SKRIPSI
Oleh:
Anna Nur Nita
NIM U20184023
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora
Program Studi Sejarah Peradaban Islam
Oleh:
Anna Nur Nita
NIM U20184023
i
DINAMIKA PEMAKNAAN MASYARAKAT TERHADAP
CANDI NGETOS DI NGANJUK DARI ABAD XV – XX M
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora
Program Studi Sejarah Peradaban Islam
Oleh:
Anna Nur Nita
NIM U20184023
ii
iii
MOTTO
َار َۗو ُك ٌّل فِ ْي َف َلكٍ يَّ ْس َب ُح ْون َ س َي ْن َب ِغ ْي لَ َها اَ ْن تُد ِْركَ ْالقَ َم َر َو ََل الَّ ْي ُل
ِ سا ِب ُق النَّ َه َّ ََل ال
ُ ش ْم
“Tidaklah Mungkin Bagi Matahari Mengejar Bulan Dan Malam Pun Tidak Dapat
Mendahului Siang. Masing – Masing Beredar Pada Garis Edarnya”1
Q.S. Yasin Ayat 40
1
Lajnah Pentafsiran Mushaf Al-Qur’an, “Al – Qur’an Dan Terjemahan”, (Bandung: Quranidea
Cahaya Semesta, 2014), 442
iv
PERSEMBAHAN
v
KATA PENGANTAR
lancar. Sebagai tanda rasa syukur penulis, semua pengalaman selama proses
penulisan skripsi akan penulis jadikan sebagai refleksi atas diri penulis untuk
konstruktif dan produktif untuk kebaikan dan perbaikan semua warga bangsa.
peran berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyadari dan menyampaikan
1. Rektor Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember Prof. Dr. H.
Babun Suharto, SE., MM atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
2. Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora Prof. Dr. M. Khusna Amal,
S.Ag., M.Si dan seluruh jajaran Dekanat yang lain atas kesempatan yang
3. Ketua Jurusan Studi Islam Dr. Win Usuluddin, M.Hum., atas fasilitas,
vi
4. Ketua Program Studi Sejarah Peradaban Islam Dr. Akhiyat, S.Ag., M.Pd, atas
bimbingan, saran, bantuan, dan motivasi beliau penulisan skripsi ini tidak
akan selesai.
Islam, teman – teman dari komunita Kulit Pohon yang memberikan semangat
skripsi ini.
8. Seluruh pihak dan teman alumni Tebuireng di Jember terutama angkatan 2018
yang ikut andil dalam membantu penulis dengan sukarela memberi semangat
Atas segala kekurangan serta kekhilafan yang ada, sepenuh hati penulis
Penulis
vii
ABSTRAK
Anna Nur Nita. 2022. Dinamika Pemaknaan Masyarakat Terhadap Candi Ngetos
Di Nganjuk Dari Abad XV – XX M.
Berdirinya kota Nganjuk tidak dapat lepas dari rangkaian sejarah masa
lalu. Tidak banyak orang tahu bahwa Nganjuk memiliki peninggalan sejarah
cukup penting yang kini menjadi aset budaya yang dilindungi. Seperti bangunan
Candi Ngetos yang terletak di Desa Ngetos, Kabupaten Nganjuk. Sebuah
bangunan tua berupa candi tidak akan pernah mengalami perubahan signifikan.
Tetapi, pemaknaan masyarakat terhadap Candi Ngetos di setiap masa pasti
berbeda. Dari abad berdirinya XV – XX M, mencakup tiga masa candi di kerajaan
Majapahit, kerajaan Islam, sampai kolonial.
Fokus penelitian ialah, peristiwa apa yang melatar belakangi berdirinya
Candi Ngetos di Nganjuk dan dinamika pemaknaan masyarakat terhadap Candi
Ngetos di Nganjuk dari abad XV – XX M. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan peristiwa yang melatar belakangi pendirian Candi Ngetos di
Nganjuk dan menjelaskan dinamika masyarakat dalam segi pemikiran terutama
terhadap bangunan Candi Ngetos yang merupakan peninggalan sejarah. Dalam
upaya pengumpulan sumber hingga penulisan, peneliti mengambil metode
penelitian sejarah secara kualitatif dan menggunakan teori sosial budaya untuk
memudahkan peneliti dalam menyelesaikan masalah penelitian.
Pada abad XV – XX M, melipui masa Majapahit Candi Ngetos dibangun
dan dijadikan pendharmaan prabu Hayam Wuruk sekaligus sebagai tempat ibadah
Hindu - Budha. Kemudian di masa Islam, tidak lagi menggunakan candi untuk
ibadah melainkan masjid, raja tidak lagi didharmakan pada sebuah candi, tetapi
dikuburkan dengan kijing atau hiasan – hiasan lebih menonojol. Sehingga,
percandian terabaikan pada masa Islam dan tenggelam secara perlahan.
Selanjutnya, candi kembali ditemukan, diteliti, diperbaiki saat era kolonial.
viii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
H. Metode Penelitian.................................................................. 15
ix
A. Dari Anjuk Ladang Menjadi Nganjuk .................................. 20
NGETOS
BAB V PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
.......................................................................................................................... 24
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Gambar 3.3 Relief Belah Ketupat Menyerupai Banji Dan Buah Bergerombol
Gambar 3.7 Atap Bilik Utama Sekaligus Candi Ngetos Yang Telah Hilang .. 38
Gambar 4.5 Candi Ngetos Dari Sisi Selatan 1914 Sebelum Perbaikan ........... 96
Gambar 4.6 Candi Ngetos Dari barat Laut 1914 Sebelum Perbaikan.............. 97
Gambar 4.7 Gradiasi Bangunan Candi Ngetos Dari Barat Laut 1914
xii
Gambar 4.8 Sisi Barat Candi Ngetos Selama Perbaikan 1917......................... 97
Gambar 4.9 Detail Lubang Sisi Utara Candi Ngetos Selama Perbaikan 1917
.......................................................................................................................... 98
Gambar 4.10 Bagian Atas Jalan Masuk Bilik Utama Candi Ngetos
Gambar 4.11 Detail Bagian Barat Candi Ngetos Selama Perbaikan 1917 ...... 98
Gambar 4.12 Detail Ruangan Dalam Jalan Masuk Ruang Utama Candi
Gambar 4.13 Kepala Kala Pada Bagian Selatan Candi Ngetos Setelah
Gambar 4.14 Sisi Barat Candi Ngetos Setelah Perbaikan 1917 ...................... 99
Gambar 4.15 Sisi Utara Candi Ngetos Setelah Perbaikan 1917 ...................... 100
Gambar 4.16 Bagian Timur Laut Candi Ngetos Setelah Perbaikan 1917........ 100
Gambar 4.17 Candi Ngetos Dari Sisi Utara Setelah Perbaikan 1917 .............. 100
Gambar 4.18 Sisi Barat Candi Ngetos Setelah Perbaikan 1917 ...................... 101
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
keanekaragaman budaya, jauh dari ribuan tahun yang lalu terdapat potret
dinamisme. Kepercayaan ini bersumber dari budaya Melayu Lokal atau biasa
dan Jawa Timur candi mengemban peran yang sedikit berbeda. Apabila di
Jawa Tengah hanya untuk pemujaan terhadap Sang Hyang Widi, maka di Jawa
Timur candi juga sebagai pendharmaan raja-raja. Hal ini berkembang dari era
1
M. Dimyati Huda, “Peran Dukun Terhadap Perkembangan Peradaban Budaya Masyarakat Jawa”,
dalam Ikadbudi Jurnal Ilmiah, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa, Vol. 04, No. 10 (2015), 1
1
2
setempat desa Ngetos, sebelum Hayam Wuruk wafat ia telah berwasiat kepada
Gunung Wilis dalam pandangannya saat itu sama agungnya dengan Gunung
aliran Siwa-Wisnu, hal ini sesuai dengan agama yang dianut oleh Raja Hayam
Tetapi, candi tersebut telah hilang dimakan oleh peradaban dan menyisakan
candi induknya, yaitu Candi Ngetos. Situs candi ini menemani timbul
menziarahi percandian ini dari masa Majapahit, Islam, bahkan kolonial. Oleh
karena itu, akan timbul banyak pendapat dari masing-masing mereka yang
2
“Candi Ngetos”, https://www.nusantarakitafoundation.org/candi-ngetos/, diakses pada tanggal 11
Desember 2021
3
Wawancara, Pak Aris Juru Kunci Candi Ngetos, 12 November 2021
3
datang pergi maupun menetap mengenai bangunan indah ini. Banyak kawanan
candi dimanfaatkan oleh khalayak umum mulai dari konsep, struktur, relief,
pada dinding candi, sehingga menjadi salah satu bagian penting candi. Relief
yang dipahatkan pada setiap dinding candi termasuk dalam kesusastraan Jawa
Kuno, bukan sekedar sebagai pembekuan cerita atau hiasan biasa, tetapi
memiliki makna dan tujuan pemahatan.4 Para ahli kesusastraan Jawa Kuno
karya sastra Jawa Kuno tersebut memuat pelbagai nasihat keagamaan ataupun
serupa relief. Relief sendiri terbagi menjadi tiga jenis, yaitu relief cerita, relief
cerita berdasarkan kitab dari agama di masa itu ataupun visualisasi yang
menganut tema pendidikan. Relief (non) cerita adalah relief yang tidak
candrasengkala, yaitu hiasan yang dipahat dalam bentuk figur berupa manusia,
4
Agus Aris Munandar, “Karya Sastra Jawa Kuno Yang Diabadikan pada Relief Candi-Candi
Abad ke 13-15 M”, dalam Makara Jurnal Sosial Humaniora, Vol. 8, No. 2 (Agustus 2004), 57
5
Sugeng Riyanto, “Ragam Hias Pada Candi Sebagai Motif Batik”, dalam Prosiding Seminar
Nasional Industri Kerajinan Dan Batik, Vol. 1, No. 1 (Desember 2019), 3
4
Bukan sekedar dari relief yang dapat dimaknai, namun dari struktur
ungkapan suasana kala itu. Ajaran, tradisi, dan budaya apa yang pernah hidup
hal tersebut cukup menarik untuk dikaji, mengingat Candi Ngetos sebagai
relief-relief penghias candi sudah banyak yang hilang, batu bata mulai
keropos, kekuatan penopang candi ini juga mulai menurun akibat faktor alami
Oleh sebab itu, pentingnya peran kita sebagai penerus bangsa merawat
B. Fokus Penelitian
Nganjuk?
5
abad XV – XX M?
permasalahan yang ada. Ruang lingkup penelitian terbagi dua jenis, yaitu
spasial merupakan batasan lokasi yang diambil oleh peneliti dan ruang
lingkup penelitian temporal adalah batasan waktu atau periode yang diambil
peneliti, yaitu:
a. Batasan Spasial
b. Batasan Temporal
informasi.
6
D. Tujuan Penelitian
Nganjuk.
E. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
b. Dapat menjadi sumber rujukan dan bahan kajian untuk para peneliti
2. Secara Praktis
a. Bagi penulis
c. Bagi Masyarakat
F. Studi Terdahulu
memindai pola dari gamabar yang diambil oleh kamera, kemudian akan
jurnal dan peneliti ini terletak pada fokus penelitian. Penelitian jurnal ini
Ngetos. Penelitian skripsi ini dan milik peneliti memiliki persamaan dan
Surabaya berjudul “Kajian Bentuk Dan Makna Ragam Hias Pada Relief
Kepala Kala di Candi Bajang Ratu, Mojokerto”. Hasil penelitian jurnal ini
mengungkap bentuk kepala kala pada Candi Bajang Ratu, yaitu muka kala
antara dua dunia, yaitu alam semesta, hidup dan mati, serta kepala kala
milik peneliti, yaitu terletak pada motif kepala kala pada candi. Dalam
penelitian ini kala termasuk dalam salah satu jenis relief pada Candi
4. Jurnal yang ditulis oleh T.M. Rita Istari berjudul “Ragam Hias Non-Cerita
dua peneliti. Perbedaan penelitian yang dimiliki oleh jurnal dan peneliti
ialah pada fokus penelitian. Penelitian jurnal ini terfokus pada ragam hias
non cerita pada relief candi yang mempunyai makna magis-religious dan
penelitian tersebut ialah pada fokus penelitian yang sama mengusung tema
Pulau Jawa (Era Klasik Tua – Klasik Tengah – Klasik Muda)”. Hasil
bahwa terdapat makna dari ornamen itu yang ditempatkan sesuai dengan
tersebut, dan ada pula makna yang tidak sesuai. Fokus penelitian jurnal ini
11
makna ragam hias pada candi. Adapun perbedaan diantara dua penelitian
penelitian dalam jurnal ini ada di candi yang ada di masa Hindu-Buda dan
klasik muda. Sedangkan, objek penelitian peneliti ada pada Candi Ngetos
PENGERTIAN
CANDI PENDIRIAN
NGETOS
PEMAKNAAN
MASA KERAJAAN
MAJAPAHIT
MASA KOLONIAL
pergerakan dalam kehidupan. Dinamika sosial ialah salah satu macam bentuk
dinamika. Dinamika sosial dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah gerak
dinamika sosial dilihat dari nilia sosial, norma sosial, pola perilaku individu
kerajaan Islam, hingga masa kolonial. Dalam lingkup abad tersebut terdapat
dengan penelitian ini adalah ketika masa kerajaan Majapahit masyarakat lebih
kerajaan Islam dimana penduduk Jawa menjadi lebih banyak mengenal Islam.
modern.
Pemaknaan memiliki kata asal yaitu makna. Dalam KBBI arti makna
adalah sebuah pengertian yang diberikan atas suatu bentuk keabsahan. Cara
6
Elly M. Setiadi, Usman Kolip, “Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial Teori, Aplikasi dan Pemecahannya”, (Jakarta: kencana, 2011), 52
13
memaknai ruang dan waktu. Pemaknaan juga tidak dapat diperoleh dalam
sejarah apabila segala sesuatu tidak berkembang sesuai ruang dan waktu.7
waktu terus berkembang, maka dari itu pemaknaan mengenai Candi Ngetos
dapat tercipta.
sosial), berakar dari bahasa latin Socius (kawan), dan berasal dari bahasa Arab
7
Debi Setyawati, “Interaksionisme Simbolik Dalam Kajian Sejarah”, Agastya: Jurnal Sejarah dan
Pembelajarannya, Vol. 1, No. 1 (Januari 2011), 103
8
Ibid, 104
9
Zafri, Hera Hastuti, “Analisis Makna Setiap Peristiwa Sejarah Melalui Penerapan Model
Berstruktur”, dalam Jurnal Historia, Vol. 6, No. 2 (2018), 342, (https://ojs.fkip.ummetro.ac.id)
14
pemikiran, perasaan, serta sistem atau aturan sama”. Jika penjabaran terkait
masyarakat ditarik benang merah dengan penelitian ini adalah rakyat yang
menerapkan suatu aturan yang sesuai dengan perkembangan budaya saat itu.
berbeda dari masa sebelumnya. Begitupun di zaman kolonial yang pasti sistem
Dalam hal memaknai sesuatu akan lebih sukar apabila kita tidak
memiliki landasan teori atau suatu ilmu yang mampu mendekatkan kita
10
Ida Zahira Adibah, “Penyelidikan Sejarah Tentang Masyarakat dan Budaya”, dalam Jurnal
Madaniyah, Vol. 9, No. 1 (Januari 2019), 154
15
H. Metode Penelitian
fenomena yang ada pada obyek penelitian. Pada kasus penelitian sejarah ini
lampau, tetapi juga aspek-aspek sosial budaya dari obyek penelitian, dengan
11
Mohammad Syawaludin, “Teori Sosial Budaya Dan Methodenstreit”, (Palembang: CV
Amanah, 2017), 1
12
Asri Buningsih, “Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakterisitik Siswa Dan Budayanya”,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 18
16
pemaknaan Candi Ngetos bagi peneliti hal tersebut tergolong unik. Relief
sendiri dapat hancur lebih cepat daripada bangunan candi yang besar.
2. Heuristik
sejarah. Dengan memilah dan memilih sumber yang relavan dengan obyek
dengan Candi Ngetos, candi di Jawa, candi Jawa Timur, candi masa
Thomas Stamford Raffles. Adapun sumber lisan yang didapat adalah hasil
Budaya Jawa Timur, Bapak Aris seorang juru kunci Candi Ngetos
3. Verifikasi
sering juga disebut dengan kritik terhadap sumber data. Peneliti harus
yaitu:14
sumber penelitian.
14
Helius Sjamsuddin, “Metodologi Sejarah”, (Yogyakarta: Ombak, 2012), 102
18
4. Interpretasi
penafsiran secara subjektif15, tetapi tidak boleh keluar dari konteks yang
dibahas.
5. Historiografi
sejarah dalam bentuk kisah atau cerita sesuai dengan data dan fakta yang
terkumpul.
I. Sistematika Pembahasan
Adapun hasil penelitian ini telah tersusun secara sistematis yang akan
15
Kuntowijoyo, “Pengantar Ilmu Sejarah”, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), 78
16
Imam Gunawan, “Penelitian Sejarah”, http://fip.um.ac.id, 7 Desember 2015, 5
19
pembahasan.
penelitian.
BAB II
usai, kehidupan Nganjuk berlanjut merambah era Hindu Budha yang spontan
agama Hindu-Siwa, hingga datangnya raja Na-fu-na dari India. Kehadiran raja
Jawa Tengah ke Jawa Timur oleh wangsa Sanjaya tahun 929 M.1 Pu Sindok
1
Rudi Handoko, Sukadi, Amin Fuadi, “Ngandjoek Era Prasejarah – Masa Hindu Budha”,
(Nganjuk: Dinas Kearsipan Dan Kepustakaan Kabupaten Nganjuk, 2021), 46
20
21
peperangan Pu Sindok. Termasuk Anjuk Ladang yang saat ini dikenal dengan
nama Nganjuk.
Southeast Asia”, bahwa Prasasti Anjuk Ladang juga mengatakan tentang Raja
Selanjutnya, tahun 937 M tugu tersebut dirubah menjadi bangunan suci tempat
Bangunan suci tersebut tersusun dari batu bata yang diberi nama Candi Lor.
2
Tertulis dalam bagian depan Prasasti Anjukladang. Titik – titik pada keterangan diatas
disebabkan aksara di Prasasti tersebut sudah tidak dapat dibaca lagi.
22
profesi lainnya, seperti pembuat payung, pembuat arang kayu, pembuat obor
sampai barat Madiun dan terus berkembang hingga melampaui Jawa Tengah.
disebut kerajaan Daha. Hanya saja masa itu sekedar tercatat Nganjuk masuk
pergerakan Nganjuk yang signifikan pada masa raja Hayam Wuruk dari
seperti Candi Ngetos, batu inskripsi yang digunakan sebagai altar sebuah arca
23
tahun 1416 M.3 Bahkan nama daerah Brebek sebagai tanah Sima Swatantra
dipimpin oleh Uparaja yang disebut Paduka Bhatara yang bergelar Bhre atau
Bhatara i. Gelar tersebut biasanya hanya dapat dimiliki oleh kerabat kerajaan.
dalam prasasti, misalnya prasasti Hering dan Kinawe. Selain itu, tampak jelas
3
Eko Jarwanto, “Ngandjoek Dalam Lintasan Sejarah Nusantara”, (Lamongan: Pagan Press,
2021), 81
4
Slamet Muljana, “Negarakertagama Dan Tafsir Sejarahnya”, (Yogyakarta: LkiS, 2006), 39
5
Ibid, 83
24
Residen Kediri dan menuju ke pusat. Rencana ini terlaksana ketika Raden
Tabel 2.1
Kronologi Pemindahan Pusat Pemerintahan Dari Brebek Ke Nganjuk
Kampung Kauman,
Kampung Payaman.
4 Juni Dikeluarkannya Staatsblad Van Raden
1885 Lembaran Negara Nederlandsch Indie Tumenggung
(Staatsblad) yang No. 107 tahun 1885 Sosrokusumo III
didalamnya mengacu
pada Besulit No. 4/c
tanggal 30 Mei 1880
9 Pemberian otonomi Staatsblad Van Raden Mas
Agustus daerah dan perubahan Nederlandsch Indie Sosrohadikusumo
1928 nomenklatur dari No. 310 tahun 1828
Kabupaten Berbek mengacu pada
menjadi Kabupaten Besulit Gubernur
Nganjuk, sekaligus Jendral Hindia-
pembentukan dewan Belanda No. 1x,
kabupaten. 1928
1 Januari Awal pemberlakuan Merujuk pada Raden Mas
1929 ketetapan tentang Staatsblad Van Sosrohadikusumo
pemberian otonomi Nederlansch Indie
daerah dan perubahan No. 310 tahun 1828
nomenklatur dari
Kabupaten Berbek
menjadi Kabupaten
Nganjuk
Sumber: Rekonstruksi Data
Rupanya, Nganjuk telah memiliki lambang daerah dengan mengkiuti
yang saat itu bernama Andries C.D. de Graeff atas persetujuan Raad Van
6
“Dasa Warsa Pemerintahan Kabupaten Nganjuk Tahun 1933-1943”, (Nganjuk: Dinas Kearsipan
dan Perpustakaan, 2018), 20-21
26
Rakyat/Parlemen).7
Tabel 2.2
Daftar Pembagian Wilayah Kabupaten Nganjuk 1929
politik dan ekonomi. Selain itu, seorang raja juga berhak mengubah status
maupun tanah “lungguh”. Setiap wilayah diatur oleh para pemegang wilayah
yang diutus raja. Adapun pembagian wilayah kerajaan masa Mataram Islam,
7
Ibid, 229
27
tinggalan warisan, salah satunya dalam wujud prasasti. 112 prasasti tersebar di
tanah Indonesia yang meliputi kurun waktu abad IX-X M. Seorang ahli
menuliskan tentang penetapan sima.9 Kata sima dikutip dari bahasa Sansekerta
yang memiliki arti “batas”.10 Pengertian lebih luas sima adalah sebidang tanah
yang diberi batas, terbebas dari beberapa ketetapan pajak dan kewajiban atas
raja atau pejabat tinggi. Hanya raja atau pejabat tinggi yang berwenang
Perubahan status pajak menjadi bebas pajak artinya, bahwa tanah yang
telah dijadikan sima bukan bearti tidak terkena punguntan sama sekali
dengan jumlah orang dan barang pedagang serta pengusaha yang tinggal di
tanah sima. Tanah sima memiliki status swatantra, maka pajak di tanah sima
pangkur, tawan tirip, rama. Perbedaan pajak di tanah sima dengan tanah biasa
ialah, apabila pembayaran pajak tanah biasa diberikan langsung kepada raja
atau pejabat tinggi, lain hal dengan tanah sima yang hasil pajak diserahkan
8
Soemarsaid Moertono, “Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau: Studi tentang
Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1985), 130
9
J.W. Christie, “Raja dan Rama: The Classical State in Early Java Centers In: Symbolis, and
Hierachis”, (New Haven: Yale University Southeast Asia Studies, 1983), 9-10
10
Macdonell, Arthur Anthony, “A Practical Sanskrit Dictionary With Transliteration,
Accentuation, And Etymological Analysis Throughout”, (London: Oxford University Press, 1985),
351
28
sima bertanggung jawab kepada kepala sima terkait pelaksanaan upacara dan
Sima menganut jenis tanah persawahan. Namun, Ngetos tanah yang padat
penduduk dan sebagai pusat keagamaan Hindu saat itu. Sebagian besar jenis
tanah Sima adalah persawahan. Apabila tanah tersebut masih berupa tegalan,
kebun, padang rumput, dan lainnya, maka harus mengubah terlebih dahulu
menjadi sawah atas izin Raja. Hal ini dilakukan, demi keseimbangan
ekosistem wilayaha tersebut. Sebab, pada zaman dahulu tegalan, kebun, dan
candi, seperti sebagian tanah, kerbau, sapi, sejumlah pelayan laki-laki dan
pakaian, tempat tidur, dan tempat penginapan untuk para tamu. Raja juga
11
Timbul Haryono, “Gambaran Tentang Upacara Penetapan Sima”, Majalah Arkeologi III,
(Jakarta: Universitas Indonesia, 1980), 35 – 54
29
kerajaan, pejabat desa, dan para saksi. Adakalanya istri mereka mendapat
pisungsung dalam wujud kain, uang (emas dan perak), cincin. Tertulis
...kapua sira inasean pasak pasak wdihan ganjar patra sasi yu 1 simsim
pasada woh 1 brat (8?) mas su 1.. (Panggumulan 824 Saka = 902 M)
Terjemahan: maka diberi pisungsung berupa kain berpola Ganjar Patra sasi
1 perangkat, cincin pasada 1 buah berat (?) uang emas 1suavarna.
Pemberian pisungsung di maksudkan sebagai upaya ungkapan terimakasih
atas anugerah yang diterima dari raja.
2. Menyediakan saji-sajian. Persajian ini diperuntukkan bagi:
a. Api pemujaan (sang hyang Brahma) berupa kain dam uang (Sajining
b. Sajian yang tujukan pada sang hyang Kalumpung dalam bentuk kain,
3. Cara duduk para peserta upacara. Setelah, sajian disiapkan peserta upacara
memasuki Witana dan duduk di sekelilingi Watu Sima dan Kulumpang.
Aturan duduk peserta telah ditulis dalam Prasasti Panggumulan:
..i sampunira kabaih manadah mapanalih makawittha makamwan malun
guh sira rin natar makulilinan humarapakan san hyan kudur muan san
hyan sima watu kulumpan i sor nin witana I tnah natar. Krama nin
malunguh san pamgat pikatan. Rake wantila. Samgat manunkuli umun gu
lor humarap kidul. San wahuta hyan kudur muan san tuhaan mamuat
wuwus kabaih mungu kuluan humarap waitan san wahuta patih muan ra
manta muan san anak wanua kabaih tpi sirin mungu kidul humarap
lor..(Panggumulan 824 C IIIa:11 – 14).
Terjemahan: Setelah mereka selesai makan makawittha dan makan bunga,
duduk di halaman berkeliling menghadap sang hyang kudur dan sang
hyang sima watu kulumpang yang terletak di halaman. Cara duduk San
Pamgat Pikatan, Rake Wantila, Samgat Manukuli duduk di sisi utara
mengahadap selatan. San Wahuta hyan Kudur dan san tuhan Mamuat
Wuwus semua duduk di sisi barat menghadap timur. Sang Wahuta Patih
dan semua rama dan penduduk desa sekitar duduk di sisi selatan
menghadap ke utara.
4. Upacara kurban. Pasca para hadirin upacara duduk sesuai tempat yang
petaka seperti yang terjadi pada kepala ayam yang terpisah dari badannya,
serta tubuhnya akan hancur bagaikan telur yang di hantam pada watu sima
dan nyawanya terbang terbawa angin seperti kayu yang terbakar dan
kepada leluhur dari Mdang Poh Pitu. Selain sang makudur mengucapkan
permohonan, iya juga meminta kutukan untuk orng yang berani melanggar
aturan sima akan dipatuk ular (patukaning ula), disambar petir (sinambar
glap tanpa udan), apabila di air di makan buaya (sinahap wuaya). Selepas
6. Penanaman batu Sima. Terdapat dua jenis benda yang dapat ditanam pada
tanah Sima, yaitu sang hyang watu sima atau sang hyang watu teas dan
batu patok (watu sima). Meskipun watu teas tidak dijelaskan dalam
prasasti, tetapi watu teas ialah batu inti dari status sima. Watu teas ditanam
di tengah pertanahan sima. Batu patok tersebut sebagai tanda pusat suatu
sima. Namun, sampai saat ini belum ditemukan batu patok yang lengkap
pada sima, serta prasasti hanya menuturkan penanaman batu pada setiap
7. Penutupan upacara. Akhir upacara ini dirayakan dengan acara pesta makan
orang dengan menyiapkan beras lima puluh tujuh kudut, enam kerbau,
Wukajana:
pangliwetan, Skul dinyun : nasi yang dimasak dengan jun (periuk), Skul
Hantrini (telur), Deng kakap (dendeng kakap), Deng kadiwus (jenis ikan
laut), Layar (sejenis siput), Kuluban (ulam), Dudutan (?), Tetis (olahan
Sajeng, Sidhu, Sura, Tampo, Twak (tok), Waragang. Jenis minuman non
Candi Ngetos adalah salah satu cagar budaya Indonesia yang terletak di
dengan pusat kota. Batu batanya masih sanggup menopang satu sama lain dan
ini menancapkan tubuhnya diatas tanah yang subur, dikaki Gunung Wilis,
bagian tubuh candi yang sudah keropos. Disusun dari batu bata merah khas
Majapahitan, proposisinya lebih tebal dan besar sehingga bisa bertahan sampai
34
35
saat ini. Pemilihan material batu bata merah dari pada batu andesit dilatari
batu kali andesit tidak selalu tersedia dalam jumlah yang banyak. 1 Kemudian,
Candi Ngetos terdiri dari tiga bagian, kaki, tubuh, dan atap. Membentuk
denah bujur sangkar. Candi ini mempunya panjang 9,1 m, tinggi tubuh 5,43
pintu masuk 0,65 m, tinggi punden undak hingga mncapai ruang candi 2, 47
1,8 m.2 Pintu bilik utama hanya cukup dilewati satu orang, maka apabila ingin
Dinding candi polos tidak tersedia relief cerita, namun terukir hiasan-
hiasan pengindah. Terlihat jelas kepala kala yang besar diatas relung.
Sebenarnya, ia berjumlah empat dan mendiami setiap atap relung pada badan
bekasnya. Ornamen belah ketupat di pigura bagian atas candi didapati mirip
motif banji. Dilanjut dekorasi semacam buah atau bunga bergerombol lengkap
dengan dedaunan mengitari loteng candi. Pada atas relung utama candi
nampak belalai makara, tetapi kenyataannya bila dilihat lebih dekat hanya
1
Bambang Perkasa Alam, “Pilihan Material Bangunan Pada Candi”, dalam Human Narratives
Jurnal Universitas Indraprasta PGRI, Vol. 2, No. 1 (September 2020), 36
2
Yoga, Afriawan Wahyu, Agus Daviyanto, dkk, “Wisata Jawa Timur Candi Ngetos Nganjuk”,
https://mytrip123.com/candi-ngetos/, di akses pada 02 November 2022
36
motif spiral dengan ukuran sedikit lebih besar serta dielokkan.3 Lalu, samping
hiasan spiral terdapat hiasan garis meliuk-liuk melingkari candi. Kini bilik-
bilik tersebut serta memang tidak ada hiasan di pinggir maupun dalam.
Gambar 3.3 Relief Belah Ketupat Menyerupai Banji Dan Buah Bergerombol
Dengan Daun Candi Ngetos
Sumber: Dokumentasi Pribadi
3
Yatmin, Zainal Afandi, “Studi Tentang Candi Ngetos di Kabupaten Nganjuk Ditinjau Dari
Kajian Iknografi”, dalam Efektor Jurnal Universitas Nusantara PGRI Kediri, Vol. 9, No. 1 (2022),
72
37
sebagai pemujaan. Kondisi saat ini hanya dihuni penggalan arca Ganesha.
induk.4 Sedangkan, relung sisi selatan ditempati Agastya dan sebelah utara
utama yang hanya ada Ganesha dan tangga bambu sebagai alat untuk
pembersihan candi. Diambang pintu menuju ruang utama terdapat batu dorpel.
Tembok-tembok relung polos, lisnya masih cukup halus dan hanya tegak
4
Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan, “Katalog Koleksi Arca Batu”, (Yogyakarta: Balai
Pelestarian Cagar Budaya, 2014), 7
38
Kondisi batu bata merah yang digunakan untuk menyusun candi bagian
luarnya sudah tampak lapuk, tapi cukup kuat untuk bertahan beberapa tahun
39
kedepan tanpa ada gangguan buatan atau alami. Akibatnya beberapa batu bata
hitam pekat. Terlihat semen-semen bekas akhir perbaikan candi masa lampau
dan beberapa batu bata yang sudah tidak pada tempatnya. Tingkat undak-
undak menuju ruang utama terlihat miris, hampir mirip runtuhan bangunan
tapi masih sedikit tertumpuk rapi. Lumut serta tanaman kecil-kecil damai
tinggal ditubuh candi. Sekujur awak candi mengutarakan tuanya umur dia.
dasar pembentukan bangunan suci India telah tertera dalam kitab Vastusastra
(kitab arsitektur) atau kitab Silpasastra (kitab pegangan silpin), seperti kitab
kitab Manasara yang berasal dari India Selatan. Menurut kitab tersebut dalam
1. Pemilihan Lahan
tanah yang baik untuk dibangung candi. Dengan memakai 7 unsur fisik
sebagai dasar penilaian, yaitu: warna, rasa, bau, tekstur, kontur atau
5
H. Rahardian Prayudi, “Kajian Tipo-Morpologi Arsitektur Candi Di Jawa”, (Tesis, Program
Studi Arsitektur ITB, Bandung, 1999), 3
6
Ibid, 20
42
a. Tanah Brahmana: berwarna putih atau debu seperti mutiara, rasa manis
serta keberuntungan.
b. Tanah Ksatrya: bewarna merah atau merah darah, rasa pahit, pedas,
d. Tanah Sudra: berwarna hitam atau gelap, rasa busuk, bau kotoran,
mendatangkan kekayaan.
tempat percandian atau kuil adalah tanah dengan jenis 1 dan 2. Kemudian,
mengandung pasir lebih baik untuk bangunan suci, daripada tanah yang
43
penuh kerikil, tanah rawa yang lebih tepat sebagai tempat pembakaran
Berdasarkan penjelasan fisik dari setiap jenis tanah diatas dan berdasarkan
2. Pengujian Lahan
Tanah yang baik akan memberikan suara yang nyaring atau dalam.
Saat ini untuk mengetahui atau melakukan tes kepadatan tanah dikenal
tengah tanah yang akan diuji, kemudian tanah hasil galian di masukan
mengisi lubang kembali, maka tanah tersebut tidak komapak atau tidak
7
IGN Anom, “Keterpaduan Aspek Teknis Dan Aspek Keagamaan Dalam Pendirian Candi
Peridode Jawa Tengah (Studi Kasus Candi Utama Sewu)”, Disertasi Universitas Gajah Mada
Yogyakarta, 1999, 108-109
44
ilmu tanah saat ini terdapat beberapa sifat tanah yang di perlukan,
pori-pori dengan tanah seluruhnya, dan Kadar air (water content) ialah
perbandingan berat air dengan butir tanah. Tanah yang baik memiliki
sampai 10, dan Mayamata 4. 10b samapai 18a, bahwa pengujian ini
air kedalam lubang tanah yang diuji. Menurut kitab Manasara dan
atau lebih dari lubang uji maka tanah itu tidak baik untuk konstruksi
kestabilannya. Dalam pengujian ini kriteria tanah yang baik, yaitu jika
sisa air di tanah sedikit, lubang itu tertimbun tanah disekitarnya sampai
penuh maka tanah itu baik sekali. Tanah yang baik memiliki
45
yang diuji. Para arsitek akan menaruh lampu pada lubang calon lahan,
hingga menjadi kecil dan menyentuh tanah itu dapat dimaknai kurang
baik dan wajib dihindari untuk pembangunan. Oleh karena itu, dapat
dikatakan jika lidah api semakin besar maka kadar oksigen dalam
3. Pengolahan Lahan
maka tanah tersebut sudah siap diolah. Mengikuti dasar dalam Kitab
menaburkan biji wijen ke tanah pilihan yang telah dibajak. Setelah melalui
percobaan ini maka dapat ditarik lima perbedaan golongan tanah, yaitu:
a. Tanah Brahmana: apabila bibit wijen tumbuh dalam waktu tiga malam
b. Tanah Kstrya: apabila bibit wijen tumbuh dalam waktu empat malam
c. Tanah Vaisya: apabila bibit wijen tumbuh dalam waktu lima malam
d. Tanah Sudra: apabila bibit wijen tumbuh dalam waktu enam malam
e. Tanah Pisacha: apabila bibit wijen tumbuh dalam waktu lebih dari
tujuh malam
pengertian bahwa tanah baik adalah jika, bibit wijen tersebut berkembang
8
Gharbhadana merupakan upacara yang dilakukan untuk ibu hamil. Biasanya dilakukan ketika
kandungan berumur 5-6 bulan dengan tujuan keselamatan sang bayi yang ada didalam rahim ibu
beserta sang ibunya.
9
Gharbhapatra adalah berupa kotak-kotak bejana sebanyak 9 sampai 25 kotak yang masing-
masing mewakili para dewa dan Vastupurusamandala atau disebut dengan pripih. Setiap kotak
berisi kekayaan tanah, berupa logam, akik, biji-bijian, dan tanah. Sedangkan, Brahmasthana
merupakan titik tengah (pusat site) percandian atau tempat bersemayam para Dewa Brahma.
10
Ibid, 121
47
suci adalah membuat diagram mandala di atas tanah serupa rancangan atau
denah tata letak bangunan. Terdapat dua hipotesis proses pembuatan candi.
dibuat. Proses ini perlu memerhatikan konsep bangunan suci yang dibuat
penjuru arah mata angin). Berdasarkan aliran Siwa Sidhanta, Dewa Siwa
Gana (Ganesa) pada gapura timur, Agasti (Agastya) di gapura selatan, arca
Ganesa di barat atau timur menyesuaikan arah hadap candi, dan didepan
Hal ini dibuktikan adanya temuan bangunan candi yang bergaya Dravida
genjang dan limas dan saat itu banyak dibangun oleh Dinasti Chola dan
CANDI NGETOS
namun dengan nafas keagamaan dan tentu corak yang berbeda. Apabila
pengambilan kata candi yang berasal dari nama Dewi Durga atau Dewi
kematian, yaitu candika atau dapat dikatakan sebutan untuk orang yang
1
Soekmono, “Candi Fungsi Dan Pengertiannya”, (Yogyakarta: Ombak, 2017), 13
2
Richadiana Kadarisman Kartakusuma, “Kondisi Kehidupan Keagamaan Majapahit
Berdasarkan Sumber Tertulis dan Data Arkeologi”, dalam Amerta Jurnal Penelitian dan
Perkembangan Arkeologi, Vol. 26, No. 1 (2008), 41
49
50
dunia serta hawa nafsu atau ditegaskan dalam kitab Sutasoma “pada
melainkan hubungan yang lebih rumit dan lebih menarik antara dua
Apabila dilihat lebih seksama lagi dari setiap istilah kata konteks Hindu-
Budha, entitas yang dapat menafsirkan lebih detail yaitu „koalisi‟. Pada
3
Tantrisme berasal dari bahasa sansekerta Tantra artinya “memperluas”. Dalam KBBI
Tantrisme merupakan ajaran agama Hindu dan Budha yang memiliki mistik dan magis.
4
Zoetmulder, “Kalangan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang”, Terj. Dick Hartoko
(Jakarta: Djambatan, 1983), 436-437
5
Deny Yudo Wahyudi, Slamet Sujud, dkk, “Pusat Pendidikan Keagamaan Masa
Majapahit”, dalam Jurnal Studi Sosial, Vol. 6, No. 2 (November 2014), 109
51
bersemayam para Dewa, lain halnya dengan dogma Budha bahwa candi
6
Laku adalah ritual ibadah untuk mencapai tujuan tertentu
7
“Simbol Dalam Agama Buddha”, dalam kmbui.ui.ac.id, 26 Juni 2015
8
Ibid, 160
9
Agus Aris Munandar, “Catuspatha Arkeologi Majapahit”, (Jakarta: Wedatama Widya
Sastra, 2011), 8
52
Penemuan arca Siwa dan Wisnu menjadi bukti bahwa kala itu
terhadap Sang Hyang di Candi Ngetos. Arca Siwa dan Wisnu berkaitan
serta manusia itu sendiri.10 Konsep candi sebagai lambang alam semesta
bangunan lebih intens. Desain berundak tiga teras bangunan suci kecil
10
Coleta Palupi Titasari, “Latar Belakang Konsep Bangunan Candi Wringinbranjang Di
Kabupaten Blitar Jawa Timur”, dalam
http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/10184/1/29b1ddbe10b761bbac5e36aa297f0a8b.pdf., 2017
11
Bambang Gatot Soebroto, “Kajian Estetika Yang Beda Relief Candi Jawa Timur”, dalam
Jurnal Arsitektur, Vol. 2, No. 2 (Juni 2012), 18
55
candi yang berdiri sendiri, bahwa atap mereka bersusun dengan gaya
Meru pura Bali masa kini. Selanjutnya, skema tata ruang candi hierarki
dari sisi depan yang lebih duniawi, sementara sisi belakang yang paling
sakral. Selain itu, arah bangunan candi Jawa Timur berkiblat ke hadap
12
Candi di lereng gunung tidak memiliki bilik, hanya altar disetiap teras yang ada untuk
keperluan keagamaan. Hariani Santiko.
56
kepada kita. Kepastian Raffles terkait hal ini belum dapat diketahui
kotak – kotak sembilan sampai dua puluh lima.13 Didalam lubang kotak-
percandian Prambanan.
tanah serta ditemukan berbagai tulang binatang dan abu jenazah. Tulang
setelah seorang raja wafat, jenazahnya dibakar dan sebagian dari abunya
dengan nama yang lebih terkenal yaitu candi, jika diterjemahkan dalam
pendharmaan:
15
Soekmono, “The Javanese Candi”, (Leiden: Brill, 1995), 6
58
Rajasanegara di Pharamasakapura,
63 :
16
Muhyidin Khazin, “Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktik”, (Yogyakarta: Buana Pustaka,
2008), 116. I Saka = 78 Masehi, sebab di 78 M ini bertepatan penobatan Aji Soko sebagai
raja India dan pengenalan penanggalan Soko. Maka, penghitungan tahun 1311 Saka ke
Mashi menjadi 1311+78= 1389 M.
59
pada sore harinya, datang menghadap para kepala desa, dan orang saleh
berpakaian serba putih, yang utama dan bijaksana, beserta para menteri
kerajaan, dan siapa pun yang diberi tanah desa, untuk diberi tugas,
terutama Si Arya Ramadiraja, tiada lain, besarnya biaya yang
dibicarakan dan apa pun didiskusikan di hadapan Sang Baginda
Tajung merupakan perkompleksan Candi Ngetos saat ini,
telah raip oleh berbagai faktor. Hanya candi Ngetos yang masih dapat
institusi ikut serta hadir. Kembali pada candi wujud pendharmaan tidak
17
Agus Aris Munandar, “Ibukota Majapahit, Masa Jaya Dan Pencapaian”, (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2008), 33
18
Ista-Dewata adalah manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan), seperti Brahma,
Wisnu, Iswara, Mahadewa, dan sebzagainya. Ista-Dewata merupakan para yang diharapkan
kehadirannya ketika berlangsungnya ritual pemujaan para pemujanya atau dewa yang
sesuai dengan dewa pribadinya. Maka, mantra puja-Nya diselaraskan dengan Dewata yang
dipuja.
60
perwujudan raja yang masih hidup dan penjelmaan raja yang telah
kejur bagaikan mayat, kaki dan mata rapat tertutup, serta dilengkapi
utamanya adalah Siwa dan Wisnu. Meski begitu banyak variasi tokoh
19
Stutterheim, “The Meaning of The Hindu Javanese Candi”, dalam Jurnal Of The
American Oriental Society, Vol. 51, Pensylvania: Pensylvania University 1-5, 1931
20
Rahardjo, Supratiko, “Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir”,
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), 159
21
Stutterhim, “De Dateering Van Eenige Oos-Javanesche Beeldengroepen”, TBG 76, 249-
320, 1936
61
menyimpan peripih serta meletakkan arca raja sebagai sang Dewa. Arca
dengan sang arca sebagai subjek yang dipuja. Ketika ritus berlangsung,
zat jasmaniah dinaikkan dari dalam perigi, zat rohaniah dari dalam
Sradha berjalan selama tujuh hari dan penutupan dihari akhir dengan
raja.
22
Soekmono, “Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2”, (Yogyakarta: Yayasan
Kanisius, 1973), 81-82
62
Ngetos.
kawasan candi Ngetos tidak jauh dengan pegunungan, air terjun, dan
amerta.25 Mitos orang Jawa Kuno mengenai air sebagai materi primer
yang dijaga ketat oleh para dewa. Tertuang dalam kisah Bimasuci yang
Adi pengetahuan.
Susunan batu ini dibangun atas kehendak raja masa itu, serta
kebutuhan kala itu. Selain itu, di masa Hayam Wuruk tempat keagamaan
25
Bersumber dari bahasa Sansekerta, amerta bermakna abadi (sesuatu yang abadi), dewa
(minuman para dewa).
26
Bimasuci digambarkan pada candi Kendalisodo.
64
bangunan suci mulai ditinggalkan oleh para pemeluknya dan raja akhir
Proses islamisasi terjadi di pesisir utara Jawa mulai dari bagian timur ke
Cirebon, banten, Pajang, dan Mataram Islam.29 Sejak itu Sunan Ampel
27
I Ketut Riana, “Kakawin Desa Warnnana Uthawi Negarakrtagama, Masa Keemasan
Majapahit”, (Jakarta: Kompas, 2009), 304
28
Badri Yatim, “Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), (Jakarta: Rajawali Pers
2011), 191”
29
Syafa Aulia Achidsti, “Strategi Penyebaran Tradisi Islam Pada Masyarakat Jawa”, dalam
IBDA’: Jurnal Kebudayaan Islam, vol. 10, No.2 (Juli-Desember 2012), 212
65
kegiatan tersebut, moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat,
moh madon.31 Selain itu, Sunan Ampel menggubah upacara shadana itu
30
Agus Sunyoto, “Eksistensi Islam Nusantara”, dalam MOZAIC: Jurnal Islam Nusantara,
Vo. 2, No. 2 (April 2016), 34
31
Zumrotul Mukaffa, “Sunan Ampel Dan Nilai Etis Islam Nusantara: Dari Tantra-
Bhairawa Kepada Praktik Keagamaan Nir-Kekerasan”, dalam TEOSOFI: Jurnal Tasawuf
dan Pemikiran Islam, Vol. 7, No. 2 (Desember 2017), 434
66
dikirimlah para wali oleh Raden Patah menuju tempat-tempat yang telah
32
Wawan Susetya, “Senyum Manis Walisongo”, (Yogyakarta: Diva Press, 2010), 239-240
33
Silvia Eka Sari, Hudaidah, “Masa Kepemimpinan Raden Fatah Tahun 1478 - 1518”,
dalam ESTORIA: Journal of Sciences and Humanities, Vol. 2, No. 1 (Oktober 2021), 202
34
Slamet Muljana, “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa Dan Timbulnya Negara-Negara
Islam Nusantara”, (Yogyakarta: LKiS, 2005), 202
67
yang mengatakan bahwa masjid dibuat oleh para sunan dalam satu
Sunan Bonang.
yaitu terdapat soko guru dan Majapahit. Soko merupakan pilar yang
ruang utama masjid yang terdiri dari empat buah pilar kayu jati. Setiap
utama atap limas. Terbuat dari kayu yang disertai ukiran khas Majapahit
dan bagian kaki diganjal dengan umpak batu. Selain itu, terpakai
35
Hasna Tuddar Putri, “Pergulatan Mitos Dan Sains Dalam Menetukan Arah Kiblat (Studi
Kasus Pelurusan Arah Kiblat Masjid Agung Demak)”, (Skripsi, Institut Agama Islam Negri
Walisongo Semarang, 2010), 69
36
M. Zaki, “Bab IV Gambaran Masjid Agung Demak”, dalam
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http;//eprints.undip.ac.id/60450
/5/BAB_IV_Gambaran_masjid.pdf&ved, 2017, 68
68
dinding atas mihrab dan atas barisan shaf depan.37 Tidak kalah
Grindawardana.38
cipta, sembah rasa, dan sembah kalbu menuju istilah tasawuf seperti,
37
Ibid, 78
38
Dampar kencana adalah kursi singgasana raja Majapahit pada abad 15 M yang kemudian
diboyong oleh Raden Patah pasca berhasil merobohkan sisa kekuasaan Majapahit.
39
Bambang Noorsena, “Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman Kristen Dan
Kejawen”, (Yogyakarta: Buku Rohani Andi, 2007), 14-15
69
tidak ada istilah konsep Dewaraja ataupun dicandikan yang mana telah
struktur tingkatan masjid tertinggi ialah Allah Tuhan Yang Maha Esa,
tentu jelas bukan tiruan gunung Meru serta bukan mencapai Sang Dewa.
asrama atau dukuh yang diseting sesuai ajaran Islam menjadi pondok
tanah perdikan dalam artian tanah bebas pajak, hal serupa sesuai dengan
40
Supratikno Suhardjo, Wiwin Djuwita Ramelan, “Kota Demak Sebagai Bandar Dagang
Di Jalur Sutra”, (Jakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1997), 34
70
maka Islam memiliki hal serupa dengan judul Ta’limul Muta’allim karya
meliputi tiga guru, yaitu orang tua (guru rupaka), guru yang
wisesa).
pengendalian diri atau hawa nafsu. Masih ada lagi paham Hindu-Budha
peraturan halal dan haram makanan minuman untuk seorang wiku yang
sedang mengabdi pada sang guru. Kalau dalam istilah Islam adalah
41
Denys Lombard, “Nusa Jawa Silang Budaya 02: Jaringan Asia”, Terj. Winarsih
Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, Nini Hidayati Yusuf, (Jakarta: Gramedia Pusat,
2005), 131
42
Agus Sunyoto, “Atlas Walisongo”, (Bandung: Media Mizan Utama, 2018), 169
71
batu atas mihrab masjid Menara Kudus yang berpangkal dari Baitul
Budha.
masing dilengkapi aksesoris arca kepala kebo pada halaman masjid. Hal
43
Zulham Farobi, “Sejarah Walisongo: Perjalanan Penyebaran Islam Di Nusantara”,
(Yogyakarta: Mueeza, 2018), 14
44
Mas‟udi, “Genealogi Walisongo: Humanisasi Strategi Dakwah Sunan Kudus”, dalam
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Islam, Vol. 8, No. 2 (Agustus 2018), 232-233
72
pekerjaan yang benar, usaha yang benar, meditasi yang benar, dan
Kudus dan Candi Jago.46 namun menara ini bukan untuk pemakaman
pada gapura depan masjid untuk pagar halaman. Selanjutnya, relief fabel
Kaori Agung atau Lawang Kembar pun mengangkat gaya Candi Bentar.
45
Maslihatuz Zahroh, “Masjid Menara Kudus: Eksperesi Multikulturalisme Sunan Kudus
(Studi Kasus Kehidupan Toleransi Masyarakat Kudus)”, (Skripsi, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), 62
46
Moh. Rosyd, “Menara Masjid Al-Aqsha Kudus: Antara Situs Hindu atau Islam”, dalam
Purbawidya Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi, Vol. 8, No. 1 (Juni 2019), 21
73
dibuat dalam wujud buaya dan diartikan keselamatan, motif ular naga
dari cucu Sunan Giri yaitu Sunan Prapen yang membuat mimbar dalm
Masjid Ainul Yaqin Sunan Giri. Masjidnya dibangun oleh sang kakek,
47
Rachma Fairuza Rizki Fitri, “Simbol Bangunan Pada Komplek Gapura, Masjid Dan
Makam Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur”,
(Skripsi, Universitas Airlangga, Surabaya, 2018), 7-8
48
Rizal Wahyu Bagas Pradana, “Ragam Bentuk Ragam Hias Pada Mimbar Sunan Prapen”,
dalam TANRA Jurnal Desain Komunikasi Visual, Vol. 8, No. 1 (April 2021), 45
74
merupakan lanjutan dari kerajaan Demak, sebab masih dalam satu ikatan
darah. Alih-alih Jaka Tingkir tidak lain adalah murid Sunan Kalijaga,
ramai di masa kerajaan Pajang, dia turunan dari kerajaan Demak yang
49
De Graaf, H.J., TH. Pigeaud, “Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa Peralihan Dari
Majapahit Ke Mataram”, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), 115
50
Chinanti Safa Camila, Hudaidah, “Sejarah Kesultanan Pajang Masa Pemerintahan
Hadiwijaya (154-1582)”, dalam Sindang Jurnal Pendidikan Sejarah Dan Kajian Sejarah,
Vol. 4, No. 1 (Januari – Juli 2022), 63
51
Sri Windarti Susiani, “Nilai-Nilai Moral Dalam Cerita Ramayana Karya Sunardi D.M.:
Analisis Tokoh, Penokohan, Alur, Latar Dan Tema Dan Relavansinya Sebagai Bahan
Pembelajaran Sastra Untuk SMA Kelas X”, (Skripsi, Universitas Sanatha Dharma, 2005),
75
75
juga diisi oleh tugu yang disusun membentuk candi dari batu bata.
membentuk kubus dan pigura berisi prasasti. Lalu, di atasnya kubus lagi
oleh walisongo, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Giri, dan Sunan Kudus.
dengan istilah tabligh. Sunan Giri yang diduga pereka cipta wayang
52
Djoko Soekiman, “Kotagede”, (Jakarta: Media Kebudayaan, 1992/1993), 40
53
Ibid, 221
76
filsafat, dan agama.55 Figur wayang era Hindu-Budha diukir guna hiasan
54
Teguh Fajar Budiman, “Konsep Ajaran Sunan Kalijaga (Raden Syahud Walisongo
Dalam Menyebarkan Agama Islam Melalui Kesenian)”, dalam Tsaqofah Jurnal Sejarah
dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 2 (Desember 2020), 67
55
I Dewa Alit Dwija Putra, “Menelusuri Jejak Rupa Wayang Klasik Bali”, dalam Jurnal
RUPA, Vol. 3, No. 4 (Desember 2018), 138
56
Sukirno, “Hubungan Wayang Kulit Dan Kehidupan Sosial Masyarakat Jawa”, dalam
BRIKOLASE Jurnal Kajian Teori, Praktik, Dan Wacana Seni Budaya Rupa, Vol. 1, No. 1
(Juli 2009), 21
77
wujud baru era walisongo kurang proposional tetap laku keras dimata
rupa api menyala di balik kayon, wayang ini dibuat tahun 1443 “geni
berbagai wayang diatas terdapat lelakon asli dari epos Mahabarata dan
Ramayana yang selepas itu dikembangkan dalam versi Islam oleh Sunan
57
Muh Nurul Huda, Kundharu Saddhono, “Wayang Purwa Gagrag Banyumas Dan Peran
Wali”, dalam IBDA’ Jurnal Kebudayaan Islam, Vol. 15, No. 1 (Mei 2017), 139
78
masuk kategori salah satu alat musik berbentuk bulat dan terdapat
Tombo Ati.
peradaban Islam. Sebelum itu, filolog asal Belanda Jan Laurens Andries
58
I Nyoman Mariyana, I Gede Arya Sugiarta, dkk, “Gamelan Gambang Kwanji Sempidi
Kajian Sejarah, Musikalitas, Dan, Fungsi”, dalam Kalangwan Jurnal Seni Pertunjukan,
Vol. 5, No. 2 (Desember 2019), 123
59
Ibid, 249
60
Jauharotina Afhadilah, “Interpretasi Konsep Tuhan”, dalam Islamika Inside Jurnal
Keislaman Dan Humaniora, Vol. 4, No. 2 (2018), 13
61
Elvin Naimatul Khafidoh, “Studi Komparatif Pendidikan Islam Dalam Tembang Lir-Ilir
Karya Sunan Kalijaga Dan Tembang Tombo Ati Karya Sunan Bonang”, (Skripsi, Institut
Agama Islam Negeri Ponorogo, 2021), 530
79
tersebut. Hal tersebut kerap kali muncul di relief candi Prambanan yang
dari Candi Ngetos. Masjid Ngetos tidak terlalu jauh seperti masjid-
masjid era wali songo yang bangunannya di tempat tinggi dan ada
62
Mufti Riyani, “Local Genius Masyarakat Jawa Kuno Dalam Relief Candi Prambanan”,
dalam SEUNEUBOK Lada Jurnal Ilmu-Ilmu Sejarah, Sosial, Budaya, Dan Kependidikan,
Vol. 2, No. 1 (Januari – Juni 2015), 9 0
63
Asmaun Sahlan, Mulyono, “Pengaruh Islam Terhadap Perkembangan Budaya Jawa:
Tembang Macapat”, dalam El Harakah Jurnal Budaya Islam, Vol. 14, No. 1 (2012), 111
80
pemakaman orang yang berjasa maupun alim ulama, tidak lepas dari
Formasi ini tidak jauh dari budaya arsitektur yang bertujuan untuk
desa dan menghargai jasa beliau. Tidak jauh dari kompleks makam-
bulan Suro penuh dengan akhir acara pesta pertunjukan dan makan –
makan di desa.
64
Laila Wrgiati, “Berubahnya Upacara Sraddha Dalam Agama Hindu Menjadi Nyadran
Dalam Tradisi Islam Di Sedati Sidoharjo”, (Skripsi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2022),
66
65
Wawancara Bapak Aris di Desa Ngetos pada tanggal 25 Februari 2022
81
tradisi asli perlahan terkikis oleh pemahaman baru sebut saja Islam hal
alam menjadi suatu afair jauh sebelum modern dikenal, sebab telah
Saka (1311 M), gemuruh lahar dingin (guntur banyu pindah) 1256 Saka
(1334 M), munculnya Gunung Anyar baru 1307 Saka (1385 M), gunung
meletus 1317 Saka (1395 M), gunung meletus 1343 Saka (1421 M),
66
Bernard H.M. Vlekke, “Nusantara Sejarah Indonesia”, Terj. Samsudin Berlian, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), 253
67
Amien Widodo, “Sejarah Bencana Jawa Timur”, https://www.its.ac.id, 2-3, Oktober
2021
82
disusul 1348 Saka (1426 M), gempa bumi (palindu) 1372 Saka (1450
M), disusul gunung meletus satu tahun kemudian 1373 Saka (1451 M),
gunung meletus 1384 Saka (1462 M), gunung lainnya meletus 1403
1716,1752, 1771, 1776, dan 1785. Raffles ikut serta menyebutkan aksi
tanggal 5 Juni 1811, 1825, 1826. Diperinci lagi pada tahun 1826
tepatnya tanggal 11, 14, 18, dan 25 Oktober terjadi letusan. Sejarah tidak
hanya mencatat gempa dan gunung meletus, tetapi bencana lain seperti
gunung berapi. Berpatok dalam draf sejarah terhitung sedari tahun 1600
iklim di dunia.
68
Mohd. Robi Amri, Gita Yulianti, Ridwan Yunus, dkk, “RBI Risiko Bencana Indonesia”,
(Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2016), 62
83
daripada koloni kabarnya mereka kurang baik. Anthony Day ahli budaya
di Jawa, bahwa perang stabil berlangsung pasca itu dengan versi “perang
84
Mangkunegara, Pakualaman.
pikiran yang muncul dari Eropa Barat Abad XVIII, lalu digiring ke
orang yang dipisahkan antara satu sama lain oleh ras, agama, lembaga,
Batavia tahun 1733. Dalam tahun yang sama Candi Prambanan berhasil
69
Ibid, 64
85
pemicu para pegiat lebih gencar menelisiri tanah Hindia terutama Jawa.
Inggris ke empat di akhir abad XVIII. Saat itu Hindia Belanda di bawah
sedangkan musuh perang Inggris tahun 1811 tidak lain ialah Prancis.
70
Th. Stevens, “Tarekat Mason Bebas Dan Masyarakat di Hindia Belanda Dan Indonesia
1764-1962”, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), Hlm, 94
71
Endang Sri Hardiati, Nunus Supardi, Trigangga, dkk, “Potret Museum Nasional
Indonesia Dulu, Kini, & Akan Datang”, (Jakarta: Museum Nasional, 2014)
86
pembubaran VOC kala itu. Belanda dan VOC bangkrut bermula dari
dampaknya setelah perang luar biasa. Semua aset VOC dan Belanda di
perannya.
akhirnya kaum Britania menang dengan ditandai serah terima Jawa dari
Belanda kepada Britania di Semarang pada tahun yang sama. Salah satu
tahun yang sama 1811 Raffles diangkat menjadi Gubernur Jendral Jawa
72
Ibid, 292
87
Tarekat Mason Bebas dan dilantik oleh Wakil Suhu Agung tarekat masa
lalu dalam jangka satu bulan naik pangkat menjadi suhu (master)
peran himpunan itu sebagai wadah dari hasil kerja mereka yang
temuannya.
waktu atau masa yang terpaut lama. Sehingga para peneliti menyatakan
74
Septiana Ardhian Wahyuningtyas, “Masa Pemerintahan Raffles di Indonesia Pada
1811”,
https://www.academia.edu/44932447/MASA_PEMERINTAHAN_RAFFLES_DI_INDON
ESIA_PADA_1811, (2021)
89
Jonggrang atau candi lain disekelilingnya mungkin bisa jadi candi Sewu.
“para penjaga pintu yang bengis” sinkron dengan ciri candi Prambanan
arca menurut Lons berada di dalam tiga bilik meliput, arca Durga
75
J.G. De Casparis, “Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from The 7 th To 9th
Century”, (Bandung: Masa Baru, 1956), 3222
90
arca, relief, dan sisi bangunan yang hampir hancur bila belum
jauh. Dalam satu area didapat dua bangunan besar yang disebut reca atau
penjaga dengan kondisi satunya pecah menjadi dua dengan lebar kurang
76
Shinta Dwi Prasasti, “Candi Prambanan Di Abad Ke 19”,
https://bpcbdiy.kemdikbud.go.id/berita-candi-prambanan-abad-ke-19, (18 April 2022)
91
lebih tiga kaki dan tinggi 13,5 inci. Sekujur tubuh candi Prambanan
terbuat dari batu tidak diselingi batu bata maupun semen. Tampak
singa gopia dilengkapi kalung serta mahkota dan susunan bunga lotus
diatas kepala. Dua arca dilukis dalam relief dengan bentuk tuju kera
Mencakup enam candi besar di sepanjang jalan masuk, dua candi kecil
dan dua belas candi berada di eksterior memiliki lima relung dari arah
lain berisi singa. Candi terbesar dari golongan enam candi tadi memiliki
77
Thomas Stamford Raffles, “The History of Java”, Terj. Eko Prasetyaningrum, Nuryati
Agustin, Ida Qoryati Mahbubah, (Yogyakarta: Narasi, 2015), 356-363
78
Santiko, “Candi Prambanan: Deskripsi, Latara Belakang Agama, Dan Masa
Pendiriannya”, Laporan Penelitian, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1992), 3
92
tahun 1864, didapati tangan nakal pemilik pabrik gula yang seenaknya
79
Denys Lombard, “Nusa Jawa Silang Budaya 1: Batas Pembaratan”, (Jakarta: Gramedia
Pusat, 2005), 203-204
93
dana, tenaga, waktu yang dominan. Hambatan juga datang dari kondisi
tingkat dengan setiap jarak per tingkat semakin ke atas kian dekat.
candi kurang lebih 50 kaki, akan tetapi setengah benda itu runtuh hingga
figur telanjang dada dan duduk bersila bila ditotal jumlahnya mencapai
80
Maulana Ibrahim, “Kompleks Candi Prambanan Dari Masa Ke Masa”, (Jakarta:
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1996), 41
94
maupun sisi sekitar yang lain. Seluruh situs ini memiliki luas 620 kaki
bagian selatan Brebeg, tepatnya dalam Desa Ngetos yaitu Candi Ngetos.
bata utuh, sedikit kerusakan pada hiasan dinding, serta ditemukan candi
81
Ibid, 374
82
Ismijono, Mulyono, Bambang Sumedi, dkk, “Tinjauan Kembali Rekontruksi Candi
Borobudur”, (Magelang: Balai Konservasi Borobudur, 2013), 3
83
Ibid, 379
95
pada permukaan kepala monster dan bagian bawahnya saja sebab, batu
bangunan kecil dekat candi besar yang hampir serupa, Hopermans dalam
delapan hasta persegi, pintu masuk dari arah barat, serta memuat relung
di sisi barat, tangga depan telah hancur sebagian, lengkap beserta sudut
bangunan yang halus tapi hancur. Tinggi bagian atas subbasement 1,50
ditambah dekorasi pita tengah pada bagian atas dan bawah. Pada
ornamen – ornamen terpisah melalui baris mirip belalai makara, tapi itu
adalah spiral arab yang dipahat keras. Pintu masuk utama menyandang
kondisi ini sangat bobrok sedari 1886. Maka, tahun 1917 dinas arkeologi
mengabadikan.84
Gambar 4.5 Candi Ngetos Dari Sisi Selatan 1914 Sebelum Perbaikan
Sumber: OD-1866-Candi Ngetos seen from South [PO2015101200031]-
Nganjuk-1914
84
N.J. Krom, “Hindoe-Javaansche Kunts”, (Den Hagg: Martinus Nijhoff, 1923), 345-348
97
Gambar 4.6 Candi Ngetos Dari barat Laut 1914 Sebelum Perbaikan
Sumber: OD-1863-Candi Ngetos seen from North West to West [GD-
06_182]-Nganjuk-1914
Gambar 4.7 Gradiasi Bangunan Candi Ngetos Dari Barat Laut 1914
Sebelum Perbaikan
Sumber: OD-1863-Candi Ngetos seen from North West to West [GD-
06_182]-Nganjuk-1914
Gambar 4.9 Detail Lubang Sisi Utara Candi Ngetos Selama Perbaikan
1917
Sumber: OD-2715-Candi Ngetos detail temple niche North side during
restoration [PO2015101600265]-Nganjuk-1917
Gambar 4.10 Bagian Atas Jalan Masuk Bilik Utama Candi Ngetos
Sebelum Perbaikan 1917
Sumber: OD-2717-Candi Ngetos entrance taken from above before
restoration [PO2015101600267]-Nganjuk-1917
Gambar 4.11 Detail Bagian Barat Candi Ngetos Selama Perbaikan 1917
Sumber: OD-2712-Candi Ngetos detail view West side
[PO2015101600260]-Nganjuk-1917
99
Gambar 4.12 Detail Ruangan Dalam Jalan Masuk Ruang Utama Candi
Ngetos Saat Perbaikan 1917
Sumber: OD-2718-Candi Ngetos detail entrance from the inner space
before restoration [PO2015101600268]-Nganjuk-1917
Gambar 4.13 Kepala Kala Pada Bagian Selatan Candi Ngetos Setelah
Perbaikan 1917
Sumber: OD-2755-Candi Ngetos Detail with kala head at the south side
after the repair [PO2015101600305]-Nganjuk-1917
Gambar 4.16 Bagian Timur Laut Candi Ngetos Setelah Perbaikan 1917
Sumber: OD-2759-Candi Ngetos seen from northeast after the repair
[PO2015101600309]-Nganjuk-1917
Gambar 4.17 Candi Ngetos Dari Sisi Utara Setelah Perbaikan 1917
Sumber: OD-2761-Candi Ngetos seen from south after the repair
[PO2015101600311]-Nganjuk-1917
101
terkait saksi mati sejarah peradaban, meliputi arca batu maupun logam,
orang Eropa menilai peninggalan itu secara mendalam dari sisi historis.
85
Alexandra Green, “Koleksi Raffles Dari Jawa: Bukti Dari Eropa Tentang Sebuah
Peradaban”, dalam Purawidya Jurnal Penelitian Dan Perkembangan Arkeologi, Vol. 9, No.
2 (November 2020), 173. British Library dan Royal Asiatic Society merupakan museum di
Buckinghamshire London, serta mueseum tambahan British Museum, Royal Collection
Trust, dan Claydon House.
86
Ibid, 212
102
Belanda terlihat sama sekali tidak meminati sejarah dan budaya Jawa
serta dianggap tidak bisa menghargai karya kuno tinggalan leluhur Jawa.
87
Hafidz Putra Arifin, “Politik Hukum Perlindungan Cagar Budaya Di Indonesia”, dalam
Dialoga Iuradica Jurnal Hukum, Bisnis, Dan Investasi, Vol. 10, No. 1 (November 2018),
71 -72
103
88
Francien Van Anrooij, “De Koloniale Staat (Negara Kolonial) 1854 - 1942”,
Terjemahan Nurhayu W. Santoso, Susi Moeimam, (Leiden: Archief Van Het Ministerie
Van Kolonien, 2014), 122
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
bernama Anjuk Ladang pada masa Mpu Sindok. Sedangkan, Ngetos pada
104
105
leluhur atau nyekar selama satu bulan Suro penuh. Makna Candi Ngetos
kondisi ini sangat bobrok sedari 1886. Maka, tahun 1917 dinas arkeologi
mengabadikan.
B. Saran
Buku
Aris Munandar, Agus, 2008, “Ibukota Majapahit, Masa Jaya Dan Pencapaian”,
dan Perpustakaan)
Christie, J.W., 1983, “Raja dan Rama: The Classical State in Early Java Centers In:
Symbolis, and Hierachis”, (New Haven: Yale University Southeast Asia Studies)
De Casparis, J.G., 1956, “Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions From The
Nganjuk)
Hardiati, Endang Sri, Nunus Supardi, Trigangga, dkk, 2014, “Potret Museum
Nasional)
Borobudur)
Lombard, Denys, 2005, “Nusa Jawa Silang Budaya 1: Batas Pembaratan”, Terj.
(Yogyakarta: LkiS)
Mulyadi, Lalu, Julianus Hutabarat, Andi Harisman, 2015, “Relief dan Arca Candi
Robi Amri, Moh., Gita Yulianti, Ridwan Yunus, dkk, 2016, “RBI Risiko Bencana
Yayasan Kanisius)
Narasi)
Stevens, Th., 2004, “Tarekat Mason Bebas Dan Masyarakat di Hindia Belanda
(Palembang: CV Amanah)
Van Anrooij, Francien, 2014, “De Koloniale Staat (Negara Kolonial) 1854-
Yatim, Badri, 2011, “Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), (Jakarta:
Rajawali Pers)
Zoetmulder, 1983, “Kalangan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang”, Terj. Dick
Jurnal
Aris Munandar, Agus, 2004, “Karya Sastra Jawa Kuno Yang Diabadikan Pada
Aulia Achidsti, Syafa, 2012 “Strategi Penyebaran Tradisi Islam Pada Masyarakat
Jawa”, dalam IBDA’: Jurnal Kebudayaan Islam, vol. 10, No.2 (Juli-
Desember)
Eka Sari, Silvia, Hudaidah, 2021, “Masa Kepemimpinan Raden Fatah Tahun
2, No. 1 (Oktober)
Fajar Budiman, Teguh, 2020, “Konsep Ajaran Sunan Kalijaga (Raden Syahid
Green, Alexandra, 2020, “Koleksi Raffles Dari Jawa: Bukti Dari Eropa Tentang
Mukaffa, Zumrotul, 2017, “Sunan Ampel Dan Nilai Etis Islam Nusantara: Dari
(Desember)
Riyani, Mufti, 2015, “Local Genius Masyarakat Jawa Kuno Dalam Relief Candi
Stutterheim, 1931, “The Meaning of The Hindu Javanese Candi”, dalam Jurnal of
University)
Wahyu Bagas Pradana, Rizal, 2021, “Ragam Bentuk Ragam Hias Pada Mimbar
No. 1 (April)
Internet
https://www.academia.edu/44932447/MASA_PEMERINTAHAN_R
2015
Oktober 2021
Yoga, Afriawan Wahyu, Agus Daviyanto, dkk, “Wisata Jawa Timur Candi
November 2022
Fairuza Rizki Fitri, Rachma, 2018, “Simbol Bangunan Pada Komplek Gapura,
Tembang Lir-Ilir Karya Sunan Kalijaga Dan Tembang Tombo Ati Karya
Sunardi D.M.: Analisis Tokoh, Penokohan, Alur, Latar Dan Tema Dan
Tuddar Putri, Hasna,2010, “Pergulatan Mitos Dan Sains Dalam Menetukan Arah
Wawancara
Wawancara Pak Aris Juru Kunci Candi Ngetos, 12 November 2021
Wawancara Pak Didik Pegawai Badan Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, 05
Desember 2021
Lain-lain
Riyanto, Sugeng, 2019, “Ragam Hias Pada Candi Sebagai Motif Batik”, dalam
1, No. 1 (Desember)
TBG 76
LAMPIRAN
Foto bersama pak Aris juru kunci Candi Ngetos sebagai narasumber
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa dalam hasil penelitian ini tidak terdapat
unsur-unsur penjiplakan karya ilmiah yang pernah dilakukan atau dibuat orang
lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam
sumber kutipan daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari ternyata hasil penelitian ini terbukti terdapat unsur-
unsur penjiplakan dan ada klaim dari pihak lain, maka saya bersedia untuk
diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa paksaan
dari siapapun.
A. Identitas Diri
Nama : Anna Nur Nita
TTL : Kediri, 11 Mei 2000
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Dsn. Warujayeng, Ds.
Warujajyeng, Kec. Tanjunganom,
Kab. Nganjuk
Fakultas : Ushuluddin Adab dan Humaniora
Program Studi : Sejarah Peradaban Islam
NIM : U20184023
B. Riwayat Pendidikan
1. SDI Darussholihin Nganjuk
2. MTsN Tanjunganom Nganjuk
3. SMA A. Wahid Hasyim Tebuireng Jombang
C. Pengalaman Organisasi
1. Anggota PKS SDI Darussholihin
2. Anggota KOMPAS (Komunitas Pelajar Sains) SMA
3. Anggota dan pengurus Organisasi Daerah OPITH (Organisasi Pelajar
Islam Thariqul Huda) Tebuireng Jombang (2015-2017)
4. Anggota dan pengurus HALTE (Himpunan Alumni Tebuireng) Jember
(2018-2020)
5. Pengurus HMPS (Himpunan Mahasiswa Program Studi) Sejarah
Peradaban Islam