Disusun oleh:
1. Christelle Clairine Siregar - 01051200011
2. Benedictus Samuel Noah Ponto - 01051200014
3. Chelsea Claresta - 01051200016
4. Clarine Felicia - 01051200034
5. Jolynne Amara - 01051200026
6. Marvella Beatrice - 01051200023
1
Sostenis Nggebu, “Korupsi dalam Sorotan Etika Kristen dan Implikasinya bagi Pendidikan Anti Korupsi”,
Jurnal of Christian Education Volume 2 Nomor 1 Tahun 2021 May , hal 24
mungkin agar bisa melakukan upaya pencegahan yang benar dan mengerti mengapa Allah
melarang tindakan ini.
BAB II
PEMBAHASAN ISU
2
Jack Bologna & Tommie Singleton, Fraud Auditing And Forensic Accounting, (New Jersey: John Wiliey &
Sons Ink, 2006)
3
https://klc.kemenkeu.go.id/faktor-penyebab-korupsi/ (diakses 26 Januari 2022)
melakukan suap sebagai tanda dari korupsi. Kebencian Allah terhadap suap/ korupsi terdapat
di dalam Firman- Nya yang diwahyukan oleh Yesaya kepada bangsa Yehuda mengenai
perilaku koruptif para pemimpin Yehuda (Yesaya 5:22-24). Akibatnya, Allah murka dan akan
menurunkan hukuman bagi mereka yang menerima suap. Hal ini membuktikan keterkaitan
dosa dengan kehendak Allah, dimana manusia memberontak dan menolak pengajaran Allah
semesta alam.
Dosa menduduki tempat di dalam hati seseorang. Hati merupakan inti dari terjadinya
dosa karena dari situ muncul segala pikiran yang jahat, sehingga harus dijaga dengan segala
kewaspadaan (Ams 4:23). Dosa tidak hanya mencakup perbuatan yang terlihat saja, tetapi
juga pikiran jahat yang sudah timbul dalam hari seseorang. Niat korupsi datang dari hati
seseorang dengan motivasi yang berbeda tanpa memandang betapa berkomitmen orang
tersebut dalam menghindari tindakan jahat itu. Sebelum tindakan korupsi dijalankan, pastinya
sudah muncul suatu pikiran jahat dan licik untuk merealisasikan tindakan tersebut dalam diri
seseorang. Pikiran ini sudah termasuk dalam dosa karena merupakan akar dari segala
perbuatan.
Tidak hanya itu, dosa biasanya berkedok apalagi dalam kasus-kasus korupsi seperti
menutupinya dengan alasan kebaikan dan keinginan untuk mengubah masa depan masyarakat
menjadi lebih maju. Isu paling utama dalam sebuah kasus korupsi adalah iming-imingan
ingin melakukan hal baik untuk masyarakat, tetapi malah berujung melakukan korupsi. Tidak
sampai di situ, pihak-pihak yang melakukan korupsi juga menutupi dosanya tersebut dengan
membuat laporan anggaran yang tidak transparan, melebih-lebihkan anggaran agar dapat
digunakan untuk kepentingan pribadi, serta pengelolaan keuangan yang tidak berdasar pada
aturan yang berlaku.
2.3 Hubungan Korupsi dengan sarana dalam pengekangan dosa
Terdapat 2 pemisahan antara sarana pengekangan dosa, yaitu wahyu umum dan
pemerintah. Wahyu umum dibagi ke dalam 3 bagian. Pertama, alam semesta (Mazmur 19).
Dari sini, Allah menyatakan anugerah umum yang bisa membantu manusia dalam menolak
atau menahan keinginan atau godaan untuk berbuat dosa dalam dirinya dengan menggunakan
hati nurani yang telah diberikan Allah. Hati nurani ini memampukan manusia untuk berbuat
baik dan benar, walau tidak secara sempurna. Kedua, sejarah dalam Alkitab yang
menunjukkan bahwa Allah sendiri telah mencegah umat-Nya untuk melakukan dosa. Hal ini
terdapat dalam Kejadian 20:6, dimana Allah mencegah Abimelekh untuk berbuat dosa.
Terakhir, susunan manusia yang dijelaskan oleh Paulus dalam Roma 2:14-15, dimana
manusia tidak hanya mengenal kebenaran dari ciptaan Allah lainnya, tetapi juga melalui hati
nuraninya. Allah telah menanamkan hukumnya dalam hati setiap orang yang kita kenal
sebagai hukum moral. Pengekangan dosa melalui pemerintah dapat dijumpai juga dalam
Firman Allah di Roma 13:3-4. Telah dijelaskan bahwa sarana pengekangan lain adalah
melalui sanksi atau hukuman yang terdapat di dalam sebuah negara atau pemerintahan
terhadap pelaku kejahatan.
Demikian juga dengan kasus korupsi yang harus diberantas dengan peraturan yang
menjatuhkan sanksi setimpal kepada pelaku. Adapun beberapa peraturan atau dasar hukum
yang mengatur tentang tindakan korupsi yaitu UUD 1945 Pasal 5 ayat 1, Pasal 20 ayat 2 dan
4, Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, serta Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang No. 20 tahun 2001. Tindakan
korupsi menurut Undang-Undang adalah setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau menguntungkan diri atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau
kedudukannya yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara4. Dimana,
hukuman dari tindakan ini adalah pidana seumur hidup/ pidana penjara paling singkat empat
tahun dan paling lama dua puluh tahun dengan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,005. Hukuman ini berlaku juga kepada pihak yang berusaha
membantu/ mencoba dalam melakukan tindakan korupsi tersebut.
Tindakan-tindakan perbuatan korupsi itu diatur oleh adanya Undang-Undang yang
menyebabkan pelaku korupsi tersebut bisa ditindaklanjuti diantaranya adalah suapan atau
dikenal juga dengan penyogokan yang diatur pada Pasal 5-13, serta mengenai
penggelapan yang dilakukan di jabatan yang diatur dalam pasal 8- pasal 10, sedangkan
pemerasan atau blackmail yang diatur dalam Pasal 12 bagian e, f, dan g Undang-Undang RI
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Korupsi yang
memiliki hubungan dengan gratifikasi yang diatur pada Pasal 12 b jo, dan Pasal 12 C. Segala
bentuk tindakan yang menyebabkan kerugian pada negara dan dikategorikan dalam perbuatan
korupsi semuanya diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
4
Pasal 2 dan Pasal 3, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
5
Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan tindakan tersebut dapat dituntut hukuman
sesuai dengan kategori perbuatannya6.
Sarana-sarana pengekangan dosa memuat yang pertama ialah wahyu umum Allah
yang berkaitan dengan hati nurani manusia, kedua adalah berbagai bentuk hukuman atas
pelanggaran yang ditetapkan pemerintah seperti adanya undang-undang yang mengatur
mengenai tindak pidana korupsi dan pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tersebut seperti yang telah dijelaskan. Selain kedua hal itu, sarana yang ketiga
dalam pengekangan dosa adalah adanya hubungan sosial dimana dosa seseorang dikekang
karena hubungannya dengan orang lain, Tuhan memberikan pengekangan dosa lewat aparat
penegak hukum yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Lembaga KPK ini
mempunyai wewenang untuk memberikan koordinasi penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi serta tugasnya melakukan tindakan pencegahan tindak
pidana korupsi serta melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara.
Lembaga ini dapat menjadi alat dalam mencegah banyaknya kasus korupsi yang merajalela,
adanya KPK ini dapat membantu memberantas segala kasus korupsi yang disebabkan oleh
seseorang yang melakukan dosa dengan mengambil milik orang lain secara tidak adil
sehingga KPK ialah sarana yang dibentuk sebagai salah satu bentuk pengekangan dosa agar
manusia menjadi takut untuk melakukan dosa khususnya dosa korupsi karena adanya
lembaga tersebut yang bertugas untuk menegakkan keadilan yang bertujuan mengekang
kebobrokan atau keberdosaan manusia.
6
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Korupsi adalah perbuatan melanggar hukum serta sebagai bentuk pengingkaran
kepada Tuhan karena ketamakan manusia. Korupsi adalah tindakan yang bertentangan
dengan kebenaran firman Allah, dikuasai keserakahan, bersifat tamak, membohongi hati
nurani dan mengabaikan tanggung jawab pribadi sebagai orang percaya, tindakan ini
mencederai hukum negara sebagai bentuk pengekangan dosa dan juga bertentangan dengan
kebenaran absolut yaitu Allah. Korupsi cenderung dimaksudkan untuk memperkaya diri
sendiri, orang lain serta berakibat pada kerugian negara dan perekonomian rakyat. Dosa
selalu berkaitan dengan Allah dan kehendak-Nya, sehingga dosa merupakan perlawanan/
pemberontakan terhadap Allah yang berakar pada kebencian terhadap Allah.
Sejarah dalam Alkitab yang menunjukkan bahwa Allah sendiri telah mencegah
umat-Nya untuk melakukan dosa seperti Allah mencegah Abimelekh untuk berbuat dosa.
Pengekangan dosa itu datangnya dari Allah yang berarti Allah yang memelihara dengan salah
satu sarana Tuhan yaitu dalam. Kejahatan korupsi sekalipun tidak pernah ada diluar
kedaulatan Allah oleh karena itu diciptakanlah berbagai bentuk hukuman atas pelanggaran
yang ditetapkan pemerintah seperti adanya undang-undang yang mengatur mengenai tindak
pidana korupsi dan pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Serta adanya aparat penegak hukum yaitu KPK yang memiliki kewenangan dalam
memberantas tindak korupsi sebagai bentuk sarana pengekangan dosa agar manusia menjadi
takut melakukan dosa korupsi tersebut.
3.2 Saran
Sebagai manusia ciptaan Allah yang sempurna sesuai dengan gambar dan rupa Allah,
kita harus menghindari sikap dan tindakan-tindakan korupsi. Jika korupsi terus berlangsung,
terlebih lagi di dalam negara Indonesia, maka negara indonesia dan kita, sebagai warga
negara Indonesia, di dalamnya akan merasakan dampaknya yang cenderung merugikan.
Dengan hal tersebut, kita harus berani menegakkan dan membela kebenaran dan kejujuran
demi menciptakan suasana hidup yang aman dan tentram sesuai dengan kehendak Allah. Kita
harus bersatu terus memperkuat iman kita untuk melawan korupsi melalui firman-firman
Allah dan menjauhi segala perbuatan tersebut karena Allah telah memberi kita akal budi serta
kemampuan untuk berpikir dan Allah telah mewujudkannya dalam anugerah umum sebagai
sarana untuk mengekang dosa manusia agar manusia tidak semakin hancur dalam dosa.
DAFTAR PUSTAKA
Bologna, Jack & Tommie Singleton. 2006. Fraud Auditing And Forensic Accounting.
New Jersey: John Wiliey & Sons Ink.
Corporatefinanceinstitute.com. Fraud Triangle. Diakses pada 26 Januari 2022, dari
/https://corporatefinanceinstitute.com/resources/knowledge/accounting/fraud-triangle/
Klc.kemenkeu.go.id. (2020, 30 Desember). Faktor Penyebab Korupsi. Diakses pada
26 Januari 2022, dari https://klc.kemenkeu.go.id/faktor-penyebab-korupsi/
Sostenis Nggebu, “Korupsi dalam Sorotan Etika Kristen dan Implikasinya bagi
Pendidikan Anti Korupsi”, Journal of Christian Education Volume 2 No. 1 (May 2021), hal
24-25
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi