Anda di halaman 1dari 7

Mujizat Bahrul Peqih

182121035
HKI 3B

Ali Abdu ar-Raziq. Islam dan dasar-dasar Pemerintahan (Al-Islam wa Ushul


al-ahkam). Yogyakarta : Penerbit Jendela. 2002
Tebal: 154 halaman

Al-Islam wa Ushul al-ahkam (Islam dan Dasar-dasar


Pemerintahan) menjelaskan mengenai sistem pemerintahan khilafah yang
menurut Ali Abdul Raziq tidak ada sumber yang pasti untuk mewajibkan
penerapannya pada negara-negara, Khusunya negara Islam. Asumsinya
mengenai khilafah adalah sistem pemerintahan yang dalam sistem,
pelaku, aktifitas keseluruhannya menggunakan kekuatan dan kekerasan.
Hal ini yang menyebabkan beliau memberikan penolakan tegas kepada
sistem pemerintahan tersebut.
Ali Abdul ar-raziq lahir pada tahun 1888 M di wilayah al-Mania, mesir.
Ayahnya adalah seorang pembesar (gubernur) yang terpandang dan aktifis politik
yang terkenal. Dilihat dari riwayat pendidikannya, dapat kita pahami bahwa ia
adalah seorang ahli agama dan politik. Ketika menjabat sebagai hakim pada
mahkamah syariah di mesir, ia sempat mengadakan penelitian tentang lembaga
khalifah. Hasil penelitiannya kemudian dibukukan menjadi buku yang
kontroversial dengan judul al-Islam wa Ushul al-ahkam. Tidak ada agama islam!
itulah pendapat Kontroversial Ali Abd ar-Raziq yang tertuang dalam buku tersebut.
Maka dari itu, menurut beliau, asumsi yang menyatakan perlunya mendirikan
negara dengan sistem, peraturan perundangan serta pemerintahan yang “islami”
adalah sesuatu yang keliru dan melenceng jauh dari kenyataan sejarah. Dengan
demikian, apa yang misalnya dikatakan sebagai “sistem khilafah” dan “sistem
imamah” ini semua bukanlah keharusan bagi kaum muslimin untuk mendirikannya.
Karena bukan merupakan bagian dari islam. Khilafah dan imamah adalah lembaga
bersifat politik yang diproyeksikan untuk menopang kepentingan -kepentingan
politik. Kepentingan politik adalah persoalan duniawi yang tidak ada kaitannya
sama sekali dengan islam sebagai agama.

Bab I
Khilafah dan karakteristiknya

Khilafah adalah bentuk masdar (verbal noun) dari takhallafa, takhallafa


fulan fulanan, dikatakan demikian jika si fulan datang mendahului yang lain, atau
jika ia datang lebih akhir atau jika ia menggantikan posisi si fulan. Dikatakan
khalafa fulan fulanan, jika si fulan (pertama) menangani urusan fulan (kedua), bisa
jadi ketika semasa dengannya atau sesudahnya. Allah berfirman “dan kalau kami
kehendaki, benar-benar kami jadikan sebagai gantimu di muka bumi para malaikat
yang turun temurun.” Khilafah adalah menggantikan yang lain, ada kalanya karena
absennya yang digantikan, mati, atau karena ketidak mampuan yang digantikan dan
sebagainya. Dalam pengukuhan Abu Bakar sebagai khalifah (pengganti) Nabi
Muhammad SAW sampai mereka mendahulukannya dari penguburan Nabi SAW.
Karena dengan adanya imam, pelaksanaan hukum-hukum syariat terjamin dan umat
terhindar dari berbagai mudarat. Adanya kewajiban taat pada Islam berdasarkan al-
Qur’an dan Sunnah memang menghendaki diangkatnya seorang imam.
Dari pendapat yang dikemukakan Ridha tadi dapat diambil pengertian
khilafah yakni kepemimpinan menyeluruh dalam persoalan yang berkenaan dengan
masalah kegamaan dan duniawi sebagai pengganti fungsi Rasulullah SAW. Abd ar-
Raziq sempat menyinggung dalam bukunya, bahwa setiap dalil mengenai khilafah
dan kekhalifahan sangat lemah. Hal ini mungkin saja, jika kita lihat hanya dari segi
tekstual. Tetapi jika kita lihat lagi frasa “putuskanlah perkara diantara mereka”
merupakan salah satu “tanda” bahwa dalam suatu kegiatan, hendaknya dipilih
pemimpin sebagai hakim dalam pengambilan keputusan tersebut. Jika
pertanyaannya adalah dari mana sumber otoritas khalifah itu datangnya, maka
jawabannya adalah dari allah. Sebagai salah satu upaya untuk kemaslahatan umat.
Meskipun “sistemnya” berdasarkan dari manusia (Ijma’ para sahabat) tetapi jika
tujuannya untuk kebahagiaan dunia dan akhirat, sepertinya tidak ada salahnya untuk
menerapkan sistem tersebut. Lagipula, syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
menjadi seorng khalifah pun mengikuti ketentuan dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Seperti yang telah kita ketahui, gelar khalifah pertama kali disandang oleh Abu
Bakar. Sesuang dengan pengertiannya, abu bakar digelari khilafah setelah
menggantikan Rasulullah yang telah mangkat. Pemberian gelar khalifah adalah
Ijma’ para sahabat dan telah dinyatakan dalam hadist nabi“Jika dibaiat dua orang
khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” . (HR Muslim).
BAB II
Hukum Khilafah

Umat Islam berpendapat bahwa mengangkat khalifah adalah suatu


kewajiban, yang jika tidak dilakukan maka semua orang akan berdosa. Hal ini juga
didukung oleh beberapa pemikir seperti Rasyid Ridha, dan al-Mawardi, ia
mengungkapkan bahwa “pelembagaan imamah adalah fardhu kifayah berdasarkan
Ijma’ ulama”. Artinya, menciptakan dan memelihara kemasalahatan adalah wajib,
sedangkan alat untuk terciptanya kemaslahatan tersebut adalah negara.maka,
hukum mendirikan negara juga wajib (fardhu kifayah) begitu juga penghubung
lainnya (khalifah).
Ar-Raziq mewajibkan pengangkatan mengkritisi tidak adanya dalil yang
khalifah dan mendirikan sistem khilafah. Mungkin benar, jika tidak ada dalil yang
kuat bahkan yang lemah sekalipun yang menyatakan wajibnya hal tersebut, tetapi
sekali lagi, jika untuk kemasalhahatan umat, mengapa harus ragu ? karena Ijma’
yang dilakukan pada jamannya pun bukan dilakukan oleh orang-orang biasa.
Seperti yang kita ketahui bahwa pengangkatan khalifah dilakukan dengan bai’at
dari Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi dimana golongan ini memiliki kualitas moral dan
intelektual.
Bab III
Tekanan-Tekanan dalam Sistem Khilafah

Pernyataan beliau selanjutnya adalah bahwa “khilafah dalam Islam tidak


berpusat kecuali pada asas kekuatan”. Ia mendukung pernyataannya dengan
mengutip perkataan Ibn Khaldun “tidak ada kerajaan kecuali dengan tekanan dan
hukum paksa” ia melanjutkan. Bahwa tidak ada maksud lain mendirikan khilafah
atas dasar tekanan dan paksaan kecuali untuk mengawasi orang-orang yang
memberontak posisi khilafah, membangkangnya, dan mengalungkan pedang
kepada siapa saja yang bermaksud jahat kepada singgasananya. Berdasarkan fakta
sejarah yang ada, memang benar bahwa setiap pergantian kepala negara atau
khalifah selalu ada peperangan didalamnya. Tetapi hal ini tidak dapat kita kaitkan
dengan sistem pemerintahnya. Sebagaimana yang dicontohkan oleh ar-raziq
padamasa ke khalifahan Abu Bakar, saat ia mengangkat pedang dan menyatakan
perang. Abu Bakar selaku pengganti Nabi dalam urusan kenegaraan, ia juga
mempunyai tugas melakukan penjagaan terhadap agama, ia menumpahkan
upayanya untuk kepentingan agama.
Mengingat pada waktu itu, negara yang wilayahnya mencakup sekitar
seluruh jazirah Semenanjung Arab yang ia pimpin terancam disintegrasi dan agresi
militer Romawi yang sejak masa Nabi telah terjadi beberapa kali, maka masa
pemerintahan Abu Bakar dihabiskannya untuk mengatasi permasalahan
kemurtadan (menumpas mereka yang mengaku sebagai nabi palsu) sekaligus
memberantas penolakan beberapa suku yang baru masuk Islam untuk membayar
keharusan zakat yang dikelola negara. Berdasarkan pernyataan diatas, dapat kita
simpulkan bahwa sikap Abu Bakar pada masa kekhalifahan semata-mata hanya
untuk kemaslahatan umat. Tidak ada unsur akan takutnya kehilangan tahta / jabatan
yang ia pegang.
Karena bahkan dari awal sendiri, pada saat Rasulullah SAW berpulang dan
para sahabat mencalonkan beliau untuk menggantikan kepemimpinan Rasulullah,
beliau menolak. Penulis tidak melihat bahwa hal-hal yang beliau lakukan untuk
memuaskan nafsu “menguasai”nya. Sementara untuk penolakan terhadap
kekhalifahan Abu Bakar, beliau sudah menyatakannya dalam bai’atnya “wahai
manusia, aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian, sedangkan aku bukanlah
yang terbaik diantara kalian. Maka bila aku berbuat baik, bantulah aku, dan bila
aku berbuat buruk,luruskanlah aku… orang yang lemah diantara kamu sekalian
akan kuanggap sebagai orang yang kuat, sampai aku memberikan kepada dia hak-
haknya. Sebaliknya, orang yang kuat diantara kalian semua adalah seorang yang
lemah, sehingga aku mengambil hak orang lain darinya.
Sejak awal beliau telah menekankan bahwa ia bukan yang terbaik, bahwa
jika ia berbuat buruk, ia meminta diluruskan agar kembali ke jalan yang baik. Ia
memberikan kebebasan pada umat untuk menegur jika ia berbuat salah dalam
sikapnya sebagai khalifah. Ini memberikan kesempatan kepada kaum muslim untuk
memberi saran dan mengingatkan apabila beliau alpa dalam tugasnya. Jadi
mengapa masih ada penolakan terhadap kekhalifahannya ?
Sedangkan untuk kasus khalifah-khalifah selanjutnya. Sekali lagi ada
baiknyadiperhatikan apa yang menjadi sebab atasnya menerapkan sistem
pemerintahan dengan tekanan dan paksaan. Hanya karena beberapa kahlifah selalu
“menggunakan pedang” di setiap urusan. Tidak serta merta menjadikan sistem
pemerintahan khilafah menjadi menakutkan. Karena khilafah sendiri tidak
memberikan metode atau teknik mengatur umat melalui kekuatan dan kekerasan.
Penggunaan “tekanan” ini dilakukan karena beberapa permasalahan yang mungkin
tidak bisa diselesaikan dengan jalan damai. Adapun pada kasus perebutan tahta
khalifah yang dilakukan Mu’awiyah pada masa kekhalifahan Ali Ibn Abi Thalib,
terlepas dari perang yang terjadi. Muhammad Dhiauddin rais dalam bukunya Teori
Politik Islam menerangkan bahwa sesungguhnya, naiknya Muawiyah menjadi
khalifah pada mulanya tidak berlangsung melalui forum pembaiatan yang bebas
atau melalui pemilihan dari semua umat. Yang membaiat Muawiyah untuk pertama
kali adalah penduduk Syam yang ketika itu berada di bawah kekuasaannya,
kemudian barulah Muawiyah dibaiat oleh umat secara keseluruhan setelah satu
tahun persatuan (aamul-jama’ah).
Dengan berbagai keadaan yang terjadi, ia tiba pada kesimpulan bahwa umat
Islam tidak memerlukan Khilafah untuk urusan dunia maupun agama. Ia
bependapat bahwa khilafah selalu menjadi pemicu malapetaka bagi Islam kaum
muslimin, sumber bencana dan kerusakan. Berkaca pada kondisi Mesir, ia bertanya
“apakah ada perbaikan kondisi keagaaman atau keduniaan Kaum Muslimin dalam
contoh -contoh tersebut yang dipimpin oleh raja mesir yang menamakan diri
sebagai khalifah. Lalu apakah yang terjadi dalam negara-negara Islam selain
mesir yang telah menanggalkan ikatan Khilafah,mengingkari sultannya, yang
hidup jauh dari naungan para khalifah, jauh dari ketundukan dengan
memberhalakan mereka ? apakah kaum muslim melihat syiar-syiar agama disana
dilupakan dan kondisi masyarakatnya ditelantarkan. Atau apakah kondisi dunia
mereka lebih gelap karena cahaya bintang khilafah hilang dari mereka, apakah
rahmat bumi dan langit lenyap dari mereka oleh karena mereka memisahkan diiri
dari para khalifah? sama sekali tidak !

Anda mungkin juga menyukai