Anda di halaman 1dari 11

HUMANISME DALAM TRADISI KUBUR BATU MEGALITIK

DI SUMBA, NUSA TENGGARA TIMUR1

S
Mikka Wildha Nurrochsyam

Abstrak. Tradisi kubur batu di Sumba merupakan salah satu budaya kolosal yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia. Bagi masyarakat Sumba, kesadaran tentang hidup sesudah mati telah
melahirkan tradisi kubur batu yang unik dan spektakuler. Penelitian ini memperlihatkan dua aspek

NA
dinamika budaya dalam tradisi kubur batu megalitik, yaitu proses internalisasi dan akulturasi
budaya. Selanjutnya, saya akan memperlihatkan adanya aspek humanisme sebagai dasar penting
dalam dinamika budaya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan
wawancara mendalam serta dukungan studi pustaka. Obyek penelitian adalah tradisi kubur batu
megalitik di Sumba yang dilihat menurut sisi dinamika budaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat masyarakat pendukungnya. Penelitian ini bermanfaat sebagai orientasi untuk melihat
adanya dinamika kebudayaan dalam masyarakat, dan melihat orientasi bagi perkembangan
budaya yang bermartabat.

Kata Kunci: kematian, ritual, humanisme, dinamika budaya, internalisasi, akulturasi

Abstract.Humanism in the Megalithic Stone Burial in Sumba, East Nusa Tenggara. The tradition
of stone burial in Sumba Island is one of the colossal and exotic cultures owned by the nation of
Indonesia. For the people of Sumba, awareness on life after death has spawned a unique and spectacular
KE
tradition of megalithic stone burial. This study illustrates two important aspects of cultural dynamics
in the tradition of megalithic stone burial, namely internalization and acculturation processes. I
will also reveal a fundamental aspect of humanism as a very important role in the dynamics of
culture. This study uses qualitative methods, which are depth interviews and observations, supported
by library research. The object of this research is stone burial tradition seen from the dynamics of
culture to enhance the dignity of its community. Result of this research is useful as an orientation to
understand the cultural dynamics of a society, and to view the orientation for the development of
more humane culture.

Keywords: death, rite, humanism, cultural dynamics, internalization, acculturation.

1. Pendahuluan1 bahwa tubuh tidak hanya seonggok daging


Kepastian, bahwa manusia mengalami tetapi mempunyai roh, maka kepercayaan itu
AR

ajal dan kepercayaan adanya kehidupan menimbulkan upacara-upacara kematian yang


sesudah kematian, menimbulkan perlakuan bervariasi dalam memperlakukan jasad orang
terhadap jasad orang yang mati. Ketika manusia mati2.
purba dulu belum menyadari bahwa tubuhnya Dalam upacara kematian,
mempunyai jiwa, mereka membiarkan jasad terimplementasi kepercayaan dan pandangan
kerabatnya yang mati begitu saja di tengah- hidup yang dihayati bersama oleh komunitas
tengah hutan hingga raib dimakan binatang masyarakat yang bersangkutan. Internalisasi
buas. Namun, setelah mereka menyadari nilai-nilai dalam ritus selanjutnya akan
berpengaruh baik dalam kehidupan pribadi
1 Tulisan ini adalah berdasarkan atas penelitian Mandiri yang
saya lakukan pada tahun 2009 di Sumba Barat, Nusa Tenggara 2 Informasi dari film dokumenter yang berjudul ‘Walking With
Timur. Cave of Man’ yang merekonstruksikan kehidupan manusia
purba.

9
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 21 No.1 Mei 2012

maupun sosial. Dengan memahami nilai-nilai menunjukkan tanda-tanda dibunuh secara


dalam upacara kematian, akan membuat hidup paksa. Pada orang yang dikuburkan dalam
kita di dunia ini lebih baik, sebaliknya dengan tempayan rupa-rupanya disertakan seorang
kehidupan yang baik akan membuat kematian korban sebagai bekal kuburnya” (Soejono

S
lebih bermakna. 2008:109). Adanya ritual korban manusia
Bagi masyarakat Sumba, kesadaran itu lalu memunculkan pertanyaan, mengapa
tentang hidup sesudah mati telah melahirkan praktek-praktek korban itu dilakukan
sebuah tradisi kubur batu yang spektakuler masyarakat pada jamannya?
yang masih terpelihara hingga kini. Masyarakat Raymond Firth dalam sebuah
Sumba mempunyai pandangan, bahwa seorang kesimpulannya mengatakan bahwa korban
raja atau bangsawan mempunyai keagungan mempunyai alasan rasional. Alasan itu

NA
dan kemuliaan. Seperti pada saat hidup di mungkin kondisi nilai atau kualitas dari obyek
dunia, para hamba mendapat kemuliaan yang dikorbankan. Mungkin juga kondisi
dengan melakukan pengabdian kepada sang tindakan persembahan, misalnya tanda-tanda
raja. Pandangan ini membuat kepercayaan, materi yang biasa dipersembahkan mempunyai
bahwa di alam baka seorang raja juga dapat penjelasan bahwa hakikat korban telah
memberikan kemuliaan bagi pengikutnya. dilaksanakan. Alasan rasional itu mungkin juga
Berdasarkan atas keyakinan tersebut para kondisi ideologi dari korban, yang digambarkan
hamba itu dengan rela mengiringi tuannya ke secara detail dalam penjelasan khusus
alam baka melalui ritual korban. tentang tindakan persembahan. Gagasan ini
Informasi tentang korban manusia juga mengandung pengertian substitusi, domba
ditemukan dalam penggalian arkeologi, seperti perempuan sebagai pengganti dari manusia,
keterangan dari R.P Soejono dalam hasil mentimun pengganti dari kerbau (Firth 1996:
laporannya dituliskan, “Di bawah salah satu 109).
KE
kubur tempayan-sepasang Gilimanuk (Sektor Substitusi menurut Sindhunata seperti
I) telah ditemukan sebuah rangka orang dalam yang dikutipnya dalam pemikiran Rene Girard,
sikap tersungkur dengan siku-siku ditarik pemikir asal Perancis abad XXI, mengatakan
ke belakang, kedua kaki dilipat ke belakang bahwa untuk memahami fungsi substitusi
dan kepala menengadah. Orang tersebut jelas sebagai dasar dari praktik korban, kita perlu
AR

Peta 1. Lokasi penelitian di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur

10
Humanisme dalam Tradisi Kubur Batu Megalitik di Sumba, Nusa Tenggara Timur
Mikka Wildha Nurrochsyam

melihat substitusi itu dalam hubungannya akan memberikan penjelasan tentang sisi-
dengan kekerasan. Menurut Girard, substitusi sisi humanisme dari sebuah tradisi yang telah
tak lain tak bukan berfungsi untuk menyalurkan mengalami perubahan menuju budaya yang
kekerasan (Sindhunata 2006: 100). Dalam bermartabat.

S
pengertian ini korban mempunyai makna
sosial, yaitu dengan adanya korban maka 2. Metode Penelitian
kekerasan dalam masyarakat dapat diakhiri. Penelitian ini menggunakan metode
Dengan teorinya ini Girard memberikan kualitatif yang didukung dengan studi
insight kepada kita, agar tidak mudah untuk kepustakaan. Penelitian dilakukan dengan
menjatuhkan vonis kepada budaya-budaya di melakukan wawancara dengan narasumber dan
Indonesia yang tampak kejam sebagai budaya

NA
mengamati secara langsung aspek-aspek yang
yang dilarang untuk dilaksanakan. terkait dengan tradisi kubur batu. Pengamatan
Indonesia mempunyai kekayaan budaya dilakukan di lokasi yang mempunyai tradisi
yang sangat unik, yang mengekpose budaya- kubur megalitik; terhadap masyarakat
budaya yang tampak kejam, yaitu budaya- pendukung tradisi batu kubur megalitik; dan
budaya yang menampilkan unsur kekerasan di menyaksikan secara langsung melalui beberapa
dalamnya seperti Perisaian di Pulau Lombok rekaman video tentang tradisi kubur batu.
dan Caci di Labuhan Bajo, keduanya sama-sama Sementara itu, wawancara dilakukan
permainan dengan saling memukul dengan dengan para rato, imam, atau pimpinan adat.
rotan; Pasola permainan berkuda dengan saling Wawancara dilakukan pula dengan budayawan,
melempar lembing di Sumba Barat. Kita akan para pejabat dari Dinas Kebudayaan dan
menjadi miris dan ngeri melihatnya karena Pariwisata dan Dinas Pendidikan Sumba
dalam budaya ini tidak jarang menimbulkan Barat mengenai hal-hal yang terkait dengan
luka dan ceceran darah pemainnya. Namun, pelestarian tradisi ini. Wawancara dilakukan
KE
yang terpenting di sini dalam tradisi ini juga kepada masyarakat pendukung tradisi
kita melihat adanya ritus yang merupakan tarik kubur batu.
permohonan untuk mengembalikan harmoni Penelitian ini ditulis berdasarkan
dalam masyarakat. atas data-data primer, hasil wawancara dan
Permasalahan penting dalam penelitian pengamatan langsung, lalu didukung studi
ini adalah ingin menempatkan tradisi yang pustaka dengan menggunakan data-data
tampak kejam ini dalam konteks dinamika sekunder, seperti buku-buku, dan informasi-
budaya secara memadai. Beberapa budaya jenis informasi lain yang terkait dengan tradisi kubur
ini perlu dilestarikan tetapi untuk jenis lain batu megalitik di Sumba. Melalui studi pustaka
seperti ritual korban para hamba untuk masa saya mendapatkan sebuah buku yang ditulis
sekarang dapat dianggap tidak manusiawi. oleh Haris Sukendar yang berjudul “Masyarakat
Secara historis tidak ada budaya yang statis, Sumba dengan Budaya Megalitiknya”. Buku ini
melainkan terus berkembang dan berubah. sangat berharga untuk mendukung tulisan ini.
Namun, perkembangan atau perubahan
AR

Dalam penelitian ini terdapat beberapa langkah


budaya itu perlu ditempatkan dalam kerangka metodologis, pertama dirumuskan obyek
nilai sosial untuk mempertinggi harkat dan materi penelitian secara jelas dan tegas. Obyek
martabat manusia. materi penelitian ini adalah tradisi kubur batu
Dalam kegiatan berbudaya aspek megalitik di Sumba. Kedua, adalah deskripsi
humanisme sangat penting. Munculnya suatu obyek materi, bagian ini dimulai dengan sedikit
budaya mempunyai tujuan utama untuk lebih memaparkan tentang pengertian humanisme
memanusiakan manusia. Sehingga dengan dan konsep tentang kematian. Selanjutnya, di
adanya budaya itu manusia dapat menjadi paparkan tentang obyek materi penelitian yaitu
lebih luhur dan bermartabat. Penelitian tradisi kubur batu megalitik dengan melihat
tentang Humanisme dalam Tradisi Kubur Batu sisi-sisi dinamika budaya yang terdapat di
Megalitik di Sumba, Nusa Tenggara Timur dalamnya. Ketiga, adalah hasil pembahasan,

11
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 21 No.1 Mei 2012

bagian ini akan membahas dinamika budaya kepercayaan itu membawa kepada keruntuhan
menurut sisi-sisi yang manusiawi untuk martabat manusia maka dalam pengertian ini
mempertinggi harkat dan martabat masyarakat sikap tersebut berarti tidak manusiawi atau
pendukungnya. kurang manusiawi. Dengan tafsir humanisme

S
seperti tidak sepenuhnya meninggalkan
3. Deskripsi Obyek Materi kepercayaan-kepercayaan adikodrati tetapi
3.1 Humanisme juga tidak meninggalkan begitu saja cara
Istilah ‘humanisme’, berasal dari bahasa berfikir yang rasional dan realistis.
Italia umatista, istilah ini dapat disamakan
dengan istilah artista (seniman) atau iurista 3.2 Apakah Kematian?

NA
(ahli hukum) yang merupakan istilah yang Kita tidak pernah mengetahui tentang
populer dari masa Renaisans. Pada saat itu kehidupan sesudah kematian, karena kita belum
kaum humanis berupaya untuk menafsir mengalaminya. Kalaupun ada orang-orang
kembali budaya klasik Yunani dan Romawi yang mati, mereka tidak pernah hidup kembali
Kuno yang merupakan puncak peradaban untuk memberikan keterangan-keterangan
Eropa. Mereka tidak terjebak pada status quo tentang kondisi mereka di alam baka. Namun,
konservatisme tetapi para humanis melakukan sesungguhnya kematian itu begitu dekat. Kita
tafsir baru terhadap nilai-nilai budaya Yunani terbiasa mendengar berita-berita kematian
dan Romawi klasik untuk dihidupkan kembali tentang orang lain, kematian menimpa teman,
dalam peradaban Barat. Nilai-nilai penting saudara dan keluarga kita. Lambat atau cepat
yang menjadi proyek dari humanisme, antara kematian pasti menjemput kita.
lain: penghargaan atas dunia-sini; penghargaan Kematian seringkali ditafsirkan dalam
atas martabat manusia; dan pengakuan atas pengertian yang pasif, yaitu dianggap sebagai
rasio (Hardiman 2007: 9). sebuah ancaman yang menakutkan dan
KE
Penggunaan konsep humanisme ini mengerikan bagi manusia. Paling tidak ada
bukan ingin menolak otoritas kekuatan dua pengertian mengenai kematian, yaitu
supranatural, serta pandangan yang bersifat medis dan eksistensi. Kematian dalam arti
teologis, serta kepercayaan-kepercayaan medis berarti berhentinya fungsi tubuh,
animistis yang menjadi ciri khas budaya-budaya hilangnya fungsi pernafasan, jantung dan otak
di Indonesia. Juga, tidak bermaksud untuk serta organ-organ lainnya yang mendukung
mengabaikan adanya kepercayaan terhadap kehidupan dengan ditandai oleh terbujurnya
kehidupan sesudah kematian, sebagaimana tubuh kaku tak berdaya.
dipercaya oleh seluruh masyarakat di Indonesia Pengertian kematian semacam itu perlu
– yang kadang cenderung untuk mengabaikan kiranya dirombak menjadi pengertian secara
dunia – karena alam akhirat lebih penting. aktif, dalam pengertian bahwa dalam kematian
Dimaksudkan dengan humanisme itu adalah itu terdapat kehidupan rohani. Seperti yang
sebagai penghargaan atas martabat manusia. dikemukakan oleh Arif Widodo dalam karya
AR

Penekanan terhadap menjunjung skripsinya yang berjudul Laku Icip Pati Sebagai
martabat manusia di sini akan membawa Langkah Metodis untuk Mencapai Derajat
kita kepada penghargaan terhadap sisi-sisi Kemulyaan Hidup (1995) mengatakan bahwa
manusiawi, dengan perkataan lain bahwa pengertian kematian berupa terbujurnya tubuh
humanisme akan mengangkat manusia menjadi mayat sebagai pengertian pasif, maka
untuk menjadi lebih luhur. Humanisme manusia harus mampu memanfaatkan dimensi
dalam pengertian ini tidak akan menolak rohaniahnya dalam pengertian yang aktif,
kepercayaan adikodrati seperti yang terjadi artinya pemahaman tentang kematian agar
pada masa Renaisans. Kalau kepercayaan didapat langsung dengan wilayah pengetahuan
yang bersifat adikodrati membawa kepada Allah (Widodo 1995: 182).
kebaikan maka kepercayaan itu berarti sesuai Kematian secara eksistensial mempunyai
dengan humanisme. Namun, sebaliknya jika pengertian bahwa dalam bereksistensi

12
Humanisme dalam Tradisi Kubur Batu Megalitik di Sumba, Nusa Tenggara Timur
Mikka Wildha Nurrochsyam

manusia selalu terlekat di dalamnya kematian. Misteri Kematian Pendekatan Filosofis, “…


Martin Heidegger (1889–1976) seorang filsuf dan, Andre Malroux menulis: Memikirkan
Jerman menyebutnya dengan istilah Sein- kematian, itulah yang membuat orang menjadi
zum-Tode. Dalam kematian eksistensial ini manusia. Pantas dirayakan pada hari di mana

S
terdapat semacam kecemasan eksistensial manusia untuk pertama kali membicarakan
atau angst. Dengan kecemasannya membuat tentang kematian, karena hari inilah yang
manusia berupaya untuk mengatasi apa yang menandai peralihan kematangan manusia”
dicemaskannya. Heidegger mangatakan (Leahy 1998:5). Kesadaran akan kematian
bahwa justru kematian yang memungkinkan dalam masyarakat di Sumba dirayakan secara
kehidupan di dunia ini memiliki makna besar-besaran dengan melakukan tarik kubur
(Sastrapratedja 106: 2004). batu yang disertai ritual korban penyembelihan

NA
Kecemasan eksistensial menyebabkan kerbau dan babi. Batu-batu besar dengan berat
peradaban manusia berkembang. Bagi puluhan ton itu ditarik dari sebuah tempat ke
manusia kecemasan itu tidak hanya lokasi penguburan. Untuk keperluan itu harus
membawa respon untuk melarikan diri dari dikeluarkan biaya yang tidak sedikit dan waktu
kenyataan hidup yang keras, tetapi dengan yang cukup lama.
kecemasan itu justru memberikan manusia
kesempatan untuk melakukan perlawanan 3.3 Proses Pembuatan Kubur Batu Megalitik
dan upaya-upaya untuk mengatasi kekerasan Dalam bagian tulisan ini dipaparkan
hidup. Kekerasan membuat otak manusia tentang prosesi tarik kubur batu sebagai salah
berkembang karena dihadapkan pada situasi satu prosesi dari tradisi kubur batu yang sangat
untuk selalu mengatasi persoalan. Kecemasan penting. Dalam prosesi ini terdapat dinamika
akan kelaparan melahirkan teknis-teknis kebudayaan yang menarik untuk dikaji.
pengolahan pangan. Diciptakannya tempat Dinamika kebudayaan merupakan istilah
KE
bernaung atau bangunan rumah adalah akibat yang digunakan oleh Koentjaraningrat (1923-
dari kecemasan manusia akan lingkungan 1999) seorang antropolog Indonesia untuk
mereka yang liar; untuk menghindarkan diri menggambarkan proses keseluruhan dinamika
dari bintatang buas; lingkungan alam yang sosial. Dalam tulisan ini hanya dipaparkan dua
tidak ramah seperti hujan, salju, dan panas dan konsep yang relevan yaitu internalisasi dan
angin. Kecemasan akan perampasan hak milik akulturasi. Internalisasi adalah proses panjang
maka lahirlah negara. Untuk itu individu- belajar individu untuk menanamkan dalam
individu memberikan sebagian haknya kepada kepribadiannya hasrat, nafsu dan emosi yang
negara untuk melindungi hak milik mereka. diperlukan sepanjang hidup (Koentjaraningrat
Kecemasan eksistensial bahwa hidup 1981: 228). Sedangkan akulturasi adalah proses
adalah fana lalu memunculkan keyakinan akan penyerapan unsur kebudayaan asing tanpa
keabadian hidup sesudah mati. Keyakinan menghilangkan kepribadian kebudayaan itu
ini melahirkan gambaran tentang kehidupan sendiri (Koentjaraningrat:1981; 248).
di akhirat sehingga melahirkan tata cara
AR

Masyarakat Sumba berpantang untuk


upacara serta perlakuan terhadap orang yang mengubur jasad dalam tanah, tetapi harus
meninggal dunia. Dalam tradisi beberapa suku dikuburkanmya di dalam batu. Penguburan
bangsa di dunia telah dihasilkan bangunan- dengan batu membutuhkan waktu lama dan
bangunan megalitik terkait dengan konsep dan dana yang besar. Karena itu bagi yang tidak
ide tentang kematian, seperti kita lihat dalam mampu biasanya mereka meminjam kubur
kubur batu megalitik di Sumba, Nusa Tenggara batu orang lain yang masih menjadi sanak
Timur. kerabatnya. Tulang-belulang yang tersisa
Kesadaran akan kematian itu merupakan kemudian disisihkan dan diisi dengan jasad
momen yang sangat penting dalam kehidupan, yang baru. Namun, pada saat penelitian
oleh karena itu perlu dirayakan, seperti yang dilakukan dijumpai banyak dinamika budaya.
dikatakan oleh Louis Leahy dalam bukunya Masyarakat mulai menggantikan kubur

13
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 21 No.1 Mei 2012

batu dengan semen. Hal ini menunjukkan seperti di pinggir jalan sehingga mereka selalu
telah terjadi proses internalisasi masyarakat diingatkan akan kematian.
terhadap kebutuhan yang lebih efisien dan Tarik kubur batu merupakan prosesi adat
praktis, menggantikan kubur batu yang mahal yang sangat melelahkan, dan membutuhkan

S
dengan semen yang murah. biaya yang sangat besar dan waktu yang
Seseorang yang berniat membuat batu sangat lama. Bongkahan batu yang beratnya
kubur harus mengumpulkan keluarganya puluhan ton itu ditarik dengan menggunakan
untuk mengadakan musyawarah. Ia lalu tenaga manusia yang berjumlah ratusan
menyampaikan niatnya untuk membuat batu orang bahkan sampai ribuan orang. Sebelum
kubur. Pada saat memilih batu di gunung ditarik batu kubur itu dilakukan ritual dengan
harus dilaksanakan upacara adat dan ritual. menyembelih babi besar bertaring, dilanjutkan

NA
Kepercayaan orang Marapu memilih batu di dengan do’a dan makan sirih bersama yang
gunung itu adalah ibarat meminang seorang dipimpin oleh rato. Sesaji dipersembahkan
gadis. Upacara adat dilaksanakan oleh dua kepada para Marapu dan roh penunggu batu
orang rato atau pemimpin adat, satu rato untuk menjamin kelancaran prosesi. Setelah
mewakili pemilik hutan atau gunung, dan satu itu, lalu dilakukan tarik kubur batu.
rato mewakili yang punya hajat, sebagai pihak Batu kubur yang beratnya puluhan ton
yang meminang. Mereka saling berhadap- itu diletakkan pada sebuah gandar beberapa
hadapan dengan membawakan syair-syair batang pohon kelapa sedangkan di depannya
adat. Untuk acara ini harus disertai korban diberi batang kayu yang dibentuk menyerupai
dengan menyembelih ayam dan babi. Lalu, kepala kuda. Di bawahnya diletakkan tiga buah
sang rato membedah usus ayam itu untuk kayu besar yang berfungsi untuk menjalankan
membacanya, kalau “penunggu” batu gunung batu di atas rel yang terbuat dari kayu-kayu.
itu mengijinkan maka akan ada tanda di Adapun dua di belakang berfungsi untuk
KE
usus ayam – yang hanya diketahui oleh rato, mengendalikan batu agar tidak keluar dari rel.
sebaliknya kalau tidak berkenan mereka harus Batu kubur diikat dari beberapa sisi, di tahan
mencari batu lain. dengan kayu-kayu agar tidak lepas, sedangkan
Pemotongan batu merupakan tugas tali-tali besar dibuat dengan dikaitkan pada
yang sangat berat, karena para pekerja lubang-lubang kayu yang dibuat pada sisi
harus memotong batu dan membentuk batu bagian bawah yang berfungsi sebagai pengait
sesuai dengan yang diinginkan pemesannya. untuk menarik batu. Kubur batu yang ditarik
Dalam prosesi ini terdapat dinamika budaya ini dihias dengan kain-kain, sebagian kain-kain
dalam pencarian dan pemotongan batu di itu diikatkan pada tiang kayu yang didirikan di
gunung. Kalau pada jaman dahulu pengerjaan atas batu.
dilaksanakan secara manual dengan tenaga Rel-rel dipasang terdiri dari banyak
manusia dan peralatan yang masih sederhana, bongkahan kayu yang bercabang, ditata
tetapi kini pengerjaannya dibantu dengan sepanjang jalan. Sementara batu bergerak,
teknologi modern dengan menggunakan beberapa orang sibuk menata dan mengambil
AR

gergaji mesin, derek dan katrol. Penggunaan batang-batang kayu yang sudah dilalui untuk
teknologi berpengaruh dalam proses dinamika diletakkan di bagian depan batu yang akan
budaya masyarakat Sumba. dilintasi, demikian seterusnya sampai batu
Kalau pada jaman dulu untuk pengerjaan kubur itu sampai pada tempatnya tujuannya.
batu kubur membutuhkan waktu yang sangat Ribuan orang menarik batu, dengan
lama, tetapi kini dengan bantuan teknologi disemangati oleh dua atau tiga orang yang
pembuatannya lebih cepat. Setelah kubur batu berdiri di atas batu kubur dengan meneriakkan
selesai, mereka melakukan upacara tarik batu semangat pada para penarik batu. Penyerapan
kubur. Mereka menarik kubur batu untuk unsur budaya asing dalam tradisi ini dapat
ditempatkan di depan rumah, di tengah-tengah kita lihat dari penggunaan pengeras suara.
perkampungan atau tempat-tempat keramaian Saya melihat dinamika budaya dalam prosesi

14
Humanisme dalam Tradisi Kubur Batu Megalitik di Sumba, Nusa Tenggara Timur
Mikka Wildha Nurrochsyam

ini, yaitu penggunaan pengeras suara untuk


untuk memberikan komando kepada para
penarik batu sehingga menimbulkan suara
yang keras. Dua orang itu bertugas tidak saja

S
menyemangati orang-orang yang menarik batu
kubur tetapi juga mengatur jalannya penarikan
batu kubur, karena penarikan batu kubur ini
penuh dengan resiko cidera bahkan sampai
terjadi kematian.
Proses pemindahan batu ke lokasi yang
baru membutuhkan waktu yang lama, menurut

NA
Foto 2. Pembantaian hewan korban untuk mengobati
keterangan salah satu narasumber untuk suatu “telapak tangan yang terkelupas” setelah tarik
upacara yang besar bisa sampai satu bulan, batu kubur (dok. Dinas Pariwisata Sumba Barat)
tetapi pada saat ini dibutuhkan waktu satu
sampai dua minggu, bahkan dapat lebih singkat
lagi. Pada saat ini tradisi tarik kubur batu telah bersama-sama sehingga tugas berat menjadi
mengalami banyak perubahan, diantaranya ringan.
adalah karena penggunaan teknologi. Batu Masing-masing orang mempunyai
bongkahan besar yang telah dipersiapkan dari kewajiban untuk berpartisipasi. Untuk keluarga
gunung itu tidak lagi ditarik dengan tenaga yang miskin, bisa membawa beras saja,
manusia saja, tetapi juga menggunakan truk yang menengah bisa membawa babi sedang,
dan traktor. Dengan teknologi pekerjaan yang sedangkan yang mampu membawa babi besar.
dilakukan dapat dipermudah dan dipersingkat Keluarga yang miskin dilibatkan tetapi sesuai
waktunya sehingga hemat biaya. Prosesi dengan kemampuan mereka, sedangkan yang
kaya juga memberikannya sesuai dengan
KE
tarik batunya sendiri tetap dilakukan oleh
masyarakat, namun dengan jarak yang tidak kemampuan mereka.
cukup jauh karena sudah dipermudah dengan Setelah batu kubur tiba di tempat
truk dan derek. tujuannya, biasanya di tengah-tengah
Ketika batu itu ditarik harus dilakukan perkampungan, maka dilakukan upacara
penyembelihan babi dan kerbau. Satu hari penyembelihan hewan korban. Upacara ini
membutuhkan sekitar empat ekor babi besar, dimaksudkan untuk mengobati telapak tangan
kalau sepuluh hari berarti harus disediakan yang terkelupas karena menarik batu. Daging
empat puluh ekor babi. Semua itu ditanggung hewan korban dibagi-bagikan kepada seluruh
secara bersama-sama oleh sanak saudara penarik batu. Hewan-hewan korban ini adalah
mereka. Demikian pula untuk makanan atau hasil sumbangan dari sanak dan kerabat,
nasinya juga merupakan hasil sumbangan sahabat serta saudara. Jumlah hewan korban
tergantung kepada status tuan rumah. Kalau
statusnya tinggi maka banyak hewan-hewan
AR

korban yang disumbangkan. Babi dan kerbau,


satu persatu hewan korban itu dibantai dengan
sangat sadis. Parang ditebaskan pada leher dan
bagian tubuh binatang korban itu sedangkan
darah terlihat membasahi tanah.
Setelah upacara selesai, lempengan batu
diserahkan kepada pemahat batu untuk diberi
berbagai macam pahatan berupa ornamen atau
relief berbentuk anjing, kuda, ayam, buaya,
Foto 1. Batu kubur tiba di tempat tujuannya, sebuah atau gambar lainnya. Kadangkala dibuatkan
perkampungan penduduk (dok. Dinas Pariwisata patung sebagai penyerta kubur batu.
Sumba Barat)

15
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 21 No.1 Mei 2012

4. Hasil dan Pembahasan menyertakan korban budak-budak untuk


Berdasarkan atas uraian tersebut mengiringi tuannya di alam baka, dengan
selanjutnya dibahas aspek-aspek humanisme penjelasan apapun tampaknya bertentangan
dalam dinamika budaya yang diperlihatkan dengan kemanusiaan. Menurut keterangan

S
dalam tradisi kubur batu megalitik. beberapa narasumber korban para budak itu
Pertama-tama akan dibahas tentang upacara dilakukan dengan kerelaan mereka sendiri,
pembantaian hewan korban ketika kubur batu tetapi tidak jarang mereka dipaksa oleh
sampai di tempatnya. Dalam upacara ini hewan- keluarganya. Keduanya adalah sikap yang tidak
hewan dibantai secara sadis, terlihat parang dapat diterima dari sisi kemanusiaan, baik
ditusukan di bagian tubuh dan ditebaskan ke atas kerelaannya sendiri atau karena paksaan
keluarga. Ritual korban tersebut sekarang

NA
leher binatang korban dengan sadis. Darah
mengucur membasahi bumi. Beberapa warga dilarang oleh hukum positif karena dianggap
masyarakat Sumba sendiri mengaku tidak tega kriminal. Di sini tampak bahwa persoalan
melihat binantang-binatang dibantai dengan hukum terkait dengan tradisi. Hukum positif
sadis. mempunyai kekuasaan menekan tradisi. Dalam
Mengacu pada teori Rene Girard kasus ini hukum positif mempunyai peran
seperti yang ditulis Sindhunata dalam untuk mendukung terjadinya proses dinamika
bukunya “Kambing Hitam, Teori Rene Girard” budaya yang lebih bermartabat.
mengatakan bahwa ritual korban mempunyai Terbentuknya budaya adalah untuk
makna sosial untuk menyalurkan kekerasan kepentingan memanusiakan manusia. Maka,
dalam masyarakat (Sindhunata 2006:100). adanya korban para budak untuk menyertai
Melalui sebuah pembantaian hewan korban tuannya dalam kubur itu, sangat menjauhkan
yang kejam, seperti dalam tradisi kubur batu dari sikap menghargai martabat manusia.
ini maka kekerasan dapat tersalurkan sehingga Menghilangkan eksistensi jiwa orang lain
KE
kecenderungan kekerasan dan kebrutalan di dengan alasan apapun sangat tidak manusiawi,
dalam masyarakat dapat dikurangi. Maka, lewat apalagi kalau dilakukan dengan cara pemaksaan.
tradisi-tradisi yang tampak kejam dan liar ini Seiring dengan perkembangan intelektual dan
harmoni dalam masyarakat dikembalikan. pendidikan masyarakat yang mulai meningkat
Bagi Raymond Firth hewan korban maka terjadi internalisasi dalam masyararakat
ini mempunyai alasan rasional yaitu: sebagai Sumba. Mereka mulai belajar bahwa korban
substitusi pengganti, hasrat kekerasan tidak para hamba bertentangan dengan harkat dan
dilaksanakan dalam masyarakat secara martabat manusia. Sekarang korban budak-
kongkrit, tetapi hewan korban menjadi budak itu digantikan dengan hewan seperti
penggantinya, sehingga diharapkan dengan kuda atau anjing untuk mengiringi kematian
substitusi kekerasan terhadap hewan korban bangsawan ke alam baka.
dapat mengembalikan tatanan masyarakat Semakin orang berbudaya maka akan
menjadi harmoni. Alasan rasional yang lain semakin menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Hadirnya agama merupakan sebuah proses
AR

adalah kondisi nilai atau kualitas dari obyek


yang dikorbankan (Firth 1996:109). Nilai pembudayaan masyarakat untuk menghargai
atau kualitas obyek yang dikorbankan ini nilai-nilai manusiawi. Ritual korban manusia
mengandung pengertian bahwa hewan korban dalam doktrin agama samawi diabadikan
itu sendiri mempunyai alasan rasional yaitu atas peristiwa penyembelihan Ismail oleh
terdapat nilai yang bersifat ekonomis. Seperti Nabi Ibrahim. Kisah itu mempunyai makna
yang terdapat dalam tradisi kubur batu di semiotik bahwa korban manusia itu menjadi
Sumba, setelah upacara pembantaian hewan terlarang, maka korban manusia harus
korban, dagingnya dibagi-bagikan kepada dihentikan, konon Ismail digantikan dengan
seluruh masyarakat. seekor domba. Dalam beberapa tradisi,
Satu hal lagi yang paling ekstrem melalui proses pembudayaan korban-korban
dalam tradisi ini yaitu ritual korban yang manusia telah ditinggalkan seperti upacara

16
Humanisme dalam Tradisi Kubur Batu Megalitik di Sumba, Nusa Tenggara Timur
Mikka Wildha Nurrochsyam

Tiwah di Kalimantan Tengah, korban manusia lebih layak untuk anak-anak, lalu muncul
digantikan dengan lembu. pilihan antara mempertahankan tradisi masa
Hakikat korban itu bukan terletak pada lalu dan kebutuhan untuk meningkatkan
apa yang harus di korbankan tetapi lebih pada kualitas hidup. Beberapa orang lebih memilih

S
niat suci untuk memberikan persembahan mempertahankan tradisi lebih penting, tetapi
dengan ikhlas. Dalam ritual itu mengandung yang lain lebih memilih pendidikan lebih
harapan-harapan masyarakat pendukungnya penting. Keduanya, sama-sama penting antara
agar mendapat keselamatan, terhindarkan pelestarian tradisi masa lalu dan meningkatkan
dari kekerasan, dan mara bahaya serta berkah kualitas hidup untuk masa depan yang lebih
yang melimpah. Dengan keikhlasan itu lalu baik. Masyarakat Sumba diharapkan mampu
membawa dampak harmoni dalam masyarakat. mendamaian kedua pertentangan itu secara

NA
Beberapa dinamika budaya dalam baik.
tradisi ini terdapat sisi-sisi yang manusiawi Dinamika budaya pada acara tarik
seperti dapat dilihat dari kecenderungan untuk kubur batu, juga kita lihat misalnya dengan
melakukan tarik batu kubur dengan bantuan penggunaan pengeras suara untuk memberi
alat-alat modern seperti truk dan traktor. Kalau semangat kepada para penarik kubur batu.
dilakukan secara manual tanpa alat-alat modern Beberapa orang menyatakan keberatan dengan
maka banyak menghabiskan waktu yang sangat penggunaan teknologi, namun beberapa
lama sedangkan biaya yang dikeluarkan sangat orang tidak keberatan. Mereka mempunyai
besar. Tarik kubur batu dengan cara manual alasan bahwa dalam tradisi kubur batu ini
tidak efektif dan efisien karena banyak waktu yang dipentingkan adalah kekompakan,
terbuang dan boros. Masyarakat banyak kebersamaan serta gotong royong. Kalau
meninggalkan kegiatan-kegiatan produktif teknologi itu semakin memperkuat semangat
untuk keperluan adat. Penggunaan truk dan gotong royong maka layak untuk
KE
untuk penarikan batu kubur membuat jarak digunakan.
tempuhnya dipersingkat namun tarik batunya
sendiri tetap diselenggarakan secara bersama- 5. Kesimpulan
sama dengan tidak mengurangi gotong-royong Budaya selalu dalam dialog dengan
dan kebersamaannya dengan melibatkan sanak budaya lainnya, tidak pernah ada budaya yang
keluarga dan masyarakat secara luas. Nilai-nilai berdiri sendiri tanpa adanya campur tangan
sosial dan budaya tetap dipertahankan dengan dengan budaya lain. Dalam era informasi dan
tidak menurunkan kualitas budaya itu sendiri. teknologi budaya lokal juga terpengaruh oleh
Di sini tampak bahwa teknologi dan budaya budaya global. Kita tidak dapat menghindarkan
bersinergi untuk lebih meningkatkan kualitas dengan perubahan-perubahan tersebut.
kerja manusia. Dinamika budaya di salah satu sisi bisa
Gejala dinamika budaya lainnya dalam menurunkan nilai budaya yang bersangkutan,
tradisi ini yaitu penggunaan semen yang seperti berkurangnya nilai sosial, spiritual,
berfungsi sebagai kubur batu. Orang tidak
AR

kebersamaan dan gotong royong, tetapi di sisi


lagi secara bersama-sama mengadakan ritual lain dinamika budaya itu justru memperkuat
untuk mencari batu di gunung. Mereka juga nilai-nilai budaya tersebut, karena itu perlu
tidak berlelah-lelah melakukan tarik kubur kriteria dalam mengupayakan terjadinya
batu. Menurut keterangan narasumber, biaya dinamika budaya, maka dalam dinamika
yang besar untuk tarik batu itu lebih baik budaya itu perlu tolok ukurnya yang memadai.
kalau digunakan untuk biaya pendidikan Dinamika budaya dapat dikatakan benar kalau
anak-anak sehingga dapat meningkatkan perubahan itu justru semakin meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Di sini tampak humanisme, yaitu perubahan yang semakin
pertentangan antara adat yang mendukung mempertinggi harkat dan martabat manusia.
nilai-nilai kebersamaan, gotong-royong dan Dalam tradisi kubur batu megalitik
ritual dengan kesempatan pendidikan yang di Sumba terdapat sebuah upaya dinamika

17
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 21 No.1 Mei 2012

budaya dengan mempertimbangkan beberapa sosial dan budaya - apalagi sampai membawa
hal antara lain: efisiensi waktu, tenaga dan pada dehumanisasi, yaitu perubahan
biaya; nilai-nilai budaya yang melekat dalam yang menjatuhkan martabat manusia atau
tradisi kubur batu itu, seperti nilai gotong- merendahkannya.

S
royong, kebersamaan, dan nilai ritualnya tetap Berdasarkan kesimpulan ini saya ingin
terjaga; dan juga terdapat upaya-upaya yang merekomendasikan kepada instansi, lembaga,
manusiawi dengan menggantikan korban pelaku budaya serta masyarakat yang terkait
para budak dengan binatang. Hingga saat ini dengan kegiatan berbudaya untuk dapat
dinamika budaya dalam tradisi kubur batu menjadikan nilai-nilai humanisme sebagai
tidak meninggalkan esensi budaya dalam landasan dalam dinamika kebudayaan.
masyarakat Sumba - menghilangkan nilai-nilai

NA
KE
AR

18
Humanisme dalam Tradisi Kubur Batu Megalitik di Sumba, Nusa Tenggara Timur
Mikka Wildha Nurrochsyam

Daftar Pustaka

Leahy, Louis, S.J. 1998. Misteri Kematian, Suatu Pendekatan Filosofis. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.

S
Firth, Raymond. 1996. Religion: a Humanist Interpretation. London and New York: Routledge.
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Sastrapratedja, M. S.J. 2004. Manusia dan Permasalahannya, Butir-Butir Refleksi Filsafat. Jakarta:
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

NA
Sindhunata. 2006. Kambing Hitam, Teori Rene Girard. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Soejono, R.P. 2008. Sistem-Sistem Penguburan Pada Akhir Masa Prasejarah di Bali. Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Badan Pengembangan Sumberdaya
Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Sukendar, Haris. 2003. Masyarakat Sumba dengan Budaya Megalitiknya. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Widodo, Arif. 1995. Laku Icip Pati Sebagai Langkah Metodis Untuk Mencapai Derajat “Kemulyaan
Hidup” (Sebuah Studi Terhadap Serat Icip Pati Karya R. Indrajit Prawiro Kusuma Dirdja).
Yogyakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada.
KE
AR

19

Anda mungkin juga menyukai