Anda di halaman 1dari 42

EJARAH SINGKAT WILLEM ISKANDER

August 17, 2010 by Ashar Tanjung

Ibu dari pahlawan Mandailing bernama Willem Iskandar ialah Anggur boru Lubis. Ayahnya
bernama Raja Tinating, Raja Pidoli Lombang. Nama asli dari Willem Iskander adalah Sati
Nasution dengan gelar Sutan Iskandar. Dia masuk ke agama Kristen di kota Arnhem pada
tahun1858. Belajar di Oefenschool di kota Amsterdam negeri Belanda. Sibulus bulus Sirumbuk
rumbuk adalah salah satu karya sastra anak terbaik Mandailing Natal pada zamannya. Setelah
tamat dari Amsterdam dia berangkat dengan tujuan Batavia atau Jakarta yang sekarang. Willem
Iskander atau Sutan Iskandar berangkat dengan menumpang kapal laut bernama Petronella
Catrina pada1861. Dia menemui Gubernur Jendral Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron Sloet van
Beele. Kemudian ia menuju kota Padang. William Iskander menghadap pada Van den Bosche
disana. Lalu meneruskan perjalanan ke Natal. Tiba di Mandailing kembali pada tahun 1962. Tak
lama sesudahnya tepatnya di desa Tano Bato yang berada pada 526 M di atas permukaan laut, di
mulai mendirikan sekolah untuk anak bangsa sebanyak 4 kelas. Lokalnya terbuat dari bambu dan
rumbia .
Pada tahun 1873, ia kembali meninggalkan Mandailing Indonesia untuk menuju negeri Belanda.
Tahun 1974 berangkat dari Batavia dengan seorang bernama Banas Lubis.
Setelah tiba di Belanda, ia menikah dengan Maria Christina pada 1876. Lalu Willem Iskander
meninggal pada tahun1876 itu juga. Ia dimakamkan di Zorgvlied Begraafplaats, Amsterdam.
Inilah riwayat perjalanan Willem Iskander di dunia Pendidikan. Dialah salah seorang yang
memberantas kebodohan dan buta aksara di Mandailing. Hingga sekarang namanya tetap harum
di Sumatera Utara, khususnya di Mandailing Natal. Banyak sekolah SD, SMP atau SMU yang
melukiskan gambar dan juga mencantumkan kutipan kutipan isi karangan Willem Iskander di
dinding sekolah. Dan bahkan ada yang menamai sekolahnya dengan nama sekolah Willem
Iskander seperti SMEA dan SMK. Luar biasa harumnya. Hanya satu saja yang disesalkan
masyarakat Mandailing. Yaitu tentang agama yang dianut oleh bapak Mandailing ini. Orang
orang Mandailing sangat kental dengan agama Islam. Banyak yang merasa kasihan pada Willem
Iskander karena memilih agama Kristen sebagai jalan hidupnya. Tentu saja masyarakat merasa
kasihan melihat sang tokoh Mandailing dari Pidoli ini. Sebab bila diteliti lebih jauh, Islam jauh
lebih logika dari pada agama Kristen.

Sekian ringkasan cerita salah satu tokoh dari Tanah Mandailing ini.

Advertisements
WILLLEM ISKANDER (1840-1876)

WILLEM ISKANDER (1840-1876):


PELOPOR PENDIDIKAN DARI SUMATERA UTARA

OLEH BASYRAL HAMIDY HARAHAP


http://basyral-hamidy-harahap.com
Blog of Basyral Hamidy Harahap
basyralharahap@centrin.net.id

Sati Nasution gelar Sutan Iskandar

Baginda Mangaraja Enda, generasi III Dinasti Nasution, mempunyai tiga orang isteri yang melahirkan
raja-raja Mandailing. Isteri pertama boru Lubis dari Roburan yang melahirkan putera mahkota Sutan
Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar. Baginda Mangaraja Enda menobatkan Sutan Kumala Sang
Yang Dipertuan Hutasiantar menjadi raja di Hutasiantar dengan kedudukan yang sama dengan dirinya.
Isteri kedua, boru Hasibuan dari Lumbanbalian yang melahirkan empat orang putera yang kelak menjadi
raja. Mereka adalah Sutan Panjalinan raja di Lumbandolok, Mangaraja Lobi raja di Gunung Manaon,
Mangaraja Porkas raja di Manyabar dan Mangaraja Upar atau Mangaraja Sojuangon raja di
Panyabungan Jae.

Isteri ketiga, boru Pulungan dari Hutabargot yang melahirkan dua orang putera, ialah: Mangaraja
Somorong raja di Panyabungan Julu dan Mangaraja Sian raja di Panyabungan Tonga.

Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar menobatkan tiga orang puteranya menjadi raja, masing-
masing Baginda Soalohon raja di Pidoli Lombang, Batara Guru raja di Gunungtua, dan Mangaraja
Mandailing raja di Pidoli Dolok.

Penobatan tiga putera Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar itu dilakukan menyusul
pemberontakan yang dilancarkan raja-raja di tiga daerah tersebut terhadap Baginda Mangaraja Enda.
Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar berhasil memadamkan pemberontakan terhadap
ayahandanya itu. Sementara itu raja-raja yang berontak eksodus bersama sebagian rakyatnya ke daerah
pantai dan pedalaman Pasaman.

Ada tiga tokoh penting dalam generasi XI Dinasti Nasution. Pertama, Sutan Kumala Yang Dipertuan
Hutasiantar, yang biasa disingkat menjadi Yang Dipertuan. Tokoh ini dikenal sebagai raja ulama yang
namanya banyak disebutkan oleh Multatuli di dalam karyanya Max Havelaar. Belanda menjulukinya
Primaat Mandailing. Yang Dipertuan membantu kompeni melawan pasukan Paderi. Tokoh inilah yang
bekerjasama dengan Asisten Residen Mandailing Angkola, 1848-1857, Alexander Philippus Godon (1816-
1899), merancang dan membangun mega proyek jalan ekonomi dari Panyabungan ke pelabuhan Natal
sepanjang kl. 90 kilometer.

Kedua, Sutan Muhammad Natal, yang banyak disebut Multatuli di dalam Max Havelaar dengan nama
Tuanku Natal, seorang raja Natal yang muda dan cerdas, sahabat karib Multuli ketika menjabat Kontrolir
Natal (1842-1843).
Ketiga, Sati gelar Sutan Iskandar ialah tokoh kita, Willem Iskander, yang lahir di Pidoli Lombang pada
bulan Maret 1840.
Tuanku Natal dan Willem Iskander adalah cucu langsung dari Sutan Kumala Porang, raja Pidoli Lombang.

Pada usia 13 tahun, 1853, Sati masuk sekolah rendah dua tahun yang didirikan Godon di Panyabungan.
Begitu lulus, 1855, Sati diangkat menjadi guru di sekolahnya. Barangkali Willem Iskander lah guru formal
termuda, 15 tahun, dalam sejarah pendidikan Indonesia.
Pada saat yang sama ia juga diangkat oleh Godon menjadi juru tulis bumiputera (adjunct inlandsch
schrijfer) di kantor Asisten Residen Mandailing Angkola di Panyabungan. Jabatan guru dan juru tulis itu
dijabatnya dua tahun, menggantikan Haji Nawawi yang berasal dari Natal, sampai menjelang
keberangkatannya ke Negeri Belanda bersama Godon, Februari 1857.

Salah satu penemuan saya tentang riwayat hidup Willem Iskander adalah Acte van bekenheid, ialah
Surat Kenal sebagai pengganti Akte Kelahiran. Dokumen inilah antara lain yang saya pamerkan pada
acara peringatan 100 tahun wafatnya Willem Iskander tanggal 8 Mei 1976 di Geliga Restaurant, Jln.
Wahid Hasyim 77C, Jakarta Pusat.

Sejak itu masyarakat mengetahui tarikh kelahiran Willem Iskander, ialah pada bulan Maret 1840 di Pidoli
Lombang, Mandailing Godang. Ibunya Si Anggur boru Lubis dari Rao-rao dan ayahnya Raja Tinating, Raja
Pidoli Lombang.

Akte ini dibuat oleh sejumlah orang yang memberikan kesaksian tentang kelahiran Willem Iskander,
ialah Arnoldus Johannes Pluggers amtenar di Onderafdeeling Groot Mandailing en Batang Natal,
Johannes Hendrik Kloesman berusia 50 tahun amtenar yang berdiam di Tanobato, dan Philippus
Brandon usia 40 tahun amtenar yang berdiam di Muarasoma. Akte bertanggal 28 Februari tahun 1874
ini ditandatangani oleh tiga amtenar tersebut, kemudian dilegalisasi oleh Residen Tapanuli, H.D. Canne,
di Sibolga. Seterusnya akte ini dilegalisasi lagi oleh Sekretaris Ministerie van Kolonien, Henney, di Den
Haag pada tanggal 7 Juni tahun 1876.

Nama Sati Nasution gelar Sutan Iskandar adalah nama yang dicantumkan di dalam teks Acte van
Bekenheid. Nama Willem Iskander diberikan kepadanya ketika dia masuk Kristen di Arnhem pada tahun
1858, setahun sebelum ia belajar di Oefenschool di Amsterdam.
Seterusnya, nama Willem Iskander dipakainya di dalam karyanya, surat-surat, beslit, piagam, surat nikah
dll. Jadi adalah salah kalau orang menulis namanya menjadi Willem Iskandar, yang benar adalah Willem
Iskander.

Bias-bias Tentang Willem Iskander

Kekeliruan informasi tentang Willem Iskander selama ini terdapat di dalam berbagai tulisan yang terbit
di Indonesia, antara lain seperti yang ditulis oleh Mangaraja Onggang Parlindungan di dalam bukunya
Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak
1816-1833. Saya temukan juga kesalahan di dalam buku Pusaka Indonesia yang disusun oleh Tamar
Djaja. Penulis ini menyebutkan, bahwa pujangga Muhammad Kasim adalah murid langsung Willem
Iskander. Bagaimana mungkin? Muhammad Kasim lahir di Muarasipongi pada tahun 1886, sepuluh
tahun setelah Willem Iskander wafat di Amsterdam 8 Mei 1876.

Lebih seru lagi tulisan Bismar Siregar yang dimuat oleh Harian Sinar Harapan edisi 31 Mei 1986. Tulisan
bertajuk Sekedar Catatan Soal “Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk” sebagai reaksi terhadap tiga tulisan
bersambung Dr. Daoed Joesoef gelar Iskandar Muda Nasution tentang tiga hal ialah: Willem Iskander, Si
Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk dan tentang aktivitas saya meneliti Willem Iskander. Tulisan Dr. Daoed
Joesoef gelar Iskandar Muda Nasution yang dikomentari Bismar Siregar itu dimuat Harian Sinar Harapan
dua minggu sebelumnya.
Gelar Iskandar Muda Nasution itu ditabalkan oleh raja-raja adat Mandailing kepada Dr. Daoed Joesoef
selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang sedang mengunjungi Tanobato di Mandailing pada
tahun 1981. Maksud kunjungannya adalah untuk melihat lokasi Kweekschool voor Inlandsche
Onderwijzers yang didirikan oleh Willem Iskander pada tahun 1862.

Dr. Daoed Joesoef tiga kali mengunjungi lokasi ini: Pertama, melihat bekas pertapakan sekolah guru itu
pada tahun 1981. Kedua, meletakkan batu pertama pembangunan SMA Negeri Willem Iskander di lokasi
itu pada tahun 1982. Ketiga, meresmikan SMA Negeri Willem Iskander itu pada tahun 1983. Saya hadir
pada tiga kali kunjungan itu sebagai rombongan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kami berdua
adalah pengagum berat Willem Iskander. Barangkali itu sebabnya saya selalu diajak oleh Dr. Daoed
Joesoef selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ikut dalam rombongannya, atas biaya negara
dengan SK Staf Ahli Menteri.

Sepanjang yang saya ketahui, belum ada desa terpencil di pedalaman yang sampai tiga kali dikunjungi
oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia, kecuali yang
dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Daoed Joesoef, di Tano Bato. Ini benar-benar
kunjungan yang spektakuler.

Tiga artikel Dr. Doed Joesoef itu adalah: Pertama, "Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk (I): Ditemukan
Sebuah Buku Tua" dimuat oleh Harian Sinar Harapan 14 Mei 1986. Kedua, "Si Bulus-bulus Si Rumbuk-
rumbuk (II): O, Mandailing Godang" dimuat oleh Harian Sinar Harapan 15 Mei 1986, dan Ketiga, "Si
Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk (III Habis): Meninggalnya Orang Jujur" dimuat oleh Harian Sinar Harapan
16 Mei 1986.

Artikel Bismar Siregar itu sudah saya jawab pada tanggal 6 Juni 1986. Sesuai pesan Samuael Pardede,
Redaksi Harian Sinar Harapan, agar saya menulis setuntas mungkin di bawah tajuk "Catatan Atas Bismar
Siregar: Mayat Willem Iskander Tertembus Peluru." Orang bertanya, apa gerangan isi artikel Bismar
Siregar yang bertajuk Sekedar Catatan Soal “Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk” itu? Jawabannya ada
pada buku saya Greget Tuanku Rao yang diterbitkan oleh Penerbit Komunitas Bambu di Depok, bulan
September 2007 yang lalu.
Ada lagi tulisan orang lain yang menyebutkan, bahwa Charles Adriaan van Ophuysen, ahli bahasa
Melayu dan Mandailing yang terkenal namanya melalui nama Ejaan Van Ophuysen, adalah guru Willem
Iskander. Bagaimana mungkin? Charles Adriaan van Ophuysen itu lahir di Solok tahun 1854. Ia masih
balita ketika Willem Iskander dan Asisten Residen Mandailing Angkola, Alexander Philippus Godon,
meninggalkan Mandailing menuju Negeri Belanda pada bulan Februari 1857.

Ayah Charles Adriaan van Ophuysen, J.A.W. van Ophuysen adalah seorang amtenar legendaris di Pantai
Barat Sumatera. Kariernya antara lain: Kontrolir Kelas Satu di Afdeeling XIII Kota dan IX Kota, 1852.
Kontrolir Kelas Satu di Natal, Mandailing Natal, 1853, sepuluh tahun setelah Eduard Douwes Dekker
(Multatuli) meninggalkan Natal. Assisten Residen Afdeeling XIII Kota dan IX Kota, 1855-1856. Asisten
Residen Bengkulu, 1858-1861, merangkap Presiden Residentie-Raad dan Presiden Pangeran Raad.

Kelak Charles Adriaan van Ophuysen, yang ahli Bahasa Melayu dan Bahasa Mandailing itu, selama
delapan tahun menjadi guru di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers di Padangsidimpuan, 1882-
1890. Bahkan ia menjadi direktur sekolah guru yang didirikan tahun 1879 itu, antara 1885-1890. Pada
tanggal 1 Juli 1893 ia diangkat sebagai Inspektur Pendidikan Bumiputera Pantai Barat Sumatera
berkedudukan di Bukittinggi.
Prof. Van Ophuysen wafat di Leiden tanggal 19 Februari 1917, dimakamkan di Begraafplaats
Groenesteeg di Leiden dengan nomor makam 769.

Prof. Van Ophuysen bukan hanya ahli bahasa dan sastra Melayu dan Mandailing, tetapi ia juga tercatat
sebagai kolektor tumbuhan. Ia memiliki 157 spesimen dengan nama tumbuhan bahasa daerah (1906).
Pengetahuannya yang luas tentang berbagai ragam tumbuhan di Mandailing telah memantapkan
karangannya tentang bahasa daun dalam Bahasa Mandailing. Ia menyebutkan bahwa Bahasa Mandailing
adalah satu-satunya bahasa di dunia yang memiliki bahasa daun.

Jadi sudah pasti Charles Adriaan van Ophuysen tak pernah bertemu dengan Willem Iskander, apatah lagi
sebagai guru bagi Willem Iskander. Yang benar adalah, ada murid Willem Iskander yang sejawat Charles
Adriaan van Ophuysen sebagai sesama guru di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers
Padangsidimpuan, seperti Pangulu Lubis yang dikenal juga sebagai Guru Batak.

Menapak Karier

Setelah Willem Iskander memperoleh ijazah guru bantu dari Oefenschool pimpinan D. Hekker Jr. di
Amsterdam, ia bertolak dari Bandar Amsterdam dengan kapal Petronella Catarina pada tanggal 2 Juli
1861. Setibanya di Batavia pada bulan Desember 1861, Willem Iskander menghadap Gubernur Jenderal,
Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron Sloet van den Beele.

Willem Iskander mengutarakan maksudnya mendirikan sekolah guru di Mandailing, dan memohon
bantuan Gubernur Jenderal agar cita-citanya itu terlaksana. Gubernur Jenderal Gubernur Pantai Barat
Sumatera ketika itu, Van den Bosche, agar membantu Willem Iskander. Acara pertama Willem Iskander
ketika tiba di Padang, adalah menghadap Van den Bosche untuk menyerahkan surat Gubernur Jenderal,
sekaligus melaporkan dialognya dengan Gubernur Jenderal di Batavia.

Dalam perjalanan kembali ke Mandailing melalui pelabuhan Natal, Willem Iskander berlayar bersama
Asisten Residen Mandailing Angkola ketika itu, Jellinghaus, yang sedang berada di Padang. Mereka
singgah dua hari di rumah kerabat Willem Iskander, Tuanku Natal. Setelah Willem Iskander tiba kembali
di Mandailing pada awal 1862, ia melakukan persiapan pendirian sekolah guru di Mandailing. Tempat
yang ia pilih adalah Tanobato, 526 meter di atas permukaan laut, desa yang ketika itu berhawa sejuk
rata-rata 22°C, berada di pinggir jalan ekonomi ke pelabuhan Natal. Bangunan sekolah pun didirikan
bersama masyarakat setempat. Bangunan empat ruangan, ialah tiga ruang kelas, satu tempat tinggal
Willem Iskander. Bahan bangunan itu terbuat dari kayu, bambu dan atap daun rumbia. Ada dua
bangunan lagi di sebelah gedung sekolah ini, ialah Gudang Kopi (Pakhuis) dan Pasanggrahan.

Dalam usia 22 tahun, Willem Iskander melakukan terobosan besar gerakan pencerahan (Aufklärung)
melalui pendidikan di Mandailing Angkola, khususnya di Mandailing. Orientasi, cakrawala, penalaran,
idealisme, kearifan, dan semangat pembaharuan telah membekali Willem Iskander untuk melakukan
gerakan pencerahan di Tapanuli.

Semboyan revolusi Prancis: Liberté, Egalité, dan Fraternité (Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan)
telah merasuk benar ke dalam jiwanya. Willem Iskander menyaksikan bagaimana semboyan
kemanusiaan yang universal itu disosialisasikan dan diamalkan oleh Godon, atasan dan mentornya yang
berdarah Prancis itu.

Willem Iskander menerima beslit bertanggal 5 Maret 1862, yang mengizinkannya mendirikan
Kweekschool di Mandailing. Beslit kedua bertarikh 24 Oktober 1862 yang menetapkannya sebagai guru
pada Kweekschool Tanobato.

Perjuangannya sangat berat. Sedikit sekali orang yang mau menyekolahkan anaknya di sekolah guru itu.
Kesulitan itu dapat diatasinya dengan (habisukon) kearifan, ketekunan, kesabaran dan kegigihannya
terus menerus mensosialisasikan gagasan pembaharuannya dari rumah ke rumah. Maka kelangkaan
murid itu pun dapat diatasinya. Lagi pula, masyarakat mengetahui bahwa Yang Dipertuan sangat
mendukung gerakan pembaharuan melalui pendidikan yang dilakukan oleh Willem Iskander. Dengan
demikian ia berhasil menempatkan sekolah guru ini sebagai tumpuan harapan kemajuan masa depan.

Baru satu tahun usia Kweekschool Tanobato, pada bulan September 1863, Gubernur Van den Bosche
datang dari Padang melakukan inspeksi ke sekolah ini. Gubernur Pantai Barat Sumatera ini melaporkan
kunjungannya kepada Gubernur Jenderal dalam suratnya tanggal 13 September 1863. Ia menyatakan
kekagumannya terhadap kepiawaian Willem Iskander. Kesannya ia tulis dengan kata-kata zeer
ontwikkeld, hoogst ijverig, artinya sangat cerdik, terpelajar, dan sangat rajin dan tekun.

Gubernur Van den Bosche mengusulkan kepada Gubernur Jenderal di Batavia supaya dibangun satu
Kweekschool saja di Padang untuk wilayah Pantai Barat Sumatera, yang akan dipimpin oleh Willem
Iskander. Ia yakin Willem Iskander mampu memimpin sekolah itu, karena Willem Iskander fasih
berbahasa Melayu dan Belanda. Jika usul ini disetujui, maka Kweekschool Fort de Kock (Bukittinggi) yang
didirikan 1856 dan Kweekschool Tanobato yang didirikan 1862 harus ditutup. Gubernur Jenderal
membahas usul ini dalam sidang Raad van Indië, Dewan Hindia. Ternyata usul Van den Bosch itu ditolak
oleh Raad van Indië.

Empat tahun setelah Willem Iskander mendirikan Kweekschool Tanobato, Mr. J.A. van der Chijs,
Inspektur Pendidikan Bumiputera, datang dari Batavia ke Tanobato selama tiga hari pada bulan Juni
1866. Kedua tokoh pendidikan itu mendiskusikan cara-cara terbaik yang harus ditempuh untuk
memajukan pendidikan bumiputera. Willem Iskander menyampaikan beberapa gagasan kepada Van der
Chijs, di antaranya agar pemerintah mendidik guru sebanyak-banyaknya dengan cara memberikan
beasiswa kepada murid-murid untuk mendapat pendidikan keguruan di Negeri Belanda. Sebagai langkah
pertama ia mengusulkan agar beasiswa itu diberikan kepada 8 orang, masing-masing dua orang dari
Mandailing, Jawa, Sunda dan Manado.

Selama di Tanobato Van der Chijs menyaksikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah guru ini. Ia
mengagumi kebolehan Willem Iskander mengajarkan konsep-konsep ilmu pengetahuan dalam bahasa
Mandailing dan bahasa Melayu. Van der Chijs juga mengagumi kemampuan berbahasa Belanda para
murid Willem Iskander. Van der Chjis menyaksikan Willem Iskander mengajarkan dasar-dasar fisika
dalam bahasa Mandailing dengan metode sendiri, memakai alat peraga lokal yang dikenal baik oleh
murid-muridnya.

Van der Chijs menulis di dalam laporan tahunan pendidikan bumiputera tentang kekagumannya
terhadap tiga kemampuan murid-murid Willem Iskander, ialah dalam bidang matematika, bahasa
Melayu dan bahasa Belanda. Van der Chijs menyaksikan mereka membuat esai dan surat menyurat
dalam dua bahasa itu.
Willem Iskander bekerja keras memenuhi cita-citanya mendidik murid-murid agar memiliki kreativitas
yang tinggi, agar menjadi cendekiawan kelak di kemudian hari. Oleh karena itu, ketika ia diangkat
menjadi anggota komisi penerjemahan karya-karya berbahasa Melayu ke dalam bahasa Mandailing, ia
langsung melibatkan murid-muridnya.

Tingginya kualitas murid-murid Willem Iskander terbukti dengan kesalahan beslit pemberian
honorarium kepada Willem Iskander yang seharusnya diberikan kepada muridnya Si Mangantar gelar
Raja Baginda. Kesalahan itu merepotkan banyak pihak di Batavia, karena perbaikan kesalahan itu
menyangkut begitu banyak tanda tangan. Murid-murid Willem Iskander bukan saja tersebar di Tapanuli,
tetapi juga ke Singkil, Nias dan Sulit Air di Sumatera Barat.

Willem Iskander sadar, bahwa kemampuan berbahasa Melayu dan bahasa Belanda, adalah kunci
gerbang ilmu pengetahuan ketika itu. Bahasa Mandailing diajarkan sesuai kaidah-kaidah bahasa.
Sedangkan bahasa Belanda diajarkannya empat kali seminggu. Kemampuan berbahasa itulah yang
mengantarkan para muridnya menjadi pengarang, penerjemah dan penyadur. Willem Iskander pun
bekerja keras meningkatkan wibawa sekolah sebagai pusat kemajuan.

Pertemuan Willem Iskander selama tiga hari dengan Inspektur Pendidikan Bumiputera, Mr. J.A. van der
Chijs di Tanobato telah membuahkan banyak hasil. Gagasan Willem Iskander agar pemerintah
memberikan beasiswa kepada guru-guru muda untuk belajar di Negeri Belanda, menjadi pemikiran
pemerintah pusat.

Ada peristiwa yang luar biasa ketika Willem Iskander melaksanakan EBTA pada bulan Juni 1871.
Pelaksanaan ujian itu sangat istimewa, karena dihadiri petinggi pemerintah ketika itu, ialah: Gubernur
Pantai Barat Sumatera, Residen Tapanuli, Asisten Residen Mandailing-Angkola dan Kontrolir wilayah itu.

Ujian dimulai dengan menyuruh murid-murid menulis esai, dilanjutkan dengan pertanyaan tentang ilmu
alam, lembaga-lembaga pemerintahan Hindia Belanda. Kemampuan berbahasa Belanda dan bahasa
Melayu diuji dengan cara membaca dan berbicara. Ujian berhitung dilakukan dengan menjawab soal-
soal dengan menulis pada batu tulis dan papan tulis.

Usai melakukan inspeksi itu, Gubernur menyampaikan kepuasannya kepada Willem Iskander
terhadap kemampuan murid-murid Willem Iskander berbahasa Belanda. Gubernur mengharapkan agar
Willem Iskander lebih meningkatkan lagi mutu pendidikan di sekolah ini.

Pada kesempatan lain setelah inspeksi itu, Asisten Residen Mandailing Angkola nengunjungi sekolah ini
yang kemudian diikuti oleh pejabat-pejabat lain. Para pejabat itu berdialog dengan murid-murid sambil
mengajukan berbagai pertanyaan. Para murid memberikan jawaban atau penjelasan secara memuaskan
(Verslag, 1871:56-57).

Sidang Tweede Kamer

Sementara itu, berbagai upaya terus dilakukan oleh Willem Iskander agar gagasan itu menjadi
kenyataan. Ia menulis surat pribadi kepada seorang anggota parlemen, Tweede Kamer, Willem Adriaan
Viruly Verbrugge (1830-1908), seorang yang menguasai permasalahan pendidikan di Hindia Belanda.
Surat itu dibahas dalam sidang Tweede Kamer pada tanggal 11 November 1869, 138 tahun yang lalu.
Sidang ini dihadiri 71 orang termasuk ketua Tweede Kamer, Mr. Willem Hendrik Dullert (1817-1881) dan
Menteri Urusan Jajahan, De Waal.
Beberapa tokoh terkenal lainnya yang sudah menjadi anggota Tweede Kamer yang hadir dalam sidang
itu adalah mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron Sloet van den
Beele (1806-1890), Fransen van de Putte, Van der Linden dll.

Viruly Verbrugge menyampaikan perihal surat Willem Iskander itu kepada para anggota Tweede Kamer.
Ia menyebutkan, bahwa surat itu ditulis dalam bahasa yang sangat sopan dan bijaksana. Viruly
Verbrugge juga menjelaskan bahwa dahulu Willem Iskander pernah mendapat pendidikan di Negeri
Belanda atas biaya Kerajaan. Kemudian, Kerajaan mengangkatnya menjadi guru kepala di Kweekschool
Tanobato di Sumatera.

Berhubung surat Willem Iskander itu adalah surat pribadi kepadanya, maka ia tidak dapat
memperbanyaknya untuk para anggota Tweede Kamer. Surat itu berisi usul Willem Iskander agar
pemerintah memberikan beasiswa kepada siswa dari Jawa, Sumatera dan Sulawesi untuk mengikuti
pendidikan di Belanda seperti yang dialaminya sendiri. Willem Iskander menyebutkan, bahwa peranan
guru-guru itu sangat besar dalam memajukan pendidikan bumiputera.

Viruly Verbrugge prihatin terhadap ketidak adilan kebijakan pemerintah dalam pembiayaan pendidikan
di Hindia Belanda. Pemerintah menyediakan biaya pendidikan bagi 25.000 orang Eropa setara dengan 7
ton emas per tahun, tetapi hanya setara 3 ton emas bagi 13 juta penduduk Pulau Jawa, tidak termasuk
bumiputera di luar Jawa. Penduduk Pati yang 235.000 jiwa yang sama dengan jumlah penduduk
Amsterdam, hanya 81 orang yang memasuki sekolah. Demikian juga Sumedang dengan penduduk
200.000 orang, hanya 53 orang yang menikmati pendidikan. Berdasarkan fakta-fakta itu Viruly
Verbrugge mengajukan amandemen terhadap anggaran pendidikan, agar Menteri Urusan Jajahan, De
Waal, menambah anggaran pendidikan untuk bumiputera Hindia Belanda. Dalam hal ini Viruly
Verbrugge juga menyinggung peningkatan anggaran pembangunan Kweekschool Tanobato.

Usul amandemen Viruly Verbrugge dan anggota Moens itu, didukung anggota Tweede Kamer
Jonckbloet, Bots, van Blom, Fransen van de Putte, Stieltjes, dan Fokker.

Menarik sekali, Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron Sloet van den Beele yang pada bulan Desember 1861
ditemui Willem Iskander di Batavia ketika menjabat Gubernur Jenderal, hadir dalam sidang ini sebagai
anggota Tweede Kamer. Ia turut memberi tanggapan terhadap pidato Viruly
Verbrugge tentang situasi pendidikan di Hindia Belanda ketika itu. Mantan Gubernur Jenderal itu juga
menceritakan bahwa ia mengetahui benar telah lama ada sekolah-sekolah desa yang dikelola oleh
masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran membaca (veele kampongs en dessa’s
kleine scholen bestaan om de inlanders te ontwikkelen en te leeren lezen).

Ini bukan pertama kali Willem Iskander dibicarakan di dalam sidang-sidang Tweede Kamer. Sembilan
tahun sebelumnya, pada sidang ke-6 tanggal 25 Sepetember 1860, Willem Iskander dan Multatuli
menjadi bahan pembicaraan yang hangat sekali. Hadir dalam sidang itu Duymaer van Twist mantan
Gubernur Jenderal yang memecat Eduard Douwes Dekker dari jabatan Asisten Residen Lebak. Ada 65
orang yang hadir di dalam sidang ini, 62 anggota, ketua Tweede Kamer, Reenen dan dua menteri,
Menteri Urusan Jajahan J.J. Rochussen dan Menteri Keuangan Van Hall. Tokoh terkenal lainnya yang
hadir adalah Thorbecke, Elout van Soeterwoude dan Van Hoëvell. Anggota parlemen membahas
dampak terbitnya buku Max Havelaar karya Multatuli yang sangat mengguncangkan dan
mempermalukan pemerintah kerajaan Belanda ketika itu.
Sedangkan pembahasan tentang Willem Iskander adalah seputar beasiswa yang diberikan oleh kerajaan
melalui Menteri Urusan Jajahan, J.J. Rochussen.

Gagasan pembaharuan pendidikan guru bumiputera yang disampaikan oleh Willem Iskander kepada Van
der Chijs di Tanobato, 1866, dan pembahasan suratnya di Tweede Kamer, November 1869, telah
membuahkan hasil.

Van der Chjis membuat rencana jangka panjang dan jangka pendek peningkatan mutu pendidikan guru
bumiputera. Satu yang penting, adalah pemberitahuannya kepada Willem Iskander, 1869, bahwa ia
ditugaskan membawa dan membimbing delapan guru muda untuk meneruskan pendidikan di Negeri
Belanda. Delapan guru muda itu masing-masing dua orang dari Manado, Mandailing, Sunda dan Jawa.

Sementara itu, pada tahun 1871, Van der Chijs mendekritkan pembaruan sekolah guru bumiputera. Ia
membuat sejumlah syarat yang harus dipenuhi setiap sekolah guru bumiputera. Dekrit itu berkaitan
dengan gagasan-gagasan Willem Iskander. Tiga syarat penting ialah:
1.Sekolah guru harus menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
2.Guru sekolah guru harus mampu menulis buku pelajaran.
3.Bahasa daerah harus dikembangkan sesuai kaidah-kaidah bahasa.

Pada tahun 1873, telah diketahui hanya tiga orang guru muda yang berangkat ke Negeri Belanda
bersama Willem Iskander. Mereka adalah Banas Lubis murid Willem Iskander di sekolah guru Tanobato,
Raden Mas Surono dari Kweekschool Surakarta, dan Mas Ardi Sasmita guru sekolah rendah di
Majalengka lulusan Kweekschool Bandung.

Ke Belanda Lagi

Mr. J.A. van der Chijs sangat kecewa melihat mutu pendidikan di Kweekschool Fort de Kock yang sangat
rendah, tidak lebih dari sekolah setingkat sekolah dasar. Sekolah yang didirrikan tahun 1856 ini dikelola
oleh Abdul Latip Sutan Dinegeri, anak bangsawan Kota Gedang, yang bekerja sebagai pegawai di kantor
pemerintah di Bukittinggi. Perbandingan kualitas pendidikan dan kurikulum Kweekschool Tanobato dan
Kweekschool Fort de Kock pada tahun ajaran 1867 dan 1870 dapat dibaca di dalam buku saya Greget
Tuanku Rao pada halaman 193 s.d. 199.
Mungkin inilah sebabnya, kenapa Willem Iskander tidak mengusulkan calon dari Minangkabau untuk
mendapatkan beasiswa belajar di sekolah guru di Negeri Belanda. Reorganisasi sekolah guru di
Bukittinggi itu baru dirancang pada tahun 1873, yang kelak dikenal sebagai Sekolah Raja.
Pada bulan April 1874 Willem Iskander bersama Banas Lubis, Ardi Sasmita dan Raden Mas Surono
betolak dari Tanjung Priok ke Negeri Belanda dengan kapal Prins van Oranje.

Mereka tiba di Bandar Amsterdam pada tanggal 30 Mei 1874. Sejak hari itu sampai dengan bulan
Desember 1874, Willem Iskander tinggal bersama mereka di bekas pemondokan Willem Iskander, 1859-
1861, di Prinsengracht 239, Amsterdam. Ini adalah alamat Oefenschool sekaligus tempat tinggal
keluarga Dirk Hekker Jr., Direktur Oefenschool tempat Willem Iskander memondok dan belajar dahulu.
Kemudian setelah tiga pemuda Mandailing, Sunda dan Jawa itu cukup beradaptasi dengan cuaca,
lingkungan, kehidupan sosial dan sekolah, maka Willem Iskander pun pindah ke tempat lain yang tidak
jauh dari pemondokan mereka.
Proyek ini gagal. Tiga orang calon guru itu meninggal pada tahun 1875. Banas Lubis dan Ardi Sasmita
meninggal di Amsterdam karena kesehatan mereka menurun disebabkan berbagai hal, antara lain rindu
tanah air, cuaca buruk, dan masalah lain-lain yang menyebabkan mereka bertiga stres berat. Ketika
Raden Mas Surono jatuh sakit, pemerintah mengambil keputusan untuk memulangkannya ke Tanah Air.
Ada harapan Raden Mas Surono akan sembuh dalam perjalanan. Tetapi takdir menentukan lain. Raden
Mas Surono meninggal dalam pelayaran ke Tanah Air. Nakhoda dan kelasi melarungkan jenazah Raden
Mas Surono ke laut.

Kematian tiga pemuda pilihan bangsa itu sangat memukul perasaan Willem Iskander. Cita-citanya yang
luhur untuk mencerdaskan bangsa melalui pendidikan, ternyata gagal. Willem Iskander sangat murung.
Dalam keadaan berduka itu, Godon memberikan nasihat kepada Willem Iskander untuk menikah.
Kehadiran seorang isteri pastilah akan meringankan beban pikiran, karena ada teman berbagi duka.
Willem Iskander menuruti nasihan Godon itu. Willem Iskander pun menikah dengan Maria Christina
Jacoba Winter pada tanggal 27 Januari 1876 di Amsterdam. Berita pernikahan ini dibuat oleh Willem
Iskander dan Maria Jacoba Christina Winter. Keesokan harinya mereka memasang iklan lagi untuk
mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang hadir pada acara pernikahan itu. Ternyata
pernikahan ini tidak berumur panjang. Willem Iskander wafat tanggal 8 Mei 1876, kemudian
dimakamkan di Zorgvlied Begraafplaats, Amsterdam. Maria Jacoba Christina Iskander-Winter menjanda
dengan identitas sebagai Janda Willem Iskander. Sampai usia lanjut ia bekerja di rumah sakit Witte Kruis.
Maria wafat 25 April 1920 dalam usia 69 tahun, jasadnya dimakamkan di pekuburan Nieuwe
Oosterbegraafplaats, Amsterdam.
Dokumen-dokumen tentang pernikahannya dan kematiannya ada pada saya. Maria memasang iklan
tentang kematian Willem Iskander dengan identitas yang sejak pernikahan mereka dipakainya, ialah
Maria Christina Jacoba Iskander-Winter.

Sebelum naskah Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk dikirimkan ke Batavia, Willem Iskander sudah yakin
akan berangkat ke Negeri Belanda untuk kedua kalinya. Itu sebabnya ia memberi nasihat pada bait 15
dan 16 sajak Mandailing:

Tinggal ma ho jolo ale


Anta piga taon ngada uboto
Muda uida ho mulak muse
Ulang be nian sai maoto

Lao ita marsarak


Marsipaingot dope au dio
Ulang lupa paingot danak
Manjalai bisuk na peto

Terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia:


Tinggallah sayang
Entah berapa tahun aku tidak tahu
Jika aku melihat engkau kembali
Janganlah lagi masih bodoh

Ketika kita berpisah


Aku masih berpesan kepadamu
Jangan lupa menasihati anak
Mencari ilmu yang benar

Terjemahan bebas dalam bahasa Inggris, sbb.:

I leave you darling


I do not know for how many years
If I saw you again
Do not still be foolish

When we separated
I was still advising you
Do not forget to advise children
To seek the true knowledge

Para Murid

Saya mencatat di sini nama (sesuai EYD) lulusan Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Tanobato
dengan posisi mereka di dalam masyarakat:
1.Alimuda, Kepala Kampung Tanobato.
2.Jabarani, guru kepala di Panyabungan dan Tanobato.
3.Janatun gelar Jatimor, guru di Tanobato, Muarasoma, Kotanopan dan Gunung Sitoli.
4.Philippus Siregar, guru di Sipirok dan Simapilapil.
5.Si Bajora gelar Sutan Kulipa, guru di Muarasoma.
6.Si Bortung gelar Raja Sojuangon, guru di Kotanopan, kemudian pada bulan Februari 1866 berangkat ke
Batavia untuk melanjutkan pelajaran di Sekolah Tenaga Medis.
7.Si Along gelar Jawirusin, guru di Natal.
8.Si Brahim gelar Sutan Mangayang, guru di Panyabungan.
9.Si Godung gelar Ja Pandapotan, guru di Padangsidimpuan.
10.Badukun gelar Sutan Kinali, guru di Sibolga dan Singkil.
11.Alimuda, Kepala Kampung Tanobato.
12.Jabarani, guru kepala di Panyabungan dan Tanobato.
13.Janatun gelar Jatimor, guru di Tanobato, Muarasoma, Kotanopan dan Gunung Sitoli.
14.Philippus Siregar, guru di Sipirok dan Simapilapil.
15.Si Bajora gelar Sutan Kulipa, guru di Muarasoma.
16.Si Bortung gelar Raja Sojuangon, guru di Kotanopan, kemudian pada bulan Februari 1866 berangkat
ke Batavia untuk melanjutkan pelajaran di Sekolah Tenaga Medis.
17.Si Along gelar Jawirusin, guru di Natal.
18.Si Brahim gelar Sutan Mangayang, guru di Panyabungan.
19.Si Godung gelar Ja Pandapotan, guru di Padangsidimpuan.
20.Si Badukun gelar Sutan Kinali, guru di Sibolga dan Singkil.
21.Si Pangiring gelar Ja Manghila, guru di Barus.
22.Si Dagar, guru di Panyabungan.
23.Si Gulut, guru di Kotanopan.
24.Si Gumba Arun, guru di Muarasipongi.
25.Si Gurunpade gelar Ja Naguru, guru di Simapilapil.
26.Si Jakin gelar Ja Bolat, guru di Tanobato.
27.Si Manahan gelar Ja Rendo, guru di Sipirok.
28.Si Mangantar gelar Raja Baginda, guru di Hutaimbaru, Sipirok dan Muarasipongi. Ia adalah murid
Willem Iskander yang paling cemerlang.
29.Si Pangulu gelar Ja Parlindungan, guru di Sipirok, Kotanopan dan Padangsidimpuan.
30.Si Sampur gelar Raja Laut, guru di Pargarutan dan Batunadua.
31.Simon Petrus, guru di Bunga Bondar.
32.Sutan Galangan, guru di Hutaimbaru.
33.Si Gori gelar Mangaraja Nasution, guru di Tuka, Lumut dan Sibolga.

Ada sebagian murid-murid Willem Iskander yang mengikuti jejaknya sebagai pengarang, penerjemah
dan penyadur. Nama-nama mereka (sesuai EYD) dan judul karya mereka adalah, sbb.:
1.Ja Lembang Gunung Doli, Soerat Parsipodaan. – Batavia, 1889.
2.Ja Manambin, Si Djahidin. – Batavia, 1883.
3.Ja Parlindungan, Kitab Pengadjaran. – Batavia, 1883.
4.Ja Sian, Sutan Kulipa dan Ja Rendo, Mandhelingsche rekenboekje voor hoogste klasse. – Batavia, 1868.
5.Mangaraja Gunung Pandapotan, On ma sada parsipodaan toe parbinotoan taporan parsapoeloean. –
Batavia, 1885.
6.Mangaraja Gunung Pandapotan, Parsipodaan taringot toe parbinotoan tano on. – Batavia, 1884.
7.Philippus Siregar dan Sutan Kinali, Barita na denggan-denggan basaon ni dakdanak. – Batavia, 1872,
1904.
8.Si Mangantar gelar Raja Baginda, On ma barita tingon binatang-binatang bahatna lima poeloe pitoe. –
Batavia, 1868.
9.Philippus Siregar dan Sutan Kinali, Boekoe basaon ni dakdanak di sikola. Boekoe pasadaon. Batavia,
1873.
10.Raja Laut, Barita sipaingot. – Batavia, 1873.
11.Si Pangiring dan Si Mengah, Boekoe basaon ni dakdanak di sikola. Boekoe padoeaon. – Batavia, 1873.
12.Si Saridin, Sada barita ambaen parsipodaan. – Batavia, 1872.
13.Sutan Kulipa, Dalanna anso binoto oemoer ni koedo.
Pemuatan daftar nama murid Willem Iskander yang menjadi guru, kepala kampung dan pengarang ini
dimaksudkan untuk memberi kesan betapa Willem Iskander telah berhasil mendidik agen-agen
pembaharuan di Tapanuli, termasuk Nias. Daftar nama ini juga merupakan informasi kepada para
keturunan mereka yang tersebar di mana-nama, bahwa leluhur mereka itu dahulu adalah murid-murid
Willem Iskander yang dididik untuk menjadi pembaharu meneruskan jejak Willem Iskander.

Kweekschool Tanobato ditutup tahun 1874 karena akan dibangun sekolah guru yang lebih baik di
Padangsidimpuan yang sekaligus akan menjadi Pusat Studi Batak. Sekolah itu direncanakan akan
dipimpin oleh Willem Iskander, 1876, setelah menyelesaikan lanjutan studinya dalam bidang
kebudayaan di Negeri Belanda, 1874-1876. Tetapi sayang, Willem Iskander wafat di Amsterdam tanggal
8 Mei 1876. Pembangunan sekolah guru Padangsidimpuan itu pun ditunda sampai tahun 1879. Seperti
telah disebutkan terdahulu, Charles Adriaan van Ophuysen ahli bahasa dan sastra Mandailing dan
Melayu kelak pernah memimpin sekolah guru ini selama tujuh tahun.

Willem Iskander telah berhasil membawa pencerahan di Tapanuli, khususnya di Tapanuli bagian Selatan
(Tabagsel). Dr. H. Kroeskamp menulis: Tapanuli had every right to be proud of its talented teachers’
school master, one of the first who proved that an Indonesian could shoulder the responsibility of
running of an important educational institution (Kroeskamp, 1974:233).

Penerus Gerakan Pencerahan Willem Iskander

Sudah barang tentu, banyak orang Tapanuli yang telah mengikuti gerakan pencerahan Willem Iskander
baik sebagai pendidik maupun sebagai tokoh pergerakan kebangsaan. Ketika ia wafat, timbul
kegemparan luar biasa. Ia menjadi topik pembicaraan dan polemik di surat-surat kabar yang terbit di
Batavia, Semarang, Surabaya dan Padang.

Sekedar menyebut dua nama, saya menampilkan Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada dan
Ja Endar Muda Harahap. Keduanya murid Van Ophuysen di Kweekschool Padangsidimpuan.

Pada tahun 1904, Van Ophuysen dikukuhkan sebagai Profesor di Universiteit Leiden. Menarik sekali,
seorang muridnya di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Padangsidimpuan, Rajiun Harahap
gelar Sutan Casayangan Soripada, yang lahir di Batunadua pada tahun 1874, kemudian menjadi
asistennya dalam mata kuliah Bahasa Melayu di Universiteit Leiden.

Willem Iskander telah berhasil membawa pencerahan di Tapanuli, khususnya di Tapanuli bagian Selatan
(Tabagsel). Dr. H. Kroeskamp menulis: Tapanuli had every right to be proud of its talented teachers’
school master, one of the first who proved that an Indonesian could shoulder the responsibility of
running of an important educational institution (Kroeskamp, 1974:233).

Menarik sekali, seorang muridnya di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Padangsidimpuan,


Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada, yang lahir di Batunadua pada tahun 1874, kemudian
menjadi asistennya dalam mata kuliah Bahasa Melayu di Universiteit Leiden.
Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada (baca Kasayangan), adalah penggagas Indische
Vereeniging tanggal 25 Oktober 1908 di Leiden. Organisasi ini menjadi cikal bakal Perhimpoenan
Indonesia yang menjadi perkumpulan intelektual muda Indonesia yang kelak tampil sebagai pemimpin
bangsa Indonesia. Selanjutnya baca BAB XI buku Greget Tuanku Rao.

Seorang lagi murid Van Ophuysen di Kweekschool Padangsidimpuan yang berkiprah di tingkat nasional
yang mengawali kariernya sebagai guru di Air Bangis, Batahan dan Singkil, kemudian menjadi raja surat
kabar Sumatera, ialah Ja Endar Muda Harahap, yang mendirikan surat kabar di Sumatera Barat, Sibolga,
Medan dan Aceh. Ja Endar Muda berpendapat, bahwa ruang lingkup gerakan pencerdasan bangsa lebih
luas melalui surat kabar, karena surat kabar dapat menembus ruang dan waktu. Selanjutnya baca buku
saya Greget Tuanku Rao halaman 258 s.d. 261.

Itulah sekedar contoh, dua orang yang telah menjadi penerus gerakan pencerahan Willem Iskander.

Karya Willem Iskander

Willem Iskander bukan hanya seorang guru sekolah guru, tetapi ia juga seorang pengarang, penerjemah
dan penyadur. Ia telah menghasilkan sejumlah karya, antara lain.
1. Si Hendrik na Denggan Roa
Buku ini merupakan terjemahan dari De Brave Hendrik, buku bacaan anak-anak yang paling popular di
Belanda pada masa itu. Terjemahan ini diterbitkan di Padang pada tahun 1865. Isi buku tentang etika
untuk anak-anak dalam pergaulan sehari-hari.

2. Barita na marragam
Bacaan anak-anak tentang budi pekerti, merupakan saduran dari karya J.R.P.F. Gongrijp, diterbitkan di
Batavia pada tahun 1868 dalam bahasa Mandailing aksara Latin.

3. Buku basaon
Buku bacaan anak-anak terjemahan dalam bahasa Mandailing dari karya W.C. Thurn. Batavia, 1871
cetak ulang 1884.

4. Si Boeloes Boeloes Si Roemboek-Roemboek: Boekoe Basaon


Naskah Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk sudah sampai di Batavia pada tahun 1870. Pemerintah pusat
mengeluarkan beslit (besluit), surat keputusan, nomor 27 bertarikh 23 Februari 1871 tentang penerbitan
buku ini yang menetapkan tiras buku ini 3.015 dan sebanyak 50 eksemplar di antaranya harus disimpan
di lembaga-lembaga dan perpustakaan. Pada tahun 1872 kumpulan prosa dan puisi ini diterbitkan di
Batavia oleh ‘s Landsdrukkerij (Percetakan Negara) pada tahun 1872.

Buku ini dicetak ulang di Batavia pada tahun 1903, 1906, dan 1915. Kemudian sesudah merdeka
diterbitkan kembali oleh beberapa penerbit, antara lain oleh Penerbit dan Percetakan Saksama di
Jakarta tahun 1954 atas anjuran Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementerian Pendidikan,
Pengadjaran dan Kebudajaan, P.T. Campusiana di Jakarta, Puisi Indonesia di Jakarta, Casso di Medan,
Pustaka Timur dan Toko Buku Islamijah di Padangsidimpuan.

Pada tahun 1975 saya menemukan edisi pertama, 1872, setelah 103 tahun disimpan di dalam koleksi
perpustakaan kantor saya Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) di Leiden. Edisi
sesudahnya mengalami perubahan. Ada kata-kata yang diubah oleh redaksi atau penerbit dari dialek
Mandailing menjadi dialek ASPAL. Saya tidak setuju perubahan itu. Itu sebabnya saya menerjemahkan
edisi pertama 1872 yang masih asli dari Willem Iskander.

Penerbit P.T. Campusiana, yang saya dirikan tahun 1976, pertama kali menerbitkan edisi dua bahasa,
Mandailing dan Indonesia. Saya sudah tiga kali mengusahakan penerbitan edisi dua bahasa ini, ialah
yang diterbitkan oleh P.T. Campusiana 1976, P.T. Puisi Indonesia 1987 dan Sanggar Willem Iskander
2002.

Saya biasa menjadi ghost writer untuk karangan yang ditandatangani oleh orang lain. Contohnya dua
Kata Sambutan di dalam edisi dua bahasa Si Bulus-Bulus Si Rumbuk, ialah Kata Sambutan yang
ditandatangani oleh Buyung Siregar untuk edisi dua bahasa terbitan tahun 1976, dan Kata Sambutan
yang ditandatangani oleh Mayjed. TNI R.I. Siregar untuk edisi dua bahasa terbitan tahun 1987.
Sedangkan edisi dua bahasa terbitan tahun 2002 tanpa Kata Sambutan. Saya menulis Kata Pengantar
untuk semua edisi dua bahasa itu yang isinya merupakan cuplikan hasil penelitian saya tentang biografi
dan karya Willem Iskander. Isi tiga Kata Pengantar itu berbeda sesuai dengan hasil-hasil penelitian
mutakhir pada saat buku itu diterbitkan.

Buku ini merupakan karya klasik yang bernilai tinggi. Isinya menjadi perbendaharaan nasihat orang tua,
bahkan masuk dalam perbendaharaan nilai-nilai luhur budaya Madina dan Angkola, Sipirok, Padang
Lawas (ASPAL). Buku ini merupakan sumber inspirasi bagi kemajuan orang Tapanuli, khususnya Madina
dan ASPAL, sejak pertama kali terbit tahun 1872.

Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk pernah dilarang beredar pada tahun 1933 menyusul penangkapan
tiga orang pejuang kebangsaan, Buyung Siregar, Muhiddin Nasution, dan Abul Kosim. Mereka bertiga
ditahan dua tahun di Tarutung, kemudian dibuang ke Digul selama 9 tahun, 1935-1944. Sedangkan
Kamaludin Nasution hijrah ke Semenanjung Malaya untuk menghindari penangkapan polisi kolonial.

Pelarangan buku Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk hanya berlangsung beberapa tahun. Aktivitas


pergerakan kebangsaan di Mandailing menjadi lemah setelah penangkapan Buyung Siregar, Muhiddin
Nasution dan Abul Kosim, dan kepergian Kamaluddin Nasution ke Semenanjung.
Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk kembali beredar di masyarakat. Bahkan kemudian menjadi buku
bacaan wajib di sekolah-sekolah. Murid-murid dianjurkan menghafal sebanyak mungkin isi Si Bulus-
Bulus Si Rumbuk-Rumbuk. Siapa yang berhasil menghafal semua sajak Willem Iskander, kepadanya
diberikan hadiah yang sangat berharga, ialah foto asli Willem Iskander. Foto Willem Iskander dicetak di
dalam lingkaran oval dengan tulisan di bagian bawahnya t. W. Iskander. Foto ini dicetak menjadi post
card. Bagian belakang atas foto itu tercantum tulisan dalam bahasa Prancis Carte Postale, artinya Post
Card, Kartu Pos.

Bagian kiri ada kolom berita, bagian kiri bawah ada kolom alamat pengirim, pojok kanan atas ada tanda
tempat menempelkan perangko, dan bagian bawah kanan ada kolom alamat tujuan. Bagian kiri dan
kanan itu dipisahkan oleh garis vertikal. Itulah kartu pos foto Willem Iskander yang menjadi hadiah
utama bagi murid-murid yang berhasil menghafal sajak-sajak Willem Iskander.

Foto Willem Iskander yang saya siarkan sejak tahun 1975 adalah hadiah yang diraih paman saya Koddam
Daulae. Ia adalah salah seorang pemenang sayembara deklamasi sajak-sajak Willem Iskander di
sekolahnya pertengahan tahun 1930-an. Foto itu merupakan salah satu penemuan dalam rangkaian
penelitian Willem Iskander. Saya meminjam foto itu untuk direproduksi di Jakarta. Foto asli dan satu
lembar hasil reproduksinya saya kirimkan kepadanya di Sihepeng. Sampai sekarang, foto asli itu dipajang
di rumahnya seperti kebiasaan orang memajang foto wisuda anaknya.

Penelusuran tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan di Mandailing, Buyung Siregar, Muhiddin Nasution,


Abul Kosim dan Kamaluddin Nasution, adalah merupakan bagian dari penelitian Willem Iskander.
Pasalnya, para tokoh pergerakan itu adalah penghayat sejati sajak-sajak Willem Iskander. Mereka
mampu memetik butir-butir nilai universal dari sajak-sajak Willem Iskander, ialah kemerdekaan,
persamaan dan persaudaraan. Mutiara-mutiara yang terpendam itulah yang mereka angkat dalam
rapat-rapat raksasa anti penjajahan di Mandailing.
Dua tokoh yang berhasil saya wawancarai adalah Buyung Siregar di kediamannya di bilangan Tanah
Tinggi, Jakarta Pusat, dan Muhiddin Nasution di kediamannya di Ciluar, Bogor. Ketika itu, ia adalah salah
seorang anggota DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dari Fraksi Murba.
Sedangkan dua orang lagi sudah wafat ketika penelitian ini dimulai, ialah Abul Kosim meninggal di
Yogyakarta karena penyakit kolera pada tahun 1947, dan Kamaluddin Nasution yang kemudian terkenal
sebagai wartawan senior Malaysia, sepuluh tahun sebagai penulis Tajuk Rencana Utusan Melayu, 1961-
1971, dengan nama Abdurrahman Rahim, juga telah meninggal di Kuala Lumpur pada bulan Januari
1971.

Walaupun demikian, saya terus mencari jejak Kamaluddin Nasution di Kuala Lumpur pada bulan Juni
1978. Saya menemui sahabat seperjuangannya, Ishak bin Haji Muhammad di Utusan Melayu, Kuala
Lumpur. Ishak bin Haji Muhammad yang lebih dikenal dengan nama Pak Sakoh adalah seorang politikus,
sastrawan dan budayawan yang pernah mengasuh acara pembinaan Bahasa Melayu di televisi Malaysia.

Pak Sakoh, membantu saya memperoleh sejumlah dokumen tentang Abdurrahman Rahim dalam arsip
Utusan Melayu di Kuala Lumpur, termasuk telegram Jenderal A.H. Nasution yang berisi berita turut
berduka cita atas wafatnya Abdurrahman Rahim, dan sebuah buku karya Abdurrahman Rahim bertajuk
Jatoh-nya Sa-orang Presiden ialah tentang impeachment Presiden Sukarno. Saya juga berhasil
mewawancarai anak-anak Abdurrahman Rahim di bilangan Datuk Keramat, Kuala Lumpur. Patut
disebutkan, bahwa Muhiddin Nasution dan Kamaluddin Nasution adalah kerabat dekat Jenderal A.H.
Nasution, termasuk Laksamana Mohammad Zain Salleh, mantan Panglima Angkatan Laut Diraja
Malaysia, dan Dubes Kerajaan Malaysia di Australia.

Kamaluddin Nasution selain menjadi koresponden Pewarta Deli yang terbit di Medan, meneruskan
kegiatannya dalam pergerakan politik di Semenanjung. Ia mendirikan Angkatan Pemuda Insyaf (API)
ialah organisasi pemuda Islam militan untuk menentang penjajahan Inggris di Semenanjung.

Kelak Abdurrahman Rahim hadir di Departemen Luar Negeri di Pejambon, Jakarta Pusat ketika
penandatanganan rujuk Indonesia Malaysia mengakhiri Konfrontasi Indonesia Malaysia yang
ditandatangani Adam Malik dari pihak Indonesia dan Tun Abul Razak dari pihak Malaysia, 1966. Tampak
dua orang Mandailing pada foto dokumen peristiwa bersejarah itu, ialah Adam Malik dan Abdurrahman
Rahim yang berasal dari satu kampung, Hutapungkut di Mandailing.

Pelarangan Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk pada tahun 1933 itu disebabkan tokoh-tokoh pergerakan
itu menjadikan sajak-sajak Willem Iskander, sebagai bahan pidato pada rapat-rapat umum anti
penjajahan di Mandailing. Sajak tanah air berjudul Mandailing membuat panas telinga polisi kolonial
ketika itu. Bait 12 sajak ini berbunyi:

Adong alak ruar


Na mian di Panyabungan
Tibu ia aruar
Baon ia madung busungan

Ada orang luar


Yang berdiam di Panyabungan
Cepat ia keluar
Karena perutnya sudah buncit

Orang luar itu diartikan sebagai penjajah yang berdiam di pusat pemerintahan Mandailing Angkola di
Panyabungan. Mereka cepat pergi setelah mengeruk kekayaan Mandailing.

Saya beruntung pernah mewawancarai salah seorang anggota Politieke Inlichtingen Dienst (PID) yang
sering dijuluki orang sebagai polisi rahasia kolonial, yang terlibat dalam penangkapan tiga orang pejuang
kebangsaan itu. Benar, mantan polisi rahasia itu mengaku, bahwa sajak-sajak Willem Iskander membuat
resah pemerintah kolonial. Saya juga menemukan dokumen di dalam arsip PID yang menamakan orang-
orang Partai Indonesia (Partindo) pimpinan Buyung Siregar c.s. sebagai Groep Si Roemboek-Roemboek
Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk berisi 12 sajak, satu dialog dan 7 prosa. Untuk menyegarkan ingatan
pembaca, saya catat di sini judul karangan tersebut sebagai berikut: Sikola, Ajar ni amangna di anakna
na kehe tu sikola, Di danak na mompas godang, Mandailing, Mataniari, Olo-olo, Di amateon ni boruna,
Na mananom na mate, Siakkak dohot landuk, Undan dohot ura-ura, Ama ni Marpuli Odong, Marburu di
bagasan bilik, Angkana dohot angina, Si Baroar, Na binuat tingon barita ni tuan Colombus, Tiruan ni
olong ni roa marangka maranggi, Sada alak pulonta on na mabiar di ahaila, Na dangol muda na so
binoto, Amamate ni alak na lidang dan Pidong garudo bosar.
5. Taringot di ragam-ragam ni parbinotoan dohot sinaloan ni alak Eropa
Buku ini diterjemahkan oleh Willem Iskander kemudian diterbitkan di Batavia pada tahun 1873. Isinya
tentang teknologi Eropa pada abad XIX. Pengaruh buku ini sangat besar dalam memperluas cakrawala
berpikir agar jangan terkurung bagaikan katak di bawah tempurung.
Beberapa uraian yang menarik adalah tentang penerbitan surat kabar, penulisan buku dan pengelolaan
perpustakaan. Seluk beluk penerbitan surat kabar antara lain mencakup cara mencari berita, manfaat
berita, mencetak dan mendistribusikan surat kabar kepada pelanggan dan pembaca lainnya.
Bagaimana cara menulis buku? Jawabannya ada di dalam buku ini, antara lain diawali dengan
penelusuran literatur di perpustakaan, penelitian lapangan dan pengujian data yang ditemukan di
lapangan. Cara pengelolaan perpustakaan kecil sebagai sarana pendidikan di luar sekolah juga diuraikan
di dalam buku ini.
Buku memaparkan teknologi Eropa tentang perkeretaapian, kapal api, penyaluran air minum dan gas ke
rumah-rumah dan industri perkayuan. Selain itu ada uraian tentang astronomi tentaang kejadian tata
surya. Tidak kurang menarik adalah peranan bank dalam memajukan kesejahteraan rakyat, misalnya
tentang manfaat menabung.

6. Soerat otoeran ni porkaro toe oehoeman di bagasan ni goebernemen ni Topi Pastima ni Soematara
Buku ini adalah terjemahan dalam bahasa dan aksara Mandailing dari buku Reglement tot regeling van
het regwezen in het gouvernement Sumatra’s Westkust, diterbitkan di Batavia, 1873, tebalnya 278
halaman. Isi buku ini tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur ketertiban dan keadilan di
dalam masyarakat yang berlaku di wilayah Pantai Barat Sumatera.

7. Ponggol 1a dohot Va ni Soerat otoeran toe pangotoeran saro oehoem dohot parenta ni oehoeman
di Tano Indi Nederland
Buku ini merupakan terjemahan dalam bahasa dan aksara Mandailing dari buku 1ste en Vde Hoofdstuk
van het Reglement op de regterlijke organisatie en het beleid der Justitie tentang administrasi peradilan,
termasuk personalianya di tiap daerah. Buku ini diterbitkan di Batavia, 1874, tebalnya 115 halaman.
Honorarium penerjemahan dua buku hukum itu sebesar 1.700 gulden diterima oleh Willem Iskander di
Amsterdam, pada tahun 1875. Uang sebanyak itu cukup untuk belanja dua tahun. Willem Iskander
memiliki banyak uang, karena selain honorarium itu, ia juga menerima gaji yang cukup besar sebagai
guru kepala Kweekschool.

Para Mentor

Saya menilai Willem Iskander adalah seorang guru yang terlempar jauh ke masa depannya. Karyanya tak
pernah usang, karena ia berbicara tentang perjalanan hidup lahir batin manusia yang universal
(Harahap, 1996:185-227). Orang bertanya, siapa saja gerangan mentor dan inspirator yang telah
menempa Willem Iskander sehingga ia tampil sehebat itu.
Untuk menjawab pertanyaan itu saya catat di bawah ini nama sejumlah orang yang menjadi guru
langsung dan guru spiritual Willem Iskander, ialah:
Alexander Philippus Godon (1816-1899) seorang humanis, liberalis, penganut semboyan Revolusi Prancis
Liberté, Egalité dan Fraternité, Asisten Residen Mandailing Angkola (1848-1857) yang mengangkat
Willem Iskander menjadi guru pada usia 15 tahun dan sekaligus sebagai sekretaris Asisten Residen
Mandailing Angkola di Panyabungan. Godon membawa Willem Iskander ke Negeri Belanda pada bulan
Februari 1857. Godon menyerahkan pendidikan awal Willem Iskander kepada seorang guru bernama
Dapperen di Vreeswijk (1857). Pendidikan ini lebih pada sosialisasi nilai-nilai budaya dan gaya hidup
orang Belanda ketika itu, termasuk etika, cara berpakaian, dll. Pendidikan selanjutnya diserahkan
kepada Guillaume Groen van Prinsterer di Arnhem (1858). Godon menjadi mentor sejati Willem
Iskander sampai akhir hayatnya.

Guillaume Groen van Prinsterer (1801-1876), pemikir besar dalam pendidikan Belanda abad XIX yang
menyusun draft Undang-Undang Pendidikan Belanda 1857. Ia penganut warisan pemikiran politik zaman
kecerahan, Aufklärung di Jerman.
Semboyan perjuangan Groen adalah semboyan Revolusi Prancis Liberté, Egalité dan Fraternité. Groen
seorang liberalis sahabat kental Thorbecke, pejuang hak-hak asasi yang terkenal itu.
Pada usia 22 tahun Groen lulus dengan judisium summa cum laude di Universitas Leiden, untuk dua
disertasi sekaligus. Disertasi pertama, hasil studinya di Fakultas Sastra dan Filsafat tentang prosografi,
ialah uraian tentang tokoh-tokoh sejarah dan pemikirannya yang hidup di sekitar filsuf Yunani, Plato.
Disertasi kedua, hasil studinya di Fakultas Hukum tentang kodifikasi Justinianus.
Jasa paling besar Groen adalah dalam pembenahan arsip Dinasti Oranje berjudul Archives de la maison
d’Oranje-Nassau yang jilid pertamanya terbit 1835. Salah satu perjuangannya ialah berusaha keras
menyadarkan pemerintahnya untuk membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan.
Karier politiknya sebagai negarawan bermula pada usia 26 tahun ketika Willem I mengangkatnya
menjadi anggota kabinet, kemudian sebagai sekretaris kabinet. Setelah empat tahun menduduki jabatan
itu, Willem I mengangkatnya menduduki jabatan yang sangat bergengsi, menjadi anggota Raad van
State, Dewan Negara, di mana ayahnya Dr. Petrus Jacobus Groen, juga duduk sebagai anggota. Ini
merupakan satu-satunya peristiwa dalam sejarah Belanda, seorang ayah dan anaknya menjadi anggota
Raad van State.
Dr. Petrus Jacobus Groen, seorang cendekiawan Belanda yang diangkat oleh Willem I menjadi Komisaris
Kesehatan Republik Bataaf, 1804, kemudian Inspektur Kesehatan. Dr. Petrus adalah dokter pribadi raja
Willem I. Sesudah Belanda merdeka dari Prancis, Dr. Petrus menjadi dokter pribadi raja Lodewijk
Napoleon.
Berkat jasa-jasa baik Groen, maka Raja Willem III pada bulan Januari 1859 mengeluarkan beslit
pemberian beasiswa kerajaan kepada Willem Iskander untuk meneruskan pendidikan guru di
Amsterdam. Seterusnya, setelah melakukan pembicaraan antara Godon, Prof. Millies dan Menteri
Urusan Jajahan, J.J. Rochussen, maka ditetapkan pengaturan administrasi pemberian beasiswa itu
dengan melibatkan Menteri Urusan Jajahan, J.J. Rochussen, Menteri Keuangan Van Hall dan Prof.
Milllies.

Prof. Henricus Christiaan Millies (1810-1868) guru besar filsafat, bahasa dan sastra Timur di Universitas
Utrecht yang mengurus biaya hidup dan pendidikan Willem Iskander (1859-1861), dengan cara terlebih
dahulu mengeluarkan uang pribadinya yang dapat ditagihnya kembali di kas negara setiap triwulan.
Prof. Millies lah yang menggagas pengiriman Herman Neubronner van der Tuuk ke Tanah Batak dan Dr.
B.F. Matthes ke Tanah Bugis di Sulawesi Selatan, untuk mempelajari kedua bahasa dan aksara suku
bangsa itu.

Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar, raja ulama yang kharismatik primus inter pares raja-raja
Mandailing (wafat 1866), keluarga dekat Willem Iskander. Tokoh ini banyak disebut-sebut oleh Multatuli
di dalam karya monumentalnya Max Havelaar.

Multatuli (1820- 1887) menjadi inspirator Willem Iskander dalam penulisan sajak dan prosa satiris, dan
aforisme, ialah pernyataan yang padat dan ringkas tentang sikap hidup atau kebenaran umum, yang
khas dalam karya-karya Multatuli. Multatuli kembali ke Negeri Belanda tahun 1855 dan wafat di desa
kecil Nieder-Ingelheim, dekat Wiesbaden, Jerman, tanggal 19 Februari 1887.

Dirk Hekker Jr. (1823-1906) dianggap oleh Willem Iskander sebagai kawan, guru dan orang tua. Dirk
Hekker Jr. adalah guru kepala Oefenschool di Amsterdam. Willem Iskander tinggal hidup di dalam
keluarga Dirk Hekker Jr. selama 3 tahun, awal 1859 s.d. Juli 1861. Willem Iskander belajar mengelola
sekolah guru kepada tokoh pendidikan guru Belanda abad XIX itu.

Mr. J.A. van der Chijs (1831-1905), Inspektur Pendidikan Bumiputera yang menjadi sahabat Willem
Iskander dalam pengembangan pendidikan guru bumiputera. Van der Chijs mengunjungi Willem
Iskander di Tanobato selama tiga hari bulan Juni 1866. Kekentalan persahabatan mereka dapat dilihat
dalam beberapa polemik tentang Willem Iskander yang melibatkan juga Van der Chijs. Ia menulis nama
samaran Vriend van Iskander pada akhir tulisan-tulisannya dalam berbagai surat kabar pada tahun 1876.

Joost van den Vondel (1587-1679) penyair Belanda abad XVII sebagai inspirator penulisan karya bertema
perjalanan hidup manusia. Van den Vondel adalah penyair legendaris Belanda abad XVII. Sampai kini tak
seorang pun penyair Belanda yang menandinginya. Karya-karyanya berupa naskah drama dan puisi
sampai kini masih dikenal oleh orang Belanda.

Jacob van Oosterwijk Bruyns (1794-1876) penyair Belanda abad XIX, seorang penyair yang sangat kuat
dalam penulisan karya-karya bersifat parodi. Penyair ini adalah inspirator bagi Willem Iskander dalam
penulisan prosa dan puisi bersifat parodi, misalnya Marburu di bagasan bilik yang saya terjemahkan
menjadi “Berburu di Dalam Bilik” yang gagasannya sama dengan Kamerjacht karya Jacob van Ooterwijk
Bruyns.

Jika disimak nama para mentor dan inspirator Willem Iskander, maka layaklah Willem Iskander tampil
sebagai orang yang luar biasa dalam sejarah pencerahan bangsa Indonesia.

Adalah tepat penilaian Pramudya Ananta Toer pada catatan kaki bukunya Panggil Aku Kartini Saja,
bahwa Willem Iskander adalah satu keajaiban Indonesia abad XIX.
Willem Iskander menerima Piagam Hadiah Seni ad postuum dari Pemerintah Pusat melalui Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Daoed Joesoef, pada tanggal 15 Agustus 1978. Teks Piagam Hadiah Seni
itu menyebutkan bahwa pemberian Piagam Hadiah Seni ini sebagai penghargaan Pemerintah atas
jasanya terhadap Negara sebagai sastrawan Mandailing, Sumatera Utara.

Inilah pengakuan Pemerintah Pusat kepada Willem Iskander terhadap jasa-jasanya yang luar biasa dalam
mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia melalui gerakan pencerahan melalui pendidikan dan
karya-karyanya.

Tidak kurang dari 25 tulisan saya berupa makalah-makalah, ceramah dan tulisan yang dimuat berbagai
media masa sejak 1975, untuk memberikan pencerahan terhadap apa dan siapa Willem Iskander.
Alhamdulillah tulisan-tulisan itu seolah telah menjadi milik masyarakat, dikutip orang dalam tulisan-
tulisan berupa artikel, skripsi dan tesis. Ada yang rela menyebutkan bahwa informasi itu berasal dari
penelitian saya. Tetapi tidak sedikit yang enggan melakukannya, walaupun sangat gamblang kata-kata
yang mereka tulis tidak lebih dari kopian dari kalimat-kalimat saya. Sekiranya mereka adalah penulis
yang mengetahui etika tulis menulis, niscaya mereka menyebutkan tulisan saya sebagai sumbernya.
Sikap seperti itu pastilah tidak mengurangi martabatnya sebagai penulis.

Alhamdulillah penelitian yang melelahkan ini telah berhasil memperkenalkan kembali Willem Iskander
kepada bangsa Indonesia. Sebuah buku berukuran A4, berisi hasil penelitian tentang Willem Iskander,
sedang saya tulis yang akan memuat sejumlah reproduksi dokumen penting dalam penelitian ini. ***

Mandailing karya Willem Iskander

by admin | Apr 26, 2014 | Willem Iskander |

O, Mandailing Godang,
Tano ingananku sorang,
Na niatir ni dolok na lampas,
Na nijoling ni dolok na martimbus,
Ipulna na laing bubus,

Tor Sihite tingon julu,


Patontang dohot tor Barerang,
Gurung-gurungna manompi Lubu,
Bohina mangadop tu dolok Sigantang,

Muda hutalihon tu utara,


Laho manindo tu irsanya,
Jonjong ma huida Lubuk Raya,
Asa manjoling dolok,
Muda hutindo tingon Bania,
Hutatap ma aek ni Batang Gadis,
Mangelduk-elduk dalannia,
Atir hamun Györ marbaris,

Jaru pe ia aek na raja,


Na suntut godang jaotanna,
Timbal bondar panombar saba,
Tusi ma da muarana,

O na marsaba na bolak,
Muda disabur ho sajual same,
Dapot ho ma onom pulu jual mulak,
Ho ma na garang manggadis eme,

Na tumbur ma nian tanomu,


Tai laing tong do ho longang,
Jaru momo pe dibaen ho suan-suanan mangolu,
Inda ra halak tu ho mardagang,

Aha ma rohai tue,


Dalanna so nada rami?
Dokkon ma hubege,
Anso torang di rohanami,

Ia di jae ni Batang Angkola,


Taringot tu Aek Godang,
Songon na muntul ia mulak,
Baon sompit buluson tu Batang Singkuang,

Muda ro sirumondop udan,


Magodang ma batang ni aek,
Dibaen sompit hadabuan,
Jadi tu darat doma manaek,

I ma da dongan dalanna,
Anso jadi bonca-bonca,
Holas na haruar tingon bagasanna,
Arun sajo do diobansa,

Adong halak ruar,


Na mian di Panyabungan,
Tibu ia haruar,
Baon ia Madang busungon,
Inda ale hum i sajo,
Dalan ni jagal ngada manjadi,
Tai adong dope dabo,
Tor pangolat ngada tarbolus padati,

Tai jara songon i ba,


Dengganmu sai hurang,
Nada ho huparmuda ba,
Angke di son ma huida parjolo ari torang,

Tingla ma ho jolo ale,


Anta piga taon nada huboto,
Muda huida ho mulak muse,
Ulang be nian sai maoto,

Laho hita marsarak,


Marsipaingot dope au di ho,
Ulang lupa paingot danak,
Manjalahi bisuk na peto,

(Willem Iskandar, Sibulus-bulus Sirumbuk-rumbuk, tingon Adian Bania)

Sajak ini telah diterjemahkan oleh Basyral Hamidi Harahap ke dalam Bahasa Indonesia dalam
bukunya “ Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-rumbuk” edisi dwibahasa cetakan 1989, sebagai berikut:

O Mandailing Raya!
Tanah tempatku dilahirkan
Yang diapit gunung yang tinggi
Yang ditatap gunung berasap
Asapnya mengepul terus

Gunung Sihite di hulu


Berhadapan dengan Gunung Barerang
Punggungnya mendukung Lubu
Keningnya menghadap Gunung Sigantang

Jika kupandang ke utara


Sambil menatap ke timur laut
Kulihat tegak Lubuk Raya
Dan mengerling Gunung  Malea

 
Jika kupandang dari Bania
Kulihat air Batang Gadis
Berkelok-kelok alirannya
Kiri kanan juar berbaris

Biarpun ia sungai yang keruh


Besar sekali manfaatnya
Segenap saluran penyiram sawah
Ke sanalah muaranya

O pemilik sawah yang luas


Jika kau tabur sebakul benih
Kau peroleh enam puluh bakul kembali
Kaulah yang paling sering menjual padi

Sungguh subur tanahmu


Tapi kau masih saja diam
Sekali pun mudah membuat tanaman bertumbuh
Orang tidak datang berdagang kepadamu

Apakah gerangan
Sebabnya tidak ramai?
Katakan biar kudengar
Agar jelas hati kami

Dihilir Batang Angkola


Menyinggung Aek Godang
Seolah berbalik ia kembali
Karena sempitnya aliran ke Batang Singkuang

Jika hujan turun


Sungai pun banjir
Karena sempitnya muara
Jadi ke daratlah melimpah

 
Itulah sebabnya
Maka banyak rawa-rawa
Uapnya keluar dari dalam
Pasti demam yang dibawanya

Ada orang luar


Yang berdiam di Penyabungan
Cepat ia keluar
Karena perutnya sudah buncit

Bukan hanya itu


Penyebab dagang tidak berhasil
Tapi masih ada lagi
Tor Pangolat tak dapat dilalui pedati

Tetapi sekali pun begitu


Kebaikanmu masih kurang,
Kau tidak kusia-siakan
Sebab di sinilah mula-mula kulihat hari terang

Tinggallah sayang
Entah berapa tahun aku tak tahu
Jika aku melihat kau kembali
Janganlah lagi tetap bodoh

Ketika kita berpisah


Aku masih berpesan padamu
Jangan lupa menasihati anak
Mencari ilmu yang benar

Willem Iskander
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Willem Iskander
Lukisan Willem Iskander, 1874 di Bagas Godang Pidoli
sebelum ia berangkat ke Belanda kedua kali

Sati Nasution
Lahir 1840
Pidoli Lombang, Hindia Belanda

1876
Meninggal
Amsterdam, Belanda

Tempat
Zorgvlied Begraafplaats, Amsterdam
peristirahatan

Suku Mandailing

-Penulis
Dikenal karena
-Tokoh Pendidikan di Mandailing

Pendiri Sekolah Kweekschool Voor


Karya terkenal Inlandsche Onderwijers Tano Bato
(1862-1874)

Agama Kristen

Pasangan Maria Christina

Orang tua Raja Tinating Nasution dan Si Anggur

-Sutan Soripada
Kerabat -Sutan Kumala
-Sutan Kasah
Willem Iskander (lahir tahun 1840 – meninggal tahun 1876) adalah tokoh pendidikan dari
daerah Mandailing Natal, Sumatera Utara, Indonesia. Willem merupakan pujangga bahasa yang
menyair tentang pendidikan dan cinta kampung halaman.

Daftar isi
 1 Latar belakang
 2 Pendidikan
 3 Pengabdian
 4 Keluarga
 5 Pengabadian
 6 Penghargaan
 7 Petikan Sastra
 8 Referensi
 9 Catatan kaki

Latar belakang
Dilahirkan dengan nama Sati Nasution, gelar Sutan Iskandar, nama yang tertulis dalam akta
kelahiran (acte van bakenheld), Surat, belsit, piagam dan surat nikah, Willem Iskander (Nama
sesudah ia dibaptis di Arnhem, 1858) lahir di Pidoli, Mandailing Natal. Ia genenerasi ke 11 dari
Klan Nasution. Ia anak bungsu dari empat bersaudara.

Pendidikan
Ia mengawali pendidikannya di Sekolah Rendah (Inlandsche Schoolan) di Panyabungan Kota,
Mandailing Natal (1853-1855). Februari 1857 ia berangkat ke Belanda bersama Alexander
Philippus Godon, Asisten Resident Mandailing-Angkola untuk melanjutkan Sekolahnya.
Pertama ia belajar di Vreeswijk, supaya bisa melanjutkan ke sekolah guru. Ia dibantu oleh A
P.Ghodon dan Prof. H.C. Milles (Guru Filsafat, Sastra dan Budaya timur di Utrecht) untuk
mendapatkan beasiswa dari Kerajaan Belanda, meski mendapat tantangan dari parlemen
Kerajaan karna dianggap Kristenisasi dalam pembiayaan pendidikan, tapi Prof. H.C. Milles
berhasil meyakinkan anggota Parlemen. Willem akhirnya dapat beasiswa di Sekolah Guru
(Oefenschool). Ia lulus dan mendapat ijazah Guru bantu (Hulponderwijzer) 5 Januari 1859.

Tahun 1874 ia pergi Melanjutkan pendidikannya ke Belanda kedua kali untuk mendapatkan
Ijasah Guru Kepala Sekolah (Hoofdonderwijzer). Ia berangkat bersama Benas Lubis (Muridnya),
Raden Mas Sunarso dari Kwekschool Surakarta, Mas Ardi Sasmita dari Majalengka.

Pengabdian
Setelah lulus Sekolah Rendah di usia 15 tahun, ia diangkat menjadi Guru di Sekolahnya
tersebut , ia juga bekerja sebagai jurutulis bumiputra (Adjunct inlandsche sehrijfer) di kantor
resident Mandailing-Angkola, menggantikan Haji Nawi yang dipecat.
Sekembalinya dari Belanda tahun 1861 di Batavia, Ia menemui Gubernur Jenderal Mr. Ludolf
Anne Jan Wilt Baron Sloet Van Den Balle untuk mengutarakan niatnya mendirikan Sekolah
Guru di Mandailing, Keinginan Willem tersebut di setujui dengan memberikan surat
rekomendasi kepada Van Den Bosch (Gubernur Pantai Barat Sumatera), Resident Mandailing-
Angkola, Kontrolir, Pejabat-pejabat daerah untuk membantu dan mendirikan sekolah tersebut.
Atas dukungan pemerintah Belanda dan Kepala-kepala Kampung, tahun 1862 Willem
mendirikan Sekolah Guru (Kweekschool) di Tano Bato secara swadaya dengan gedung sekolah
yang sangat sederhana, Tano Bato merupakan Gudang Kopi Pemerintah Hindia Belanda. Willem
melakukan terobosan gerakan pencerahan (Aufklarung) melalui pendidikan di Mandailing-
Angkola, khususnya di Mandailing Orientasi, Cakrawala, Penalaran, Idealisme, dan Semangat
pembaharuan di Mandailing.

Tahun 1874, Sekolah yang ia dirikan ditutup dan dipindahkan ke Padangsidempuan karena Ia
pergi ke Belanda melanjutkan sekolah untuk mendapatkan Ijazah Guru Kepala.

Keluarga
Ia menikah dengan Maria Jacoba Christina Winter 27 Januari 1876. Usia pernikahannya hanya
103 hari dan tidak mempunyai keturunan, karena sakit ia meninggal dunia tahun 1876.[1]

Pengabadian
Willem Iskander diabadikan sebagai nama jalan di Mandailing Natal dan di Medan. Selain itu
merupakan nama sebuah SMK di Mandailing Natal, dan nama Sanggar Seni di Tebet, Jakarta
Timur.

Penghargaan
 Willem Iskander mendapat penghargaan Hadiah Seni dalam rangka memperingati Hari
Pendidikan Nasional 1978, KEPRES No 101/M/Tahun 1978.

Petikan Sastra
Karya Sastra Willem Iskander dalam Bahasa Mandailing yang di terjemahkan oleh Basyral
Hamidy Harahap ke dalam Bahasa Indonesia :

Adong halak ruar


Na mian di Panyabungan
Tibu nian ia aruar
Harana boltok madung busungan

(Indonesia)
Ada orang luar
Yang berdiam di Panyabungan
Moga cepat ia keluar
Karena perutnya sudah Buncit

Laho hita marsarak


Marsipaingot dope au
Ulang lupa paingot danak
Manjalaki bisuk napeto

(Indonesia)
Saat kita akan berpisah
Aku berpesan kepadamu
Jangan lupa mengingatkan anak
Agar selalu mencari kebenaranWillem Iskandar : Tokoh Pendidikan Nasional "Yang
Terlupakan"
Diterbitkan Oleh BIN HAKIM

 
           
Willem Iskandar, seorang tokoh pendidikan berskala nasional, jauh sebelum Ki Hajar
Dewantara mendirikan Taman Siswa, beliau sudah mendidirikan lembaga pendidikan untuk
menghasilkan guru-guru, yang berbasis kerakyatan (1862). Selain seorang seniman, penulis
dan tokoh publik pada massa itu, beliau juga seorang cendikiawan pertama dari tanah Batak
yang menempuh pendidikan formal hingga ke Netherland (tahun 1857). Williem Iskandar dilihat
dari study literature dicerminkan sebagai seorang tokoh yang sederhana walaupun secara
genetic beliau adalah darah biru.

            Dalam sejarah pendidikan nasional, nama Willem Iskandar tercatat secara local tidak
banyak yang mengetahui sejarah beliau secara nasional bahkan di sumatera utara pun banyak
yang tidak mengenal sosok yang satu ini. Mungkin penyebabnya nama beliau tidak dimasukkan
dalam kurikulum sejarah nasional sebagai seorang pahlawan nasional.

Siapakah Willem Iskandar?

WILLEM ISKANDAR,  Seorang putera raja, budayawan sekaligus sastrawan yang aktif
berjuang menanamkan dasar-dasar semangat pembaharuan di bidang pendidikan ala Barat
dan pemikiran yang pragmatis.  Sebagai penyair ia disebut-sebut 60 tahun mendahului
Pujangga Baru.  Pantunnya tak terikat oleh bentuk sajak tertentu. Pada tahun 1978 ia
mendapatkan penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Willem Iskandar lahir pada bulan Maret 1840 di Pidoli Lombang, Tapanuli Selatan.
Nama kecilnya Sati, ia  anak bungsu Raja Tinating, Tapanuli Selatan.  Sati mendapat
pendidikan ala Barat  di Sekolah Rendah Panyabungan.  Sekolah ini didirikan Alexander
Philipus Godon, seorang berkebangsaan Belanda yang bertugas sebagai kontrolir atau asisten
presiden di Mandailing.  Sebagai kontrolir ia harus menjalin hubungan baik dengan Raja
Tinating agar tugasnya lancar.  Sekolah Panyabungan itulah yang digunakan Godon untuk
mendapatkan perhatian raja-raja setempat.  Guru-gurunya terdiri dari orang-orang Melayu.

Baginda Mangaraja Enda, generasi III Dinasti Nasution, mempunyai tiga orang isteri
yang melahirkan raja-raja Mandailing. Isteri pertama boru Lubis dari Roburan yang melahirkan
putera mahkota Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar. Baginda Mangaraja Enda
menobatkan Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar menjadi raja di Hutasiantar
dengan kedudukan yang sama dengan dirinya.

Isteri kedua, boru Hasibuan dari Lumbanbalian yang melahirkan empat orang putera
yang kelak menjadi raja. Mereka adalah Sutan Panjalinan raja di Lumbandolok, Mangaraja Lobi
raja di Gunung Manaon, Mangaraja Porkas raja di Manyabar dan Mangaraja Upar atau
Mangaraja Sojuangon raja di Panyabungan Jae. Isteri ketiga, boru Pulungan dari Hutabargot
yang melahirkan dua orang putera, ialah: Mangaraja Somorong raja di Panyabungan Julu dan
Mangaraja Sian raja di Panyabungan Tonga.

Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar menobatkan tiga orang puteranya
menjadi raja, masing-masing Baginda Soalohon raja di Pidoli Lombang, Batara Guru raja di
Gunungtua, dan Mangaraja Mandailing raja di Pidoli Dolok.

Penobatan tiga putera Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar itu dilakukan
menyusul pemberontakan yang dilancarkan raja-raja di tiga daerah tersebut terhadap Baginda
Mangaraja Enda. Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar berhasil memadamkan
pemberontakan terhadap ayahandanya itu. Sementara itu raja- raja yang berontak eksodus
bersama sebagian rakyatnya ke daerah pantai dan pedalaman Pasaman.

Ada tiga tokoh penting dalam generasi XI Dinasti Nasution. Pertama, Sutan Kumala
Yang Dipertuan Hutasiantar, yang biasa disingkat menjadi Yang Dipertuan. Tokoh ini dikenal
sebagai raja ulama yang namanya banyak disebutkan oleh Multatuli di dalam karyanya Max
Havelaar. Belanda menjulukinya Primaat Mandailing. Yang Dipertuan membantu kompeni
melawan pasukan Paderi. Tokoh inilah yang bekerjasama dengan Asisten Residen Mandailing
Angkola, 1848-1857,

Alexander Philippus Godon (1816-1899), merancang dan membangun mega proyek


jalan ekonomi dari Panyabungan ke pelabuhan Natal sepanjang kl. 90 kilometer. Kedua, Sutan
Muhammad Natal, yang banyak disebut Multatuli di dalam Max Havelaar dengan nama Tuanku
Natal, seorang raja Natal yang muda dan cerdas, sahabat karib Multuli ketika menjabat Kontrolir
Natal (1842-1843). Ketiga, Sati gelar Sutan Iskandar ialah tokoh kita, Willem Iskander, yang
lahir di Pidoli Lombang pada bulan Maret 1840. Tuanku Natal dan Willem Iskander adalah cucu
langsung dari Sutan Kumala Porang, raja Pidoli Lombang.

Pada usia 13 tahun, 1853, Sati masuk sekolah rendah dua tahun yang didirikan Godon
di Panyabungan. Begitu lulus, 1855, Sati diangkat menjadi guru di sekolahnya. Barangkali
Willem Iskander lah guru formal termuda, 15 tahun, dalam sejarah pendidikan Indonesia. Pada
saat yang sama ia juga diangkat oleh Godon menjadi juru tulis bumiputera (adjunct inlandsch
schrijfer) di kantor Asisten Residen Mandailing Angkola di Panyabungan. Jabatan guru dan juru
tulis itu dijabatnya dua tahun, menggantikan Haji Nawawi yang berasal dari Natal, sampai
menjelang keberangkatannya ke Negeri Belanda bersama Godon, Februari 1857.
Salah satu penemuan saya tentang riwayat hidup Willem Iskander adalah Acte van
bekenheid, ialah Surat Kenal sebagai pengganti Akte Kelahiran. Dokumen inilah antara lain
yang saya pamerkan pada acara peringatan 100 tahun wafatnya Willem Iskander tanggal 8 Mei
1976 di Geliga Restaurant, Jln. Wahid Hasyim 77C, Jakarta Pusat. Sejak itu masyarakat
mengetahui tarikh kelahiran Willem Iskander, ialah pada bulan Maret 1840 di Pidoli Lombang,
Mandailing Godang. Ibunya Si Anggur boru Lubis dari Rao-rao dan ayahnya Raja Tinating, Raja
Pidoli Lombang. ( lihat tulisan Basyral Hamidy Harahap dalam Waspada, Rabu, 18 Mei
1977/Jumadil Awal 1397H  )

Akte ini dibuat oleh sejumlah orang yang memberikan kesaksian tentang kelahiran
Willem Iskander, ialah Arnoldus Johannes Pluggers amtenar diOnderafdeeling Groot
Mandailing en Batang Natal, Johannes Hendrik Kloesman berusia 50 tahun amtenar yang
berdiam di Tanobato, dan Philippus Brandon usia 40 tahun amtenar yang berdiam di
Muarasoma. Akte bertanggal 28 Februari tahun 1874 ini ditandatangani oleh tiga amtenar
tersebut, kemudian dilegalisasi oleh Residen Tapanuli, H.D. Canne, di Sibolga. Seterusnya akte
ini dilegalisasi lagi oleh Sekretaris. Ministerie van Kolonien, Henney, di Den Haag pada tanggal
7 Juni tahun 1876.

Nama Sati Nasution gelar Sutan Iskandar adalah nama yang dicantumkan di dalam teks
Acte van Bekenheid. Nama Willem Iskander diberikan kepadanya ketika dia masuk Kristen di
Arnhem pada tahun 1858, setahun sebelum ia belajar diOefenschool di Amsterdam.
Seterusnya, nama Willem Iskander dipakainya di dalam karyanya, surat-surat, beslit, piagam,
surat nikah dll. Jadi adalah salah kalau orang menulis namanya menjadi Willem Iskandar, yang
benar adalah Willem Iskander.

Kecerdasan Sati menarik perhatian Godon.  Ketika tiba masa remaja Sati mendapat
gelar Sutan Iskandar,  dan ia diangkat anak oleh keluarga Godon.   Saat itu usianya menginjak
tahun ke-13.  Pada tahun 1857 Sutan Iskandar diboyong keluarga angkatnya ke Negeri
Belanda.

Di Belanda namanya berubah menjadi Willem Iskandar, dan ia masuk ke Oetenschool,


sebuah sekolah guru.  Salah satu gurunya Prof. H.S. Milles adalah ahli bahasa dan sastra
Timur.  Ia berhasil membangkitkan minat Willem Iskandar untuk mempelajari bahasa dan sastra
Timur khususnya bahasa, huruf dan sastra Batak Mandailing.
Willem berhasil menamatkan pendidikannya pada tahun 1860, dan tak lama kemudian
kembali ke tanah air.  Pekerjaan pertamanya adalah menjadi guru bantu di Sekolah Rendah
Panyabungan, almamaternya dulu.  Pada tahun 1862 ia mendirikan sekolah guru di Tanobate,
yang guru-guru dan fasilitas sekolahnya banyak didukung oleh profesional asal Belanda.
Pelajaran pokok di sekolahnya adalah fisika, matematika, bahasa Melayu dan Belanda,
sedangkan ekstra kurikulernya antara lain pelajaran sejarah tanah air.

Willem mendidik pribadi-pribadi mandiri yang mampu membuat esei dan mahir menulis
surat dalam Bahasa Melayu maupun Belanda. Penguasaan  bahasa dimaksudkan agar
muridnya memiliki pengetahuan luas, dan kelak mereka  bisa menjadi guru sekaligus
pengarang.  Berkat kegigihannya itu Willem telah meletakkan dasar-dasar pendidikan Eropa
untuk kemajuan kaum pribumi di mada depan.  Kendati disibukkan oleh urusan belajar
mengajar, Willem terus mengembangkan kemahirannya menciptakan karya sastra disamping
melakukan penerjemahan karya sastra Belanda.

Willem Iskander bukan secara kebetulan menjadi pengarang, akan tetapi ia adalah hasil
tempaan dari pendidikan formal dan informal, serta pengalaman tak terbatas dan bacaan yang
luas pula. Intelektualitasnya yang tinggi, kepekaannya terhadap segala sesuatu yang bergerak
di alam ini, dan kehausannya terhadap ilmu menyebabkan ia tumbuh dan berkembang. Ia hidup
dalam dua dunai. Dunia sekitarnya yang masih terbelakang dan dunia intelektual yang amat
maju di depan. Ia sungguh terlempar ke masa depan yang amat jauh.

Dalam situasi seperti itu ia tidak frustrasi, tetapi justru ia merasa bersyukur berada
dalam lingkungan masyarakat yang terbelakang untuk kemudian dibangkitkannya dengan
tekun. Ia bekerja melalui sekolah dan karangan-karangannya. Sebelum ia mengarang tentu
saja ia telah terlebih dahulu membekali dirinya dengan pengetahuan yang antara lain
diperolehnya melalui bacaan. Dalam hal ini karya-karya Munshi Abdullah dan Multatuli
merupakan bacaannya yang utama, ini dapat difahami, karena sebagian besar karya-karya
Abdullah telah terbit sebelum Willem Iskander lahir dan beberapa diantaranya terbit ketika ia
kanak-kanak.

Kepergiannya ke negeri Belanja untuk belajar, 1857-1861, memberi peluang yang amat
luas baginya untuk membaca sebanyak-banyaknya karja-karja Abdullah yang tersedia disana.
Telah diketahui bahwa peranan Abdullah dalam sejarah kesusastraan Melayu/Indonesia amat
besar berupa kepeloporannya dalam melepaskan diri dari tradisi kesusastraan lama yang masih
hidup di sekitar istana. Sekalipun Abdullah belum dapat lepas sama sekali dari tradisi itu, ia
ternyata telah meninggalkan kehidupan istana. Isi karya-karya Abdullah telah membicarakan
hal-hal yang hidup dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, ia menentang setiap kezaliman
dan sekaligus memperhatikan pendidikan pribumi.

Munshi Abdullah berdarah Arab-Keling, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang


terpelajar. Masa mudanya digunakan untuk belajar bahasa Arab, Tamil, Inggeris dan Melayu
serta agama Islam. Kemudian ia bekerja di suatu percetakan di Malaka. Karier selanjutnya
antara lain sebagai juru bahasa di kantor Raffles. Pergaulannya yang luas dengan orang-orang
barat menempanya menjadi seorang yang berfikir rasionil lepas dari ketahyulan. Kepribadian
Abdullah seluruhnya tergambar dalam karangan-karangannya yang amat mengesankan.
Kehadiran pengaruh Abdullah dalam karangan-karangan Willem Iskander dapat dirasakan
terutama yang bertema pendidikan, ketuhanan dan kritik sosial, dan terasa adanya warna
kepribumian yang memperjuangkan bangsa sendiri.

Kumpulan prosa dan puisinya dimuat dalam buku Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk


yang telah mulai ditulis sejak tahun 1869.  Isinya penuturan Willem perihal sikap luhur manusia
di sisi Tuhan.   Willem juga menciptakan karya-karya sastra yang mendobrak kehidupan
feodalistis dengan penuturan yang humoris.  Ini tentu saja tak disukai oleh keluarganya yang
berdarah bangsawan.  Akibatnya, Willem tak mendapat tanah warisan secuilpun. Namun
pengorbanan Willem itu tak sia-sia.  Pada akhirnya ia justru mampu membangun masyarakat
Tapanuli Selatan menjadi pribadi-pribadi yang kreatif, gemar belajar dan bekerja keras, kritis
dan memiliki semangat nasionalisme yang luar biasa yang otomatis menempatkan sukuisme
jauh di bawah rasa kebangsaan.

Berkat Willem, rakyat biasa mulai mampu melancarkan protes terhadap penjajahan
melalui pantun ataupun prosa.  Pantun atau ende-ende bernada protes terhadap ketidakadilan
itu  biasanya digelar di tengah keramaian, di areal kebun kopi atau sawah saat orang-orang
sedang berkeringat dalam sebuah kerja rodi.  Ia wafat tahun 1876, namun baru pada tanggal 15
Agustus 1978 Willem Iskandar mendapatkan penghargaan dalam bidang seni dari Menteri
Pedidikan dan Kebudayaan.  Penerimanya, ahli warisnya yang khusus datang dari tanah Pidoli
Lombang.   Karya  Si Hendrik Yang Baik Hati karya terjemahan pertama yang dilakukan Willem
dari buku berbahasa Belanda yang berjudul De Brave Hendrik karya Gonggrijp.

Pertemuan Willem Iskander dengan Munshi Abdullah dan Multatuli


Kepeloporan Willem Iskander dalam sejarah pendidikan di Indonesia tidak dapat
diragukan lagi. Hal ini bukan saja telah terbukti dalam arsip-arsip abad yang lalu, tetapi juga
telah diulas orang dalam karangan ilmiah, dalam disertasi, bahkan telah dicanangkan oleh
berbagai mass media di Jawa dan Belanda satu abad yang lalu. Ia terpendam begitu lama, dan
sekarang penulis sedang sibuk mengadakan penelitian tentang tokoh ini untuk membuka tabir
masa silamnya yang selama ini masih gelap.

Willem Iskander bukan saja menjadi guru di kelas, tetapi ia juga benar-benar menjadi
pelopor modernisator, yang berusaha keras memerangi keterbelakangan bangsa melalui
kontaknya yang akrab dengan masyarakat di sekitarnya. Tano Bato di kaki gunung Sorik Marapi
tumbuh sebagai pusat modernisasi satu abad yang lalu, dari tempat ini Willem Iskander
mencetak banyak cendekiawan muda yang kemudian tersebar ke pusat-pusat pemerintahan di
Sumatra. Ia bukan saja mencetak cendekiawan guru, tetapi sekaligus menghasilkan guru
pengarang, seperti dirinya.

Di Kweekschool Tanobato, Willem Iskander juga mengajar kesusastraan Melayu. Dalam


matapelajaran ini ia mewajibkan kepada murid-muridnya untuk membaca dan memahami
"Panja tandaran yaitu hikayat Kalillah dan Daminah". Karya ini diterjemahkan oleh Abdullah bin
Abdul Kadir Munsyi dengan bantuan sahabatnya Tambi Muttu Virabattar di Malaka, dan
diterbitkan pada tahun 1838. Pengajaran kesusastraan Melayu yang diberikan oleh Willem
Iskander pada ketika itu, mutunya sudah tinggi. Murid-muridnya sama sekali tidak mengalami
kesukaran untuk memahami karangan-karangan berbahasa Melayu, karena bahasa dan
kesusastraan Melayu merupakan salah satu matapelajaran yang penting disamping bahasa
Mandailing dan bahasa Belanda. Dari kemampuan berbahasa ini, murid-muridnya memiliki
cakrawala yang luas. Mereka kemudian bukan saja menterjemahkan dan menyadur, tetapi juga
mengarang sendiri. Kemampuan mengarang dan menterjemahkan murid-muridnya, dibinanya
antara lain dengan memberikan tugas-tugas sekolah untuk menterjemahkan karya-karya yang
mereka senangi, yang kamudian dibicarakan bersama sebelum siap untuk diterbitkan. Karya-
karya mereka ini tidak terbatas pada bahasa dan sastra, tetapi juga dihasilkan buku pelajaran
berhitung yang kemudian dipakai di sekolah rendah pada ketika itu.

Willem Iskander bukan secara kebetulan menjadi pengarang, akan tetapi ia adalah hasil
tempaan dari pendidikan formil dan informil, serta pengalaman yang luas dan bacaan yang luas
pula. Intelektualitasnya yang tinggi, kepekaannya terhadap segala sesuatu yang bergerak di
alam ini, dan kehausannya terhadap ilmu menyebabkan ia tumbuh dan berkembang. Ia hidup
dalam dua dunai. Dunia sekitarnya yang masih terbelakang dan dunia intelektuil yang amat
maju di depan. Ia sungguh terlempar ke masa depan yang amat jauh. Dalam situasi seperti ini
ia tidak frustrasi, tetapi justru ia merasa bersyukur berada dalam lingkungan masyarakat yang
terbelakang itu untuk kemudian dibangkitkannya dengan tekun. Ia bekerja melalui sekolah dan
karangan-karangannya. Sebelum ia mengarang tentu saja ia telah terlebih dahulu membekali
dirinya dengan pengetahuan yang antara lain diperolehnya melalui bacaan. Dalam ini karya-
karya Abdullah merupakan bacaannya yang utama, ini dapat difahami, karena sebagian besar
karya-karya Abdullah telah terbit sebelum Willem Iskander lahir dan beberapa ketika ia kanak-
kanak.

Kepergiannya ke negeri Belanja untuk belajar, 1857-1861, memberi peluang yang amat
luas baginya untuk membaca sebanyak-banyaknya karja-karja Abdullah yang tersedia disana.
Telah diketahui bahwa peranan Abdullah dalam sejarah kesusastraan Melayu/Indonesia amat
besar berupa kepeloporannya dalam melepaskan diri dari tradisi kesusastraan lama yang masih
hidup di sekitar istana. Sekalipun Abdullah belum dapat lepas sama sekali dari tradisi itu, ia
ternyata telah meninggalkan kehidupan istana. Isi karya-karya Abdullah telah membicarakan
hal-hal yang hidup dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, ia menentang setiap kezaliman
dan sekaligus memperhatikan pendidikan pribumi. Abdullah yang berdarah Arab-Keling ini,
dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang terpelajar. Masa mudanya digunakan untuk belajar
bahasa Arab, Tamil, Inggeris dan Melayu serta agama Islam. Kemudian ia bekerja di suatu
percetakan di Malaka. Karier selanjutnya antara lain sebagai juru bahasa di kantor Raffles.
Pergaulannya yang luas dengan orang-orang barat menempanya menjadi seorang yang berfikir
rasionil lepas dari ketahyulan. Kepribadian Abdullah seluruhnya tergambar dalam karangan-
karangannya yang amat mengesankan. Kehadiran pengaruh Abdullah dalam karangan-
karangan Willem Iskander dapat dirasakan dalam karangan-karangan Willem Iskander yang
bertema pendidikan, ketuhanan dan kritik sosial, dan terasa adanya warna kepribumian yang
memperjuangkan bangsa sendiri.

Kisah perjalanan Willem Iskander dari Batavia, ketika ia pulang tahun 1861, menuju
Padang Natal, Muara Soma, dan akhirnya di Pidoli Lombang, mengingatkan penulis pada gaya
Abdullah mengisahkan perjalanannya. Ia menyebut orang-orang yang ditemuinya di Batavia,
dan tempat-tempat yang dikunjunginya, ia juga bicara tentang kapal perahu dan kuda yang
ditumpang dan ditungganginya. Suasana disekitarnya digambarkan dengan sederhana dan
sentimentil. Berbicara tentang warna karya Willem Iskander, tidak bisa lepas dari pembicaraan
tentang karya Multatuli yang terkenal Max Havelaar. Kita juga dapat melihat kehadiran Multatuli
di dalam karya-karya Willem Iskander terutama dalam hal ketajaman kritik sosial dan
kekocakannnya. Kekocakan adalah tempatnya melindungi kritik yang satiris, ia dapat bermakna
macam-macam. Bait ke 12 sajak Mandailingnya yang berbunyi:

aslinya:

Adong alak ruar

Na mian di Panyabungan

Tibu ia aruar

Baon ia madung busungan

terjemahannya:

Ada orang luar

Yang berdiam di Panyabungan

Cepat ia ke luar

Sebab ia sudah buncit

dapat diintepretasikan sebagai berikut:

Interpretasi yang paling dominan diberikan oleh masyarakat Tapanuli Selatan sebagai berikut:
Penjajah Belanda yang berdiam di Panyabungan, segera meninggalkan daerah ini setelah ia
berhasil mengeruk kekayaan pribumi.

Bait yang sama diinterpretasikan pula, bahwa kepergian orang asing/luar yang berdiam
di Panyabungan itu disebabkan oleh penyakit malaria yang membuat perutnya buncit (aloton
dalam bahasa Mandailing). Interpretasi ini masuk akal pula, karena cuaca Panyabungan yang
lembab dan tidak sehat itu telah pula lama diketahui oleh orang Belanda dan banyak muncul
dalam laporan-laporan resmi atau laporan perjalanan pada awal abad yang lalu.
Ketidaksehatan udara Panyabungan ini pula yang menyebabkan pejabat-pejabat Belanda
berdiam di Tano Bato di suatu pasanggarahan, sekalipun mereka berkantor di Panyabungan
sebagai pusat pemerintahan.

Adapun interpretasinya, sajak ini mengandung kritik juga sekaligus menantang suatu
usaha besar untuk meniadakan malaria di kawasan itu, misalnya dengan jalan melebarkan
muara Batanggadis dan Batang Angkola yang bertemu pada suatu muara yang sempit di timur
Singkuang. Kita lihat betapa besarnya tantangan ini dan betapa tidak usangnya tantangan ini,
karena sampai kini kita belum berhasil menjawabnya. Disinilah antara lain kebesaran Willem
Iskander, yaitu kemampuan dan kesediaannya untuk bertanya, dan sekaligus kekerdilan kita
yang belum mampu menjawabnya. Gaya ini juga dimiliki oleh Multatuli yang sampai sekarang
belum terjawab, sekalipun ia kemukakan satu abad yang lalu.

Tokoh Multatuli pasti salah satu diantara sekian orang yang paling dikagumi oleh Willem
Iskander. Kita mulai melihat hubungan itu dari kehadiran Multatuli di Natal sebagai kontroler
1842-1843. Di daerah ini pada ketika itu hidup suasana kehidupan yang penuh dengan intrik
antar kepala-kepala bumiputra, dimana Douwes Dekker, alias Multatuli, terpaksa terlibat
didalamnya. Disini ia amat menderita, yang ditambah lagi dengan pemanggilannya ke Padang
dimana ia diterlantarkan. Sang Yang di Pertuan Huta Siantar di Mandailing merupakan tokoh
yang tidak asing baginya. Tokoh yang terakhir ini adalah keluarga dekat Willem Iskander
sendiri, yang mau tidak mau juga pernah bercerita kepada Willem Iskander tentang tokoh
Douwes Dekker. Douwes Dekker mulai bekerja di Natal untuk menggantikan seorang kontroler
yang masa dinasnya telah selesai. Ayah mertua dari sang kontroler yang habis tugas itu adalah
bekas Asisten Residen Mandailing Angkota yang dipecat oleh Gubernur Pantai Barat Sumatra,
Jenderal Mitchiels. Pemecatan sang Asisten Residen adalah akibat oleh Sang Yang Dipertuan
Huta Siantar yang mendesak gubernur untuk menyingkirkan orang-orang Belanda dan
pengikut-pengikutnya di Natal. Perihal ini dikisahkan oleh Multatuli dan Max Havelaar bab XIV.

Tokoh Douwes Dekker yang kita yakin sudah didengar oleh Willem Iskander dari Sang
Yang Dipertuan Huta Siantar, kembali menjadi perhatiannya ketika Max Havelaar diterbitkan
untuk pertama kali pada tahun 1860 di negeri Belanda. Ketika itu Willem Iskander sudah berada
3 tahun di negeri Belanda, dan secara kebetulan buku yang amat menggemparkan kalangan
pemerintah dan parlemen Belanda itu, diperdebatkan dalam sidang yang sama di Tweede
Kamer pada tahun 1860 dengan Willem Iskander. Pembicaraan tentang Max Havelaar dan
Willem Iskander adalah masalah pembiayaan atau tujuan pendidikannya. Tetapi sukar untuk
disangkal dari perhatian Willem Iskander, karena selain karya ini banyak bicara tentang dua
tokoh famili dekatnya yaitu Sang Yang Dipertuan Huta Siantar dan Patuan Natal, buku ini juga
benar-benar menggemparkan seluruh negeri.

Masih dalam tahun 1860 terbit pula karya Multatuli di Arnhem, dimana Willem Iskander
juga pernah belajar, yang berisi a.l. surat-surat dengan judu "Indrukken van den dag". Disini
Douwes Dekker alias Multatuli juga bicara tentang Sang Yang Dipertuan Huta Siantar, seorang
tokoh yang rupanya tak terlupakannya. Kita yakin bukan dua buku ini saja karya-karya Multatuli
yang dibaca oelh tokoh kita Willem Iskander, tetapi juga yang lain yang terbit sebelum 1872.

Apabila Abdullah mempengaruhi Willem Iskander untuk melepaskan diri dari isi
karangan yang berkisar kehidupan istana, maka ia mendapat pengaruh isi, semangat dan
bentuk dari Multatuli. Ia tidak mengikut Abdullah dalam hal bentuk, karena dalam menulis
Abdullah masih menggunakan bentuk syair. Untuk memahami Willem Iskander melalui karya-
karyanya, diperlukan suatu studi yang mendalam tentang sejarah, kebudayaan, politik pada
abad ke 19, tetapi juga tidak dapat diungkiri keharusan mempelajari karya-karya Abdullah dan
Multatuli. Pertemuan Willem Iskander dengan Abdullah dan Multatuli telah banyak mewarnai
karya-karya Willem Iskander. Dengan kemampuannya, menyebabkan lahirnya Willem Iskander
sebagai Willem Iskander, bukan Willem Iskander ala Abdullah atau Multatuli. Bahkan tidak
berkelebihan apabila tempat Abdullah sebagai pelopor kesusastraan Melayu/Indonesia modern
ditempati oleh Willem Iskander. Willem Iskander adalah pribumi yang menulis di baris depan
yang menulis puisi-puisi modern dalam salah satu bahasa Nusantara.

WILLEM ISKANDAR DALAM PERSPEKTIF GENERASI MUDA?

Dua tahun terakhir ini penulis indekost di Medan untuk sekolah lagi di Unimed. Ketika
berada di medan (jumat-minggu), hampir setiap petang, penulis melintas di jalan Willem
Iskandar. Menurut penuturab msyarakat Kawasan jalan Willem Iskander 40 tahun silam, masih
merupakan perkebunan tembakau. Kini di atasnya berdiri beberapa perguruan tinggi negeri dan
swasta dan beberapa sekolah tingkat menengah pertama. Tidak heran bila pada jam-jam
pulang sekolah, jalan Wille Iskander dipadati mahasiswa dan pelajar, berebutan menaiki angkot
berlapis memenuhi badan jalan, menyebabkan jalan jadi macat. Willem Iskander. Seberapa
masyhurkah dia dikalangan pelajar dan insane kampus?
Pengamatan penulis, ternyata banyak juga para pelajar dan mahasiswa yang menuntut
ilmu di sekitar jalan Willem Iskander, tak tahu siapa sebenarnya Willem Iskander. Iseng-iseng
hal itu pernah penulis tanyakan kepada salah seorang mahasiswa dan beberapa pelajar
sekolah menengah pertama, kebetulan satu angkot dengan penulis. Mereka yang penulis tanya
menggelengkan kepalanya tanda tak tahu. Begitu juga sewaktu penulis singgah di salah satu
warung bakso dorong di dekat salah satu kampus. Abang penjual bakso juga tak tahu siapa
Willem Iskander. Malah ada yang mengatakan Willem Iskander itu adalah orang Belanda yang
dulu berkuasa di perkebunan tembakau Deli.

Tidak mengherankan, bila generasi sekarang banyak yang tidak tahu siapa sebenarrnya
orang bernama Willem Iskander, kemudian oleh pemerintah nama tersebut di abadikan menjadi
nama jalan menuju ke kampus Unimed, IAIN, Universitas Amir Hamzah dan kampus lain di
wilayah Medan Estate.

Pemahaman sejarah tentang kepahlawan para pejuang bagi siswa di Sumatera Utara
sangat memprihatinkan. Banyak siswa yang tidak mengenal para pahlawan, khususnya
pahlawan asal Sumut dalam pembelajaran sejarah di Indonesia, padahal tokoh-tokoh ini
memiliki kontribusi yang sangat besar pada perjuangan bangsa ini.

Kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan, Dr(phill).
Ichwan Azhari mengatakan, hingga kini terdapat tujuh pahlawan nasional dari Sumatera Utara
yakni Sisingamangaraja XII, Adam Malik, Amir Hamzah, AH Nasution, Kiras Bangun, FL
Tobing, Muhammad Hasan dan satu pahlawan revolusi yaitu DI Panjaitan.Mereka disebut
sebagai pahlawan nasional dan revolusi ini dinilai memiliki kontribusi sangat besar dalam
memperjuangkan, mengisi dan mempertahankan ke-Indonesia-an, sehingga nama mereka
dicatat dalam pelajaran Sejarah Indonesia dan wajib diketahui para pelajar.

Namun menurut sejarawan ini, beberapa nama yang juga layak dikenal sebagai pahlawan
Sumut tapi kurang dikenal dalam Sejarah Nasional Indonesia, di antaranya Datuk Sunggal
(pemimpin Perang Sunggal), Bedjo (pemimpin Pertempuran Medan Area), Raja Sang Na Ulauh
Damanik (tokoh dari Siantar yang menolak kolonial di Siantar).Selain itu Raja Rondahaim
Saragih (tokoh dari Raya yang menolak kolonial), Sultan Mahmud Perkasa Alamsjah (tokoh
pembangun Kota Medan), Parada Harahap (tokoh pers Sumatera Utara), Adinegoro (tokoh pers
Sumatera Utara), Willem Iskandar (tokoh pendidikan), Abdoellah Loebis (tokoh pendidikan) dan
Raja Orahili dari Nias. "Mereka kurang dikenal karena nama-nama mereka tidak pernah masuk
sebagai muatan materi kurikulum pembelajaran sejarah nasional," ujarnya.
Untuk itu, sudah seharusnya kurikulum pembelajaran sejarah lokal yang memuat materi-materi
lokal harus diperkenalkan kepada pelajar, sehingga dapat mengetahui lebih luas tentang
pejuang, tokoh dan pahlawan daerahnya. Menurutnya hal ini penting terutama untuk
menghilangkan pelajar yang tidak mengenal pahlawan daerahnya, demikian pula untuk mencari
simpul-simpul perjuangan antara nasional dan daerah, maupun daerah dengan daerah."Dari
sana kemudian akan diketahui bahwa masing-masing daerah memiliki perjuangan yang sama
untuk membentuk negara Indonesia. Apabila pelajar hanya 'dicecoki' dengan kurikulum yang
disebut dengan kurikulum nasional, maka pelajar di daerah tidak akan menemukan bahwa
daerahnya juga memiliki peran yang sangat nyata dalam membentuk keindonesiaan itu", jelas
Ichwan. Lebih berbahaya lagi, kata Ichwan adalah dalam pikiran mereka terbentuk suatu mata
rantai perjuangan yang putus, bahwa kemerdekaan itu diperoleh dengan tanpa upaya dari
tokoh-tokoh, pejuang dari daerahnya. Karena itu sudah saatnya kurikulum sejarah membuat
materi-materi lokal, sehingga para pelajar tersebut akan mengetahui sejarah daerahnya.

Penutup

           Mungkin tidak ada satu orang pun tokoh bangsa ini yang semasa hidupnya ingin ketika
sudah wafat namanya tertulis dalam sejarah bangsa, karena mereka sadar perjuangan mereka
dilakukan secara iklhas bukan mencari popularitas. Tapi sebagai generasi bangsa yang cinta
terhadap founding father negara ini harus mencintai sejarah termasuk mencintai tokoh-
tokohnya.

Sangat disayangkan tokoh sekaliber Willem Iskandar, tidak terpatri dalam jiwa generasi
muda yang ada di negara ini. Banyak yang tidak mengenal, tidak mengetahui, bahkan tak mau
ambil pusing tentang siapa WILLEM ISKANDAR.

Anda mungkin juga menyukai