahwa nama dan sifat Allah itu suci
dan sempurna, tidak ada kekurangan sedikitpun. Islam telah mengajarkan
tentang sembilan puluh sembilan nama-nama Tuhan, untuk
mengungkapkan kekuasaan-Nya di dunia dan pemeliharaan atas-Nya,

141
R. Ng. Ronggowarsito, dkk., Hidayat Jati Kawedhar Sinartan Wawasan Islam,
(Surabaya : Citra Jaya, 1984), hlm. 99
85

tetapi ia menekankan bahwa “Tiada sesuatupun yang serupa seperti Dia”.


Firman Allah
‫ﺝ‬
‫ﺎ‬‫ﺍﺟ‬‫ﺯﻭ‬ ‫ﺎ ﹺﻡ ﹶﺃ‬‫ﻧﻌ‬‫ﻦ ﺍﹾﻟﹶﺄ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﺍﺟ‬‫ﺯﻭ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﺴﻜﹸ‬ِ ‫ﻧﻔﹸ‬‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻌ ﹶﻞ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﺽ ﻁ‬ ‫ﺭ ﹺ‬ ‫ﻭﹾﺍ َﻷ‬ ‫ﺕ‬ ‫ﺍ‬‫ﺎﻭ‬‫ﺴﻤ‬  ‫ ﺍﻟ‬‫ﻃﺮ‬ ‫ﻓﹶﺎ‬
(11 :‫ )ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ‬‫ﺼﲑ‬  ‫ﺒ‬‫ﻊ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻴ‬‫ﺴﻤ‬  ‫ﻴ‬‫ﻪ ﻁ ﹶﻟ‬ ‫ﻴ‬‫ﻢ ﻓ‬ ‫ﻛﹸ‬‫ﺭﺅ‬ ‫ﻳ ﹾﺬ‬
 ‫ﻮ ﺍﻟ‬ ‫ﻭﻫ‬ ‫ﻲ ٌﺀ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻠ‬‫ﻤﹾﺜ‬ ‫ﺲ ﹶﻛ‬
(Dia) Pencipta langit dan bumi. dia menjadikan bagi kamu dari
jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang
ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu
berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan
Melihat. (Q.S. Asy Syura: 11).142

Dalam ayat kursi Allah SWT. telah mensifati diri-Nya sendiri


dengan sifat Tuhan Yang Maha Tinggi, yang berhak disembah secara
hakiki seperti Maha Hidup, Maha Berdiri Sendiri, Maha Memiliki, Maha
Berilmu, Maha Kuasa dan sebagainya. Namun dalam ayat tersebut Allah
juga merinci sifat-sifat kekurangan yang dinafikan, misalnya kalimat

" ‫ﻡ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻧ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻨ ﹲﺔ‬‫ﺳ‬ ‫ﺬﹸﻩ‬‫ﺗ ﹾﺄﺧ‬ ‫ " ﹶﻻ‬yang berarti, “Dia tidak mengantuk dan tidak pula
tidur”.143 Ayat ini menegaskan bahwa sembahan yang hak, tidak bisa
dikuasai oleh rasa kantuk dan tidak pernah jatuh ke dalam tidur. Dia suci
dari sifat kekurangan dan sifat-sifat_yang serupa dengan makhluknya.
Dengan demikian, walaupun sebutan dan kata asma wa sifat Tuhan
menyerupai manusia, akan tetapi hakikat dari nama-nama itu tidaklah
sama dengan apa yang berlaku pada makhluk atau manusia,
transendensinya selalu terjaga di dalam Al Qur’an.
Kaitannya dengan pendidikan tauhid, dimensi asma dan sifat
memegang peranan yang sangat penting. Diibaratkan seseorang tidak akan
sayang kepada orang lain kalau dia sendiri tidak mengenal orang tersebut,
begitu juga halnya jika dikaitkan dengan Allah. Seorang hamba akan lebih
dekat dengan Tuhannya manakala ada suatu proses pengenalan dengan
Tuhannya (Allah) yaitu pengenalan dengan nama dan sifat-Nya. Dengan

142
Mahmud Junus, op. cit.,, hlm. 436
143
Ibid, hlm. 39
86

mengenal nama dan sifat-Nya, seorang hamba akan mencoba memahami


apa keinginan Tuhannya, yang disukai dan yang dibenci tuhannya
sehingga pengenalan itu nantinya menimbulkan kecintaan pada Tuhan
(Allah).
BAB V
PENTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisis skripsi yang berjudul “Nilai
Pendidikan Tauhid Dalam Serat Wirid Hidayat Jati Karya R. Ng.
Ranggawarsita”, dapat ditarik beberapa kesimpulan
1 Dalam khasanah sastra Jawa, nilai pendidikan religius banyak tersimpan
dalam sastra yang berbentuk wirid atau suluk. Nilai tersebut sangat
bermanfaat bagi pembinaan dan pendidikan mental spritual, dalam hal ini
disebut dengan pendidikan tauhid. Pendidikan tauhid adalah suatu proses
bimbingan untuk mengembangkan dan memantapkan kemampuan
manusia (fitrah) dalam mengenal keesaan Allah, dan
mengaktulisasikannya (nilai-nilai ilahiyah) dalam kehidupan sehari-hari.
2 Ajaran yang ada dalam SWHJ berisi tentang pendidikan tauhid yang
dipengaruhi oleh ajaran tasawuf. Misalnya tasawufnya Al Hallaj, Abdul
Rauf (Sumatra), Syeh Abdul Muhyi (Pamijahan, Jawa Barat) dan para wali
di Jawa. Pengaruh ajarannya ialah manusia hendaknya berusaha
mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Suci dengan cara pembersihan
hati dan berperilaku luhur. Muatan pendidikan tauhid dalam SWHJ yaitu,
bahwa sebelum ada alam semesta ini yang terlebih dahulu ada ialah Allah.
Dialah yang menciptakan alam semesta beserta pengaturannya. Allah
Yang Maha Esa, meliputi zat, nama, sifat dan af’al-Nya. Selain itu Allah
juga Zat Yang Maha Suci dan Sempurna jauh dari segala kekurangan baik
itu asma, sifat maupun af’al-Nya.
3 SWHJ mengandung nilai-nilai pendidikan tauhid di antaranya adalah nilai
Rububiyah, nilai Uluhiyah dan nilai Asma wa Sifat. Nilai tersebut dapat
diambil untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
tertanamnya tauhid dalam jiwa manusia secara kokoh dan kuat, akan
merefleksikan dan mewarnai dalam kehidupan di masyarakat, karena

87
88

terpengaruh oleh keyakinan kepada Allah. Akibatnya peribadatan manusia


kepada Allah tidak hanya sebatas menjalankan perintah ritual agama saja,
namun dengan memahami hakikat manusia hidup di dunia.

B. Saran-saran
1. Dalam rangka mengantisipasi semakin gencarnya arus kehidupan yang
mengarah kepada pengabaian atas pengakuan kepada keesaan Allah SWT,
maka hendaknya pendidikan ketauhidan diberikan kepada peserta didik
sedini mungkin dan secara continue agar terhindar dari perbuatan sesat
(musyrik) dan terjangkitnya kekeringan jiwa spritual.
2. Untuk memberikan pendidikan tauhid kepada peserta didik, tidak hanya
dengan melalui proses pembelajaran secara langsung antara guru dan
murid, tetapi bisa melalui dengan menggunakan media. Dalam hal ini
karya sastra bisa digunakan sebagai media pendidikan, untuk diambil
nilai-nilai pendidikannya yang terkandung di dalamnya.
3. Dalam SWHJ terdapat ungkapan-ungkapan yang biasa diucapkan oleh
seorang sufi, yang mengandung makna filsafati dan kata-kata itu sulit
dipahami bagi orang yang belum mengerti tentang tasawuf atau ilmu
filsafat. Oleh karena itu ajaran tersebut hendaknya diberikan kepada orang
lain dengan hati-hati.

C. Penutup
Sebagai kata terakhir, penyusun mengucapkan syukur alhamdulillah,
skripsi ini dapat terselesaikan. Namun penyusun menyadari akan segala
kekurangan dan kesalahan, yang masih jauh dari sempurna. Hal ini
dikarenakan keterbatasan kemampuan dan minimnya pengalaman penyusun.
Akhirnya, harapan penyusun atas segala kekurangan dan kesalahan
yang ada dalam penyusunan skripsi ini, penyusun mohon maaf dan menerima
saran dan kritik yang bersifat konstruktif dari semua pihak demi perbaikan
selanjutnya.
89

Demikianlah kata penutup dari penyusun, dengan harapan semoga


skripsi yang sangat sederhana ini dapat memberikan motivasi penyusun untuk
melangkah lebih maju dan bermanfaat bagi penyusun serta pembaca pada
umumnya. Amiin.
90

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Syekh Muhammad., Risalah At Tauhid, terj. H. Firdaus A. N., Jakarta:


Bulan Bintang, 1992.

Abu Zahrah, Syekh Muhammad, Al ‘Aqidah Al Islamiyyah, ttp : ‘Udhwal


Majmu’, 1969.

_______., Hakekat Aqidah Qur’ani: Kembali kepada Aqidah yang Benar di


dalam Qur’an dan Hadis, Surabaya: Pustaka Progresif, 1991.

Al Faruqi, Ismail Raji., Tauhid, Bandung: Pustaka, 1995.

Al Malybari, Zainuddin Ibnu Abdul Aziz., Irsyadul Ibad, terj. Mahrus Ali,
Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995.

Al Ustmaini, Syaikh Muhammad bin Shalih., Majmu’ Fatawa Arkanil Islam,terj.


Furqan Syuhada, dkk., Majmu’ Fatawa, Solo: Pustaka Arafah, 2002.

_______., Apakah Yang Dimaksud Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, terj.
Muslim Aboud Ma’ani, Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1985.

Ali, Muhammad Daud., Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002, Cet. IV.

An Nahlawi, Abdurrahman., Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fil Baiti


wal Madrasati wal Mujtama, terj. Shihabuddin, Pendidikan di Rumah,
Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Anwar, Saifudin., Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1998.

Any, Andjar, Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita dan Sabdopalon,


Semarang: Aneka Ilmu, 1989.

_______., Raden Ngabehi Ronggowarsito Apa yang Terjadi, Semarang: Aneka


Ilmu, 1980.

Arikunto, Suharsimi., Manajemen Penelitian, Jakarta: Bina Aksara, 200.

_______., Prosedur Penelitian, Jakarta: Bina Aksara, 1985.

Asmuni, M. Yusran., Ilmu Tauhid, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993

Aziz, Shaleh Abdul., At Tarbiyyah wa Thariq At Tadris, Lebanon: Daarul Ma’arif,


1979.
91

Badrie, Muhammad Thahir., Syarah Kitab Tauhid Muhammad bin Abdul Wahab,
Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.

Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Jawa Tengah,


Sejarah Singkat Raden Ngabehi Ranggawarsita, Semarang: Depdikbud,
1988.

Ciptoprawiro, Abdullah, Filsafat Jawa, Jakarta : Pustaka Pelajar, 1986.

Cr, Otto Sukanto., Paramayoga Mitos Asal Usul Manusia, Yogyakarta: Yayasan
Bintang Budaya 2001.

Daradjat, Zakiah, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Departemen Agama RI., Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan
Tinggi Umum, 2002.

DZ, M. Hamdani B., Pendidikan Ketuhanan dalam Islam, Surakarta:


Muhammadiyah University Press, 2001.

Ernst, Carl W., Words Ectasy in Sufism, terj. Heppisi Rudatin, Ekspresi Ekstase
dalam Sufisme, Yogyakarta: Putra Langit, 2003.

Hadi, Sam., Gaya Kebatinan dan Watak Islam, Bandung: Al Ma’arif, 1983.

Hadiwijono, Harun., Kebatinan Islam Abad Enambelas, Jakarta: Gunung Mulia,


1989.

Halim, Abdul (ed.), Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.

Hasyim, Umar., Sunan Kalijaga, Kudus: Menara, 1974.

Ibnu Rusn, Abidin, Pemikiran Al Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 1998.

Junus, Mahmud., Tarjamah Al Qur’an Al Karim, Bandung: Al Ma’arif, 1990.

Kamajaya., Pujangga Ranggawarsita, Jakarta: Depdikbud, 1980.

Komite Ranggawarsita, Babad Cariyos Lelambahanipun Suwargi, Jakarta:


Depdikbud, 1979.

Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisia Psikologi, Filsafat


dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986.

Latif, Zaky Mubarok, dkk., Akidah Islam, Yogyakarta: UI Press, 1998.


92

Mansur, A.R. Sutan., Tauhid Membentuk Pribadi Muslim, Jakarta: Yayasan Nurul
Islam, 1981.

Muhammad Mar’i., Dengan Tauhid Kita Bangun Masyarakat yang Hanif, Jakarta:
Al Azhar, 1996.

Munawwir, Ahmad Warson., Kamus Al Munawwir, Yogyakarta: PP. Al


Munawwir, 1989.

Muslim, Shahih Muslim, juz II, Bairut: Darul Kutub, Al Alamiah, tt.

Mustopo, M. Habib., Ilmu Budaya Dasar, Surabaya: Usaha Nasional, 1998.

Nadjib, MH. Ainun., Suluk Pesisiran, Bandung: Bandung, 1989.

Nawawi, Hadari dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajahmada


University Press, 1999.

Nicholson, Reynold A., Aspect Rohaniah Peribadatan Islam di dalam Mencari


Keridhaan Allah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Poerbatjaraka, R. M. Ng., Kepustakan Djawi, Jakarta: Djambatan, 1954.

Prabowo, Dhanu Priyo, Pengaruh Islam dalam Karya-karya R. Ng.


Ranggawarsita, Yogyakarta : Narasi, 2003.

Prawiroatmodjo, S., Bausastra Jawa-Indonesia, Jakarta: Haji Masagung, 1989.

Rahmad, Jalaluddin., Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1996.

Rais, M. Amin., Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1991.

Ranggawarsita, R. Ng., Serat Wirid Hidayat Jati, Transkripsi Suroyo, Solo:


Perpustakaan Reksapustaka Istana Mangkunagaran, 1980.

_______., Hidayat Jati Kawedhar Sinartan Wawasan Islam, Surabaya: Citra Jaya,
1984.

_______., Wirid Hidayat Jati, Semarang: Dahara Prize, 1974.

_______., Wirid Hidayat Jati, terj. R. Tanojo, Surakarta: t. p, 1954.

Rasjid, M., Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

Sabiq, Sayid, Anshirul Quwwah fil Islam, terj. Haryono S. Yusuf, Unsur-unsur
Dinamika dalam Islam, Jakarta: PT. Intermasa, 1981.

_______., Akidah Islam: Suatu Kajian yang Memposisikan Akal sebagai Mitra
Wahyu, Surabaya: Al Ikhlas, 1996
93

_______., Aqidah Islam, terj. Moh. Abdul Rahtomy, Bandung : Diponegoro, 1996

Saridjo, Marwan, dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma


Bhakti, 1979.

Shihab, M. Quraish., Wawasan Al Qur’an, Bandung: Mizan, 1996.

Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta: Univesitas


Indonesia Press, 1988.

_______., Sufisme Jawa : Tranformasi Tasawuf Islam ke Mistik Islam,


Yogyakarta : Bentang Budaya, 1996.

Sudarto., Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Grafindo Persada, 1997.

Sujamto., Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa, Semarang:


DaharaPrize, 1992.

Syah, Muhibin., Psikologi Pendidikan, Editor: Anang Solihin Wardan, PT.


Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000.

Tafsir, Ahmad., Ilmu pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosda Karya,
2000

Thoha, M. Chabib., Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta : Pustaka


Pelajar, 1996.

UU RI, No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Vembriarto, St., dkk., Kamus Pendidikan, Jakarta: Grasindo, 1994.

Wellek, Rene and Austin Warren, Theory of Literature, terj. Melani Budianta,
Teori Kesusastraan, Jakarta: PT. Gramedia, 1989.

Woodward, Mark R.., Islam Jawa, Yogyakarta: LKiS, 199.

Yaasain, Muhammad Nu’aim., Al Iman: Arkanuhu, Haqiqatuhu, wa


Nawaqidhuhu, terj. Tate Qomaruddin, Iman: Rukun, Hakikat, dan yang
Membatalkannya, .(Bandung: Asy Syaamil Press, 2002.

Zainuddin., Ilmu Tauhid lengkap, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992.

Zoetmulder, P. J., Kamus Jawa Kuna-Indonesia, Jakarta: Gramedia Puataka


Utama, 1995.

Zulfahnur Z. F., dkk., Teori Sastra, Jakarta: Depdikbud, 1998.


94

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Misbakhul Munir


Tempat/Tgl Lahir : Grobogan, 8 Mei 1985
Alamat : Tangungharjo Kecamatan Grobogan Kabupaten Grobogan
Pendidikan :
1. SDN 04 Tangungharjo lulus tahun 1997
2. MTs Yarobi Grobogan lulus tahun 2000
3. MA Futuhiyyah 1 Mranggen Demak lulus tahun 2003
4. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang.

Semarang, Juni 2010

Misbakhul Munir

Anda mungkin juga menyukai