Anda di halaman 1dari 132

DINAMIKA PEMAKNAAN MASYARAKAT TERHADAP

CANDI NGETOS DI NGANJUK DARI ABAD XV – XX M

SKRIPSI

Oleh:
Anna Nur Nita
NIM U20184023

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
DESEMBER 2022
DINAMIKA PEMAKNAAN MASYARAKAT TERHADAP
CANDI NGETOS DI NGANJUK DARI ABAD XV – XX M

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora
Program Studi Sejarah Peradaban Islam

Oleh:
Anna Nur Nita
NIM U20184023

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
DESEMBER 2022

i
DINAMIKA PEMAKNAAN MASYARAKAT TERHADAP
CANDI NGETOS DI NGANJUK DARI ABAD XV – XX M

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora
Program Studi Sejarah Peradaban Islam

Oleh:
Anna Nur Nita
NIM U20184023

ii
iii
MOTTO

َ‫ار َۗو ُك ٌّل فِ ْي َف َلكٍ يَّ ْس َب ُح ْون‬ َ ‫س َي ْن َب ِغ ْي لَ َها اَ ْن تُد ِْركَ ْالقَ َم َر َو ََل الَّ ْي ُل‬
ِ ‫سا ِب ُق النَّ َه‬ َّ ‫ََل ال‬
ُ ‫ش ْم‬
“Tidaklah Mungkin Bagi Matahari Mengejar Bulan Dan Malam Pun Tidak Dapat
Mendahului Siang. Masing – Masing Beredar Pada Garis Edarnya”1
Q.S. Yasin Ayat 40

1
Lajnah Pentafsiran Mushaf Al-Qur’an, “Al – Qur’an Dan Terjemahan”, (Bandung: Quranidea
Cahaya Semesta, 2014), 442

iv
PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan kepada:


1. Kepada yang tersayang ayah saya Almarhum Chairul Anam dan ibu tercinta
Nunung Mahmudah yang tidak pernah putus mendoakan, memberi semangat
dan nasehat, sekaligus memfasilitasi sehingga terselesaikanlah skripsi ini.
2. Kepada dua adik saya tercinta Sany Maulidina Rahma dan Mohammad Alvin
Akbaru Syakih yang tidak pernah berhenti memberikan support dalam
penyelesaian skripsi ini.
3. Kepada keluarga besar yang selalu mendukung dan mendampingi saya dalam
upaya merampungkan skripsi.

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena

dengan limpahan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nyalah, perencanaan,

pelaksanaan dan penyelesaian penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan

lancar. Sebagai tanda rasa syukur penulis, semua pengalaman selama proses

penulisan skripsi akan penulis jadikan sebagai refleksi atas diri penulis untuk

kemudian akan penulis implementasikan dalam bentuk sikap dan perilaku

konstruktif dan produktif untuk kebaikan dan perbaikan semua warga bangsa.

Terselesaikannya penulisan skripsi ini, penulis sadari karena bantuan dan

peran berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyadari dan menyampaikan

terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Rektor Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember Prof. Dr. H.

Babun Suharto, SE., MM atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada

penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Sarjana.

2. Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora Prof. Dr. M. Khusna Amal,

S.Ag., M.Si dan seluruh jajaran Dekanat yang lain atas kesempatan yang

diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Studi Sejarah

Peradaban Islam pada Program Sarjana Fakultas Ushuluddin, Adab dan

Humaniora Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

3. Ketua Jurusan Studi Islam Dr. Win Usuluddin, M.Hum., atas fasilitas,

kesempatan, sekaligus bimbingan yang telah diberikan selama perkuliahan.

Sehingga, mampu meingkatkan pengetahuan lebih luas.

vi
4. Ketua Program Studi Sejarah Peradaban Islam Dr. Akhiyat, S.Ag., M.Pd, atas

bimbingan, motivasi serta diskusi-diskusi yang menarik dan membangun

selama proses perkuliahan.

5. Dosen Pembimbing Muhammad Faiz, MA yang selalu memberikan motivasi

dan meyakinkan penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tanpa

bimbingan, saran, bantuan, dan motivasi beliau penulisan skripsi ini tidak

akan selesai.

6. Seluruh dosen di Program Studi Peradaban Islam dan karyawan Fakultas

Ushuluddin, Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Kiai Haji

Achmad Siddiq Jember yang dengan sukarela mentransfer, membagi teori-

teori dan ilmu-ilmu serta pengalamannya selama proses perkuliahan.

7. Seluruh teman-teman sekelas maupun seangkatan di Prodi Sejarah Peradaban

Islam, teman – teman dari komunita Kulit Pohon yang memberikan semangat

dan diskusi – diskusi ringan sehingga penulis bisa menuntaskan penulisan

skripsi ini.

8. Seluruh pihak dan teman alumni Tebuireng di Jember terutama angkatan 2018

yang ikut andil dalam membantu penulis dengan sukarela memberi semangat

dan motivasi hingga bisa merampungkan penulisan skripsi ini.

Atas segala kekurangan serta kekhilafan yang ada, sepenuh hati penulis

sampaikan mohon maaf.

Jember, 28 Oktober 2022

Penulis

vii
ABSTRAK

Anna Nur Nita. 2022. Dinamika Pemaknaan Masyarakat Terhadap Candi Ngetos
Di Nganjuk Dari Abad XV – XX M.
Berdirinya kota Nganjuk tidak dapat lepas dari rangkaian sejarah masa
lalu. Tidak banyak orang tahu bahwa Nganjuk memiliki peninggalan sejarah
cukup penting yang kini menjadi aset budaya yang dilindungi. Seperti bangunan
Candi Ngetos yang terletak di Desa Ngetos, Kabupaten Nganjuk. Sebuah
bangunan tua berupa candi tidak akan pernah mengalami perubahan signifikan.
Tetapi, pemaknaan masyarakat terhadap Candi Ngetos di setiap masa pasti
berbeda. Dari abad berdirinya XV – XX M, mencakup tiga masa candi di kerajaan
Majapahit, kerajaan Islam, sampai kolonial.
Fokus penelitian ialah, peristiwa apa yang melatar belakangi berdirinya
Candi Ngetos di Nganjuk dan dinamika pemaknaan masyarakat terhadap Candi
Ngetos di Nganjuk dari abad XV – XX M. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan peristiwa yang melatar belakangi pendirian Candi Ngetos di
Nganjuk dan menjelaskan dinamika masyarakat dalam segi pemikiran terutama
terhadap bangunan Candi Ngetos yang merupakan peninggalan sejarah. Dalam
upaya pengumpulan sumber hingga penulisan, peneliti mengambil metode
penelitian sejarah secara kualitatif dan menggunakan teori sosial budaya untuk
memudahkan peneliti dalam menyelesaikan masalah penelitian.
Pada abad XV – XX M, melipui masa Majapahit Candi Ngetos dibangun
dan dijadikan pendharmaan prabu Hayam Wuruk sekaligus sebagai tempat ibadah
Hindu - Budha. Kemudian di masa Islam, tidak lagi menggunakan candi untuk
ibadah melainkan masjid, raja tidak lagi didharmakan pada sebuah candi, tetapi
dikuburkan dengan kijing atau hiasan – hiasan lebih menonojol. Sehingga,
percandian terabaikan pada masa Islam dan tenggelam secara perlahan.
Selanjutnya, candi kembali ditemukan, diteliti, diperbaiki saat era kolonial.

Kata Kunci: Sejarah, Candi Ngetos, Kabupaten Nganjuk

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI ....................................... iii

HALAMAN MOTTO ............................................................................. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................. v

KATA PENGANTAR ............................................................................ vi

ABSTRAK .............................................................................................. viii

DAFTAR ISI ........................................................................................... ix

DAFTAR TABEL ................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian ............................................................... 1

B. Fokus Penelitian ................................................................... 4

C. Ruang Lingkup Penelitan ...................................................... 5

D. Tujuan Penelitian .................................................................. 6

E. Manfaat Penelitian ................................................................ 6

F. Studi Terdahulu ..................................................................... 8

G. Kerangka Konseptual dan Landasan Teori ........................... 11

H. Metode Penelitian.................................................................. 15

I. Sistematika Pembahasan ....................................................... 18

BAB II HISTORISITAS KABUPATEN NGANJUK

ix
A. Dari Anjuk Ladang Menjadi Nganjuk .................................. 20

B. Ngetos Sebagai Tanah Sima.................................................. 26

BAB III PEMBANGUNAN CANDI NGETOS

A. Profil Candi Ngetos ............................................................... 34

B. Tahapan Pendirian Candi Ngetos .......................................... 41

BAB IV DINAMIKA PEMAKNAAN MASYARAKAT TERHADAP CANDI

NGETOS

A. Makna Candi Ngetos Kerajaan Masa Majapahit .................. 49

B. Makna Candi Ngetos Kerajaan Masa Islam Di Jawa ............ 64

C. Makna Candi Ngetos Masa Kolonial .................................... 81

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................... 104

B. Saran ..................................................................................... 106

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kronologi Pemindahan Pusat Pemerintahan Dari Brebek Ke Nganjuk

.......................................................................................................................... 24

Tabel 2.2 Daftar Pembagian Wilayah Kabupaten Nganjuk 1929 .................... 26

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar

Gambar 3.1 Candi Ngetos Dari Sisi Selatan .................................................... 34

Gambar 3.2 Relief Salib Candi Ngetos ............................................................ 36

Gambar 3.3 Relief Belah Ketupat Menyerupai Banji Dan Buah Bergerombol

Dengan Daun Candi Ngetos ............................................................................. 36

Gambar 3.4 Relief Spiral Besar Candi Ngetos................................................. 37

Gambar 3.5 Pintu Menuju Ruang Utama Candi Ngetos .................................. 38

Gambar 3.6 Batu Ambang Pintu Candi Ngetos ............................................... 38

Gambar 3.7 Atap Bilik Utama Sekaligus Candi Ngetos Yang Telah Hilang .. 38

Gambar 3.8 Sisi Barat Daya Candi Ngetos ...................................................... 39

Gambar 3.9 Dinding Bawah Bagian Barat Candi Ngetos ................................ 39

Gambar 3.10 Konsep Bangunan Candi Ngetos ............................................... 40

Gambar 3.11 Gaya Dinding Pada Candi Ngetos .............................................. 40

Gambar 4.1 Pecahan Patung Ganesha .............................................................. 52

Gambar 4.2 Batu Pijakan Candi Ngetos .......................................................... 53

Gambar 4.3 Lingga Candi Ngetos .................................................................... 53

Gambar 4.4 Bekas Petirthaan Candi Ngetos .................................................... 63

Gambar 4.5 Candi Ngetos Dari Sisi Selatan 1914 Sebelum Perbaikan ........... 96

Gambar 4.6 Candi Ngetos Dari barat Laut 1914 Sebelum Perbaikan.............. 97

Gambar 4.7 Gradiasi Bangunan Candi Ngetos Dari Barat Laut 1914

Sebelum Perbaikan ........................................................................................... 97

xii
Gambar 4.8 Sisi Barat Candi Ngetos Selama Perbaikan 1917......................... 97

Gambar 4.9 Detail Lubang Sisi Utara Candi Ngetos Selama Perbaikan 1917

.......................................................................................................................... 98

Gambar 4.10 Bagian Atas Jalan Masuk Bilik Utama Candi Ngetos

Sebelum Perbaikan 1917 ................................................................................. 98

Gambar 4.11 Detail Bagian Barat Candi Ngetos Selama Perbaikan 1917 ...... 98

Gambar 4.12 Detail Ruangan Dalam Jalan Masuk Ruang Utama Candi

Ngetos Saat Perbaikan 1917............................................................................. 99

Gambar 4.13 Kepala Kala Pada Bagian Selatan Candi Ngetos Setelah

Perbaikan 1917 ................................................................................................. 99

Gambar 4.14 Sisi Barat Candi Ngetos Setelah Perbaikan 1917 ...................... 99

Gambar 4.15 Sisi Utara Candi Ngetos Setelah Perbaikan 1917 ...................... 100

Gambar 4.16 Bagian Timur Laut Candi Ngetos Setelah Perbaikan 1917........ 100

Gambar 4.17 Candi Ngetos Dari Sisi Utara Setelah Perbaikan 1917 .............. 100

Gambar 4.18 Sisi Barat Candi Ngetos Setelah Perbaikan 1917 ...................... 101

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Sebelum Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki

keanekaragaman budaya, jauh dari ribuan tahun yang lalu terdapat potret

proses peleburan kebudayaan yang datang dari berbagai penjuru dunia.

Sehingga, sistem kehidupan di Indonesia mulai berubah. Hal pertama kali

yang berubah adalah bentuk keyakinan masyarakat Indonesia. Masyarakat

dahulu tidak memiliki Tuhan, mereka penganut keyakinan animisme dan

dinamisme. Kepercayaan ini bersumber dari budaya Melayu Lokal atau biasa

disebut dengan “religio magis” yang mampu mempengaruhi pola pikir

masyarakat Indonesia zaman dahulu untuk percaya dengan hal-hal ghaib.1

Sampai akhirnya, bergeser keyakinan menjadi Hindu-Budha yang dibawa

langsung oleh orang India ke Nusantara. Maraknya penganut agama baru

tersebut termasuk, salah satu alasan beredarnya bangunan candi di Nusantara

sebagai wadah ritus mereka.

Percandian banyak dijumpai di tanah Jawa, namun antara Jawa Tengah

dan Jawa Timur candi mengemban peran yang sedikit berbeda. Apabila di

Jawa Tengah hanya untuk pemujaan terhadap Sang Hyang Widi, maka di Jawa

Timur candi juga sebagai pendharmaan raja-raja. Hal ini berkembang dari era

Singasari sampai Majapahit. Menurut legenda yang beredar di antara rakyat

1
M. Dimyati Huda, “Peran Dukun Terhadap Perkembangan Peradaban Budaya Masyarakat Jawa”,
dalam Ikadbudi Jurnal Ilmiah, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa, Vol. 04, No. 10 (2015), 1

1
2

setempat desa Ngetos, sebelum Hayam Wuruk wafat ia telah berwasiat kepada

pamannya bernama Raden Condromowo yang bergelar Raden Ngabei

Selopurwoto raja Kerajaan Ngatas Angin.2 Hayam Wuruk meminta kepada

pamannya untuk dibangunkan candi di Desa Ngetos sebagai tempat

penyimpanan abu jenzahnya. Raden Ngabei Selopurwoto mempunyai patih

bernama Raden Bagus Condrogeni dan pusat kepatihannya terletak di barat

Kerajaan Ngatas Angin. Diketahui alasan Hayam Wuruk memilih Candi

Ngetos sebagai tempat penyimpanan abu jenazahnya, karena Ngetos termasuk

dalam wilayah kekuasaan Majapahit yang menghadap ke arah Gunung Wilis.3

Gunung Wilis dalam pandangannya saat itu sama agungnya dengan Gunung

Mahameru. Selanjutnya, Raden Condromowo mengutus Empu Sakti Supo

untuk membangun kompleks percandian di Ngetos. Candi Ngetos menganut

aliran Siwa-Wisnu, hal ini sesuai dengan agama yang dianut oleh Raja Hayam

Wuruk, yitu Siwa-Wisnu.

Ketika Hayam Wuruk telah wafat, jenazahnya dibakar sesuai

permintaan beliau. Kemudian, abu jenazah Hayam Wuruk disimpan pada

candi kecil bernama Paramasakapura yang konon kembaran Candi Ngetos.

Tetapi, candi tersebut telah hilang dimakan oleh peradaban dan menyisakan

candi induknya, yaitu Candi Ngetos. Situs candi ini menemani timbul

tenggelam perdaban di Indonesia, khususnya Jawa. Tidak sedikit orang

menziarahi percandian ini dari masa Majapahit, Islam, bahkan kolonial. Oleh

karena itu, akan timbul banyak pendapat dari masing-masing mereka yang
2
“Candi Ngetos”, https://www.nusantarakitafoundation.org/candi-ngetos/, diakses pada tanggal 11
Desember 2021
3
Wawancara, Pak Aris Juru Kunci Candi Ngetos, 12 November 2021
3

datang pergi maupun menetap mengenai bangunan indah ini. Banyak kawanan

candi dimanfaatkan oleh khalayak umum mulai dari konsep, struktur, relief,

dan dari segi lainnya.

Menurut Agus Aris Munandar relief merupakan seni yang dipahatkan

pada dinding candi, sehingga menjadi salah satu bagian penting candi. Relief

yang dipahatkan pada setiap dinding candi termasuk dalam kesusastraan Jawa

Kuno, bukan sekedar sebagai pembekuan cerita atau hiasan biasa, tetapi

memiliki makna dan tujuan pemahatan.4 Para ahli kesusastraan Jawa Kuno

telah meneliti secara mendalam dan menyimpulkan, bahwa dalam kandungan

karya sastra Jawa Kuno tersebut memuat pelbagai nasihat keagamaan ataupun

pendidikan. Pesan yang disampaikan bisa dalam bentuk cerita bergambar

serupa relief. Relief sendiri terbagi menjadi tiga jenis, yaitu relief cerita, relief

(non) cerita, dan relief candrasengkala.5 Relief cerita ialah penggambaran

cerita berdasarkan kitab dari agama di masa itu ataupun visualisasi yang

menganut tema pendidikan. Relief (non) cerita adalah relief yang tidak

menunjukkan sebuah gambaran suatu cerita tertentu dan biasanya berupa

hiasan atau simbol mitologi-religious. Sedangkan pengertian relief

candrasengkala, yaitu hiasan yang dipahat dalam bentuk figur berupa manusia,

hewan, atau makhluk mitologi. Sehingga, dapat diterjemahkan dalam bentuk

kalimat dan memberi kesimpulan berupa angka tahun tertentu.

4
Agus Aris Munandar, “Karya Sastra Jawa Kuno Yang Diabadikan pada Relief Candi-Candi
Abad ke 13-15 M”, dalam Makara Jurnal Sosial Humaniora, Vol. 8, No. 2 (Agustus 2004), 57
5
Sugeng Riyanto, “Ragam Hias Pada Candi Sebagai Motif Batik”, dalam Prosiding Seminar
Nasional Industri Kerajinan Dan Batik, Vol. 1, No. 1 (Desember 2019), 3
4

Bukan sekedar dari relief yang dapat dimaknai, namun dari struktur

atau tiap tingkatan bangunan dapat diresapi pesannya. Tinggalan patung-

patung beserta serpihan jejak orang-orang dari setiap zaman menyiratkan

ungkapan suasana kala itu. Ajaran, tradisi, dan budaya apa yang pernah hidup

di sekitar percandian, lalu bagaimana kabar mereka selanjutnya? Sekiranya

hal tersebut cukup menarik untuk dikaji, mengingat Candi Ngetos sebagai

objek penelitian sangatlah sedikit. Kontruksi candi itu sekarang sangat

memprihatinkan, tidak dapat mengira berapa lama akan bertahan. Bahkan,

relief-relief penghias candi sudah banyak yang hilang, batu bata mulai

keropos, kekuatan penopang candi ini juga mulai menurun akibat faktor alami

seperti hujan dan terik kemarau mendukung mereka menuju kelapukan.

Oleh sebab itu, pentingnya peran kita sebagai penerus bangsa merawat

peninggalan-peninggalan nenek moyang yang masih ada. Salah satunya

dengan mengabadikan sejarah dan keunikannya melalui tulisan. Maka,

peneliti tertarik mengangkat judul “Dinamika Pemaknaan Masyarakat

Terhadap Candi Ngetos Di Nganjuk Dari Abad XV – XX M.”

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka tersusunalah dua rumusan

masalah untuk menentukan fokus penelitian agar sesuai dengan hasil

penelitian yang diharapkan, yaitu:

1. Peristiwa apa yang melatar belakangi berdirinya Candi Ngetos di

Nganjuk?
5

2. Bagaimana dinamika pemaknaan masyarakat terhadap Candi Ngetos dari

abad XV – XX M?

C. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian diadakan supaya peneliti fokus pada konteks

permasalahan yang ada. Ruang lingkup penelitian terbagi dua jenis, yaitu

spasial merupakan batasan lokasi yang diambil oleh peneliti dan ruang

lingkup penelitian temporal adalah batasan waktu atau periode yang diambil

peneliti dalam penelitian. Adapun Batasan-batasan yang diberikan oleh

peneliti, yaitu:

a. Batasan Spasial

Peneliti mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Nganjuk. Wilayah

Nganjuk memiliki banyak sekali jejak sejarah, salah satunya percandian di

Desa Ngetos yang diyakini sebagai tempat pendharmaan raja besar

Majapahit Hayam Wuruk.

b. Batasan Temporal

Peneliti mengambil kurun waktu dari abad XV –XX M yang meliputi

masa kerajaan Majapahit sampai kolonial, karena terdapat sebuah

perkembangan pemikiran masyarakat telah dan sedang terjadi, termasuk

pandangan mereka terhadap Candi Ngetos. Hal tersebut dipilih oleh

peneliti berdasarkan data yang sudah ditemukan melalui beberapa sumber

informasi.
6

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dua fokus penelitian yang telah disebutkan di atas.

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu:

1. Untuk memaparkan fenomena latar belakang pendirian Candi Ngetos di

Nganjuk.

2. Untuk menjelaskan dinamika pemikiran masyarakat dari abad XV – XX

M (zaman Majapahit hingga kolonial) melalui pemaknaan mereka

terhadap Candi Ngetos di Nganjuk.

E. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

a. Dapat menambah literatur karya ilmiah tentang sejarah berdirinya

Candi Ngetos. Memahami gambaran pandangan masyarakat dari masa

Majapahit sampai kolonial terhadap Candi Ngetos.

b. Dapat menjadi sumber rujukan dan bahan kajian untuk para peneliti

selanjutnya tentang latar pendirian Candi Ngetos, sekaligus makna

yang dapat dipelajari dari bangunan tersebut dan memahami

perkembangan atau dinamika masyarakat yang hidup sezaman

bersama candi dari abad XV – XX M (Majapahit hingg kolonial)

2. Secara Praktis

a. Bagi penulis

Kegiatan dalam penelitian ini memberi pengalaman yang berharga

bagi peneliti. Selain itu, mampu membantu meningkatkan penulisan


7

sekaligus pemahaman mengenai latar pendirian Candi Ngetos,

sekaligus makna yang dapat dipelajari dari bangunan tersebut dan

memahami perkembangan pemikiran masyarakat yang hidup sezaman

bersama candi dari era abad XV –XX M.

b. Bagi Lembaga (UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember)

Dapat menambah wawasan dan sumber informasi terkait latar

pendirian Candi Ngetos, sekaligus makna yang dapat dipelajari dari

bangunan tersebut dan memahami dinamika masyarakat yang hidup

sezaman bersama candi dari abad XV – XX M. Candi Ngetos di

Nganjuk mampu menjadi salah satu referensi obyek observasi bagi

mahasiswa UIN Kiai Haji Achmad Siddiq terutama mahasiswa prodi

Sejarah Peradaban Islam.

c. Bagi Masyarakat

Mampu memberikan pengetahuan dan informasi mengenai latar

pendirian Candi Ngetos, sekaligus makna yang dapat dipelajari dari

bangunan tersebut dan memahami perkembangan masyarakat yang

hidup sezaman bersama candi mulai abad XV – XX M (Majapahit

sampai kolonial) untuk seluruh masyarakat atau pembaca. Selain itu,

penelitian ini diharapkan mampu memberikan pandangan baru bagi

masyarakat tentang Candi Ngetos, sehingga dapat mengembangkan

penelitian serta tulisan-tulisan baru terkait Candi Ngetos. Selanjutnya,

penelitian ini diharapkan dapat menjadikan Candi Ngetos maupun

masyarakat luas saling mengenal.


8

F. Studi Terdahulu

Adapun penelitian terdahulu yang serupa dengan penelitian ini

dilakukan oleh peneliti lain adalah sebagai berikut:

1. Jurnal yang ditulis oleh Diandra Amirudin Firmansyah, Herman Tolle,

Aryo Pinandito Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya tahun

2018 yang berjudul “Rancang Bangun Aplikasi Informasi Candi Berbasis

Tekonologi Augmented Reality Pada Samrtphone Android (Studi Kasus:

Candi Ngetos, Nganjuk)”. Fokus penelitian jurnal ini ialah rancangan

pembangunan aplikasi Augemented Reality (AR) yang akan menyajikan

informasi seputar candi pada smartphone android. Kerja aplikasi tersebut

memindai pola dari gamabar yang diambil oleh kamera, kemudian akan

menampilkan sebuah gambar candi dalam bentuk 3D secara utuh.

Sehingga, dapat mempresentasikan bangunan candi yang telah di pugar.

Persamaan penlitian jurnal ini dengan peneliti terletak pada obyek

penelitian, yaitu Candi Ngetos di Nganjuk. Selain itu, perbedaan penelitian

jurnal dan peneliti ini terletak pada fokus penelitian. Penelitian jurnal ini

fokus pada rancangan pembangunan aplikasi Augemented Reality (AR)

dalam smartphone android. Sedangkan, fokus penelitian ini terletak pada

dinamika pemaknaan masyarakat dari abad XV – XX M.

2. Skripsi yang ditulis oleh Prabawa Dwi Putranto Universitas Indonesia

berjudul “Candi Ngetos: Tinjauan Arsitektur, Kronologi, Dan Latar

Belakang Keagamaan”. Hasil penelitian ini menguraikan kronologi cerita


9

pendirian Candi Ngetos, latar belakang keagamaan masa pendirian Candi

Ngetos, sehingga mempengaruhi bentuk arsitektur bangunan Candi

Ngetos. Penelitian skripsi ini dan milik peneliti memiliki persamaan dan

perbedaan. Adapun persamaan kedua penelitian tersebut terletak pada

obyek penelitian, yaitu Candi Ngetos di Nganjuk. Sedangkan, perbedaan

yang ditemukan terletak pada fokus penelitian keduanya. Fokus penelitian

Prabawa Dwi Putranto adalah kronologi latar keagamaan pembangunan

Candi Ngetos yang mampu mempengaruhi arsitektur bangunan,

sedangkan peneliti fokus pada dinamika pemaknaan masyarakat terhadap

Candi Ngetos dari abad XV –XX M.

3. Jurnal yang ditulis oleh Nindi Setya Ika Herliyanti, Ismurdiyahwati

Fakultas Pendidikan Seni dan Budaya Universitas PGRI Adi Buana

Surabaya berjudul “Kajian Bentuk Dan Makna Ragam Hias Pada Relief

Kepala Kala di Candi Bajang Ratu, Mojokerto”. Hasil penelitian jurnal ini

mengungkap bentuk kepala kala pada Candi Bajang Ratu, yaitu muka kala

diapit oleh dua jari yang menyiratkan perdamaian dan keseimbangan

antara dua dunia, yaitu alam semesta, hidup dan mati, serta kepala kala

memiliki rambut. Penelitian jurnal Nindi Setya Ika Herliyanti dan

Ismurdiyahwati memiliki perbedaan dan persamaan dengan penelitian

milik peneliti, yaitu terletak pada motif kepala kala pada candi. Dalam

penelitian ini kala termasuk dalam salah satu jenis relief pada Candi

Ngetos. Sehingga, keduanya memiliki kesamaan di fokus penelitian.

Perbedaan penelitian jurnal dengan peneliti dilihat dari sisi obyek


10

penelitian. Penelitian jurnal ini mengambil Candi Bajang Ratu, sedangkan

peneliti mengangkat dari Candi Ngetos sebagai obyek penelitian.

4. Jurnal yang ditulis oleh T.M. Rita Istari berjudul “Ragam Hias Non-Cerita

Pada Relief Candi Untuk Perkembangan Motif Batik Kontemporer”. Hasil

penelitian menunjukkan kepada masyarakat, bahwa nusantara memiliki

local-genius dalam menciptakan identitas baru yang sesuai dengan

kebudayaan. Terdapat perbedaan dan persamaan diantara hasil penelitian

dua peneliti. Perbedaan penelitian yang dimiliki oleh jurnal dan peneliti

ialah pada fokus penelitian. Penelitian jurnal ini terfokus pada ragam hias

non cerita pada relief candi yang mempunyai makna magis-religious dan

difungsikan sebagai motif batik. Fokus penelitian peneliti terletak pada

makna relief pada Candi Ngetos Nganjuk dan pengaruh terhadap

pemikiran serta budaya masyarakat. Sedangkan, persamaan kedua

penelitian tersebut ialah pada fokus penelitian yang sama mengusung tema

relief atau ragam hias non cerita pada candi.

5. Jurnal yang ditulis oleh Andre Halim, Rahadhian Prajudi Herwindo,

berjudul “Makna Ornamen pada Bangunan Candi Hindu dan Budha di

Pulau Jawa (Era Klasik Tua – Klasik Tengah – Klasik Muda)”. Hasil

penelitian jurnal Andre Halim dan Rahadian Prajudi Herwindo

menganalisis keterkaitan anatara makna dan penempatan ornamen candi,

bahwa terdapat makna dari ornamen itu yang ditempatkan sesuai dengan

pembagian tiga dunia, ada yang tidak terpengaruh dengan penempatan

tersebut, dan ada pula makna yang tidak sesuai. Fokus penelitian jurnal ini
11

memiliki kesamaan dengan milik peneliti, yaitu mengungkap bentuk dan

makna ragam hias pada candi. Adapun perbedaan diantara dua penelitian

ini ditemukan di objek penelitian dan ruang lingkup temporal. Objek

penelitian dalam jurnal ini ada di candi yang ada di masa Hindu-Buda dan

mengambil ruang lingkup penelitian di era klasik tua – klasik tengah –

klasik muda. Sedangkan, objek penelitian peneliti ada pada Candi Ngetos

Nganjuk, serta mengambil ruang lingkup temporal dari abad XV – XX M

atau Majapahit, Islam, dan kolonial.

G. Kerangka Konseptual Dan Landasan Teori

PENGERTIAN

CANDI PENDIRIAN
NGETOS

PEMAKNAAN

MASA KERAJAAN
MAJAPAHIT

MASA KERAJAAN ISLAM


DI JAWA

MASA KOLONIAL

Bagan I.I: Peta Konsep Pembahasan Penelitian

Tinjauan sejarah ini menitikberatkan pada dinamika pemaknaan

masyarakat terhada Candi Ngetos yang berlokasi di Kabupateng Nganjuk.


12

Dinamika berasala dari bahasa Yunani dynamics yang bermakna kekuatan.

Kemudian, pemaknaannya berkemkang seiring berjalannya menjadi

pergerakan dalam kehidupan. Dinamika sosial ialah salah satu macam bentuk

dinamika. Dinamika sosial dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah gerak

masyarakat secara terus menerus yang menimbulkan perubahan dalam tatanan

hidup masyarakat yang bersangkutan. Adapun wujud perubahan – perubahan

dinamika sosial dilihat dari nilia sosial, norma sosial, pola perilaku individu

dan organisasi, struktur sosial, dan sistem pemerintahan.6

Peneliti mengambil abad XV – XX M dari masa kerajaan Majapahit,

kerajaan Islam, hingga masa kolonial. Dalam lingkup abad tersebut terdapat

runtutan kehidupan yang terus berjalan berkembang sehingga, dapat

mempengaruhi pola pikir masyarakat. Salah satu contoh yang berkaitan

dengan penelitian ini adalah ketika masa kerajaan Majapahit masyarakat lebih

banyak mengenal agam Hindu-Buddha, maka akan berbeda pada masa

kerajaan Islam dimana penduduk Jawa menjadi lebih banyak mengenal Islam.

Begitupun, di era kolonial yang membawa sistem pemerintahan sangat terbaru

dibanding sebelumnya. Sehingga, mampu merubah sebagian besar sistem

berfikir masyarakat yang bermula konservatif menjadi lebih terbaru atau

modern.

Pemaknaan memiliki kata asal yaitu makna. Dalam KBBI arti makna

adalah sebuah pengertian yang diberikan atas suatu bentuk keabsahan. Cara

manusia memperoleh kebenaran dalam kehidupan ialah dari pola mereka

6
Elly M. Setiadi, Usman Kolip, “Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial Teori, Aplikasi dan Pemecahannya”, (Jakarta: kencana, 2011), 52
13

memaknai ruang dan waktu. Pemaknaan juga tidak dapat diperoleh dalam

sejarah apabila segala sesuatu tidak berkembang sesuai ruang dan waktu.7

Dalam peristiwa sejarah manusia berperan sebagai subjek yang tingkah

lakunya memuat banyak makna. Selanjutnya, manusia dapat mengadakan

pemaknaan karena dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan budaya. 8 Oleh

sebab itu, makna bersifat intersubjektif karena ditumbuh kembangkan secara

individual, tetapi diresapi, diterima, serta disetujui masyarakat bersama.

Definisi pemaknaan berhubungan dengan judul yang diambil oleh

peneliti. Kuntowijoyo seorang pakar sejarah yang memperkenalkan prinsip

kausalitas dalam pembelajaran sejarah. Kuntowijoyo memaparkan

pemikirannya dalam prinsip tersebut bahwa seseorang harus berfikir

plurikausal bukan monokausal. Seseorang memaknai sesuatu berdasarkan

perkembangan dan seyogyanya mempertimbangkan masa lalu untuk

membincangkan masa kini sekaligus mendiskusikan masa kini untuk

memprediksi masa depan.9 Sama halnya dengan bagaimana Candi Ngetos

dimaknai selama abad XV – XX M. Pada setiap masa tersebut ruang dan

waktu terus berkembang, maka dari itu pemaknaan mengenai Candi Ngetos

dapat tercipta.

Istilah kata masyarakat dalam bahasa Inggris adalah Society (interkasi

sosial), berakar dari bahasa latin Socius (kawan), dan berasal dari bahasa Arab

Syaraka (berpartisipasi). Secara umum masyarakat, yaitu kesatuan individu

7
Debi Setyawati, “Interaksionisme Simbolik Dalam Kajian Sejarah”, Agastya: Jurnal Sejarah dan
Pembelajarannya, Vol. 1, No. 1 (Januari 2011), 103
8
Ibid, 104
9
Zafri, Hera Hastuti, “Analisis Makna Setiap Peristiwa Sejarah Melalui Penerapan Model
Berstruktur”, dalam Jurnal Historia, Vol. 6, No. 2 (2018), 342, (https://ojs.fkip.ummetro.ac.id)
14

yang saling berinteraksi dalam sistem kehidupan tertentu.10 Budaya berperan

sebagai rangkaian wujudnya manusia. Syaikh Taqyuddin An-Nabhani seorang

pakar sosiologi islam menguraikan pengertian masyarakat “sekelompok

manusia bisa dikatakan sebagai suatu masyarakat apabila mempunyai

pemikiran, perasaan, serta sistem atau aturan sama”. Jika penjabaran terkait

masyarakat ditarik benang merah dengan penelitian ini adalah rakyat yang

hidup di sekitar Candi Ngetos selama abad XV – XX M menganut sistem

kehidupan berbeda. Karena, interaksi mereka berbeda, budaya mereka

berbeda, dan bahkan pandangan mereka berbeda. Seperti di era kerajaan

Majapahit yang dipimpin oleh Raja beragama Hindu-Buddha pasti

menerapkan suatu aturan yang sesuai dengan perkembangan budaya saat itu.

Lain halnya pada periode kerajaan Islam yang notaben pemimpinnya

meyakini ajaran Islam, pasti mereka juga memiliki interkasi kehidupan

berbeda dari masa sebelumnya. Begitupun di zaman kolonial yang pasti sistem

hidup yang berkembang ditengah masyarakat berbeda dari era itu.

Dalam hal memaknai sesuatu akan lebih sukar apabila kita tidak

memiliki landasan teori atau suatu ilmu yang mampu mendekatkan kita

terhadap entitas tersebut. Menilik kembali dari aspek perkembangan

pemaknaan masyarakat terhadap Candi Ngetos di Nganjuk, teori sosial budaya

dianggap tepat untuk menjelaskan dinamika pemaknaan yang terjadi terhadap

Candi Ngetos dari abad XV – XX M. Teori sosial budaya diperkenalkan

10
Ida Zahira Adibah, “Penyelidikan Sejarah Tentang Masyarakat dan Budaya”, dalam Jurnal
Madaniyah, Vol. 9, No. 1 (Januari 2019), 154
15

sebagai instrumen untuk mendeskripsikan fenomena atau realita sosial.11

Edward Burnett Tylor mengemukakan pendapatnya terkait sosial budaya

bahwa keselurhan elemen masyarakat yang mencakupi adat istiadat, kesenian,

kepercayaan, moral, pengetahuan, berpikir, kemampuan, dan hukum diperoleh

seseoarang dari masyarakat yang bersifat kompleks.12

H. Metode Penelitian

Metode penelitian yang diterapkan peneliti adalah metode penelitian

sejarah kualitatif untuk mendapatkan gambaran secara eksploratif dari

fenomena yang ada pada obyek penelitian. Pada kasus penelitian sejarah ini

peneliti melakukan pengumpulan data melalui studi pustaka, observasi,

wawancara, dan dokumentasi. Tidak hanya menceritakan kejadian masa

lampau, tetapi juga aspek-aspek sosial budaya dari obyek penelitian, dengan

menggunakan teori sosial-budaya untuk memperkuat tulisan peneliti. Adapun

teknik pengumpulan data yang harus dilakukuna peneliti, yaitu :

1. Pemilihan Topik Penelitian

Peneliti memilih tema penelitian dinamika pemaknaan masyarakat

terhadap Candi Ngetos dari masa Majapahit hingga kolonial karena,

penelitian ini merupakan salah satu upaya strategi dalam memahami

sebuah peninggalan sejarah dengan tujuan pelestarian. Tidak hanya itu,

peneliti juga ingin menujukkan bahwa di Nganjuk terdapat monumen

11
Mohammad Syawaludin, “Teori Sosial Budaya Dan Methodenstreit”, (Palembang: CV
Amanah, 2017), 1
12
Asri Buningsih, “Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakterisitik Siswa Dan Budayanya”,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 18
16

penting berupa candi di Desa Ngetos Nganjuk. Pemilihan dinamika

pemaknaan Candi Ngetos bagi peneliti hal tersebut tergolong unik. Relief

sendiri dapat hancur lebih cepat daripada bangunan candi yang besar.

Maka, peneliti ingin mengeksplor bentuk dan makna konsepsi bangunan

Candi Ngetos, serta pengaruh perkembangan zaman terhadap presepsi

masyarakat pada Candi Ngetos.

2. Heuristik

Heuristik adalah proses pengumpulan sumber data. Dalam

melakukan pencarian seumber data peneliti menerapkan metode penelitian

sejarah. Dengan memilah dan memilih sumber yang relavan dengan obyek

penelitian, seperti buku-buku, majalah, koran, foto, dan arsip lainnya.

Maka, peneliti melakukan kunjungan ke perpustakaan yang berada di UIN

Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, perpustakaan Universitas Jember,

perpustakaan Kabupaten Nganjuk, serta Dinas dan Kearsipan Kabupaten

Nganjuk untuk mendapatkan sumber data yang berhubungan dengan

obyek penelitian ini. Bentuk sumber sejarah dapat diklasifisikan menjadi

dua sifat, yaitu sumber primer dan sumber skunder.13

Sumber primer penelitian ini berupa naskah kuno berjudul

Negarakertagama, Pararaton, dan Manasara-Silpasastra. Sedangkan,

sumber skunder yang ditemukan peneliti berupa buku-buku yang berkaitan

dengan Candi Ngetos, candi di Jawa, candi Jawa Timur, candi masa

kerajaan Majapahit, dan relief-relief pada candi, seperti karangan Lydia


13
Celia Alia Puspita, “Peranan Perkembunan Karet Jelupang Terhadap Kehidupan Sosial-
Ekonomi Masyarakat Cipendeuy Kabupaten Subang (1991-2009)”, https://repository.upi.edu,
2015, 35
17

Kieven, Slamet Muldjana, Soekmono, Agus Aris Munandar, N.J. Krom,

Thomas Stamford Raffles. Adapun sumber lisan yang didapat adalah hasil

wawancara kepada para pegiat sejarah bernama Bapak Didik seorang

pegawai Museum Trowuloan Mojokerto dan Balai Pelestarian Cagar

Budaya Jawa Timur, Bapak Aris seorang juru kunci Candi Ngetos

sekaligus pegiat sejarah di Nganjuk.

3. Verifikasi

Verifikasi merupakan tahapan verifikasi sumber data. Verifikasi

sering juga disebut dengan kritik terhadap sumber data. Peneliti harus

memeriksa kebenaran sumber data yang diperoleh. Apakah sesuai dengan

tema peristiwa sejarah yang diangkat, memastikan keabsahan sumber data,

memberikan penilaian berupa tanggapan terhadap sumber data tersebut.

Adapun pembagian verifikasi data dalam metode penelitian sejarah,

yaitu:14

1. Verifikasi eksternal: menilai otentisitas (kebenaran) data dan integritas

(kekuatan) data. Apakah isi data tersebut dapat dipercaya

kebenarannya dan seberapa kuat data tersbut untuk dijadikan sebagai

sumber penelitian.

2. Verifikasi internal: menilai unsur-unsur yang terkandung dalam

sumber data. Memberi perbandingan sumber data yang diperoleh

dengan sumber data lain yang sesuai tema penelitian. Selanjutnya,

memberi nilai atau pendapat untuk keduanya.

14
Helius Sjamsuddin, “Metodologi Sejarah”, (Yogyakarta: Ombak, 2012), 102
18

Setelah melakukan verifikasi tahapan selanjutnya adalah peneliti

menguraikan fakta-fakta dalam sumber data yang diperoleh.

4. Interpretasi

Tahapan ini diartikan sebagai kegiatan penafsiran suatu peristiwa

sejarah. Data-data yang sudah dikumpulkan peneliti kemudian, dikritik

untuk memudahkan dalam menemukan fakta didalammnya. Setelah itu,

melakukan penafsiran berdasarkan fakta tersebut. Peneliti melakukan

penafsiran secara subjektif15, tetapi tidak boleh keluar dari konteks yang

dibahas.

5. Historiografi

Historigrafi ialah tahapan terakhir dalam penelitian sejarah, berupa

laporan penulisan hasil penelitian sejarah. Penulisan sejarah merupakan

hasil rekontruksi dari data-data yang diperoleh peneliti. Peneliti perlu

menggunakan daya kritik dan imajinatif demi mengahsilkan tulisan

sejarah yang objektif.16 Peneliti menyajikan penulisan hasil penelitian

sejarah dalam bentuk kisah atau cerita sesuai dengan data dan fakta yang

terkumpul.

I. Sistematika Pembahasan

Adapun hasil penelitian ini telah tersusun secara sistematis yang akan

diuraikan dalam lima bab, sebagai berikut:

15
Kuntowijoyo, “Pengantar Ilmu Sejarah”, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), 78
16
Imam Gunawan, “Penelitian Sejarah”, http://fip.um.ac.id, 7 Desember 2015, 5
19

BAB I : Pendahuluan, dalam bab ini memuat penjelasan terkait

konteks penelitian, fokus penelitian, ruang lingkup penelitian,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, studi terdahulu,

kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika

pembahasan.

BAB II : Historisitas Kabupaten Nganjuk, dalam bab ini memuat

perjalanan Kabupaten Nganjuk dari pengesahan Kabupaten

Nganjuk sampai penjajahan, serta membahas peresmian

Ngetos sebagai Tanah Sima.

BAB III : Pengertian Candi Ngetos, memuat profil Candi Ngetos,

tahapan pendirian Candi Ngetos.

BAB IV : Dinamika Pemaknaan Masyarakat Terhadap Bangunan

Candi Ngetos, dalam bab ini memuat inti penelitian, yaitu

pembahasan dan analisis dinamika masyarakat pada Candi

Ngetos dari masa Majapahit, Islam, hingga Kolonial.

BAB V : Penutup, memuat kesimpulan dari hasil penelitian, saran

yang mengacu pada sumber, pembahasan, dan kesimpulan

penelitian.
BAB II

HISTORISITAS KABUPATEN NGANJUK

A. Dari Anjuk Ladang Menjadi Nganjuk

Nganjuk menjadi salah satu wilayah yang dihuni manusia purba

sebelum mengalami rangkaian perubahan hingga terlihat seperti saat ini.

Peninggalan fosil-fosil purba di Nganjuk dapat dijumpai, sebagian besar

banyak ditemukan di hutan yang terletak di Desa Tritik, Kecamatan Rejoso,

Kabupaten Nganjuk atau di perbukitan Gunung Pandaan. Ketika pra aksara

usai, kehidupan Nganjuk berlanjut merambah era Hindu Budha yang spontan

dibawa orang India. Menurut De Casparis, pejabat-pejabat Jawa menganut

agama Hindu-Siwa, hingga datangnya raja Na-fu-na dari India. Kehadiran raja

tersebut memecah keyakinan masyarakat Jawa Tengah menjadi Hindu-Siwa

bagi wangsa Sanjaya dan Budha wangsa Syailendra.

Berdiri tegak kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah yang

dikoordinasi secara solid oleh wangsa Syailendra dan wangsa Sanjaya.

Keduanya terpecahkan saat konflik politik menghampiri, hingga keturunan

Syailendra terusir ke Sriwijaya yang disusul pemindahan pusat kerajaan dari

Jawa Tengah ke Jawa Timur oleh wangsa Sanjaya tahun 929 M.1 Pu Sindok

menjadi pemimpin Medang dengan gelar Rakryan Sri Mahamantri Pu Sindok

Sang Sriaanottungadewawijaya di Jawa Timur dan menjabat selama 18

1
Rudi Handoko, Sukadi, Amin Fuadi, “Ngandjoek Era Prasejarah – Masa Hindu Budha”,
(Nganjuk: Dinas Kearsipan Dan Kepustakaan Kabupaten Nganjuk, 2021), 46

20
21

tahun. Sepanjang kepemimpinan Pu Sindok, ia memutuskan kebijakan

memberikan tanah Sima Swatantra kepada setiap wilayah yang membantu

peperangan Pu Sindok. Termasuk Anjuk Ladang yang saat ini dikenal dengan

nama Nganjuk.

Raja Pu Sindok juga seorang pendiri wangsa Isyana. Pemberian hak

Sima Swatantra dari Pu Sindok kepada masyarakat Anjuk Ladang ditetapkan

dalam lingga berukuran besar yang disebut Prasasti Anjuk Ladang.2

“Sanya ajna cri maharaja pu sindok cri isana wikramadharmotunggadewa


tinadah rakaryan mapinghai kalih rakai//hino pu sahasra, rakai wka pu
baliswara umingsor I rakai kanuruhan pu da kumonakan ikanang ilmah
sawah kakatika//..susukan..marpanakna I bhatara I sang hyang prasada
kebhaktyan I dharmma samgat pu anjuk ladang..”
Artinya: turunlah perintah dari Sri Maharaja Pu Sindok dengan gelarnya Sri
Isyana Wikrama Dharmotunggadewa yang diterimakan oleh kedua pejabat
Rakaryan Mapinghe, yaitu Rakai//saat itu raja memerintahkan agar tanah
sawah kaitkan/pelayanan…//…dipersembahkan kepada Bhatara Sang Hyang
Prasada sebagai wujud dharma/kewajiban dari Samgat Pu Anjukladang.

Sejarawan J.G. De Casperis ikut menyatakan dalam karyanya yang

berjudul “Some Notes on Transfer of Capitals in Ancient Sri Lanka and

Southeast Asia”, bahwa Prasasti Anjuk Ladang juga mengatakan tentang Raja

Pu Sindok juga menancapkan tugu kemenangan (Jayastamba). Jaystamba

berperan menahan serangan dari Melayu, yaitu Kerajaan Sriwijaya.

Selanjutnya, tahun 937 M tugu tersebut dirubah menjadi bangunan suci tempat

peribadatan umat Hindu untuk masyarakat sekitar di Desa Candirejo.

Bangunan suci tersebut tersusun dari batu bata yang diberi nama Candi Lor.

Prasasti Anjuk Ladang juga menjelaskan keadaan masyrakat sekitar abad 10

2
Tertulis dalam bagian depan Prasasti Anjukladang. Titik – titik pada keterangan diatas
disebabkan aksara di Prasasti tersebut sudah tidak dapat dibaca lagi.
22

M. Dijumpai masyarakat saat itu menjadi tukang kendang dan penyanyi.

Dalam penetapan Prasasti Anjuk Ladang harus memberlangsungkan ritus

upacara Manusuk Sima. Melibatkan tokoh agama, petugas upacara (sang

makadur), alat-alat dan sesajen. Perlengkapan sesajen meliputi, telur, ayam,

kepala kerbau, peralatan dapur, kalumpung (lingga-yoni). Selain itu terdapat

profesi lainnya, seperti pembuat payung, pembuat arang kayu, pembuat obor

lampu, petani, pedagang, peternak, pembuat cangkul, pengrajin emas, perak

dan perunggu, tukang cuci, pembantu, abdi istana, dan budak.

Pu Sindok meninggal pada tahun 947 M dan disemayamkan di

Isanabajra dan Isanabhawana. Kemudian, kerajaan Medang ini dipimpin oleh

putrinya Sri Isanatunggawijaya dan diteruskan keturunanketurunan Sanjaya.

Perpolitikan keluarga dari dua wangsa terus berlanjut menghancurkan

kerajaan Medang, hingga memunculkan kerajaan Kahuripan yang dirajai

Airlangga. Keseluruhan wilayah Kahuripan meliputi ujung timur Surbaya

sampai barat Madiun dan terus berkembang hingga melampaui Jawa Tengah.

Pernah melakukan pemindahan pusat kerajaan ke Daha Kediri, sehingga bisa

disebut kerajaan Daha. Hanya saja masa itu sekedar tercatat Nganjuk masuk

dalam bawahan kekusaannya. Kondisi ini terus berkelanjutan sampai didapati

pergerakan Nganjuk yang signifikan pada masa raja Hayam Wuruk dari

kerajaan Majapahit. Ditemukan peninggalan Kerajaan Majapahit di Nganjuk

seperti Candi Ngetos, batu inskripsi yang digunakan sebagai altar sebuah arca
23

tahun 1416 M.3 Bahkan nama daerah Brebek sebagai tanah Sima Swatantra

tercatat dalam kita Negarakertagama pupuh 73 dengan sebutan nama Bebeg.4

Peninggalan lainnya adalah Candi Banjasari dan arca dewa di Sumbegayu

periode Majapahit Abad ke XII – XIV M. Berbagai temuan era Majapahit

tersebar di daerah Ngronggot, Prambon, Tanjunganom, Kertosono, dan Baron.

Perkampungan kuno bernama Planding juga ditemukan di daerah Nganjuk.

Struktur pemerintahan di Nganjuk masa Kerajaan Majapahit dahulu

dipimpin oleh Uparaja yang disebut Paduka Bhatara yang bergelar Bhre atau

Bhatara i. Gelar tersebut biasanya hanya dapat dimiliki oleh kerabat kerajaan.

Adapun tugas mereka, ialah memungut pajak, mengelola kerajaan, mengirim

upeti ke pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan wilayah yang

dipimpin. Pada saat Kerajaan Majapahit diperintah Raja Hayam Wuruk

Nganjuk masuk dalam wilayah kekuasaan Bhre Daha dengan penguasa

Rajadewi Maharajasa.5 Sementara administrasi Nganjuk beberapa tertulis

dalam prasasti, misalnya prasasti Hering dan Kinawe. Selain itu, tampak jelas

masyarakat Nganjuk menganut Hindu saat ditemukan kompleks peribadatan

Pura Kerta Bhuwana Giri Wilis Baajulan, Loceret.

Terdapat hal menarik yang terjadi di masa pemerintahan Bupati

Sumowiloyo, yaitu terkait rencana pemindahan pusat pemerintahan di Berbek

ke Nganjuk atau lebih dikenal dengan sebutan Afdeeling Berbek. Pengajuan

rencana ini disampaikan kepada Gubernur Jendral Hindia-Belanda melalui

3
Eko Jarwanto, “Ngandjoek Dalam Lintasan Sejarah Nusantara”, (Lamongan: Pagan Press,
2021), 81
4
Slamet Muljana, “Negarakertagama Dan Tafsir Sejarahnya”, (Yogyakarta: LkiS, 2006), 39
5
Ibid, 83
24

Residen Kediri dan menuju ke pusat. Rencana ini terlaksana ketika Raden

Tumenggung Sosrokusumo III menjadu Bupati Berbek. Sedangkan,

perubahan penyebutan istilah „Anjuk‟ menjadi „Nganjuk‟ dipengaruhi oleh

proses perubahan morfologi bahasa Jawa. Karena, kebiasaan penambahan

konsonan sengau (ng) pada kata yang diawali huruf vokal.

Tabel 2.1
Kronologi Pemindahan Pusat Pemerintahan Dari Brebek Ke Nganjuk

Tgl/Bln/ Uraian Peristiwa Acuan Dasar Masa Bupati


Tahun
8 Juni Gubernur Jendral Hindia Besulit Gubernur Raden
1875 Belanda memberikan Jendral Hindia- Tumenggung
persetujuan terkait Belanda No.20 Sumowiloyo
pemindahan pusat tanggal 8 Juni 1875
pemerintahan Kabupaten
Berbek (Afdeeling
Berbek) dari Berbek ke
Nganjuk
6 Juni Pemindahan pegawai Afschrif No. Raden
1880 pemerintahan Kabupaten 3024a/4205. Tumenggung
Berbek dari pusat Laporan Residen Sosrokusumo III
pemerintahan Berbek ke Kediri kepada
Nganjuk Gubernur Jendral
Hindia-Belanda

8 Juni Residen Kediri memberi Afcshirf No. Raden


1880 laporan kepada Gubernur 3024a/4205. Tumenggung
Jendral Hindia-Belanda Laporan Residen Sosrokusumo III
bahwa proses Kediri
pemindahan pusat
pemerintahan Kabupaten
Berbek ke Nganjuk telah
selesai.
30 Mei Penetapan batas – batas Besulit Gubernur Raden
1885 wilayah Nganjuk sebagai Jendral Hindia- Tumenggung
ibukota Kabupaten Belanda No. 4/c Sosrokusumo III
Berbek. Meliputi, tanggal 30 Mei
Kampung Pecinan, 1880
Kampung
Mangundikaran,
25

Kampung Kauman,
Kampung Payaman.
4 Juni Dikeluarkannya Staatsblad Van Raden
1885 Lembaran Negara Nederlandsch Indie Tumenggung
(Staatsblad) yang No. 107 tahun 1885 Sosrokusumo III
didalamnya mengacu
pada Besulit No. 4/c
tanggal 30 Mei 1880
9 Pemberian otonomi Staatsblad Van Raden Mas
Agustus daerah dan perubahan Nederlandsch Indie Sosrohadikusumo
1928 nomenklatur dari No. 310 tahun 1828
Kabupaten Berbek mengacu pada
menjadi Kabupaten Besulit Gubernur
Nganjuk, sekaligus Jendral Hindia-
pembentukan dewan Belanda No. 1x,
kabupaten. 1928
1 Januari Awal pemberlakuan Merujuk pada Raden Mas
1929 ketetapan tentang Staatsblad Van Sosrohadikusumo
pemberian otonomi Nederlansch Indie
daerah dan perubahan No. 310 tahun 1828
nomenklatur dari
Kabupaten Berbek
menjadi Kabupaten
Nganjuk
Sumber: Rekonstruksi Data
Rupanya, Nganjuk telah memiliki lambang daerah dengan mengkiuti

lambang pemerintahan kerajaan Belanda yang diatur langsung oleh Ratu

Wilhelmina melalui dekret kerajaan pada tanggal 10 Juli 1907.6 Tertulis

semboyan menggunakan bahasa Prancis “Je Maintiendrai” yang bearti “Aku

akan bertahan”. Selanjutnya, perubahan resmi status nama pemerintahan

Kabupaten Berbek menjadi Kabupaten Nganjuk terjadi di1 Januari 1929.

Masa itu bertepatan dengan periode Raden Mas Tumenggung

Sosrohadikusumo dibawah pemerintahan Gubernur Jendral Hindia-Belanda

yang saat itu bernama Andries C.D. de Graeff atas persetujuan Raad Van

6
“Dasa Warsa Pemerintahan Kabupaten Nganjuk Tahun 1933-1943”, (Nganjuk: Dinas Kearsipan
dan Perpustakaan, 2018), 20-21
26

Nederlandsch-Indie (Dewan Hindia Belanda) dan Volksraad (Dewan

Rakyat/Parlemen).7

Tabel 2.2
Daftar Pembagian Wilayah Kabupaten Nganjuk 1929

Afdeeling / Distrik / Onderdistrik /


Regentschappen Kawedanan kecamatan
Nganjuk Nganjuk Nganjuk
Bagor
Rejoso
Sukomoro
Berbek Berbek
Loceret
Pace
Sawahan
Kertosono Kertosono
Baron
Patian Ngrowo
Lengkong Lengkong
Gondang
Munung
Warujayeng Tanjunganom
Prambon
Ngronggot
Sumber: Regeerings Alamank Voor Nederlandsch Indie tahun 1929

B. Ngetos Sebagai Tanah Sima

Setiap kerajaan yang tengah berdiri dan berkembang melakukan sitem

perluasan ataupun pembagian wilayah kekuasaan. Pembagian wilayah tersebut

diputuskan berdasarkan wewenang raja, ia memutuskan demi kepentingan

politik dan ekonomi. Selain itu, seorang raja juga berhak mengubah status

tanah di wilayah kekuasaannya dari tanah “biasa” menjadi tanah “sima”

maupun tanah “lungguh”. Setiap wilayah diatur oleh para pemegang wilayah

yang diutus raja. Adapun pembagian wilayah kerajaan masa Mataram Islam,

7
Ibid, 229
27

ialah negaragung (daerah inti/keraton) sebagai ibu kota, mancanegara

dipimpin oleh seorang bupati, dan tanah seberang.8

Menelusuri bagaimana sejarah Indonesia dapat diketahui melalui

tinggalan warisan, salah satunya dalam wujud prasasti. 112 prasasti tersebar di

tanah Indonesia yang meliputi kurun waktu abad IX-X M. Seorang ahli

bernama Christie menyatakan, bahwa sembilan puluh persen prasasti tersebut

menuliskan tentang penetapan sima.9 Kata sima dikutip dari bahasa Sansekerta

yang memiliki arti “batas”.10 Pengertian lebih luas sima adalah sebidang tanah

yang diberi batas, terbebas dari beberapa ketetapan pajak dan kewajiban atas

raja atau pejabat tinggi. Hanya raja atau pejabat tinggi yang berwenang

memberi perintah atau memutuskan perubahan pajak di tanah sima.

Perubahan status pajak menjadi bebas pajak artinya, bahwa tanah yang

telah dijadikan sima bukan bearti tidak terkena punguntan sama sekali

melainkan terdapat beberapa ketentuan berbeda. Hal tersebut tergantung

dengan jumlah orang dan barang pedagang serta pengusaha yang tinggal di

tanah sima. Tanah sima memiliki status swatantra, maka pajak di tanah sima

ditarik oleh mangilaladrawyahaji, meliputi patih, wahuta, nayaka, partaya,

pangkur, tawan tirip, rama. Perbedaan pajak di tanah sima dengan tanah biasa

ialah, apabila pembayaran pajak tanah biasa diberikan langsung kepada raja

atau pejabat tinggi, lain hal dengan tanah sima yang hasil pajak diserahkan

8
Soemarsaid Moertono, “Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau: Studi tentang
Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1985), 130
9
J.W. Christie, “Raja dan Rama: The Classical State in Early Java Centers In: Symbolis, and
Hierachis”, (New Haven: Yale University Southeast Asia Studies, 1983), 9-10
10
Macdonell, Arthur Anthony, “A Practical Sanskrit Dictionary With Transliteration,
Accentuation, And Etymological Analysis Throughout”, (London: Oxford University Press, 1985),
351
28

kepada kepala sima untuk bangunan keagamaan. Begitupun, penduduk tanah

sima bertanggung jawab kepada kepala sima terkait pelaksanaan upacara dan

kelestarian bangunan keagamaan.

Terdapat sejumlah tanah yang sering ditetapkan sebagai Sima, seperti

sawah, padang rumput, tegalan. Ngetos sendiri ditetapkan sebagai pertanahan

Sima menganut jenis tanah persawahan. Namun, Ngetos tanah yang padat

penduduk dan sebagai pusat keagamaan Hindu saat itu. Sebagian besar jenis

tanah Sima adalah persawahan. Apabila tanah tersebut masih berupa tegalan,

kebun, padang rumput, dan lainnya, maka harus mengubah terlebih dahulu

menjadi sawah atas izin Raja. Hal ini dilakukan, demi keseimbangan

ekosistem wilayaha tersebut. Sebab, pada zaman dahulu tegalan, kebun, dan

padang rumput sangat difungsikan oleh masyarakat dan kerajaan.

Selain raja memberikan pertanahan Sima untuk percandian atau

keagamaan, ia juga memberikan sejumlah hadiah pasca upacara pengesahan

candi, seperti sebagian tanah, kerbau, sapi, sejumlah pelayan laki-laki dan

perempuan, peralatan kehidupan sehari-hari, peralatan mandi, tempat

pemandian, kebutuhan selamatan atau persajian, rumah beserta isi termasuk

pakaian, tempat tidur, dan tempat penginapan untuk para tamu. Raja juga

menghadiahi padi dan jawawut.

Langkah berikutnya usai memilih tanah yang dijadikan Sima, adalah

upacara peresmian Sima. Adapun urutan pelaksanaan upacara:11

11
Timbul Haryono, “Gambaran Tentang Upacara Penetapan Sima”, Majalah Arkeologi III,
(Jakarta: Universitas Indonesia, 1980), 35 – 54
29

1. Pemberian pisungsung (pasak-pasak) terutama kepada para pejabat

kerajaan, pejabat desa, dan para saksi. Adakalanya istri mereka mendapat

pisungsung dalam wujud kain, uang (emas dan perak), cincin. Tertulis

dalam Prasasti Panggumulan:

...kapua sira inasean pasak pasak wdihan ganjar patra sasi yu 1 simsim
pasada woh 1 brat (8?) mas su 1.. (Panggumulan 824 Saka = 902 M)
Terjemahan: maka diberi pisungsung berupa kain berpola Ganjar Patra sasi
1 perangkat, cincin pasada 1 buah berat (?) uang emas 1suavarna.
Pemberian pisungsung di maksudkan sebagai upaya ungkapan terimakasih
atas anugerah yang diterima dari raja.
2. Menyediakan saji-sajian. Persajian ini diperuntukkan bagi:

a. Api pemujaan (sang hyang Brahma) berupa kain dam uang (Sajining

manusuk sima wdihan sang hyang brahma yu 1 mas ma 1).

b. Sajian yang tujukan pada sang hyang Kalumpung dalam bentuk kain,

uang emas, peralatan pertanian, perlengkapan makan minum, alat

penerangan, tempat sirih dan pancopacara. Diberi tambahan sajian

seperti ayam, kambing, dan kepala kerbau.

…wdihan sang hyan kalumpung yu 1 mas ma 4wadun 1 kurumbagi 1


nakhacheda 1 dom 1 tabas 1 bsi 1 padamaran 1 saragi pagar an 2 dinyun
4 pras 1 pasilih galuh argha 5 wras in tamwakur 1 haryam 4 hantiga 4
muang pancopacara kamwan kawittha dipa dupha gandhalepa..
Terjemahan: (sajian untuk) sang hyang kalumpang kain 1 stel, uang mas 4
ma, wadung 1, pisau 1, pemotong kuku 1, jarum 1, talam 1, bsi 1,
pandamaran 1, perangkat panganan 2, kampil 1, beras satu kadut, besi (?)
ikat, kambing 1, kandas 1, kumol 1, nasi 4 kendil, pras 1, pasilih galuh 1,
tempat cuci kaki 5, beras dalam tamwakur 1, hayam 4, telur 4, serta panca
upacara meliputi bunga, kawittha, pelita, kemenyan, dan boreh.
Kadang kala sajian – sajian yang ditujukan kepada sang makudur diganti

dengan uang emas.

..saprakarani saji sang makudur ing mandala inmas pinda pasamasnya su


2 ma ku 4.. (Mantyasih I, B:2).
Artinya segala jenis sajian san makudur di tempat upacara diganti dengan
uang emas dengan besar 4 su 4 ku uang emas.
30

3. Cara duduk para peserta upacara. Setelah, sajian disiapkan peserta upacara
memasuki Witana dan duduk di sekelilingi Watu Sima dan Kulumpang.
Aturan duduk peserta telah ditulis dalam Prasasti Panggumulan:
..i sampunira kabaih manadah mapanalih makawittha makamwan malun
guh sira rin natar makulilinan humarapakan san hyan kudur muan san
hyan sima watu kulumpan i sor nin witana I tnah natar. Krama nin
malunguh san pamgat pikatan. Rake wantila. Samgat manunkuli umun gu
lor humarap kidul. San wahuta hyan kudur muan san tuhaan mamuat
wuwus kabaih mungu kuluan humarap waitan san wahuta patih muan ra
manta muan san anak wanua kabaih tpi sirin mungu kidul humarap
lor..(Panggumulan 824 C IIIa:11 – 14).
Terjemahan: Setelah mereka selesai makan makawittha dan makan bunga,
duduk di halaman berkeliling menghadap sang hyang kudur dan sang
hyang sima watu kulumpang yang terletak di halaman. Cara duduk San
Pamgat Pikatan, Rake Wantila, Samgat Manukuli duduk di sisi utara
mengahadap selatan. San Wahuta hyan Kudur dan san tuhan Mamuat
Wuwus semua duduk di sisi barat menghadap timur. Sang Wahuta Patih
dan semua rama dan penduduk desa sekitar duduk di sisi selatan
menghadap ke utara.
4. Upacara kurban. Pasca para hadirin upacara duduk sesuai tempat yang

telah di tentukan sang makudur mulai melafalkan mantra diiringi

pembakaran kemenyan. Kemudian, pemotongan leher ayam berdasarkan

sang hyang kulumpang, memecahkan telur dengan dihantamkan pada watu

sima dan menaburkan abu. Kegiatan tersebut menunjukkan arti simbolis

yang ditunjukkan bagi orang yang berani melanggar ketetapan sima.

Barang siapa yang melanggar ketentuan tersebut akan mendapat mala

petaka seperti yang terjadi pada kepala ayam yang terpisah dari badannya,

serta tubuhnya akan hancur bagaikan telur yang di hantam pada watu sima

dan nyawanya terbang terbawa angin seperti kayu yang terbakar dan

abunya bertebaran tertiup angin. Tertulis sebagai berikut:

..lumkas sang makudur mamamang manumpah manapati manetek


guluning hayam linandasakan ing susuk kulumpang mamantingakan
bantlu i sang hyang watu sima magnang sang hyang brahma ring susuk.
Kadyanganikan hayam pjah tan waluy mahurip. Kadi lwir nikang hantlu
remuk catacirna kadi parnnah sang hyang brahma tumunubra ikang kayu
31

saka gegongan hilang geseng tanpa hambar hawu kerir. Mangkana


ikanang nganiyaya asing umulahulah iki wanua i panggumulan sinima
rake wantil simusuk kudur.. (Panggumulan 824 C = 901 TU IIIa: 14-17).
Terjemahan: kemudian sang mekudur mengucapkan mantra (sumpah),
memotong leher ayam berlandaskan kulumpang memecah telur
dihantamkan pada watu sima membesarkan api pemujaan menerangi watu
sima. (Semuanya sebagai lambang) seperti hayam yang mati tidak akan
hidup lagi, seperti halnya telur yang hyancur lebur, seperti api membakar
kayu, karna apinya besar kayu terbakar semuanya dan abunya hilang
tertiup angin, demikian siksa kepada orang yang menggangu desa
panggumulan yang telah dijadikan sima oleh Rake Wantil dengan upacara
yang dipimpin oleh san Makudur.
5. Perlindungan dan kutukan. Pada tahap upacara kurban sang makudur

memohon kepada dewa supaya melindungi ketetapan sima. Prasasti

Mantyasih I menjelaskan terkait permintaan perlindungan pun ditujukan

kepada leluhur dari Mdang Poh Pitu. Selain sang makudur mengucapkan

permohonan, iya juga meminta kutukan untuk orng yang berani melanggar

aturan sima akan dipatuk ular (patukaning ula), disambar petir (sinambar

glap tanpa udan), apabila di air di makan buaya (sinahap wuaya). Selepas

kutuk di ucapkan dan didengar peserta upacara, para rama menyembah

sang hyang watu sima.

6. Penanaman batu Sima. Terdapat dua jenis benda yang dapat ditanam pada

tanah Sima, yaitu sang hyang watu sima atau sang hyang watu teas dan

batu patok (watu sima). Meskipun watu teas tidak dijelaskan dalam

prasasti, tetapi watu teas ialah batu inti dari status sima. Watu teas ditanam

di tengah pertanahan sima. Batu patok tersebut sebagai tanda pusat suatu

sima. Namun, sampai saat ini belum ditemukan batu patok yang lengkap

pada sima, serta prasasti hanya menuturkan penanaman batu pada setiap

empat atau delapan sudut tanah sima.


32

7. Penutupan upacara. Akhir upacara ini dirayakan dengan acara pesta makan

bersama dan hiburan. Contoh dalam penjelasan Prasasti Taji:

a. Pesta perjamuan penetapan sima kebun di Taji dihadiri sebanyak 392

orang dengan menyiapkan beras lima puluh tujuh kudut, enam kerbau,

seratus ayam, sayuran, lauk, dan minum.

..pinda prana 392…parnnah ning tinadah weas kadut 57 badangan 6


hayam 100 muang saprakara ning asinasin. Deng asin, kadiwus,
kawan, bilulung, hantiga, rumahan, tuak… (Taji 823 C=901 TU).
Terjemahan: (Jumlah anggota) tiga ratus sembilan pulus dua orang.
Adapun jamuan menghabiskan beras lima puluh tujuh kadut, enam
ekor kerbau, seratus ekor ayam dan sejenis (lauk yang memiliki rasa
asin) dendeng asin, kadiwas, kawan, bilulung, telur, ulam, dan
minuman tuak.
b. Hiburan yang disimbolkan sebagai salah satu bentuk hadiah dari raja

untuk para hadirin upacara. Pertunjukan ini diiringi dengan pesta

makanan dan minuman. Hal ini telah diberitakan dalam Prasasti

Wukajana:

..hinunnakan tontonan mamidu san tarikil hyan sinalu macaritta


bhimma kumara manigal kicaka si jaluk macarita ramayana mamirus
mabanol si mukmuk si galigi mawayan buathyan macarita bimma ya
kumara.. (Wukajana B: 9 – 10)
Terjemahan: dimeriahkan pertunjukan san Takil menembang, Sinalu
bercerita Bhima waktu muda, menari Kicaka di Jaluk dengan cerita
Ramayana, mamirus, melawak oleh si Mukmuk, pertunjukan wayang
untuk dewa dengan cerita Bhima di masa muda, dilakukan oleh Galigi.
Adapun macam-macam hidangan dalam upacara penetapan sima dalam

prasasti Panggumulan 824 C: Skul liwet: nasi yang dimasak dengan

pangliwetan, Skul dinyun : nasi yang dimasak dengan jun (periuk), Skul

matiman : nasi yang dimasak dengan kukusan. Macam-macam sayur: Dari

daging kambing (wudus), Dari daging kerbau (badangan), Daging kijang,

Daging ayam. Macam-macam lauk: Deng asin (dendeng asin), Deng


33

tarung (sejenis ikan daging kering), Hurang (udang), Halahala (?),

Hantrini (telur), Deng kakap (dendeng kakap), Deng kadiwus (jenis ikan

laut), Layar (sejenis siput), Kuluban (ulam), Dudutan (?), Tetis (olahan

makanan secara khusus), Macam-macam minuman berakohol: Arak,

Badyg (badeg), Budur, Brem, Jatirasa, Kinca, Madya, Mastawa, Minu,

Sajeng, Sidhu, Sura, Tampo, Twak (tok), Waragang. Jenis minuman non

alkohol: Duh ni nyu, Cinca, Juruh, Kilang, Madhu.


BAB III

PEMBANGUNAN CANDI NGETOS

A. Profil Candi Ngetos

Candi Ngetos adalah salah satu cagar budaya Indonesia yang terletak di

Dusun Selopuro Desa Ngetos Kabupaten Nganjuk kurang lebih 20 KM

dengan pusat kota. Batu batanya masih sanggup menopang satu sama lain dan

difungsikan masyarkat sebagai objek wisata, pembelajaran, dan ibadah. Candi

ini menancapkan tubuhnya diatas tanah yang subur, dikaki Gunung Wilis,

berdekatan dengan air terjun, tidak lupa dikelilingi persawahan. Termasuk

bangunan peninggalan Majapahitan, sehingga berperan menjadi saksi bisu

peradaban kerajaan Majapahit di Nganjuk terutama Desa Ngetos.

Gambar 3.1 Candi Ngetos Dari Sisi Selatan


Sumber: Dokumen Pribadi

Kabar bangunan secara keseluruhan cukup baik, meskipun tidak sedikit

bagian tubuh candi yang sudah keropos. Disusun dari batu bata merah khas

Majapahitan, proposisinya lebih tebal dan besar sehingga bisa bertahan sampai

34
35

saat ini. Pemilihan material batu bata merah dari pada batu andesit dilatari

oleh ketersediaan bahan bangunan disekitar area pembangunan candi, sebab

batu kali andesit tidak selalu tersedia dalam jumlah yang banyak. 1 Kemudian,

batu bata itu disusun bertingkata semakin ke atas kian mengecut.

Candi Ngetos terdiri dari tiga bagian, kaki, tubuh, dan atap. Membentuk

denah bujur sangkar. Candi ini mempunya panjang 9,1 m, tinggi tubuh 5,43

m, tinggi keseluruhan 10 m, subbasment 3,25 m, luas tangga luar 3,75 m, luas

pintu masuk 0,65 m, tinggi punden undak hingga mncapai ruang candi 2, 47

m, ruang dalam 2,4 m. Relung-relung candi memiliki tinggi 2 m dan lebar

0,65 m, masing-masing relung atasnya diperindah oleh kala dengan besar 2 x

1,8 m.2 Pintu bilik utama hanya cukup dilewati satu orang, maka apabila ingin

masuk harus bergantian. Atap candi telah hancur menyisakan puing-puing

dibawahnya badan dan kaki.

Dinding candi polos tidak tersedia relief cerita, namun terukir hiasan-

hiasan pengindah. Terlihat jelas kepala kala yang besar diatas relung.

Sebenarnya, ia berjumlah empat dan mendiami setiap atap relung pada badan

candi. Akan tetapi, sudah tidak ditemukan dan sekedar meninggalkan

bekasnya. Ornamen belah ketupat di pigura bagian atas candi didapati mirip

motif banji. Dilanjut dekorasi semacam buah atau bunga bergerombol lengkap

dengan dedaunan mengitari loteng candi. Pada atas relung utama candi

nampak belalai makara, tetapi kenyataannya bila dilihat lebih dekat hanya

1
Bambang Perkasa Alam, “Pilihan Material Bangunan Pada Candi”, dalam Human Narratives
Jurnal Universitas Indraprasta PGRI, Vol. 2, No. 1 (September 2020), 36
2
Yoga, Afriawan Wahyu, Agus Daviyanto, dkk, “Wisata Jawa Timur Candi Ngetos Nganjuk”,
https://mytrip123.com/candi-ngetos/, di akses pada 02 November 2022
36

motif spiral dengan ukuran sedikit lebih besar serta dielokkan.3 Lalu, samping

hiasan spiral terdapat hiasan garis meliuk-liuk melingkari candi. Kini bilik-

bilik tersebut serta memang tidak ada hiasan di pinggir maupun dalam.

Terpampang jelas saat mulai memasuki gerbang percandian pola salib

menempel pada tembok candi.

Gambar 3.2 Relief Salib Candi Ngetos


Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 3.3 Relief Belah Ketupat Menyerupai Banji Dan Buah Bergerombol
Dengan Daun Candi Ngetos
Sumber: Dokumentasi Pribadi

3
Yatmin, Zainal Afandi, “Studi Tentang Candi Ngetos di Kabupaten Nganjuk Ditinjau Dari
Kajian Iknografi”, dalam Efektor Jurnal Universitas Nusantara PGRI Kediri, Vol. 9, No. 1 (2022),
72
37

Gambar 3.4 Relief Spiral Besar Candi Ngetos


Sumber: Dokumentasi Pribadi

Mengarah kepada ruang utama candi tempat peletakan dewa utama

sebagai pemujaan. Kondisi saat ini hanya dihuni penggalan arca Ganesha.

Apabila mengikuti aturan pantheon Hindu arca Ganesha dimaksudkan sebagai

ganapati menemani Siwa sebagai Dewa utama dan disimpang di relung

induk.4 Sedangkan, relung sisi selatan ditempati Agastya dan sebelah utara

oleh Dewi Durga. Namun, ruangan-ruangan itu kosong, menyisakan bagian

utama yang hanya ada Ganesha dan tangga bambu sebagai alat untuk

pembersihan candi. Diambang pintu menuju ruang utama terdapat batu dorpel.

Tembok-tembok relung polos, lisnya masih cukup halus dan hanya tegak

lurus. Langit-langit relung terpasang kayu bekas pemugaran, mencegah

keambrukan bangunan. Atap ruang khusus sudah bolong, langsung

menampakkan langit biru.

4
Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan, “Katalog Koleksi Arca Batu”, (Yogyakarta: Balai
Pelestarian Cagar Budaya, 2014), 7
38

Gambar 3.5 Pintu Menuju Ruang Utama Candi Ngetos


Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 3.6 Batu Ambang Pintu Candi Ngetos


Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 3.7 Atap Bilik Utama Sekaligus Candi Ngetos


Yang Telah Hilang
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Kondisi batu bata merah yang digunakan untuk menyusun candi bagian

luarnya sudah tampak lapuk, tapi cukup kuat untuk bertahan beberapa tahun
39

kedepan tanpa ada gangguan buatan atau alami. Akibatnya beberapa batu bata

tidak lagi berwarna merah, melainkan hijau kehitam-hitaman sampai menjadi

hitam pekat. Terlihat semen-semen bekas akhir perbaikan candi masa lampau

dan beberapa batu bata yang sudah tidak pada tempatnya. Tingkat undak-

undak menuju ruang utama terlihat miris, hampir mirip runtuhan bangunan

tapi masih sedikit tertumpuk rapi. Lumut serta tanaman kecil-kecil damai

tinggal ditubuh candi. Sekujur awak candi mengutarakan tuanya umur dia.

Dipandang dari per sudut menunjukkan kecacatan bangunan ini, gradasi

bangunan tampak tak seimbang dan beraturan.

Gambar 3.8 Sisi Barat Daya Candi Ngetos


Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 3.9 Dinding Bawah Bagian Barat Candi Ngetos


40

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Bilamana mengikuti buku pedoman pembuatan candi yang terangkum

dalam kitab Manasara-Silpasastra, maka ditemukan sketsa dan gaya yang

dianut Candi Ngetos.

Gambar 3.10 Konsep Bangunan Candi Ngetos


Sumber: Dalam Naskah Manasara-Silpasastra

Gambar 3.11 Gaya Dinding Pada Candi Ngetos


Sumber: Dalam Naskah Manasara-Silpasastra
41

B. Tahapan Pendirian Candi Ngetos

Candi didirikan dengan meniru dasar bangunan sakral di India. Aspek

dasar pembentukan bangunan suci India telah tertera dalam kitab Vastusastra

(kitab arsitektur) atau kitab Silpasastra (kitab pegangan silpin), seperti kitab

Manasara, Mayamata, Silpaprakasa, Visnudharmottaram, Purana.5 Menurut

Bosch percandian Indonesia menganut dasar pembangunan yang ditulis dalam

kitab Manasara yang berasal dari India Selatan. Menurut kitab tersebut dalam

pembuatan candi di pimpin oleh seorang Yajamana (pemimpin proyek) dan

ditemani dua bawahan arsiteknya, yaitu Sthapaka (arsitek pendeta guru)

bertugas untuk membuat persiapan yang berhubungan dengan upacara-upacara

ritual dan hal-hal ghaib selama proses pembangunan candi, sedangkan

Sthapati (arsitek perencanaan) bertugas sebagai penanggung jawab atas proses

perencanaan dan pembangunan.6 Tugas seorang Sthapati dibantu oleh

Sutragrahain (pelaksana dan pemimpin umum teknis), Vardhakin (perancang

seni hias), dan Taksaka (ahli pahat).

Berdasarkan beberapa kitab terdapat tahapan-tahapan pembangunan

candi, sebagai berikut:

1. Pemilihan Lahan

Pemilihan lahan disebut juga Bhumisamgrha. Kitab Mayamata,

MatsyaPurana, Bhuvanapradipa, dan Vastusastra telah memuat ciri-ciri

tanah yang baik untuk dibangung candi. Dengan memakai 7 unsur fisik

sebagai dasar penilaian, yaitu: warna, rasa, bau, tekstur, kontur atau
5
H. Rahardian Prayudi, “Kajian Tipo-Morpologi Arsitektur Candi Di Jawa”, (Tesis, Program
Studi Arsitektur ITB, Bandung, 1999), 3
6
Ibid, 20
42

kemiringan, jenis tumbuh-tumbuhan, dan ukuran. Maka, berdasarkan 7

unsur dasar tersebut kandidat lahan untuk pembangunan candi dapat

dikelompokan menjadi 4 jenis tanah:

a. Tanah Brahmana: berwarna putih atau debu seperti mutiara, rasa manis

atau asam, mengandung lumpur, miring ke utara, ditumbuhi pohon

udumbara, membentuk bujur sangkar, dan mendatangkan kebaikan

serta keberuntungan.

b. Tanah Ksatrya: bewarna merah atau merah darah, rasa pahit, pedas,

atau rasa darah, mengandung pasir berlumpur, miring ke timur,

ditumbuhi pohon asvatha, bentuk empat persegi panjang, dengan

ukuran panjang ½ kali lebar, dan mendatangkan sukses.

c. Tanah Vaisya: berwarna kuning atau kuning keemasan, rasa

asam,asin/pahit, pasir berlumpur, miring ketimur, di tumbuhi pohon

plaksa, bentuk empat persegi panjang dengan ukuran panjang 1+ 1/6

kali lebar, dan mendatangkan keberuntungan.

d. Tanah Sudra: berwarna hitam atau gelap, rasa busuk, bau kotoran,

sangat berlumpur,miring ketimur, ditumbuhi pohon nyagrodha,bentuk

empat persegi panjang dengan panjang 1+¼ kali lebar, dan

mendatangkan kekayaan.

Menurut kitab Vastusastra jenis tanah yang cocok untuk dijadikan

tempat percandian atau kuil adalah tanah dengan jenis 1 dan 2. Kemudian,

dalam kitab Silpaprakasa menyebutkan bahwa tanah yang yang banyak

mengandung pasir lebih baik untuk bangunan suci, daripada tanah yang
43

penuh kerikil, tanah rawa yang lebih tepat sebagai tempat pembakaran

mayat, serta jangan menggunakan tanah yang tidak ada sungai.7

Berdasarkan penjelasan fisik dari setiap jenis tanah diatas dan berdasarkan

peninjauan langsung, tanah yang diaplikasikan pada Candi Ngetos

tergolong dalam tanah brahmana.

2. Pengujian Lahan

Cara-cara pengujian tanah tertulis dalam kitab Vastusastra.

Adapun langkah – langkahnya sebagai berikut:

a. Menurut kitab Ajitagama 7, 4 sampai 5 pengujian tanah pertama di

lakukan dengan cara pemikulan untuk mengetahui kepadatan tanah.

Tanah yang baik akan memberikan suara yang nyaring atau dalam.

Saat ini untuk mengetahui atau melakukan tes kepadatan tanah dikenal

dengan tes penetrasi. Caranya menekan alat penetrometer statis

kedalam tanah dengan kecepatan tertentu. Apabila alat tersebut

memberikan hasil yang besar terhadap perlawanan tanah itu dalam

gaya kg / cm2, maka tanah itu padat atau stabil.

b. Pengujian tahap kedua adalah untuk mengetahui kekompakan tanah.

Kitab Ajitagama 7. 6 sampai 7 menjelaskan dalam pengujian

kekompakan tanah dilakukan dengan membuat lubang di tengah-

tengah tanah yang akan diuji, kemudian tanah hasil galian di masukan

kembali kedalam lubang. Apabila tanah tersebut tidak cukup untuk

mengisi lubang kembali, maka tanah tersebut tidak komapak atau tidak
7
IGN Anom, “Keterpaduan Aspek Teknis Dan Aspek Keagamaan Dalam Pendirian Candi
Peridode Jawa Tengah (Studi Kasus Candi Utama Sewu)”, Disertasi Universitas Gajah Mada
Yogyakarta, 1999, 108-109
44

baik untuk konstruksi dan harus di hindari. Tahapan ini juga

membutuhkan alat tes penimbangan tanah. Berdasarkan perkembangan

ilmu tanah saat ini terdapat beberapa sifat tanah yang di perlukan,

yaitu: Berat jenis (specific gravity) merupakan perbandingan butir

tanah dengan berat air, Kerapatan (density) adalah perbandingan isi

pori-pori dengan tanah seluruhnya, dan Kadar air (water content) ialah

perbandingan berat air dengan butir tanah. Tanah yang baik memiliki

perbandingan sifat-sifat tanah dengan kadar kecil.

c. Pengujian tahap ketiga yaitu, permeabilitas dan kelembapan tanah.

Tertulis dalam kitab Manasara V. 20 sampai 37, Ajitagama 7. 9

sampai 10, dan Mayamata 4. 10b samapai 18a, bahwa pengujian ini

dilakukan dengan membuat lubang bujur sangakar yang memiliki

kedalaman sedengkul. Kemudian di malam hari kepala arsitek mengisi

air kedalam lubang tanah yang diuji. Menurut kitab Manasara dan

Ajitagama jika ingin mengukur baik buruknya tanah dengan

menggunakan ketentuan jarak rembesan air dari lubang uji secara

Vertikal dan Horisontal. Jika rembesan air berjarak sembilan langkah

atau lebih dari lubang uji maka tanah itu tidak baik untuk konstruksi

bangunan. Karena, apabila terkena hujan akan kehilangan

kestabilannya. Dalam pengujian ini kriteria tanah yang baik, yaitu jika

sisa air di tanah sedikit, lubang itu tertimbun tanah disekitarnya sampai

penuh maka tanah itu baik sekali. Tanah yang baik memiliki
45

peremeabilitas dan prositas sedang, biasanya tanah tersebut terdiri dari

pasir halus sampai sedang.

d. Tercantum dalam kitab Tantrasamuccaya pupuh 12-15 dan kitab

Silpaprakasa I. 24 sampai 34, tentang teknik pengujian tanah

menggunakan lampu bersama minyak karanja atau disebut The Wick

Experiment. Tujuannya ialah untuk mengetahui kadar oksigen di tanah

yang diuji. Para arsitek akan menaruh lampu pada lubang calon lahan,

kemudian mereka mencermati setiap gerak lidah api lampu. Manakala

lidah api berdiri tegak pertanda bakal mendatangkan kebahagiaan.

Selanjutnya, jika lidah api miring ke utara artinya akan membawa

kemasyhuran dan kekayaan. Seandainya lidah api tampak berwarna

keemasan dan mengarah ke selatan, bearti tanah itu mendatangkan

kemuliaan dan kemakmuran. Tetapi, bila lidah api bergoyang-goyang

hingga menjadi kecil dan menyentuh tanah itu dapat dimaknai kurang

baik dan wajib dihindari untuk pembangunan. Oleh karena itu, dapat

dikatakan jika lidah api semakin besar maka kadar oksigen dalam

tanah tersebut juga besar.

3. Pengolahan Lahan

Setelah melakukan pemilihan dan pengujian lahan dengan baik,

maka tanah tersebut sudah siap diolah. Mengikuti dasar dalam Kitab

Manasara strategi yang diambil ialah membajak tanah berkali-kali,

mengairi, dan menyebarkan biji-bijian tumbuhan apa saja demi

mengetahui kesuburan tanah. Lalu, melakukan pembajakan ulang,


46

diratakan, dan dilicinkan. Proses upacara pembenihan disebut

Gharbhadana.8 Selanjutnya, Yajamana mengutus Satpaka meletakkan

Gharbhapatra dalam tempat yang telah ditentukan pada bagian

Brahmasthana (titik tengah).9 Dalam kitab lain yang berjudul

Bhuvanapradipa menjelaskan cara pengolahan tanah dengan melakukan

pengujian kesuburan tanah atau tes pembibitan. Para penguji akan

menaburkan biji wijen ke tanah pilihan yang telah dibajak. Setelah melalui

percobaan ini maka dapat ditarik lima perbedaan golongan tanah, yaitu:

a. Tanah Brahmana: apabila bibit wijen tumbuh dalam waktu tiga malam

b. Tanah Kstrya: apabila bibit wijen tumbuh dalam waktu empat malam

c. Tanah Vaisya: apabila bibit wijen tumbuh dalam waktu lima malam

d. Tanah Sudra: apabila bibit wijen tumbuh dalam waktu enam malam

e. Tanah Pisacha: apabila bibit wijen tumbuh dalam waktu lebih dari

tujuh malam

Berdasarkan perbedaan golongan tanah di atas dapat ditarik

pengertian bahwa tanah baik adalah jika, bibit wijen tersebut berkembang

melewati waktu sangat singkat yang bearti memiliki kandungan mineral

silica dan kelembapan yang cukup.10

4. Proses Pembuatan Bangunan

8
Gharbhadana merupakan upacara yang dilakukan untuk ibu hamil. Biasanya dilakukan ketika
kandungan berumur 5-6 bulan dengan tujuan keselamatan sang bayi yang ada didalam rahim ibu
beserta sang ibunya.
9
Gharbhapatra adalah berupa kotak-kotak bejana sebanyak 9 sampai 25 kotak yang masing-
masing mewakili para dewa dan Vastupurusamandala atau disebut dengan pripih. Setiap kotak
berisi kekayaan tanah, berupa logam, akik, biji-bijian, dan tanah. Sedangkan, Brahmasthana
merupakan titik tengah (pusat site) percandian atau tempat bersemayam para Dewa Brahma.
10
Ibid, 121
47

Pasca calon lahan usai diolah sudah waktunya untuk melakukan

proses pembangunan. Langkah awal sebelum memulai pendirian bangunan

suci adalah membuat diagram mandala di atas tanah serupa rancangan atau

denah tata letak bangunan. Terdapat dua hipotesis proses pembuatan candi.

Pertama ditimbun kemudian diukir dari atas dan kedua mengaplikasikan

rangka skafolding (rangka bambu/kayu) pada sisi-sisi bangunan yang akan

dibuat. Proses ini perlu memerhatikan konsep bangunan suci yang dibuat

sebagai replika Gunung Mahameru. Seperti, tata letak lahan diperkirakan

menggunakan teori Paramasiwa/Siwa Sadhanta dan Astadewata (dewa

penjuru arah mata angin). Berdasarkan aliran Siwa Sidhanta, Dewa Siwa

memiliki kedudukan tertinggi serta menyandang tiga rupa perwujudan

untuk menguasai alam semesta, yaitu: Paramasiwa, bersifat niskala (tanpa

wujud dan bentuk), berkedudukan di zenith, Sadasiwa, bersifat

sakalaniskala (sesekali memperlihatkan wujudnya menjadi penyelamat

manusia yang mencapai moksa), berkedudukan di pusat, dan Maheswara,

mempunyai wujud yang memenuhi dunia fana ini, berkedudukan di nadir.

Macam-macam penjelmaan Dewa Siwa diatas menjadi awal

perwujudan tiga dunia dalam konsep pembuatan bangunan candi. Dewa

Siwa tergambar pada konsep Tribhuwana, yaitu bhurloka, bhuwarloka,

dan swarloka. Bhurloka terletak di kaki candi, menyimbolkan dunia yang

dikuasai Maheswara. Bhuwarloka terdapat di tubuh candi, melambangkan

kekuasaan Sadasiwa. Swarloka berada dibagian atap candi,

mengkarakterkan kekuasaan Paramasiwa. Selain itu, kitab


48

Tantupanggelaran membahas tentang peletakan patung arca dewa pada

candi Hindu. Kitab tersebut menyatakan bahwa Mahameru dijaga oleh

Gana (Ganesa) pada gapura timur, Agasti (Agastya) di gapura selatan, arca

Ganesa di barat atau timur menyesuaikan arah hadap candi, dan didepan

terdapat arca Mahakala dan Nandiswara.

Selanjutnya, arca utama berupa arca Siwa dan Lingga-Yoni

diletakkan didalam ruang pusat candi. Para pengamat sejarah menerangkan

adanya interaksi antara arsitektur candi di Indonesia denga India Selatan.

Hal ini dibuktikan adanya temuan bangunan candi yang bergaya Dravida

(Klasik Dravida) berserta Shikara berundak (Dharmajartha) yang ada di

Jawa, terutama wilayah Jawa Tengah. Shikara berbentuk menyerupai jajar

genjang dan limas dan saat itu banyak dibangun oleh Dinasti Chola dan

menjadi perbedaan terhadap gaya bangunan India Utara.


BAB IV

DINAMIKA PEMAKNAAN MASYARAKAT TERHADAP

CANDI NGETOS

A. Makna Candi Ngetos Masa Kerajaan Majapahit

Bangunan candi telah berdiri jauh sebelum Kerajaan Majapahit,

namun dengan nafas keagamaan dan tentu corak yang berbeda. Apabila

dilihat dari segi keagamaan masyarakat Majapahit saat itu, sebagian

besar menganut kepercayaan Hindu-Buddha. Hal tersebut menjadi

alasan banyaknya percandian di tanah Jawa. Apabila dilihat dari

pengambilan kata candi yang berasal dari nama Dewi Durga atau Dewi

kematian, yaitu candika atau dapat dikatakan sebutan untuk orang yang

dicandikan. Sedangkan, istilah candigraha, candikagraha, dan

candikalaya adalah tempat dewi itu bersemayam, bisa disebut juga

rumah (candi/kuil) candika.1

Kitab Negarakertagama menjelaskan perihal pembuatan arca

dewa yang disemayamkan dalam bangunan suci berhubungan dengan

wafatnya raja. Hal ini berkembang dari Kerajaan Singhasari sampai

Majapahit, sebagai akibat peleburan antara pemujaan leluhur dengan

agama Hindu-Buddha masa itu.2 Sinketrisme antara Agama Hindu

1
Soekmono, “Candi Fungsi Dan Pengertiannya”, (Yogyakarta: Ombak, 2017), 13
2
Richadiana Kadarisman Kartakusuma, “Kondisi Kehidupan Keagamaan Majapahit
Berdasarkan Sumber Tertulis dan Data Arkeologi”, dalam Amerta Jurnal Penelitian dan
Perkembangan Arkeologi, Vol. 26, No. 1 (2008), 41

49
50

Budha diperkenalkan dan dipraktikkan dalam doktrin Tantrisme3 yang

diketahui telah berkembang sejak kekuasaan Narayya Murddhwaja Sri

Kertanegara masa Kerajaan Singhasari hingga Majapahit. Tantrisme

memberikan destinasi kepada setiap jiwa individu menyatu bersama

jiwa kosmis, dalam pengertian pembebasan „diri‟ dari keseluruhan ilusi

dunia serta hawa nafsu atau ditegaskan dalam kitab Sutasoma “pada

kenyataannya (yang paling dalam) Buddha dan Siwa adalah sama”. 4

Menurut, De Caspires dan Mabbet „tidak ada sinketrisme sejati,

melainkan hubungan yang lebih rumit dan lebih menarik antara dua

agama tersebut‟. Tersisipkan terminologi baru oleh Gonda, kemudian

diikuti oleh Haryati Soebadio ialah „koalisi‟ yakni Siwaisme dan

Buddhisme berkembang dan dipraktikan secara berdampingan.

Hal tersebut dibuktikan oleh jejak bangunan keagamaan kerajaan

Majapahit berupa candi yang mengandung agama Hindu-Budha.

Apabila dilihat lebih seksama lagi dari setiap istilah kata konteks Hindu-

Budha, entitas yang dapat menafsirkan lebih detail yaitu „koalisi‟. Pada

kenyataannya memang Hindu-Budha pernah hidup berdampingan.

Contoh candi yang mengadopsi kedua agama tersebut adalah Candi

Penataran, sebab dijumpai relief bersifat Siwa-Budha bertajuk

Bubuksah-Gagang Aking pada pendapa teras memberi wujud aktualitas.5

3
Tantrisme berasal dari bahasa sansekerta Tantra artinya “memperluas”. Dalam KBBI
Tantrisme merupakan ajaran agama Hindu dan Budha yang memiliki mistik dan magis.
4
Zoetmulder, “Kalangan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang”, Terj. Dick Hartoko
(Jakarta: Djambatan, 1983), 436-437
5
Deny Yudo Wahyudi, Slamet Sujud, dkk, “Pusat Pendidikan Keagamaan Masa
Majapahit”, dalam Jurnal Studi Sosial, Vol. 6, No. 2 (November 2014), 109
51

Menceritakan dua cara laku6 yang berbeda dengan mengukur proses

kesetiaan menuju dari masing-masing tujuan laku tersebut. Apabila

dalam doktrin Hindu candi sebagai simbol Gunung Mahameru tempat

bersemayam para Dewa, lain halnya dengan dogma Budha bahwa candi

merupakan salah satu wujud penghormatan umat Budha terhadap sang

Budha yang telah mengajarkan Dhama.7

Latar belakang agama yang kental memberi akibat pada candi

sebagai pusat keagaamaan masa Majapahit. Dalam Agama Budha candi

dimaknai bahkan didirikan sebagai bentuk bakti umat Budha terhadap

Sang Hyang. Sehingga, mereka memfungsikan candi untuk beribadah.

Penggunaan percandian Budha di Jawa Tengah dan Jawa Timur

memiliki perbedaan jelas, misalnya pada Candi Borobhudur di

Magelang murni digunakan sarana ritual ibadah umat Budha.

Sedangkan, bangunan candi Budha Majapahit Boyolangu dimanfaatkan

untuk pendharmaan Rajapatni Gayatri serta tempat pemujaan.8 Kejadian

ini semarak berlangsung di era Singhasari-Majapahit yang

mendedikasikan candi menjadi wadah keagamaan bersifat sakral, sebab

sebagai objek “komunikasi” dengan adikodrati atau pemujaan terhadap

nenek moyang yang telah didewakan.9 Negarakertagama telah

menguraikan dalam pupuh dalam 69:2-3:

6
Laku adalah ritual ibadah untuk mencapai tujuan tertentu
7
“Simbol Dalam Agama Buddha”, dalam kmbui.ui.ac.id, 26 Juni 2015
8
Ibid, 160
9
Agus Aris Munandar, “Catuspatha Arkeologi Majapahit”, (Jakarta: Wedatama Widya
Sastra, 2011), 8
52

“mwang taiki ri bhayalango nggwanira sang sri rajapatni dinarmma,


rahyang jnanawidinutus| muwah amuja bhumi sudda pratista etunyan
mangaran| wisesapura kharambhanya pinrih ginong twas mantryagong
winkas| wruherikha dmung bhoja nwan utsaha wijna.”
“lumra sthananiran pinuja winangun| caityadi ring sarwwadesa yawat|
waispuri pakuwwana kabhaktyan| sri maharajapatni, angken Bhadra
siran pinujaning amatya brahma sakwehnya bhakti mukti
swargganiran| mapotraka wisesang yawabhumyekhanatha.”
Terjemahan: Selanjutnya, sekarang di Bhayalango terdapat tempat bagi
Sri Rajapatni didharmakan [dimuliakan/dipuja setelah mangkat]. Tokoh
suci Jnanawidhi ditiahkan untuk mengadakan upacara menyucikan
lahan tempat arca. Sebab itulah diseru dengan Wisesapura, dipelihara
secara baik sehingga menjadi tempat mulia. Banyak menteri [pejabat
tinggi] bersegera mengunjunginya, termasuk Demung, Bhoja, remaja,
dan kaum cerdik cendikia.
Tempat itu tentu sangat terkenal sebagai pemujaan, dibangun pula
caitya dari berbagai daerah. Banyak perumahan kaum waisya yang juga
datang melakukan kebaktian bagi Sri Rajapatni. Tiap bulan Bhadra
(Agustus-September), beliau [Rajapatni] dipuja oleh para pengiring
raja dengan mantra suci, mengadakan sembah bakti. Pembebasan untuk
masuk surga baginya [dan] beliau beranak cucu raja-raja terkenal di
tanah Jawa.

Gambar 4.1 Pecahan Patung Ganesha


Sumber: Dokumentasi Pribadi

Penemuan arca Siwa dan Wisnu menjadi bukti bahwa kala itu

secara terang-terangan penduduk melaksanakan ritual pemujaan

terhadap Sang Hyang di Candi Ngetos. Arca Siwa dan Wisnu berkaitan

dengan agama Prabu Hayam Wuruk. Adapun batu pijakan yang


53

dahulunya digunakan untuk sebagai pijakan untuk menuju ke

Grhabagriha Candi Ngetos.

Gambar 4.2 Batu Pijakan Candi Ngetos


Sumber: Dokumentasi Pribadi

Batu pijakan hanya diletakkan didepan candi, sebelum akan

menaiki punden. Grabagriha adalah bilik candi yang dikermatkan

sekaligus menjadi tempat peletakan arca dewa utama. Fakta Candi

Ngetos bernapaskan agama Hindu diperkuat oleh temuan Lingga-Yoni.

Teridentifaksi arca Lingga masih ada di sekitar Candi Ngetos,

sedangakan arca Yoni berada di museum. Lingga Candi Ngetos

disimpan dengan dimanfaatkan menjadi batu nisan.

Gambar 4.3 Lingga Candi Ngetos


Sumber: Dokumentasi Pribadi
54

Lingga-Yoni kerap disandingkan dengan Dewa Siwa, mereka

melambangkan kesuburan sebagai dasar awal penciptaan. Maka dari itu,

Lingga-Yoni juga difungsikan sebagai objek pemujaan ataupun bisa

dikatakan simbol Siwa-Sakti. Para peneliti sejarah mengenalkan hasil

dapatan mereka berupa konsep keagamaan di Asia, berupa

„Makrokosmos‟ yaitu dunia besar mencakup seluruh alam semesta dan

„Mikrokosmos‟ dunia kecil terdiri dari kehidupan di sekeliling manusia

serta manusia itu sendiri.10 Konsep candi sebagai lambang alam semesta

berkembang melahirkan tiga tingkatan-tingkatan candi, yaitu kaki candi

(bhurloka), tubuh candi (bhuwarloka), dan atap candi (swarloka).

Tingkat tertinggi ziggurat ini menghubungkan manusia dengan dewa,

sekaligus tangga penghubung dunia dan surga. Oleh sebab itu,

dibangunkan bilik keramat dipuncak candi sebagai tempat suci

keagamaan bernama Grabhagriha. Demekian itu, puncak candi

didefinisikan tempat bersemayam paradewa sesuai halnya Gunung

Mahameru dengan puncak Kailasanya yang sakral. Sedangkan, presepsi

Budhisme mengenal tiga kedudukan kosmos dengan nama kamadatu,

rupadatu, dan arupadatu.11

Periode Majapahit di Jawa Timur membuahkan arsitektur

bangunan lebih intens. Desain berundak tiga teras bangunan suci kecil

dilereng gunung yang berperan sebagai tempat pemujaan, sembahyang,

10
Coleta Palupi Titasari, “Latar Belakang Konsep Bangunan Candi Wringinbranjang Di
Kabupaten Blitar Jawa Timur”, dalam
http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/10184/1/29b1ddbe10b761bbac5e36aa297f0a8b.pdf., 2017
11
Bambang Gatot Soebroto, “Kajian Estetika Yang Beda Relief Candi Jawa Timur”, dalam
Jurnal Arsitektur, Vol. 2, No. 2 (Juni 2012), 18
55

seperti Candi Kendalisodo dan Candi Yudha di lereng gunung

penanggungan.12 Beberapa pendapat terlontarkan terhadap bangunan

candi yang berdiri sendiri, bahwa atap mereka bersusun dengan gaya

Meru pura Bali masa kini. Selanjutnya, skema tata ruang candi hierarki

gradual tingkatan kesakralan. Spasial candi vertikal hierarkinya dari

lingkup duniawi, meningkat ke lebih tinggi, hingga mencapai bagian

teratas yaitu bilik. Sedangkan, rancangan horizontal candi menampilkan

dari sisi depan yang lebih duniawi, sementara sisi belakang yang paling

sakral. Selain itu, arah bangunan candi Jawa Timur berkiblat ke hadap

gunung. Menurut Klokke orientasi candi Jawa Timur menyesuaikan

landschape Jawa yang terdominasi gunung berapi. Sehingga, bagian

belakang candi mengahadap ke gunung, supaya para pengunjung candi

memasuki area percandian langsung menjurus kehadapan gunung.

Kedua prinsip tersebut tidak pernah memisahkan hubungan gunung

dengan candi, boleh dikatakan hal ini mengisyaratkan pentingnya

pemujaan gunung di Jawa Timur dalam pelaksanaan keagamaan.

Gunung sebagai tempat bersemayam yang dipuja mereka. Kemudian,

candi yang dimaknai sebagai tempat keagamaan menyembah dewa-

dewa mereka melebar ke aspek bangunan peringatan raja yang telah

mangkat hingga dikenalkan juga menjadi pendharmaan.

Pengkajian candi sebagai pendharmaan tokoh penguasa

merupakan hasil dari pemahaman para pendahulu kemudian disalurkan

12
Candi di lereng gunung tidak memiliki bilik, hanya altar disetiap teras yang ada untuk
keperluan keagamaan. Hariani Santiko.
56

kepada kita. Kepastian Raffles terkait hal ini belum dapat diketahui

sumbernya, kemungkinan ia mendapatkan laporan temuan turun

temurun. Pembuktian dugaan candi pendharmaan menjadi kepercayaan

para cendikiawan purbakala, ketika peneliti sebelumnya seperti

Yzerman dan Brumund menjelaskan pengamatan mereka pada setiap

candi yang diincar sebagai objek validasi. Perolehan dari penyelidikan

mereka memberikan gamblangan bahwa terdapat perigi didalam

bangunan candi. Perigi ini menyerupai sumuran dan didalamnya

diletakkanlah Garbhapatra, yaitu batu bejana dengan jumlah lubang

kotak – kotak sembilan sampai dua puluh lima.13 Didalam lubang kotak-

kotak tadi diisikan peripih mencakupi, emas, logam, biji-bijian, dan

tanah. Pembahasan ini terkhususkan percandian Hindu, sebab candi

Budha tidak tersimpan peripih. Perigi dan peripih diilustrasikan pada

percandian Prambanan.

Yzerman menjumpai perigi didasar bangunan candi bercampur

tanah serta ditemukan berbagai tulang binatang dan abu jenazah. Tulang

binatang ini menunjukan bekas pembakaran sekaligus penanaman abu

jenazah.14 Teori ini disempurnakan oleh Sutterheim melalui

pendapatnya, bahwa pengertian candi sebagai makam diibaratkan:

setelah seorang raja wafat, jenazahnya dibakar dan sebagian dari abunya

dibuang ke laut, sedangkan sisa abu lainnya di „candikan‟ beserta

perintilan-perintilannya semacam kepingan logam mulia, batu akik.


13
Lalu Mulyadi, Julianus Hutabarat, Andi Harisman, “Relief Dan Arca Candi Singashari-
Jawi”, (Malang: Dream Litera Buana, 2015), 30
14
Ibid, 8
57

Kesemuanya ditaruh dalam peti abu (peripih), lalu ditanam di perigi

pada bagian kaki candi.

Lafal pendharmaan rupanya kerap kali disinggung dalam kitab

Negarakertagama dan Pararaton. Dharma dan Sudharma disandingkan

dengan nama yang lebih terkenal yaitu candi, jika diterjemahkan dalam

bahasa Belanda adalah graftempel dan dhinarma dalam bahasa Belanda

bearti bijgezet (dimakamkan abu jenazah dalam sebuah candi). Candi

peringatan diberi nama dharma dan kegiatan mendirikan dharma untuk

raja disebut dhinarma.15 Tersebutkan pula dalam naskah mengenai

pembangunan candi masa Raja Hayam Wuruk, yaitu Candi Boyolango

dan Candi Simping dimana kedua candi ini dipersembahkan untuk

kakek (Raden Wijaya) nenek (Rajapatni) Rajasanegara sekaligus pendiri

kerajaan Majapahit. Tertulis dalam kitab Negarakertagama untuk Raden

Wijaya dalam pupuh 47 :

“ring saka matryaruna linaneran nanindra narendra/drak pinratista


jinawhimba shiren purijro/antahpura ywa panlah rikanan
sudarmma/saiwapratista sira teki mwah ri simpin”
Terjemahan: Pada tahun 1231 saka wafatlah sang raja Kertarajasa
Jayawarddhana, lalu dirinya diarcakan dalam wujud Jina diistana
dalam, Antahpura demikian tempat peringatan (baginya) disana
merupakan pendharmaan yang indah, adapun baginya arca Siwa
ditempatkan di Simping.
Sedangkan dalam kitab Pararaton dijelaskan juga candi

pendharmaan:

“Sang mokta ring indrabhawana sang dhinarmeng Tajung, bhisekaning


dharma ring paramasakapura”

15
Soekmono, “The Javanese Candi”, (Leiden: Brill, 1995), 6
58

Terjemahan: Beliau yang wafat di Indrabhawana (Rajasanegara) yang


didharmakan di Tanjung, nama resmi dharma itu adalah
Pharamsakapura.
Keterangan tambahan terkait pendharmaan atau di dharmakan

Rajasanegara di Pharamasakapura,

“Hayamwuruk, inggih Sri Rajasanagara, inggih Sanghyang


Wekasingsuka utawi Bre Hyang Wekasingsuka, sedanipun kala ing
salebeting tahun Saka 1311.”
Maksud dari keterangan di atas adalah bahwa Sri Rajasnegara di

dhamarmakan tahun 1311 Saka, apabila di masehikan mendapati 1389

M.16 Selama prosesi pendharmaan disebut upacara Sraddha yang

pelaksanaannya 12 tahun setelah kematian sang raja, seperti yang

dilakukan Rajasnegara terhadap arwah Rajapatni di Candi Boyolangu.

Ritual Sraddha dilangsungkan pada bulan Bhadra (Agustus -

September). Peristiwa ini tertulis dalam kitab Negarakertagama pupuh

63 :

“(2)Ajna Sri Natha San Sri Tribhuwana Wijayotungadewi renonta,


Sraddha sri Rajapatni wekasana gawayen sri narendren kudatwan,
siddha nin karyya rin saka diwasa masirah warnna rin bhadramasa,
sakweh sri natha rakwawwata tadah irinen de para wrddha mantra. (3)
Nahan lin san Sumantri teka subhaya maweh tusta ri sri narendra,
sonten praptomarek tan para dapur aputih sujyanadinya wijna, mwan
mantry asin wineh thanya suruhana makadyaryya ramadhiraja, tan len
gon nin byayanun sinadha sadha ginosti harep sri narendra”
Terjemahan : (2)Titah Sang Paduka Sri Tribhuwana Wijayotunggadewi
hendaknya dengarkanlah, upacara sraddha bagi Sri Rajapatni, sebaiknya
Paduka segera menitahkan untuk melangsungkannya di kerajaan,
idealnya upacara penghormatan ini dilaksanakan pada tahun Saka
masirah-warna (1284/1362 M) pada bulan Bhadra, semua raja-raja
bawahan harus mempersembahkan sajian diiringi oleh para
menteri_menteri tua. (3) Demikian ucapan sang menteri tertinggi,
mendapat persetujuan, memberikan kebahagiaan pada Sang Baginda,

16
Muhyidin Khazin, “Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktik”, (Yogyakarta: Buana Pustaka,
2008), 116. I Saka = 78 Masehi, sebab di 78 M ini bertepatan penobatan Aji Soko sebagai
raja India dan pengenalan penanggalan Soko. Maka, penghitungan tahun 1311 Saka ke
Mashi menjadi 1311+78= 1389 M.
59

pada sore harinya, datang menghadap para kepala desa, dan orang saleh
berpakaian serba putih, yang utama dan bijaksana, beserta para menteri
kerajaan, dan siapa pun yang diberi tanah desa, untuk diberi tugas,
terutama Si Arya Ramadiraja, tiada lain, besarnya biaya yang
dibicarakan dan apa pun didiskusikan di hadapan Sang Baginda
Tajung merupakan perkompleksan Candi Ngetos saat ini,

sedangkan Paramasakapura ialah candi yang berdiri disamping Candi

Ngetos atau bisa dikatakan kembaran dari Candi Ngetos.

Paramasakapura kini tidak dapat dijumpai lagi, karena sisa bangunan

telah raip oleh berbagai faktor. Hanya candi Ngetos yang masih dapat

dilihat, diteliti, dan dirawat, serta serpihan-serpihan informasi kehidupan

kuno tercecer diberbagai sudut percandian. Gagasan kehidupan konstan

mengikuti perjalanan waktu, sehingga tidak sedikit pembaharuan

institusi ikut serta hadir. Kembali pada candi wujud pendharmaan tidak

akan lepas dengan religi yang melatar belakangi eksistensi tersebut.

Sebenarnya, religiositas masa Singashari memunculkan konsep baru

yang diteruskan era Majapahit, yakni dewaraja.17 Asasi kedewarajaan

sendiri menyatakan bahwa raja yang telah meninggal dianggap menyatu

dengan dewa sesembahannya (ista-dewata).18

Pada masa itu masyarakat meyakini Raja sebagai jelmaan Dewata

yang menyamar menjadi manusia. Disinilah alasan pengerjaan karakter

arca zaman Singashari Majapahit sedikit berbeda dari arca percandian

17
Agus Aris Munandar, “Ibukota Majapahit, Masa Jaya Dan Pencapaian”, (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2008), 33
18
Ista-Dewata adalah manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan), seperti Brahma,
Wisnu, Iswara, Mahadewa, dan sebzagainya. Ista-Dewata merupakan para yang diharapkan
kehadirannya ketika berlangsungnya ritual pemujaan para pemujanya atau dewa yang
sesuai dengan dewa pribadinya. Maka, mantra puja-Nya diselaraskan dengan Dewata yang
dipuja.
60

sebelumnya. Bentuk fisik arca menyerupai Dewata, tetapi aksesoris

sekaligus iktikad dibaliknya berbeda.

Arca-arca perwujudan terbagi dua golongan, yakni arca

perwujudan raja yang masih hidup dan penjelmaan raja yang telah

meninggal. Untuk para arca Jawa Timuran banyak menonjolkan tanda

perwujudan raja yang telah mangkat. Atribut para reca digambarkan

kejur bagaikan mayat, kaki dan mata rapat tertutup, serta dilengkapi

ornamen lainnya. Perlengkapan tersebut menunjukkan karakter sang raja

bahwa ia memiliki kepribadian selayaknya Dewa saat memerintah.19 Era

Majapahit khususnya kepemimpinan Raja Hayam Wuruk Dewa

utamanya adalah Siwa dan Wisnu. Meski begitu banyak variasi tokoh

Dewa dari sebelumnya, seperti Brahma, Ganpati (Ganesha), Saraswati,

dan Rsi.20 Didirikanlah patung Dewa pasca raja wafat,

mempresentasikan tadah sang Dewa yang huniannya dialihkan menjadi

tempat berpulangnya sang raja.21 Pastinya candi tidak hanya sekedar

pendharmaan, pemujaan, tetapi juga pusat keagamaan.

Berdasarkan temuan bahwa serangkaian acara pendharmaan pada

candi terdapat serangkaian upacara peringatan kematian beserta

persemian candi ialah Sradha. Upacara ini dimaksudkan penyempurnaan

kembali roh supaya tidak ada penghalang keduniawian untuk bersatu

19
Stutterheim, “The Meaning of The Hindu Javanese Candi”, dalam Jurnal Of The
American Oriental Society, Vol. 51, Pensylvania: Pensylvania University 1-5, 1931
20
Rahardjo, Supratiko, “Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir”,
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), 159
21
Stutterhim, “De Dateering Van Eenige Oos-Javanesche Beeldengroepen”, TBG 76, 249-
320, 1936
61

bersama sang Dewa. Selepas itu, dilambangkan secara jasamaniah

boneka dari dedaunan disebut puspacarira dan abunya dilarungkan ke

laut.22 Setelah acara pelarungan ke laut didirikanlah candi untuk

menyimpan peripih serta meletakkan arca raja sebagai sang Dewa. Arca

disimpan ditempat tertinggi bangunan tersebut di relung atap candi yang

sudah disiapkan. Kemudian, candi ini dijadikan objek sembahyang

dengan sang arca sebagai subjek yang dipuja. Ketika ritus berlangsung,

zat jasmaniah dinaikkan dari dalam perigi, zat rohaniah dari dalam

diturunkan kepada arca perwujudan itu. Penyelanggaraan kegiatan

Sradha berjalan selama tujuh hari dan penutupan dihari akhir dengan

penyajian hiburan-hiburan. Aksi ini direkam secara seksama oleh Mpu

Prapanca di masa Hayam Wuruk dan dituangkan dalam tulisan yang

dibukukan Negarakertagama. Raja melancarkan aksi tersebut pun untuk

menunjukkan rasa besarnya nilai politis dalam tindakan religius tersebut.

Maka, dapat dinyatakan pula candi sebagai bukti eksistensi keluarga

raja.

Menurut beberapa sumber zaman Jawa kuno sang prabu

memenuhi otoritas atas urusan keagamaan yang terstruktur, kala

menegakkan bangunan-bangunan suci ia cantumkan dalam administrasi

keagamaan. Dengan kata lain candi juga bagian dari politik.

Bahwasannya infrastuktur keagamaan berada dibawah pengawasan

langsung dari kerajaan melalui Dharmmadyaksa yang di kelompokkan

22
Soekmono, “Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2”, (Yogyakarta: Yayasan
Kanisius, 1973), 81-82
62

menjadi empat23: Kuti Balay (bangunan pemujaan yang disertai pendopo

tanpa dinding serta menyediakan tempat tinggal para pendeta),

Parhyangan (bangunan suci untuk memuja para leluhur), Prasada Haji

(terdiri dari candi-candi kerajaan dan pendharmaan raja ataupun

kerajaan), dan Sphatika I Hyang (bangunan peringatan para leluhur).

Sedangkan, tempat-tempat berdirinya bangunan suci dibagi tiga

golongan24, salah satunya Dharma Dalem/Haji: mencakupi keseluruhan

bangunan agama khusus keluarga kerajaan. Diantaranya kawasan raja

yang diperdewa seperti, Tumapel dan Jajaghu (Jago), sekaligus Candi

Ngetos.

Telah dipaparkan oleh para peneliti dan penulis mengenai

bangunan suci yang didirikan di area istimewa dan disukai Dewata,

maka dipilih serupa persemayaman Dewa. Sehingga, lahan tersebut

mendapat kekuatan supranatural dari Dewa yang membuat tanah subur.

Candi-candi Majapahit dibuat di atas tanah suci antara lain: dekat

sumber air, di lingkungan dataran tinggi, di lereng gunung, di pinggir

persawahan. Seperti halnya candi Ngetos yang dibangun di kaki Gunung

Wilis, di dekat persawahan, sekaligus berdekatan sumber air. Sebab,

kawasan candi Ngetos tidak jauh dengan pegunungan, air terjun, dan

sungai. Di kompleks candi Ngetos juga ditemukan petirthaan yang

memang sepatutnya ada di percandian untuk perlengkapan pemujaan

ataupun keagamaan. Petirthaan dapat dijadikan isyarat kesuburan


23
Ibid, 39
24
Lydia Kieven, “Menelusuri Figur Bertopi Pada Relief Candi Zaman Majapahit”,
(Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), 123
63

wilayah. Sudah sejak zaman dahulu air memiliki peranan penting

terutama di bidang pertanian.

Gambar 4.4 Bekas Petirthaan Candi Ngetos


Sumber: Dokumentasi Pribadi

Dengan keberadaannya yang memberi, melindungi,

menyuburkan, menyucikan, memberikan makna tersendiri bagi air

dalam mitologi Jawa zaman klasik. Air direpresentasikan sebagai

amerta.25 Mitos orang Jawa Kuno mengenai air sebagai materi primer

yang dijaga ketat oleh para dewa. Tertuang dalam kisah Bimasuci yang

menceritakan Bima berburu amerta demi kekbebasan jiwa dan Adi

kebijaksanaan.26 Lalu, dapat dituliskan fungsi amerta sebagai sarana

penyucian dan keselamatan yang membangkitkan pencapaian spirital

Adi pengetahuan.

Susunan batu ini dibangun atas kehendak raja masa itu, serta

yang mendorong pengkontruksian candi pun menyesuaikan kondisi atau

kebutuhan kala itu. Selain itu, di masa Hayam Wuruk tempat keagamaan

25
Bersumber dari bahasa Sansekerta, amerta bermakna abadi (sesuatu yang abadi), dewa
(minuman para dewa).
26
Bimasuci digambarkan pada candi Kendalisodo.
64

lebih diperhatikan dari sebelumnya. Sesuai halnya dengan yang

disebutkan dalam kitab Negarakertagama mengenai salah satu kegiatan

Prabu Hayam Wuruk, yaitu memperbaiki candi yang rusak.27

Sedangkan, kondisi di ujung akhir kekuasaan Majapahit bangunan –

bangunan suci mulai ditinggalkan oleh para pemeluknya dan raja akhir

Majapahit sibuk mengurusi konflik perebutan tahta. Bisa dikatakan ini

akibat dari perang paregreg. Tetapi, seorang penyair bernama Bujangga

Manik mengisahkan candi-candi terutama candi Penataran masih banyak

dikunjungi oleh sisa-sisa umatnya.

B. Makna Candi Ngetos Masa Kearajaan Islam Di Jawa

Permulaan kemerosotan keajayaan Majapahit ditandai pasca raja

kebesaran bergelar Sri Rajasanegara wafat di penghujung abad XIV M.

Sejak melemahnya kekuatan Majapahit itu, Sunan Ampel beserta

pengikut-pengikutnya membuat kekuasaan independen di pantai utara

Jawa.28 Tercatat dalam kumpulan hikayat perkumpulan ulama salah

seorang walisongo di Jawa bernama Raden Rahmat Ngampel Denta.

Proses islamisasi terjadi di pesisir utara Jawa mulai dari bagian timur ke

barat, perlahan – lahan melahirkan kerajaan Islam seperti Demak,

Cirebon, banten, Pajang, dan Mataram Islam.29 Sejak itu Sunan Ampel

27
I Ketut Riana, “Kakawin Desa Warnnana Uthawi Negarakrtagama, Masa Keemasan
Majapahit”, (Jakarta: Kompas, 2009), 304
28
Badri Yatim, “Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), (Jakarta: Rajawali Pers
2011), 191”
29
Syafa Aulia Achidsti, “Strategi Penyebaran Tradisi Islam Pada Masyarakat Jawa”, dalam
IBDA’: Jurnal Kebudayaan Islam, vol. 10, No.2 (Juli-Desember 2012), 212
65

mendirikan pesantren Ampeldenta serta mendidik kandidat-kandidat

penggerak dakwah Islam, sehingga tampillah Sunan Giri, Raden Patah,

Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan Raden Kusen.

Mengawali pengenalan Islam dari budaya otentik nusantara yang

tidak lain anasir agama Kapitayan berupa, pelaksanakan ritus terhadap

ruh dalam manifestasi Tu-ngkub (punden) dan Tu-nda (punden

berundak), memuja kepada To (ruh penjaga) di Tu-k (mata air), Tu-ban

(air terjun), Tu-rumbukan (pohon beringin), ritual daya sakti Tu di wa-

Tu (batu), Tu-gu, Tu-nggul (panji-panji), Tu-lang, serta menyembah

Sang Hyang Taya di Tu-tuk lubang. Selanjutnya, menyambung dengan

budaya Hindu-Budha (Syiwa-Budha) dan kultur agama Islam (tauhid).30

Selanjutnya, ajaran Tantrayana Hindu-Budha dengan tradisi mo-limo

meliputi lima tahapan ritual (Pancamakara), mamsha (daging), matsya

(ikan), madya (minuman keras), maithuna (bersetubuh), mudra (semedi)

yang dikomodifikasi Sunan Ampel menjadi mo-limo tidak melakukan

kegiatan tersebut, moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat,

moh madon.31 Selain itu, Sunan Ampel menggubah upacara shadana itu

dengan kenduri, yaitu selametan berupa dzikir dan sholawat bersama

membentuk formasi lingkaran terpisah antara laki-laki dan perempuan

yang diakhiri makan bersama.

30
Agus Sunyoto, “Eksistensi Islam Nusantara”, dalam MOZAIC: Jurnal Islam Nusantara,
Vo. 2, No. 2 (April 2016), 34
31
Zumrotul Mukaffa, “Sunan Ampel Dan Nilai Etis Islam Nusantara: Dari Tantra-
Bhairawa Kepada Praktik Keagamaan Nir-Kekerasan”, dalam TEOSOFI: Jurnal Tasawuf
dan Pemikiran Islam, Vol. 7, No. 2 (Desember 2017), 434
66

Salah seorang murid Sunan Ampel, yaitu Raden Patah yang

merupakan putra dari raja Majapahait bernama Kertabumi Brawijaya V

dengan seorang putri muslim Cina Siu Ban Ci (putri Dwarawati)

mendirikan kesultanan Demak tahun 1478.32 Kerajaan Demak bukan

kerajaan Islam pertama di Nusantara, tetapi menjadi awal kontribusi

besar penyiaran Islam di Jawa. Bermula dari perkampungan biasa

Gelagahwangi (Bintoro) menjelma menjadi kerajaan Islam Demak

sekaligus pusat Islam di Jawa. Tidak lupa pula Raden Patah

menempatkan para wali di struktur pemerintahan Demak sebagai

penasihat pribadi serta istana. Kawasan kekuasaan Demak sebagian

besar bekas Majapahit meliputi, Trowulan, Daha, Tumapel,

Blambangan, Mataram, Lasem, Wengker, Kahuripan, dan Pajang. Lalu,

dikirimlah para wali oleh Raden Patah menuju tempat-tempat yang telah

disebut untuk menebarkan Islam di hati masing-masing masyarakat.33

Dalam konteks ini Raden Patah menetapkan mekanisme dakwah

islam dengan mendalami karakter masayarakat setempat, sehingga

selama proses menbarkan Islam tidak perlu menggunakan kekerasan.

Maka, mereka memilih sesuatu yang dekat dan berpotensi menarik

masyarakat ialah bidang budaya.34 Dalam rangka mengencangkan

diseminasi Islam para pembesar Demak mentapakan pembangunan

masjid Agung Demak. Pembangunan masjid Agung Demak yang

32
Wawan Susetya, “Senyum Manis Walisongo”, (Yogyakarta: Diva Press, 2010), 239-240
33
Silvia Eka Sari, Hudaidah, “Masa Kepemimpinan Raden Fatah Tahun 1478 - 1518”,
dalam ESTORIA: Journal of Sciences and Humanities, Vol. 2, No. 1 (Oktober 2021), 202
34
Slamet Muljana, “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa Dan Timbulnya Negara-Negara
Islam Nusantara”, (Yogyakarta: LKiS, 2005), 202
67

dimandori oleh Sunan Kalijaga, belum dapat dipastikan warsa

permulaan hingga selesainya, karena banyak perbedaan pendapat dari

berbagai sumber yang cukup kuat. Bahkan terdapat cerita tradisional

yang mengatakan bahwa masjid dibuat oleh para sunan dalam satu

malam.35 Jelasnya masjid tersebut dipergunakan para wali bersama

masyarakat mengadakan studi keagamaan Islam. Hal yang terjadi

berikutnya masjid Agung Demak kian ramai pengunjung dan menjadi

sentral keagamaan sekaligus pemerintahan Demak Bintoro. Lalu,

jabatan sebagai imam pertama masjid Demak dilimpahkan kepada

Sunan Bonang.

Adapun yang terkenal dalam bangunan masjid Agung Demak,

yaitu terdapat soko guru dan Majapahit. Soko merupakan pilar yang

difungsikan untuk menopang masjid, sekalian penentu identitas dan

karakter kultural ataupun menganut gaya joglo.36 Soko guru terletak di

ruang utama masjid yang terdiri dari empat buah pilar kayu jati. Setiap

soko merupakan pemberian dari empat sunan, yakni Sunan Kalijaga,

Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati. Sedangkan, soko

Majapahit memiliki delapan tiang pada serambi masjid guna penyangga

utama atap limas. Terbuat dari kayu yang disertai ukiran khas Majapahit

dan bagian kaki diganjal dengan umpak batu. Selain itu, terpakai

35
Hasna Tuddar Putri, “Pergulatan Mitos Dan Sains Dalam Menetukan Arah Kiblat (Studi
Kasus Pelurusan Arah Kiblat Masjid Agung Demak)”, (Skripsi, Institut Agama Islam Negri
Walisongo Semarang, 2010), 69
36
M. Zaki, “Bab IV Gambaran Masjid Agung Demak”, dalam
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http;//eprints.undip.ac.id/60450
/5/BAB_IV_Gambaran_masjid.pdf&ved, 2017, 68
68

arsitektur turunan Majapahit lain seperti simbol surya Majapahit di

dinding atas mihrab dan atas barisan shaf depan.37 Tidak kalah

menariknya lagi ditemukan dampar kencana yang dimanfaatkan sebagai

mimbar, ternyata artefak kemenangan Raden Patah atas

Grindawardana.38

Sejarawan Bambang Noorsena memberi gambaran dalam

bukunya terkait kejawen dan Islam, serat Wedhatama membagi

terminologi sembahan agar mendapat tahapan sempurna dari sembah

cipta, sembah rasa, dan sembah kalbu menuju istilah tasawuf seperti,

tariqah, haqiqah, ma‟rifah. Pengrefleksian strata ini terlihat dari

peninggalan sejarah. Sebagai bukti mendalamnya kepercayaan Hindu,

Budha, Islam, yang bercampur faktor kejawen. Monumen stupa

Borobudur dan masjid Demak adalah loyalitas punden berundak zaman

megalitikum. Bangunan Borobudur disebut dari bawah, kamadatu,

rupadatu, dan arupadatu sepadan dengan masjid Demak bersusun tiga

menyebutkan, tariqah, haqiqah, dan ma‟rifah. Sedangkan, puncak

pengembaraan ini tergambar pada kubah bagian teratas masjid yang

sekonsep dengan stupa paling atas di Borobudur yang menjadi tempat

keabadian alam Budha (sunya).39

Jika di Hindu-Budha mempunyai bangunan suci bernama candi,

maka di era Islam di sebut masjid. Keduanya sama perannya sebagai

37
Ibid, 78
38
Dampar kencana adalah kursi singgasana raja Majapahit pada abad 15 M yang kemudian
diboyong oleh Raden Patah pasca berhasil merobohkan sisa kekuasaan Majapahit.
39
Bambang Noorsena, “Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman Kristen Dan
Kejawen”, (Yogyakarta: Buku Rohani Andi, 2007), 14-15
69

tempat sembahyang dan keagamaan, apalagi permasjidan di nusantara

turunan dari candi seperti yang disebutkan. Jadi mengalih fungsikan

candi menjadi masjid sebagai proses islamisasi. Masjid era kerajaan-

kerajaan Islam pun dilengkapi oleh komplek pemakaman raja dan

keluarganya, seperti halnya pada masjid Agung Demak.40 Perbedaannya

tidak ada istilah konsep Dewaraja ataupun dicandikan yang mana telah

dianut umat pra-Islam. Si jasad cukup dikuburkan dan diperindah

(kijing) makamnya dengan niat penghormatan. Kemudian, konsep

kosmos difungsikan untuk menetukan arah kiblat dalam masjid. Tetapi,

struktur tingkatan masjid tertinggi ialah Allah Tuhan Yang Maha Esa,

tentu jelas bukan tiruan gunung Meru serta bukan mencapai Sang Dewa.

Tidak hanya meningkatkan jumlah masjid, tetapi juga

mengembangkan istilah lembaga pendidikan meliputi pesantren,

pesulukan, peguro. Sedangkan, masjid, langgar, dan surau memiliki

karakter pendidikan yang terbuka bisa dikatakan serumpunan kajian atau

ceramah rutin. Mengangkat konsep pendidikan Hindu-Budha yaitu

asrama atau dukuh yang diseting sesuai ajaran Islam menjadi pondok

pesantren. Agaknya candi merangkap memerankan tempat pendidikan

keagamaan Hindu-Buda, sebab secara definisi dan praktik menonjolkan

kereligusan. Meneruskan dari percandian yang pembangunannya diatas

tanah perdikan dalam artian tanah bebas pajak, hal serupa sesuai dengan

40
Supratikno Suhardjo, Wiwin Djuwita Ramelan, “Kota Demak Sebagai Bandar Dagang
Di Jalur Sutra”, (Jakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1997), 34
70

kedudukan masjid ataupun pesantren yang berdiri di atas tanah wakaf

bebas dari keterikatan-keterikatan tertentu.41

Kendati demikian, dikembangkan oleh para walisongo menjadi

pendidikan Islam yang dikenal dengan pesantren. Cara kerja pendidikan

kepesantrenan disebut sorogan atau bandongan. Dikala Hindu-Budha

para bhiksu ataupun dewaguru mengajarkan ketauhidan adwayasasthra,

sedangkan Islam memformulasikan tauhid yang dianut para mursyd.

Hindu-Budha memiliki naskah tata krama menuntut ilmu seorang murid

(Gurubukti) bertajuk Silakrama, Tingkahing Wiku, dan Wratisasana,

maka Islam memiliki hal serupa dengan judul Ta’limul Muta’allim karya

Syekh Az-Zarnuji.42 Pokok-pokok istilah Guruakti dalam Silakrama

meliputi tiga guru, yaitu orang tua (guru rupaka), guru yang

mengajarkan pengetahuan rohani (guru pangajyan), dan raja (guru

wisesa).

Selain gagasan Gurubakti, dalam tujuan melaksanakan laku

menuju moksa murid harus mempratikkan ajaran yamabrata, yakni ilmu

pengendalian diri atau hawa nafsu. Masih ada lagi paham Hindu-Budha

yang mirip dengan syariat Islam disebut Satyabrata melingkupi

peraturan halal dan haram makanan minuman untuk seorang wiku yang

sedang mengabdi pada sang guru. Kalau dalam istilah Islam adalah

tirakat. Dari banyaknya tinggalan keragaman Hindu-Budha di selingkup

41
Denys Lombard, “Nusa Jawa Silang Budaya 02: Jaringan Asia”, Terj. Winarsih
Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, Nini Hidayati Yusuf, (Jakarta: Gramedia Pusat,
2005), 131
42
Agus Sunyoto, “Atlas Walisongo”, (Bandung: Media Mizan Utama, 2018), 169
71

aktivitas masa itu, walisongo menanamkan pendidikan kaidah kepada

masyarakat demi menghindari tindak tanduk yang melenceng akibat

tradisi orang Jawa.43

Masjid yang semasyhur dengan masjid Agung Demak tidak lain

adalah masjid Menara Kudus. Kalau masjid Demak dinobatkan sebagai

masjid provinsi kala itu, maka berbeda dengan keberadaan masjid

Kudus yang fokus awalnya memang untuk pengislaman wilayah

setempat. Kudus adalah kadipaten yang masuk dalam wilayah

kekuasaan Demak, sekaligus sebagai sentral walisongo menyebarkan

agama Islam. Konon penganugerahan nama kota Kudus diambil dari

batu atas mihrab masjid Menara Kudus yang berpangkal dari Baitul

Maqdis Yerussalem, Palestina. Menurut cerita dari mulut ke mulut

bahwa batu tersebut dibawa Sunan Kudus dari tempat asalnya. 44

Mulanya masjid Menara Kudus hanyalah langgar ndalem yang lambat

laun jumlah jema‟ahnya melonjak. Lalu, tahun 1549 M didirikan masjid

Menara Kudus atas inisiatif Sunan Kudus. Dibuatlah masjid dengan

nuansa yang dekat dengan kultur masyarakat serupa peribadatan Hindu

Budha.

Memberi padasan atau tempat wudhu berjumlah delapan masing-

masing dilengkapi aksesoris arca kepala kebo pada halaman masjid. Hal

tersebut bersandingan dengan ajaran Budha Asta Sanghika Marga

43
Zulham Farobi, “Sejarah Walisongo: Perjalanan Penyebaran Islam Di Nusantara”,
(Yogyakarta: Mueeza, 2018), 14
44
Mas‟udi, “Genealogi Walisongo: Humanisasi Strategi Dakwah Sunan Kudus”, dalam
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Islam, Vol. 8, No. 2 (Agustus 2018), 232-233
72

delapan jalan keutamaan Budha meliputi, pengetahuan yang benar,

keputusan yang benar, perkataan yang benar, perbuatan yang benar,

pekerjaan yang benar, usaha yang benar, meditasi yang benar, dan

kontemplasi yang benar. Sementara posisi masjid utama Al-Manar

berdampingan dengan menara kudus.45

Pada atap menara kudus terselip ruangan yang diskong enam

belas tiang dan dibawahnya sebagai letak menggantungkan bedug serta

dua kentongan. Kemudian, badan menara dibentuk menyerupai candi

disertai relung-relung yang memang sengaja dikosongkan, hanya

tersedia tangga kayu yang mengantarkan ke atap menara. Secara

keseluruhan konstruksi ini menyerupai candi Jago, keseragaman

dekorasi tumpul sebagian terdapat pada formasi tangga di Menara

Kudus dan Candi Jago.46 namun menara ini bukan untuk pemakaman

atau pemujaan melainkan mengumandangkan adzan. Tidak kalah

dengan Candi Jago, gaya arsitektur Candi Bentar juga diapilkasikan

pada gapura depan masjid untuk pagar halaman. Selanjutnya, relief fabel

berwujud dua binatang saling berhadapan yang berasal dari Singoshari

atau Surawana dipahatkan pula pada gapura menuju makam Sunan

Kudus untuk hiasan. Keberadaan gapura lain di dalam masjid bernama

Kaori Agung atau Lawang Kembar pun mengangkat gaya Candi Bentar.

45
Maslihatuz Zahroh, “Masjid Menara Kudus: Eksperesi Multikulturalisme Sunan Kudus
(Studi Kasus Kehidupan Toleransi Masyarakat Kudus)”, (Skripsi, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), 62
46
Moh. Rosyd, “Menara Masjid Al-Aqsha Kudus: Antara Situs Hindu atau Islam”, dalam
Purbawidya Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi, Vol. 8, No. 1 (Juni 2019), 21
73

Masih digolongan satu turunan dengan praduraksa masjid

Sendang Duwur Lamongan yang diketahu telah menangkring di atas

bukit gunung Amitunon sejak 1561 M atas i‟tikad Sunan Sendang

Duwur. Gapura pradaruksa digunakan untuk pembatas berikut gerbang

masuk ke setiap area kompleks masjid. Komplit beserta hiasannya

meliputi, sayap garudeya menjelaskan kebaktian terhadap orang tua dan

pembebasan perbudakan, motif kalpataru yang diislamkan sehingga

dikenal pohon syajarotul khuldi dimaknai mampu mengabulkan semua

keinginan, motif burung merak, motif kala-makara dengan makara

dibuat dalam wujud buaya dan diartikan keselamatan, motif ular naga

lambang kesaktian, kekuasaan, perlindungan, dan kesejahteraan, dan

motif alam berupa sulur-suluran.47 Sebagai tambahan informasi datang

dari cucu Sunan Giri yaitu Sunan Prapen yang membuat mimbar dalm

Masjid Ainul Yaqin Sunan Giri. Masjidnya dibangun oleh sang kakek,

sedangkan mimbarnya dibuat Sunan Prapen untuk berkutbah. Uniknya

mimbar ini didekorasi hiasan yang menyerupai relief candi. Salah

satunya, kala yang disusun atas motif sulur-suluran sehingga

membentuk karakter tersebut.48

47
Rachma Fairuza Rizki Fitri, “Simbol Bangunan Pada Komplek Gapura, Masjid Dan
Makam Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur”,
(Skripsi, Universitas Airlangga, Surabaya, 2018), 7-8
48
Rizal Wahyu Bagas Pradana, “Ragam Bentuk Ragam Hias Pada Mimbar Sunan Prapen”,
dalam TANRA Jurnal Desain Komunikasi Visual, Vol. 8, No. 1 (April 2021), 45
74

Kesenian wayang ternyata dikembangkan juga oleh Sultan

Hadiwijaya atau Jaka Tingkir raja kerajaan Pajang.49 Kerajaan Pajang

merupakan lanjutan dari kerajaan Demak, sebab masih dalam satu ikatan

darah. Alih-alih Jaka Tingkir tidak lain adalah murid Sunan Kalijaga,

oleh karena itu tidak heran bilamana ia juga menggandrungi seni.

Wayang yang dimunculkan raja Jaka Tingkir bersama seniman Pajang

dijuluki wayang kidang kencana, model ukurannya lebih kecil dari

wayang selazimnya.50 Drama wayang yang diambil dari kisah Ramayana

diolah menjadi keislaman, menyampaikan pesan moral kebijaksanaan,

bermusyawarah, dan kesabaran.51 Meski istilah wayang Kidang Kencana

ramai di masa kerajaan Pajang, dia turunan dari kerajaan Demak yang

hingga nanti dipakai oleh kerajaan Mataram Islam. Ramainya

pewayangan kidang kencana berlangsung bersama masa pemerintahan

Jaka Tingkir di Pajang tahun 1578.

Kemudian, adapun masjid yang dibangun periode kerajaan

Mataram Islam, masa Panembahan Senopati bernama Kotagede tahun

1587 M yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Landscape masjid

membentuk praduraksa terdiri dari masjid dan makam yang dipisahkan

oleh aling-aling (rana), sejenis pintu gerbang di Bali. Halaman masjid

49
De Graaf, H.J., TH. Pigeaud, “Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa Peralihan Dari
Majapahit Ke Mataram”, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), 115
50
Chinanti Safa Camila, Hudaidah, “Sejarah Kesultanan Pajang Masa Pemerintahan
Hadiwijaya (154-1582)”, dalam Sindang Jurnal Pendidikan Sejarah Dan Kajian Sejarah,
Vol. 4, No. 1 (Januari – Juli 2022), 63
51
Sri Windarti Susiani, “Nilai-Nilai Moral Dalam Cerita Ramayana Karya Sunardi D.M.:
Analisis Tokoh, Penokohan, Alur, Latar Dan Tema Dan Relavansinya Sebagai Bahan
Pembelajaran Sastra Untuk SMA Kelas X”, (Skripsi, Universitas Sanatha Dharma, 2005),
75
75

juga diisi oleh tugu yang disusun membentuk candi dari batu bata.

Tubuh tugu dipercantik oleh goresan bintang bersudut sembilan, lis

mahkotanya dihias dengan anfelix terbalik berbentuk ikal.52 Kemudian,

di atas atap tingkat sembilan ditemukan dua mahkota yang puncaknya

membentuk kubus dan pigura berisi prasasti. Lalu, di atasnya kubus lagi

terdapat lis mahkota dan puncaknya di perindah dengan ornamen

mahkota raja Mataram.

Sesuatu yang menarik datang dari taktik Sunan Giri dalam

mentransfer pengetahuan keislaman. Bukan sekedar memajukan wadah

pendidikan, tetapi juga sistem pendidikan. Dialanisir beliau menciptakan

tembang Jawa bersyair amanah rohani serta permainan anak-anak, jadi

menghasilkan target lebih memuaskan.53 Pigeaud menerangkan

terjadinya pergerakan kesenian Jawa Islam di abad XVI M yang dibawa

oleh walisongo, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Giri, dan Sunan Kudus.

Diantaranya tembang Jawa, suluk-suluk, nyanian mistis, dan

pewayangan. Lalu, memasuki abad XVII – XVIII M metode ini terkenal

dengan istilah tabligh. Sunan Giri yang diduga pereka cipta wayang

gedog yang subjektif dalam kisah-kisah panji, Sunan Kudus dianggap

penemu wayang golek yang penggunaan utamanya menceritakan kisah

Menak atau Amir Hamzah.

Sunan Kalijaga telah populer memerankan dalang sebagai salah

satu jurus jitunya menaburkan warna Islam di tanah Jawa. Karena,

52
Djoko Soekiman, “Kotagede”, (Jakarta: Media Kebudayaan, 1992/1993), 40
53
Ibid, 221
76

beliau sering berkeliling sembari menggelar pementasan wayang di Jawa

ia mendapat banyak nama panggung, misalnya Ki Dalang Sida Brangti

(Pajajaran), Ki Dalang Bengkok (Tegal) sebagai dalang Barongan, Ki

Dalang Kumendung (Purbalingga) sebagai dalang Topeng, sedangkan di

wilayah Majapahit dipanggil Ki Dalang Unehan.54 Rupanya sapaan itu

dijadikan alibi Sunan Kalijaga ketika dakwah untuk menyembunyikan

kemakrifatan yang dimiliki. Briliannya bagi masyarakat yang tertarik

menonton tanggapan wayang, Sunan Kalijaga tidak memungut bayaran

uang melainkan dua kalimat syahadat.

Wayang-wayang yang diambil alih para sunan diperoleh dari

jejak Hindu-Budha yang diabadikan dalam penokohan relief candi.

Sejak dahulu wayang bukanlah sekedar pertunjukan intermezo tetapi,

berisfat merangsang jiwa. Jadi, wayang tidak semata-mata mengidap

nilai seni ataupun hiburan, juga unsur-unsur pengetahuan, pendidikan,

filsafat, dan agama.55 Figur wayang era Hindu-Budha diukir guna hiasan

candi tentu mengandung amanah, seperti di dinding candi-candi yang

mengisahkan Mahabarata dan Ramayana.56 Kemudian, wayang era itu

dipertunjukkan saat ada perayaan atau upacara di istana. Sudah sejak

dahulu pagelaran wayang diiringi gamelan laras slendro. Demi

54
Teguh Fajar Budiman, “Konsep Ajaran Sunan Kalijaga (Raden Syahud Walisongo
Dalam Menyebarkan Agama Islam Melalui Kesenian)”, dalam Tsaqofah Jurnal Sejarah
dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 2 (Desember 2020), 67
55
I Dewa Alit Dwija Putra, “Menelusuri Jejak Rupa Wayang Klasik Bali”, dalam Jurnal
RUPA, Vol. 3, No. 4 (Desember 2018), 138
56
Sukirno, “Hubungan Wayang Kulit Dan Kehidupan Sosial Masyarakat Jawa”, dalam
BRIKOLASE Jurnal Kajian Teori, Praktik, Dan Wacana Seni Budaya Rupa, Vol. 1, No. 1
(Juli 2009), 21
77

menghindari suatu kemusyrikan Sunan Kalijaga beserta wali yang lain

merombak penggambaran wayang supaya sejalan dengan syari‟at Islam.

Bilamana tokoh wayang di relief candi dilukis dalam dalam

bentuk manusia menghadap depan diubah menghadap samping, meski

wujud baru era walisongo kurang proposional tetap laku keras dimata

rakyat. Kemudian, wayang yang memanifestasi gunung berasal dari

ukiran pohon Kalpataru lambang kehidupan diberi titel kayon. Kalau

pohon Kalpataru era Hindu-Budha dimakanai sumber kehidupan, maka

di masa Islam diganti arti simbol kubah masjid dan sekiranya

dijungkirkan membentuk hati atau jantung.57 Sehingga, filsafah Islam

menyatakan kehidupan orang muslim, hatinya terus menuju masjid.

Berdasarkan sengkalan yang disematkan oleh Sunan Kalijaga dalam

rupa api menyala di balik kayon, wayang ini dibuat tahun 1443 “geni

dadi sucining jagad”. Hikayat pewayangan lain Sunan Kalijaga adalah

Pandawa yang dikaitkan dengan kalimasada terdiri dari lima lakon

beridentitas, Puntadewa (syahadat), Bima (sholat), Arjuna (puasa),

Sadewa (zakat), dan Nakula (haji). Selain itu, punakawan Semar,

Bagong, Pethruk, Gareng juga dimunculkan oleh Raden Sahid. Diantara

berbagai wayang diatas terdapat lelakon asli dari epos Mahabarata dan

Ramayana yang selepas itu dikembangkan dalam versi Islam oleh Sunan

Kalijaga, yakni riwayat Dewa Ruci.

57
Muh Nurul Huda, Kundharu Saddhono, “Wayang Purwa Gagrag Banyumas Dan Peran
Wali”, dalam IBDA’ Jurnal Kebudayaan Islam, Vol. 15, No. 1 (Mei 2017), 139
78

Relief tidak sekedar melukiskan penokohan yang dikembangkan

menjadi figur pewayangan, ukiran instrumen yang mengiringi pun

diekspresikan di atas panel candi misalnya gamelan pada dinding candi

Penataran.58 Bersyiar melalui kesenian juga ditempuh oleh Sunan

Bonang memakai alat gamelan. Sebenarnya, Sunan Kalaijaga mengikuti

jejak Sunan Bonang yang merupakan guru spiritual. Bahkan Bonang

masuk kategori salah satu alat musik berbentuk bulat dan terdapat

tonjolan ditengah, serta biasa terbuat dari kuningan. Secara keseluruhan

menyerupai gong.59 Sunan Bonang pun berpartisipasi menuntaskan

susunan gamelan dan memodifikasi irama lagu. Dari sinilah dikenal

gamelan Bonang sekaligus representasi dakwah Sunan Bonang.60 Sunan

Bonang memainkan gamelannya di masjid hingga para pendengar

berbondong bondong mendekatinya, bila dirasa para penikmat sudah

banyak terkumpul beliau menjelaskan tembang-tembang yang

dimainkannya.61 Salah satu tembang yang sangat terkenal bertajuk

Tombo Ati.

Berikutnya relief turut serta mempengaruhi tembang-tembang era

peradaban Islam. Sebelum itu, filolog asal Belanda Jan Laurens Andries

Brandes menghasilkan sebuah teori bernama Brandes Tien Punten atau

58
I Nyoman Mariyana, I Gede Arya Sugiarta, dkk, “Gamelan Gambang Kwanji Sempidi
Kajian Sejarah, Musikalitas, Dan, Fungsi”, dalam Kalangwan Jurnal Seni Pertunjukan,
Vol. 5, No. 2 (Desember 2019), 123
59
Ibid, 249
60
Jauharotina Afhadilah, “Interpretasi Konsep Tuhan”, dalam Islamika Inside Jurnal
Keislaman Dan Humaniora, Vol. 4, No. 2 (2018), 13
61
Elvin Naimatul Khafidoh, “Studi Komparatif Pendidikan Islam Dalam Tembang Lir-Ilir
Karya Sunan Kalijaga Dan Tembang Tombo Ati Karya Sunan Bonang”, (Skripsi, Institut
Agama Islam Negeri Ponorogo, 2021), 530
79

Brandes Ten Poin yang mengungkap sepuluh elemen budaya asli

Indonesia, wayang, gamelan, tembang (metrum) masuk dalam kategori

tersebut. Hal tersebut kerap kali muncul di relief candi Prambanan yang

berkarakter naturalistik, dinamis, berkepahlawanan dan dipahat

bersamaan budaya asli.62 Maka, dari epos Mahabarata dan Ramayana

berkembang secara melokal melahirkan kakawin (Jawa Kuno), menjadi

Kidung (Majapahit), dan tersusupi Islam sehingga menciptakan Suluk,

Niti, dan Macapat (Demak, Pajang, Mataram). Masa Islam inilah

tembang – tembang ini banyak mengalami gubahan demi tercapainya

tujuan yang bahari. Syair-syairnya diubah sesuai dengan pendidikan

agama Islam, Sunan Giri membarui tembang Asmaradhana, Pucung,

Lir-Ilir, Sunan Kudus mengoreksi tembang Maskumambang dan Mijil,

Sunan Drajat merombak tembang Pangkur, Sunan Muria memperbaiki

tembang Sinom dan Kinanthi.63

Secara tidak langsung perubahan serupa juga terjadi pada Candi

Ngetos. Masjid Ngetos dibangun di atas tanah dan struktur bekas

bangunan lama tinggalan masa Majapahit yang jaraknya hanya 30 meter

dari Candi Ngetos. Masjid Ngetos tidak terlalu jauh seperti masjid-

masjid era wali songo yang bangunannya di tempat tinggi dan ada

tinggalan dari masa Majapahit seperti Masjid Giri Kedaton. Di Desa

Ngetos sendiri untuk merujuk bangunan makam kuno seperti halnya

62
Mufti Riyani, “Local Genius Masyarakat Jawa Kuno Dalam Relief Candi Prambanan”,
dalam SEUNEUBOK Lada Jurnal Ilmu-Ilmu Sejarah, Sosial, Budaya, Dan Kependidikan,
Vol. 2, No. 1 (Januari – Juni 2015), 9 0
63
Asmaun Sahlan, Mulyono, “Pengaruh Islam Terhadap Perkembangan Budaya Jawa:
Tembang Macapat”, dalam El Harakah Jurnal Budaya Islam, Vol. 14, No. 1 (2012), 111
80

pemakaman orang yang berjasa maupun alim ulama, tidak lepas dari

bentuk bangunan suci kuno yang komposisinya besar dan tinggi.

Formasi ini tidak jauh dari budaya arsitektur yang bertujuan untuk

menghormati tokoh tersebut. Salah satu makam yang ada di Desa

Ngetos yaitu Syekh Malik Al-Atos, Mpu Suponyo, Siti Kotijah.

Kontruksi makam tersebut sebagai wujud penghormatan sebagai tokoh

desa dan menghargai jasa beliau. Tidak jauh dari kompleks makam-

makam para penyebar agama Islam, sekarang terdapat Taman

Pendidikan Al-Qur‟an atau dikenal singkatnya TPA/TPQ. Kebudayaan

terus berjalan bersama peradaban-peradaban yang silih berganti.

Kegiatan Sraddha era Islam berganti nama menjadi nyadran ata

usulan Sunan Kalijaga64 dan berkembang dengan wajah baru hingga

kini, seperti yang terjadi masyarakat Ngetos. Pelaksanaan nyadran

dalam kalender Jawa dilakukan pada bulan Suro, dengan kegiatan

nyekar ke makam arwah leluhur desa untuk di do‟akan. Biasanya

perwakilan setiap kepala rumah tangga datang bersama rombongan

warga ke makam leluhur atau didekat candi untuk mendo‟akan atau

tahlilan selama satu minggu.65 Perayaan nyadran dilakukan selama satu

bulan Suro penuh dengan akhir acara pesta pertunjukan dan makan –

makan di desa.

64
Laila Wrgiati, “Berubahnya Upacara Sraddha Dalam Agama Hindu Menjadi Nyadran
Dalam Tradisi Islam Di Sedati Sidoharjo”, (Skripsi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2022),
66
65
Wawancara Bapak Aris di Desa Ngetos pada tanggal 25 Februari 2022
81

C. Makna Candi Ngetos Masa Kolonial

Sejenis fenomena terdeteksi aktivitasnya abad 18 M sekelompok

petani beserta pemimpin mereka petapa yang mendiami gua suci di

pegunungan. Retentan kebutuhan ritual Hindu melengkapi keseharian

mereka, sebagai bukti masih hidup tradisi Jawa kuno. Selanjutnya,

keterangan dari tawarikh-tawarikh tentang kekukuhan keyakinan Hindu

Budha di hati bangsawan maupun rakyat biasa abad itu. 66 Meskipun,

tradisi asli perlahan terkikis oleh pemahaman baru sebut saja Islam hal

itu tidak meniadakan rupa otentiknya. Seperti candi dimana

pemahamannya saja yang diperbarui, tetapi tidak struktur pakemnya.

Karena, inilah sejak Islam menembus jawa beserta jiwa penghuninya

kontruksi percandian terbengkalai dan tidak terawat.

Nasib percandian telah terabaikan ditambah hantaman pergolakan

alam semakin menenggalamkan bodinya dari permukaan. Ujarlah

bencana alam yang menggauli transmutasi wajah nusantara. Bencana

alam menjadi suatu afair jauh sebelum modern dikenal, sebab telah

tertulis dalam serat Pararaton dan Negarakertagama. Cahyono

membeberkan risalah Pararaton mengenai letusan gunung67: tahun 1233

Saka (1311 M), gemuruh lahar dingin (guntur banyu pindah) 1256 Saka

(1334 M), munculnya Gunung Anyar baru 1307 Saka (1385 M), gunung

meletus 1317 Saka (1395 M), gunung meletus 1343 Saka (1421 M),

66
Bernard H.M. Vlekke, “Nusantara Sejarah Indonesia”, Terj. Samsudin Berlian, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), 253
67
Amien Widodo, “Sejarah Bencana Jawa Timur”, https://www.its.ac.id, 2-3, Oktober
2021
82

disusul 1348 Saka (1426 M), gempa bumi (palindu) 1372 Saka (1450

M), disusul gunung meletus satu tahun kemudian 1373 Saka (1451 M),

gunung meletus 1384 Saka (1462 M), gunung lainnya meletus 1403

Saka (1481 M). Sedang, dari Negarakertagama

..pada tahun Saka musim-memanahsurya (1256= 1334 M) disebutkan


pada hari kelahirannya baginda telah dinobatkan menjadi raja//sejak
dalam kandungan di Kahuripan telah ada tanda – tanda baginda orang
luar biasa//gempa, bumi berguncang, hujan debu, gemuruh, halilintar,
kilat bersambungan di langit//gemuruh suara Gunung Kampud runtuh
membinasakan orang jahat dan bajingan, yang mati tanpa ampun..

Selanjutnya, insiden bersambung di tahun 1548, 1586, 1641,

1716,1752, 1771, 1776, dan 1785. Raffles ikut serta menyebutkan aksi

letusan Gunung Kelud dalam buku fenomenalnya History of Java

tanggal 5 Juni 1811, 1825, 1826. Diperinci lagi pada tahun 1826

tepatnya tanggal 11, 14, 18, dan 25 Oktober terjadi letusan. Sejarah tidak

hanya mencatat gempa dan gunung meletus, tetapi bencana lain seperti

tsunami dimana ketiganya saling terhubung. Bukan sesuatu yang asing

pertsunamian di Indonesia, karena tergolong negara maritim dan kaya

gunung berapi. Berpatok dalam draf sejarah terhitung sedari tahun 1600

hingga 2007 Indonesia telah mengalami tsunami besar yang 90%

berpangkal pada getaran dahsyat dari laut, 9% gunung meletus, dan 1%

tanah longsor.68 Letusan Gunung Tambora (1815) dan Krakatau (1883)

di Indonesia masuk nominasi peristiwa terbesar yang berdampak pada

iklim di dunia.

68
Mohd. Robi Amri, Gita Yulianti, Ridwan Yunus, dkk, “RBI Risiko Bencana Indonesia”,
(Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2016), 62
83

Implikasi runtutan bencana alam dengan percandian tentu jelas

sekali. Mengingat kembali sekawanan monumen tersebut dibangun

selingkungan dengan pegunungan, maka ketika gunung memuntahkan

isi perutnya menyumbangkan dampak yang efektif. Hal ini tidak

menutup kemungkinan mereka terselimuti abu pekat vulkanik, teraliri

lahar, dan terhujani kerikil. Sebelum serumpunan bangunan itu

menerima serangan gunung berapi, mereka telah terpengaruhi faktor

alam panas, hujan, dan angin yang mampu menggotong debu-debu

menghiasi perawakannya. Kemudian, diperkuat adanya kandungan abu

vulkanik yang dapat mempercepat pertumbuhan tanaman. Sehingga,

tidak heran apabila para penjajah mendapati candi dalam kondisi

memprihatinkan dipadati tanaman liar. Seluruh gangguan itu pun bisa

menjadi alasan banyaknya anggota candi yang rusak atau hilang.

Barangkali juga keberadaan candi yang hingga kini belum dijumpai

berdasarkan keterangan kakawin leluhur, terlebih dahulu ditelan alam.

Memasuki era kolonial yang melimpah dengan keruwetan politik,

pendobrakan kesatuan Jawa bahkan nusantara, tidak tertinggal

peperangan yang bertahap menerus. Kemudian, bilamana dihubungkan

dengan gamblangnya kebudayaan yang telah menetap lebih dini

daripada koloni kabarnya mereka kurang baik. Anthony Day ahli budaya

asli Australia menggambarkan perihal bidangnya pasca peristiwa giyanti

di Jawa, bahwa perang stabil berlangsung pasca itu dengan versi “perang
84

budaya” antar keduanya.69 Susulan peristiwa setelah itu ialah muncul

dua anak kesultanan Pakualaman dan Mangkunegara, sehingga empat

istana yang berdiri meliputi kasunan Surakarta, Yogyakarta,

Mangkunegara, Pakualaman.

Sebelum pembahasan temuan – temuan para koloni, perlu

mengetahui terlebih dahulu istilah Tarekat Mason Bebas, adalah gagasan

pikiran yang muncul dari Eropa Barat Abad XVIII, lalu digiring ke

Hindia Belanda. De Visser Smits mengungkapkan tujuan dari himpunan

Tarekat Mason Bebas “..menjalin persahabatan yang erat antara orang-

orang yang dipisahkan antara satu sama lain oleh ras, agama, lembaga,

gereja, dan politik supaya dapat menghubungan semua masyarakat..”

Jadi, mereka mengkaji sejarah penduduk Indonesia meliputi budaya,

seni, etnografi, ekonomi, agama, ras, dan lainnya. Sebelum

pembentukan Tarekat Mason Bebas di Jawa, telah ada tindakan dari

peneliti berkebangsaan Eropa, yaitu Coyyet yang memboyong sebagian

arca Jawa Tengah untuk diteliti sekaligus menjadi pajangan wismanya di

Batavia tahun 1733. Dalam tahun yang sama Candi Prambanan berhasil

ditemukan oleh Lons.

Radermacher adalah pelopor Tarekat Mason Bebas di Jawa

sekaligus pendiri Perhimpunan Batavia (Bataviaasch Genoostchap van

Kunsten en Watenschappen) untuk kesenian dan ilmu pengetahuan

69
Ibid, 64
85

ditahun 1778 M tanggal 24 Oktober.70 Selain Radermacher anggota

tarekat diisi oleh petinggi-petinggi VOC dan bahkan nantinya orang-

orang Indonesia menjadi bagian dari perkumpulan itu. Namun secara

umum pengikut tarekat ini berada diseluruh belahan dunia yang

bermaksud menuntut kesejajaran merata. Kelompok inilah menjadi

pemicu para pegiat lebih gencar menelisiri tanah Hindia terutama Jawa.

Kemudian, diabadikan dalam bangunan museum yang sampai saat ini

masih berdiri kokoh dengan sebutan Museum Nasional Indonesia,

sekaligus menjadi cikal bakal permuseuman Indonesia.71 Sampai

memasuki babak pasca perang dunia I, kampanye permuseuman

Indonesia sehingga melahirkan anak-anak museum di berbagai provinsi,

Senibudoyo Yogyakarta, Radyopustoko Surakarta, Museum Denpasar di

Bali, Museum Kota Raja, Bukit Tinggi, Palembang, Pagaralam di

Sumatra, Museum Makasar dan Sulawesi Selatan.

Kemudian, kondisi mereka mulai berubah saat pecahnya perang

Inggris ke empat di akhir abad XVIII. Saat itu Hindia Belanda di bawah

kungkungan Herman Willem Daendels yang merupakan salah satu

anggota Tarekat Mason Bebas. Belanda Daendels adalah sekutu Prancis,

sedangkan musuh perang Inggris tahun 1811 tidak lain ialah Prancis.

Selanjutnya, hasil akhir dimenangkan oleh pihak Inggris, sehingga hal

itu menjadi alasan Inggris mengusir Belanda di Indonesia serta menjadi

70
Th. Stevens, “Tarekat Mason Bebas Dan Masyarakat di Hindia Belanda Dan Indonesia
1764-1962”, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), Hlm, 94
71
Endang Sri Hardiati, Nunus Supardi, Trigangga, dkk, “Potret Museum Nasional
Indonesia Dulu, Kini, & Akan Datang”, (Jakarta: Museum Nasional, 2014)
86

pembubaran VOC kala itu. Belanda dan VOC bangkrut bermula dari

pejabat korupsi disamping itu pengeluaran untuk keperluan perang dan

dampaknya setelah perang luar biasa. Semua aset VOC dan Belanda di

Batavia diambil alih oleh Inggris, disinilah Raffles mulai memasuki

perannya.

Gubernur Jendral India Gilbert Elliot atau Lord Minto berstatus

humanitarianisme berlayar memasuki, lalu tanggal 3 Agustus 1811

mereka berhasil mencapai tanah Batavia dibawah kepemimpinan

Gubernur Jendral Hindia Belanda Jan Willem Janssens. Setelah

melakukan perlawanan dari pihak Belanda demi mempertahankan Jawa,

akhirnya kaum Britania menang dengan ditandai serah terima Jawa dari

Belanda kepada Britania di Semarang pada tahun yang sama. Salah satu

pasukan pilihan Lord Minto adalah Thomas Stamford Raffles, ia terpilih

berdasarkan penilaian Lord Minto dari aspek ketertarikan terhadap

budaya, adat istiadat, sejarah, dan Bahasa-bahasa di Indonesia tentunya

diiringi perasaan humaniter tinggi. Selepas penaklukan Semarang Lord

Minto menjadi Letnan Gubernur Jendral Jawa sementara, sebelum dia

kembali ke Kalkuta dan mengalihkan jabatannya kepada Raffles.72

Secara kondisi, sepenuhnya Indonesia di bawah pengawasan India

Timur dan Inggris serta terbagi menjadi empat fraksi administratif

pemerintah, yaitu Maluku, Jawa, Bengkulu, dan Malaka. Dalam cakupan

tahun yang sama 1811 Raffles diangkat menjadi Gubernur Jendral Jawa

72
Ibid, 292
87

saat Lord Minto akan meninggalkan Jawa. Kemudian, disusul tahun

1813 Thomas Stamford Raffles memasukkan diri dalam perkumpulan

Tarekat Mason Bebas dan dilantik oleh Wakil Suhu Agung tarekat masa

itu bernama Nicolass Engelhard. Raffles menjabat sebagai ahli (gezel),

lalu dalam jangka satu bulan naik pangkat menjadi suhu (master)

dimana persemian tersebut berlangsung di loge De Vriendschap

Surabaya.73 Pengertian jelasnya hubungan antara Tarekat Mason Bebas

dengan Perhimpunan Batavia adalah perkumpulan tarekat ini berisikan

orang-orang cendikiawan yang membangun Perhimpunan Batavia dan

peran himpunan itu sebagai wadah dari hasil kerja mereka yang

manfaatnya akan disinggung dalam pembahasan berikutnya.

Masa kepemimpinan Raffles di Jawa tidak berlangsung lama,

namun kebijakan-kebijakan dia berhasil memperbaiki kondisi

masyarakat Jawa. Salah satu kewenangan Raffles, yaitu mengganti

sistem tanam paksa dengan penyewaan tanah yang tidak terlalu

memberikan impac buruk kepada pribumi. Sebelum bertemu Lord Minto

dan berlabuh di Hindia Belanda dia tengah berkarir di London sejak

1805 selaku agen perusahaan Pulau Penang. Raffles juga merintis

pendalaman ilmu atas adat istiadat, bahasa, sejarah Melayu seraya

menjalin pertemanan dengan William Marsden penulis History Of

Sumatra dan Dr, Leyden. Ternyata memang dasaran Raffles meminati

sesuatu yang eksotis. Ketika Raffles menahkodai Jawa dalam waktu


73
Loge adalah gedung perkumpulan para Tarekat Mason Bebas. Loge pertama yang
dibangun oleh Radermacher adalah La Choisie tahun 1764 di Batavia, kemudian disusul
Loge baru La Verteusue atau Yellow Lodge tahun 1768.
88

yang cukup singkat dari biasanya, dia sanggup membangkitkan kembali

Perhimpunan Batavia setelah sekian lama terhenti yang penyebab

utamanya ditinggal Radermacher pulang ke Belanda. Loge atau loji itu

kelak diperdaya Raffles sebagai tempat penyimpanan temuan-

temuannya.

Tatkala Raffles di Jawa dia memecah Jawa menjadi delapan belas

karisidenan yang dipimpin kepala residen dan wakil residen, yaitu:

Banten, Banyumas, Besuki, Bogor, Cirebon, Jakarta, Karawang, Kediri,

Kedu, Madiun, Madura, Pati, Priangan, Rembang, Semarang, dan

Surakata.74 Selanjutnya, dia mengirimkan pasukan ke bagian-bagian

wilayah Jawa dalam misi memprakasai seluruh pulau Jawa termasuk

menaklukan sisa kerajaan Yogyakarta dan Surakarta. Rencana awal

Raffles bersama pasukan memilih jalan diplomasi, namun Sultan

Hamengkubuwono I dan Sultan Pakubuwono IV bersekongkol

menghambat Raffles. Melalui ekspedisi ini Raffles menemukan harta

karun sebuah peradaban besar pada masa dahulu di tanah Jawa.

Perihal penemuan pertama kali candi selepas dianggurkan

bertahun-tahun sulit ditentukan, karena berbagai kondisi dan terpenting

waktu atau masa yang terpaut lama. Sehingga para peneliti menyatakan

berdasarkan apa yang telah disiratkan para pendahulu, yaitu Raffles.

Nama lengkap Thomas Stamford Raffles kian megah tatkala

74
Septiana Ardhian Wahyuningtyas, “Masa Pemerintahan Raffles di Indonesia Pada
1811”,
https://www.academia.edu/44932447/MASA_PEMERINTAHAN_RAFFLES_DI_INDON
ESIA_PADA_1811, (2021)
89

keberuntungan berteman baik dengannya dalam menemukan candi

beserta pernak pernik lainnya di Indonesia. Rekaman hiruk pikuk Jawa

diabadikan oleh Raffles dalam bukunya yang bertajuk History of Java,

dia juga menguraikan perlakuannya terhadap candi-candi yang

ditemukan. Mengawali dari candi Prambanan dalam uraian buku Raffles

ditemu oleh kolonel Belanda tahun 1797. Hal tersebut berbanding

terbalik dengan keterangan dari VOC Belanda, bahwa Lons menemukan

Prambanan tahun 1733.

Kesaksian Lons sangat samar-samar, apakah itu candi Loro

Jonggrang atau candi lain disekelilingnya mungkin bisa jadi candi Sewu.

Karena, Lons sekedar mengistilahkan “kuil-kuil Brahmana” serta

penyebutan sedikit panjangnya “kuil-kuil itu terlihat lebih mirip gunung

daripada candi”. Ketika diterjemahkan lebih dalam muncul penyataan

“para penjaga pintu yang bengis” sinkron dengan ciri candi Prambanan

mempunyai dvarapala sebagai penunggu gapura.75 Kemudian, deskripsi

arca menurut Lons berada di dalam tiga bilik meliput, arca Durga

Mahisasuramardini, Ganesha, dan Yoni.

Tahun 1805 M rupa Prambanan digambarkan H.C. Cornelius,

disini dia lebih menonjolkan pemetaan komplek Loro Jonggrang yang

ditemani candi Sewu dan candi Kalasan sekaligus perencanaan

pemugaran dengan meninjau kondisi lokasi. Perolehan Cornelius lantas

dirujuk oleh Colin Mckenzie dan G. Baker dalam rangka pengkajian

75
J.G. De Casparis, “Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from The 7 th To 9th
Century”, (Bandung: Masa Baru, 1956), 3222
90

ulang dibawah titah Raffles tahun 1812. Selanjutnya, laporan tersebut

diberikan kepadan John Crawfurd untuk ditindak lanjuti. Hal menarik

terjadi ditahun 1812 John Crawfurd mengundang sultan

Hamengkubuwono III meniliki Candi Prambanan. Maka datanglah si

sultan bersama rombongannya di area percandian, kemudian mereka

beristirahat di padepokan sekitar candi. Selepas itu, rombongan tersebut

langsung ke lokasi mengamati arca Durga yang besar. Sehingga, sultan

Hamengkubuwono III menitahkan sang paman pangeran Kusumoyudo

untuk membuat sketsa patung tersebut saat itu juga. Berlanjutlah

perjalanan itu menuju candi Sewu dan sesaat berhenti lagi di

pesanggrahan sembari melihat hasil gambaran patung Loro Jonggrang.

Rupanya sultan Hamengkubuwono III kurang puas, sebab masih banyak

arca, relief, dan sisi bangunan yang hampir hancur bila belum

digambarkan. Karena, dirasa tugas paman sultan semakin banyak dia

memutuskan tinggal satu lingkup dengan si candi. Pangeran

Kusumoyudo ditemani asistennya bernama Adiwarno, sementara itu ia

juga berinisiatif menyusun babad.76

Penelitian akurat dari Colin Mckenzie dan G. Baker diuraikan

oleh Raffles yang dibantu Crawfurd. Bahwa “candi Prambanan terpadati

pohon-pohon dan semak belukar sehingga tidak terjngkau dalam jarak

jauh. Dalam satu area didapat dua bangunan besar yang disebut reca atau

penjaga dengan kondisi satunya pecah menjadi dua dengan lebar kurang

76
Shinta Dwi Prasasti, “Candi Prambanan Di Abad Ke 19”,
https://bpcbdiy.kemdikbud.go.id/berita-candi-prambanan-abad-ke-19, (18 April 2022)
91

lebih tiga kaki dan tinggi 13,5 inci. Sekujur tubuh candi Prambanan

terbuat dari batu tidak diselingi batu bata maupun semen. Tampak

pahatan didinding semacam gajah dengan baju khas Hindu, gambar

mulut yang terbuka lebar beserta probocis disekeliling gajah, ukiran

singa gopia dilengkapi kalung serta mahkota dan susunan bunga lotus

diatas kepala. Dua arca dilukis dalam relief dengan bentuk tuju kera

tengah mengangkat sebalok kayu.

Pahatan lain menunjukkan badan telanjang dada tanpa kepala

sedang duduk di singgasana, beralas daun serta posturnya membelakangi

bangunan. Semua lukisan didinding berpola kasar dan timbul.

Diberitakan saat mengunjungi candi kembali dia meyakini total seluruh

bangungan di Loro Jonggrang ada dua pulah dengan kondisi terpencar.

Mencakup enam candi besar di sepanjang jalan masuk, dua candi kecil

di lapisan kedua posisinya disamping kanan kiri jalan masuk ke candi,

dan dua belas candi berada di eksterior memiliki lima relung dari arah

lain berisi singa. Candi terbesar dari golongan enam candi tadi memiliki

ukuran tinggi 19 kaki telah runtuh, sedangkan lima lainnya didampingi

bongkahan batu.”77 Mengacu pada buah tulisan Raffles para penelita

setelahnya melakukan penanganan terhadap candi Prambanan,

selayaknya Brumund.78 Laporan terbaru datang dari N.W. Hopermans

77
Thomas Stamford Raffles, “The History of Java”, Terj. Eko Prasetyaningrum, Nuryati
Agustin, Ida Qoryati Mahbubah, (Yogyakarta: Narasi, 2015), 356-363
78
Santiko, “Candi Prambanan: Deskripsi, Latara Belakang Agama, Dan Masa
Pendiriannya”, Laporan Penelitian, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1992), 3
92

tahun 1864, didapati tangan nakal pemilik pabrik gula yang seenaknya

mencomot batuan candi Prambanan untuk kebutuhan bangunan pabrik.

Perlu dimengerti terlebih awal, tepat warsa 1842 petugas

kesehatan J. Munnich memperkenalkan teknik fotografi. Poto pertama

yang ia ambil di Jawa merupakan gedung Gubernur Jendral Batavia,

menyambung pemahaman fotografi dengan metode lebih lengkap dari

paris dilakukan Junghuhn 1869. Masih di periode sama seniman Belgia

Van Kinsbergen menyambangi Jawa Tengah mengambil objek candi

sebagai korban pemotretan dan menetap di Yogya dari 1862-1873,

seraya mengajari seni fotografi kepada orang Jawa bernama Chepas.79

Lalu, Chepas berprofesi sebagai juru potret upaya pemugaran era

Groneman. Datang Yzerman perintis “Archaelogische Vereeniging Van

Jogja” tahun 1885 mengawali aktifitas pembersihan candi dari

tumpukan tanah dan tumbuhan beserta membuka relung – relung yang

tertutup. Tahap berikut diteruskan Groneman lengkap dengan fasilitas

potret kerangka percandian dan mengumpulkan bebatuan.

Kemudian, usaha restorasi langsung dilaksanakan FDK Bosch

tahun 1918. Diawali tahapan penyeleksian batu-batu yang sesuai oleh

Perquin dan percobaan menyusun batu dibuat De Haan. Pengetahuan

baru mereka memperlambat usaha perbaikan ini sehingga, memakan

durasi cukup lama. Bagusnya, ikhtiar ini terus dilanjutkan para

sejarawan di tahun 1935, yakni V.P. Van Romondt dan P.H.

79
Denys Lombard, “Nusa Jawa Silang Budaya 1: Batas Pembaratan”, (Jakarta: Gramedia
Pusat, 2005), 203-204
93

Vancoolwijk.80 Meskipun tertunda ataupun berhenti berkali-kali usaha

pembangunan kembali percandian Prambanan terus dilakukan, bahkan

setelah Indonesia merdeka. Sama-sama kita ketahui, mulai dari kapasitas

satu kompleks candi Prambanan sangat besar sehingga membutuhkan,

dana, tenaga, waktu yang dominan. Hambatan juga datang dari kondisi

cuaca, politik, dan perkembangan peradaban lain.

Candi Borobudur dipaparkan oleh Raffles dalam buku legendaris,

serta diklaim sebagai penemuannya tahun 1814. Dia membentangkan

suasana percandian saat pertama kali berjumpa, “Candi Borobudur

mendiami wilayah Magelang Jawa Tengah bagaikan wahana

tetumbuhan liar yang betah dan subur diseputarannya. Berlanjut, Raffles

mengutus H.C. Cornelius menebas semak ilalang yang menyelimuti

bodi candi. Terpendam tumpukan batu persegi empat, dinding tujuh

tingkat dengan setiap jarak per tingkat semakin ke atas kian dekat.

Seluruh bangunan bergaya kerucut, tersimpan kubah indah di puncak

candi kurang lebih 50 kaki, akan tetapi setengah benda itu runtuh hingga

menyisakan 20 kaki saja. Selanjutnya, didapati tiga menara yang

menampung 22 lingkaran dengan kesenjangan sama di setiap masing-

masing. Turun ke bawah melewati lima gerbang, lima teras berkeliling

mengitari bukit, disertai relung-relung pada setiap sisi eksterior memuat

figur telanjang dada dan duduk bersila bila ditotal jumlahnya mencapai

400 buah. Setiap relung diperindah puncaknya oleh menara diatas

80
Maulana Ibrahim, “Kompleks Candi Prambanan Dari Masa Ke Masa”, (Jakarta:
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1996), 41
94

maupun sisi sekitar yang lain. Seluruh situs ini memiliki luas 620 kaki

persegi. Belahan eksterior berwujud tanah datar membentuk bangun segi

empat. Ketinggian sepenuhnya menghendaki 100 kaki ditambah 20 kaki

dari bekas runtuhan.”81 Perbaikan-perbaikan mulai diberlangsungkan

masa pemerintahan Hindi Belanda Theodore Van Erp 1907-1911 M.

Kegiatan ini diteruskan oleh UNESCO dalam rangka proyek

Pengembangan Kebudayaan Nasional tahun 1973-1983.82

Kasus serupa terjadi di percandian Ngetos Kabupaten Nganjuk,

sehingga ia bergelar Candi Ngetos. Bangunan tersebut didapati oleh

Raffles ketika menjalankan ekspedisi dari Jawa Tengah ke arah timur,

melewati Jagaraga, Charuban, Rawa, Kalangbret, Panaraga, dan

Magetan. Ia menyinggahi distrik dengan istilah kota bedah, seperti

Madion, Kertosono, Kediri, dan Srengat yang berpotensi mengandung

benda-benda kuno sangat menarik karena unik.83 Maka, sampailah

langkah Raffles menjajaki wilayah Kertosono yang dalam satu distrik

dengan Anjog. Dia menemukan kontruksi kecil di kaki Gunung Wilis

bagian selatan Brebeg, tepatnya dalam Desa Ngetos yaitu Candi Ngetos.

Raffles mendiktekan dalam History of Java keadaan Candi Ngetos

sepenuhnya menyerupai runtuhan Candi Anjog (Lor), terbuat dari batu

bata utuh, sedikit kerusakan pada hiasan dinding, serta ditemukan candi

kecil serupa tidak jauh dari candi besar.

81
Ibid, 374
82
Ismijono, Mulyono, Bambang Sumedi, dkk, “Tinjauan Kembali Rekontruksi Candi
Borobudur”, (Magelang: Balai Konservasi Borobudur, 2013), 3
83
Ibid, 379
95

Keterangan tambahan diperoleh dari tulisan N. J. Krom, Candi

Ngetos adalah susunan bata tinggi hampir 10 m, di kaki 9,10 m, di mati

5,40 m. Menurutnya, bangunan itu mengalami banyak penderitaan,

karena tiga dari empat kepala monster hilang padahal masing-masing

kepala monster mempunyai keistimewaan tersendiri. Tersisa batu hias

pada permukaan kepala monster dan bagian bawahnya saja sebab, batu

hiasan yang digunakan belum selesai sehingga setiap lapisan memiliki

ketebalan berbeda, monster raksasa itu ada di sebelah selatan dengan

tinggi 2 m dan lebar 1,80 m. Menyambung dari pernyataan Raffles

bangunan kecil dekat candi besar yang hampir serupa, Hopermans dalam

catatan N.J. Krom memberi petunjuk terkait ukuran bangunan seluas

delapan hasta persegi, pintu masuk dari arah barat, serta memuat relung

bersama kepala monster.

Sebagian besar ukiran telah hilang terutama pada subbasement

dikarenakan terkena pelebaran sebesar 50 cm dari kontruksi aslinya.

Kemudian tinggi subbase mendekati 3,25 m dengan rupa dinding halus

beserta ukiran-ukiran atas bawah disetiap panel-panel yang tepiannya

bergerigi. Lebar bangunan diperpanjang hingga mencapai ukuran 3,75 m

di sisi barat, tangga depan telah hancur sebagian, lengkap beserta sudut

bangunan yang halus tapi hancur. Tinggi bagian atas subbasement 1,50

m juga memiliki pilaster dan panel persegi panjang namun berkarakter

non-komposit, sedangkan frame atas bawah hilang. Tubuh candi

setinggi 5,43 m terdapat bekas plester saat pembangunan ulang dan


96

ditambah dekorasi pita tengah pada bagian atas dan bawah. Pada

samping pintu masuk terdapat relung kecil, atasnya mengadopsi

ornamen – ornamen terpisah melalui baris mirip belalai makara, tapi itu

adalah spiral arab yang dipahat keras. Pintu masuk utama menyandang

lebar 65 cm, menuju dalam ruangan 2,40 m x 2,47 m dengan dinding

polos nan halus. Hopermans mendapati sumur dari andesit. Hopermans

dan Horsfield mengunjungi candi tahun 1908 dan telah menyatakan

kondisi ini sangat bobrok sedari 1886. Maka, tahun 1917 dinas arkeologi

bersama pemimpin restorasi Perquin memulihkan sekaligus

mengabadikan.84

Gambar 4.5 Candi Ngetos Dari Sisi Selatan 1914 Sebelum Perbaikan
Sumber: OD-1866-Candi Ngetos seen from South [PO2015101200031]-
Nganjuk-1914

84
N.J. Krom, “Hindoe-Javaansche Kunts”, (Den Hagg: Martinus Nijhoff, 1923), 345-348
97

Gambar 4.6 Candi Ngetos Dari barat Laut 1914 Sebelum Perbaikan
Sumber: OD-1863-Candi Ngetos seen from North West to West [GD-
06_182]-Nganjuk-1914

Gambar 4.7 Gradiasi Bangunan Candi Ngetos Dari Barat Laut 1914
Sebelum Perbaikan
Sumber: OD-1863-Candi Ngetos seen from North West to West [GD-
06_182]-Nganjuk-1914

Gambar 4.8 Sisi Barat Candi Ngetos Selama Perbaikan 1917


Sumber: OD-2713-Candi Ngetos view West side during restoration
[PO2015101600261]-Nganjuk-1917
98

Gambar 4.9 Detail Lubang Sisi Utara Candi Ngetos Selama Perbaikan
1917
Sumber: OD-2715-Candi Ngetos detail temple niche North side during
restoration [PO2015101600265]-Nganjuk-1917

Gambar 4.10 Bagian Atas Jalan Masuk Bilik Utama Candi Ngetos
Sebelum Perbaikan 1917
Sumber: OD-2717-Candi Ngetos entrance taken from above before
restoration [PO2015101600267]-Nganjuk-1917

Gambar 4.11 Detail Bagian Barat Candi Ngetos Selama Perbaikan 1917
Sumber: OD-2712-Candi Ngetos detail view West side
[PO2015101600260]-Nganjuk-1917
99

Gambar 4.12 Detail Ruangan Dalam Jalan Masuk Ruang Utama Candi
Ngetos Saat Perbaikan 1917
Sumber: OD-2718-Candi Ngetos detail entrance from the inner space
before restoration [PO2015101600268]-Nganjuk-1917

Gambar 4.13 Kepala Kala Pada Bagian Selatan Candi Ngetos Setelah
Perbaikan 1917
Sumber: OD-2755-Candi Ngetos Detail with kala head at the south side
after the repair [PO2015101600305]-Nganjuk-1917

Gambar 4.14 Sisi Barat Candi Ngetos Setelah Perbaikan 1917


Sumber: OD-2757-Candi Ngetos seen from west detail after the repair
[PO2015101600307]-Nganjuk-1917
100

Gambar 4.15 Sisi Utara Candi Ngetos Setelah Perbaikan 1917


Sumber: OD-2763-Candi Ngetos Detail of the north side after the repair
[PO2015101900009]-Nganjuk-1917

Gambar 4.16 Bagian Timur Laut Candi Ngetos Setelah Perbaikan 1917
Sumber: OD-2759-Candi Ngetos seen from northeast after the repair
[PO2015101600309]-Nganjuk-1917

Gambar 4.17 Candi Ngetos Dari Sisi Utara Setelah Perbaikan 1917
Sumber: OD-2761-Candi Ngetos seen from south after the repair
[PO2015101600311]-Nganjuk-1917
101

Gambar 4.18 Sisi Barat Candi Ngetos Setelah Perbaikan 1917


Sumber: OD-2762-Candi Ngetos seen from west after the repair
[PO2015101900007]-Nganjuk-1917
Mengenai temuan-temuan dari sebelum sampai sesudah Raffles

terkait saksi mati sejarah peradaban, meliputi arca batu maupun logam,

lukisan, gambar, koin, keris, naskah, dan peralatan kehidupan sehari-hari

baik perorangan atau bersama tersimpan dalam British Library, Royal

Asiatic Society, dan koleksi Bataviaasch Genoostchap.85 Denys

Lombard dalam bukunya menggambarkan masyarakat Jawa yang tidak

tertarik terhadap barang-barang peninggalan leluhur mereka, sedangkan

orang Eropa menilai peninggalan itu secara mendalam dari sisi historis.

Karena penduduk asli dari asal benda kuno tidak menghiraukan

keberadaan mereka, maka orang Eropa menindak lanjuti sendiri temuan-

temuan mereka berdasarkan imaji masing-masing tentang budaya,

pertimbangan usia, serta standar kehalusan.86

85
Alexandra Green, “Koleksi Raffles Dari Jawa: Bukti Dari Eropa Tentang Sebuah
Peradaban”, dalam Purawidya Jurnal Penelitian Dan Perkembangan Arkeologi, Vol. 9, No.
2 (November 2020), 173. British Library dan Royal Asiatic Society merupakan museum di
Buckinghamshire London, serta mueseum tambahan British Museum, Royal Collection
Trust, dan Claydon House.
86
Ibid, 212
102

Dalam buku History of Java karangan Raffles menampung

kritikan pribadi sebagai bangsa Inggris terhadap orang Belanda, bahwa

Belanda terlihat sama sekali tidak meminati sejarah dan budaya Jawa

serta dianggap tidak bisa menghargai karya kuno tinggalan leluhur Jawa.

Kemudian, diambillah dekrit 1822 Gubernur Jendral Hindia Belanda G.

Van Der Cappelen pendirian kelembagaan khusus penanganan

kepurbakalaan, yakni Commissie tot het Opsporen, Verzamelen en

bewaren van Oudheidkundige Voorwerpen (Komisi Penemuan,

Pengumpulan, Dan Peninggalan Purbakala). Maka, sejak itu hingga

keluarnya putusan resmi pembentukan Dinas Arkeologi benda-benda

kuno sudah menjadi kepentingan pemerintah.

Penetapan aturan baru 1931 oleh pemerintah Hindia Belanda

Gubernur Jendral ACD De Graef perkara Cagar Budaya Monumenten

Ordonnantie Stbl. 238/1931 yang berbicara perihal tindakan

perlindungan terhadap barang-barang bernilai prasejarah, sejarah, seni,

dan paleontropologi.87 Semangat mereka terhadap tinggalan-tinggalan

arkeologis, membangkitkan keputusan pencetusan Dinas Purbakala (De

Oudheidkundige Dienst) pada 14 Juni 1943 dibawah kewenangan

Departemen Pendidikan dan Ibadah (Departement Van Ondarwijs en

Eredients/O&E) yang tersirat dalam Lembaran Negaran Hindia Belanda

87
Hafidz Putra Arifin, “Politik Hukum Perlindungan Cagar Budaya Di Indonesia”, dalam
Dialoga Iuradica Jurnal Hukum, Bisnis, Dan Investasi, Vol. 10, No. 1 (November 2018),
71 -72
103

1913 No. 62 (Staatsblad Van Nederlandsch-Indie).88 Ketua pertama

Dinas Arkeologi adalah N.J. Krom.

Penataan beberapa kelembagaan seputar purbakala Indonesia

menjadi awal mula pembuatan Jawatan Urusan Barang-Barang

Purbakala yang didirikan langsung sejarawan Indonesia setelah

kemerdekaan 1945, yakni Suhamir, Soewarno, S. Samingoen.

Kemudian, nasib dua institusi Jawatan Urusan Barang-Barang Purbakala

dan Oudheidkundige Dienst bersatu menjadi Dinas Purbakala RI

dibawah Kementrian Pendidikan dan Keudayaan Moh. Yamin kala itu

tahun 1951. Langkah pertama yang diambil mereka adalah perbaikan

candi Siwa (Prambanan) dan peresmiannya pada 20 Desember 1953.

88
Francien Van Anrooij, “De Koloniale Staat (Negara Kolonial) 1854 - 1942”,
Terjemahan Nurhayu W. Santoso, Susi Moeimam, (Leiden: Archief Van Het Ministerie
Van Kolonien, 2014), 122
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Candi Ngetos didirikan di Desa Ngetos Kabupaten Nganjuk pada masa

kerajaan Majapahit. Nganjuk merupakan tanah kemenangan yang awalnya

bernama Anjuk Ladang pada masa Mpu Sindok. Sedangkan, Ngetos pada

masa itu merupakan tanah Sima Majapahit sekaligus pusat kehinduan di

sekitar wilayah tersebut. Setelah persemian tanah Sima melalui upacara

manusuk sima, maka dibuatlah Candi Ngetos dengan memperhatikan

beberapa tahapan: pemilihan lahan, pengujian lahan, pengolahan lahan,

proses pembuatan bangunan. Candi Ngetos dibuat di kaki Gunung Wilis,

berjarak 20 KM dari pusat kota Nganjuk.

2. Candi Ngetos era Majapahit dimaknai sebagai pusat peribadatan Hindu-

Budha ataupun pendharmaan. Penjelasan ini dimuat dalam naskah kuno

berjudul Negarakertagama dan Pararaton, disebutkan dalam Pararaton

fungsi Candi Ngetos untuk Pendharmaan Rajasanegara. Hayam Wuruk di

dharmakan melalui upacara Sraddha setelah 12 tahun kematian dan

tempat pendharmaannya bernama Paramasakapura. Candi ngetos juga

difungsikan sebagai tempat ibadah dan pemujaan. Makna Candi Ngetos

masa Islam, lebih dianggap sebagai peninggalan masa pra-Islam. Orang-

orang Islam membiarkan percaandian ini tetap berdiri dan dimanfaatkan

oleh para wali untuk sarana pelaksanaan islamisasi. Seperti membangun

104
105

masjid Ngetos di bekas padepokan percandian untuk menyebarkan agama

Islam. Penghapusan istilah Dewaraja atau mencandikan raja – raja, dengan

ganti memakamkan raja atau tokoh penting dengan hiasan mencolok.

Fenomena tersebut dicontohkan langsung pada kompleks pemakaman

tokoh Islam di satu area dengan Masjid Ngetos. Masjid menggantikan

candi sebagai pusat keagamaan. Sehingga, percandian masa Islam

ditinggalkan. Nyadaran juga dimanfaatkan warga untuk mendo’akan para

leluhur atau nyekar selama satu bulan Suro penuh. Makna Candi Ngetos

masa kolonial, candi kembali ditemukan para tokoh Tarekat Masion di

Jawa dan Perhimpunan Batavia (Bataviaasch Genoostchap van Kunsten en

Watenschappen) yang dibentuk oleh Radermacher. Saat Raffles menjadi

gubernur Jawa ia tergabung dalam perkumpulan tersebut. Candi Ngetos

mengalami perhatian, pembersihan, dan pembugaran di era ini. Hopermans

dan Horsfield mengunjungi candi tahun 1908 dan telah menyatakan

kondisi ini sangat bobrok sedari 1886. Maka, tahun 1917 dinas arkeologi

bersama pemimpin restorasi Perquin memulihkan sekaligus

mengabadikan.

B. Saran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan pemaknaan Candi

Ngetos dipengaruhi latar sosial budaya di tengah masyarakat. Penelitian ini

eksklusif fokus pada perubahan pemaknaan masyrakat terhadap Candi Ngetos

di Nganjuk dari zaman Majapahit sampai kolonial. Sebab, keterbatasan


106

sumber lebih mendetail mengenai Candi Ngetos. Terutama perlunya mengkaji

atau menelusuri lebih mendalam kebenaran keberadaan candi kembaran Candi

Ngetos bernama paramasakapura.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aris Munandar, Agus, 2008, “Ibukota Majapahit, Masa Jaya Dan Pencapaian”,

(Jakarta: Komunitas Bambu)

Aris Munandar, Agus, 2011, “Catuspatha Arkeologi Majapahit”, (Jakarta:

Wedatama Widya Sastra)

Badan Pemerintahan Kabupaten Nganjuk, 2018, “Dasa Warsa Pemerintahan

Kabupaten Nganjuk Tahun 1933 – 1943”, (Nganjuk: Dinas Kearsipan

dan Perpustakaan)

Christie, J.W., 1983, “Raja dan Rama: The Classical State in Early Java Centers In:

Symbolis, and Hierachis”, (New Haven: Yale University Southeast Asia Studies)

De Casparis, J.G., 1956, “Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions From The

7th To 9th Century”, (Bandung: Masa Baru)

De Graaf, H.J., TH. Pigeaud, 1989, “Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa

Peralihan Dari Majapahit Ke Mataram”, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti)

Den Daele, Van, 1976, “Psikologi Perkembangan”, (Jakarta: Gajah Mada)

Farobi, Zulham, 2018, “Sejarah Walisongo: Perjalanan Penyebaran Islam Di

Nusantara”, (Yogyakarta: Mueeza)

Handoko, Rudi, Sukadi, Amin Fuadi, 2021, “Ngandjoek Era Prasejarah-Masa

Hindu Budha”, (Nganjuk: Dinas Kearsipan Dan Kepustakaan Kabupaten

Nganjuk)
Hardiati, Endang Sri, Nunus Supardi, Trigangga, dkk, 2014, “Potret Museum

Nasional Indonesia Dulu, Kini, & Akan Datang”, (Jakarta: Museum

Nasional)

Haryono, Timbul, 1980, “Gambaran Tentang Upacara Penetapan Sima”,

Majalah Arkeologi III, (Jakarta: Universitas Indonesia)

Ibrahim, Maulana, 1996, “Kompleks Candi Prambanan Dari Masa Ke Masa”,

(Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan)

Ismijono, Mulyono, Bambang Sumedi, dkk, 2013, “Tinjauan Kembali

Rekontruksi Candi Borobudur”, (Magelang: Balai Konservasi

Borobudur)

Jarwanto, Eko, 2021, “Ngandjoek Dalam Lintasan Sejarah Nusantara”,

(Lamongan: Pagan Press)

Jordaan, Roy, 2009, “Memuji Prambanan: Bungai Rampai Para Cendikiawan

Belanda Tentang Kompleks Percandian Loro Jonggrang”, Terj. Yosef

Maria Florisan, (Jakarta: Yayasan Obor)

Ketut Riana, I, 2009, “Kakawin Desa Warnnana Uthawi Negarakrtagama, Masa

Keemasan Majapahit”, (Jakarta: Kompas)

Krom, N.J., 1923, “Hindoe-Javaansche Kunts”, (Den Hagg: Martinus Nijhoff)

Kuntowijoyo, 2013, “Pengantar Ilmu Sejarah”, (Yogyakarta: Tiara Wacana)

Lombard, Denys, 2005, “Nusa Jawa Silang Budaya 1: Batas Pembaratan”, Terj.

Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, Nini Hidayati Yusuf,

(Jakarta: Gramedia Pusat)


Lombard, Denys. 2005, “Nusa Jawa Silang Budaya 02: Jaringan Asia”, Terj.

Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, Nini Hidayati Yusuf,

(Jakarta: Gramedia Pusat)

Macdonell, Arthur Anthony, 1985, “A Practical Sanskrit Dictionary with

Transliteration, Accentuation, And Etymological Analysis Throughout”,

(London: Oxford University Press)

Muljana, Slamet, 2005, “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa Dan Timbulnya

Negara-Negara Islam Nusantara”, (Yogyakarta: LkiS)

Muljana, Slamet, 2006, “Negarakertagama Dan Tafsir Sejarahnya”,

(Yogyakarta: LkiS)

Mulyadi, Lalu, Julianus Hutabarat, Andi Harisman, 2015, “Relief dan Arca Candi

Singashari-Jawi”, (Malang: Dream Litera Buana)

Rahardjo, Supratiko, 2011, “Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuno Sampai

Majapahit Akhir”, (Jakarta: Komunitas Bambu)

Robi Amri, Moh., Gita Yulianti, Ridwan Yunus, dkk, 2016, “RBI Risiko Bencana

Indonesia”, (Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana)

Sjamsuddin, Helius, 2012, “Metodologi Sejarah”, (Yogyakarta: Ombak)

Soekiman, Djoko, 1992/1993, “Kotagede”, (Jakarta: Media Kebudayaan)

Soekmono, 1973, “Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2”, (Yogyakarta:

Yayasan Kanisius)

Soekmono, 2017, “Candi Fungsi Dan Pengertiannya”, (Yogyakarta: Ombak)


Stamford Raffles, Thomas, 2015, “The History of Java”, Terj. Eko

Prasetyaningrum, Nuryati Agustin, Ida Qoryati Mahbubah, (Yogyakarta:

Narasi)

Stevens, Th., 2004, “Tarekat Mason Bebas Dan Masyarakat di Hindia Belanda

Dan Indonesia 1764-1962”, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan)

Suhardjo, Supratikno, Wiwin Djuwita Ramelan, 1997, “Kota Demak Sebagai

Bandar Dagang Di Jalur Sutra”, (Jakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan)

Sunyoto, Agus, 2018, “Atlas Walisongo”, (Bandung: Media Mizan Utama)

Susetya, Wawan, 2010, “Senyum Manis Walisongo”, (Yogyakarta: Diva Press)

Syawaludin, Mohammad, 2017, “Teori Sosial Budaya Dan Methodenstreit”,

(Palembang: CV Amanah)

Van Anrooij, Francien, 2014, “De Koloniale Staat (Negara Kolonial) 1854-

1942”, Terjemahan Nurhayu W. Santoso, Susi Moeimam, (Leiden:

Archief Van Het Ministerie Van Kolonien)

Vlekke, Bernard H.M., 2008, “Nusantara Sejarah Indonesia”, Terj. Samsudin

Berlian, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia)

Yatim, Badri, 2011, “Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), (Jakarta:

Rajawali Pers)

Zoetmulder, 1983, “Kalangan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang”, Terj. Dick

Hartoko (Jakarta: Djambatan)

Jurnal
Aris Munandar, Agus, 2004, “Karya Sastra Jawa Kuno Yang Diabadikan Pada

Relief Candi-Candi Abad ke 13-15 M”, dalam Makara: Jurnal Sosial

Humaniora, Vol. 8, No. 2 (Agustus)

Aulia Achidsti, Syafa, 2012 “Strategi Penyebaran Tradisi Islam Pada Masyarakat

Jawa”, dalam IBDA’: Jurnal Kebudayaan Islam, vol. 10, No.2 (Juli-

Desember)

Eka Sari, Silvia, Hudaidah, 2021, “Masa Kepemimpinan Raden Fatah Tahun

1478-1518”, dalam ESTORIA: Journal of Sciences and Humanities, Vol.

2, No. 1 (Oktober)

Fajar Budiman, Teguh, 2020, “Konsep Ajaran Sunan Kalijaga (Raden Syahid

Walisongo Dalam Menyebarkan Agama Islam Melalui Kesenian)”, dalam

Tsaqofah Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 2 (Desember)

Green, Alexandra, 2020, “Koleksi Raffles Dari Jawa: Bukti Dari Eropa Tentang

Sebuah Peradaban”, dalam Purawidya: Jurnal Penelitian Dan

Perkembangan Arkeologi, Vol. 9, No. 2 (November)

Huda, M. Dimyati, 2015, “Peran Dukun Terhadap Perkembangan Peradaban

Budaya Masyarakat Jawa”, dalam Ikadbudi Jurnal Ilmiah Bahasa, Sastra,

Dan Budaya Daerah, Vol. 04, No. 10

Kadarisman Kartakusuma, Richadiana, 2008, “Kondisi Kehidupan Keagamaan

Majapahit Berdasarkan Sumber Tertulis Dan Data Arkeologi”, dalam

Amerta: Jurnal Penelitian dan Perkembangan Arkeologi, Vol. 26, No. 1

Mukaffa, Zumrotul, 2017, “Sunan Ampel Dan Nilai Etis Islam Nusantara: Dari

Tantra-Bhairawa Kepada Praktik Keagamaan Nir-Kekerasan”, dalam


TEOSOFI: Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam, Vol. 7, No. 2

(Desember)

Nyoman Mariyana, I, I Gede Arya Sugiarta, dkk, 2019, “Gamelan Gambang

Kwanji Sempidi Kajian Sejarah, Musikalitas, Dan, Fungsi”, dalam

Kalangwan: Jurnal Seni Pertunjukan, Vol. 5, No. 2 (Desember)

Putra Arifin, Hafidz, 2018, “Politik Hukum Perlindungan Cagar Budaya Di

Indonesia”, dalam Dialoga Iuradica: Jurnal Hukum, Bisnis, Dan

Investasi, Vol. 10, No. 1 (November)

Riyani, Mufti, 2015, “Local Genius Masyarakat Jawa Kuno Dalam Relief Candi

Prambanan”, dalam Seuneubok Lada: Jurnal Ilmu-Ilmu Sejarah, Sosial,

Budaya, Dan Kependidikan, Vol. 2, No. 1 (Januari-Juni)

Sahlan, Asmaun, Mulyono, 2012, “Pengaruh Islam Terhadap Perkembangan

Budaya Jawa: Tembang Macapat”, dalam El Harakah: Jurnal Budaya

Islam, Vol. 14, No. 1

Setyawati, Debi, 2011, “Interaksionisme Simbolik Dalam Kajian Sejarah”,

Agastya: Jurnal Sejarah dan Pembelajarannya, Vol. 1, No. 1 (Januari)

Sunyoto, Agus, 2016, “Eksistensi Islam Nusantara”, dalam MOZAIC: Jurnal

Islam Nusantara, Vol. 2, No. 2 (April)

Stutterheim, 1931, “The Meaning of The Hindu Javanese Candi”, dalam Jurnal of

The American Oriental Society, Vol. 51, (Pensylvania: Pensylvania

University)
Wahyu Bagas Pradana, Rizal, 2021, “Ragam Bentuk Ragam Hias Pada Mimbar

Sunan Prapen”, dalam TANRA: Jurnal Desain Komunikasi Visula, Vol. 8,

No. 1 (April)

Yatmin, Zainal Afandi, 2022, “Studi Tentang Candi Ngetos Di Kabupaten

Nganjuk Ditinjau Dari Kajian Iknografi”, dalam Efektor: Jurnal

Universitas Nusantara PGRI Kediri, Vol. 9, No. 1

Zahira Adibah, Ida, 2019, “Penyelidikan Sejarah Tentang Masyarakat Dan

Budaya”, dalam Jurnal Madaniyah, Vol. 9, No. 1 (Januari)

Internet

Ardhian Wahyuningtyas, Septiana, “Masa Pemerintahan Raffles Di Indonesia

Pada 1811”, dalam

https://www.academia.edu/44932447/MASA_PEMERINTAHAN_R

AFFLES_DI_INDO NESIA_PADA_1811, (2021)

Gunawan, Imam, “Penelitian Sejarah”, dalam http://fip.um.ac.id, 7 Desember

2015

Widodo, Amien, “Sejarah Bencana Jawa Timur”, dalam https://www.its.ac.id,

Oktober 2021

Yoga, Afriawan Wahyu, Agus Daviyanto, dkk, “Wisata Jawa Timur Candi

Ngetos Nganjuk”, dalam https://mytrip123.com/candi-ngetos/, diakses 02

November 2022

Skripsi, Tesis, dan Disertasi


Anom, IGN, 1999, “Keterpaduan Aspek Teknis Dan Aspek Keagamaan Dalam

Pendirian Candi Peridode Jawa Tengah (Studi Kasus Candi Utama

Sewu)”, (Disertasi, Universitas Gajah Mada Yogyakarta)

Fairuza Rizki Fitri, Rachma, 2018, “Simbol Bangunan Pada Komplek Gapura,

Masjid Dan Makam Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten

Lamongan, Jawa Timur”, (Skripsi, Universitas Airlangga Surabaya)

Naimatul Khafidoh, Elvin, 2021, “Studi Komparatif Pendidikan Islam Dalam

Tembang Lir-Ilir Karya Sunan Kalijaga Dan Tembang Tombo Ati Karya

Sunan Bonang”, (Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Ponorogo)

Rahardian Prayudi, H., 1999, “Kajian Tipo-Morpologi Arsitektur Candi Di Jawa”,

(Tesis, Program Studi Arsitektur ITB, Bandung)

Susiani, Sri Windarti,2005, “Nilai-Nilai Moral Dalam Cerita Ramayana Karya

Sunardi D.M.: Analisis Tokoh, Penokohan, Alur, Latar Dan Tema Dan

Relavansinya Sebagai Bahan Pembelajaran Sastra Untuk SMA Kelas X”,

(Skripsi, Universitas Sanatha Dharma)

Tuddar Putri, Hasna,2010, “Pergulatan Mitos Dan Sains Dalam Menetukan Arah

Kiblat (Studi Kasus Pelurusan Arah Kiblat Masjid Agung Demak)”,

(Skripsi, Institut Agama Islam Negri Walisongo Semarang)

Zahroh, Maslihatuz, 2018, “Masjid Menara Kudus: Ekspresi Multikulturalisme

Sunan Kudus (Studi Kasus Kehidupan Toleransi Masyarakat Kudus)”,

(Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)

Wawancara
Wawancara Pak Aris Juru Kunci Candi Ngetos, 12 November 2021

Wawancara Pak Didik Pegawai Badan Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, 05

Desember 2021

Lain-lain

Hierachis: Eassays on The Classical States of Southeast Asia”, Monograph series

No. 26, (Southest Asia: Yale University)

Noorduyn, “The Estern Kings in Majapahit”, BKI 131

Riyanto, Sugeng, 2019, “Ragam Hias Pada Candi Sebagai Motif Batik”, dalam

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan Dan Batik (SNINKB), Vol.

1, No. 1 (Desember)

Stutterhim, 1936, “De Dateering Van Eenige Oos-Javanesche Beeldengroepen”,

TBG 76
LAMPIRAN

Foto bersama pak Aris juru kunci Candi Ngetos sebagai narasumber

Foto di bangunan depan Candi Ngetos

Foto di bagian dalam Candi Ngetos


SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Anna Nur Nita
NIM : U20184023
Program Studi : Sejarah Peradaban Islam
Fakultas : Ushuluddin, Adab dan Humaniora
Institusi : Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq
Jember

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa dalam hasil penelitian ini tidak terdapat
unsur-unsur penjiplakan karya ilmiah yang pernah dilakukan atau dibuat orang
lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam
sumber kutipan daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari ternyata hasil penelitian ini terbukti terdapat unsur-
unsur penjiplakan dan ada klaim dari pihak lain, maka saya bersedia untuk
diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa paksaan
dari siapapun.

Jember, 14 Desember 2022


Saya yang menyatakan,
BIOGRAFI PENULIS

A. Identitas Diri
Nama : Anna Nur Nita
TTL : Kediri, 11 Mei 2000
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Dsn. Warujayeng, Ds.
Warujajyeng, Kec. Tanjunganom,
Kab. Nganjuk
Fakultas : Ushuluddin Adab dan Humaniora
Program Studi : Sejarah Peradaban Islam
NIM : U20184023

B. Riwayat Pendidikan
1. SDI Darussholihin Nganjuk
2. MTsN Tanjunganom Nganjuk
3. SMA A. Wahid Hasyim Tebuireng Jombang

C. Pengalaman Organisasi
1. Anggota PKS SDI Darussholihin
2. Anggota KOMPAS (Komunitas Pelajar Sains) SMA
3. Anggota dan pengurus Organisasi Daerah OPITH (Organisasi Pelajar
Islam Thariqul Huda) Tebuireng Jombang (2015-2017)
4. Anggota dan pengurus HALTE (Himpunan Alumni Tebuireng) Jember
(2018-2020)
5. Pengurus HMPS (Himpunan Mahasiswa Program Studi) Sejarah
Peradaban Islam

Anda mungkin juga menyukai