Anda di halaman 1dari 30

PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI,

DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Orasi Ilmiah

Disampaikan pada Sidang Universitas Airlangga


dalam rangka peringatan Dies Natalis Universitas Airlangga ke-59
di Surabaya pada hari Senin Tanggal 11 November 2013

Oleh

PURNAWAN BASUNDORO

Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya


Universitas Airlangga
Assalamu alaikum Wr.Wb.
Yang terhormat:
Ketua dan Sekretaris beserta Anggota Senat Akademik Universitas Airlangga
Rektor dan Para Wakil Rektor Universitas Airlangga
Dekan dan Wakil Dekan Fakultas di Universitas Airlangga
Para Guru Besar Universitas Airlangga
Para Guru Besar Tamu,
Rekan Dosen, Tenaga Kependidikan, serta Civitas Akademika Universitas
Airlangga.

Dan seluruh undangan yang saya muliakan,

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadiran Allah SWT, karena
sampai detik ini kita masih diberi kenikmatan kesehatan dan kesempatan,
sehingga kita bisa hadir dalam forum yang sangat mulia ini. Selanjutnya saya
mengucapkan Dirgahayu Universitas Airlangga, semoga almamater kita tetap
menjadi universitas yang Excellent With Morality (universitas yang terkemuka
berlandaskan pada moralitas yang tinggi) menuju World Class University
(universitas bertaraf internasional).
Saya mengucapkan terima kasih kepada Panitia Dies Natalis Universitas
Airlangga ke-59 karena telah memberikan kehormatan yang amat tinggi kepada
saya untuk memberikan orasi ilmiah dalam Rapat Senat Akademik Universitas
Airlangga kali ini.

Hadirin yang saya muliakan,


Selanjutnya, perkenankan saya untuk menyampaikan orasi ilmiah pada mimbar
akademik yang mulia ini dengan judul

“Perebutan Ruang Kota: Problem Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan
Perkotaan di Indonesia ”

Orasi ilmiah akan saya awali dengan sebuah ilustrasi yang merupakan
pengalaman pribadi saya ketika awal kuliah di Yogyakarta duapuluh tiga tahun
yang lalu. Pada tahun 1991, tanpa sebuah kesalahan apapun, saya bersama
beberapa teman “diusir” dari kost saya di Terban (Yogyakarta) oleh pemilik kost,
dengan alasan bahwa tempat tersebut akan direnovasi. Tempat kost yang sangat
sederhana, yang hanya berdinding gedhek, yang sudah saya tempati selama satu
tahun pun akhirnya saya tinggalkan. Pada sore hari setelah maghrib, dengan
diangkut dua buah becak, saya pindahan ke kost baru di Blimbingsari. Sebagai
seorang pendatang yang belum begitu paham dengan seluk-beluk dan kondisi kota
Yogyakarta, saya memilih pindah ke kampung Blimbingsari, yang berjarak sekitar
satu kilometer dari kampus tempat saya kuliah di Fakultas Sastra, Universitas
Gadjah Mada. Pilihan untuk tinggal di Blimbingsari semata-mata karena jarak ke
kampus tidak terlalu jauh, sehingga tidak memerlukan ongkos tambahan untuk
naik angkutan kota. Cukup berjalan kaki sekitar lima belas menit, sudah sampai di
kampus. Maklum, uang saku bulanan sangat terbatas.
Beberapa saat sesudah saya tinggal di Blimbingsari, suatu sore saya
duduk-duduk dengan beberapa kawan di depan kamar kost. Tempat yang
digunakan untuk duduk-duduk adalah sebuah tempat duduk memanjang yang
terbuat dari beton cor. Semula saya mengira bahwa yang saya duduki benar-benar
dibuat untuk tempat duduk-duduk santai. Namun, beberapa saat kemudian saya
mulai curiga karena tempat duduk tersebut salah satu ujungnya membentuk
lengkungan, persis seperti makam untuk orang Tionghoa. Kecurigaan saya pun
akhirnya terjawab, ketika pada suatu kesempatan saya bertanya kepada teman-
teman yang lebih dahulu tinggal di tempat tersebut. Mereka menjawab bahwa
tempat yang kami gunakan untuk duduk-duduk memang sebuah bangunan makam
Tionghoa. Saya baru sadar, bahwa kampung Blimbingsari adalah bekas makam
Tionghoa yang diakuisisi oleh para pendatang ilegal untuk dijadikan tempat
tinggal. Makam Tionghoa tersebut kemudian berkembang menjadi perkampungan
di sebelah barat Universitas Gadjah Mada, dan banyak berdiri tempat kost untuk
mahasiswa.1
Beberapa tahun kemudian, setelah saya intensif mempelajari ruang-ruang
perkotaan dari perspektif sejarah, saya baru paham bahwa terbentuknya kampung
Blimbingsari merupakan hasil dari sebuah perebutan ruang. Walaupun kawasan
Blimbingsari pada awalnya adalah sebuah makam, bukan berarti perebutan ruang
yang terjadi di kawasan tersebut adalah antara yang telah mati dengan yang telah
hidup. Blimbingsari adalah hasil dari sebuah pertarungan antara para pewaris dari
yang telah dimakamkan, dengan para pendatang yang membutuhkan tempat
tinggal. Kekalahan para pewaris telah menyebabkan leluhur mereka merana di
dalam makam, karena di atas mereka telah muncul kehidupan baru yang tidak
layak muncul di tempat tersebut.

Hadirin yang saya hormati,

Ilustrasi yang agak berbeda terjadi pula di Kota Surabaya. Pada tahun
1970-an untuk keperluan pembuatan film yang berjudul Marabunta, yang
mengambil lokasi di kota Surabaya, diperlukan sebuah adegan perkelahian di
sebuah makam yang sepi dan terkesan angker. Tanpa sebuah pengamatan terlebih
dahulu pada siang hari, kru pembuatan film tersebut pada suatu malam
mendatangi sebuah makam terbesar di kota tersebut yaitu makam Kembang
Kuning. Mereka berharap akan menemukan sebuah suasana yang menyeramkan

1
Kisah ini sudah saya tulis dan dimuat dalam Purnawan Basundoro, “Status Sosial-
Ekonomi sebagai Basis Pembagian Ruang Kota,” dalam Budi Mulyono (ed.), Ruang Kota,
(Yogyakarta: Ekspresi Buku, 2011), hlm. 205-206
sesuai dengan tuntutan skenario, serta agar proses pengambilan gambar tidak
diganggu oleh orang-orang yang tinggal di sekitar makam. Dalam bayangan kru
pembuat film makam Kembang Kuning adalah sebuah lokasi yang sepi karena
jauh dari perkampungan.
Ketika semua persiapan pengambilan gambar sudah siap, lampu-lampu
penyorot dinyalakan, dan sutradara mengambil aba-aba agar adegan perkelahian
dimulai, tiba-tiba dari balik nisan muncul “manusia-manusia kuburan” yang kaget
karena ketenangan mereka dalam beristirahat terganggu dengan adanya aktivitas
pengambilan gambar tersebut. Alih-alih akan mendapatkan sebuah suasana
kuburan yang sepi dan menyeramkan, ternyata proses pengambilan adegan
perkelahian justru menjadi tontonan para penghuni kuburan Kembang Kuning.2
Manusia-manusia kuburan yang kaget karena ketenangan mereka terusik
bukanlah makhluk halus atau roh yang tinggal dibalik batu nisan makam
Kembang Kuning. Mereka adalah kelompok penduduk miskin kota yang tersisih
dari kehidupan yang wajar dan tidak memperoleh ruang yang layak di kota
Surabaya sehingga akhirnya menjadi gelandangan yang tidak memiliki rumah.
Dengan kata lain, mereka adalah kelompok masyarakat yang kalah ketika
memperebutkan ruang-ruang yang layak dan manusiawi di belantara kota. Ketika
mereka tidak mampu mengalahkan manusia yang hidup maka jalan satu-satunya
adalah mencoba mengalahkan manusia yang telah mati, yang tidak mungkin
melakukan perlawanan.
Realitas yang terjadi di makam Blimbingsari (Yogyakarta) dan makam
Kembang Kuning (Surabaya) adalah contoh betapa proses perebutan ruang di kota
besar sudah melembaga sedemikian keras, sehingga makam yang mestinya
menjadi tempat yang tenang untuk tempat beristirahat orang-orang yang sudah
pergi ke “alam sana” masih harus terganggu dengan kehadiran manusia-manusia
kuburan. Bisa jadi mereka yang tengah istirahat di alam lain tidak lagi RIP dalam
arti rest in peace (istirahat dalam kedamaian), tetapi rest in panic (istirahat dalam
kepanikan) karena ruang mereka tergusur oleh pendatang lain, yaitu para
gelandangan. Blimbingsari dan Kembang Kuning adalah contoh perebutan ruang
yang sudah mencapai taraf excessive (keterlaluan) karena sudah melewati batas-
batas kewajaran moral secara umum jika dipandang melalui kacamata orang-
orang yang bisa memperoleh ruang yang wajar, baik dari segi tempat maupun dari
segi kelayakan.3
2
Akhudiat, Masuk Kampung Keluar Kampung: Surabaya Kilas Balik, (Surabaya: Henk
Publica, 2008), hlm. 32
3
Baik para penganut agama maupun para pengemban tradisi yang berakar dari kesukuan,
makam biasanya dianggap sebagai tempat yang keramat dan harus dihormati karena di tempat
tersebut berbaring makhluk sejenis yang akan menghadap Sang Pencipta. Dalam agama Islam
misalnya terdapat petunjuk, aturan sopan-santun, perilaku, atau adab di makam, antara lain
dilarang duduk-duduk di atas makam. Terdapat hadist nabi yang mengatakan bahwa melompati
atau menduduki makam adalah perbuatan yang tidak disukai atau makruh. Masyarakat penganut
tradisi Jawa sangat percaya bahwa makam adalah salah satu tempat keramat yaitu tempat tinggal
roh-roh nenek moyang, sehingga pada hari-hari tertentu harus dibersihkan serta dibacakan doa-
doa. Anak-anak yang tiba-tiba sakit sering dikait-kaitkan dengan para “penunggu” di makam-
Hadirin yang terhormat,

Berubahnya makam Blimbingsari dan Kembang Kuning menjadi


pemukiman yang terjadi secara paksa merupakan bagian dari kenyataan ketika
kota-kota berkembang tidak terkendali, akibat kenaikan jumlah penduduk yang
terjadi secara simultan dan tidak dibarengi dengan kebijakan untuk membagi dan
menata ruang secara adil oleh pemegang otoritas kota.4 Ketika para penghuni kota
atau orang-orang yang tertarik untuk tinggal di kota dibiarkan untuk bersaing
secara bebas, maka akan terjadi proses dimana ruang-ruang kota yang masih
terbuka diperebutkan secara bebas pula.5 Bahkan tidak jarang ruang kosong yang
sudah memiliki legalitas klaim, yang mestinya bukan lagi ruang kosong secara
hukum, karena sudah ada otoritas di tempat itu, diabaikan begitu saja oleh
individu atau kelompok yang merasa memiliki kekuatan untuk menduduki ruang
tersebut.6
Menilik kenyatan tersebut maka sejatinya antara kenaikan jumlah
penduduk yang tidak terkendali yang berujung pada kebutuhan akan ruang, ruang
kota yang terbatas, dan kekuatan (powers) yang dimiliki oleh kelompok maupun
individu penghuni kota, memiliki keterkaitan yang erat yang berujung pada klaim
terhadap ruang kota. Jika klaim dilawan oleh klaim yang lain, maka sebuah proses
perebutan ruang kota tengah terjadi. Proses semacam ini hampir melanda semua
kota di dunia dimana kenaikan jumlah penduduk kota tidak terkendali, dan tidak
diikuti kebijakan untuk membagi ruang kota secara adil dan legal. Pembagian
ruang kota secara adil mustahil dilakukan manakala kota hanya memiliki ruang
yang amat terbatas sementara ruang tersebut tidak ubahnya sebagai sebuah
komoditi.7 Dalam hukum komoditi maka siapa yang memiliki modal yang lebih
makam keramat. Makam adalah salah satu tempat yang harus dihormati selain masjid. Lihat A.
Hassan, Tarjamah Bulughul Maraam Berikut Keterangan dan Penjelasannya, (Bangil: Pustaka
Tamam, 2001), hlm. 261. Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), hlm. 91-103
4
Sebagian besar bagian ini diambil dari buku Purnawan Basundoro, Pengantar Sejarah
Kota, (Yogyakarta: Ombak, 2012), Bab VIII
5
Sejak merdeka, Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur
penggunaan tanah di perkotaan. Undang-undang pertanahan yang telah ada beserta peraturan di
bawahnya sangat dipengaruhi oleh semangat pengaturan tanah untuk pertanian, bukan pengaturan
tanah untuk tempat bermukim di perkotaan. Akibatnya pada setiap masa selalu muncul kasus-
kasus pertanahan di perkotaan yang selalu berakhir dengan konflik antar individu atau kelompok
yang memperebutkan tanah tersebut.
6
Legalitas klaim atas tanah biasanya dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat, pethok D,
letter C, dan lain-lain. Namun legalitas yang paling kuat dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat
tanah. Sarjita, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah,
(Yogyakarta: Tugu Jogja Pustaka, 2005)
7
Dalam kasus Indonesia berbagai kebijakan yang memiliki muatan untuk membagi ruang
secara fisik hanya bisa diberlakukan di daerah pedesaan karena konteks pembagian ruang tersebut
lebih bernuansa agraris. Beberapa undang-undang yang mengatur pembagian ruang secara fisik
(tanah) yang cukup monumental antara lain Agrarisch Wet 1870 dan Undang-Undang Pokok
Agraria 1960. Bahkan aturan tentang pembagian tanah (landreform) yang digariskan dalam
UUPA 1960 tidak pernah bisa dijalankan lagi secara wajar, walaupun di pedesaan, sejak undang-
undang tersebut diundangkan. Artinya, terdapat problem yang mendasar berkaitan dengan proses
besar dan lebih baik, apapun bentuknya, maka dialah yang akan berhasil
menguasai ruang tersebut.
Konsentrasi penduduk di kota-kota besar di negara-negara Dunia Ketiga
sudah sejak awal abad ke-20 terjadi dengan kecepatan yang sangat tinggi, seiring
dengan pertumbuhan kota-kota tersebut menjadi kota industri. Sayangnya,
pertumbuhan penduduk yang besar tidak sebanding dengan pertumbuhan
industrialisasi. Para ahli menyebut fenomena tersebut sebagai “urbanisasi
berlebih” (over-urbanization), “urbanisasi semu” (pseudo-urbanization), atau
“hiper-urbanisasi” (hyper-urbanization).8 Kondisi semacam itu, menurut Gilbert
dan Gugler telah melahirkan pengangguran, setengah pengangguran, dan
pekerjaan keliru. Mereka adalah orang-orang miskin di perkotaan yang kemudian
menjadi beban dari kota tersebut, terutama berkaitan dengan bagaimana dan di
mana mereka harus hidup.9
Rakyat miskin adalah kelompok yang memiliki modal yang amat minimal.
Di kota-kota yang dikembangkan dengan mengedepankan ide-ide liberal dan
kapitalis maka orang miskin adalah beban bagi sebuah kota. Tidak ada tempat
yang layak bagi orang miskin untuk menempati ruang kota. Jika kenyataannya
sampai saat ini mereka masih bisa mempertahankan diri untuk tinggal di kota,
maka hal ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, kota telah menjadi tempat
yang nyaman untuk hidup dan bertempat tinggal dibandingkan dengan kawasan
lain, katakanlah desa. Kedua, tidak ada pilihan lain selain bertahan di kota dengan
segala resiko yang harus terus-menerus dihadapi, yaitu bertahan atau melawan.
Eksistensi rakyat miskin di kota merupakan bagian dari paradoks kota. Pada satu
sisi kota dianggap menghasilkan dan menjadi sumber dari peradaban, tetapi pada
saat yang bersamaan kota juga melahirkan masyarakat yang “kurang beradab”.
Kenyataan semacam ini bukanlah kenyataan sesaat tetapi lahir melalui proses
sejarah yang amat panjang melalui persaingan antara yang “beradab” dan yang
“tidak beradab”. Dalam proses sejarah yang panjang itulah proses bertahan dan
melawan dalam rangka memperoleh ruang untuk hidup terus-menerus dilakukan.
Perjuangan rakyat miskin kota dalam rangka memperoleh ruang untuk hidup
muncul dalam bentuk yang amat beragam, terutama di negara-negara dunia
ketiga, dimana kemampuan negara untuk mengelola rakyat miskin di perkotaan
masih amat terbatas, serta tingginya angka urbanisasi di kota-kota besar. Kasus-
kasus semacam ini banyak muncul di Amerika Latin, Asia Selatan, Asia
Tenggara, serta di Afrika.10

pembagian ruang secara fisik, sekalipun di desa yang masih memiliki ruang yang relatif luas. Lihat
Andi Achdian, Tanah Bagi yang Tak Bertanah: Landreform pada Masa Demokrasi Terpimpin
1960-1965, (Bogor: Kekal Press, 2009).
8
Lihat Alan Gilbert dan Josef Gugler, Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996)
9
Ibid., hlm. 84
10
. Lihat Hernando de Soto, Masih ada Jalan Lain: Revolusi tersembunyi di Negara
Dunia Ketiga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), Petrick McAuslan, Tanah Perkotaan dan
Perlindungan Rakyat Jelata, (Jakarta: Gramedia, 1986), terutama Bab IV.
Hadirin yang saya muliakan,

Kota-kota di Jawa mulai mengalami berbagai persoalan ketika terjadi


perubahan yang amat drastis, dari kota tradisional menuju ke kota modern.
Menurut seorang sosiolog dari Belanda, W.F. Wertheim, kota-kota di Indonesia
mengalami loncatan perubahan yang mendasar setelah tahun 1870. Liberalisasi
ekonomi yang dimulai setelah diundangkannya Undang-Undang Agraria dan
Undang-Undang Gula, telah meningkatkan perdagangan dan industri, memperluas
administrasi sipil, dan mengakibatkan kenaikan cepat jumlah penduduk perkotaan
di Jawa.11 Sensus penduduk tahun 1920 mencatat bahwa 6,63 persen penduduk
Jawa tinggal di kota, dan pada sensus penduduk tahun 1930 penduduk yang
tinggal di kota melonjak menjadi 8,7 persen. Dari jumlah tersebut, 3,8 persen
tinggal di kota-kota yang berpenduduk lebih dari 100.000 jiwa.12
Tingginya pertumbuhan penduduk kota sebelum Indonesia merdeka
disebabkan karena tingginya arus migrasi dari desa ke kota. Penghitungan
penduduk tahun 1940 mencatat, bahwa lebih dari setengah penduduk kota
Bandung, Batavia, dan Surabaya dilahirkan di luar batas kota tersebut, namun
mayoritas dilahirkan di propinsi di mana kota tersebut terletak. 13 Melonjaknya
kedatangan orang-orang Eropa ke kota-kota di Indonesia bisa jadi merupakan
faktor penentu yang melahirkan modernisasi kota. Keputusan mereka untuk
memilih tinggal di sebagian besar kota-kota di Indonesia telah melahirkan
tuntutan adanya otonomi kota yang direalisasikan dengan dibentuknya
pemerintahan kota yang otonom (gemeente) yang didasarkan pada Undang-
Undang Desentralisasi (Desentralisatie Wet) 1903 yang mulai dilaksanakan pada
tahun 1905.14 Modernisasi kota-kota itulah yang pada akhirnya memancing proses
migrasi yang lebih besar. Orang-orang dari desa berbondong-bondong datang ke
kota untuk mencari penghidupan baru yang lebih menjanjikan, sekaligus

11
W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 138.
12
Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel, Volkstelling 1930, Java en
Madoera, (Batavia Centrum: Landsdrukkerij, 1931). W. Brand dalam salah satu artikelnya
menyodorkan data yang cukup luas sebagai perbandingan. Pada tahun 1930 jumlah penduduk
Indonesia yang tinggal di kota mencapai 3,8 persen, dari jumlah tersebut penduduk yang tinggal di
kota-kota di Jawa dan Madura mencapai 4,7 persen dan di kota-kota pulau-pulau lain hanya 2
persen. Prosentase tersebut meningkat tajam pada tahun 1961. Pada tahun tersebut penduduk
Indonesia yang tinggal di kota mencapai 14,8 persen, khusus kota-kota di Jawa dan Madura dihuni
oleh 15,6 persen dan di kota-kota pulau pulau lain melonjak sampai 13,3 persen. W. Brand, “Some
Statistical Data on Indonesia,” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 125,
1969, hlm. 308.
13
Ibid., hlm. 259; Graeme J. Hugo, “Population Movements in Indonesia during the
Colonial Period,” dalam J.J. Fox et al. (ed.), Indonesia: Australian Perspectives, (Canbera:
Research School of Pasific Studies, ANU, 1980), hlm. 95-136.
14
F.W.M. Kerchman, 25 Jaren Decentralitatie in Nederlandsch-Indie 1905-1950,
(Semarang: Vereeniging voor Locale Belangen, 1930)
menikmati kota yang telah melahirkan imajinasi-imajinasi baru bagi kaum
pendatang.

Hadirin yang terhormat,

Uraian di atas menunjukkan bahwa sudah sejak sebelum perang jumlah


penduduk di kota-kota besar di Indonesia sudah sangat tinggi. Sebagai contoh,
sejak awal abad ke-20 penduduk Kota Surabaya terus-menerus mengalami
kenaikan, dsebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini:

Penduduk Kota SurabayaTahun 1906-1940

Tahun Eropa Cina Arab Timur Bumiputra Jumlah


Asing
1906 8.063 14.843 2.482 327 124.473 150.188
1913 8.063 16.685 2.693 374 105.817 133.632
1920 18.714 18.020 2.593 165 148.411 187.903
1921 19.524 23.206 3.155 363 146.810 193.058
1922 20.105 27.595 3.410 504 148.000 199.614
1923 20.855 30.653 3.639 644 149.000 204.791
1924 22.153 32.005 3.818 847 150.000 208.823
1925 23.314 32.868 3.922 870 196.825 257.799
1926 24.372 33.370 4.040 981 188.977 251.740
1927 23.782 35.077 4.078 1.008 188.977 252.922
1928 24.625 36.850 4.208 1.039 188.977 255.699
1929 25.346 38.389 4.610 1.167 188.977 258.489
1930 26.502 42.768 4.994 1.303 265.872 341.493
1931 27.628 43.288 5.298 1.384 265.872 343.470
1932 26.411 40.781 5.634 1.444 274.000 352.129
1933 26.882 39.792 5.227 1.521 280.000 357.362
1934 27.297 40.533 5.175 1.519 286.000 365.524
1935 27.599 41.749 5.209 1.152 290.000 370.709
1936 28.548 43.650 4.998 900 294.000 377.096
1937 29.783 46.219 4.961 890 294.000 380.853
1938 30.687 43.779 4.921 929 294.000 390.989
1939 32.601 45.767 5.148 968 300.000 390.394
1940 34.576 47.884 5.242 1.027 308.000 396.720
Sumber:
G.H. von Faber, Nieuw Soerabaia: De geschiedenis van Indie’s voornaamste
koopstad in de eerste kwarteeuw sedert hare instelling 1906-1931, (Surabaya:
Boekhandel en Drukkerij, 1936); Verslag der Gemeente Soerabaja over het Jaar
1940; Bureau van Statistiek Soerabaja, Statistische berichten der Gemeente
Soerabaja jaarnummer 1931, (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1932), hlm. 1

Namun perubahan yang amat drastis terjadi setelah Indonesia berhasil


keluar dari peperangan pasca proklamasi kemerdekaan. Selama periode perang
penduduk di beberapa kota besar di Indonesia dengan terpaksa harus keluar dari
kota mereka ke daerah-daerah pengungsian. Beberapa peristiwa yang
menyebabkan penduduk di beberapa kota besar harus keluar dari kota mereka
antara lain, pertama, ketika kota Surabaya diserang oleh pasukan Sekutu selama
bulan Oktober dan Nopember tahun 1945. Perang besar yang berkobar di kota ini
telah menyebabkan ribuan penduduk harus menyelamatkan diri ke daerah yang
lebih aman di luar kota. Bahkan pemerintahan kota dan propinsi yang
berkedudukan di kota Surabaya juga harus mengungsi.15 Kedua, sebagai
konsekuensi dari perjanjian Renville, tentara yang masih berada di luar wilayah
Republik Indonesia harus keluar dari wilayah tersebut menuju ke kantong-
kantong republik. Akibatnya, kota Jakarta dan Bandung ditinggalkan oleh
sebagian besar tentara dari Divisi Siliwangi beserta keluarga-keluarga mereka
dalam jumlah yang cukup besar (hijrah).16
Namun, setelah perang berakhir gerakan untuk memasuki kota
berlangsung kembali bahkan dalam jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan
dengan jumlah penduduk kota yang keluar ketika terjadi pengungsian. Ketika
kota-kota mulai aman dan aktivitas perekonomian mulai bergerak kembali, kota
menjadi salah satu tujuan dari masyarakat pedesaan untuk mengadu dan
mengubah nasib. Kondisi ini telah menyebabkan jumlah penduduk di kota besar
terutama di Jawa mengalami lonjakan yang cukup tajam.17

Penduduk Kota Surabaya Tahun 1945-1958

Tahun Eropa Cina Arab Timur Bumiputra Jumlah


Asing
1945 n.a. n.a. n.a. n.a.
n.a. 618.369
1946 n.a. n.a. n.a. n.a.
n.a. 171.715
1951 32.392 109.551 7.811 2.660
703.477 855.891
1955 24.568 110.336 7.691 2.584
783.624 928.803
1956 18.701 114.649 8.057 2.136
821.662 960.126
1957 17.556 118.285 8.189 2.137
866.436 1.012.617
1958 16.482 120.096 8.302 2.281
896.122 1.043.283
Sumber:
“Kantor voor Bevolkingszaken Soerabaja, 23 Agustus 1946,” dalam Procureur-
General bij het hooggerechtshof Nederlandsch-Indie 1945-1950. Koleksi
Nationaal Archief Den Haag No. Inventaris 1135;
Perdamaian, 4 Januari 1951; Perdamaian, 28 April 1955; Perdamaian, 7
Nopember 1956; Suara Rakjat, 26 Agustus 1957; Harian Umum, 21 Januari 1958

15
. Lihat Roeslan Abdulgani, Api Revolusi di Surabaja, (Surabaja: Ksatrya, 1964), hlm.
43, Kementrian Penerangan, Djawa Timur, (Djakarta: Kementrian Penerangan, 1952).
16
Himawan Soetanto, Yogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor versus Jenderal
Sudirman, (Jakarta: Gramedia, 2006), Bab 4
17
W. Brand, “Some Statistical Data on Indonesia,” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-
en Volkenkunde, Deel 125, 1969, hlm. 308.
Sejak jaman kolonial sampai awal kemerdekaan, baik pemerintah kolonial
Belanda maupun pemerintah Indonesia, tidak pernah mengantisipasi kenaikan
jumlah penduduk di perkotaan yang sangat cepat tersebut, baik yang bersifat
preventif dengan cara membatasi jumlah kelahiran dan mengurangi arus migrasi,
maupun dengan cara menaikan daya dukung kota. Padahal kenaikan jumlah
penduduk tersebut berakibat cukup fatal pada kondisi kesejahteraan masyarakat
terutama masyarakat kelas bawah. Kenaikan jumlah penduduk yang tidak diikuti
dengan daya dukung kota yang memadai akan memicu timbulnya kemiskinan.
H.F. Tillema seorang apoteker di kota Semarang pada awal abad ke-20 amat
tertegun ketika menyaksikan kota-kota di Indonesia ternyata dihuni oleh sebagian
besar penduduk pribumi yang amat miskin. Kemiskinan mereka terlihat dengan
jelas pada kondisi pemukiman-pemukiman pribumi di berbagai kota di Indonesia,
terutama di kota Surabaya dan Semarang.18
Beberapa kota besar di Indonesia harus menanggung beban yang lebih
berat akibat kenaikan penduduk terutama yang disebabkan oleh arus migrasi. Hal
ini disebabkan karena pada periode kolonial sampai awal kemerdekaan ketika
kota yang berkembang baru sedikit, arus migrasi hanya menuju ke sedikit kota
besar sehingga terjadi penumpukan orang-orang miskin di kota-kota tersebut.19
Penelitian demografis yang dilakukan di beberapa kota seperti di Jakarta,
Surabaya, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, dan Makassar setelah
perang mengungkapkan keadaan yang bahkan lebih buruk dibandingkan dengan
kondisi di Jakarta (Batavia) pada tahun 1930-an.20 Kondisi ini terjadi karena kota-
kota di Indonesia sebenarnya tidak pernah dirancang untuk menampung lonjakan
penduduk dalam jumlah yang demikian tinggi. Pada awal abad ke-20 misalnya,
para perancang kota bahkan merancang dan mengangankan kota Batavia hanya
untuk 900.000 orang.21 Pada kenyataannya apa yang diangankan oleh perancang
kota tersebut tidak pernah terwujud. Kota Batavia, yang kemudian berubah nama
18
H.F. Tillema, Kromoblanda: Over ‘t Vraagstuk van “het Wonen” in Kromo’s Grote
Land, 6 Jilid, (’s-Gravenhage: uden Masman, De Atlas dan Adi Poestaka, 1915-1923).
19
Lihat Gavin Jones, ”Demografi dalam Kemiskinan di Kota,” dalam Dorodjatun
Kuntjoro-Jakti (peny.), Kemiskinan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm.
38-56
20
Lihat misalnya studi dari The Siauw Giap, ”Urbanisatieproblemen in Indonesia”, dalam
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 115, 1959, untuk melihat kondisi perkotaan di
Jawa. Untuk penelitian terhadap kondisi demografi di Makassar setelah periode perang lihat R.
Soemitro, “Zuigelingensterfte te Makassar,” Vol. III, 1950. Untuk kondisi Jakarta setelah perang
lihat H.J. Heeren, ”The Urbanisation of Djakarta,” dalam Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Vol.
VIII (1955). Pada tahun 1930-an J.H. de Haas melakukan penelitian demografi di Jakarta
(Batavia). Ia menemukan kondisi yang amat buruk bagi penduduk pribumi di kota tersebut, dan
menemukan korelasi positif antara kondisi pemukiman dengan kondisi kesehatan para
penghuninya. Penduduk pribumi yang rata-rata miskin dan tinggal di pemukiman-pemukiman
miskin pula memiliki resiko kematian paling tinggi diantara penduduk Eropa, Tionghoa, dan
pribumi. Lihat J.H. de Haas, ”Sterfte naar leeftijdsgroepen in Batavia in het bijzonder op den
konderleeftijd,” dalam Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, Vol. VI, 1939.
21
Adolf Heuken dan Grace Pamungkas, Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2001).
menjadi Jakarta, pada perkembangannya menjadi kota yang mendapat tekanan
jumlah penduduk paling kuat. Pada tahun 1954 kota ini telah berpenduduk
1.800.000 orang, dan pada tahun 1980 penduduk kota Jakarta telah melonjak
menjadi 6.500.000 orang.22 Bahkan saat ini, berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik penduduk Jakarta sudah mencapai 9.604.329 orang.
Kecilnya jumlah penduduk yang diharapkan tinggal di kota-kota di Jawa
terkait erat dengan keterbatasan jumlah lahan yang bisa diakses sebagai tempat
tinggal yang layak. Akibatnya, ketika tekanan penduduk semakin tinggi maka
problem utama yang timbul di kota-kota besar di Jawa adalah masalah
pemukiman. Penduduk asli yang tidak mampu membangun pemukiman yang
layak maupun para pendatang yang tidak bisa ditampung dalam rumah-rumah
yang memadai, akhirnya harus rela tinggal di pemukiman-pemukiman miskin
(low cost housing) dengan bahan seadanya dan sebagian lagi bahkan harus rela
hidup tanpa pemukiman sama sekali (pavement dwellers). Kondisi ini telah
mengakibatkan tumbuhnya kantong-kantong kemiskinan di berbagai kota di
Indonesia yang nyaris tidak bisa diatasi sampai saat ini.

Hadirin yang saya muliakan,

Keberadaan pemukiman-pemukiman miskin di kota kemudian


berkembang menjadi salah satu simpul dari problem perkotaan yang lebih luas
yang tidak hanya mencakup permasalahan pemukiman itu sendiri tetapi juga
mencakup banyak dimensi yang menurut Hernando de Soto bersifat informal. 23
Hal itu terjadi karena pemukiman miskin di perkotaan secara umum akan
menciptakan persebaran kemiskinan dalam bentuk-bentuk yang beraneka ragam
seperti sistem ekonomi perkotaan yang bersifat informal berskala kecil dalam
bentuk pedagang asongan, pemulung, tukang rombeng, pedagang kaki lima,
tukang sayur keliling, tukang minyak, tukang reparasi sepeda, dan sebagainya.
Pemukiman miskin juga menghasilkan sistem transportasi yang bersifat informal
seperti tukang becak, tukang ojek, taksi gelap, dan sebagainya. Keberadaan sektor
informal di kalangan masyarakat miskin perkotaan disebabkan karena rendahnya
ketrampilan yang dimiliki oleh para pendatang serta jumlah mereka yang tidak
sebanding dengan ketersediaan lapangan kerja di kota.24
Munculnya berbagai dimensi yang bersifat informal di perkotaan
mengindikasikan bahwa sistem yang ada tidak dirancang untuk menerima para
pendatang dalam skala besar karena ruang kota memang terbatas. Terbatasnya
ruang kota membawa konsekuensi bahwa penggunaan ruang yang berlangsung

22
Lihat Susan Abeyasekere, Jakarta: A History, (Singapore: Oxford University Press,
1987), hlm. 245
23
Hernando de Soto, Masih ada Jalan Lain: Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia
Ketiga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), bab 2 sampai 4.
24
Lea Jellinek, Seperti Roda Berputar: Perubahan Sosial Sebuah Kampung di Jakarta,
(Jakarta: LP3ES, 1994), terutama pada bab 3.
secara terus-menerus akan melibatkan ketegangan di antara sejumlah kelompok
kepentingan karena tingginya permintaan akan ruang baik oleh perorangan
maupun oleh kelompok tertentu. Oleh karena itu konflik yang menyangkut
penggunaan suatu lokasi tertentu dapat timbul dengan mudah. Freek Colombijn,
antropolog dari Vrije Universiteit Amsterdam, mengemukakan bahwa persaingan
untuk mendapatkan ruang di sini dianggap sebagai suatu perlombaan dan
hadiahnya adalah ruang tersebut. Tidak semua pemain atau tim dalam perlombaan
ini sama pentingnya, kelompok-kelompok yang paling strategis adalah yang
paling berpengaruh, sedangkan sebagian besar anggota masyarakat yang lainnya
harus menyesuaikan diri dengan keadaan supaya mereka dapat menemukan ruang
(niche) untuk mereka.25
Persaingan untuk mendapatkan ruang di kota biasanya melibatkan hampir
semua unsur yang menginginkan atau berkepentingan atas ruang tersebut.
Menurut Ramlan Surbakti, untuk kasus-kasus kontemporer, sebagian besar
perebutan ruang kota secara umum biasanya terjadi antara pemerintah kota
dengan masyarakat, yang polanya cukup beragam. Dalam kasus di Indonesia, ia
mengelompokan pola perebutan ruang kota menjadi delapan kategori umum,
yaitu:
1. Pemerintah kota dengan warga yang timbul karena perubahan peruntukan
tanah yang tidak transparan;
2. Pemerintah kota dengan perusahaan swasta akibat tindakan swasta
menyerobot tanah milik pemerintah kota;
3. Warga dengan investor;
4. Pemerintah kota dengan warga karena pembangunan fasilitas umum;
5. Pemerintah kota dengan legislatif karena pengalihan lahan tanpa
persetujuan kedua belah pihak;
6. Warga, investor, dan pemerintah kota (berdimensi segi tiga);
7. Warga dengan developer berkaitan dengan pembangunan fasilitas umum
di pemukiman;
8. Perebutan ruang karena prosedur administrasi yang salah.26

Dalam konteks persaingan inilah kelompok masyarakat miskin di kota


juga harus ikut berkompetisi untuk mendapatkan ruang terutama untuk memenuhi
kebutuhan primer mereka, yaitu tempat bermukim dan mencari penghidupan.
Salah satu kota di Indonesia yang menjadi ajang perebutan ruang yang
masif adalah kota Surabaya. Surabaya merupakan kota terbesar di Indonesia pada
25
Freek Colombijn, Paco-Paco (Kota) Padang: Sejarah Sebuah Kota di Indonesia pada
Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota, (Yogyakarta: Ombak, 2006), hlm. 3
26
Ramlan Surbakti, ”Perebutan Ruang di Perkotaan dan Pembenarannya,” PRISMA No.
9, 1996. Menurut Patrick McAuslan, pola perebutan ruang kota secara garis besar hanya
melibatkan sedikit kelompok kepentingan, antara lain pemerintah kota, investor, rakyat. Patrick
McAuslan, Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata, (Jakarta: Gramedia, 1986), Bab IV
dan Bab IX
akhir abad ke-19 yang menjadi pusat ekonomi yang paling dinamis, karena
memiliki kawasan hinterland yang subur, dan juga telah tumbuh menjadi kota
industri terkemuka di Indonesia. Sebagai kota yang tumbuh dinamis dan sebagai
kota industri, Surabaya sejak lama telah menjadi tujuan utama kaum pendatang
dari pedesaan di wilayah-wilayah sekitar.27 Akibatnya, baik mereka yang sudah
lama menetap maupun para pendatang, di kota Surabaya menghadapi
permasalahan yang sama, yaitu tempat tinggal. Penduduk yang telah lama
menetap, terutama dari kelas bawah, tidak memiliki sumber daya yang memadai
untuk membangun pemukiman yang layak, baik dari segi kesehatan maupun
estetika. Rumah-rumah tampak seadanya, bahkan Von Faber, dalam publikasinya
yang terbit tahun 1936, menyebut rumah-rumah tersebut hanya layak untuk
kandang ternak.28 Para pendatang yang lebih belakangan, terutama dari kalangan
Bumiputra, menghadapi masalah yang lebih berat lagi. Mereka rata-rata adalah
orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi rendah sehingga tidak mampu
mengakses tempat tinggal yang layak. Akibatnya, mereka harus rela tinggal di
berbagai tempat dengan kondisi yang menyedihkan, bahkan sebagian besar
tinggal di tempat-tempat dengan status ilegal, menggelandang atau menjadi
jembel. 29
Ingleson memberi gambaran bahwa di salah satu kampung di kota
Surabaya terdapat satu rumah yang dihuni oleh 23 pekerja pendatang Bumiputra,
padahal rumah tersebut hanya memiliki lebar 3 meter dan panjang 8 meter, serta
tinggi 1,7 meter. Rumah tersebut dibangun dari bambu dengan lantai tanah yang
amat kotor. Tempat tinggal itu dikelilingi oleh rumah-rumah dengan kondisi
serupa, baik yang ditempati oleh orang-orang yang sudah lama menetap di kota
itu, maupun para pendatang yang bersifat temporer. Sebuah catatan perjalanan
yang dibuat oleh salah seorang warga Semarang ketika berkunjung ke kota
Surabaya menyebutkan bahwa kota Surabaya merupakan kota tercantik di Hindia
Belanda, namun ia menyayangkan bahwa di banyak tempat terdapat orang-orang
miskin yang tidak memiliki tempat tinggal, yang hanya membangun ”rumah”
manakala matahari tenggelam dan membongkarnya kembali manakala matahari
terbit. Mereka itulah orang-orang yang tidak beruntung ketika mengadu nasib di
kota besar.30

27
John Ingleson misalnya menemukan bahwa pada periode antara tahun 1910 sampai
tahun 1920-an sebagian besar tenaga kerja, dari sekitar 10.000 tenaga kerja di pelabuhan Surabaya,
adalah para pendatang dari Madura. John Ingleson, Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh,
Sarekat Kerja dan Perkotaan Masa Kolonial, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2004). hlm. 6
28
G.H. von Faber, Nieuw Soerabaia: De geschiedenis van Indie’s voornaamste koopstad
in de eerste kwarteeuw sedert hare instelling 1906-1931, (Soerabaia: N.V. Boekhandel en
Drukkerij, 1936), bab 3.
29
Ingleson, op. cit., hlm. 8.
30
Si Tjerdik Jr, Melantjong ka Soerabaia (Semarang: Boekhandel Kamadjoean, 1931),
hlm. 33
Penambahan pemukiman-pemukiman miskin di kota Surabaya
diperkirakan terjadi sejalan dengan kenaikan jumlah penduduk.31 Secara teoretik,
penambahan pemukiman memiliki konsekuensi terhadap ruang perkotaan, karena
ruang perkotaan tidak akan pernah bisa bertambah sejalan dengan karakteristik
tanah yang tidak bisa tumbuh melebar. Akibatnya, terjadi perebutan ruang yang
terus-menerus antara berbagai pihak yang juga memiliki kepentingan serupa
terhadap tanah di perkotaan. 32 Pada hakekatnya perebutan ruang di perkotaan
adalah perebutan ruang untuk hidup. Beranjak dari pemukiman-pemukiman
miskin, perebutan ruang-ruang perkotaan biasanya akan merambah pada ruang
lebih luas. Uraian sebelumnya mengemukakan bahwa pemukiman miskin akan
menciptakan persebaran kemiskinan dalam berbagai bentuk aktivitas yang
berkaitan dengan sektor informal yang juga membutuhkan ruang untuk kegiatan
di sektor tersebut. Pengasong, pedagang kaki lima, tukang reparasi, tukang becak,
tukang ojek semuanya membutuhkan ruang untuk aktivitas mereka.
Upaya orang-orang miskin di kota Surabaya untuk membangun tempat
tinggal yang layak terkendala dengan ketidakmampuan mereka untuk
mendapatkan ruang yang memadai dan legal, serta ketidakmampuan mereka
untuk membangun tempat yang akan mereka huni dengan bahan-bahan yang
memenuhi syarat.33 Oleh karena itu, jika di sudut-sudut kota Surabaya ditemukan
area pemukiman yang terbuat dari bahan apa adanya dan berdiri di tempat-tempat
yang tidak lazim, maka hal tersebut merupakan konsekuensi dari ketidakmampuan
orang miskin di kota tersebut untuk membangun tempat tinggal secara normal.
Kawasan semacam itu belum tentu merupakan hasil akhir dari sebuah
jalan panjang rakyat miskin di kota Surabaya dalam memperjuangkan tempat
hidup mereka, karena pemukiman-pemukiman miskin non-permanen selalu
bersifat sementara dan rentan terhadap pengusiran oleh kekuatan lain. Hal itu
menjadi gambaran paling umum di kota Surabaya, dimana rakyat miskin di kota
tersebut sering berada dalam bayang-bayang perebutan ruang dari waktu ke waktu
baik antar pendatang dengan penduduk setempat, antara pendatang dengan
pendatang, antara rakyat miskin dengan institusi negara, serta antara rakyat miskin
dengan kelompok-kelompok lain.

Kasus-kasus Kontemporer dan Masa Depan Ruang Perkotaan

31
Kecenderungan semacam itu hampir selalu terjadi di kota-kota di negara berkembang.
Lihat J.P. Dickenson et al., A Geography of the Third World, (New York: Methuen & Co., 1986),
Chapter 7.
32
Salah satu studi kontemporer tentang perebutan ruang kota oleh para pelaku ekonomi
informal di perkotaan adalah yang dilakukan oleh Alisjahbana, Sisi Gelap Perkembangan Kota:
Resistensi Sektor Informal dalam Perspektif Sosiologis, (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo,
2005).
33
Gejala semacam ini di kota Surabaya mengalami peningkatan yang amat tajam setelah
Indonesia merdeka. Sjamsu Koesmen dan Pangestu B.W., Buku Petundjuk Kota Besar Surabaja,
(Surabaya: Djawatan Penerangan Kota Besar Surabaja, 1957)
Setelah saya meninjau kasus-kasus perebutan ruang perkotaan di masa
lampau, marilah kita meninjau perebutan ruang kota pada periode kontemporer.
Perebutan ruang kota pada periode kontemporer atau pada periode masa kini tidak
kalah sengitnya dengan yang telah terjadi pada masa lalu. Beberapa tahun yang
lalu bahkan Universitas Airlangga juga terlibat dalam aksi-aksi perebutan ruang
perkotaan yang melibatkan para pedagang kaki lima. Pada awal tahun 2000-an di
sepanjang trotoar Jalan Airlangga (di depan kantor rektorat lama di kampus B)
bercokol puluhan pedagang makanan yang menggelar dagangannya di kawasan
tersebut. Beberapa kali keberadaan pedagang tersebut diusir, beberapa kali pula
mereka kembali berjualan di tempat tersebut. Pihak Universitas Airlangga
kemudian memagar kawasan di sepanjang trotoar, namun di beberapa tempat
pagarnya malah dijebol dan pedagang kembali lagi ke tempat tersebut. Pihak
Universitas Airlangga kemudian berinisiatif memasang plang bertuliskan ”Di
larang berjualan di depan kantor.” Beruntung para pedagang tidak membalas
dengan memasang tulisan ”Di larang berkantor di belakang orang jualan.” Dengan
pendekatan persuasif para pedagang di sepanjang trotoar Jalan Airlangga akhirnya
dapat dipindahkan, walaupun saat ini ada tanda-tanda mereka datang lagi.
Di Jakarta, beberapa waktu yang lalu dua orang janda mantan istri pejuang
dan pensiunan pegawai PT Pos Indonesia harus duduk di meja pesakitan karena
dituduh menempati secara tidak sah rumah dinas mereka, padahal lembaga tempat
suaminya pernah bekerja membutuhkan tanah tempat berdirinya rumah tersebut
untuk pengembangan kantor. Di Surabaya, beberapa waktu yang lalu pula, ratusan
penghuni stren kali di Jagir Wonokromo sisi selatan digusur secara paksa oleh
Satuan Polisi Pamongpraja Kota Surabaya karena dianggap menempati lahan
yang bukan lahan hunian secara tidak sah. Kasus-kasus serupa maupun yang mirip
juga muncul di berbagai kota besar di Indonesia.
Kasus di trotoar di sepanjang Jalan Airlangga yang melibatkan pihak
Universitas Airlangga dengan pedagang kaki lima menunjukkan bahwa trotoar
tersebut merupakan sepenggal ruang kota yang diperebutkan. Kasus serupa terjadi
di banyak tempat baik di Kota Surabaya maupun di kota-kota lain. Penggusuran
pemukiman kawasan Danau Sunter dan Danau Rio-Rio di Jakarta maupun tarik
ulur antara Gubernur Jakarta, Joko Widodo, dengan para pedagang kaki lima yang
berjualan di jalan-jalan di kawasan Pasar Tanah Abang menunjukkan bahwa
betapa mahalnya harga ruang di perkotaan, sehingga ruang-ruang perkotaan akan
senantiasa berada dalam ketegangan karena diperebutkan oleh berbagai pihak
yang berkepentingan atas ruang tersebut. Eksekusi sebuah lahan di Kota Makassar
pada tanggal 21 Oktober 2013 juga berakhir ricuh karena ratusan warga yang
telah puluhan tahun mendiami lahan tersebut menolak eksekusi. Mereka melawan
proses eksekusi dengan cara melempari petugas dengan bom molotov dan panah. 34
Di Batam, sengketa perkampungan padat di kawasan Kampung Tua, Tanjung

34
“Sengketa Lahan: Warga bentrok di Kampar dan Makassar,” Kompas, 22 Oktober
2013.
Uma malah berkembang menjadi konflik dengan kekerasan dan mengarah pada
isu bentrok antar suku yang mengkhawatirkan. 35 Jika trend kenaikan penduduk di
perkotaan terus terjadi, dan tidak ada solusi untuk mengatasinya terkait dengan
aksesibilitas ruang kota oleh semua penduduk secara merata, maka kasus-kasus
serupa akan terus terjadi.
Mengapa hal tersebut terjadi? Prins dan Nas dalam artikelnya yang
berjudul “The Struggle for The Third World City” mengemukakan bahwa semua
kegiatan manusia harus menggunakan ruang. Hubungan-hubungan sosial
dibangun di atas landasan struktur ruang (spatial structure), dan hubungan-
hubungan ini, demikian juga struktur ruang, selalu dilanda ketegangan. 36
Pemikiran tersebut menjadi landasan dasar dalam menganalisis penggunaan
ruang-ruang perkotaan. Semakin banyak individu atau kelompok ingin mengakses
ruang yang sama, maka semakin tinggi ketegangan yang melanda kawasan ruang
tersebut. Jika kota diasumsikan sebagai ruang yang paling banyak diminati oleh
manusia maka ketegangan di kota jauh lebih besar dan lebih intensif jika
dibandingkan dengan tempat lain.37
McKenzi mengistilahkan proses perebutan ruang kota sebagai invasi atas
ruang. Menurutnya proses invasi dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu initial stage
(tahap permulaan), secondary stage (tahap lanjutan), dan climax stage (tahap
klimaks). Proses permulaan invasi ditandai adanya gejala ekspansi geografis dari
satu grup sosial dan kemudian menemui tantangan dari penduduk yang ada pada
daerah yang terkena ekspansi. Pada tahapan lanjutan persaingan semakin seru
yang kemudian diikuti proses displacement (perpindahan), selection (seleksi), dan
assimilation (asimilasi). Intensitas proses displacement, selection, assimilation
sangat ditentukan oleh sifat yang mengekspansi maupun yang diekspansi.
Kelompok-kelompok yang terpaksa kalah bersaing akan menempati/mengadakan
ekspansi ke wilayah lain yang lebih lemah dan kemudian akan diikuti oleh suksesi
baru. Pada saat terakhir tersebut akan tercapai tahapan klimaks.38 Tahapan klimaks
dapat dicapai setelah tercapai equilibrium (keseimbangan) antar kelompok-
kelompok yang saling bersaing untuk mendapatkan ruang tersebut. Equilibrium
dapat tercapai ketika semua kelompok sudah mendapatkan bagiannya masing-
masing dari ruang yang diperebutkan tersebut, walaupun hal tersebut sangat sulit
terwujud.

35
“Sengketa Lahan: Warga Kampung Tua Akan Aksi Damai,” Kompas, 23 Oktober
2013.
36
Wil J.M. Prins and Peter J.M. Nas, “The Struggle for The Third World City” dalam G.
Ansari and P.J.M. Nas (ed.), Town-Talk: The Dynamics of Urban Antropology, (Leiden: Brill,
1983), hlm. 158-167
37
Ibid.
38
R.D. McKenzie, “The Ecological Approach to the Study of the Human Community.”
dalam R.E. Park, E.W, Burges, dan R.D. Mckenzie, The City, (Chicago: University of Chicago
Press, 1967)
Hadirin yang sangat saya muliakan,

Pada masa-masa mendatang konflik-konflik terkait perebutan ruang


perkotaan pasti akan mengalami peningkatan. Hal tersebut terkait erat dengan,
pertama, jumlah penduduk kota-kota besar di Indonesia dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan tajam. Kenaikan penduduk ini selain dipicu oleh kenaikan
penduduk alamiah (natalitas berbanding mortalitas) juga karena tekanan
urbanisasi. Setiap hari peristiwa kelahiran terus-menerus terjadi di perkotaan.
Rumah sakit bersalin dan dokter kandungan laris-manis di berbagai kota di
Indonesia. Pada saat yang sama jumlah orang-orang desa yang ingin mengadu
nasib di kota-kota besar juga terus mengalami peningkatan. Arus urbanisasi
mengalami peningkatan drastis biasanya pasca Hari Raya Idul Fitri. Ketika kaum
urban kembali ke kota, tidak jarang mereka membawa sanak keluarga dengan
harapan mereka dapat bekerja di kota untuk memperbaiki nasib.
Kota-kota besar mengalami lonjakan penduduk yang luar biasa. Kota
Jakarta yang pada tahun 2000 berpenduduk 8.347.083 orang, sepuluh tahun
kemudian (2010) melonjak menjadi 9.604.329 orang. Bahkan pada siang hari bisa
melonjak sampai 12-13 juta orang, karena ditambah jumlah penduduk ulang-alik
yang bertempat tinggal di kawasan seputar Jakarta (hinterland) namun mencari
penghidupan di Kota Jakarta. Kota Surabaya yang pada tahun 2000 berjumlah
2.444.976 orang saat ini (2013) melonjak menjadi 3.186.595 orang. Dan jika siang
hari melonjak sampai 5 juta orang karena masuknya orang-orang dari daerah
sekitar ke Kota Surabaya untuk mencari sesuap nasi. Kita bisa saksikan dan bisa
rasakan bahwa kota kita semakin penuh sesak. Di banyak ruas jalan, trotoar
diakuisisi untuk berjualan oleh para pedagang yang ingin mengais rezeki dari
kota.
Kenaikan jumlah penduduk di dua kota terbesar di Indonesia yang drastis
tersebut (dan di kota-kota besar lainnya) tentu saja membawa dampak yang serius
bagi ruang kota, karena setiap pertambahan penduduk pasti memerlukan
penambahan ruang untuk hidup mereka. Padahal, ruang tidak pernah bisa
ditambah secara drastis karena bumi tidak pernah bisa memperluas dirinya.
Konsekuensi lebih lanjut dari kondisi tersebut adalah, jatah setiap orang akan
ruang kota akan semakin mengecil. Jika dulu ketika penduduk kota masih jarang
jalanan di kota tampak lengang, sehingga masing-masing pengguna jalan
memperoleh ruang yang cukup longgar, maka saat ini jalanan menjadi begitu
padat dan jatah orang akan ruang jalan menjadi menyempit. Lahan-lahan parkir
menyempit yang memaksa pemerintah kota memberlakukan kebijakan ekstrem,
misalnya dengan menggembosi roda kendaraan bermotor yang parkir
sembarangan. Kita bisa saksikan dan bisa rasakan juga di kampus kita tercinta,
terutama di Kampus B. Penambahan jumlah mahasiswa yang cukup tinggi telah
berakibat penuhnya lahan-lahan parkir di kawasan tersebut. Jika siang hari
mencari tempat untuk parkir terasa susah, sehingga kita harus berebut dengan
pengguna parkir lainnya.
Persaingan untuk memperebutkan ruang kota akan semakin ketat dan
semakin keras yang ditandai dengan konflik-konflik yang tajam antar orang-orang
yang berkepentingan terhadap ruang kota. Di Jakarta, untuk mempertahankan
tanah yang dimiliki agar tidak diserobot orang lain, maka disewalah preman untuk
menjaganya. Kondisi tersebut tidak jarang mendorong terjadinya ”perang antar
preman” pembeking tanah milik orang kaya. Untuk mengurangi benturan antar
kelompok dan individu yang berkepentingan terhadap ruang kota, maka perlu ada
pembagian ruang kota yang berkeadilan dan tentu saja harus ada regulasi yang
memadai yang mengatur ruang kota.

Hadirin yang saya hormati,

Apakah perebutan ruang kota dapat diakhiri? Sebagaimana telah saya


utarakan pada bagian sebelumnya bahwa ketegangan-ketegangan akibat perebutan
ruang kota akan berakhir jika sudah mencapai tahap klimaks. Tahapan klimaks
dapat dicapai setelah tercapai equilibrium (keseimbangan) antar kelompok-
kelompok yang saling bersaing untuk mendapatkan ruang tersebut. Equilibrium
dapat tercapai ketika semua kelompok sudah mendapatkan bagiannya masing-
masing dari ruang yang diperebutkan tersebut, walaupun hal tersebut sangat sulit
terwujud. Pertanyaannya adalah, mungkinkah semua kelompok akan memperoleh
ruang yang cukup dan layak di perkotaan? Pada kenyataannya jumlah penduduk
kota terus dan terus bertambah tanpa bisa dikendalikan sama sekali, apalagi
dihentikan. Kondisi ini tentu saja menjadi amat mustahil untuk menjadikan kota
berada pada posisi equilibrium dalam hal keruangan. Namun demikian langkah ke
arah tersebut harus terus diupayakan.
Beberapa pemimpin kota di Indonesia saat ini sedang berupaya
menyeimbangkan ruang kota dengan cara mereka masing-masing. Hal tersebut
didasari pemikiran bahwa kota adalah ruang publik, sehingga siapapun memiliki
hak untuk mengakses ruang tersebut.39 Di Kota Jakarta upaya untuk memindahkan
orang-orang yang menempati ruang publik secara tidak sah terus dilakukan. Hal
ini merupakan salah satu upaya agar ruang kota bisa terbagi secara proporsional
sesuai dengan peruntukannya. Hal yang sama juga sedang dilakukan oleh
Walikota Surabaya dalam menata kota Surabaya. Tamanisasi yang indah, rencana
pemindahan lokalisasi Dolly dan pembangunan jalan-jalan baru merupakan upaya
serius agar kota bisa dinikmati oleh semua golongan dengan nyaman.
Jika yang dilakukan oleh pemangku Kota Jakarta dan Kota Surabaya
diikuti oleh para pemangku kota-kota lain, niscaya kota-kota di Indonesia akan

39
Paulus Haryono, Sosiologi Kota untuk Arsitek, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 133;
Ali Madanipour, Design of Urban Space: An Inquiry into a Social-Spatial Process, (New York:
John Wiley & Son, 1996), hlm. 167
berkembang menjadi kota yang manusiawi karena ruang kota terbagi secara
proporsional. Orang kaya dan orang miskin bisa menikmati ruang kota secara adil
tanpa perkecualian. Namun upaya pembagian ruang kota secara proporsional
hendaknya diikuti dengan dijalankannya peraturan perundangan tentang
pemanfaatan ruang kota secara ketat. Jika tidak, niscaya gejala perebutan ruang
kota secara masif akan terus terjadi yang tentu saja berdampak terhadap kurang
nyamannya kehidupan di perkotaan.
Demikianlah sedikit pemikiran dari saya, semoga yang sedikit ini
bermanfaat secara akademis, terutama dalam bidang sejarah perkotaan, sosiologi
perkotaan, maupun ilmu-ilmu sosial yang lain. Dan saya juga berharap, semoga
sedikit pemikiran ini juga bermanfaat secara pragmatis, terutama sebagai landasan
pembangunan kota-kota di Indonesia mendatang.

Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih kepada hadirin sekalian, yang


dengan penuh kesabaran telah mendengarkan orasi saya.

Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.

Daftar Pustaka

Abdulgani, Roeslan. 1964. Api Revolusi di Surabaja. Surabaja: Ksatrya

Abeyasekere, Susan. 1987. Jakarta: A History. Singapore: Oxford University


Press

Achdian, Andi. 2009. Tanah Bagi yang Tak Bertanah: Landreform pada Masa
Demokrasi Terpimpin 1960-1965. Bogor: Kekal Press

Akhudiat. 2008. Masuk Kampung Keluar Kampung: Surabaya Kilas Balik.


Surabaya: Henk Publica
Alisjahbana. 2005. Sisi Gelap Perkembangan Kota: Resistensi Sektor Informal
dalam Perspektif Sosiologis. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo

Basundoro, Purnawan. 2011. “Status Sosial-Ekonomi sebagai Basis Pembagian


Ruang Kota.” dalam Budi Mulyono (ed.). Ruang Kota. Yogyakarta:
Ekspresi Buku

Basundoro, Purnawan. 2012. Pengantar Sejarah Kota. Yogyakarta: Ombak, 2012

Basundoro, Purnawan. 2013. Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota
Surabaya 1900-1960an. Jakarta: Marjin Kiri

Brand, W. 1969. “Some Statistical Data on Indonesia.” dalam Bijdragen tot de


Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 125

Colombijn, Freek. 2006. Paco-Paco (Kota) Padang: Sejarah Sebuah Kota di


Indonesia pada Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota. Yogyakarta:
Ombak

De Haas, J.H. 1939. ”Sterfte naar leeftijdsgroepen in Batavia in het bijzonder op


den konderleeftijd,” dalam Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-
Indie, Vol. VI

Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel.1931. Volkstelling 1930, Java


en Madoera. Batavia Centrum: Landsdrukkerij

De Soto, Hernando.1991. Masih ada Jalan Lain: Revolusi tersembunyi di Negara


Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Dickenson, J.P. et al.1986. A Geography of the Third World. New York: Methuen
& Co.

Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.


Jakarta: Pustaka Jaya, 1989

Giap, The Siauw. 1959. ”Urbanisatieproblemen in Indonesia”, dalam Bijdragen


tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 115

Gilbert, Alan dan Josef Gugler. 1996. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia
Ketiga. Yogyakarta: Tiara Wacana

Haryono, Paulus. 2007. Sosiologi Kota untuk Arsitek. Jakarta: Bumi Aksara

Hassan, A. 2001. Tarjamah Bulughul Maraam Berikut Keterangan dan


Penjelasannya. Bangil: Pustaka Tamam

Heeren, H.J. 1955. ”The Urbanisation of Djakarta.” dalam Ekonomi dan


Keuangan Indonesia, Vol. VIII
Heuken, Adolf dan Grace Pamungkas. 2001. Menteng: Kota Taman Pertama di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka

Hugo, Graeme J. 1980. “Population Movements in Indonesia during the Colonial


Period,” dalam J.J. Fox et al. (ed.), Indonesia: Australian Perspectives,
(Canbera: Research School of Pasific Studies, ANU

Ingleson, John. 2004. Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Kerja
dan Perkotaan Masa Kolonial. Jakarta: Komunitas Bambu

Jellinek, Lea. 1994. Seperti Roda Berputar: Perubahan Sosial Sebuah Kampung
di Jakarta. Jakarta: LP3ES

Jones, Gavin. 1986. ”Demografi dalam Kemiskinan di Kota.” dalam Dorodjatun


Kuntjoro-Jakti (peny.), Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia

Kementrian Penerangan. 1952. Djawa Timur. Djakarta: Kementrian Penerangan

Kerchman, F.W.M. 1930. 25 Jaren Decentralitatie in Nederlandsch-Indie 1905-


1950. Semarang: Vereeniging voor Locale Belangen

Koesmen, Sjamsu dan Pangestu B.W. 1957. Buku Petundjuk Kota Besar
Surabaja. Surabaya: Djawatan Penerangan Kota Besar Surabaja

Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan.


Jakarta: Gramedia

Madanipour, Ali. 1996. Design of Urban Space: An Inquiry into a Social-Spatial


Process. New York: John Wiley & Son

McAuslan, Patrick. 1986. Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata.


Jakarta: Gramedia
McKenzie, R.D. 1967. “The Ecological Approach to the Study of the Human
Community.” dalam R.E. Park, E.W, Burges, dan R.D. Mckenzie. The
City. Chicago: University of Chicago Press

Prins, Wil J.M. and Peter J.M. Nas. 1983. “The Struggle for The Third World
City” dalam G. Ansari and P.J.M. Nas (ed.). Town-Talk: The Dynamics of
Urban Antropology. Leiden: Brill

Sarjita. 2005. Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi


Daerah. Yogyakarta: Tugu Jogja Pustaka

“Sengketa Lahan: Warga Bentrok di Kampar dan Makassar,” Kompas, 22 Oktober


2013.
“Sengketa Lahan: Warga Kampung Tua Akan Aksi Damai,” Kompas, 23 Oktober
2013.

Si Tjerdik Jr. 1931. Melantjong ka Soerabaia. Semarang: Boekhandel


Kamadjoean

Soemitro, R. 1950. “Zuigelingensterfte te Makassar,” Vol. III,

Soetanto, Himawan. 2006. Yogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor versus


Jenderal Sudirman. Jakarta: Gramedia

Surbakti, Ramlan. 1996. ”Perebutan Ruang di Perkotaan dan Pembenarannya,”


PRISMA No. 9

Taylor, Jean Gelman. 2009. Kehidupan Sosial di Batavia. Jakarta: Masup Jakarta

Tillema, H.F.1915-1923. Kromoblanda: Over ‘t Vraagstuk van “het Wonen” in


Kromo’s Grote Land, 6 Jilid. ’s-Gravenhage: uden Masman, De Atlas dan
Adi Poestaka

Von Faber, G.H. 1936. Nieuw Soerabaia: De geschiedenis van Indie’s


voornaamste koopstad in de eerste kwarteeuw sedert hare instelling 1906-
1931. Soerabaia: N.V. Boekhandel en Drukkerij

Wertheim,W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan


Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana

RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi
Nama : Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum.
NIP : 197105271999031001
Tempat/Tanggal lahir : Banjarnegara, 27 Mei 1971
Agama : Islam
Pekerjaan : Dosen Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Airlangga
Pangkat/Golongan : Pembina Tingkat I / IV A
Jabatan : Lektor Kepala
Alamat Rumah : Surya Asri 2 Blok F 1 No. 2, Sidoarjo
Alamat Pekerjaan : Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu
Budaya, Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan
Surabaya

Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Dasar dan Menengah

Tahun 1984 : Tamat Sekolah Dasar Negeri 3 Karangsari, Punggelan


Tahun 1987 : Tamat Sekolah Menengah Pertama Negeri 1,
Punggelan, Banjarnegara
Tahun 1990 : Tamat Sekolah Menengah Atas Negeri 1,
Banjarnegara

2. Pendidikan Tinggi
Tahun 1996 : Lulus Sarjana Sastra (Jurusan Sejarah), Fakultas Satra,
Universitas Gadjah Mada
Tahun 1999 : Lulus Pascasarjana S2 Program Studi Sejarah,
Universitas Gadjah Mada
Tahun 2011 : Lulus Pascasarjana S3 Program Studi Sejarah,
Universitas Gadjah Mada (Cum Laude)

3. Pendidikan Tambahan
Tahun 2000 : Mengikuti Pelatihan Metode Belajar Mengajar
(Applied Approach Method), Universitas Airlangga
Tahun 2004 : Workshop on Street Image Universitas Gadjah Mada-
Universitas Leiden
Tahun 209- : Sandwich-Like Program, Vrije University
2010 Amsterdam, Belanda

Riwayat Jabatan
Tahun 2003-2005 : Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu
Budaya
Tahun 2005-2007 : Ketua Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas ilmu
Budaya
Tahun 2012-sekarang : Ketua Unit Penelitian, Penerbitan, dan
Dokumentasi (UP2D) Fakultas Ilmu Budaya
Sejak Tahun 2013 : Ketua Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu
Budaya
Sejak Tahun 2013 : Anggota Tim Pendamping Kemahasiswaan
Universitas (TPKU)

Pekerjaan Lain
Tahun 2004-sekarang : Tim Penilai Buku Teks dan Non-teks Pelajaran
Sejarah, Pusat Kurikulum dan Perbukuan,
Balitbang Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan
Sejak Tahun 2013 : Tim Pengembang Penilaian Buku Teks
Pelajaran Sejarah, Pusat Kurikulum dan
Perbukuan, Balitbang Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan

Kegiatan Pendidikan dan Pengajaran

Tahun 1999-sekarang : Dosen Tetap pada Departemen Ilmu


SejarahFakultas Ilmu BudayaUniversitas
Airlangga

Kegiatan Pengelolaan Majalah Ilmiah


Tahun 2012-sekarang : Pemimpin Redaksi Jurnal Mozaik, Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Airlangga
Tahun 2011-sekarang : Mitra Bestari Jurnal Humaniora, Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada
Tahun 2012-sekarang : Mitra Bestari Jurnal Paramita, Jurusan
Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri
Semarang

Kegiatan Lainnya
Tahun 2000-sekarang : Peneliti tidak tetap pada Lembaga Studi
Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEU
Indonesia) Jakarta

Karya Ilmiah

Buku:

Purnawan Basundoro dan Sutekad Mujiraharjo, Mengawal Lembah Serayu:


Polres dan Kapolres Banjarnegara sampai Tahun 2007, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2007)

Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak
Kolonial sampai Kemerdekaan, (Yogyakarta: Ombak, 2009)

Purnawan Basundoro, Imam Akhmad, dan Kholid Novianto, Melayani Rakyat


Menjaga Negara: Sejarah Sosial, Politik dan Ekonomi PT Pos Indonesia
(Persero), (Jakarta: PT Pos Indonesia dan LSPEU Indonesia, 2011)
Purnawan Basundoro, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2012)

Purnawan Basundoro, Sejarah Pemerintah Kota Surabaya Sejak Masa Kolonial


sampai Masa Reformasi (1906-2012), (Surabaya: Departemen Ilmu Sejarah Unair
dan Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya, 2012)

Purnawan Basundoro, Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya
1900-1960an, (Jakarta: Marjin Kiri, 2013)

Jurnal, Editor, dan Kontributor Buku:

1. “ Pengaruh Modernisasi Transportasi terhadap Pola Perkembangan Kota-kota


di Karesidenan Banyumas,” Jurnal Penelitian Dinamika Sosial, Lembaga
Penelitian Universitas Airlangga, Vol. 2 No. 2, 2001

2. “Industrialisasi, Perkembangan Kota, dan Respon Masyarakat: Studi Kasus


Kota Gresik,” Jurnal HUMANIORA Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada, Vol. XIII, No. 2, 2001

3. “Industrialisasi, Perkembangan Kota, dan Perubahan Sosial Masyarakat Kota


Gresik,” Jurnal Studi Indonesia, Lembaga Penelitian Universitas Terbuka,
Vol. 12, No. 2, September 2002.

4. “Reaksi terhadap Kedatangan Sekutu: Pemogokan Etnis Tionghoa di Surabaya


Tahun 1946,” Jurnal Mozaik, Komunitas Kajian Kebudayaan dan Masyarakat
Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Vol.1, No.1, Januari 2003.

5. “Problem Pemukiman Pascarevolusi Kemedekaan: Studi tentang Pemukiman


Liar di Kota Surabaya 1945-1960,” Jurnal HUMANIORA Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada, Volume 16, Nomor 3, Oktober 2004.

6. “Menjadi Tu(h)an di Rumah Sendiri: Pancaroba Usaha Pertambangan


Minyak di Indonesia 1945-1960,” LEMBARAN SEJARAH, Jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Vol.7, No.1, 2004

7. “Problem Pemukiman Pasca Revolusi Kemerdekaan: Studi tentang


Pemukiman Liar di Kota Surabaya 1945-1960” dalam Freek Colombijn,
Martine Barwegen, Purnawan Basundoro, Johny Alfian Khusairi (ed.), Kota
Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia, Yogyakarta: Ombak dan
Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, 2005

8. Editor Buku, Sejarah Ekonomi Kota Surabaya, Surabaya: Intelektual, 2005

9. Editor Buku, Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia,


Yogyakarta: Ombak dan Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, 2005
(Bersama Freek Colombijn, Martine Barwegen, Johny Alfian Khusairi)
10. “Kereta Api Lembah Serayu pada Masa Kolonial,” dalam Purnawan
Basundoro dkk, Tempo Doeloe Selaloe Aktoeal, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2007)

11. Editor Buku Tempo Doeloe Selaloe Aktoeal, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2007)

12. “Menggagas Historiografi (Indonesia) yang Demokratis,” MOZAIK Jurnal


Ilmu-Ilmu Humaniora, Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2007

13. “Ekonomi Kota Malang pada Awal Kemerdekaan sampai Tahun 1950-an,”
Jurnal Kependidikan dan Kebudayaan, Jilid 25, No. 1, April 2007

14. “Gerakan Protes Rakyat Miskin di Kota Surabaya pada Awal Abad Ke-20,”
dalam M. Nursam dkk (ed.), Sejarah yang Memihak: Mengenang Sartono
Kartodirdjo, (Yogyakarta: OMBAK, 2008)

15. “Dinamika Pengangkutan di Banyumas pada Era Modernisasi Transportasi


pada Awal Abad ke-20,” Jurnal HUMANIORA Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada, Volume 20, Nomor 1, Februari 2008.

16. “Pemanfaatan Sungai Serayu pada Abad ke-19,” DIAKRONIK Jurnal


Pemikiran dan Penelitian Sejarah Vol. 3 No. 1, Januari 2008, Jurusan Ilmu
Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta

17. “Antara Eupseong Hanyang (Seoul) Dengan Beteng Keraton Yogyakarta:


Sebuah Perbandingan Historis” Korean Studies in Indonesia, Vol. 1 No. 1,
2009

18. “Dari Listrik Kolonial ke Listrik Nasional: Studi Awal tentang NV. ANIEM
Surabaya,” INDIKATOR Vol. IX No. 1, Maret 2009, Universitas Flores, NTT

19. “Memerahkan Kota Pahlawan: Pergulatan Partai Komunis Indonesia di Kota


Surabaya 1955-1965,” dalam Sri Margana dan M. Nursam (ed.), Kota-kota di
Jawa: Identitas, Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial, (Yogyakarta: Ombak,
2010)

20. “Penduduk dan Hubungan antar Etnis di Kota Surabaya pada Masa Kolonial,”
INDIKATOR Vol. XII No. 2, September 2010, Universitas Flores, NTT

21. “Dari Kampung Desa ke Kampung Kota: Perubahan Ekologi Kota Surabaya
dalam Perspektif Permukiman pada Masa Kolonial,” Jantra Vol. V, No. 10,
Desember 2010

22. “Status Sosial-Ekonomi Warga sebagai Basis Pembagian Ruang Kota,” Epilog
dalam Anna Nurlaila Kurniasari dkk, Ruang Kota, (Yogyakarta: Ekspresi
Buku, 2011)
23. “Kisah Hidup Mantan Tahanan Politik Pulau Buru di Pedesaan Kabupaten
Banjarnegara Tahun 1979-2004,” dalam Agus Suwignyo, Abdul Wahid,
Widya Fitria Ningsih (ed.), Sejarah Sosial (di) Indonesia: Perkembangan dan
Kekuatan, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2011)

24. “Situs Industri Kota Surabaya: Warisan dari Masa Kolonial sampai Awal
Kemerdekaan,” dalam Sri Margana dan Heri Priyatmoko, Kolonialisme.
Kebudayaan, dan Warisan Sejarah, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM,
2011)

25. “Antara Baju Loreng dan Baju Rombeng: Kontrol Tentara terhadap Rakyat
Miskin di Kota Surabaya Tahun 1950-an,” MASYARAKAT,
KEBUDAYAAN DAN POLITIK, Vol. 24, Nomor 4, Oktober-Desember
2011, FISIP Universitas Airlangga

26. “A.R. Baswedan: dari Ampel ke Indonesia,” LAKON Vol. 1 No. 1, Juli 2012,
Magister Kajian Sastra dan Budaya, Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Airlangga

27. Editor Buku Potret Tatanan: Ruang Publik, Ekopolitik, dan Budaya Jawa
Timur, (Surabaya: UK2JT FIB Unair dan Elmatera, 2012)

28. “Penguasaan Tanah di Kota Surabaya sejak Masa Kolonial sampai Awal
Kemerdekaan,” dalam Purnawan Basundoro dan Johny a. Khusyairi (ed.),
Potret Tatanan: Ruang Publik, Ekopolitik, dan Budaya Jawa Timur,
(Surabaya: UK2JT FIB Unair dan Elmatera, 2012)

29. “Rakyat Miskin dan Perebutan Ruang Kota di Surabaya Tahun 1900-1960-
an.” MASYARAKAT INDONESIA MAJALAH ILMU-ILMU SOSIAL Vo.
38, No. 2, Desember 2012, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Jakarta

30. “Prolog: Mengintip Dinamika Keseharian Masyarakat Surabaya,” dalam Arya


W. Wirayuda dan Bachtiar Ridho E (ed.), Mengeja Keseharian: Sejarah
Kehidupan Masyarakat Kota Surabaya, (Surabaya: Departemen Ilmu Sejarah
Universitas Airlangga, 2013)

Artikel di Surat Kabar dan Majalah:


1. “Analisis tentang Kerusuhan Sosial,” Yogya Post, 24-25 Oktober 1997
2. “Menanggapi Mundurnya Amien Rais ICMI,” Yogya Post, 12 Februari 1998
3. “Radikalisme Masa Pinggiran,” Jawa Pos, 8 November 1999
4. ”Menjadikan Guru sebagai Peneliti,” Kompas Jatim, 19 September 2004
5. ”Valentine’s Day dan Ancaman Seks Bebas,” Jawa Pos Metropolis, 13
Februari 2006
6. “Menjelang Lapindo Lempar Handuk,” Jawa Pos Metropolis, 24 Agustus
2006
7. “Laundry,” Kompas Yogya, 3 Oktober 2007
8. “Strategi Menghidupkan Museum,” Kompas Yogya, 4 Maret 2008
9. ”Tan Malaka: Spesialis Bawah Tanah,” Intisari, Mei 2009
10. ”Bung Hatta: Proklamator Sederhana Nyaris Jadi Ulama,” Intisari, Juli 2009
11. ”Kemerdekaan: Semangat Perubahan untuk Indonesia yang Lebih Baik,”
Gapura, Vol. XLIV, No. 54, September 2011
12. ”Sumbangsih PUSURA (Putra Surabaya) Bagi Perjuangan Bangsa Indonesia,”
Pusar, No. 1 Vol. 1 Tahun 2011
13. ”Banjarnegara dari Waktu ke Waktu,” Derap Serayu, Edisi Khusus hari Jadi
Ke-181 Kabupaten Banjarnegara, 2012
14. ”Madhege Kabupaten Banjarnegara,” Ancas, Februari 2013

Karya Ilmiah Lain dan Penelitian Terakhir:

1. “Pembangunan Kota dan Perebutan Ruang: Studi tentang Pemukiman Liar di


Kota Surabaya 1930-1960.” Penelitian Bersama dengan Freek Colombijn dari
KITLV, Leiden Belanda, 2003. Dipresentasikan dalam forum “The First
International Conference on Urban History,” Surabaya 23-25 Agustus, 2004.

2. “Perempuan dan Parlemen: Kajian Tentang Posisi Dan Peran Perempuan


Dalam Politik Lokal Jawa Timur.” Dibiayai oleh DP3M Dirjen Dikti ,
Departemen Pendidikan Nasional, 2004

3. “Menghadirkan Imajinasi (Rakyat) dalam Ruang Publik: Makna Simbolik


Alun-alun Kota Malang 1930-1960.” Dibiayai oleh NIOD, Belanda, 2004-
2005

4. “Nasionalisasi dengan Jalan Damai: Indonesianisasi Usaha Pertambangan


Minyak di Indonesia.” Dipresentasikan pada “Workshop on the Economic
Side of Decolonization,” Yogyakarta, 18-19 Agustus 2004

5. “Kehidupan Mantan Tahanan Politik G 30 S/PKI Di Pedesaan Kabupaten


Banjarnegara Pada Masa Orde Baru Dan Masa Reformasi (1979-2002).”
Dibiayai oleh DP3M Dirjen Dikti , Departemen Pendidikan Nasional, 2005

6. “Kajian Strategi Dan Kemungkinan Implementasi Pengamanan Swakarsa


(Pamswakarsa) Dalam Menangkal Aksi Terorisme Di Propinsi Jawa Timur.”
Penelitian Kerjasama dengan Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan
Masyarakat (Kesbanglinmas) Propinsi Jawa Timur, 2006
7. “From State Alun-Alun To Public Place: Seizing For Two Alun-Aluns In
Malang City 1930 – 1960” dipresentasikan pada The conference on The
Decolonisation of the Indonesian city (1930-1960) in (Asian and African)
Comparative Perspective, Leiden 27-28 April 2006

8. “Kebijakan Pemerintah Terhadap Kinerja Pemerintahan Desa Di Jawa


Timur.” Penelitian Kerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan
(Balitbang) Propinsi Jawa Timur, 2006

9. “Perencanaan Penanganan Urbanist di Jawa Timur.” Penelitian Kerjasama


dengan Dinas Kependudukan Propinsi Jawa Timur, 2006-2007

10. ”Sejarah Wakaf di Kota Surabaya dalam Dimensi Sosial-Ekonomi.” Penelitian


Kerjasama dengan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2007

11. “Antara Mitos dan Realitas Masa lalu di Sepanjang Sungai Brantas.”
Penelitian untuk Penulisan Perubahan Lingkungan DAS Brantas dalam
Perspektif Sejarah, dengan Direktorat Geografi Sejarah, Direktorat Jenderal
Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta 2007

12. “Dari Listrik Kolonial Ke Listrik Nasional: Studi Awal Tentang NV. Aniem
Surabaya”. Makalah dipresentasikan pada Para-konferensi “Ekonomi,
Identitas Kultural dan Demokrasi Politik di Indonesia, 1945-1960an”.
Yogyakarta, 11 Agustus 2008.

13. ”Pilar Simbolik Penopang Kekuasaan Suharto”. Makalah untuk diskusi buku
karya Katharine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar
Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: Syarikat,
2008), yang diselanggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Airlangga, Surabaya, 6 Nopember 2008

14. ”Tan Malaka, Persatoean Perdjoeangan, dan Historiografi Indonesia


Kontemporer.” Makalah untuk diskusi buku karya Harry A. Poeze, Tan
Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid I, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan KITLV Jakarta, 2008), yang diselengggarakan oleh Himpunan
Mahasiswa Ilmu Politik, FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya, 18
Nopember 2008

15. ”Ibnu Sutowo: Bidan Perusahaan Minyak Nasional,” Makalah untuk Diskusi
Buku karya Ramadhan KH, Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita, (Jakarta:
National Press Club, 2008), diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga bekerja sama dengan National Press Club, Surabaya, 12
Mei 2009

16. ”Pemukiman Miskin dan Perebutan Ruang di Kota Surabaya 1920-1970-an,”


Penelitian Hibah Doktor, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat Universitas Gadjah Mada 2009
17. ”Sejarah Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur,” Penelitian Kerjasama
Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga dengan Dinas Peternakan
Propinsi Jawa Timur, 2012

18. ”Sejarah Pemerintah Kota Surabaya sejak Masa Kolonial sampai Masa
Reformasi,” Penelitian Kerjasama Departemen Ilmu Sejarah dengan Badan
Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya, 2012

Konferensi:

No. Nama Konferensi Judul Makalah Waktu


Pelaksanaan
1 Konferensi Nasional Penduduk dan Hubungan antar Etnis 5-7 Juli 2011,
Sejarah IX di Kota Surabaya pada Masa MSI dan
Kolonial Direktorat
Jenderal
Kebudayaan
Jakarta

2 The 3rd International Poor People and the Struggle for 8-9 November
Graduate Student Urban Space in Surabaya 1900- 2011, UGM
Conference on Indonesia 1960s Yogyakarta

3 Conference on Urban History of Surabaya City 21-22 Oktober


History 2012, Nagoya
University,
Jepang

Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat:

No. Tahun Judul Pengabdian Masyarakat


1. 2012 Ceramah Nilai-nilai Kepahlawanan di
Dinas Sosial Kota Surabaya
2 2013 Ceramah Jurnalistik Online di SMA St
Carolus Surabaya
3 2013 Tim Juri Lawatan Sejarah Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi
Jawa Timur
4. 2011- Tim juri lomba penulisan naskah
sekarang kesejarahan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Propinsi Jawa Timur

Anda mungkin juga menyukai