Orasi Ilmiah
Oleh
PURNAWAN BASUNDORO
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadiran Allah SWT, karena
sampai detik ini kita masih diberi kenikmatan kesehatan dan kesempatan,
sehingga kita bisa hadir dalam forum yang sangat mulia ini. Selanjutnya saya
mengucapkan Dirgahayu Universitas Airlangga, semoga almamater kita tetap
menjadi universitas yang Excellent With Morality (universitas yang terkemuka
berlandaskan pada moralitas yang tinggi) menuju World Class University
(universitas bertaraf internasional).
Saya mengucapkan terima kasih kepada Panitia Dies Natalis Universitas
Airlangga ke-59 karena telah memberikan kehormatan yang amat tinggi kepada
saya untuk memberikan orasi ilmiah dalam Rapat Senat Akademik Universitas
Airlangga kali ini.
“Perebutan Ruang Kota: Problem Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan
Perkotaan di Indonesia ”
Orasi ilmiah akan saya awali dengan sebuah ilustrasi yang merupakan
pengalaman pribadi saya ketika awal kuliah di Yogyakarta duapuluh tiga tahun
yang lalu. Pada tahun 1991, tanpa sebuah kesalahan apapun, saya bersama
beberapa teman “diusir” dari kost saya di Terban (Yogyakarta) oleh pemilik kost,
dengan alasan bahwa tempat tersebut akan direnovasi. Tempat kost yang sangat
sederhana, yang hanya berdinding gedhek, yang sudah saya tempati selama satu
tahun pun akhirnya saya tinggalkan. Pada sore hari setelah maghrib, dengan
diangkut dua buah becak, saya pindahan ke kost baru di Blimbingsari. Sebagai
seorang pendatang yang belum begitu paham dengan seluk-beluk dan kondisi kota
Yogyakarta, saya memilih pindah ke kampung Blimbingsari, yang berjarak sekitar
satu kilometer dari kampus tempat saya kuliah di Fakultas Sastra, Universitas
Gadjah Mada. Pilihan untuk tinggal di Blimbingsari semata-mata karena jarak ke
kampus tidak terlalu jauh, sehingga tidak memerlukan ongkos tambahan untuk
naik angkutan kota. Cukup berjalan kaki sekitar lima belas menit, sudah sampai di
kampus. Maklum, uang saku bulanan sangat terbatas.
Beberapa saat sesudah saya tinggal di Blimbingsari, suatu sore saya
duduk-duduk dengan beberapa kawan di depan kamar kost. Tempat yang
digunakan untuk duduk-duduk adalah sebuah tempat duduk memanjang yang
terbuat dari beton cor. Semula saya mengira bahwa yang saya duduki benar-benar
dibuat untuk tempat duduk-duduk santai. Namun, beberapa saat kemudian saya
mulai curiga karena tempat duduk tersebut salah satu ujungnya membentuk
lengkungan, persis seperti makam untuk orang Tionghoa. Kecurigaan saya pun
akhirnya terjawab, ketika pada suatu kesempatan saya bertanya kepada teman-
teman yang lebih dahulu tinggal di tempat tersebut. Mereka menjawab bahwa
tempat yang kami gunakan untuk duduk-duduk memang sebuah bangunan makam
Tionghoa. Saya baru sadar, bahwa kampung Blimbingsari adalah bekas makam
Tionghoa yang diakuisisi oleh para pendatang ilegal untuk dijadikan tempat
tinggal. Makam Tionghoa tersebut kemudian berkembang menjadi perkampungan
di sebelah barat Universitas Gadjah Mada, dan banyak berdiri tempat kost untuk
mahasiswa.1
Beberapa tahun kemudian, setelah saya intensif mempelajari ruang-ruang
perkotaan dari perspektif sejarah, saya baru paham bahwa terbentuknya kampung
Blimbingsari merupakan hasil dari sebuah perebutan ruang. Walaupun kawasan
Blimbingsari pada awalnya adalah sebuah makam, bukan berarti perebutan ruang
yang terjadi di kawasan tersebut adalah antara yang telah mati dengan yang telah
hidup. Blimbingsari adalah hasil dari sebuah pertarungan antara para pewaris dari
yang telah dimakamkan, dengan para pendatang yang membutuhkan tempat
tinggal. Kekalahan para pewaris telah menyebabkan leluhur mereka merana di
dalam makam, karena di atas mereka telah muncul kehidupan baru yang tidak
layak muncul di tempat tersebut.
Ilustrasi yang agak berbeda terjadi pula di Kota Surabaya. Pada tahun
1970-an untuk keperluan pembuatan film yang berjudul Marabunta, yang
mengambil lokasi di kota Surabaya, diperlukan sebuah adegan perkelahian di
sebuah makam yang sepi dan terkesan angker. Tanpa sebuah pengamatan terlebih
dahulu pada siang hari, kru pembuatan film tersebut pada suatu malam
mendatangi sebuah makam terbesar di kota tersebut yaitu makam Kembang
Kuning. Mereka berharap akan menemukan sebuah suasana yang menyeramkan
1
Kisah ini sudah saya tulis dan dimuat dalam Purnawan Basundoro, “Status Sosial-
Ekonomi sebagai Basis Pembagian Ruang Kota,” dalam Budi Mulyono (ed.), Ruang Kota,
(Yogyakarta: Ekspresi Buku, 2011), hlm. 205-206
sesuai dengan tuntutan skenario, serta agar proses pengambilan gambar tidak
diganggu oleh orang-orang yang tinggal di sekitar makam. Dalam bayangan kru
pembuat film makam Kembang Kuning adalah sebuah lokasi yang sepi karena
jauh dari perkampungan.
Ketika semua persiapan pengambilan gambar sudah siap, lampu-lampu
penyorot dinyalakan, dan sutradara mengambil aba-aba agar adegan perkelahian
dimulai, tiba-tiba dari balik nisan muncul “manusia-manusia kuburan” yang kaget
karena ketenangan mereka dalam beristirahat terganggu dengan adanya aktivitas
pengambilan gambar tersebut. Alih-alih akan mendapatkan sebuah suasana
kuburan yang sepi dan menyeramkan, ternyata proses pengambilan adegan
perkelahian justru menjadi tontonan para penghuni kuburan Kembang Kuning.2
Manusia-manusia kuburan yang kaget karena ketenangan mereka terusik
bukanlah makhluk halus atau roh yang tinggal dibalik batu nisan makam
Kembang Kuning. Mereka adalah kelompok penduduk miskin kota yang tersisih
dari kehidupan yang wajar dan tidak memperoleh ruang yang layak di kota
Surabaya sehingga akhirnya menjadi gelandangan yang tidak memiliki rumah.
Dengan kata lain, mereka adalah kelompok masyarakat yang kalah ketika
memperebutkan ruang-ruang yang layak dan manusiawi di belantara kota. Ketika
mereka tidak mampu mengalahkan manusia yang hidup maka jalan satu-satunya
adalah mencoba mengalahkan manusia yang telah mati, yang tidak mungkin
melakukan perlawanan.
Realitas yang terjadi di makam Blimbingsari (Yogyakarta) dan makam
Kembang Kuning (Surabaya) adalah contoh betapa proses perebutan ruang di kota
besar sudah melembaga sedemikian keras, sehingga makam yang mestinya
menjadi tempat yang tenang untuk tempat beristirahat orang-orang yang sudah
pergi ke “alam sana” masih harus terganggu dengan kehadiran manusia-manusia
kuburan. Bisa jadi mereka yang tengah istirahat di alam lain tidak lagi RIP dalam
arti rest in peace (istirahat dalam kedamaian), tetapi rest in panic (istirahat dalam
kepanikan) karena ruang mereka tergusur oleh pendatang lain, yaitu para
gelandangan. Blimbingsari dan Kembang Kuning adalah contoh perebutan ruang
yang sudah mencapai taraf excessive (keterlaluan) karena sudah melewati batas-
batas kewajaran moral secara umum jika dipandang melalui kacamata orang-
orang yang bisa memperoleh ruang yang wajar, baik dari segi tempat maupun dari
segi kelayakan.3
2
Akhudiat, Masuk Kampung Keluar Kampung: Surabaya Kilas Balik, (Surabaya: Henk
Publica, 2008), hlm. 32
3
Baik para penganut agama maupun para pengemban tradisi yang berakar dari kesukuan,
makam biasanya dianggap sebagai tempat yang keramat dan harus dihormati karena di tempat
tersebut berbaring makhluk sejenis yang akan menghadap Sang Pencipta. Dalam agama Islam
misalnya terdapat petunjuk, aturan sopan-santun, perilaku, atau adab di makam, antara lain
dilarang duduk-duduk di atas makam. Terdapat hadist nabi yang mengatakan bahwa melompati
atau menduduki makam adalah perbuatan yang tidak disukai atau makruh. Masyarakat penganut
tradisi Jawa sangat percaya bahwa makam adalah salah satu tempat keramat yaitu tempat tinggal
roh-roh nenek moyang, sehingga pada hari-hari tertentu harus dibersihkan serta dibacakan doa-
doa. Anak-anak yang tiba-tiba sakit sering dikait-kaitkan dengan para “penunggu” di makam-
Hadirin yang terhormat,
pembagian ruang secara fisik, sekalipun di desa yang masih memiliki ruang yang relatif luas. Lihat
Andi Achdian, Tanah Bagi yang Tak Bertanah: Landreform pada Masa Demokrasi Terpimpin
1960-1965, (Bogor: Kekal Press, 2009).
8
Lihat Alan Gilbert dan Josef Gugler, Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996)
9
Ibid., hlm. 84
10
. Lihat Hernando de Soto, Masih ada Jalan Lain: Revolusi tersembunyi di Negara
Dunia Ketiga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), Petrick McAuslan, Tanah Perkotaan dan
Perlindungan Rakyat Jelata, (Jakarta: Gramedia, 1986), terutama Bab IV.
Hadirin yang saya muliakan,
11
W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 138.
12
Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel, Volkstelling 1930, Java en
Madoera, (Batavia Centrum: Landsdrukkerij, 1931). W. Brand dalam salah satu artikelnya
menyodorkan data yang cukup luas sebagai perbandingan. Pada tahun 1930 jumlah penduduk
Indonesia yang tinggal di kota mencapai 3,8 persen, dari jumlah tersebut penduduk yang tinggal di
kota-kota di Jawa dan Madura mencapai 4,7 persen dan di kota-kota pulau-pulau lain hanya 2
persen. Prosentase tersebut meningkat tajam pada tahun 1961. Pada tahun tersebut penduduk
Indonesia yang tinggal di kota mencapai 14,8 persen, khusus kota-kota di Jawa dan Madura dihuni
oleh 15,6 persen dan di kota-kota pulau pulau lain melonjak sampai 13,3 persen. W. Brand, “Some
Statistical Data on Indonesia,” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 125,
1969, hlm. 308.
13
Ibid., hlm. 259; Graeme J. Hugo, “Population Movements in Indonesia during the
Colonial Period,” dalam J.J. Fox et al. (ed.), Indonesia: Australian Perspectives, (Canbera:
Research School of Pasific Studies, ANU, 1980), hlm. 95-136.
14
F.W.M. Kerchman, 25 Jaren Decentralitatie in Nederlandsch-Indie 1905-1950,
(Semarang: Vereeniging voor Locale Belangen, 1930)
menikmati kota yang telah melahirkan imajinasi-imajinasi baru bagi kaum
pendatang.
15
. Lihat Roeslan Abdulgani, Api Revolusi di Surabaja, (Surabaja: Ksatrya, 1964), hlm.
43, Kementrian Penerangan, Djawa Timur, (Djakarta: Kementrian Penerangan, 1952).
16
Himawan Soetanto, Yogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor versus Jenderal
Sudirman, (Jakarta: Gramedia, 2006), Bab 4
17
W. Brand, “Some Statistical Data on Indonesia,” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-
en Volkenkunde, Deel 125, 1969, hlm. 308.
Sejak jaman kolonial sampai awal kemerdekaan, baik pemerintah kolonial
Belanda maupun pemerintah Indonesia, tidak pernah mengantisipasi kenaikan
jumlah penduduk di perkotaan yang sangat cepat tersebut, baik yang bersifat
preventif dengan cara membatasi jumlah kelahiran dan mengurangi arus migrasi,
maupun dengan cara menaikan daya dukung kota. Padahal kenaikan jumlah
penduduk tersebut berakibat cukup fatal pada kondisi kesejahteraan masyarakat
terutama masyarakat kelas bawah. Kenaikan jumlah penduduk yang tidak diikuti
dengan daya dukung kota yang memadai akan memicu timbulnya kemiskinan.
H.F. Tillema seorang apoteker di kota Semarang pada awal abad ke-20 amat
tertegun ketika menyaksikan kota-kota di Indonesia ternyata dihuni oleh sebagian
besar penduduk pribumi yang amat miskin. Kemiskinan mereka terlihat dengan
jelas pada kondisi pemukiman-pemukiman pribumi di berbagai kota di Indonesia,
terutama di kota Surabaya dan Semarang.18
Beberapa kota besar di Indonesia harus menanggung beban yang lebih
berat akibat kenaikan penduduk terutama yang disebabkan oleh arus migrasi. Hal
ini disebabkan karena pada periode kolonial sampai awal kemerdekaan ketika
kota yang berkembang baru sedikit, arus migrasi hanya menuju ke sedikit kota
besar sehingga terjadi penumpukan orang-orang miskin di kota-kota tersebut.19
Penelitian demografis yang dilakukan di beberapa kota seperti di Jakarta,
Surabaya, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, dan Makassar setelah
perang mengungkapkan keadaan yang bahkan lebih buruk dibandingkan dengan
kondisi di Jakarta (Batavia) pada tahun 1930-an.20 Kondisi ini terjadi karena kota-
kota di Indonesia sebenarnya tidak pernah dirancang untuk menampung lonjakan
penduduk dalam jumlah yang demikian tinggi. Pada awal abad ke-20 misalnya,
para perancang kota bahkan merancang dan mengangankan kota Batavia hanya
untuk 900.000 orang.21 Pada kenyataannya apa yang diangankan oleh perancang
kota tersebut tidak pernah terwujud. Kota Batavia, yang kemudian berubah nama
18
H.F. Tillema, Kromoblanda: Over ‘t Vraagstuk van “het Wonen” in Kromo’s Grote
Land, 6 Jilid, (’s-Gravenhage: uden Masman, De Atlas dan Adi Poestaka, 1915-1923).
19
Lihat Gavin Jones, ”Demografi dalam Kemiskinan di Kota,” dalam Dorodjatun
Kuntjoro-Jakti (peny.), Kemiskinan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm.
38-56
20
Lihat misalnya studi dari The Siauw Giap, ”Urbanisatieproblemen in Indonesia”, dalam
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 115, 1959, untuk melihat kondisi perkotaan di
Jawa. Untuk penelitian terhadap kondisi demografi di Makassar setelah periode perang lihat R.
Soemitro, “Zuigelingensterfte te Makassar,” Vol. III, 1950. Untuk kondisi Jakarta setelah perang
lihat H.J. Heeren, ”The Urbanisation of Djakarta,” dalam Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Vol.
VIII (1955). Pada tahun 1930-an J.H. de Haas melakukan penelitian demografi di Jakarta
(Batavia). Ia menemukan kondisi yang amat buruk bagi penduduk pribumi di kota tersebut, dan
menemukan korelasi positif antara kondisi pemukiman dengan kondisi kesehatan para
penghuninya. Penduduk pribumi yang rata-rata miskin dan tinggal di pemukiman-pemukiman
miskin pula memiliki resiko kematian paling tinggi diantara penduduk Eropa, Tionghoa, dan
pribumi. Lihat J.H. de Haas, ”Sterfte naar leeftijdsgroepen in Batavia in het bijzonder op den
konderleeftijd,” dalam Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, Vol. VI, 1939.
21
Adolf Heuken dan Grace Pamungkas, Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2001).
menjadi Jakarta, pada perkembangannya menjadi kota yang mendapat tekanan
jumlah penduduk paling kuat. Pada tahun 1954 kota ini telah berpenduduk
1.800.000 orang, dan pada tahun 1980 penduduk kota Jakarta telah melonjak
menjadi 6.500.000 orang.22 Bahkan saat ini, berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik penduduk Jakarta sudah mencapai 9.604.329 orang.
Kecilnya jumlah penduduk yang diharapkan tinggal di kota-kota di Jawa
terkait erat dengan keterbatasan jumlah lahan yang bisa diakses sebagai tempat
tinggal yang layak. Akibatnya, ketika tekanan penduduk semakin tinggi maka
problem utama yang timbul di kota-kota besar di Jawa adalah masalah
pemukiman. Penduduk asli yang tidak mampu membangun pemukiman yang
layak maupun para pendatang yang tidak bisa ditampung dalam rumah-rumah
yang memadai, akhirnya harus rela tinggal di pemukiman-pemukiman miskin
(low cost housing) dengan bahan seadanya dan sebagian lagi bahkan harus rela
hidup tanpa pemukiman sama sekali (pavement dwellers). Kondisi ini telah
mengakibatkan tumbuhnya kantong-kantong kemiskinan di berbagai kota di
Indonesia yang nyaris tidak bisa diatasi sampai saat ini.
22
Lihat Susan Abeyasekere, Jakarta: A History, (Singapore: Oxford University Press,
1987), hlm. 245
23
Hernando de Soto, Masih ada Jalan Lain: Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia
Ketiga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), bab 2 sampai 4.
24
Lea Jellinek, Seperti Roda Berputar: Perubahan Sosial Sebuah Kampung di Jakarta,
(Jakarta: LP3ES, 1994), terutama pada bab 3.
secara terus-menerus akan melibatkan ketegangan di antara sejumlah kelompok
kepentingan karena tingginya permintaan akan ruang baik oleh perorangan
maupun oleh kelompok tertentu. Oleh karena itu konflik yang menyangkut
penggunaan suatu lokasi tertentu dapat timbul dengan mudah. Freek Colombijn,
antropolog dari Vrije Universiteit Amsterdam, mengemukakan bahwa persaingan
untuk mendapatkan ruang di sini dianggap sebagai suatu perlombaan dan
hadiahnya adalah ruang tersebut. Tidak semua pemain atau tim dalam perlombaan
ini sama pentingnya, kelompok-kelompok yang paling strategis adalah yang
paling berpengaruh, sedangkan sebagian besar anggota masyarakat yang lainnya
harus menyesuaikan diri dengan keadaan supaya mereka dapat menemukan ruang
(niche) untuk mereka.25
Persaingan untuk mendapatkan ruang di kota biasanya melibatkan hampir
semua unsur yang menginginkan atau berkepentingan atas ruang tersebut.
Menurut Ramlan Surbakti, untuk kasus-kasus kontemporer, sebagian besar
perebutan ruang kota secara umum biasanya terjadi antara pemerintah kota
dengan masyarakat, yang polanya cukup beragam. Dalam kasus di Indonesia, ia
mengelompokan pola perebutan ruang kota menjadi delapan kategori umum,
yaitu:
1. Pemerintah kota dengan warga yang timbul karena perubahan peruntukan
tanah yang tidak transparan;
2. Pemerintah kota dengan perusahaan swasta akibat tindakan swasta
menyerobot tanah milik pemerintah kota;
3. Warga dengan investor;
4. Pemerintah kota dengan warga karena pembangunan fasilitas umum;
5. Pemerintah kota dengan legislatif karena pengalihan lahan tanpa
persetujuan kedua belah pihak;
6. Warga, investor, dan pemerintah kota (berdimensi segi tiga);
7. Warga dengan developer berkaitan dengan pembangunan fasilitas umum
di pemukiman;
8. Perebutan ruang karena prosedur administrasi yang salah.26
27
John Ingleson misalnya menemukan bahwa pada periode antara tahun 1910 sampai
tahun 1920-an sebagian besar tenaga kerja, dari sekitar 10.000 tenaga kerja di pelabuhan Surabaya,
adalah para pendatang dari Madura. John Ingleson, Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh,
Sarekat Kerja dan Perkotaan Masa Kolonial, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2004). hlm. 6
28
G.H. von Faber, Nieuw Soerabaia: De geschiedenis van Indie’s voornaamste koopstad
in de eerste kwarteeuw sedert hare instelling 1906-1931, (Soerabaia: N.V. Boekhandel en
Drukkerij, 1936), bab 3.
29
Ingleson, op. cit., hlm. 8.
30
Si Tjerdik Jr, Melantjong ka Soerabaia (Semarang: Boekhandel Kamadjoean, 1931),
hlm. 33
Penambahan pemukiman-pemukiman miskin di kota Surabaya
diperkirakan terjadi sejalan dengan kenaikan jumlah penduduk.31 Secara teoretik,
penambahan pemukiman memiliki konsekuensi terhadap ruang perkotaan, karena
ruang perkotaan tidak akan pernah bisa bertambah sejalan dengan karakteristik
tanah yang tidak bisa tumbuh melebar. Akibatnya, terjadi perebutan ruang yang
terus-menerus antara berbagai pihak yang juga memiliki kepentingan serupa
terhadap tanah di perkotaan. 32 Pada hakekatnya perebutan ruang di perkotaan
adalah perebutan ruang untuk hidup. Beranjak dari pemukiman-pemukiman
miskin, perebutan ruang-ruang perkotaan biasanya akan merambah pada ruang
lebih luas. Uraian sebelumnya mengemukakan bahwa pemukiman miskin akan
menciptakan persebaran kemiskinan dalam berbagai bentuk aktivitas yang
berkaitan dengan sektor informal yang juga membutuhkan ruang untuk kegiatan
di sektor tersebut. Pengasong, pedagang kaki lima, tukang reparasi, tukang becak,
tukang ojek semuanya membutuhkan ruang untuk aktivitas mereka.
Upaya orang-orang miskin di kota Surabaya untuk membangun tempat
tinggal yang layak terkendala dengan ketidakmampuan mereka untuk
mendapatkan ruang yang memadai dan legal, serta ketidakmampuan mereka
untuk membangun tempat yang akan mereka huni dengan bahan-bahan yang
memenuhi syarat.33 Oleh karena itu, jika di sudut-sudut kota Surabaya ditemukan
area pemukiman yang terbuat dari bahan apa adanya dan berdiri di tempat-tempat
yang tidak lazim, maka hal tersebut merupakan konsekuensi dari ketidakmampuan
orang miskin di kota tersebut untuk membangun tempat tinggal secara normal.
Kawasan semacam itu belum tentu merupakan hasil akhir dari sebuah
jalan panjang rakyat miskin di kota Surabaya dalam memperjuangkan tempat
hidup mereka, karena pemukiman-pemukiman miskin non-permanen selalu
bersifat sementara dan rentan terhadap pengusiran oleh kekuatan lain. Hal itu
menjadi gambaran paling umum di kota Surabaya, dimana rakyat miskin di kota
tersebut sering berada dalam bayang-bayang perebutan ruang dari waktu ke waktu
baik antar pendatang dengan penduduk setempat, antara pendatang dengan
pendatang, antara rakyat miskin dengan institusi negara, serta antara rakyat miskin
dengan kelompok-kelompok lain.
31
Kecenderungan semacam itu hampir selalu terjadi di kota-kota di negara berkembang.
Lihat J.P. Dickenson et al., A Geography of the Third World, (New York: Methuen & Co., 1986),
Chapter 7.
32
Salah satu studi kontemporer tentang perebutan ruang kota oleh para pelaku ekonomi
informal di perkotaan adalah yang dilakukan oleh Alisjahbana, Sisi Gelap Perkembangan Kota:
Resistensi Sektor Informal dalam Perspektif Sosiologis, (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo,
2005).
33
Gejala semacam ini di kota Surabaya mengalami peningkatan yang amat tajam setelah
Indonesia merdeka. Sjamsu Koesmen dan Pangestu B.W., Buku Petundjuk Kota Besar Surabaja,
(Surabaya: Djawatan Penerangan Kota Besar Surabaja, 1957)
Setelah saya meninjau kasus-kasus perebutan ruang perkotaan di masa
lampau, marilah kita meninjau perebutan ruang kota pada periode kontemporer.
Perebutan ruang kota pada periode kontemporer atau pada periode masa kini tidak
kalah sengitnya dengan yang telah terjadi pada masa lalu. Beberapa tahun yang
lalu bahkan Universitas Airlangga juga terlibat dalam aksi-aksi perebutan ruang
perkotaan yang melibatkan para pedagang kaki lima. Pada awal tahun 2000-an di
sepanjang trotoar Jalan Airlangga (di depan kantor rektorat lama di kampus B)
bercokol puluhan pedagang makanan yang menggelar dagangannya di kawasan
tersebut. Beberapa kali keberadaan pedagang tersebut diusir, beberapa kali pula
mereka kembali berjualan di tempat tersebut. Pihak Universitas Airlangga
kemudian memagar kawasan di sepanjang trotoar, namun di beberapa tempat
pagarnya malah dijebol dan pedagang kembali lagi ke tempat tersebut. Pihak
Universitas Airlangga kemudian berinisiatif memasang plang bertuliskan ”Di
larang berjualan di depan kantor.” Beruntung para pedagang tidak membalas
dengan memasang tulisan ”Di larang berkantor di belakang orang jualan.” Dengan
pendekatan persuasif para pedagang di sepanjang trotoar Jalan Airlangga akhirnya
dapat dipindahkan, walaupun saat ini ada tanda-tanda mereka datang lagi.
Di Jakarta, beberapa waktu yang lalu dua orang janda mantan istri pejuang
dan pensiunan pegawai PT Pos Indonesia harus duduk di meja pesakitan karena
dituduh menempati secara tidak sah rumah dinas mereka, padahal lembaga tempat
suaminya pernah bekerja membutuhkan tanah tempat berdirinya rumah tersebut
untuk pengembangan kantor. Di Surabaya, beberapa waktu yang lalu pula, ratusan
penghuni stren kali di Jagir Wonokromo sisi selatan digusur secara paksa oleh
Satuan Polisi Pamongpraja Kota Surabaya karena dianggap menempati lahan
yang bukan lahan hunian secara tidak sah. Kasus-kasus serupa maupun yang mirip
juga muncul di berbagai kota besar di Indonesia.
Kasus di trotoar di sepanjang Jalan Airlangga yang melibatkan pihak
Universitas Airlangga dengan pedagang kaki lima menunjukkan bahwa trotoar
tersebut merupakan sepenggal ruang kota yang diperebutkan. Kasus serupa terjadi
di banyak tempat baik di Kota Surabaya maupun di kota-kota lain. Penggusuran
pemukiman kawasan Danau Sunter dan Danau Rio-Rio di Jakarta maupun tarik
ulur antara Gubernur Jakarta, Joko Widodo, dengan para pedagang kaki lima yang
berjualan di jalan-jalan di kawasan Pasar Tanah Abang menunjukkan bahwa
betapa mahalnya harga ruang di perkotaan, sehingga ruang-ruang perkotaan akan
senantiasa berada dalam ketegangan karena diperebutkan oleh berbagai pihak
yang berkepentingan atas ruang tersebut. Eksekusi sebuah lahan di Kota Makassar
pada tanggal 21 Oktober 2013 juga berakhir ricuh karena ratusan warga yang
telah puluhan tahun mendiami lahan tersebut menolak eksekusi. Mereka melawan
proses eksekusi dengan cara melempari petugas dengan bom molotov dan panah. 34
Di Batam, sengketa perkampungan padat di kawasan Kampung Tua, Tanjung
34
“Sengketa Lahan: Warga bentrok di Kampar dan Makassar,” Kompas, 22 Oktober
2013.
Uma malah berkembang menjadi konflik dengan kekerasan dan mengarah pada
isu bentrok antar suku yang mengkhawatirkan. 35 Jika trend kenaikan penduduk di
perkotaan terus terjadi, dan tidak ada solusi untuk mengatasinya terkait dengan
aksesibilitas ruang kota oleh semua penduduk secara merata, maka kasus-kasus
serupa akan terus terjadi.
Mengapa hal tersebut terjadi? Prins dan Nas dalam artikelnya yang
berjudul “The Struggle for The Third World City” mengemukakan bahwa semua
kegiatan manusia harus menggunakan ruang. Hubungan-hubungan sosial
dibangun di atas landasan struktur ruang (spatial structure), dan hubungan-
hubungan ini, demikian juga struktur ruang, selalu dilanda ketegangan. 36
Pemikiran tersebut menjadi landasan dasar dalam menganalisis penggunaan
ruang-ruang perkotaan. Semakin banyak individu atau kelompok ingin mengakses
ruang yang sama, maka semakin tinggi ketegangan yang melanda kawasan ruang
tersebut. Jika kota diasumsikan sebagai ruang yang paling banyak diminati oleh
manusia maka ketegangan di kota jauh lebih besar dan lebih intensif jika
dibandingkan dengan tempat lain.37
McKenzi mengistilahkan proses perebutan ruang kota sebagai invasi atas
ruang. Menurutnya proses invasi dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu initial stage
(tahap permulaan), secondary stage (tahap lanjutan), dan climax stage (tahap
klimaks). Proses permulaan invasi ditandai adanya gejala ekspansi geografis dari
satu grup sosial dan kemudian menemui tantangan dari penduduk yang ada pada
daerah yang terkena ekspansi. Pada tahapan lanjutan persaingan semakin seru
yang kemudian diikuti proses displacement (perpindahan), selection (seleksi), dan
assimilation (asimilasi). Intensitas proses displacement, selection, assimilation
sangat ditentukan oleh sifat yang mengekspansi maupun yang diekspansi.
Kelompok-kelompok yang terpaksa kalah bersaing akan menempati/mengadakan
ekspansi ke wilayah lain yang lebih lemah dan kemudian akan diikuti oleh suksesi
baru. Pada saat terakhir tersebut akan tercapai tahapan klimaks.38 Tahapan klimaks
dapat dicapai setelah tercapai equilibrium (keseimbangan) antar kelompok-
kelompok yang saling bersaing untuk mendapatkan ruang tersebut. Equilibrium
dapat tercapai ketika semua kelompok sudah mendapatkan bagiannya masing-
masing dari ruang yang diperebutkan tersebut, walaupun hal tersebut sangat sulit
terwujud.
35
“Sengketa Lahan: Warga Kampung Tua Akan Aksi Damai,” Kompas, 23 Oktober
2013.
36
Wil J.M. Prins and Peter J.M. Nas, “The Struggle for The Third World City” dalam G.
Ansari and P.J.M. Nas (ed.), Town-Talk: The Dynamics of Urban Antropology, (Leiden: Brill,
1983), hlm. 158-167
37
Ibid.
38
R.D. McKenzie, “The Ecological Approach to the Study of the Human Community.”
dalam R.E. Park, E.W, Burges, dan R.D. Mckenzie, The City, (Chicago: University of Chicago
Press, 1967)
Hadirin yang sangat saya muliakan,
39
Paulus Haryono, Sosiologi Kota untuk Arsitek, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 133;
Ali Madanipour, Design of Urban Space: An Inquiry into a Social-Spatial Process, (New York:
John Wiley & Son, 1996), hlm. 167
berkembang menjadi kota yang manusiawi karena ruang kota terbagi secara
proporsional. Orang kaya dan orang miskin bisa menikmati ruang kota secara adil
tanpa perkecualian. Namun upaya pembagian ruang kota secara proporsional
hendaknya diikuti dengan dijalankannya peraturan perundangan tentang
pemanfaatan ruang kota secara ketat. Jika tidak, niscaya gejala perebutan ruang
kota secara masif akan terus terjadi yang tentu saja berdampak terhadap kurang
nyamannya kehidupan di perkotaan.
Demikianlah sedikit pemikiran dari saya, semoga yang sedikit ini
bermanfaat secara akademis, terutama dalam bidang sejarah perkotaan, sosiologi
perkotaan, maupun ilmu-ilmu sosial yang lain. Dan saya juga berharap, semoga
sedikit pemikiran ini juga bermanfaat secara pragmatis, terutama sebagai landasan
pembangunan kota-kota di Indonesia mendatang.
Daftar Pustaka
Achdian, Andi. 2009. Tanah Bagi yang Tak Bertanah: Landreform pada Masa
Demokrasi Terpimpin 1960-1965. Bogor: Kekal Press
Basundoro, Purnawan. 2013. Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota
Surabaya 1900-1960an. Jakarta: Marjin Kiri
Dickenson, J.P. et al.1986. A Geography of the Third World. New York: Methuen
& Co.
Gilbert, Alan dan Josef Gugler. 1996. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia
Ketiga. Yogyakarta: Tiara Wacana
Haryono, Paulus. 2007. Sosiologi Kota untuk Arsitek. Jakarta: Bumi Aksara
Ingleson, John. 2004. Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Kerja
dan Perkotaan Masa Kolonial. Jakarta: Komunitas Bambu
Jellinek, Lea. 1994. Seperti Roda Berputar: Perubahan Sosial Sebuah Kampung
di Jakarta. Jakarta: LP3ES
Koesmen, Sjamsu dan Pangestu B.W. 1957. Buku Petundjuk Kota Besar
Surabaja. Surabaya: Djawatan Penerangan Kota Besar Surabaja
Prins, Wil J.M. and Peter J.M. Nas. 1983. “The Struggle for The Third World
City” dalam G. Ansari and P.J.M. Nas (ed.). Town-Talk: The Dynamics of
Urban Antropology. Leiden: Brill
Taylor, Jean Gelman. 2009. Kehidupan Sosial di Batavia. Jakarta: Masup Jakarta
RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama : Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum.
NIP : 197105271999031001
Tempat/Tanggal lahir : Banjarnegara, 27 Mei 1971
Agama : Islam
Pekerjaan : Dosen Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Airlangga
Pangkat/Golongan : Pembina Tingkat I / IV A
Jabatan : Lektor Kepala
Alamat Rumah : Surya Asri 2 Blok F 1 No. 2, Sidoarjo
Alamat Pekerjaan : Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu
Budaya, Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan
Surabaya
Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Dasar dan Menengah
2. Pendidikan Tinggi
Tahun 1996 : Lulus Sarjana Sastra (Jurusan Sejarah), Fakultas Satra,
Universitas Gadjah Mada
Tahun 1999 : Lulus Pascasarjana S2 Program Studi Sejarah,
Universitas Gadjah Mada
Tahun 2011 : Lulus Pascasarjana S3 Program Studi Sejarah,
Universitas Gadjah Mada (Cum Laude)
3. Pendidikan Tambahan
Tahun 2000 : Mengikuti Pelatihan Metode Belajar Mengajar
(Applied Approach Method), Universitas Airlangga
Tahun 2004 : Workshop on Street Image Universitas Gadjah Mada-
Universitas Leiden
Tahun 209- : Sandwich-Like Program, Vrije University
2010 Amsterdam, Belanda
Riwayat Jabatan
Tahun 2003-2005 : Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu
Budaya
Tahun 2005-2007 : Ketua Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas ilmu
Budaya
Tahun 2012-sekarang : Ketua Unit Penelitian, Penerbitan, dan
Dokumentasi (UP2D) Fakultas Ilmu Budaya
Sejak Tahun 2013 : Ketua Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu
Budaya
Sejak Tahun 2013 : Anggota Tim Pendamping Kemahasiswaan
Universitas (TPKU)
Pekerjaan Lain
Tahun 2004-sekarang : Tim Penilai Buku Teks dan Non-teks Pelajaran
Sejarah, Pusat Kurikulum dan Perbukuan,
Balitbang Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan
Sejak Tahun 2013 : Tim Pengembang Penilaian Buku Teks
Pelajaran Sejarah, Pusat Kurikulum dan
Perbukuan, Balitbang Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan
Kegiatan Lainnya
Tahun 2000-sekarang : Peneliti tidak tetap pada Lembaga Studi
Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEU
Indonesia) Jakarta
Karya Ilmiah
Buku:
Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak
Kolonial sampai Kemerdekaan, (Yogyakarta: Ombak, 2009)
Purnawan Basundoro, Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya
1900-1960an, (Jakarta: Marjin Kiri, 2013)
11. Editor Buku Tempo Doeloe Selaloe Aktoeal, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2007)
13. “Ekonomi Kota Malang pada Awal Kemerdekaan sampai Tahun 1950-an,”
Jurnal Kependidikan dan Kebudayaan, Jilid 25, No. 1, April 2007
14. “Gerakan Protes Rakyat Miskin di Kota Surabaya pada Awal Abad Ke-20,”
dalam M. Nursam dkk (ed.), Sejarah yang Memihak: Mengenang Sartono
Kartodirdjo, (Yogyakarta: OMBAK, 2008)
18. “Dari Listrik Kolonial ke Listrik Nasional: Studi Awal tentang NV. ANIEM
Surabaya,” INDIKATOR Vol. IX No. 1, Maret 2009, Universitas Flores, NTT
20. “Penduduk dan Hubungan antar Etnis di Kota Surabaya pada Masa Kolonial,”
INDIKATOR Vol. XII No. 2, September 2010, Universitas Flores, NTT
21. “Dari Kampung Desa ke Kampung Kota: Perubahan Ekologi Kota Surabaya
dalam Perspektif Permukiman pada Masa Kolonial,” Jantra Vol. V, No. 10,
Desember 2010
22. “Status Sosial-Ekonomi Warga sebagai Basis Pembagian Ruang Kota,” Epilog
dalam Anna Nurlaila Kurniasari dkk, Ruang Kota, (Yogyakarta: Ekspresi
Buku, 2011)
23. “Kisah Hidup Mantan Tahanan Politik Pulau Buru di Pedesaan Kabupaten
Banjarnegara Tahun 1979-2004,” dalam Agus Suwignyo, Abdul Wahid,
Widya Fitria Ningsih (ed.), Sejarah Sosial (di) Indonesia: Perkembangan dan
Kekuatan, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2011)
24. “Situs Industri Kota Surabaya: Warisan dari Masa Kolonial sampai Awal
Kemerdekaan,” dalam Sri Margana dan Heri Priyatmoko, Kolonialisme.
Kebudayaan, dan Warisan Sejarah, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM,
2011)
25. “Antara Baju Loreng dan Baju Rombeng: Kontrol Tentara terhadap Rakyat
Miskin di Kota Surabaya Tahun 1950-an,” MASYARAKAT,
KEBUDAYAAN DAN POLITIK, Vol. 24, Nomor 4, Oktober-Desember
2011, FISIP Universitas Airlangga
26. “A.R. Baswedan: dari Ampel ke Indonesia,” LAKON Vol. 1 No. 1, Juli 2012,
Magister Kajian Sastra dan Budaya, Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Airlangga
27. Editor Buku Potret Tatanan: Ruang Publik, Ekopolitik, dan Budaya Jawa
Timur, (Surabaya: UK2JT FIB Unair dan Elmatera, 2012)
28. “Penguasaan Tanah di Kota Surabaya sejak Masa Kolonial sampai Awal
Kemerdekaan,” dalam Purnawan Basundoro dan Johny a. Khusyairi (ed.),
Potret Tatanan: Ruang Publik, Ekopolitik, dan Budaya Jawa Timur,
(Surabaya: UK2JT FIB Unair dan Elmatera, 2012)
29. “Rakyat Miskin dan Perebutan Ruang Kota di Surabaya Tahun 1900-1960-
an.” MASYARAKAT INDONESIA MAJALAH ILMU-ILMU SOSIAL Vo.
38, No. 2, Desember 2012, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Jakarta
11. “Antara Mitos dan Realitas Masa lalu di Sepanjang Sungai Brantas.”
Penelitian untuk Penulisan Perubahan Lingkungan DAS Brantas dalam
Perspektif Sejarah, dengan Direktorat Geografi Sejarah, Direktorat Jenderal
Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta 2007
12. “Dari Listrik Kolonial Ke Listrik Nasional: Studi Awal Tentang NV. Aniem
Surabaya”. Makalah dipresentasikan pada Para-konferensi “Ekonomi,
Identitas Kultural dan Demokrasi Politik di Indonesia, 1945-1960an”.
Yogyakarta, 11 Agustus 2008.
13. ”Pilar Simbolik Penopang Kekuasaan Suharto”. Makalah untuk diskusi buku
karya Katharine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar
Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: Syarikat,
2008), yang diselanggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Airlangga, Surabaya, 6 Nopember 2008
15. ”Ibnu Sutowo: Bidan Perusahaan Minyak Nasional,” Makalah untuk Diskusi
Buku karya Ramadhan KH, Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita, (Jakarta:
National Press Club, 2008), diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga bekerja sama dengan National Press Club, Surabaya, 12
Mei 2009
18. ”Sejarah Pemerintah Kota Surabaya sejak Masa Kolonial sampai Masa
Reformasi,” Penelitian Kerjasama Departemen Ilmu Sejarah dengan Badan
Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya, 2012
Konferensi:
2 The 3rd International Poor People and the Struggle for 8-9 November
Graduate Student Urban Space in Surabaya 1900- 2011, UGM
Conference on Indonesia 1960s Yogyakarta