Pemerintahan) menjelaskan mengenai sistem pemerintahan khilafah yang menurut Ali Abdul Raziq tidak ada sumber yang pasti untuk mewajibkan penerapannya pada negara-negara, Khusunya negara Islam. Asumsinya mengenai khilafah adalah sistem pemerintahan yang dalam sistem, pelaku, aktifitas keseluruhannya menggunakan kekuatan dan kekerasan. Hal ini yang menyebabkan beliau memberikan penolakan tegas kepada sistem pemerintahan tersebut. Ali Abdul ar-raziq lahir pada tahun 1888 M di wilayah al-Mania, mesir. Ayahnya adalah seorang pembesar (gubernur) yang terpandang dan aktifis politik yang terkenal. Dilihat dari riwayat pendidikannya, dapat kita pahami bahwa ia adalah seorang ahli agama dan politik. Ketika menjabat sebagai hakim pada mahkamah syariah di mesir, ia sempat mengadakan penelitian tentang lembaga khalifah. Hasil penelitiannya kemudian dibukukan menjadi buku yang kontroversial dengan judul al-Islam wa Ushul al-ahkam. Tidak ada agama islam! itulah pendapat Kontroversial Ali Abd ar-Raziq yang tertuang dalam buku tersebut. Maka dari itu, menurut beliau, asumsi yang menyatakan perlunya mendirikan negara dengan sistem, peraturan perundangan serta pemerintahan yang “islami” adalah sesuatu yang keliru dan melenceng jauh dari kenyataan sejarah. Dengan demikian, apa yang misalnya dikatakan sebagai “sistem khilafah” dan “sistem imamah” ini semua bukanlah keharusan bagi kaum muslimin untuk mendirikannya. Karena bukan merupakan bagian dari islam. Khilafah dan imamah adalah lembaga bersifat politik yang diproyeksikan untuk menopang kepentingan -kepentingan politik. Kepentingan politik adalah persoalan duniawi yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan islam sebagai agama.
Bab I Khilafah dan karakteristiknya
Khilafah adalah bentuk masdar (verbal noun) dari takhallafa, takhallafa
fulan fulanan, dikatakan demikian jika si fulan datang mendahului yang lain, atau jika ia datang lebih akhir atau jika ia menggantikan posisi si fulan. Dikatakan khalafa fulan fulanan, jika si fulan (pertama) menangani urusan fulan (kedua), bisa jadi ketika semasa dengannya atau sesudahnya. Allah berfirman “dan kalau kami kehendaki, benar-benar kami jadikan sebagai gantimu di muka bumi para malaikat yang turun temurun.” Khilafah adalah menggantikan yang lain, ada kalanya karena absennya yang digantikan, mati, atau karena ketidak mampuan yang digantikan dan sebagainya. Dalam pengukuhan Abu Bakar sebagai khalifah (pengganti) Nabi Muhammad SAW sampai mereka mendahulukannya dari penguburan Nabi SAW. Karena dengan adanya imam, pelaksanaan hukum-hukum syariat terjamin dan umat terhindar dari berbagai mudarat. Adanya kewajiban taat pada Islam berdasarkan al- Qur’an dan Sunnah memang menghendaki diangkatnya seorang imam. Dari pendapat yang dikemukakan Ridha tadi dapat diambil pengertian khilafah yakni kepemimpinan menyeluruh dalam persoalan yang berkenaan dengan masalah kegamaan dan duniawi sebagai pengganti fungsi Rasulullah SAW. Abd ar- Raziq sempat menyinggung dalam bukunya, bahwa setiap dalil mengenai khilafah dan kekhalifahan sangat lemah. Hal ini mungkin saja, jika kita lihat hanya dari segi tekstual. Tetapi jika kita lihat lagi frasa “putuskanlah perkara diantara mereka” merupakan salah satu “tanda” bahwa dalam suatu kegiatan, hendaknya dipilih pemimpin sebagai hakim dalam pengambilan keputusan tersebut. Jika pertanyaannya adalah dari mana sumber otoritas khalifah itu datangnya, maka jawabannya adalah dari allah. Sebagai salah satu upaya untuk kemaslahatan umat. Meskipun “sistemnya” berdasarkan dari manusia (Ijma’ para sahabat) tetapi jika tujuannya untuk kebahagiaan dunia dan akhirat, sepertinya tidak ada salahnya untuk menerapkan sistem tersebut. Lagipula, syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorng khalifah pun mengikuti ketentuan dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Seperti yang telah kita ketahui, gelar khalifah pertama kali disandang oleh Abu Bakar. Sesuang dengan pengertiannya, abu bakar digelari khilafah setelah menggantikan Rasulullah yang telah mangkat. Pemberian gelar khalifah adalah Ijma’ para sahabat dan telah dinyatakan dalam hadist nabi“Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” . (HR Muslim). BAB II Hukum Khilafah
Umat Islam berpendapat bahwa mengangkat khalifah adalah suatu
kewajiban, yang jika tidak dilakukan maka semua orang akan berdosa. Hal ini juga didukung oleh beberapa pemikir seperti Rasyid Ridha, dan al-Mawardi, ia mengungkapkan bahwa “pelembagaan imamah adalah fardhu kifayah berdasarkan Ijma’ ulama”. Artinya, menciptakan dan memelihara kemasalahatan adalah wajib, sedangkan alat untuk terciptanya kemaslahatan tersebut adalah negara.maka, hukum mendirikan negara juga wajib (fardhu kifayah) begitu juga penghubung lainnya (khalifah). Ar-Raziq mewajibkan pengangkatan mengkritisi tidak adanya dalil yang khalifah dan mendirikan sistem khilafah. Mungkin benar, jika tidak ada dalil yang kuat bahkan yang lemah sekalipun yang menyatakan wajibnya hal tersebut, tetapi sekali lagi, jika untuk kemasalhahatan umat, mengapa harus ragu ? karena Ijma’ yang dilakukan pada jamannya pun bukan dilakukan oleh orang-orang biasa. Seperti yang kita ketahui bahwa pengangkatan khalifah dilakukan dengan bai’at dari Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi dimana golongan ini memiliki kualitas moral dan intelektual. Bab III Tekanan-Tekanan dalam Sistem Khilafah
Pernyataan beliau selanjutnya adalah bahwa “khilafah dalam Islam tidak
berpusat kecuali pada asas kekuatan”. Ia mendukung pernyataannya dengan mengutip perkataan Ibn Khaldun “tidak ada kerajaan kecuali dengan tekanan dan hukum paksa” ia melanjutkan. Bahwa tidak ada maksud lain mendirikan khilafah atas dasar tekanan dan paksaan kecuali untuk mengawasi orang-orang yang memberontak posisi khilafah, membangkangnya, dan mengalungkan pedang kepada siapa saja yang bermaksud jahat kepada singgasananya. Berdasarkan fakta sejarah yang ada, memang benar bahwa setiap pergantian kepala negara atau khalifah selalu ada peperangan didalamnya. Tetapi hal ini tidak dapat kita kaitkan dengan sistem pemerintahnya. Sebagaimana yang dicontohkan oleh ar-raziq padamasa ke khalifahan Abu Bakar, saat ia mengangkat pedang dan menyatakan perang. Abu Bakar selaku pengganti Nabi dalam urusan kenegaraan, ia juga mempunyai tugas melakukan penjagaan terhadap agama, ia menumpahkan upayanya untuk kepentingan agama. Mengingat pada waktu itu, negara yang wilayahnya mencakup sekitar seluruh jazirah Semenanjung Arab yang ia pimpin terancam disintegrasi dan agresi militer Romawi yang sejak masa Nabi telah terjadi beberapa kali, maka masa pemerintahan Abu Bakar dihabiskannya untuk mengatasi permasalahan kemurtadan (menumpas mereka yang mengaku sebagai nabi palsu) sekaligus memberantas penolakan beberapa suku yang baru masuk Islam untuk membayar keharusan zakat yang dikelola negara. Berdasarkan pernyataan diatas, dapat kita simpulkan bahwa sikap Abu Bakar pada masa kekhalifahan semata-mata hanya untuk kemaslahatan umat. Tidak ada unsur akan takutnya kehilangan tahta / jabatan yang ia pegang. Karena bahkan dari awal sendiri, pada saat Rasulullah SAW berpulang dan para sahabat mencalonkan beliau untuk menggantikan kepemimpinan Rasulullah, beliau menolak. Penulis tidak melihat bahwa hal-hal yang beliau lakukan untuk memuaskan nafsu “menguasai”nya. Sementara untuk penolakan terhadap kekhalifahan Abu Bakar, beliau sudah menyatakannya dalam bai’atnya “wahai manusia, aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian, sedangkan aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Maka bila aku berbuat baik, bantulah aku, dan bila aku berbuat buruk,luruskanlah aku… orang yang lemah diantara kamu sekalian akan kuanggap sebagai orang yang kuat, sampai aku memberikan kepada dia hak- haknya. Sebaliknya, orang yang kuat diantara kalian semua adalah seorang yang lemah, sehingga aku mengambil hak orang lain darinya. Sejak awal beliau telah menekankan bahwa ia bukan yang terbaik, bahwa jika ia berbuat buruk, ia meminta diluruskan agar kembali ke jalan yang baik. Ia memberikan kebebasan pada umat untuk menegur jika ia berbuat salah dalam sikapnya sebagai khalifah. Ini memberikan kesempatan kepada kaum muslim untuk memberi saran dan mengingatkan apabila beliau alpa dalam tugasnya. Jadi mengapa masih ada penolakan terhadap kekhalifahannya ? Sedangkan untuk kasus khalifah-khalifah selanjutnya. Sekali lagi ada baiknyadiperhatikan apa yang menjadi sebab atasnya menerapkan sistem pemerintahan dengan tekanan dan paksaan. Hanya karena beberapa kahlifah selalu “menggunakan pedang” di setiap urusan. Tidak serta merta menjadikan sistem pemerintahan khilafah menjadi menakutkan. Karena khilafah sendiri tidak memberikan metode atau teknik mengatur umat melalui kekuatan dan kekerasan. Penggunaan “tekanan” ini dilakukan karena beberapa permasalahan yang mungkin tidak bisa diselesaikan dengan jalan damai. Adapun pada kasus perebutan tahta khalifah yang dilakukan Mu’awiyah pada masa kekhalifahan Ali Ibn Abi Thalib, terlepas dari perang yang terjadi. Muhammad Dhiauddin rais dalam bukunya Teori Politik Islam menerangkan bahwa sesungguhnya, naiknya Muawiyah menjadi khalifah pada mulanya tidak berlangsung melalui forum pembaiatan yang bebas atau melalui pemilihan dari semua umat. Yang membaiat Muawiyah untuk pertama kali adalah penduduk Syam yang ketika itu berada di bawah kekuasaannya, kemudian barulah Muawiyah dibaiat oleh umat secara keseluruhan setelah satu tahun persatuan (aamul-jama’ah). Dengan berbagai keadaan yang terjadi, ia tiba pada kesimpulan bahwa umat Islam tidak memerlukan Khilafah untuk urusan dunia maupun agama. Ia bependapat bahwa khilafah selalu menjadi pemicu malapetaka bagi Islam kaum muslimin, sumber bencana dan kerusakan. Berkaca pada kondisi Mesir, ia bertanya “apakah ada perbaikan kondisi keagaaman atau keduniaan Kaum Muslimin dalam contoh -contoh tersebut yang dipimpin oleh raja mesir yang menamakan diri sebagai khalifah. Lalu apakah yang terjadi dalam negara-negara Islam selain mesir yang telah menanggalkan ikatan Khilafah,mengingkari sultannya, yang hidup jauh dari naungan para khalifah, jauh dari ketundukan dengan memberhalakan mereka ? apakah kaum muslim melihat syiar-syiar agama disana dilupakan dan kondisi masyarakatnya ditelantarkan. Atau apakah kondisi dunia mereka lebih gelap karena cahaya bintang khilafah hilang dari mereka, apakah rahmat bumi dan langit lenyap dari mereka oleh karena mereka memisahkan diiri dari para khalifah? sama sekali tidak !