Disusun Oleh
Ghina Roziena
NIM. 1602130065
Ayu Hayati
NIM. 1602130073
Rafa Muqaromah
NIM. 1602130087
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah menciptakan manusia sebagai khalifah di
muka bumi ini dan menjadikannya sebagai makhluk sosial dan menugaskannya untuk
menegakkan hukum yang adil, agar manusia dapat hidup dengan baik dan damai.
Berkat pertolongan Allah SWT., akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Akibat Hukum Perkawinan dan Putusnya Perkawinan. Tujuan dalam
pembuatan makalah ini antara lain untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata
kuliah Hukum Perdata.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuannya baik secara moral maupun material sehingga makalah ini dapat
diselesaikan. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
terutama pembacanya pada umumnya. Penulis juga menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk kesempurnaan makalah ini.
Apabila dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekeliruan dan kesalahan,
maka kami sebagai penulis mohon maaf. Segala sesuatu yang benar itu datangnya
dari Allah, dan yang salah berasal dari kami sendiri sebagai penulis. Akhir kata kami
ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER ......................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 2
D. Metode Penulisan ............................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 3
A. Hak dan Kewajiban Suami dan Istri dalam Perkawinan .................................... 3
B. Kedudukan dan Pembagian Harta dalam Perkawinan ....................................... 6
C. Kedudukan Anak Setelah Perkawinan ............................................................. 11
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 17
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan-hubungan perdata atau disebut juga the privat relationship
dikonsepkan sebagai ikatan-ikatan atau pertalian yang berkaitan kepentingan
antara suami dan istri. Ikatan diartikan sebagai penyatuan dari dua pasangan, yaitu
pria dan wanita. Tujuan adanya ikatan tersebut adalah membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal serta terpenuhinya dua macam kebutuhan yaitu, kebutuhan
jasmani dan rohani. Jika pada akhirnya kedua pasangan pria dan wanita itu tidak
dapat mencapai apa yang menjadi kesepakatan bersama dalam sebuah ikatan
tersebut dengan berbagai alasan atau hal-hal yang dapat menyebabkan putusnya
perkawinan.
Di dalam sebuah ikatan perkawinan terdapat tatanan etika yang harus selalu
dijunjung tinggi dan bimbingan yang harus senantiasa diikuti dengan ajaran dan
aturan. Ajaran dan aturan ini memberikan hak kepada suami dan istri yang
menjadikan kehidupan rumah tangga benar-benar harmonis dan bahagia, penuh
dengan kedamaian dan kerukunan yang baik. Namun disamping itu didalam
membangun rumah tangga seperti yang diharapkan malah menghadapi berbagai
problematika hidup.
Dengan berlatar belakang tersebutlah, penulis merasa tertarik untuk
mengambil judul Akibat Hukum Perkawinan dan Putusnya Perkawinan yang akan
dibahas dalam makalah ini yang disusun secara sistematis. Dengan harapan
makalah ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan dalam kehidupan
keluarga.
B. Rumusan Masalah
Memperlihatkan latar belakang di atas, agar pembahasan makalah ini terarah,
penulis perlu mengidentifikasi rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana hak dan kewajiban suami dan istri dalam perkawinan?
1
2
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah menjawab dari rumusan
masalah yang tertera di atas, lebih rincinya antara lain:
1. Untuk mengetahui dan memahami hak dan kewajiban suami dan istri dalam
perkawinan.
2. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan dan pembagian harta dalam
perkawinan.
3. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan anak setelah perkawinan.
D. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini adalah berdasarkan metode telaah perpustakaan
sebagai bahan referensi, metode pencarian melalui internet dan kemudian penulis
mengelola kembali menjadi satu kesatuan materi yang valid sehingga
menghasilkan komponen pembahasan yang lebih sederhana untuk dipelajari.
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1997, h. 136-137.
3
4
2
Burgerlijk Wetboek, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Permata Press, 2010, h.
25-26.
3
Raden Subekti dan Raden Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: PT
Pradnya Paramita, 2001, h. 25-26.
4
Simanjuk, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2015, h.43.
5
5
Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2014, h. 154-155.
6
6
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014, h. 19-20.
7
kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka, untuk memberi suatu
kedudukan (Pasal 124 ayat 3 KUH Perdata); dan
2. Tidak boleh menetapkan ketentuan dengan cara hibah mengenai suatu barang
yang khusus, bila dia memperuntukkan untuk dirinya hak pakai hasil dari
barang itu (Pasal 124 ayat 4 KUH Perdata) .
Walaupun suami diberikan hak istimewa oleh undang-undang untuk
mengurus harta bersama, namun undang-undang juga memberikan kekuasaan
kepada istri untuk mengurus harta bersama, dengan syarat:
1. Bila semua tidak ada; atau
2. Suami berada dalam keadaan tidak mungkin untuk menyatakan kehendaknya,
sedangkan hal itu dibutuhkan segera; dan
3. Harus mendapat kuasa dari Pengadilan Negeri.
Sementara itu, di dalam Pasal 126 KUH Perdata diatur tentang pembubaran
harta bersama. Pembubaran disebut juga dissolution atau liquidation (Inggris)
atau ontbinding (Belanda) merupakan berhentinya atau selesainya penyatuan atas
harta bersama antara suami dan istri. Secara yuridis telah ditentukan lima cara
bubarnya harta bersama. Harta bersama dapat dibubarkan disebabkan karena:
1. kematian;
2. perkawinan atas izin hakim setelah suami atau istri tidak ada;
3. perceraian;
4. pisah meja dan ranjang; atau
5. pemisahan harta.
Akibat-akibat khusus dari pembubaran dalam hal-hal tersebut pada nomor 2,
3, 4, dan 5 disajikan berikut ini:
1. Setelah salah seorang dari suami istri meninggal, maka bila ada ditinggalkan
anak yang masih di bawah umur, pihak yang hidup terlama wajib untuk
mengadakan pendaftaran harta benda yang merupakan harta bersama dalam
waktu empat bulan.
9
2. Setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara
suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari
pihak mana asal barang-barang itu.
3. Pakaian, perhiasan dan perkakas untuk mata pencaharian salah seorang dari
suami-istri itu, beserta buku-buku dan koleksi benda-benda kesenian dan
keilmuan, dan akhirnya surat atau tanda kenang-kenangan yang bersangkutan
dengan asal-usul keturunan salah seorang dari suami istri itu, boleh dituntut
oleh pihak asal benda itu, dengan membayar harga yang ditaksir secara
musyawarah atau oleh ahli-ahli.
4. Suami, setelah pembubaran harta bersama, boleh ditagih atas utang dari harta
bersama seluruhnya, tanpa mengurangi haknya untuk minta penggantian
setengah dari utang itu kepada istrinya atau kepada para ahli waris si istri.
5. Suami dan istri, setelah pemisahan dan pembagian seluruh harta bersama,
tidak boleh dituntut oleh para kreditur untuk membayar utang-utang yang
dibuat oleh pihak lain dari suami atau istri itu sebelum perkawinan, dan utang-
utang itu tetap menjadi tanggungan suami atau istri yang telah membuatnya
atau para ahli warisnya; hal ini tidak mengurangi hak pihak yang satu untuk
minta ganti rugi kepada pihak yang lain atau ahli warisnya.
6. Istri berhak melepaskan haknya atas harta bersama; segala perjanjian yang
bertentangan dengan ketentuan ini batal; sekali melepaskan haknya, dia tidak
boleh menuntut kembali apa pun dari harta bersama, kecuali kain seprei dan
pakaian pribadinya. Dengan pelepasan ini dia dibebaskan dari kewajiban
untuk ikut membayar utang-utang harta bersama. Tanpa mengurangi hak para
kreditur atas harta bersama, si istri tetap wajib untuk melunasi utang-utang
dari pihaknya telah jatuh ke dalam harta bersama; hal ini tidak mengurangi
haknya untuk minta penggantian seluruhnya kepada suaminya atau ahli
warisnya.
7. Istri yang hendak mempergunakan hak tersebut dalam pasal yang lampau,
wajib untuk menyampaikan akta pelepasan, dalam waktu satu bulan stelah
10
7
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2014, h. 158-161.
11
2. Jika si suami karena tak adanya ketertiban dan cara yang baik dalam
mengurus harta kekayaannya sendiri, sehingga jaminan akan terpeliharanya
harta si istri menjadi kurang.
3. Jika si suami tidak baik caranya dalam mengurus harta kekayaan si sitri,
sehingga kekayaan ini terancam bahaya.
Selanjutnya, menurut Pasal 186 ayat (2) KUH Perdata pemisahan harta
kekayaan atas pemufakatan sendiri adalah terlarang. Menurut Pasal 187 KUH
Perdata tuntutan akan pemisahan harta kekayaan harus diumumkan dengan
terang-terangan.
Akibat akibat pemisahan harta kekayaan menurut Pasal 189 KUH Perdata
kekuatan putusan pengadilan perihal pemisahan harta kekayaan berlaku surut
sampai hari tuntutan diajukan. Sebagai akibat dari pemisahan harta kekayaan itu,
timbul hal-hal sebagai berikut:
1. Istri wajib memberikan sumbangan guna membiayai rumah tangga dan
pendidikan anak-anaknya (Pasal 193 KUH Perdata).
2. Istri memperoleh kebebasan untuk mengurus sendiri harta kekayaannnya dan
bolehlah ia mempergunakan barang bergeraknya sesukanya atas izin umum
dari Pengadilan Negeri (Pasal 194 KUH Perdata).
Persatuan harta setelah dibubarkan karena pemisahan harta kekayaan bisa
dipulihkan kembali dengan persetujuan dari suami-istri. Persetujuan yang emikian
itu diadakan dengan cara memuatkannya dalam sebuah akta autentik (Pasal 196
KUH Perdata). Suami-istri wajib mengumumkan pemulihan kembali akan
persatuan harta kekayaan dengan terang-terangan (Pasal 198 KUH Perdata).8
8
P.N.H. Simanjutak, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015, h. 44-45.
12
9
Wibowo Tunardi, Kedudukan Anak, http://www.jurnalhukum.com/kedudukan-anak/, Diakses
pada tanggal 05 Maret 2017 pukul 22.22 WIB.
13
10
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, h. 42-44.
11
George Duganata, Hukum Waris Pembagian Pewarisan Anak di Luar Kawin http://
georgeduganata11.blogspot.co.id/2012/09/hukum-waris-pembagian-pewarisan-anak-di.html, diakses
pada tanggal 06 Maret 2017 pada pukul 22.35 WIB.
14
si suami menjadi ayah dari anak yang dilahirkannya tadi, kecuali apabila si
suami berdasar alasan-alasan yang dapat diterima oleh masyarakat Hukum
Adat, menolaknya.
Sedangkan menurut Hukum Islam, anak di luar kawin tidak dapat diakui
maupun dipisahkan oleh bapaknya (bapak alamnya). Anak-anak tersebut
hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Tetapi si anak tetap
mempunyai ibu, yaitu seorang perempuan yang melahirkan anak, dengan
pengertian bahwa antara anak dan ibu itu ada hubungan hukum sama seperti
halnya dengan anak sah yang mempunyai bapak.
Menurut Hukum Perdata, anak yang lahir di luar perkawinan menurut
istilah yang dipakai dalam Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), dinamakan
natuurlijk kind (anak alam). Anak di luar kawin itu dapat diakui oleh ayah
atau ibunya.
Pasal 272 KUH Perdata berbunyi: Kecuali anak-anak yang dibenihkan
dalam zina, atau dalam sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan dengan
kemudian kawinnnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, apabila kedua
orang tua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan-ketentuan
undang-undang, atau apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan
sendiri.12
Ditinjau menurut Hukum Perdata, ada tingkatan status hukum daripada
anak di luar perkawinan, antara lain:
a. Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua ibub-
bapaknya.
b. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua
orang tuanya.
c. Anak di luar perkawinan itu menjadi sah, sebagai akibat kedua orang
tuanya melangsungkan perkawinan yang sah.
12
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, h. 39-40.
15
13
Ibid., h. 41.
16
menurut pasal 863 ayat 2 KUH Perdata dihitung dengan melihat keluarga
yang terdekat hubungan penderajatannya dengan pewaris, dalam hal ini
adalah golongan ketiga sehingga anak luar nikah menerima bagian
(Pasal 863 ayat 1 bagian kedua KUH Perdata).
e. Anak luar nikah sebagai satu-satunya ahli waris. Apabila anak luar nikah
yang telah diakui oleh orang tuanya sebagai ahli waris tunggal, maka anak
luar nikah tersebut mendapat seluruh harta warisan (Pasal 865 KUH
Perdata).14
14
George Duganata, Hukum Waris Pembagian Pewarisan Anak di Luar Kawin
http://georgeduganata11.blogspot.co.id/2012/09/hukum-waris-pembagian -pewarisan-anak-di.html,
diakses pada tanggal 06 Maret 2017 pada pukul 22.35 WIB.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan:
1. Hak dan kewajiban dari seorang Istri dan Suami adalah sebagai berikut:
a. Suami/Istri mempunyai hak, kewajiban dan kedudukan hukum yang
seimbang dengan Suami/Istri nya.
b. Suami/Istri adalah cakap berbuat, artinya dia mempunyai kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum, namun didalam KUHP hanya Suami
saja yang cakap berbuat.
c. Suami mempunyai kedudukan hukum sebagai kepala rumah tangga
sedangkan Istri mempunyai kedudukan sebagai ibu rumah tangga.
d. Suami/Istri berwenang untuk menenutkan tempat tinggal kedudukan
bersama.
e. Suami/Istri berwenang untuk mengajukan gugatan cerai terhadap istrinya,
jika istrinya tersebut melalaikan kewajiban sebagai Suami/Istri.
f. Dan hanya suami yang berhak untuk menyangkal anak yang dilahirkan
oleh istrinya jika suaminya dapat membuktikan bahwa istrinya telah
berzina dengan laki-laki lain, dan anak tersebut merupakan dari perbuatan
perzinaan tersebut.
2. Harta bersama atau disebut juga dengan community property (Inggris) atau
gemeensschap van goederen (Belanda) merupakan harta yang diperoleh suami
istri dalam perkawinan. Harta bersama diatur di dalam Pasal 119 sampai
dengan Pasal 134 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Walaupun suami
saja diberi kewenangan untuk mengurus harta bersama, namun ada
pengecualiannya menurut Pasal 124 ayat (2) KUH Perdata. Sementara itu, di
dalam Pasal 126 KUH Perdata diatur tentang pembubaran harta bersama.
Pembubaran disebut juga dissolution atau liquidation (Inggris) atau
17
18
B. Internet
Duganata, George, Hukum Waris Pembagian Pewarisan Anak di Luar Kawin
http://georgeduganata11.blogspot.co.id/2012/09/hukum-waris-pembagian
-pewarisan-anak-di.html, diakses pada tanggal 06 Maret 2017.
19