Anda di halaman 1dari 22

Makalah Kelompok II

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DAN


PUTUSNYA PERKAWINAN
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah : Hukum Perdata
Dosen : Abdul Khoir, M.H.

Disusun Oleh

Ghina Roziena
NIM. 1602130065
Ayu Hayati
NIM. 1602130073
Rafa Muqaromah
NIM. 1602130087

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS SYARIAH JURUSAN SYARIAH
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2017 M / 1438 H
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah menciptakan manusia sebagai khalifah di
muka bumi ini dan menjadikannya sebagai makhluk sosial dan menugaskannya untuk
menegakkan hukum yang adil, agar manusia dapat hidup dengan baik dan damai.
Berkat pertolongan Allah SWT., akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Akibat Hukum Perkawinan dan Putusnya Perkawinan. Tujuan dalam
pembuatan makalah ini antara lain untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata
kuliah Hukum Perdata.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuannya baik secara moral maupun material sehingga makalah ini dapat
diselesaikan. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
terutama pembacanya pada umumnya. Penulis juga menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk kesempurnaan makalah ini.
Apabila dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekeliruan dan kesalahan,
maka kami sebagai penulis mohon maaf. Segala sesuatu yang benar itu datangnya
dari Allah, dan yang salah berasal dari kami sendiri sebagai penulis. Akhir kata kami
ucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Palangka Raya, Maret 2017

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ......................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 2
D. Metode Penulisan ............................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 3
A. Hak dan Kewajiban Suami dan Istri dalam Perkawinan .................................... 3
B. Kedudukan dan Pembagian Harta dalam Perkawinan ....................................... 6
C. Kedudukan Anak Setelah Perkawinan ............................................................. 11
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 17
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hubungan-hubungan perdata atau disebut juga the privat relationship
dikonsepkan sebagai ikatan-ikatan atau pertalian yang berkaitan kepentingan
antara suami dan istri. Ikatan diartikan sebagai penyatuan dari dua pasangan, yaitu
pria dan wanita. Tujuan adanya ikatan tersebut adalah membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal serta terpenuhinya dua macam kebutuhan yaitu, kebutuhan
jasmani dan rohani. Jika pada akhirnya kedua pasangan pria dan wanita itu tidak
dapat mencapai apa yang menjadi kesepakatan bersama dalam sebuah ikatan
tersebut dengan berbagai alasan atau hal-hal yang dapat menyebabkan putusnya
perkawinan.
Di dalam sebuah ikatan perkawinan terdapat tatanan etika yang harus selalu
dijunjung tinggi dan bimbingan yang harus senantiasa diikuti dengan ajaran dan
aturan. Ajaran dan aturan ini memberikan hak kepada suami dan istri yang
menjadikan kehidupan rumah tangga benar-benar harmonis dan bahagia, penuh
dengan kedamaian dan kerukunan yang baik. Namun disamping itu didalam
membangun rumah tangga seperti yang diharapkan malah menghadapi berbagai
problematika hidup.
Dengan berlatar belakang tersebutlah, penulis merasa tertarik untuk
mengambil judul Akibat Hukum Perkawinan dan Putusnya Perkawinan yang akan
dibahas dalam makalah ini yang disusun secara sistematis. Dengan harapan
makalah ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan dalam kehidupan
keluarga.
B. Rumusan Masalah
Memperlihatkan latar belakang di atas, agar pembahasan makalah ini terarah,
penulis perlu mengidentifikasi rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana hak dan kewajiban suami dan istri dalam perkawinan?

1
2

2. Bagaimana kedudukan dan pembagian harta dalam perkawinan?


3. Bagaimana kedudukan anak setelah perkawinan?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah menjawab dari rumusan
masalah yang tertera di atas, lebih rincinya antara lain:
1. Untuk mengetahui dan memahami hak dan kewajiban suami dan istri dalam
perkawinan.
2. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan dan pembagian harta dalam
perkawinan.
3. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan anak setelah perkawinan.

D. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini adalah berdasarkan metode telaah perpustakaan
sebagai bahan referensi, metode pencarian melalui internet dan kemudian penulis
mengelola kembali menjadi satu kesatuan materi yang valid sehingga
menghasilkan komponen pembahasan yang lebih sederhana untuk dipelajari.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hak dan Kewajiban Suami dan Istri dalam Perkawinan


Berhubung dengan surat edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 tanggal 5
September 1963 No. 1115/P/3292/M/1963 yang menganggap tidak berlakunya
lagi pasal-pasal 108 dan 110 BW, maka seorang istri di dalam suatu perkawinan,
sekarang ini, mempunyai wewenang dengan melakukan perbuatan hukum dan
menghadap di muka pengadilan. Hal demikian itu dahulu menurut ketentuan
pasal 108 dan 110 BW tadi tiada diperkenankan kalau tanpa izin atau bantuan dari
suami.
Di antara pasal-pasal yang mengatur hak kewajiban suami istri itu, ada yang
sebenarnya masuk di dalam bidang susila atau sosial saja yaitu:
1. Pasal 103: Suami dan istri harus setia-mensetiai, tolong-menolong dan bantu-
membantu.1
2. Pasal 104: Suami dan istri, dengan mengikat diri dalam suatu perkawinan,
dan hanya karena itupun, terikat mereka dalam suatu perjanjian bertimbal
balik, akan memelihara dan mendidik sekalian anak mereka.
3. Pasal 105: Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami istri.
4. Pasal 106: Setiap istri harus tunduk kepada suaminya.
5. Pasal 107: Setiap suami wajib menerima diri istrinya dalam rumah yang ia
diami.
6. Pasal 108: Seorang istri, biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan, atau
telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan
barang sesuatu atau memindahtangankannya, atau memperolehnya, baik
dengan cuma-cuma maupun atas beban, melainkan bantuan dalam akta, atau
dengan izin tertulis dari suaminya. Seorang istri, biar ia telah dikuasakan oleh

1
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1997, h. 136-137.

3
4

suaminya, untuk membuat sesuatu akta atau untuk mengangkat sesuatu


perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia berhak, menerima sesuatu
pembayaran, atau memberi perlunasan atas itu, tanpa izin yang tegas dari
suaminya.2
7. Pasal 109: Terhadap segala perbuatan atau perjanjian yang dilakukan atau
diangkat setiap istri guna keperluan segala sesuatu berkenaan dengan
perbelanjaan rumah tangga yang biasa dan sehari-hari, seperti pun terhadap
segala perjanjian kerja yang diangkatnya sebagai pihak majikan dan untuk
keperluan rumah tangga pula, terhadap kesemuanya itu undang-undang
menganggap, bahwa sudahlah si istri memperoleh izin yang dimaksudkan
atas suaminya.
8. Pasal 110: Seorang istri, tak bolehlah ia menghadap di muka Hakim tanpa
bantuan suaminya.3
9. Pasal 111: Bantuan si suami kepada istrinya taklah perlu:
a. 1e: Apabila si istri dituntut di muka Hakim karena sesuatu perkara
pidana.
b. 2e: Dalam sesuatu tuntutan akan percerain perkawinan, akan pemisahan
meja dan ranjang atau pemisahan harta kekayaan.4
10. Pasal 112: Bila suami menolak memberi kuasa kepada istrinya untuk
membuat akta, atau menolak untuk tampail di pengadilan, maka istri boleh
memohon kepada Pengadilan Negeri di tempat tinggal mereka bersama
supaya dikuasakan untuk itu
11. Pasal 113: Seorang istri yang atas usaha sendiri melakukan suatu pekerjaan
dengan izin suaminya, secara tegas atau secara diam-diam, boleh
mengadakan perjanjian apa pun yang berkenaan dengan usaha itu tanpa

2
Burgerlijk Wetboek, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Permata Press, 2010, h.
25-26.
3
Raden Subekti dan Raden Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: PT
Pradnya Paramita, 2001, h. 25-26.
4
Simanjuk, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2015, h.43.
5

bantuan suaminya. Bila ia kawin dengan suaminya dengan penggabungan


harta, maka si suami juga terikat pada perjanjian itu. Bila si suami menarik
izin kembali izinnya, dia wajib mengumumkan penarikan kembali itu.
12. Pasal 114: Bila si suami tidak hadir karena alasan lain, terhalang untuk
membantu istrinya atau memberinya kuasa, maka Pengadilan Negeri di
tempat tinggal suami istri itu boleh memberi wewenang kepada si istri.
13. Pasal 115: Pemberian kuasa umum, pun jika dicantumkan pada perjanjian
perkawinan, berlaku tidak lebih daripada yang berkenaan dengan pengurusan
harta kekayaan si istri itu sendiri.
14. Pasal 116: Batalnya suatu perbuatan berdasarkan tidak adanya kuasa, hanya
dapat dituntut oleh si istri, suaminya atau oleh para ahli waris mereka.
15. Pasal 117: Bila seorang istri, setelah pembubaran perkawinan melaksanakan
perjanjian atau akta , seluruhnya atau sebagian, yang telah diadakan tanpa
kuasa yang diisyaratkan, maka ia tidak berwenang untuk meminta
pembatalan perjanjian atau akata itu.
16. Pasal 118: Istri dapat membuat wasiat tanpa izin suami. 5
Diantara hak, kewajiban dan kedudukan dari suami yang diatur oleh hukum
adalah sebagai berikut:
1. Suami mempunyai hak, kewajiban dan kedudukan hukum yang seimbang
dengan istrinya.
2. Suami adalah cakap berbuat, artinya dia mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum.
3. Suami mempunyai kedudukan hukum sebagai kepala rumah tangga. Karena
itu dia berkwajiban untuk melindungi istri dan anak-anaknya dan
memberikan nafkah.
4. Suami (bersama dengan istri) berwenang untuk menentukan tempat
kedudukan bersama.

5
Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2014, h. 154-155.
6

5. Suami berwenang untuk mengajukan gugatan cerai terhadap istrinya, jika


istrinya tersebut melalaikan kewajiban sebagai istri.
6. Suami berhak untuk menyangkal anak yang dilahirkan oleh istrinya jika
suaminya dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki
lain, dan anak tersebut merupakan dari perbuatan perzinaan tersebut.
Sedangkan diantara hak, kewajiban dan kedudukan dari istri yang diatur oleh
hukum adalah sebagai berikut:
1. Istri mempunyai hak, kewajiban dan kedudukan hukum yang seimbang
dengan suami.
2. Istri juga cakap berbuat, artinya dia mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum. Dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa dalam
sistem KUH Perdata (yang berasal dari Belanda), hanya suami yang cakap
berbuat, sedangkan istri dalam hukum dianggap tidak cakap berbuat.
3. Istri mempunyai kedudukan sebagai ibu rumah tangga, sehingga ia
berkewajiban untuk mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
4. Istri (bersama dengan suami) berwenang untuk melnenutkan tempat tinggal
kedudukan bersama.
5. Istri berwenang untuk mengajukan gugatan cerai terhadap istrinya, jika
suaminya tersebut melalaikan kewajiban sebagai suami.6

B. Kedudukan dan Pembagian Harta dalam Perkawinan


Harta bersama atau disebut juga dengan community property (Inggris) atau
gemeensschap van goederen (Belanda) merupakan harta yang diperoleh suami
istri dalam perkawinan. Harta bersama diatur di dalam Pasal 119 sampai dengan
Pasal 134 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Hal-hal yang diatur di dalam
ketentuan itu, disajikan berikut ini:

6
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014, h. 19-20.
7

1. Momentum terjadinya harta bersama, yaitu sejak saat dilangsungkan


perkawinan. Harta bersama ini secara keseluruhan mencakup harta suami istri,
kecuali ada perjanjian kawin.
2. Harta bersama itu, selama perkawinan masih berjalan tidak boleh ditiadakan
atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami-istri.
3. Bentuk harta bersama, yang meliputi :
a. barang-barang bergerak dan barang-barang tak bergerak suami-istri itu;
b. barang yang sudah ada maupun yang akan ada; dan
c. barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma.
4. Pembebanan harta bersama. Harta bersama dapat dibebani yang meliputi
semua utang yang dibuat oleh masing-masing suami istri, baik sebelum
perkawinan maupun selama perkawinan.
5. Semua penghasilan dan pendapatan, begitu pula semua keuntungan dan
kerugian yang diperoleh selama perkawinan, juga menjadi keuntungan dan
kerugian harta-bersama itu.
6. Semua utang kematian, yang terjadi setelah seseorang meninggal dunia, hanya
menjadi beban para ahli waris dari yang meninggal itu.
Sementara itu, yang berwenang mengurus harta bersama yaitu suami saja
tanpa campur tangan si istri, yaitu sebagai berikut:
1. Menjualnya;
2. Memindahtangankannya;
3. Membebaninya tanpa bantuan istrinya, kecuali dalam hal yang diatur dalam
Pasal 140 Ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Walaupun suami saja diberi kewenangan untuk mengurus harta bersama,
namun ada pengecualiannya menurut Pasal 124 ayat (2) KUH Perdata.
Pengecualian itu, yaitu suami:
1. Tidak boleh memberikan harta bersama sebagai hibah antara mereka yang
sama-sama hidup, baik barang-barang tak bergerak maupun keseluruhannya
atau suatu bagian atau jumlah tertentu dari barang-barang bergerak, bila bukan
8

kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka, untuk memberi suatu
kedudukan (Pasal 124 ayat 3 KUH Perdata); dan
2. Tidak boleh menetapkan ketentuan dengan cara hibah mengenai suatu barang
yang khusus, bila dia memperuntukkan untuk dirinya hak pakai hasil dari
barang itu (Pasal 124 ayat 4 KUH Perdata) .
Walaupun suami diberikan hak istimewa oleh undang-undang untuk
mengurus harta bersama, namun undang-undang juga memberikan kekuasaan
kepada istri untuk mengurus harta bersama, dengan syarat:
1. Bila semua tidak ada; atau
2. Suami berada dalam keadaan tidak mungkin untuk menyatakan kehendaknya,
sedangkan hal itu dibutuhkan segera; dan
3. Harus mendapat kuasa dari Pengadilan Negeri.
Sementara itu, di dalam Pasal 126 KUH Perdata diatur tentang pembubaran
harta bersama. Pembubaran disebut juga dissolution atau liquidation (Inggris)
atau ontbinding (Belanda) merupakan berhentinya atau selesainya penyatuan atas
harta bersama antara suami dan istri. Secara yuridis telah ditentukan lima cara
bubarnya harta bersama. Harta bersama dapat dibubarkan disebabkan karena:
1. kematian;
2. perkawinan atas izin hakim setelah suami atau istri tidak ada;
3. perceraian;
4. pisah meja dan ranjang; atau
5. pemisahan harta.
Akibat-akibat khusus dari pembubaran dalam hal-hal tersebut pada nomor 2,
3, 4, dan 5 disajikan berikut ini:
1. Setelah salah seorang dari suami istri meninggal, maka bila ada ditinggalkan
anak yang masih di bawah umur, pihak yang hidup terlama wajib untuk
mengadakan pendaftaran harta benda yang merupakan harta bersama dalam
waktu empat bulan.
9

2. Setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara
suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari
pihak mana asal barang-barang itu.
3. Pakaian, perhiasan dan perkakas untuk mata pencaharian salah seorang dari
suami-istri itu, beserta buku-buku dan koleksi benda-benda kesenian dan
keilmuan, dan akhirnya surat atau tanda kenang-kenangan yang bersangkutan
dengan asal-usul keturunan salah seorang dari suami istri itu, boleh dituntut
oleh pihak asal benda itu, dengan membayar harga yang ditaksir secara
musyawarah atau oleh ahli-ahli.
4. Suami, setelah pembubaran harta bersama, boleh ditagih atas utang dari harta
bersama seluruhnya, tanpa mengurangi haknya untuk minta penggantian
setengah dari utang itu kepada istrinya atau kepada para ahli waris si istri.
5. Suami dan istri, setelah pemisahan dan pembagian seluruh harta bersama,
tidak boleh dituntut oleh para kreditur untuk membayar utang-utang yang
dibuat oleh pihak lain dari suami atau istri itu sebelum perkawinan, dan utang-
utang itu tetap menjadi tanggungan suami atau istri yang telah membuatnya
atau para ahli warisnya; hal ini tidak mengurangi hak pihak yang satu untuk
minta ganti rugi kepada pihak yang lain atau ahli warisnya.
6. Istri berhak melepaskan haknya atas harta bersama; segala perjanjian yang
bertentangan dengan ketentuan ini batal; sekali melepaskan haknya, dia tidak
boleh menuntut kembali apa pun dari harta bersama, kecuali kain seprei dan
pakaian pribadinya. Dengan pelepasan ini dia dibebaskan dari kewajiban
untuk ikut membayar utang-utang harta bersama. Tanpa mengurangi hak para
kreditur atas harta bersama, si istri tetap wajib untuk melunasi utang-utang
dari pihaknya telah jatuh ke dalam harta bersama; hal ini tidak mengurangi
haknya untuk minta penggantian seluruhnya kepada suaminya atau ahli
warisnya.
7. Istri yang hendak mempergunakan hak tersebut dalam pasal yang lampau,
wajib untuk menyampaikan akta pelepasan, dalam waktu satu bulan stelah
10

pembubaran harta bersama itu, kepada panitera pengadilan negeri di tempat


tinggal bersama yang terakhir, dengan ancaman akan kehilangan hak itu (bila
lalai). Bila gabungan itu bubar akibat kematian suaminya, maka tenggang
waktu satu bulan berlaku sejak si istri mengetahui kematian itu.
Bila dalam jangka waktu tersebut di atas istri meninggal dunia, sebelum
menyampaikan akta pelepasan, para ahli warisnya berhak melepaskan hak mereka
atas harta bersama itu dalam waktu satu bulan setelah kematian itu, atau setelah
mereka mengetahui kematian itu dan dengan cara seperti yang diuraikan dalam
pasal terakhir. Hak istri untuk menuntut kembali kain seprei dan pakaiannya dari
harta bersama itu, tidak dapat diperjuangkan oleh para ahli warisnya.
Harta bersama diatur juga dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam ketentuan itu
dibedakan dua macam, yaitu:
1. harta bersama; dan
2. harta bawaan.
Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Sedangkan
yang diartikan dengan harta bawaan masing-masing sebagai hadiah atau warisan.
Harta bawaan itu berada di bawah penguasaan masing-masing pihak, sepanjang
para pihak tidak menentukan lain. Apabila perkawinan antara suami istri putus
karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Harta
bersama itu dibagi sama rata antara suami istri.7
Alasan-alasan pemisahan harta kekayaan menurut Pasal 186 ayat (1) KUH
Perdata sepanjang perkawinan, setiap istri berhak memajukan tuntutan kepada
hakim akan pemisahan harta kekayaan, yaitu hanya dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Jika si suami karena kelakuannya yang nyata-nyata tak baik, telah
memboroskan harta kekayaan persatuan, dan membahayakan keselamatan
keluarga.

7
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2014, h. 158-161.
11

2. Jika si suami karena tak adanya ketertiban dan cara yang baik dalam
mengurus harta kekayaannya sendiri, sehingga jaminan akan terpeliharanya
harta si istri menjadi kurang.
3. Jika si suami tidak baik caranya dalam mengurus harta kekayaan si sitri,
sehingga kekayaan ini terancam bahaya.
Selanjutnya, menurut Pasal 186 ayat (2) KUH Perdata pemisahan harta
kekayaan atas pemufakatan sendiri adalah terlarang. Menurut Pasal 187 KUH
Perdata tuntutan akan pemisahan harta kekayaan harus diumumkan dengan
terang-terangan.
Akibat akibat pemisahan harta kekayaan menurut Pasal 189 KUH Perdata
kekuatan putusan pengadilan perihal pemisahan harta kekayaan berlaku surut
sampai hari tuntutan diajukan. Sebagai akibat dari pemisahan harta kekayaan itu,
timbul hal-hal sebagai berikut:
1. Istri wajib memberikan sumbangan guna membiayai rumah tangga dan
pendidikan anak-anaknya (Pasal 193 KUH Perdata).
2. Istri memperoleh kebebasan untuk mengurus sendiri harta kekayaannnya dan
bolehlah ia mempergunakan barang bergeraknya sesukanya atas izin umum
dari Pengadilan Negeri (Pasal 194 KUH Perdata).
Persatuan harta setelah dibubarkan karena pemisahan harta kekayaan bisa
dipulihkan kembali dengan persetujuan dari suami-istri. Persetujuan yang emikian
itu diadakan dengan cara memuatkannya dalam sebuah akta autentik (Pasal 196
KUH Perdata). Suami-istri wajib mengumumkan pemulihan kembali akan
persatuan harta kekayaan dengan terang-terangan (Pasal 198 KUH Perdata).8

C. Kedudukan Anak Setelah Perkawinan


Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak memberikan
pengaturan yang mendetail mengenai kedudukan Anak. Pengaturan mengenai
kedudukan anak dalam Undang-Undang Perkawinan hanya terdiri dari 3 Pasal,

8
P.N.H. Simanjutak, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015, h. 44-45.
12

yaitu Pasal 42-44. UU Perkawinan membagi kedudukan anak dalam dua


kelompok, yaitu:
1. Anak yang sah; adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari
perkawinan yang sah.
2. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan; adalah anak yang dilahirkan diluar
perkawinan yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya.9
Adapun penjelasan lebih rincinya yaitu:
1. Anak sah
Dilihat dari segi Hukum Islam, anak yang sah dilahirkan sekurang-
kurangnya enam bulan (177 Hari) semenjak pernikahan orang tuanya, tidak
peduli apakah orang itu lahir sewaktu orang tuanya masih terikat dalam
perkawinan ataukah sudah berpisah karena wafatnya si suami, atau karena
perceraian di masa hidupnya dalam hal mana iddah bagi si istri adalah selama
masih mengandung anaknya ditambah 40 hari sesudah lahirnya, jika anak itu
hanya sah bagi ibunya dan si suami dapat memungkiri bahwa ia adalah
anaknya yang sah.
Pasal 251 KUH Perdata (BW) berbunyi sebagai berikut.
Sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari yang keseratus delapan puluh
dari perkawinan dapat diingkari oleh si suami. Namun pengingkaran ini tidak
boleh dilakukan dalam hal sebagai berikut:
a. 1e: Jika si suami sebelum perkawinan telah mengetahui akan kehamilan si
istri.
b. 2e: Jika ia telah hadir tatkala akta kelahiran dibuat dan akta itu pun telah
ditandatanganinya atau memuat pernyataan darinya, bahwa ia tak dapat
menandatanganinya.
c. 3e : jika si anak tak hidup tatkala dilahirkannya.

9
Wibowo Tunardi, Kedudukan Anak, http://www.jurnalhukum.com/kedudukan-anak/, Diakses
pada tanggal 05 Maret 2017 pukul 22.22 WIB.
13

Pasal 253 KUH Perdata menegaskan bahwa suami tidak dapat


mengingkari keabsahan anak atas dasar perbuatan zina, kecuali jika lahirnya
anak itu dirahasiakan terhadapnya dalam hal mana ia harus diperkenankan
membuktikan dengan sempurna, bahwa ia bukan bapak anak itu. Adapun
Seorang anak yang lahir setelah lampau 300 hari setelah bubarnya perkawinan
ibu bapaknya, ia adalah anak luar kawin (ex Pasal 255 KUH Perdata).
Dilihat dari segi Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada
ayat (1) Pasal 44 ditegaskan: seorang suami dapat menyangkal sahnya anak
yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya
telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.
Dan untuk membuktikan apakah anak tersebut hasil dari perbuatan zina,
maka si suami dapat meminta pengadilan untuk memberikan keputusan,
seperti tersebut pada ayat (2) Pasal 44 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
yang berbunyi: Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak
atas permintaan pihak yang berkepentingan. Selanjutnya pengadilan negeri
mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah untuk tentang sahnya
anak yang dilahirkan oleh istrinya. 10
2. Anak di Luar Perkawinan
Anak luar kawin dalam arti luas adalah: anak yang lahir di luar
perkawinan karena perzinahan dan anak sumbang. Anak zina adalah anak
yang dilahirkan seorang perempuan atau dibenihkan seorang pria sedangkan
perempuan atau pria itu ada dalam perkawinan dengan orang lain. Anak
sumbang adalah anak yang lahir dari seorang ibu yang dilarang kawin
menurut undang-undang dengan lelaki yang membenihkannya.11
Menurut Hukum Adat, apabila seorang istri melahirkan anak sebagai
akibat hubungan gelap dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya, maka

10
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, h. 42-44.
11
George Duganata, Hukum Waris Pembagian Pewarisan Anak di Luar Kawin http://
georgeduganata11.blogspot.co.id/2012/09/hukum-waris-pembagian-pewarisan-anak-di.html, diakses
pada tanggal 06 Maret 2017 pada pukul 22.35 WIB.
14

si suami menjadi ayah dari anak yang dilahirkannya tadi, kecuali apabila si
suami berdasar alasan-alasan yang dapat diterima oleh masyarakat Hukum
Adat, menolaknya.
Sedangkan menurut Hukum Islam, anak di luar kawin tidak dapat diakui
maupun dipisahkan oleh bapaknya (bapak alamnya). Anak-anak tersebut
hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Tetapi si anak tetap
mempunyai ibu, yaitu seorang perempuan yang melahirkan anak, dengan
pengertian bahwa antara anak dan ibu itu ada hubungan hukum sama seperti
halnya dengan anak sah yang mempunyai bapak.
Menurut Hukum Perdata, anak yang lahir di luar perkawinan menurut
istilah yang dipakai dalam Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), dinamakan
natuurlijk kind (anak alam). Anak di luar kawin itu dapat diakui oleh ayah
atau ibunya.
Pasal 272 KUH Perdata berbunyi: Kecuali anak-anak yang dibenihkan
dalam zina, atau dalam sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan dengan
kemudian kawinnnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, apabila kedua
orang tua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan-ketentuan
undang-undang, atau apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan
sendiri.12
Ditinjau menurut Hukum Perdata, ada tingkatan status hukum daripada
anak di luar perkawinan, antara lain:
a. Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua ibub-
bapaknya.
b. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua
orang tuanya.
c. Anak di luar perkawinan itu menjadi sah, sebagai akibat kedua orang
tuanya melangsungkan perkawinan yang sah.

12
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, h. 39-40.
15

Menurut Pasal 43 ayat (1) berbunyi: Anak yang dilahirkan di luar


perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau
keluarga ibunya. Ini berarti anak tersebut mempunyai suatu pertalian
kekeluargaan dengan akibat-akibatnya, terutama hak mewaris. Sebagai
penjelasnya menurut Pasal 43 ayat (2) berbunyi : Kedudukan anak tersebut
ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah.13
Kedudukan anak luar kawin dalam kewarisan KUH Perdata dalam hal
mewaris yang diatur menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hak
bagian anak luar nikah tergantung dengan siapa anak luar nikah tersebut
mewaris. Hanya anak luar nikah yang telah diakui dan disahkan oleh orang
tuanya yang mendapat harta warisan.
Besarnya hak bagian anak luar kawin tersebut adalah sebagai berikut:
a. Anak luar nikah mewaris bersama-sama golongan pertama meliputi anak-
anak atau sekalian keturunannya (Pasal 852 KUH Perdata) dan suami atau
istri hidup lebih lama (Pasal 852 A KUH Perdata), maka bagian anak luar
nikah tersebut ialah 1/3 dari harta yang ditinggalkan.
b. Anak luar nikah mewaris bersama-sama ahli waris golongan kedua dan
golongan ketiga. Pasal 863 KUH Perdata menyatakan: Jika pewaris tidak
meninggalkan keturunan ataupun suami dan istri, tetapi meninggalkan
keluarga sedarah atau pun saudara (laki-laki maupun perempuan) atau
keturunan saudara, hak anak luar nikah menerima dari warisan.
c. Anak luar nikah mewaris dengan ahli waris golongan keempat meliputi
sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh, maka besarnya hak bagian
anak luar nikah adalah berdasarkan pasal 863 ayat 1 bagian ketiga KUH
Perdata.
d. Anak luar nikah mewaris dengan ahli waris keluarga yang bertalian darah
dalam lain penderajatan, maka besarnya hak bagian anak luar nikah

13
Ibid., h. 41.
16

menurut pasal 863 ayat 2 KUH Perdata dihitung dengan melihat keluarga
yang terdekat hubungan penderajatannya dengan pewaris, dalam hal ini
adalah golongan ketiga sehingga anak luar nikah menerima bagian
(Pasal 863 ayat 1 bagian kedua KUH Perdata).
e. Anak luar nikah sebagai satu-satunya ahli waris. Apabila anak luar nikah
yang telah diakui oleh orang tuanya sebagai ahli waris tunggal, maka anak
luar nikah tersebut mendapat seluruh harta warisan (Pasal 865 KUH
Perdata).14

14
George Duganata, Hukum Waris Pembagian Pewarisan Anak di Luar Kawin
http://georgeduganata11.blogspot.co.id/2012/09/hukum-waris-pembagian -pewarisan-anak-di.html,
diakses pada tanggal 06 Maret 2017 pada pukul 22.35 WIB.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan:
1. Hak dan kewajiban dari seorang Istri dan Suami adalah sebagai berikut:
a. Suami/Istri mempunyai hak, kewajiban dan kedudukan hukum yang
seimbang dengan Suami/Istri nya.
b. Suami/Istri adalah cakap berbuat, artinya dia mempunyai kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum, namun didalam KUHP hanya Suami
saja yang cakap berbuat.
c. Suami mempunyai kedudukan hukum sebagai kepala rumah tangga
sedangkan Istri mempunyai kedudukan sebagai ibu rumah tangga.
d. Suami/Istri berwenang untuk menenutkan tempat tinggal kedudukan
bersama.
e. Suami/Istri berwenang untuk mengajukan gugatan cerai terhadap istrinya,
jika istrinya tersebut melalaikan kewajiban sebagai Suami/Istri.
f. Dan hanya suami yang berhak untuk menyangkal anak yang dilahirkan
oleh istrinya jika suaminya dapat membuktikan bahwa istrinya telah
berzina dengan laki-laki lain, dan anak tersebut merupakan dari perbuatan
perzinaan tersebut.
2. Harta bersama atau disebut juga dengan community property (Inggris) atau
gemeensschap van goederen (Belanda) merupakan harta yang diperoleh suami
istri dalam perkawinan. Harta bersama diatur di dalam Pasal 119 sampai
dengan Pasal 134 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Walaupun suami
saja diberi kewenangan untuk mengurus harta bersama, namun ada
pengecualiannya menurut Pasal 124 ayat (2) KUH Perdata. Sementara itu, di
dalam Pasal 126 KUH Perdata diatur tentang pembubaran harta bersama.
Pembubaran disebut juga dissolution atau liquidation (Inggris) atau

17
18

ontbinding (Belanda) merupakan berhentinya atau selesainya penyatuan atas


harta bersama antara suami dan istri.
3. Pengaturan mengenai kedudukan anak dalam Undang-Undang Perkawinan
hanya terdiri dari 3 Pasal, yaitu Pasal 42-44. UU Perkawinan membagi
kedudukan anak dalam dua kelompok, yaitu:
a. Anak yang sah; adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari
perkawinan yang sah.
b. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan; adalah anak yang dilahirkan
diluar perkawinan yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
Pembagian harta warisan anak di luar kawin dalam BW
a. Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan I, bagiannya: 1/3
dari bagiannya seandainya ia anak sah.
b. Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan II dan III, bagiannya:
1/2 dari seluruh warisan.
c. Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan IV, bagiannya:
dari seluruh warisan.
d. Anak luar kawin sebagai satu-satunya ahli waris, maka anak luar nikah
tersebut mendapat seluruh harta warisan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, Jakarta:
PT Rineka Cipta, 1997.

Burgerlijk Wetboek, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Permata


Press, 2010.

Fuady, Munir, Konsep Hukum Perdata, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014.


Manan, Abdul dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2002.
Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2014.
Simanjutak, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2015.

Simanjutak, P.N.H., Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Prenadamedia Group,


2015.
Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Subekti, Raden dan Raden Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2001.

B. Internet
Duganata, George, Hukum Waris Pembagian Pewarisan Anak di Luar Kawin
http://georgeduganata11.blogspot.co.id/2012/09/hukum-waris-pembagian
-pewarisan-anak-di.html, diakses pada tanggal 06 Maret 2017.

Tunardi, Wibowo, Kedudukan Anak, http://www.jurnalhukum.com/kedudukan-


anak/, diakses pada tanggal 05 Maret 2017.

19

Anda mungkin juga menyukai