Anda di halaman 1dari 18

Peranan SAARC dalam Upaya Penyelesaian Konflik India-Pakistan di Kashmir

Disusun oleh :

Oktavian Cahya Azhim S. (201910360311085)

Finzein Naufal Aslam (201910360311086)

Alexandre Policarpo J. P (201910360311087)

Reydo Adji Sapriyatna (201910360311088)

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

Ilmu hubungan internasional adalah ilmu interdisiplin yang banyak membahas


berbagai ilmu-ilmu seperti sosiologi, sejarah, bahasa, dan lain sebagainya. Di dalam dunia
hubungan internasional sudah tidak lazim lagi ketika membicarakan sebuah kawasan atau
regionalisme yang sifatnya dinamis. Regionalisme menjadi tolak ukur hubungan pertama
antar negara-negara yang berdekatan atau berada dalam satu lingkup kawasan. Tak ayal
ketika membicarakan hubungan dalam kawasan, kerap terjadi permasalahan-
permasalahan hingga mengancam kedaulatan negara-negara yang terlibat. Seperti yang
dikemukan oleh seorang ahli yang bernama David Mitrany yang terkenal dengan
pemikirannya Working Peace System. Dijelaskan bahwa untuk menciptakan ketertiban
serta perdamaian dunia, maka sangatlah diperlukan peran aktor non-negara. Aktor
tersebut memainkan peran yang sejajar dengan negara dalam integrasi tersebut. Di dalam
lingkup kawasan atau regional, negara-negara akan menyatukan integrasi mereka
berdasarkan kepentingan, kebutuhan dan tujuan masing-masing agar tercipta keselarasan
dan kesejahteraan bagi mereka. Integrasi yang tergabung seperti dalam hal ekonomi,
budaya, keamanan, dan lain sebagainya.

Keamanan menjadi salah satu hal sensitif bagi negara-negara berdaulat, seperti
halnya masalah keamanan yang terdapat di Asia Selatan. Persoalan umum yang terjadi di
kawasan ini adalah sengketa wilayah antara India dan Pakistan yang memperebutkan
wilayah yang bernama Kashmir. Konflik ini terjadi sejak tahun 1947 yang bermula pada
kedua negara sama-sama mengakui dan memberikan klaim terhadap wilayah Kashmir
tersebut. Jauh sebelum itu, ketika India dan Pakistan belum meraih kemerdekaan dari
Inggris, dua partai politik besar di India yang masing-masing komunitas beragama hindu
dan Islam yang telah mengalami perdebatan persoalan arah politik di antara keduanya.
Saat itu Persatuan Muslim India dipimpin Mohammad Ali Jinnah yang menginginkan
sebuah wilayah yang terpisah khusus untuk masyrakat yan beragama Islam di India.
Inggris akhirnya menyetujui dan membagi wilayah India menjadi dua negara merdeka,
namun Inggris tidak mengawasi jalannya prosedur ambil alih kekuasaan tersebut 1.

Pada saat itu Kashmir diperintah oleh seorang raja yang bernama Gulab Singh
yang bergama Hindu, namun mayoritas masyarakatnya bergama Islam. Rezim Singh kala
itu dinilai sering memberatkan rakyatnya dengan paksaan membayar pajak. Pada tahun
1850, Singh menekan rakyat muslim dengan progam Hinduisasi ( Suddhi). Hal ini dilakukan
untuk mengembalikan msyarakat yang beragama Islam kembali memeluk agama nenek
moyang mereka yaitu Hindu 2. Karena kebijakan program inilah hingga akhirnya timbul
pergolakan-pergolakan dalam menentang rezim Singh yang dinilai memberatkan
rakyatnya. Setiap warga yang menentang langsung ditindak keras bahkan dipenjarakan.
Pergolakan ini akhirnya menimbulkan gerakan perlawanan internal hingga meluas ke
seluruh distrik Poonch (tempat dimana ribuan veteran muslim PD II tinggal menetap dan
mobilisasi terjadi). Pemberontakan ini terdengar hingga ke perbatasan Pakistan dengan
semangat keagamannya dalam mendukung rakyat Kashmir. Rezim Singh merasa
ternacam hingga akhirnya meminta bantuan kepada India dalam menangani
pemberontakan tersebut. Saat itulah peran India turun tangan di wilayah Kashmir.
Terdapat kesepakatan antara Singh dan India, yaitu jika wilayah Kashmir berhasil
ditaklukan, maka Singh tidak segan untuk bergabung dengan India. Hingga terjadilah
perang pertama pada tahun 1947 natara India dan Pakistan.

Saat itu Kashmir memilih untuk tidak bergabung ke India atau Pakistan, hingga
pada Oktober 1947 Pakistan menginvasi Khasmir yang kemudian dibalas oleh India
dengan melakukan serangan militer. Pada 1 Januari 1947 kedua negara yang bertikai ini
sepakat untuk menarik pasukan militernya masing-masing di dari wilayah Kashmir serta
menandai batas anti senjata api, yang disebut dengan Garis Kekuasaan. Pakistan dan
India kembali memperebutkan Kashmir, hingga Pakistan mendapatkan sebagian kecil
wilayah Kashmir pada 5 Agustus 1965 dan kedua belah pihak menarik kembali
pasukannya pada Januari 1966. Namun perang ini seakan tak berujung dan terus
berlanjut. Perang kembali terjadi pada tahun 1971 sampai dengan 2 Juli 1972. Hingga
akhirnya Perjanjian Simla atau Shimla Agreement dibuat untuk menegaskan wilayah-
1
Kamal Matinuddin, India-Pakistan Standoff, Regional Studies No. 3, Vol. XXI, summer 2003, page 1.
2
Ibid., page 5.
wilayah bagian milik India dan wilayah bagian milik Pakistan. Namun tetap saja, masih
terjadi selisih paham terkait perbatasan di antara keduanya. Pasca perjanjian itu
hubungan kedua belah pihak relatif baik, namun kesempatan itu kerap kali dimanfaatkan
India untuk memberi mengeluarkan statement pada dunia internasional bahwa konflik di
antara keduanya mampu diselesaikan.

Menilik kembali keterlibatan aktor non-negara, sejatinya Asia Selatan telah


berintergrasi sejak tahun 1985 yang ditandai dengan pembentukan SAARC ( South Asian
Association for Regional Coorporation ). Organisasi kawasan ini dibentuk oleh 8 negara-
negara Asia Selatan yang terdiri dari Sri Lanka, Bangladesh, Pakistan, India, Nepal, dan
beberapa negara Asia Selatan lainnya termasuk Afghanistan yang memutuskan bergabung
ke dalam SAARC pada tahun 20073. Dibentuknya SAARC adalah kesadaran dari negara-
negara Asia Selatan bahwa terdapat banyak tantangan yang tidak terselesaikan di level
domestik. Penyatuan visi dan misi di dalam kerja sama kawasan atau regional sangat
diperlukan. Oleh karena itu awal dibentuknya SAARC bertujuan untuk mencapai
keamanan, keadilan sosial, kebebasan, maupun demi tercapainya kesejahteraan ekonomi
negara-negara anggotanya4. Sesuai dengan tujuan utamanya, SAARC untuk menciptakan
keamanan dan kesejahteraan bagi negara-negara anggotanya, hal ini masih tidak luput
dari masih terjadinya konflik yang umum, seperti kasus India-Pakistan dalam
memperebutkan wilayah Kashmir. SAARC telah melakukan berbagai upaya untuk
meredam konflik yang berkepanjangan ini, salah satunya dengan melalui SAARC Summits.
Rancangan yang dimulai sejak tahun 1985 dengan memfasilitasi pemimpin dari kedua
belah pihak yang bertikai untuk bertemu dan menyelesaikan permasalahan kedua negara
baik di dalam forum resmi maupun tidak. Namun SAARC dinilai gagal dalam
menyelesaikan konflik yang terjadi di antara kedua belah pihak dikarenakan konflik ini
masih berlanjut. Kegagalan SAARC menjadi sebuah kritik terhadap teori fungsionalisme
yang beranggapan bahwa integrasi kawasan dipercaya dapat menampung kepentingan
negara-negara kawasan serta dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan untuk

3
Giri, Pratihiba, dkk, “A study and Analysis of Challenges, Achievements and Hurldes Faced by SAARC
Nations in Trade Integration and Growth”, International Journal of Engineering Technology, Management
and Applied Sciences, 2015, Vol. 3, No. 1, Page 204
4
Sheel, Kant Sharma, “South Asian Regionalism : Prospect and Challenges”, Indian Foreign Journal Affairs,
2011, page 305.
mencapai perdamaian dan kestabilan kawasan. Dalam teori fungsionalisme digeserkan
dalam bentuk integrasi karena lebih mementingkan kesamaan fungsi dan tujuan dalam hal
lain, selain itu juga Lembaga yang di bentuk menyesuaikan dengan fungsinya yang di
mana antara aktor yang sudah sepakat dalam pelaksanaan fungsi dan tujuan tersebut
selain itu juga teori fungsionalisme juga lebih menekankan intervensi serta sabotase
sehingga negara dihilangkan atas kesamaan tujuan akhir dengan begitu akan tercipta
kerjasama regional yang baik dan menghindari terjadinya konflik. Terbentuknya hubungan
yang erat yang didasarkan dengan fungsi dan tujuan yang sama maka negara akan
menurunkan sedikit kedaulatannya dan patuh akan aturan integrasi Kawasan yang sudah
di sepakati demi mencapai tujuan bersama.
BAB II

Kerangka Teoritis atau Konseptual

Regionalisme menjadi fenomena penting sejak pasca perang dunia II untuk


melihat sistem internasional. Ilmuwan hubungan internasional Peter Joachim Katzenstein
menjelaskan bahwa sistem internasional di dunia saat ini cenderung interaksi antara
kawasan dan regional power sehingga membuat dunia mendapatkan julukan world of
regions. Regionalisme menjadi kajian yang cukup penting di dalam dunia kajian hubungan
internasional karena menaruh salah satu perhatian utamanya terhadap meluasnya
regionalisme di hamir seluruh kawasan yang ada di dunia disertai dengan dinamika yang
timbul. Regionalisme mengacu pada ide politik dan kognitif pembentukan daerah atau
kawasan. Biasanya regionalisme begitu terkait dengan program formal, dan sejak
pertengahan 1980-an telah terjadi ledakan program regional semacam itu dalam skala
global.

Sejarah kemunculan regionalisme ditandai dengan lahirnya organisasi European


Coal and Steel Community (ECSC) pada tahun 1951 di Eropa Barat Perkembangan
regionalisme yang pesat pada rentang tahun 1950-1960-an, menjadikan fenomena
tersebut sebagai sebuah titik fokus yang utama dalam kajian studi hubungan
internasional, mengenai kerja sama kawasan (regional) dan regionalisme. Regionalisme
kembali hadir pasca cold war dengan ditandai bangkitnya integrasi kawasan Eropa Barat
dengan menciptakan the Singel European Act. Di samping itu, terdapat penyebaran terkait
fenomena itu yang ditandai dengan tumbuhnya bermacam-macam new regionalism
contohnya Amerika Latin membentuk regionalisme melalui organisasi MERCOSUR (The
Southern Common Market), Asia Tenggara membentuk regionalisme dengan organisasi
ASEAN (Association of Southeast Asian Nations), kawasan Asia-Pasifik yang membentuk
orgnaisasi APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation), serta masih banyak yang lainnya.
Regionalisme saat ini terkait erat dengan sifat perubahan politik global dan intensifikasi
globalisasi. Regionalisme ditandai dengan keterlibatan hampir semua pemerintah di dunia,
tetapi juga melibatkan berbagai macam aktor non-negara.

Terdapat pengertian dari seorang ilmuwan Hubungan Internasional yang bernama


Andrew Hurrel mengenai definisi regionalisme, yaitu regionalisme adalah sebuah
perangkat kebijakan yang dimiliki oleh satu atau bahkan beberapa negara yang bertujuan
untuk memasarkan munculnya unit kawasan atau kawasan yan bersifat kohesif serta
menguasai bentuk pola relasi antara negara dengan regional tersebut dan dengan dunia
luar, maupun menbentuk dasar-dasar dari pengaturan kebijakan dalam regional atau
kawasan yang menyangkut isu-isu.5 Selain itu regionalisme juga dapat berarti dua; sebuah
kebijakan yan diciptakan berasal dari kawasan atau regional yang bersifat kohesif, dan
sebagai rencana atau proyek yang dikomandoi oleh negara atau disebut dengan state-led
project dalam merencanakan kembali sebuah kawasan tertentu dibawah naungan cakupan
politik dan ekonomi. di dalam regionalisme juga terdapat ketergantungan ( dependence), ,
dan connectivity sebuah cooperative relations atau hubungan kerja sama dalam bidang
apapun yang bertujuan menggabungkan negara-negara dalam sebuah kawasan.

Menilik fungsi dari regionalisme, dapat diketahui dari segi pandang kerangka teori
fungsionalisme dan neo-fungsionalism. Namun pada kali ini, kami lebih memfokuskan
bagaimana studi kasus ini dilihat dari teori fungsionalisme. Teori fungsionalisme muncul di
era pasca perang dunia I, dengan ahli pakar utamanya yang bernama David Mitrany. Ia
menekankan teori fungsionalisme pada peran utama sebuah organisasi internasional. Ia
percaya bahwa organisasi internasional adalah sebuah working peace system, yang mana
organisasi internasional bisa mempengaruhi tingkatan kerja sama negara-negara anggota,
sehingga yang terjadi adalah interdepensi antar negara-negara member yang di kemudian
hari dapat meminimalisir konflik. Ide ini muncul dari adanya suatu anggapan bahwa
negara adalah sebuah alasan mengapa perang bisa terjadi. Masuknya suatu negara dapat
mempengaruhi pengurangan kedaulatan suatu negara yang lain dikarenakan negara
tersebut harus beradaptasi terkait dengan kebijakan domestiknya sehingga sesuai dengan
peraturan yang berlaku di organisasi internasional. Namun sebuah kelemahan dari

5
Andrew Hurrell, “Latin America in the New World Order: A Regional Bloc of the America”, International
Affairs 68, no 1 (1992):123.
kedaulatan suatu negara adalah kabar baik, sehingga melalui hal tersebut integrasi dan
kerja sama dapat terjadi.6

Berbeda dengan teori realisme yang lebih menekankan kepada kepentingan


nasional, teori fungsionalism lebih menekankan kepada kepentingan umum serta
kebutuhan bersama. David Mitrany menjelaskan bahwa terdapat kepentingan negara yang
sifatnya cross-border atau melewati batas wilayah negara serta cara terbaik untuk
menyelesaikan hal tersebut dengan joint government. Kerjasama antar kawasan ini saling
menguntungkan akan mudah dicapai jika berfokus pada isu-isu non-politis. Ruang lingkup
dari fungsionalisme ini tidak cuma terbatas kepada aktor negara, namun ruang lingkup
dari fungsionalisme juga mencakup aktor non-negara. Fungsionalisme menekankan
adanya pembangunan otoritas yang bersifat fungsional dan flexibilitas kebutuhan dari
setiap kawasan yang mengesampingkan konsep state power.7 Dalam paradigma teori
fungsionalisme, solusi yang ditawarkan dalam regionalisme adalah integrasi.

Dalam perspektif teori fungsionalisme, suatu aktor negara melakukan proses


integrasi kawasan untuk mendapatkan solusi dari sebuah permasalahan domestik maupun
antar kawasan. Integrasi dalam hal ini dapat kita artikan sebagai kerangka berpikir bebas
yang melibatkan seluruh aktor negara maupun aktor non-negara untuk pencapaian
tujuan. Dalam membuat ataupun melaksanakan suatu kebijakan, integrasi dilakukan
bersumber pada kepentingan serta kebutuhan bersama. Adanya kepentingan serta
kebutuhan bersama di dalam kawasan akan membuat regionalisme menjadi stabil
dikarenakan negara tidak akan keras kepala serta egois mengenai kepentingana
nasionalnya dan mengurangi sedikit kedaulatannya. Aktor negara seperti organisasi
regional juga dapat menjadi alasan integrasi kawasan regional dan menjadi kerjasama
lingkungan kawasan. Fungsionalisme akan meninjau bagaimana integrasi sebagai variable
bebas mampu mempengaruhi kepentingan dan kebijakan di suatu kawasan atas isu dan
peristiwa. Sedangkan integrasi dalam fungsionalisme diartikan sebagai sebuah interaksi
dan fungsi bidang-bidang kawasan yang bersifat low politics dan memiliki fungsi tunggal
yang akan membentuk keterikatan serta silih ketergantungan negara antar kawasan.

6
M. Griffiths, Fifty Key Thinkers in International Relations, edisi Bahasa Indonesia Lima Puluh Pemikir Studi
Hubungan Internasional, diterjemahkan oleh Mahyudin, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001. P. 239.
7
Ibid.
Terbentuknya keterikatan dan ketergantungan negara antar kawasan akan meminimalisir
konflik yang terjadi di lingkup regional. Teori fungsionalisme mengasumsukan tercapainya
kepentingan dan kebutuhan bersama dari negara-negara dihasilkan dari integrasi yang
dilakukan oleh aktor negara maupun aktor non-negara.

Dalam teori fungsionalisme, isu politik dikesampingkan dalam hal integrasi karena
fungsionalisme lebih menekankan pada kesamaan fungsi dan tujuan dalam bidang
tertentu. Di samping itu, lembaga yang diciptakan berdasarkan terhadap fungsi yang
relatif sama antara aktor yang menyetujui mekanisme itu dalam pelaksanaan fungsi dan
arah tujuannya. Teori ini lebih menekankan pada intervensi dan sabotase negara yang
dihilangkan dengan dalih persamaan tujuan akhir. Dengan begitu, akan menciptakan
kerjasama regional yang stabil dan mampu mengurangi terjadinya konflik. Dengan adanya
keterkaitan antar negara di dalam kawasan regional yang didasari dengan kepentingan
dan tujuan yang sama, maka negara-negara di kawasan regional akan mengurangi
kedaulatannya serta tunduk terhadap aturan integrasi kawasan regional yang sudah
disepakati untuk mencapai tujuan bersama.

Penerapan teori fungsionalisme dalam kawasan Asia Selatan dapat kita lihat dari
pembentukan organisasi SAARC (South Asian Association for Regional Cooperation) oleh
beberapa negara di kawasan Asia Selatan pada 8 Desember 1985. Latar belakang
berdirinya SAARC didasari oleh keinginan dari negara-negara di Asia Selatan untuk
melakukan kerjasama dengan semangat persaudaraan, kepercayaan, dan pengertian
untuk membangun perekonomian di negara-negara Asia Selatan. Organisasi ini juga
membahas mengenai isu keamanan internasional, serta konflik bilateral maupun
multilateral negara anggota, ekonomi, serta terorisme.
BAB III

Pembahasan

A. Sejarah Singkat dan Profil SAARC

South Asia Association for Regional Cooperation atau biasa disingkat SAARC
merupakan organisasi regional yang berada di kawasan Asia Selatan. SAARC dibentuk
pada tanggal 8 Desember 1985 di Bangladesh. Pada awal dibentuknya, SAARC hanya
memiliki 7 negara anggota diantaranya yaitu India, Bangladesh, Bhutan, Maldives, Nepal,
Pakistan, dan Sri Lanka. Kemudian pada tahun 2007 anggota SAARC bertambah menjadi 8
setelah bergabungnya Afghanistan. SAARC juga memiliki pengamat diantaranya yaitu
Amerika Serikat, Uni Eropa, China, Jepang, Korea Selatan, Australia, Myanmar, Mauritius,
dan Iran. SAARC berdiri karena adanya kesadaran negara-negara di kawasan Asia Selatan
akan pentingnya untuk membentuk organisasi regional yang diharapkan dapat mendorong
dan meningkatkan kesejahteraan negara-negara di Asia Selatan. Jawaharlal Nehru selaku
Perdana Menteri India dalam pidatonya juga menyebutkan akan pentingnya membangun
kerjasama di kawasan untuk mengatasi berbagai permasalahan seperti permasalahan
keamanan, permasalahan ekonomi, dan permasalahan politik. Sering terjadinya konflik
baik konflik internal maupun eksternal di kawasan Asia Selatan yang mengakibatkan
negara-negara di kawasan Asia Selatan lebih berfokus pada aspek keamanan daripada
aspek pembangunan dan kesejahteraan. Hal itulah yang mendorong negara-negara di
kawasan Asia Selatan untuk membentuk kerjasama.

Setidaknya ada tiga pertemuan yang memiliki gagasan mengenai kerjasama


kawasan di Asia Selatan. The Asian Relations Conference pada tahun 1947 di New Delhi,
Baguio Conference di Filiphina pada tahun 1950, The Colombo Powers Conference pada
tahun 1954 di Sri Langka. Gagasan tersebut kemudian diajukan oleh Presiden Bangladesh
Ziaur Rahman pada tahun 1980 dan mendapat respon positif dari negara-negara di
kawasan Asia Selatan yang ditandai dengan adanya pertemuan Menteri Luar Negeri dari
masing-masing negara di Colombo, Sri Lanka. Masing-masing negara menyepakati
kerjasama kawasan harus berdasarkan pada rasa saling percaya satu sama lain. Kemudian
piagam SAARC disahkan pada tahun 1985 di Bangladesh. Pada awalnya SAARC hanya
berfokus pada 5 bidang yaitu pertanian, pembangunan pedesaan, telekomunikasi,
meteorologi, dan kesehatan dan kependudukan. Kemudian seiring berjalannya waktu
fokus SAARC mulai berkembang menjadi beberapa bidang yaitu pendidikan, budaya dan
olahraga, kesehatan, populasi, kesejahteraan anak, kelingkungan dan meteorologi,
pembangunan pedesaan, pariwisata, transportasi, ilmu pengetahuan dan teknologi,
komunikasi, perempuan dalam pembangunan, dan pencegahan penyelundupan dan
penyalahgunaan obat-obatan. Dengan bidang kerjasama yang lebih luas diharapkan dapat
mewujudkan tujuan dari SAARC. Adapun tujuan dari SAARC berdasarkan pasal 1 piagam
SAARC yaitu;8

1. Untuk memajukan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat


Asia Selatan;
2. Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, perkembangan sosial dan
perkembangan kebudayaan di kawasan dan menyediakan untuk tiap-tiap individu
untuk hidup bermatabat dan untuk menyarinya bahwa mereka penuh dengan
potensi;
3. Untuk memajukan dan memperkuat kepercayaan diri secara kolektif di antara
negara-negara Asia Selatan;
4. Untuk memperbesar rasa saling kepercayaan, pemahaman, dan pengertian dari
tiadari setiap masalah;
5. Untuk memajukan kerjasama yang aktif dan rasa saling menolong dalam
perekonomian, sosial, kebudayaan, dan kajian riset dan teknologi;
6. Untuk memperkuat kerjasama dengan negara berkembang lainnya;
7. Untuk memperkuat kerjasama di antara anggota dalam forum internasional
mengenai hal yang sedang terjadi;
8. Untuk bekerjasama dengan organisasi internasional dan regional yang memiliki
target dan tujuan yang sama.

Selain itu SAARC juga memiliki prinsip yang mana kerjasama di kawasan Asia
Selatan ini harus didasarkan pada prinsip kedaulatan, integritas wilayah, kemandirian

8
https://saarc-sec.org/index.php/about-saarc/saarc-charter diakses pada 6 Januari 2021
politik dan tidak adanya campur tangan mengenai urusan dalam negeri negara-negara
anggota.

B. Konflik Kashmir dan peran SAARC dalam upaya penyelesaiannya

Konflik Kashmir merupakan sengketa wilayah Kashmir antara India dan Pakistan
yang dimulai sejak kedua negara tersebut merdeka di tahun 1947. Yang mana
kemerdekaan tersebut dilatarbelakangi Inggris yang meninggalkan India pada tahun 1947,
dimana hal tersebut menyebabkan perpecahan diantara pemeluk agama Hindu dan
pemeluk agama Islam. Mayoritas pemeluk agama Hindu menetap di negara India dan
mayoritas pemeluk agama Islam membentuk negara Pakistan. Pecahnya India dan
Pakistan mengakibatkan terjadinya perebutan wilayah Kashmir yang mana mayoritas
pemeluk agama Islam tetapi pemimpinnya pemeluk agama Hindu.

Pada tanggal 15 Agustus 1947 Kashmir yang pada saat itu masuk sebagai wilayah
dari Negara Kepangeranan (Indian Princely States) mendapat tawaran dari pemerintah
kolonial Inggris untuk memilih bergabung menjadi bagian dari India atau bergabung
menjadi bagian dari Pakistan. Tetapi Hari Singh yang merupakan pemimpin Kashmir pada
awalnya tidak ingin bergabung ke India maupun Pakistan dan ingin membentuk negara
baru. Namun ia berubah pikiran dan menyatakan bergabung dengan India tanpa meminta
persetujuan dari penduduknya. Yang mana hal tersebut tidak dapat diterima oleh Pakistan
dan Penduduk Kashmir yang mayoritas beragama Islam karena keputusan sepihak oleh
Hari Singh. Akibat dari keputusan Hari Singh membuat wilayah Kashmir sebagai wilayah
sengketa dimana India dan Pakistan sama-sama saling mengklaim wilayah Kashmir. Kedua
negara menguasai 700 km wilayah Kashmir, tetapi India menuding Pakistan telah
memberikan 1.400 mil persegi wilayah Kashmir disepanjang perbatasan timur laut India
ke China. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perang antara India dan Pakistan hingga
pada tahun 1965 yang merupakan perang terbesar diantara kedua negara tersebut.
Dimana pada perang tersebut Pakistan mengalami kekalahan hingga mempengaruhi
perekonomian Pakistan yang mengalami kemrosotan. Hal tersebut juga berpengaruh
dalam bidang politik dimana hubungan antara India dan Pakistan yang semakin
memburuk. Selain itu juga berpengaruh dalam bidang sosial dimana India dan Pakistan
mengalami lonjakan populasi penduduk akibat adanya pengungsi dari Kashmir.

Konflik Kashmir ini mendapat respon dari SAARC selaku organisasi regional yang
memiliki tanggung jawab dalam menyelesaikan konflik-konflik yang berada di kawasan
Asia Selatan. Konflik Kashmir ini melibatkan anggota SAARC yaitu India dan Pakistan.
Konflik Kashmir juga memiliki dampak buruk bagi SAARC dimana konflik tersebut akan
mengganggu kemajuan dan eksistensi SAARC. Oleh sebab itu SAARC memiliki peran untuk
membantu menyelesaikan konflik tersebut. Adapun SAARC berperan sebagai mediator
dalam KTT SAARC. Proses negosiasi India dan Pakistan juga dimediasi oleh SAARC yang
melahirkan kesepakatan damai dan juga meredam konflik diantara kedua negara tersebut.
Selain sebagai mediator, SAARC juga berperan sebagai fasilitator guna memfasilitasi
proses negosiasi antara India dan Pakistan melalui pertemuan bilateral disetiap KTT
SAARC.

a. SAARC sebagai Mediator konflik Kashmir

Dalam konflik Kashmir, SAARC berperan sebagai pihak ketiga yang bersifat netral
untuk memediasi konflik Kashmir antara India dan Pakistan. SAARC menganggap bahwa
konflik Kashmir sebagai penghambat dalam kerjasama kawasan, hal tersebut yang
mendorong SAARC untuk terus mengupayakan perdamaian dengan jalur mediasi konflik
yang selalu dilakukan melalui KTT SAARC. Upaya damai oleh SAARC dilakukan sebelum
Perang Kargil pada tahun 1999 dimana kedua negara menandatangani Deklarasi Lahore.
Kemudian pada tahun 2004 SAARC mengadakan perundingan perdamaian dengan India
dan Pakistan di sela-sela KTT SAARC di Islamabad, ibu kota Pakistan. Hasil dari
perundingan tersebut berupa kembali dimulainya dialog kesepakatan untuk penyelesaian
damai konflik Kashmir. Selain itu pada tahun 2006 SAARC sebagai pihak ketiga memediasi
India dan Pakistan agar melakukan dialog damai pada KTT SAARC di Newdelhi yang
bertujuan untuk menyelesaikan konflik diantara kedua negara tersebut dengan
mengangkat isu keamanan dan isu terorisme di wilayah perbatasan. Perundingan tersebut
diwakili oleh masing-masing Menteri Luar Negeri dari kedua negara tersebut. Namun
perundingan tersebut gagal dikarenakan adanya insisden penyerangan India yang
mengakibatkan tewasnya 5 penduduk sipil. Pada tahun 2008 India menolak untuk
melakukan perundingan damai setelah terjadinya serangan di Mumbai yang
mengakibatkan banyaknya korban jiwa. Kemudian pada tahun 2010 SAARC kembali
mempertemukan India dan Pakistan di sela-sela KTT SAARC di Bhutan tetapi masil belum
berhasil menemukan titik damai. Pada tahun 2015 SAARC mengadakan perundingan
diplomatik antara India dan Pakistan di Islamabad. Yang mana hasil dari perundingan
tersebut yaitu kedua belah pihak sepakat untuk menjamin perdamaian dan ketenangan di
perbatasan.

b. SAARC sebagai Fasilitator konflik Kashmir

Dalam konflik Kashir, SAARC selain berperan sebagai mediator juga berperan
sebagai fasilitator. Peran SAARC sebagai fasilitator yaitu menyediakan fasilitas untuk
mengadakan pertemuan tahunan berupa KTT SAARC guna mengupayakan penyelesaian
konflik Kashmir. Dalam KTT SAARC selain membahas mengenai kerjasama kawasan juga
membahas mengenai solusi damai dari konflik Kashmir. SAARC mengadakan pertemuan
tahunan guna menciptakan stabilitas kerjasama kawasan dan juga penyelesaian konflik
antar negara anggota. Pada KTT ke-4 di Islamabad pada tahun 1988 berhasil menurunkan
ketegangan diantara India dan Pakistan. Hal tersebut ditunjukkan dengan Perdana Menteri
India memuji Perdana Menteri Pakistan yang mendorong prospek kerjasama antar dua
negara. Namun pada KTT ke-9 di Maldives pada tahun 1997 dianggap tidak memperoleh
hasil positif. Dimana pada saat itu terjadi ketegangan diantara kedua negara yang
menyatakan untuk melakukan uji coba nuklir. Kemudian pada KTT ke-10 di Colombo pada
tahun 1998 kedua negara setuju untuk menjalin kerjasama dan mengadakan perundingan
selanjutnya di Kota Lahore, Pakistan. Pada KTT ke-12 di Islamabad dianggap membawa
perbaikan dalam hubungan bilateral antara India dan Pakistan. Hingga saat ini SAARC
belum menemukan jalan keluar untuk menyelesaikan konflik Kashmir. Tetapi SAARC telah
menjalankan perannya sebagai fasilitator yang mewadahi India dan Pakistan untuk
berunding dan mengupayakan penyelesaian konflik Kashmir.

C. Analisis Fungsionalisme dalam Konflik Kashmir


Dalam penanganan konflik Kashmir, SAARC menjadi mediator dengan latar
belakang politik dan bermaksud melancarkan kembali kerjasama kawasan akibat konflik
antara India dan Pakistan. Adanya cooperative relation dapat dan kerjasama di bidang
perekonomian dalam menumbuhkan perdagangan Asia Selatan menjadi side objective
sekaligus parameter dari fungsionalisme di wilayah Asia Selatan. Adanya esensi dari
fungsionalisme pada peran SAARC dalam menangani konflik dapat dilihat dari komitmen
serta usaha yang berorientasi pada dampak jangka panjang dari hubungan antara India
dan Pakistan menjadikan upaya SAARC dalam mediasi konflik Kashmir menunjukkan
perannya sebagai fasilitator yang mana menjadi indikator bahwa SAARC mampu berfokus
pada penanganan konflik Kashmir yang dampaknya bersifat multidimensional. Dalam
menganasilis permasalahan ini, kita harus tau apa itu Regionalisme.

Adanya target berupa pemenuhan pertumbuhan ekonomi menjadikan SAARC


menunjukkan bagaimana integrasi Kawasan Asia Selatan yang terpengaruh oleh konflik
Kashmir India dan Pakistan yang mempengaruhi aspek-aspek secara multidimensional.
Dalam paradigma fungsionalisme menekankan dalam suatu integrasi kawasan akan
pentingnya pemenuhan cooperative relation dalam internal Kawasan maupun eksternal
Kawasan sehingga terciptanya stabilisasi kawasan. Dalam konflik Kashmir, SAARC
disamping memediasi juga memulihkan hubungan India dan Pakistan yang juga
memulihkan hambatan structural dalam kawasan Asia Selatan. Maka dapat dilihat dari
esensi paradigma fungsionalisme bahwa aspek non politis menjadi tinjauan dalam
integrasi kawasan dengan adanya lembaga fungsional dalam mengatur regulasi dalam
aspek-aspek yang terpisah di Kawasan Asia Selatan dalam konflik Kashmir.

Maka analisis mengenai paradigma fungsionalisme dalam konflik Kashmir oleh


SAARC dapat dilihat dari bagaimana pemuihan yang terjadi di Asia Selatan dari konflik
Kashmir mengakibatkan perubahan dan pengembangan integrasi internal dari Asia Selatan
yang memiliki tujuan pemenuhan kepentingan secara umum. India dan Pakistan juga
menjadi subjek dalam self determine di Asia Selatan dalam pemulihan dari konflik Kashmir
yang berujung pada mediasi SAARC untuk memutus spektrum militer dalam konflik
Kashmir. Namun memang konflik high politics Kashmir bukan menjadi fokus utama dalam
penyelesaian yang dilakukan oleh SAARC, maka dari itu instrumen kerjasama yang
dilakukan SAARC dalam konflik Kashmir merupakan upaya membendung konflik dalam
aspek low politics.

KESIMPULAN

Konflik adalah suatu hal yag lumrah dalam suatu sistem hubungan antar negara-
negara di dunia. Konflik menjadi ciri khas yang pasti terjadi seperti dalam ekonomi,
budaya, bahkan keamanan. Dalam lingkup kawasan, negara-negara memerlukan sebuah
wadah yang siap menampung dan mengayomi permasalahan yang ada, yaitu organisasi
internasional sebagai kepala kedua setelah negara. David Mitrany seorang pakar sekaligus
tokoh dari teori fungsionalisme memaparkan bahwa organisasi internasional adalah
sebuah working peace system , yang mana organisasi internasipnal berperan aktif dalam
mempengaruhi tingkatan kerja sama negara-negara anggotanya, sehingga hal ini
dipercaya mampu meminimalisir terjadinya konflik. Namun organisasi internasional juga
terkadang tidak mampu meredam konflik yang terjadi, seperti yang konflik yang ditangani
oleh SAARC dalam kasus perebutan wilayah Kashmir oleh India dan Pakistan.
Seperti halnya SAARC yang menangani konflik perebutan wilayah Kashmir oleh
India dan Pakistan. Konflik ini menuai banyak kritikan dari berbagai sudut pandang dan
teori, salah satunya melalui analisis teori fungsionalisme. Negara India dan negara
Pakistan difasilitasi oleh SAARC untuk melakukan proses negosiasi dan menghasilkan
beberapa kesepakatan damai dan meredam konflik yang terjadi diantara kedua belah
pihak tersebut. SAARC memiliki tanggung jawab yang besar untuk menyelesaikan
masalah, perdebatan hingga konflik besar yang berada di kawasan Asia Selatan. Peran
atau fungsi yang dilakukan oleh SAARC adalah untuk menjadi pihak ketiga dalam setiap
pertemuan yang di selenggarakan atau diadakan oleh negara-negara Asia Selatan.
Kerasnya alur cerita konflik India-Pakistan dalam merebut wilayah Kashmir,
rupanya memiliki sejarah panjang yang kelam. Mulai dari kerasnya perjuangan rakyat
Kashmir yang saat itu dipimpin oleh seorang raja beragama Hindhu yang bernama Gulab
Singh dalam menjalani peraturan undang-undang yang mana menyudutkan kaum muslim.
Kebijakan-kebijakan itu di antaranya adalah pajak yang besar dan program Hindhuisasi.
Hal ini kemudian menimbulkan pemberontakan dimana-dimana, hingga terdengar ke
negara Pakistan dan sebaliknya Raja singh meminta bantuan India untuk mengatasi
konflik internal ini. Pakistan yang merasa terpanggil sebagai saudara seiman, akhirnya
turun tangan dalam membantu rakyat kashmir melawan Raja Sing. Hingga akhirnya
konflik ini semakin membesar dan berlanjut. Sempat tarik ulur pasukan militer dari wilayah
Kashmir adalah cara masing-masing kedua belah pihak yang bertikai yang mana hal ini
adalah salah satu kekuatan keamanan dalam memperebutkan wilayah yang mayoritas
penduduknya muslim ini. Akhirnya pertikaian ini dapat diredam dengan Shimla Agreement
yang dibuat untuk menegaskan wilayah-wilayah Kashmir bagian India dan wilayah-wilayah
Kashmir bagian Pakistan. Meskipun masih terjadi selisih paham terkait batas wilayah
Kashmir di antara kedua belah pihak. Konflik ini berlangsung cukup lama, yaitu memakan
waktu sekitar 25 tahun, dari tahun 1947 hingga tahun 1972, yang cukup meninggalkan
bekas luka yang dalam bagi rakyat sipil.
Melihat dari sisi teori fungsionalisme, menegaskan bahwa integrasi kawasan
dipercaya dapat menampung kepentingan negara-negara kawasan dan dapat meredam
permasalahan-permasalahan yang bertujuan mencapai perdamaian dan kestabilan
kawasan. Namun nyatanya ketika melihat kembali ke konflik perebutan wilayah Kashmir
oleh India dan Pakistan sehingga menimbulkan peperangan yan berkelanjutan, hal ini
dinilai teori fungsionalisme gagal dalam membuktikan gagasan tersebut. Yang mana
SAARC tidak mampu menyelesaikan konflik tersebut dan resolusi konflik yang diajukan
tidak dapat menjadi suatu kekuatan yang mengikat dalam meredam konflik yang terjadi di
antara kedua belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA

Griffiths, M. (2001). Fifty Key Thinkers in International Relations edisi Bahasa Indonesia
Lima puluh Pemikir Studi Hubungan Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

Matinuddin, K. (2003). India-Pakistan Stand off. Summer 2003,

Pratihiba, G. (2015). A Study and Anaylisis of Challenges, Achievements and Hurdles .


SAARC Nations in Trade Integration and Growth
Sheel, K. S. (2011). South Asian Regionalism : Prospect and Challenges. Indian Foreign
Journal Affairs
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/10948/h.%20BAB%20IV.pdf?
sequence=8&isAllowed=y

https://saarc-sec.org/

Anda mungkin juga menyukai