Anda di halaman 1dari 126

UNIVERSITAS INDONESIA

SEGALA DAYA MEMBELA KAUM TERTINDAS:


SELINTAS KILAS GAGASAN NJOTO
SEBAGAI POLITIKUS, PUBLISIS, DAN PEGIAT BUDAYA
1951—1965

SKRIPSI

FADRIK AZIZ FIRDAUSI


NPM: 1006761931

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
DESEMBER 2015

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


UNIVERSITAS INDONESIA

SEGALA DAYA MEMBELA KAUM TERTINDAS:


SELINTAS KILAS GAGASAN NJOTO
SEBAGAI POLITIKUS, PUBLISIS, DAN PEGIAT BUDAYA
1951—1965

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Humaniora

FADRIK AZIZ FIRDAUSI


NPM: 1006761931

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
DESEMBER 2015

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015
Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015
Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015
SEKAPUR SIRIH

“The only things that matters is what you believe,” ujar Robert Langdon di
akhir film The Da Vinci Code. Profesor sejarah dan simbologi Harvard itu
mengingatkan saya kepada sebuah pertanyaan seorang sahabat, “Apa kamu
pernah meminta sesuatu kepada Tuhan?” Saya jarang berdoa, setidaknya sebuah
doa yang meminta sesuatu secara spesifik. Doa penutup sembahyang saja saya
tidak terlalu hafal. Saya hanya meminta pengampunan dan selebihnya saya
percaya. Saya percaya bahwa Tuhan adalah Pengasih yang akan mengatur dan
mencukupi semua. Pun di saat fisik dan hati saya kelelahan mengerjakan skripsi
ini. Saya pikir saya hanya harus melewati batasan diri, fisik dan hati. Selebihnya
adalah kepercayaan. Saya tidak tahu apakah Habib Rizieq akan setuju atau murka,
tetapi mungkin saat melihat saya yang kuyu Tuhan sedang berkata, “Daripada
merengek seharusnya kau gerakkan tangan dan hatimu menyelesaikannya.”
Langdon hanyalah fiksi, tetapi setidaknya kata-katanya ada benarnya. Jadi,
baiklah saya percaya sepenuhnya dan untuk kesekian kali saya harus bersyukur
kepada-Mu, Gusti.
Skripsi ini bukanlah yang terbaik, tetapi setidaknya saya telah menulisnya
dengan sepenuh hati dan jujur. Sejak awal kuliah saya ingin menulis skripsi yang
agak di luar arus utama, setidaknya menurut saya. Benar saja, memilih sosok
Njoto dan isi kepalanya telah membawa saya kepada penjelajahan yang
mengesankan. Dia komunis tetapi menurut sebagian kawannya kesehariannya
terkesan borjuis. Di zaman revolusi ia adalah aktivis yang anggota grup musik.
Tentu Goenawan Mohammad tidak sedang mengigau ketika memujinya sebagai
penulis yang cemerlang. Sisi khas itulah yang menarik penulis untuk mengangkat
pribadi dan pemikirannya menjadi karya skripsi ini.
Selain itu penulisan skripsi ini juga dimaksudkan untuk menelusur
kembali, sejauh yang penulis mampu, narasi sejarah komunisme Indonesia kurun
1950-an. Selama ini sorotan dan panggung utama diberikan kepada Aidit.
Diskursus tentang PKI kemudian selalu berasosiasi dengan Aidit. Apakah suara
PKI adalah suara Aidit? Tentu tidak dan inilah saatnya ‘pertunjukan’ berganti.
Melalui Njoto penulis berusaha menyodorkan ‘suara’ lain mengenai sejarah

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


komunisme Indonesia dan panggung besar Indonesia 1950-an. Akan tetapi penulis
tidak ingin bersombong hati dengan mengatakan studi ini hendak menyumbang
sebuah teori atau analisis yang benar-benar baru tentang sejarah komunisme
Indonesia. Sama sekali bukan. Studi ini lebih bersahaja, sebatas menggali
perspektif baru. Sebuah usaha memanfaatkan bahan-bahan lama yang selama ini
nisbi terbengkalai.
Topik skripsi ini sendiri adalah topik ketiga yang penulis ajukan di saat-
saat akhir mata kuliah Seminar Sejarah. Sebelumnya penulis sempat mengajukan
topik tentang Tan Khoen Swie dan penerbitannya yang berjasa memasyarakatkan
sastra kraton. Menulis tentang tokoh dari kampung sendiri tentu membanggakan,
pikir penulis ketika itu. Akan tetapi topik ini pupus karena kelangkaan bahan studi
dan keawaman penulis perihal topik ini. Topik kedua tentang pemikiran Bung
Hatta pun bernasib serupa. Penulis gagal menjelaskan apa yang hendak dibahas
tentang Hatta sementara kajian tentangnya telah sangat menumpuk.
Di saat itulah penulis akhirnya ‘menemukan’ Njoto. Secara tidak sengaja
sebenarnya. Di sebuah toko buku penulis menemukan biografi Njoto dan mulai
membacanya. Sebelum itu, jujur saja, penulis tidak mengenal sama sekali tokoh
ini. “Ada orang komunis selain Aidit dan penulis pula,” pikir penulis ketika itu.
Sejak itulah penulis memutuskan untuk menjadikan tokoh ini sebagai subjek
skripsi.
Berkuliah di Universitas Indonesia adalah sebuah kebanggaan bagi
penulis. Oleh karena itu, penulis merasa perlu menghaturkan terima kasih secara
kelembagaan kepada Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Dr. Adrianus
Laurens Gerung Waworuntu, S.S., M.A. dan Ketua Program Studi Ilmu Sejarah
Dr. Linda Sunarti, M.Hum.
Skripsi ini bagaimanapun juga tidak akan menjadi rupanya yang sekarang
tanpa budi baik dari Mas Kasijanto selaku pembimbing dan juga tanggapan kritis
dari Mas Iskandar selaku pembimbing praskripsi. Sebagai mahasiswa sejarah
tidak elok rasanya jika saya tidak mengahaturkan pula terima kasih dan rasa
hormat yang dalam kepada para dosen yang telah membimbing saya selama
kuliah. Juga maaf jika sering saya tak sopan datang ke kelas dengan sendal yang
itu-itu saja.

vi

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


Dalam penyusunan skripsi ini penulis memanfaatkan arsip koran Harian
Rakjat dan Bintang Merah yang tersimpan di beberapa lembaga. Selain media
publikasi utama PKI tersebut sebenarnya masih banyak bahan lagi yang bisa
dimanfaatkan untuk menyusun narasi tentang Njoto dan pemikirannya. Terutama
untuk menjelaskan bagaimana pemikiran Njoto tersebar lantas kemudian
mengundang dukungan dan tentu saja penolakan. Juga penting untuk melihat
bagaimana pemikirannya itu berkelindan dengan konteks zaman dan lingkungan
dia hidup. Akan tetapi, harus diakui bahwa penulis menemui banyak keterbatasan
selama proses tersebut. Keterbatasan waktu, biaya, dan akses merupakan kendala
utama penulis selama ini. Oleh karena itu, penulis harus berendah hati bahwa
skripsi ini memang bukanlah karya terbaik. Meskipun demikian, ditengah segala
keterbatasan itu penulis berusaha menggenapi kaidah metode sejarah sehingga
substansi karya ini tetap bisa dipertanggungjawabkan. Atas semua proses tersebut
penulis berutang budi sangat besar kepada banyak lembaga dan pribadi.
Pertama dan paling utama adalah kepada Pak Martin Aleida, kolega Njoto
dan sastrawan Lekra, yang sudi meluangkan waktu meladeni pertanyaan-
pertanyaan anak muda ini. Segala informasi beliau adalah kompas yang menuntun
penulis dalam menelusuri kehidupan dan karya Njoto. Saya selalu tersentuh demi
membaca tulisan dan kilasan kabar Pak Martin di media sosial yang haru tetapi
menguatkan. Semoga selalu dilimpahi kasih, Bapak.
Terima kasih pula kepada staf Perpustakaan Pusat UI, Perpustakaan
Nasional, Arsip Nasional RI, dan Monumen Pers Surakarta yang ramah dan
memberikan pelayanan yang baik kepada penulis. Terutama kepada Pak
Sugiyono, petugas arsip mikrofilm Perpustakaan Nasional, yang telah mengajari
mengoperasikan proyektor antik pembaca arsip. Sungguh penulis merasa seperti
anak kecil yang kegirangan menemukan mainan baru ketika itu. Kepada Bu
Eneng petugas arsip media massa Perpustakaan Nasional yang dengan sabar
melayani permintaan fotokopi dari penulis yang terkadang tidak kira-kira
banyaknya.
Terima kasih dan jabat erat selalu kepada para pelapak buku yang telah
berbaik hati membantu penulis. Kepada Bung Evander terima kasih atas
kemurahanhati dan kepercayaannya membolehkan mengangsur pembayaran buku

vii

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


langka yang sangat penulis butuhkan. Kepada Cak Tarno yang memberikan
potongan harga khusus. Juga kepada Bang Rudi Kardus Buku atas kehangatan dan
obrolan-obrolan mbeling nan inspiratif saat berkunjung ke lapak. Berkat kebaikan
Anda semua saya bisa tetap makan di warteg dengan tenang. Setialah terus
menghadirkan buku-buku klasik berkualitas meskipun zaman nirkertas menjelang.
Banyak teman dan sahabat yang telah membantu penulis dengan
serbaneka cara dan karena itu layak pula atas ungkapan terima kasih ini. Terima
kasih kepada kawan-kawan angkatan 2010 yang telah sudi mengawani
nongkrong, diskusi, dan mencari makan siang dari seminar ke seminar. Ada Adin
yang mirip Azzam KCB, Adya, Omar, ‘Pangeran’ Asep, Raihan, Martin, Erlan
yang foto profil facebook-nya tidak pernah ganti, Mamet yang sekarang suka
gowes, Binti dan juga kawan-kawan lain yang tidak bisa penulis sebut satu
persatu. Juga kawan-kawan Komunitas Lesehan Buku: Dea, Rere, Tiya, Faqih dan
Savran yang baik.
Kepada kawan-kawan pengajar dan staf Bimbingan Belajar BTA Pasar
Minggu: Mbak Irma, Mbak Yuni, Mas Malik, Mas Dede, Mang Zul, juga Cindy,
Tutur, Raihan, Mas Fahmi, dan Mas Fitrah. Juga kepada kawan-kawan ‘jihad’ di
Wedangan Lek Kromo: Desna, Siwi, Jojok, Ma’arif, Cholis, dan Baliq. Sungguh,
kehangatan dan candaan kalian yang tidak putus meskipun kadang garing adalah
penyelamat jiwa saya dari kebekuan. Kalianlah yang menjaga saya tetap waras.
Sahabat-sahabat ngopi dan dan naik gunung di Kediri dan Malang: Ayu
Dewi Purwandini, Helmi yang fotonya ada di mana-mana, Ardani, dan Abid.
Matur nuwun tumpangan tempat tidurnya selama di Malang dan kesediaannya
mendengar keluh kesah dan ide-ide busuk penulis selama ini. Juga kawan-kawan
Kediri di UI: Jibo, Jaka, Giri, Kiki, Ambar, Ila, Zeni, Fitria dan Ulfa.
Rasa terima kasih juga perlu saya sampaikan kepada Bu Suminar
sekeluarga yang telah berbaik hati menampung saya di rumah yang penuh
kekeluargaan. Ibu sudah selayaknya ibu asuh bagi penulis yang ikut mendoakan
kebaikan bagi penulis.
Para sahabat di PMII yang tak henti terus memotivasi dan mengingatkan,
meskipun lebih sering meledek. Kunto yang selalu mengklaim dirinya peka, Afri
yang selalu punya fans di mana-mana, Choliq si penindas kaum jomblo, Akbar,

viii

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


Pino, Fuad dan Tawus yang telah sudi membantu mendokumentasikan arsip di
Perpustakaan Nasional, Ruli, Labib, Rudi, Ina, Egi, Upik. Juga kepada senior
yang baik: Masdan, Mas Woro, Mas Roghib, dan Mas Ivan yang telah meminjami
beberapa buku dari koleksinya yang aduhai. Terima kasih untuk malam-malam
penuh canda, ceng-cengan, pisuh-pisuhan, dan tindakan-tindakan rusuh yang
pernah kita lakukan bersama. Terima kasih sudah menjadi keluarga di rantau yang
panas ini. Semoga kelak kita selalu dalam keadaan kenyang saat serius maupun
bercanda.
Akhirnya, rasa syukur dan terima kasih terdalam tentunya kepada Ibukku
Sulistyaningsih dan Bapakku Maksun. Haqqulyakin beliau berdua adalah orang
pertama yang selalu mendoakan dan berharap yang terbaik untuk saya. Maaf jika
sampai saat ini masih saja jadi anak yang bandel, kurang patuh, dan selalu
seenaknya sendiri pakai sendal tanpa mau peduli adat. Tetapi terima kasih Bapak
dan Ibuk masih mengizinkanku menempuh jalan dan pilihanku sendiri. Ini semua
juga demi kalian berdua, Pak, Buk. Terima kasih juga Upi, adikku yang sejatinya
lebih bandel dariku. Kepada merekalah skripsi ini saya persembahkan
sepenuhnya.
Akhir kalam, semoga karya ini ada faedahnya. Semua ini hanya akan jadi
purwarupa tanpa bantuan dan motivasi dari orang-orang baik tersebut, tetapi
sepenuhnya isi dari skripsi ini adalah tanggung jawab saya. Saya jadi ingat satu
kutipan dari komik Slam Dunk, “Permainan baru akan berakhir di saat kau sudah
menyerah.” Tabik.

Depok, Desember 2015


Penulis

ix

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015
ABSTRAK

Nama : Fadrik Aziz Firdausi


Prodi : Ilmu Sejarah
Judul : Segala Daya Membela Kaum Tertindas: Selintas Kilas Gagasan
Njoto Sebagai Politikus, Publisis, dan Penggiat Budaya 1951—
1965

Skripsi ini berfokus pada telaah pemikiran Njoto, salah satu pimpinan utama PKI,
dalam kapasitasnya sebagai seorang politikus, publisis, dan pekerja budaya.
Pemikirannya berkelindan pada konteks Indonesia periode 1951—1965. Melalui
kajian skripsi ini penulis mencoba keluar dari penilaian apriori terhadap pemikiran
kalangan kiri Indonesia. Skripsi ini juga bertujuan untuk melengkapi khazanah
historiografi pemikiran periode 1950-an yang nisbi terbatas. Oleh karena itu,
dalam proses penulisan skripsi ini penulis banyak memanfaatkan karya-karya
Njoto selama kurun tersebut yang dipublikasikan dalam koran komunis, Harian
Rakjat. Hasil studi ini menunjukkan bahwa akar dari pemikiran Njoto adalah
keberpihakan politik kepada masyarakat kelas bawah. Tema besar dari
gagasannya adalah tentang pembebasan rakyat dari ketertindasan. Gagasannya
dalam taraf tertentu tidak orisinal, tetapi gagasannya dalam tiga domain tersebut
saling bertaut sehingga mampu mendukung gerakan yang sinergis dan masif.

Kata kunci: Njoto, komunisme Indonesia, sejarah pemikiran, pembebasan rakyat,


politik-ideologi, kebudayaan, pers

xi

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


ABSTRACT

Name : Fadrik Aziz Firdausi


Study : History
Judul : Study in Njoto’s Thought as Politician, Publisher, and Cultural
Commentator 1951—1965.

This study focuses on Njoto’s thought, one of the eminent leaders of Indonesian
Communist Party, in his capacity as politician, publicist, and cultural
commentator. His thinking is intertwined in the context of Indonesia period
1951—1965. Through this study, the author tries out a priori assessment on the
thinking of the left movement in Indonesia. This study also aims to complete the
historiography of thought in the 1950s which were relatively limited. Therefore,
in the process of writing this study, the author utilizes Njoto’s works during that
period were published in a communist newspaper, Harian Rakjat. The result of
this study shows that the roots of his thought was his political alignments toward
the lower class. The major consideration of his thoughts is about people liberation
from oppression. The idea isn’t original to some extent, but in these three domains
linked with and support the synergistic and massive movement.

Keywords: Njoto, Indonesian communism, history of thought, people liberation,


political ideology, culture, press

xii

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM

API : Angkatan Pemuda Indonesia


CC : Central Comite
BMKN : Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional
BPS : Badan Pendukung Sukarnoisme
BTI : Barisan Tani Indonesia
Depernas : Dewan Perancang Nasional
DPA : Dewan Pertimbangan Agung
DPPK : Departemen Pendidikan, Pelatihan, dan
Kebudayaan
DPR-GR : Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong
DPV : Deli Planters Vereeniging
FDR : Front Demokrasi Rakyat
Gerwani : Gerakan Wanita Indonesia
HIS : Hollandsch Inlandsche School
KMB : Konferensi Meja Bundar
KNIP : Komite Nasional Indonesia Pusat
Lekra : Lembaga Kebudayaan Rakyat
LKI : Lembaga Kebudayaan Indonesia
LKN : Lembaga Kebudayaan Nasional
Masyumi : Majelis Syuro Muslimin Indonesia
MPRS : Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
MSA : Mutual Security Act
MULO : Meer Uitgebreid lager Onderwijs
NU : Nahdlatul Ulama
Pesindo : Pemuda Sosialis Indonesia
Peta : Pembela Tanah Air
PKI : Partai Komunis Indonesia
PNI : Partai Nasional Indonesia
PSI : Partai Sosialis Indonesia
PSII : Partai Sarekat Islam Indonesia

xiii

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


RIS : Republik Indonesia Serikat
SOBSI : Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia

xiv

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................... ii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iv
SEKAPUR SIRIH ...................................................................................... v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR x
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ..................................................
ABSTRAK.................................................................................................. xi
ABSTRACT................................................................................................ xii
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ................................................. xiii
DAFTAR ISI .............................................................................................. xv

BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................. 5
1.3. Ruang Lingkup Penelitian .................................................... 5
1.4. Tujuan Penelitian .................................................................. 6
1.5. Metodologi dan Metode Penelitian ....................................... 6
1.6. Studi Kepustakaan ................................................................ 8
1.7. Sistematika Penulisan ........................................................... 10
1.8. Catatan Tentang Ejaan .......................................................... 10

BAB 2 Memasuki Dunia Njoto ............................................................... 12


2.1. Latar Keluarga, Lingkungan, dan Pendidikan Awal ............ 12
2.2. Mematangkan Diri dalam Revolusi ...................................... 18
2.3. Perjalanan di Lapangan Politik ............................................. 24
2.4. Njoto Sebagai Jurnalis dan Publisis ...................................... 38
2.5. Njoto Sebagai Penggiat Budaya ........................................... 42

xv

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


BAB 3 Purwarupa Sosialisme Indonesia ............................................... 48
3.1. Indonesia yang Rudin dan Adaptasi PKI .............................. 48
3.2. Menggali Inspirasi di antara Rakyat ..................................... 51
3.3. Demokrasi Rakyat ................................................................ 56
3.4. Purwarupa Sosialisme Indonesia .......................................... 59

BAB 4 Pers dalam Kacamata Seorang Komunis ................................. 63


4.1. Kehidupan Pers Era Sukarno ................................................ 63
4.2. Pers dalam Kacamata Seorang Komunis .............................. 66
4.3. Harian Rakjat: Arketipe Pers Komunis ................................ 68

BAB 5 Kebudayaan yang Mengabdi Rakyat ........................................ 75


5.1. Riwayat Pencarian Kebudayaan Nasional ............................ 75
5.2. Pengembangan Secara Kreatif .............................................. 80
5.3. Peran Seniman dalam Revolusi ............................................ 85

Kesimpulan .............................................................................................. 90
Daftar Pustaka ......................................................................................... 93
Lampiran ................................................................................................. 98

xvi

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya sebagai bagian dari
kehidupan manusia telah banyak diulas dalam kajian sejarah. Tema-tema tersebut
menonjol dalam khazanah historiografi Indonesia. Hal yang berbeda terjadi pada
kajian sejarah pemikiran. Jika melihat pada kuantitas publikasi kajian, tema
sejarah pemikiran belum banyak mendapat perhatian memadai dari akademisi
sejarah di Indonesia. Padahal, dimensi pemikiran dalam sejarah perlu didalami
lebih lanjut. Sebagai contoh dapat kita lihat pada tema sejarah politik yang
memusatkan kajiannya kepada jalannya proses politik, interaksi di antara aktivis
politik, konflik, dan perang. Sementara pertanyaan seperti, “apakah yang menjadi
pijakan utama seorang pelaku sejarah mengambil suatu tindakan atau sikap”
kurang mendapat kajian yang memadai. Lebih luas lagi, sesuatu yang menjadi
titik pangkal seluruh gagasan dan aktivitas pelaku sejarah ataupun peristiwa
sejarah. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut dapat kita telusuri dengan mengaji
kata-kata kunci seperti ideologi, etos, jiwa, ide-ide, atau nilai-nilai.1 Dimensi-
dimensi tersebut secara metodologis dikaji dalam sejarah pemikiran.
Kajian sejarah pemikiran seorang tokoh atau pemikiran kolektif dapat
tercakup dalam karya biografi. Biografi sebagai salah satu bentuk karya sejarah
sebenarnya memiliki ruang untuk mendalami dunia gagasan seseorang. Tetapi,
ruang tersebut relatif kurang dieksplorasi secara memadai. Penulisan biografi
seorang tokoh hampir selalu menjadikan perjalanan hidup, karya-karya, dan
pencapaiannya sebagai fokus. Padahal seorang ‘agens sejarah’ tidaklah berdiri
sendiri. Ia sebagai pelaku sejarah berkait dengan agens lain dan peristiwa-
peristiwa. Begitu pula dengan sejarah sebagai peristiwa. Peristiwa sejarah terjadi
karena dipengaruhi dan di saat yang sama memengaruhi pemikiran manusia.
Karena keterkaitan tersebut, kajian sejarah pemikiran akan membantu akademisi
atau masyarakat secara umum dalam memahami sejarah secara utuh.

1
Leo Agung, Sejarah Intelektual, (Yogyakarta: Ombak, 2013), h. 1.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


2

Dengan berpijak pada pandangan tersebut, skripsi ini hendak


mengetengahkan sejarah pemikiran era 1951—1965 sebagai medan kajian. Kurun
antara 1951 hingga 1965 saat Sukarno menjabar sebagai presiden dalam
historiografi Indonesia sering dibagi menjadi dua masa, yaitu masa Demokrasi
Parlementer dan masa Demokrasi Terpimpin. Mengapa penulis memilih kajian ini
dan siapa yang jadi subjek?
Pandangan minor jamak disematkan ketika membahas periode ini. Sarjana
Jennifer Lindsay menyebut periode 1951—1965 sebagai ‘banyak masa dalam satu
masa’. Suatu periode panjang yang di dalamnya mencakup subperiode
dekolonisasi, peralihan federalisme ke republikanisme, konflik pusat-daerah,
demokrasi konstitusional, kemerosotan ekonomi, faksionalisme politik,
pemerintahan autokratik, hubungan-hubungan internasional, dan intervensi Perang
Dingin.2
Pun demikian pendapat peneliti Henk Schulte Nordholt, periode 1950-an
direpresentasikan dalam historiografi Indonesia sebagai “the road to disaster”.
Suatu masa di saat negara diguncang pemberontakan daerah dan tegangnya
kehidupan politik. Kehidupan politik sendiri terpolarisasi dalam dikotomi ideologi
“kanan” dan “kiri”. Kanan sebagai representasi kaum nasionalis dan religius,
sedangkan kiri sebagai representasi kaum komunis. Dalam pandangan negatif,
periode ini merupakan zaman kelam berlangsungnya stagnasi pemerintahan dan
awal sebuah kekacauan politik. Masa ini dapat pula dipandang positif, sebagai
suatu era demokrasi yang terbuka jika dibandingkan dengan masa pemerintahan
Presiden Soeharto yang cenderung otoriter.3
Sementara sejarawan Ruth McVey menyebut bahwa membahas periode itu
adalah membicarakan pertanyaan ‘Indonesia seharusnya seperti apa’. Lebih rinci
lagi, apa itu bangsa Indonesia, dalam arti bagaiman negara Indonesia lahir dan
menjalin atau tidak menjalin hubungan dengan masyarakat.4

2
Je ife Li dsa , Ahli Wa is Buda a Du ia 50— ; “e uah Pe ga ta , dala Je ife
Lindsay dan Maya H.T. Liem (ed.), Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950—1965,
(Denpasar-Jakarta: Pustaka Larasan dan KITLV-Jakarta, 2011), h. 3.
3
He k “ hulte No dholt, I do esia I The s: Natio , Modernity, And The Post-colonial
“tate , Bijdragen tot de Taal-, Land-, And Volkenkunde, Vol. 167, No. 4, 2011, h. 386.
4
Ad ia Vi ke s, Me gapa Tahu -a Pe ti g Bagi Kajia I do esia , dala He k “ hulte
Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Saptari (ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


3

Peristiwa G30S/PKI 1965 dan kekacauan setelahnya juga menjadi titik


kisar yang memengaruhi pandangan awam tentang masa itu. Ketika Presiden
Soeharto berkuasa, sejarah masa itu cenderung ditampilkan secara sepihak dengan
bertitik tolak pada peristiwa tersebut. Pada tiga dasawarsa pemerintahannya,
tragedi itu menjadi tema yang sensitif. Apalagi jika menyangkut Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya yang dituduh bertanggungjawab atas
pembunuhan enam jenderal senior Angkatan Darat dan percobaan kudeta.
Historiografi yang kemudian menjadi arus utama adalah versi resmi dari
pemerintah. Interpretasi-interpretasi yang lebih terbuka tentang Peristiwa
G30S/PKI dan PKI sendiri sebagai sebuah partai baru mengemuka kembali
setelah bergulirnya Reformasi 1998.
Pendapat-pendapat tersebut mencerminkan bahwa periode ini adalah
masa-masa di saat impian ideal tentang Indonesia merdeka dan masyarakatnya
mulai coba diwujudkan. Suatu masa yang pasti ditengarai dengan perdebatan dan
perbenturan gagasan. Inilah yang menarik minat penulis untuk mengangkat tema
sejarah pemikiran dalam periode ini, melampaui pandangan minor yang telah
jamak dan cenderung apriori. Karena itu pula penulis hendak mengangkat
pemikiran dari kalangan kiri dalam periode tersebut yang nisbi terbatas. Padahal
dalam polemik politik dan ideologi semasa itu orang-orang PKI adalah partisipan
yang aktif. Karena itulah perlu ada kajian yang mengupas interpretasi PKI sendiri
terkait ideal mereka tentang Indonesia, polemik politik-ideologi, dan peristiwa
yang terjadi serta peran mereka di dalamnya. Salah satu aspek yang patut dikaji
tentang PKI adalah bagaimana ide-ide komunisme yang mereka usung dileburkan
dengan berbagai arus pikiran dan konteks Indonesia. Menurut pakar politik Rex
Mortimer dengan pendekatan seperti itulah perangkap penilaian yang apriori bisa
dihindari.5
Berdasarkan alur pikir tersebut, melalui karya skripsi ini penulis secara
khusus mengetengahkan dunia ide dari perspektif kaum komunis Indonesia.
Kemudian yang menjadi subjek kajian dalam skripsi ini adalah salah seorang

Indonesia, (Jakarta-Denpasar: Yayasan Obor Indonesia, KITLV, dan Pusataka Larasan, 2008), h.
68.
5
Rex Mortimer, Indonesian Communism Under Soekarno: Ideologi Dan Politik 1959—1965, terj.
Yudi Santoso, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. xii-xiv.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


4

pemimpin utama PKI, Njoto. Dia adalah wakil ketua II Central Comite (CC) PKI
dan anggota Politbiro PKI periode 1951—1965. Selain aktif dalam dunia politik,
Njoto juga aktif di dunia jurnalistik, intelektual, dan memiliki minat besar dalam
bidang budaya. Bersama dengan dua pemimpin PKI lainnya, Dipa Nusantara
Aidit dan Mohamad Hakim Lukman, Njoto pada 1950 menerbitkan kembali
majalah resmi PKI Bintang Merah. Njoto duduk sebagai anggota dewan redaksi
dan secara khusus mengasuh perihal penguatan ideologi Marxisme-Leninisme.
Njoto juga dipercaya mengepalai Departemen Agitasi dan Propaganda partai dan
memimpin koran resmi partai, Harian Rakjat. Selain itu, Njoto juga memiliki
minat dan gairah besar di bidang kebudayaan. Hal ini terlihat saat Njoto menjadi
salah satu tokoh pendiri Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Bersama dengan
A.S. Dharta, M.S. Ashar, Herman Ardjuno, Henk Ngantung, dan Joebaar Ajoeb,
Njoto duduk sebagai anggota Sekretariat Lekra yang pertama.6
Pemilihan Njoto sebagai subjek kajian sejarah pemikiran juga didasaran
oleh beberapa alasan objektif. Pertama, masih terbatasnya pengajian terhadap
pemikiran tokoh gerakan komunis di Indonesia. Dari amatan penulis, selama ini
dari kajian yang terbatas itu magnet utama dalam pembahasan mengenai
komunisme Indonesia adalah sosok Aidit. Dengan mengetengahkan peran dan
pemikiran Njoto, penulis hendak menyodorkan perspektif yang lebih segar dalam
historiografi tentang kaum kiri Indonesia.
Kedua, jika dibandingkan dengan Aidit, sosok Njoto dalam pandangan
penulis lebih “berwarna”. Selain dikenal sebagai politikus, Njoto juga aktif
sebagai penulis dan publisis. Berdasarkan dokumentasi penulis terhadap karya-
karyanya, spektrum kajiannya pun cukup luas. Ia juga berpidato, memberi kuliah
umum, dan kerap terlibat aktif dalam beberapa polemik politik-ideologi.
Keterlibatannya dalam Lekra juga menggambarkan tipikal komunis yang lebih
‘berwarna’, tidak melulu terkurung dalam imaji politikus dan komunis yang
monoton. Melalui kajian terhadap pemikiran Njoto ini, penulis mencoba
menyodorkan interpretasi yang lebih luas terhadap posisi kaum kiri dalam sejarah
Indonesia.

6
Arif Zulkifli dan Bagja Hidayat (ed.), Njoto: Peniup Saksofon Di Tengah Prahara, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia dan Majalah Tempo, 2010), h. 17 dan 43-45.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


5

1.2. Rumusan Masalah


Skripsi ini akan membahas bagaimana Njoto menyikapi kondisi Indonesia
periode 1951—1965 dalam aspek politik-ideologi, publisistik, dan kebudayaan.
Ketiga aspek tersebut dikaji dalam kerangka sebagai aktualisasi ide komunisme.
Selanjutnya untuk menulusuri lebih lanjut pemikiran dan peran Njoto yang
berhubungan dengan rumusan masalah tersebut, riset skripsi ini dipandu dengan
pertanyaan-pertanyaan riset sebagai berikut
1. Bagaimana latar belakang kehidupan dan lingkungan yang
membentuk karakter dan pemikiran Njoto?
2. Bagaimana pemikiran Njoto sebagai politikus?
3. Bagaimana pemikiran Njoto sebagai publisis?
4. Bagaimana pemikiran Njoto sebagai pegiat budaya?

1.3. Ruang Lingkup Penelitian


Untuk memberikan orientasi yang terarah pada skripsi ini, penulis
menentukan batas-batas permasalah yang akan didalami. Sesuai dengan kaidah
metodologi sejarah, penulis menentukan ruang lingkup berdasarkan dua aspek,
yaitu lingkup permasalahan dan lingkup periodisasi. Selengkapnya akan
dijelaskan di bawah ini.
Lingkup pertama adalah batasan masalah yang akan diteliti. Skripsi ini
berfokus pada kajian tentang komunisme yang dihayati Njoto dan aktualisasinya
di alam Indonesia. Untuk melihatnya secara lebih tajam, penulis menganalisis
pemikiran komunisme tersebut dalam aspek politik-ideologi, publisistik, dan
kebudayaan. Ketiganya merupakan bidang-bidang yang intens digeluti Njoto
dalam artikel, pidato, atau kuliah umumnya.
Lingkup kedua adalah batasan periodisasi. Dalam skripsi ini penulis
menetapkan periodisasi dalam rentang 1951—1965. Penetapan periodisasi ini
berdasarkan alasan objektif bahwa tahun 1951 Njoto telah masuk dalam jajaran
pemimpin elit PKI hingga akhirnya manjabat wakil ketua II, anggota Politbiro,
dan ketua Departemen Agitasi dan Propaganda (Depagitprop) PKI. Sejak tahun
ini pula Njoto aktif dalam dunia publisistik dan kebudayaan. Seluruh aktivitas

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


6

Njoto itu terhenti sejak meletusnya Peristiwa G30S/PKI pada akhir 1965. Harian
Rakjat yang diasuh oleh Njoto sendiri menerbitkan edisi penghabisan pada 2
Oktober 1965. Pada akhir tahun ini pula Njoto menghilang. Karena itu penulis
mengakhiri periodisasi penelitian ini pada tahun 1965.

1.4. Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah memetakan pemikiran Njoto dalam menyikapi
kondisi Indonesia pada kurun 1951—1965. Pemikiran yang dibahas dalam skripsi
ini mencakup tema politik-ideologi, publisistik, dan diskursus kebudayaan.
Penelitian ini juga melacak asal-usul pemikiran dan determinasi Njoto dalam
ketiga medan aktivitasnya itu. Skripsi ini juga bertujuan menelusuri tema besar
pemikiran Njoto yang menjadi benang merah pemikiran dan karya-karyanya.
Selain itu, secara umum studi ini juga bertujuan untuk melengkapi khazanah
historiografi pemikiran Indonesia periode 1950-an yang nisbi terbatas.

1.5. Metodologi dan Metode Penelitian


Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam karya skripsi ini penulis
mengangkat tema sejarah pemikiran. Istilah “sejarah pemikiran” yang digunakan
dalam penelitian ini merupakan terjemahan dari “history of thought”, “history of
ideas”, atau “intellectual history”. Sejarah Pemikiran sebagaimana yang
didefinisikan oleh Roland N. Stromberg dalam European Intellectual History
Since 1789 adalah ‘the study of the role of ideas in historical events and process’.
Sebuah kajian tentang peranan dunia ide-ide dalam peristiwa sejarah dan proses-
prosesnya.7
Sejarawan Sartono Kartodirdjo melihat aspek menarik dari tema ini adalah
dialektika yang terjadi antara ideologi dan penghayatan oleh penganutnya. Lebih
lanjut menurut Sartono Kartodirdjo struktur pemikiran perlu dipahami dalam
hubungannya dengan latar belakang sosio-kultural masyarakat tempat si pemikir
hidup. Oleh karena itu, lingkungan sangat berpengaruh terhadap pemikiran
seseorang. Hal ini perlu diperhatikan untuk menghindari sejarawan jatuh ke dalam

7
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), h. 189.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


7

absolutisme. Pandangan historis bersifat relatif terhadap pemikiran, ideologi, dan


doktrin-doktrinnya.8
Kuntowijoyo menjelaskan bahwa pemikiran dapat dilakukan oleh
individu, suatu isme, gerakan intelektual, dan pemikiran kolektif oleh institusi.
Terkait dengan permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam sejarah
pemikiran adalah (1) membahas pemikiran-pemikiran yang berpengaruh pada
gerak sejarah, (2) membahas konteks kesejarahan munculnya suatu pemikiran,
dan (3) membahas pengaruh suatu pemikiran pada masyarakat bawah, dalam
artian mencari hubungan antara pemikiran dan cara hidup yang aktual.9
Dalam praksis penelitian ini penulis menggunakan disiplin metode sejarah
yang terdiri dari empat tahapan, yaitu heuristik, verifikasi atau kritik sumber,
interpretasi, dan historiografi. Tahap pertama adalah heuristik atau pengumpulan
sumber sejarah yang diperlukan. Sumber-sumber pustaka yang langka, seperti
surat kabar Harian Rakjat dan majalah Bintang Merah peneliti telusuri di
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Monumen Pers Surakarta.
Beberapa literatur penunjang yang relevan terkait bersumber dari perpustakaan
pribadi penulis dan penelusuran di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia.
Beberapa literatur penunjang adalah koleksi jurnal ilmiah yang penulis unduh dari
laman www.jstor.org dan www.marxists.org.
Kedua, tahap verifikasi atau kritik sumber. Pada tahapan ini peneliti
melakukan pengujian kredibilitas dan otentisitas sumber-sumber yang telah
diperoleh. Sumber-sumber yang telah diperoleh tersebut tidak dapat serta-merta
dijadikan rujukan penulisan tanpa dilakukan pengujian sumber. Pengujian sumber
dilakukan dengan pertimbangan autentisitas dan relevansi sumber, pembandingan
informasi antara sumber yang satu dengan lain, dan berdasarkan masukan dari
dosen pembimbing dan pustakawan yang berpengalaman. Dalam tahap ini
sumber-sumber sejarah yang berhasil didokumentasikan dipilah dalam ketegori
sumber primer, sekunder, atau yang ternyata tidak bisa digunakan sama sekali
sebagai rujukan.

8
“a to o Ka todi djo, “eja ah I telektual dala Agu g, Op.cit., h. 211-212.
9
Kuntowijoyo, Op.cit., h. 191.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


8

Ketiga, tahap interpretasi atau pemaknaan sumber sejarah. Dalam tahap


ini, berbagai sumber sejarah yang telah diuji kredibilatas dan otentisitasnya
dimaknai dan diformulasikan secara objektif. Pada tahap ini pula peneliti
menerapkan pendekatan sejarah pemikiran yang dikonsepsikan oleh Kuntowijoyo.
Pendekatan tersebut adalah pengajian terhadap teks, konteks sejarah, dan
hubungan pemikiran dan masyarakat.10 Pemaknaan atas informasi sejarah yang
terkandung dalam sumber-sumber sejarah tersebut harus dilakukan dengan hati-
hati dan seobjektif mungkin. Peneliti berusaha secermat mungkin dalam memilah
dan memaknai sumber terkait pemikiran Njoto karena di dalamnya bisa saja
terdapat kepentingan berbagai pihak yang menjadi pelaku sejarah pada periode
1950—1965. Ditambah lagi pandangan sensitif, dan juga traumatik, terkait sejarah
komunisme di Indonesia masih cukup tinggi.
Keempat, tahap historiografi atau penulisan sejarah. Peneliti menjabarkan
tafsiran dan rekonstruksi sejarah pemikiran Njoto dalam karya akademis yang
disusun secara kronologis dan tematis. Pendekatan kronologis diterapkan dalam
proses penulisan latar belakang kondisi sosial-politik Indonesia dan biografi
Njoto. Sementara pendekatan tematis penulis terapkan dalam membahas tema-
tema besar pemikiran Njoto.

1.6. Studi Kepustakaan


Bahan pertama yang menjadi fundamen skripsi adalah literatur biografis
Njoto yang sayangnya tidak banyak dan tidak spesifik. Hal tersebut menjadi
kendala tersendiri bagi peneliti dalam menggali latar kehidupan Njoto.
Keterangan yang bisa menjadi panduan awal bagi penulis hanyalah sebuah
cuplikan biografi singkat Njoto di majalah Bintang Merah edisi IX (September-
Oktober) 1953. Baru-baru ini diterbitkan satu buku yang secara khusus mengulas
biografi Njoto, yaitu Njoto: Peniup Saksofon Di Tengah Prahara. Buku ini
merupakan hasil liputan jurnalistik yang sebelumnya telah dipublikasikan di
majalah TEMPO edisi 11 Oktober 2009. Karena itu pada dasarnya buku ini bukan
karya historiografi yang memenuhi standar akademis secara penuh. Buku kedua
yang memuat sekelumit kegiatan Njoto dalam dunia pers dan politik adalah buku

10
Ibid.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


9

karya Siauw Tiong Djin berjudul Siauw Giok Tjhan: Riwayat Perjuangan
Seorang Patriot Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal
Ika. Buku ini adalah biografi Siauw Giok Tjhan, seorang politikus dan jurnalis
senior yang dekat dengan Njoto. Dalam buku ini terdapat kilasan awal karier
Njoto di dunia jurnalistik. Meskipun memiliki beberapa kelemahan dalam motode
sejarah, kedua buku ini cukup komprehensif untuk menelusuri literatur tentang
Njoto yang langka.
Bahan kedua dan yang sangat primer dalam skripsi ini adalah karya-karya
Njoto. Penulis menelusuri tulisan-tulisan Njoto yang dipublikasikan di Harian
Rakjat dan majalah Bintang Merah. Kendala terkait sumber primer ini adalah
pendokumentasiannya yang terpencar di beberapa lembaga dokumentasi berbeda.
Karena usia dokumen yang cukup tua dan perawatannya yang kurang memadai
penulis menemukan sumber dalam keadaan tidak lengkap atau rusak.
Selain menulis di media massa Njoto juga menulis untuk pidato dan kuliah
umum. Dalam penelusuran awal ini peneliti menemukan dua buku kumpulan
pidato dan kuliah umum Njoto. Bunga rampai itu masing-masing berjudul Pers
dan Massa dan Marxisme-Leninisme: Ilmu dan Amalnya. Bunga rampai yang
disebut pertama berisi kompilasi artikel Njoto di Harian Rakjat yang membahas
tentang pers dan peranannya bagi gerakan massa. Dalam buku ini juga dihimpun
serangkaian pidato Njoto menyambut ulang tahun Harian Rakjat. Sementara buku
kedua merupakan bunga rampai pidato dan manuskrip kuliah umum yang di
sampaikan Njoto. Hal-hal yang dibahas dalam buku ini mencakup persoalan
marxisme di ranah filsafat, ekonomi-politik, dan sosialisme serta
mengejawantahannya di Indonesia.
Buku penting lain yang menjadi rujukan penulis adalah Manuskrip
Sejarah 45 Tahun PKI (1920—1965). Buku ini merupakan tuturan “orang dalam”
PKI yang menceritakan sejarah partainya sendiri. Buku tersebut disusun oleh
Busjarie Latif dari Lembaga Sejarah PKI untuk memperingati ulang tahun ke-45
PKI pada 1965. Sebagaimana judulnya, buku ini pada dasarnya masih berupa
manuskrip atau buku konsep yang selesai disusun pada Mei 1965. Karena PKI
hancur setelah huru-hara Oktober 1965, manuskrip ini tidak pernah dibahas dan
diterbitkan secara resmi oleh PKI. Manuskrip yang awalnya hilang ini ditemukan

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


10

kembali oleh Sumaun Utomo, sekretaris Lembaga Sejarah PKI.11 Buku ini
menjadi penting bagi skripsi ini karena nilainya sebagai tuturan orang dalam PKI
dalam memandang sejarahnya sendiri. Manuskrip ini berguna sebagai
pembanding dan pelengkap bagi literatur-literatur tentang PKI yang telah banyak
ditulis oleh sejarawan.

1.7. Sistematika Penulisan


Penelitian ini direncanakan terdiri atas lima bab. Bab Satu adalah
pendahuluan ini yang menjabarkan tentang latar belakang, rumusan masalah,
ruang lingkup penelitian, metode penelitian, studi pustaka dan sitematika
penulisan. Bab Dua menguraikan latar kehidupan Njoto secara biografis dan
konteks Indonesia sezaman.
Pembahasan mengenai pemikiran-pemikiran Njoto akan dijelaskan pada
Bab Tiga hingga Lima. Berturut-turut Bab Tiga membahas tentang penghayatan
Njoto terhadap ideologi Marxisme-Leninisme dan implementasinya dalam
konteks Indonesia; Bab Empat membahas tentang pemikiran Njoto dalam bidang
kebudayaan; Bab Lima membahas pandangan-pandangan Njoto tentang dunia
publisistik khususnya pers dan jurnalistik; dan bagian terakhir skripsi ini adalah
Kesimpulan yang berisi jawaban terhadap rumusan masalah yang telah diuraikan
pada bab-bab sebelumnya.

1.8. Catatan Tentang Ejaan


Dalam skripsi ini penulis menggunakan ejaan baru, kecuali dalam kutipan-
kutipan teks sumber dari periode 1950-an dan 1960-an yang memang belum
menerapkan Ejaan Baru Yang Disempurnakan. Perkecualian juga penulis lakukan
untuk kutipan yang bersumber dari karya Njoto berjudul Marxisme-Leninisme:
Ilmu dan Amalnya. Karya Njoto tersebut aslinya terbit pada 1962 dengan ejaan
lama, tetapi dalam studi ini penulis menggunakan cetakan mutakhir karya tersebut
yang diterbitkan pada 2003 dan disunting dengan ejaan baru.

11
Lihat pengantar yang ditulis oleh Sumaun Utomo dalam Busjarie Latif, Manuskrip Sejarah 45
Tahun PKI (1920-1965), (Bandung: Ultimus, 2014), h. ix-xi.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


11

Khusus untuk nama-nama orang penulis mengikuti ejaan asli atau


mengikuti ejaan pilihan orang itu sendiri. Nama-nama seperti ‘Njoto’, ‘Amir
Sjarifuddin’, atau ‘Sjahrir’ adalah ejaan asli. Sedangkan nama ‘Sukarno’ adalah
nama pilihan presiden pertama Indonesia sendiri sehingga penulis juga mengikuti
ejaan nama tersebut. Nama-nama yang muncul dalam kutipan mengikuti ejaan asli
kutipan tersebut.
Nama-nama geografis seperti Jakarta, Jember, atau Yogyakarta mengikuti
ejaan baru, kecuali yang disebutkan dalam kutipan. Penyebutan istilah-istilah
berlaku demikian.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


12

BAB 2
MEMASUKI DUNIA NJOTO

2.1. Latar Keluarga, Lingkungan, dan Pendidikan Awal


Sebagai pengantar menuju dunia pemikiran Njoto, perlu penulis paparkan
terlebih dahulu biografi Njoto sebagai latar belakang. Biografi sebagai catatan
tentang hidup seseorang merupakan bagian dari sejarah yang lebih besar.
Sejarawan Kuntowijoyo menjelaskan bahwa sebuah biografi seharusnya
mengandung empat hal, yaitu: kepribadian tokoh, kekuatan sosial yang
mendukungnya, lukisan sejarah zamannya, dan keberuntungan atau kesempatan
yang datang kepada si tokoh. Lebih lanjut tentang kepribadian seorang tokoh
perlu ditelusuri pula latar belakang keluarga, lingkungan sosial-budaya, dan
perkembangan diri.12 Tetapi sebelum sampai pada pembahasan mengenai pribadi
Njoto, lebih dulu diuraikan secara padat-ringkas ruang lingkup Indonesia dan
masyarakatnya. Uraian ini akan memberikan konteks analisis bagi gagasan-
gagasan Njoto dan jejaringnya dengan persoalan riil sosial-politik-budaya dewasa
itu.
Njoto lahir di Jember, Jawa Timur, pada 17 Januari 1925 di kediaman
kakeknya dari pihak ibu. Ia adalah anak sulung Rustandar Sosrohartono yang
sejak 1923 menjadi anggota PKI.13 Rustandar Sosrohartono menjadi aktivis PKI
di Solo sebelum akhirnya hijrah ke Jember pada 1925.14 Kota kelahirannya,

12
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), h. 203-207.
13
Kete a ga ta ggal lahi i i dikutip da i ‘i a at Hidup “i gkat Njoto , dala Bintang Merah,
tahun IX, September-Oktober 1953, h. 483. Sejumlah sumber juga mencatat tahun kelahiran
yang sama. Rex Mortimer dan M.C. Ricklefs mencatat 1925 sebagai tahun kelahiran. Lebih
jelas lihat Rex Mortimer, Indonesian Communism Under Sukarno: Ideologi dan Politik 1959—
1965, terj. Yudi Santoso, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 32 dan M.C. Ricklefs, Sejarah
Indonesia Modern 1200—2004, terj. Satrio Wahono dkk., (Jakarta: Serambi, 2008), h. 527.
Tetapi, catatan yang paling baru tentang Njoto menyebut adanya kejanggalan tahun kelahiran
itu. Njoto sebenarnya lahir pada 1927 menurut Joesoef Isak, seorang sahabat Njoto. Njoto
mencatatkan umur dua tahun lebih tua agar memudahkannya masuk dalam keanggotaan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Lihat Arif Zulkifli dan Bagja Hidayat (ed.), Njoto:
Peniup Saksofon Di Tengah Prahara, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama
dengan Majalah Tempo, 2010), h. 4 dan 13.
14
Mortimer, Ibid.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


13

Jember, kala itu masuk dalam administrasi Karesidenan Besuki, suatu wilayah di
ujung timur Pulau Jawa sehingga Belanda menyebutnya Oost Hoek. Separuh
wilayah Besuki adalah daerah pegunungan dengan gunung-gunung yang masih
aktif. Selebihnya, di bagian-bagian utara, selatan, dan tenggara, adalah dataran
rendah subur yang menghasilkan padi, tebu, kopi, dan tembakau. Besuki sebelah
utara, selatan, dan timur berbatasan langsung dengan laut. Karenanya, Besuki
memiliki daerah-daerah pelabuhan yang cukup ramai pada masa kolonial seperti
di Panarukan, Probolinggo, dan Banyuwangi.15
Secara budaya daerah Besuki merupakan varian regional kebudayaan Jawa
yang dalam beberapa aspek memiliki kekhasan tersendiri. Letak geografisnya
yang berada di timur jauh jika dipandang dari kebudayaan kraton Mataram
membuat Besuki disebut sebagai Tanah Sabrang Wetan. Suatu sebutan yang
merujuk pada ‘asingnya’ Besuki secara kultural bagi kraton Jawa di Yogyakarta
dan Surakarta itu. Besuki justru lebih dekat secara kultural dengan budaya
Madura.16
Njoto lahir dalam keluarga yang berkecukupan secara ekonomi. Selain
dikenal sebagai aktivis PKI, ayahnya adalah seorang saudagar busana dan jamu.
Di Bondowoso, masih dalam lingkup Karesidenan Besuki, sang ayah menyewa
sebuah toko milik pedagang Tionghoa dan membukanya dengan nama
Yosobusono. Usaha Rustandar Sosrohartono juga berkembang di Solo. Di
kawasan Kauman, Solo, ia mengembangkan usaha batik tulis. Sementara ibunya,
Masalmah, adalah putri seorang pemborong yang mempunyai rumah bertingkat
tiga, suatu kemewahan di zaman itu. Agaknya, bisnis itu juga salah satu upaya
Rustandar untuk turut menyokong aktivitas kaum pergerakan. Tokonya kerap kali
dipakai sebagai tempat berkumpulnya aktivis pergerakan, termasuk aktivis yang
kemudian di buang ke Digul.17
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa Njoto kecil diasuh dalam dua
entitas nilai, lingkungan saudagar dan lingkungan pergerakan. Kalangan saudagar
Jawa umumnya bersifat lebih egaliter daripada kalangan priyayi. Egalitarianisme

15
G.A. Ohorella dan Restu Gunawan, Sejarah Lokal: Peranan Rakyat Besuki (Jawa Timur) Pada
Masa Perang Kemerdekaan 1945—1950, (Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan
Departemen Pendidikan Nasional, 2001), h. 5-11.
16
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 25-28.
17
Zulkifli dan Hidayat, Op.cit., h. 4-6 dan 10.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


14

ini juga terkait dengan posisi Besuki yang secara geokultural jauh dari jangkauan
budaya kraton Mataram yang feodal. Lingkungan keluarga dan budaya egaliter
inilah medan sosialisasi pertama Njoto. Sifat egaliter ini kemudian mengendap
dalam dirinya dan dalam tingkat tertentu memengaruhi pandangan dunianya.
Demikian pula dengan lingkaran sosial ayahnya yang lekat dengan gerakan politik
komunis. Hal ini secara tidak langsung menjadikannya akrab dengan aktivitas
pergerakan politik dan, dalam kadar tertentu, nilai-nilai Marxisme sedari belia.
Seperti kelak diakuinya sendiri, “Djember adalah tempat kelahiranku, Djember
adalah tempat aku menemukan djalan revolusionerku.”18
Selama masa kecilnya di Bondowoso, hubungan Njoto dengan orang
tuanya berjalan dengan harmonis. Rustandar mendidik putranya dengan
pendekatan yang keras, tegas, dan disiplin. Sementara itu, Masalmah
mengimbanginya dengan pendekatan yang santun dan tutur kata yang halus.
Meskipun keras, Rustandar tidak lupa untuk meluangkan waktu bersama dengan
anak-anaknya. Biasanya Rustandar menemani dan melatih Njoto bermain bola.
Sebuah bentuk perhatiannya sebagai seorang ayah.19
Njoto mengenyam pendidikan formal pertamanya di Hollandsch-
Inlandsche School (HIS) di Besuki kira-kira pada umur enam tahun.20 Saat
bersekolah di HIS Jember Njoto tinggal bersama kakeknya, Raden Marjono, di
Kampung Tempean. Njoto bersekolah ke HIS di Jember atas inisiatif ayahnya.
Rustandar memilih menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Belanda karena
memiliki kurikulum yang teratur. Selain menerima pelajaran di sekolah, Njoto
juga menambah waktu belajarnya dengan mengikuti kursus di rumah seorang
pengajar bernama Meneer Darmo setiap sore. Di masa sekolah inilah Njoto kecil
mulai memupuk cita-citanya kelak. Dia bercita-cita menjadi jurnalis dan bertekad

18
Njoto, “o eka da i ukuha ia , Harian Rakjat 8 Oktober 1954, h. II.
19
Zulkifli dan Hidayat, Op.cit., h. 10.
20
Peneliti tidak menemukan keterangan yang jelas tentang tahun dan umur Njoto ketika
memasuki HIS di Jember. Umur enam tahun adalah perkiraan yang paling memungkinkan
berdasarkan keterangan yang peneliti dapat dalam Koentjaraningrat, Op.cit., h. 77 dan 247.
HIS merupakan sekolah tingkat dasar bagi pribumi yang dibentuk pemerintah Hindia Belanda
pada 1912. HIS memprogramkan masa belajarnya selama tujuh tahun dengan bahasa daerah
dan bahasa Belanda sebagai pengatar. Baik sekolah bagi pribumi maupun Eropa yang
setingkat HIS menerima murid-murid sejak umur enam tahun.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


15

menguasai berbagai bahasa asing seperti Jerman, Inggris, Belanda, Rusia, dan
Prancis.21
Rustandar sangat perhatian pula pada pendidikan formal anak-anaknya. Ia
selalu menanyakan pelajaran dan soal cita-cita kepada Njoto dan adik
perempuannya, Sri Windarti. Njoto dan adiknya itu diberikan kebebasan untuk
bermain, tetapi satu pesannya agar tetap mengutamakan sekolah. Rustandar pun
secara khusus menanamkan budaya membaca kepada anak-anaknya. Bahkan sejak
umur yang masih belia Njoto telah akrab dengan buku-buku karya Karl Marx,
Stalin, dan Lenin. Rustandar memang membebaskan anak-anaknya membaca
buku apa saja asalkan urusan sekolah telah diselesaikan.22 Dapat disimpulkan
bahwa Njoto mendapatkan pendidikan formal yang baik dan dukungan penuh dari
orang tuanya. Agaknya, inilah yang menumbuhkan karakter otodidak dalam
dirinya.
Selepas menamatkan pelajaran di HIS Jember, Njoto dikirim ayahnya ke
Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO). Awalnya Njoto masuk MULO di
Jember, namun ketika Jepang datang ke Hindia Belanda pada 1942 sekolah ini
ditutup. Rustandar kemudian memindahkan Njoto dan adiknya, Sri Windarti,
bersekolah ke Solo. Selama bersekolah di sana Njoto tinggal bersama kakeknya
dari pihak ayah. Sabar Anantaguna, kawan satu sekolahnya ketika di MULO dan
salah satu penggiat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), mengatakan Njoto
hidup secara berkecukupan. Sabar mengingat dia berpenampilan cukup rapi dan
bersepeda ketika bersekolah. “Dia pakai celana panjang sedangkan saya pakai
celana pendek karena miskin,” kata Sabar. Njoto juga dikenal pintar bergaul dan
menonjol dalam tulis-menulis. Karena kelebihannya itu, gurunya menunjuk Njoto
menjadi ketua kelas.
Selain kemampuan akademis, Njoto juga memiliki ketertarikan dan
kemahiran di bidang seni. Njoto pandai memetik gitar dan mengarang beberapa
lagu selain hobi menikmati musik klasik. Njoto sempat membentuk sebuah grup
musik bernama Suara Putri. Njoto menjadi pemetik gitar dalam grup dengan 4
vokalis remaja putri ini. Agaknya grup musik ini cukup populer di Solo. Pada

21
Zulkifli dan Hidayat, Op.cit., h. 5.
22
Ibid., h. 10 dan 12.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


16

sebuah kesempatan Suara Putri membawakan lagu berjudul Wanita Asia di sebuah
stasiun radio di Solo.23 Njoto dan grup musiknya itu kerap menjadikan rumah
kontrakannya sebagai tempat berlatih. “Rumah kontrakan mereka selalu ramai,”
kenang RA Sutarni Sumosutargijo, kawan sepermainan Njoto yang kelak menjadi
istrinya. Iramani, adik Njoto, kerap didaulat untuk menyanyi bagi band bentukan
Njoto dan kawan-kawannya. Tidak hanya bermusik, Njoto juga kerap menulis
puisi.24
Selama di Solo, dalam pergaulannya Njoto sempat diinformasikan secara
negatif. Hal ini barangkali berkait dengan gaya hidup dan kesehariannya yang
terlihat borjuis. Di mata beberapa orang yang mengenalnya di Solo, Njoto dicap
sebagai “pemuda yang tidak bermoral” dan “mengejar gaya hidup mewah”. Tetapi
kabar miring tersebut tidak terlalu berpengaruh pada citranya karena reputasi
Njoto dalam bidang akademis dan “karakter priyayi Jawa”-nya.25
Dapat disimpulkan bahwa elan modern dan egaliter yang berakar dari
pendidikan keluarga dan sekolah serta pengaruh lingkungan sosial-budaya adalah
pembentuk kepribadian Njoto. Dalam hal ini pengaruh sang ayah bagi
perkembangan pribadi Njoto cukup besar. Sebagai orang yang sempat mencecap
dunia pergerakan, tentulah Rustandar adalah seorang yang cukup terdidik dan
sadar akan pentingnya pendidikan pada masa itu. Terbukti Njoto dan adiknya
dimasukkan dalam sekolah Belanda demi menjamin mutu pendidikan yang
mereka peroleh. Masih ditambah pula dengan pelajaran tambahan di sore hari
kepada Meneer Darmo. Rustandar dalam hal ini menunjukkan dirinya sebagai
seorang Jawa yang telah menyerap modernitas. Kedekatan Rustandar dengan
aktivitas pergerakan politik juga menjadi jalan perkenalan pertama Njoto dengan
komunisme secara terbatas. Bangunan pribadi itu kemudian dimatangkan oleh
dinamika revolusi yang berkobar sejak Jepang menduduki Hindia Belanda.
Kehidupan Njoto mulai memasuki fase remaja ketika tatanan kolonial
Hindia Belanda runtuh pada 1942 dan berganti totalitarianisme Pendudukan
Tentara Kemaharajaan Jepang. Gaya pemerintah dan tata nilai yang sepenuhnya

23
Ibid., h. 6-8.
24
F a sis a ‘ia “usa ti, Te ta g Pe e pua Ya g Tak Pe ah Me a gis: O itua i ‘A “oeta i
“oe osoeta gijo , http://indoprogress.com/2014/09/tentang-perempuan-yang-tak-pernah-
menangis-obituari-ra-soetarni-soemosoetargijo/, diakses pada 1 Oktober 2015.
25
Mortimer, Op.cit., h. 32-33.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


17

berbeda itu memberikan tempaan psikologis yang luar biasa bagi masyarakat
Indonesia. masa-masa yang penuh tekanan dan krisis itu ternyata membangkitkan
kesadaran nasionalisme masyarakat, terutama pemuda. Semua itu berawal dari
kebutuhan Jepang memobilisasi pemuda dalam skala besar untuk pemenangan
Perang Asia Timur Raya. Untuk itu, Pemerintah Pendudukan Jepang membentuk
organisasi kepemudaan, sebuah kebijakan yang menyediakan peranan politis dan
identitas berorganisasi kepada pemuda. Efek yang ternyata berkembang lebih jauh
daripada perkiraan Pemerintah Pendudukan Jepang.26 Dalam dinamika itulah
proses pematangan karakter Njoto remaja dimulai.
Selain perubahan sosial masyarakat yang drastis itu, para pemuda juga
dihadapkan pada kondisi pendidikan yang kacau. Kondisi ini membuat mereka
terdorong untuk membawa diri mereka kepada beberapa alternatif ‘jalan keluar’.
Ada sebagian dari mereka itu mengundurkan diri dari pendidikan dan kembali
kepada keluarganya. Sebagian lainnya mencari pekerjaan pada instansi
Pemerintah Pendudukan Jepang. Sebagian lainnya lagi, berkat kemampuan
keuangan yang memadai, menjalin kontak dengan kawan-kawannya yang
memiliki gairah politik dan membentuk kelompok diskusi tentang keadaan aktual
dewasa itu.
Kelompok terakhir inilah yang kemudian secara pelan-pelan masuk dalam
kelompok bawah tanah anti-Jepang. Tetapi, meskipun bermotif anti-Jepang,
gerakan bawah tanah itu bukanlah gerakan yang melakukan aksi perlawanan nyata
seperti sabotase, mata-mata, atau kegiatan subversi. Kegiatan utama kelompok
bawah tanah anti-Jepang itu adalah pertukaran informasi politik, diskusi tentang
hari depan Indonesia, memperkirakan rencana pasukan Sekutu, dan mengecam
politik Jepang dalam kelompok tertutup.27 Gerakan bawah tanah itu juga
melakukan infiltrasi ke dalam Peta dan ke dalam organisasi pemuda resmi
bentukan Jepang. Tujuan infiltrasi tersebut adalah mengambilalih kendali
organisasi dan menggiring opininya ke arah anti-Jepang. Suatu penggalangan

26
Mortimer, Op.cit., h. 20-22.
27
Benedict Anderson, Java In Time Of Revolution: Occupation And Resistance 1944-1946, (Ithaca:
Cornell University Press, 1972), h. 19 dan 38-39.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


18

kekuatan sedang terbentuk saat itu. Kekuatan inilah yang diharapkan bisa bangkit
dengan kekuatan penuh ketika suatu saat Jepang kalah dalam perangnya.28
Njoto adalah produk sekaligus representasi dari dinamika pergerakan
pemuda masa Pendudukan Jepang itu. Masa-masa ini adalah awal persentuhannya
dengan pergerakan politik. Njoto remaja segera terseret ke dalam arus gerakan
organisasi kepemudaan. Njoto memulai perkenalannya dengan dunia politik pada
umur sangat belia, 14 tahun. Saat itu ia masuk dalam organisasi Indonesia Muda.
Dalam organisasi ini ia didaulat menjadi komisaris Indonesia Muda daerah
Besuki. Selain itu, ia juga terlibat dalam gerakan-gerakan bawah tanah ilegal di
Surabaya.29 Besar kemungkinan pula Njoto remaja masuk dalam lingkaran bawah
tanah bentukan Amir Sjarifuddin yang menguat di Jawa Timur yang disponsori
Belanda.30 Agaknya ia telah memiliki cukup kepercayaan karena telah mengenal
dengan dunia organisasi dan kemungkinan terinpirasi pula oleh ayahnya.

2.2. Mematangkan Diri Dalam Revolusi


Pada 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Tetapi, kemerdekaan ini masih harus diperjuangkan lagi manakala
Sekutu datang ke Indonesia. Sekutu yang datang untuk menerima penyerahan
Jepang dan memulihkan lagi kolonialisme Belanda atas Indonesia. Sekutu, dan
Belanda yang diboncenginya, tidak menduga bahwa Indonesia telah merdeka dan
mereka tetap bersikukuh kepada tugasnya mengembalikan tatanan lama kolonial

28
George McTurnan Kahin, Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia: Refleksi Pergumulan
Lahirnya Republik, terj. Nin Bakdi Soemanto, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan UNS Press,
1995), h. 144.
29
‘i a at... , Loc.cit.
30
Mortimer, Op.cit., h. 18-19 dan 32. Beberapa waktu sebelum kejatuhan kolonial Belanda oleh
invasi Jepang, P.J.A. Idenburg (pada waktu itu direktur Depatemen Pendidikan dan dipandang
sebagai seorang pejabat kolonial Hindia Belanda yang progresif) mengontak Amir Sjarifuddin
(mantan pimpinan Gerakan Rakyat Indonesia/Gerindo) untuk mengorganisasikan sebuah
jaringan bawah tanah saat Jepang menduduki Indonesia. Sebuah tawaran kerjasama yang
aneh tetapi sangat strategis bagi perjuangan. Sejak Juni 1941, Uni Soviet mengubah arah
kebijakan komunis yang memungkinkan kaum kiri bekerja sama dengan kaum borjuis
demokrat melawan blok fasis. Amir Sjarifuddin menerima sekira 25.000 gulden untuk
membiayai pembentukan jaringan bawah tanah itu. Keanggotaan organisasi bawah tanah ini
kemudian diisi oleh sisa-sisa aktivis Gerindo dan PKI ilegal yang dibentuk Muso pada 1935.
Karena kebanyakan anggota gerakan bawah tanah ini berasal dari PKI ilegal Surabaya,
jaringan itu pun konsentrasi terutama di Jawa Timur. Lebih jelas lihat Anderson, Op.cit., h. 58-
59 dan Kahin, Op.cit., 141-144. Sayang sekali, selain data ini peneliti tidak menemukan lagi
catatan-catatan lebih rinci mengenai aktivitas Njoto pada masa ini.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


19

di Indonesia. Karena itulah segera saja Sekutu harus berhadapan dengan


perlawanan rakyat Indonesia yang mempertahankan kemerdekaannya.
Pergolakan pascaproklamasi itu juga menyeret Njoto remaja ke dalam
pusaran arus perlawanan terhadap Sekutu. Njoto bergabung dengan Angkatan
Pemuda Indonesia (API) Jawa Timur dalam usaha melucuti senjata Jepang.31
“Saja pada hari2 perebutan kekuasaan Agustus ’45 ikut bergiat di Djawa Timur,”
aku Njoto.32 Dia terlibat dalam perebutan senjata Jepang di daerah Surabaya,
Bangil, dan Jember. Selepas itu dia segera terserap dalam lingkungan organisasi
PKI. Pada medio November 1945 ia terlibat dalam pengorganisasian PKI di
Besuki. Di sini Njoto duduk sebagai sekretaris bagian agitasi dan propaganda
partai. Tidak berselang lama ia kembali didaulat untuk memegang jabatan yang
cukup bergengsi di Seksi Comite (SC) PKI Besuki sebagai sekretaris umum. Karir
politiknya pun segera meroket. Berturut-turut ia terpilih sebagai wakil PKI dalam
Komite Nasional Indonesia (KNI) Kabupaten Jember dan KNI Karesidenan
Besuki.33
Masa Perang Kemerdekaan 1945—1949 adalah masa ketika Njoto
menempa kapasitas politiknya. Kariernya secara bertahap meningkat dari kader
PKI daerah Besuki hingga ke tataran nasional. Pada pengujung Desember 1946
peluang politiknya terbuka seiring dengan polemik sekitar Perjanjian Linggarjati.
Pada saat itu Pemerintah Indonesia dan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)

31
Angkatan Pemuda Indonesia atau API dibentuk sesaat setelah proklamasi pada 1 September
1945. Inisiatornya adalah tokoh-tokoh pemuda dari kelompok Menteng 31 yaitu Chaerul
Saleh, Adam Malik, Urkam, Sukarni dan Wikana. API dibentuk dengan tujuan
mengkoordinasikan sejumlah kelompok pemuda lainnya di dalam kota Jakarta yang
sebelumnya bergerak di bawah tanah. Chaerul Saleh dan Wikana kemudian didaulat sebagai
pemimpinnya. Pada hari-hari pertama setelah proklamasi, API mengomandoi kelompok-
kelompok paramiliter merebut fasilitas perkereta apian dan instalasi penyiaran di Jakarta,
gerakan-gerakan sabotase, dan perebutan gedung-gedung pemerintah dan swasta. Pemuda-
pemuda API juga melucuti senjata tentara Jepang. Peristiwa Rapat Raksasa di Lapangan Ikada
pada 19 September 1945 adalah salah satu gerakan yang dimobilisasi oleh API. Pada 29
September 1945 API juga menerbitkan sebuah surat kabar bernama Berita Indonesia. Dengan
gerakan-gerakannya itu, API segera mendapat dukungan yang luas. Lebih jelas lihat A.B.
Lapian dkk., Terminologi Sejarah 1945-1950 Dan 1950-1959, (Jakarta: Direktorat Jenderal
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), h. 8-9 dan Mortimer, Op.cit., h.
29-30 dan 32.
32
Njoto, Ja g e ihak e olusi dididik tjepat oleh e olusi , Harian Rakjat 3 November 1962, h.
III.
33
‘i a at... , Loc.cit.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


20

terlibat dalam perdebatan yang cukup pelik terkait hasil Perjanjian Linggarjati.34
Kalangan elit pemerintahan dan KNIP terbelah dalam pro-kontra. Pihak
Pemerintah Indonesia mendukung ratifikasi Perjanjian Linggarjati. Kubu ini
berpendapat bahwa penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda akan sulit
diselesaikan tanpa perundingan. Sementara itu beberapa kelompok politik dalam
KNIP dan militer menganggap Perjanjian Linggarjati tidak memuaskan dan
merugikan Indonesia.35
Untuk meredam perselisihan ini, Pemerintah RI kemudian mencanangkan
suatu pembaruan KNIP. Melalui Peraturan Presiden No. 6 tanggal 30 Desember
1946 tentang Penyempurnaan Susunan KNIP, Pemerintah RI merilis “Daftar
Anggota KNIP Tambahan Menghadapi Sidang Pleno KNIP Ke-5 di Malang.”
Dalam rilisan resmi Pemerintah RI tersebut, yang oleh banyak pihak diartikan
sebagai usaha mempercepat ratifikasi naskah Perjanjian Linggarjati, Njoto masuk
sebagai anggota KNIP wakil PKI Besuki. Kerja pertama Njoto adalah turut serta
dalam Sidang Pleno KNIP Ke-5 di Malang yang berlangsung pada 25 Februari
hingga 5 Maret 1947.36 Selepas Sidang Pleno KNIP Ke-5 di Malang, Njoto masuk
dalam jajaran Badan Pekerja (BP) KNIP. Njoto ditugaskan menjadi ketua Fraksi
PKI dalam BP KNIP.37 Tugas hariannya dalam BP KNIP adalah sebagai anggota
Panitia Penyelidik Soal Lasykar, Tentara, dan Pengungsi.38
Pada Juli 1947 Kabinet Sjahrir jatuh karena kekecewaan beberapa
kalangan terhadap langkah diplomasinya dalam menindaklanjuti Perjanjian

34
Inti dari Perjanjian Linggarjati dapat diperinci dalam tiga kesepakan utama. Pasal pertama
bahwa Pemerintah Belanda mengakui secara de facto kekuasaan Pemerintah RI atas Jawa,
Madura, dan Sumatra. Pasal kedua menetapkan bahwa Pemerintah RI dan Belanda bersama-
sama menyelenggarakan berdirinya Negara Indonesia Serikat (NIS). Pasal ketiga menentukan
bahwa wilayah NIS akan meliputi bekas wilayah Hindia Belanda, dengan catatan bahwa suatu
daerah dapat setuju atau menolak masuk dalam NIS. Pasal-pasal yang selebihnya mengatur
tentang pembentukan NIS. Lihat Lapian dkk., Op.cit., h. 90-91.
35
Deliar Noer dan Akbarsyah, KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat, Parlemen Indonesia 1945-
1950, (Jakarta: Yayasan Risalah, 2005), h. 81-87.
36
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI:
Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 212-213. Lihat
juga lampiran naskah Peraturan Presiden No. 6 Tahun 1946 dalam Noer dan Akbarsyah, Ibid.,
h. 388-397.
37
‘i a at... , Loc.cit.
38
Noer dan Akbarsyah, Op.cit., h. 130-134.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


21

Linggarjati.39 Sjahrir kemudian digantikan oleh Amir Sjarifuddin. Perdana


Menteri Amir berusaha melanjutkan negosiasi yang telah dirintis Sjahrir tetapi
juga mengalami kebuntuan. Karena kebuntuan itu, pada 21 Juli 1947 Belanda
mengagresi Indonesia. Situasi yang memanas itu membuat Perserikatan Bangsa-
bangsa (PBB) turun tangan menengahi konflik Indonesia-Belanda. Suatu
perjanjian penyelesaian konflik akhirnya disepakati di atas kapal angkut militer
USS Renville milik Amerika Serikat ada 8 Desember 1947. Kedua pihak
kemudian meratifikasi Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Kabinet Amir
mengalami kegoncangan karena banyak pihak yang kecewa atas hasil perjanjian
tersebut. Puncaknya, Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dari jabatannya pada
23 Januari 1948.40
Setelah kejatuhan Amir Sjarifuddin dibentuklah kabinet baru yang sifatnya
presidensial dipimpin oleh Mohammad Hatta pada 31 Januari 1948. Dalam
kabinet baru ini PKI dan koalisinya sama sekali tidak mendapat kursi. 41 Melihat
perkembangan politik ini PKI dan koalisinya terpaksa merumuskan kembali taktik
politiknya sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi dewasa itu. Pada
Februari 1948 guna melancarkan usaha masuk kembali dalam pemerintahan, PKI
dan bersama-sama dengan Partai Sosialis, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo),
Paratai Buruh Indonesia (PBI), dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia
(Sobsi) membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). Dalam Maret 1948 FDR

39
Dalam beberapa negosiasi lanjutan pasca-Linggarjati, Perdana Menteri Sjahrir dinilai banyak
memberikan konsesi kepada Belanda. Akibat konsesi itu beberapa menteri kabinet
mengundurkan diri karena kecewa. Keadaan ini membuka jalan bagi Amir Sjarifuddin untuk
masuk dalam pemerintahan. Puncaknya pada Juli 1947 Amir Sjarifuddin berhasil menduduki
kursi perdana menteri. Lihat Harry A. Poeze, Madiun 1948: PKI Bergerak, terj. Hersri Setiawan,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, 2011), h. 10.
40
Inti dari Perjanjian Renville adalah langkah-langkah lebih lanjut dari kesepakatan dalam
Perjanjian Linggarjati. Pasal-pasal utamanya membahas mengenai rencana pembentukan
Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebelum terbentuknya RIS, Belanda akan tetap berdaulat
atas Indonesia. Pasal-pasal lainnya menyebut bahwa RI akan merupakan satu negara bagian
dari RIS. Nantinya akan disusun pula suatu sistem kenegaraan antara Indonesia-Belanda yang
keduanya memiliki kedudukan yang setara. Setelah melalui dinamika yang alot, kesepakatan-
kesepakatan itu jelas sangat merugikan posisi Indonesia. Tetapi Kabinet Amir tidak
mempunyai pilihan lain selain menyetujuinya. Lihat Lapian dkk., Op.cit., h. 91-93 dan
Poesponegoro dan Notosusanto, Op.cit., h. 214-217 dan 223-225.
41
Poesponegoro dan Notosusanto, Ibid., h. 232.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


22

segera menyatakan garis politiknya yang menolak Perjanjian Renville dan


bersikap oposan terhadap kebijakan-kebijakan Kabinet Hatta.42
Sebagai seorang kader sikap politik Njoto dalam KNIP sejalan dengan
sikap politik PKI dan FDR. Njoto segera menjadi salah satu pengkritik Perdana
Menteri Hatta, seperti yang dilakukannya pada 16 Februari 1948. Njoto
menyampaikan beberapa kritik terkait kebijakan pemerintah yang dikemukakan
Perdana Menteri Hatta di hadapan BP KNIP pada 14 Februari 1948. Hanya saja
Njoto tidak memberikan kesimpulan atau sikapnya atas pidato Perdana Menteri
Hatta tersebut. Njoto bersama dengan anggota BP KNIP dari koalisi FDR
menolak untuk mendukung kebijakan Perdana Menteri Hatta.43
Di dalam koalisi FDR itu Njoto adalah salah satu kader muda yang
menjadi motor penggerak dalam sekretariat bersama Aidit dan Sudisman.44 Njoto
adalah salah satu perwakilan PKI pada biro penerangan Sekretariat FDR.45
Keberadaan mereka dalam Sekretariat FDR menjadi penting karena berkat kader-
kader muda itu FDR dimaksimalkan sebagai komando politik tertinggi di
kalangan kaum kiri. Lebih dari itu mereka sekaligus mempropagandakan peran
PKI sebagai partai sentral kaum kiri Indonesia.46 Melalui Sekretariat FDR inilah
agaknya Njoto mendapat momentumnya untuk mengaktualisasikan
kemampuannya dan memperluas perannya dalam politik.
Bersamaan dengan perannya yang meningkat itu, Njoto juga terlibat dalam
pergolakan internal di tubuh PKI berlangsung di antara kelompok komunis senior
dan kader muda. Pergolakan itu menyangkut permasalahan mendasar yaitu apakah
PKI harus maju memimpin revolusi atau tidak. Kelompok muda PKI menganggap
inilah saat yang tepat bagi PKI mengambil peranan sentral dalam revolusi. Ide ini
tidak mendapat sambutan yang baik dari kalangan komunis senior seperti Tan
Ling Djie, Setiadjit, S.K. Trimurti, dan Maruto Darusman. Di sisi lain kelompok
muda merasakan adanya suatu ketidakberesan sedang terjadi dalam partai dan
koalisi. Mereka jelas merasakan kekecewaan atas Perjanjian Renville dan

42
Poeze, Op.cit., h. 11-12.
43
Noer dan Akbarsyah, Op.cit., h. 189-192 dan 207-211.
44
“oe jo o, O Musso s ‘etu , te j. Be edi t A de so , Indonesia, No. 29, April 1980, h. 62-
64 dan 66.
45
‘i a at... , Loc.cit.
46
Latif, Op.cit., h. 251.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


23

pengunduran diri Amir Sjarifuddin dari jabatan perdana menteri. Sejak saat itu
terlihat suatu polarisasi opini dalam PKI dan koalisi FDR antara kubu pemuda
kelompok Aidit dan kelompok senior Tan Ling Djie.47
Meskipun terkendala oleh senioritas dalam FDR, peluang politik Njoto
untuk masuk dalam lingkaran elit PKI terbuka setelah Musso kembali ke
Indonesia pada Agustus 1948. Dalam Konferensi PKI pada Agustus 1948 Musso
menjabarkan sebuah Resolusi Jalan Baru untuk Republik Indonesia (selanjutnya
disebut Jalan Baru) yang mengungkapkan kesalahan pokok PKI di ranah
organisasi, politik, dan ideologi. Jalan Baru juga memaparkan langkah-langkah
strategis yang harus ditempuh PKI untuk memperbaikinya.48 Jalan Baru yang
dirumuskan Musso itu ternyata sesuai benar dengan aspirasi kelompok muda yang
selama ini terpinggirkan. Hal itu terlihat dari model gerakan yang dicanangkan
Jalan Baru, yaitu mengupayakan PKI meraih kepemimpinan dalam revolusi yang
sedang berjalan.49
Musso pun sangat apresiatif terhadap kader muda dalam partai. Sebelum
kedatangan Musso, pada Juni 1948 Njoto telah diangkat sebagai kandidat anggota
Politbiro PKI. Dalam konferensi partai tersebut Musso kemudian dipilih oleh
pemimpin-pemimpin senior PKI menggantikan posisi Sardjono sebagai ketua.
Saat itu juga diumumkan susunan Politbiro PKI baru yang sebagiannya diisi oleh
tenaga muda. Njoto adalah salah satu kader muda yang diangkat sebagai anggota
penuh Politbiro PKI. Musso memandang Njoto sebagai seorang Stalinis yang
memiliki kecakapan politik.50
Tetapi secara mendadak, semua aktivitas dan kegairahan itu terhenti sejak
18 September 1948. Huru-hara yang hari ini dikenal sebagai Peristiwa Madiun itu
mencerai-beraikan PKI. Kelompok pemimpin puncak PKI yang dicap
pemberontak seperti Musso dan Amir Sjarifuddin tewas di hadapan bedil tentara.

47
Soerjono, Loc.cit., h. 70-74.
48
Busjarie Latif, Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI (1920—1965), (Bandung: Ultimus, 2014), h. 277-
278.
49
Poeze, Op.cit., h. 36.
50
‘i a at... , Loc.cit. h. 483-484 dan Arnold C. Brackman, Indonesian Communism: A History,
(London: Frederik A. Preager Inc., 1963), h. 84-85 dan 206. Politbiro dalam PKI adalah sebuah
badan dengan fungsi eksekutif yang menjalankan kegiatan-kegiatan dan program-program
partai sehari-hari. Sedangkan CC adalah badan dengan fungsi legislatif atau semacam
pa le e atau de a pe i a dala pa tai.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


24

Sementara tokoh-tokoh seniornya seperti Alimin, Tan Ling Djie, dan Wikana
dijebloskan ke penjara. Keadaan menjadi serba sulit bagi pemimpin dan kader
PKI yang berhasil lolos dari maut dan kurungan. Tetapi, dengan menyusutnya
peran tokoh-tokoh senior itu, kelompok muda dari kelompok Aidit menjadi lebih
leluasa untuk bergerak. Pada tahap selanjutnya merekalah yang mengusahakan
suatu pembangunan kembali partai dan mengembangkannya menjadi lebih besar
lagi.

2.3. Perjalanan Di Lapangan Politik


Suatu hal yang menarik bahwa Pemerintah RI tidak pernah mengeluarkan
suatu pelarangan bagi PKI. Agresi Militer II oleh Belanda tidak lama setelah
Peristiwa Madiun menjadi penyebab utamanya. Banyak kader komunis yang
selamat dari Peristiwa Madiun mendapat pengampunan dari Pemerintah RI akibat
keadaan darurat itu. Sifat aksi PKI di Madiun pun dipandang sebagai aksi parsial
suatu kelompok dalam partai. Jadi, tidak ada kaitan yang langsung dengan bagian
lain PKI di daerah-daerah lain yang tidak mengangkat senjata. Alasan lain adalah
adanya suatu ‘mitos’ bahwa PKI tumbuh subur jika bergerak di bawah tanah.
Sehingga membiarkannya bergerak di permukaan memudahkan pemerintah untuk
mengawasi atau mengendalikannya. Lagi pula PKI dianggap sudah kehilangan
banyak pimpinan utamanya akibat Peristiwa Madiun 1948, sehingga dinilai tidak
lagi mengancam secara politis. Karena itulah, PKI masih dapat bergerak meskipun
dalam keadaan sangat limbung.51
Pada September 1949 Alimin Prawirodirdjo, seorang tokoh senior PKI,
memulai usaha membangun kembali PKI. Alimin memulai dengan sebuah
konsolidasi kader secara terbatas di Yogyakarta.52 Angin segar bagi pergerakan
PKI berhembus ketika pada 4 Februari 1950 Pemerintah Republik Indonesia
Serikat (RIS) –yang merupakan hasil kompromi antara Republik Indonesia dan

51
Boyd R. Compton, Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia, terj. Hamid Basyaib,
(Jakarta: Pustaka LP3ES, 1993), h. 170-173 dan Brackman, Op.cit., h. 123-124.
52
Pada saat ini PKI adalah suatu partai baru hasil fusi partai-partai kiri yang sebelum Peristiwa
Madiun berhimpun di dalam koalisi FDR. Penyatuan ini merupakan prakarsa Musso.
Keputusan fusi di antara partai-partai kiri ini sebenarnya sudah ditetapkan sejak Agustus 1948
oleh dewan-dewan harian FDR tetapi belum sempat disahkan dalam kongres anggota-anggota
FDR. Lihat Ja ues Le le , Aidit Da Pa tai Pada Tahu , dala Prisma, No. 7, Juli
1982, h. 61 dan 63.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


25

negara-negara federal ciptaan Belanda yang kemudian disepakati dalam


Konferensi Meja Bundar (KMB)- menerbitkan surat keputusan tentang kebebasan
PKI. Dengan modal politik itu setidaknya pada 10 Juli 1950 sebuah susunan
sekretariat CC PKI sementara diumumkan ke publik. Strateginya adalah
membentuk terlebih dahulu partai kecil dengan disokong oleh kader-kader yang
cakap. Oleh Alimin partai kemudian cenderung diarahkan menjadi semacam
organisasi yang eksklusif.53 Alimin memilih untuk membangun partai secara
terbatas dan mengabaikan Jalan Baru Musso. Alimin berkonsentrasi
mengembangkan front buruh, pemuda, dan wanita.54
Di saat yang sama di Jakarta Aidit juga bergerak membangun partai
dengan pendekatan yang berbeda. Ketika KMB tengah berlangsung di Belanda
pada Desember 1949, Aidit, Lukman, dan Sudisman serta beberapa kawannya
sudah memulai sebuah pengorganisasian massa PKI di Jakarta. Mereka bersiap
membentuk Comite Jakarta Raya. Di Jakarta ini sedang dipersiapkan kantor CC
PKI baru yang dipimpin Aidit, Lukman, dan Sudisman di daerah Kemayoran.
Berbeda dengan pendekatan eksklusif Alimin, sebaliknya Aidit membangun partai
dengan menyandarkan kekuatannya pada massa. Memasuki tahun 1950 pemuda-
pemuda PKI ini kian gencar membangun basis massa dan mulai membangun
komite-komite dan memperkuat jejaring partai. Organisasi pendukung di kalangan
buruh, tani, pemuda, wanita, dan kebudayaan juga menjadi prioritas ekspansi
mereka. Langkah-langkah agitasi yang bersifat masif juga dilakukan dengan
menerbitkan majalah dan surat kabar. Sebuah demonstrasi memperingati Hari
Buruh pun digelar untuk menunjukkan eksistensi mereka pada 1 Mei 1950.
Pada tahun itu Njoto datang ke Jakarta dan memperkuat barisan kelompok
Aidit. Pada proses konsolidasi partai di Jakarta itu, Njoto terlibat di ranah
jurnalistik. Pada 15 Agustus 1950 majalah teori Bintang Merah diterbitkan
kembali. Njoto masuk dapur redaksinya bersama Aidit, Lukman, dan Peris
Pardede. Majalah ini menjadi basis utama untuk menjaga kesatuan pemahaman
kader terhadap teori-teori Marxisme dalam situasi terpecahnya partai pasca
Peristiwa Madiun 1948. Melalui majalah ini, kelompok Aidit menyuarakan

53
Peter Kasenda, Soekarno, Marxisme, Dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri Dan Revolusi
Indonesia, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), h. 103 dan 177-179.
54
Brackman, Op.cit., h. 139.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


26

kembali konsepsi Jalan Baru Musso. Selain itu Njoto juga memegang peran
ketika bersama dengan Aidit dan beberapa budayawan mendirikan Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950.55
Dimulai dari titik inilah karier politik Njoto meroket. Peristiwa Madiun
1948 dan proses revitalisasi partai setelahnya membuka peluang besar baginya
untuk berpanggung di level politik nasional. Dengan semua kegiatan di Jakarta itu
kelompok Bintang Merah, sebutan bagi kelompok Aidit dan kawan-kawannya,
mampu meraih dukungan yang cukup kuat dari berbagai daerah untuk meraih
posisi pimpinan PKI. Hasil gemilang dari usaha kelompok Bintang Merah terlihat
kala PKI mengumumkan lima orang pimpinan harian partai pada 7 Januari 1951,
yaitu Alimin, Aidit, Lukman, Njoto, dan Sudisman.56 Kelompok Bintang Merah
itu tetap bertahan di pucuk pimpinan PKI hingga menjelang kongres nasional
partai. Pada Oktober 1953 CC PKI mengadakan sidang pleno sebagai persiapan
menuju kongres nasional. Dalam pleno tersebut Aidit terpilih sebagai sekretaris
jenderal menggantikan posisi Alimin. Njoto sendiri terpilih sebagai wakil
sekretaris jenderal II, jabatan tertinggi ketiga di jajaran elit PKI. Selain jabatan
fungsional, dia pun termasuk dalam jajaran politbiro dan anggota CC PKI.
Kedudukan itu dikukuhkan dalam Kongres Nasional ke-V PKI di Jakarta pada
Maret 1954.57
Bersamaan dengan proses revitalisasi partai, pimpinan baru PKI ini juga
berhadapan dengan kondisi negara Indonesia dan masyarakatnya yang penuh
gejolak. Sebagaimana telah dikemukakan pada bab pendahuluan, bahwa periode
1950—1965 dalam historiografi Indonesia kerap direpresentasikan dengan istilah
‘the road to disaster’. Suatu masa di saat negara diguncang pemberontakan daerah
dan tegangnya kehidupan politik. Setelah pengakuan kedaulatan pada 1949
Indonesia adalah negara federasi dengan 16 negara bagian. Pemerintah RIS yang
dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta segera dihadapkan pada
beberapa permasalahan khas negara baru. Sebagai akibat Perang Kemerdekaan
1945—1949 Pemerintah RIS menghadapi masalah prasarana fisik yang hancur,
perekonomian yang buruk, dan bahkan dekadensi mental masyarakat.

55
Latif, Op.cit., h. 309-312.
56
Leclerc, Loc.cit., h. 65.
57
Latif, Op.cit., h. 332-334.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


27

Selain itu, Pemerintah RIS juga menghadapi kenyataan bahwa rakyat di


negara-negara federal tidak terlalu solid mendukung bentuk negara federal.
Banyak negara-negara bagian RIS yang memilih untuk kembali ke bentuk negara
kesatuan. Tidak sampai setahun sejak pengakuan kedaulatan Desember 1949,
Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan. 17 Agustus 1950 secara resmi RIS
dibubarkan. Meskipun demikian, model pemerintahan parlementer tetap
dipertahankan dengan potensi instabilitasnya.58 Sejak itu, Indonesia memasuki
periode yang oleh sejarawan disebut sebagai masa Demokrasi Parlementer.
Instabilitas politik itu segera terkonfirmasi melalui jatuhbangunnya
kabinet pemerintahan selama paruh pertama masa demokrasi liberal 1950—1955.
Dalam waktu yang nisbi singkat itu pemerintahan mengalami empat kali
pergantian kabinet. Masing-masing kabinet tersebut adalah Kabinet Natsir
(September 1950—Maret 1951), Kabinet Sukiman (April 1951—April 1952),
Kabinet Wilopo (April 1952—Juli 1953), dan Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli
1953—Agustus 1955). Dengan waktu kerja yang singkat itu masing-masing
kabinet tidak ada yang dapat melaksanakan programnya secara maksimal. Kabinet
sangat mudah digoyahkan oleh kekuatan oposisi dalam parlemen.59
Tetapi bukan oposisi benar yang merongrong kinerja kabinet. Dalam
catatan lain, selama berlakunya Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950
tidak ada kabinet yang jatuh oleh oposisi di parlemen. Masalah terbesar justru
datang dari mitra koalisi pemerintah sendiri karena adanya faksionalisme.
Ketiadaan partai mayoritas yang mampu membentuk pemerintahan mayoritas
memaksa kabinet pemerintahan dibentuk dari koalisi partai-partai yang rawan
faksionalisme. Bahkan, Presiden Soekarno sendiri tidak pernah membentuk suatu

58
Poesponegoro dan Notosusanto, Op.cit., h. 301-308. Indonesia tetap memberlakukan sistem
parlementer berdasar pada Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. UUDS 1950
mengamanatkan sistem pemerintahan parlementer yang berdasar pada pemikiran demokrasi
liberal. Sesuai UUDS 1950, presiden dan wakil presiden adalah jabatan konstitusional dengan
tugas-tugas eksekutif dijalankan oleh para menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen.
Lihat FX. Koesworo, J.B. Margantoro, dan Ronnie S. Viko, Di Balik Tugas Kuli Tinta, (Surakarta-
Yogyakarta: Sebelas Maret University Press dan Yayasan Pustaka Nusatama, 1994), h. 18-19.
59
Poesponegoro dan Notosusanto, Ibid., h. 304-308.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


28

faksi mayoritas di parlemen meskipun anggota parlemen diangkat melalui


penunjukan presiden.60
Dinamika politik itu mencapai klimaks menjelang Pemilihan Umum 1955.
Pemilihan umum yang pertama dalam sejarah Indonesia ini oleh masyarakat
diharapkan bisa menjadi jalan keluar dari situasi politik dan frustasi sosial yang
kalut. Diawali dengan pergantian pemerintahan dari Kabinet Ali Sastroamidjojo
kepada Kabinet Burhanuddin Harahap, pelaksanaan pemilihan umum sempat
mengalami potensi penundaan. Tetapi kabinet baru akhirnya tetap berhasil
melaksanakannya sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Lebih dari 39 juta rakyat
Indonesia datang memberikan suaranya pada pemilihan parlemen 29 September
1955 dan pemilihan Konstituante 15 Desember 1955. Hasilnya adalah munculnya
PNI, Masyumi, NU, dan PKI sebagai empat besar pemenang pemilu. 61
Proses Pemilihan Umum 1955 tersebut menjadi penanda awal dari paruh
kedua masa Demokrasi Parlementer sekaligus proses transisi menuju periode yang
kemudian disebut sebagai masa Demokrasi Terpimpin. Pascapemilihan umum
hingga pengumuman Dekrit Presiden pada Juli 1959, pemerintah mengalami dua
pergantian kabinet. Diawali dengan penyerahan mandat Kabinet Burhanuddin
Harahap pada Maret 1956, berturut-turut pemerintahan dijalankan oleh Kabinet
Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956—Maret 1957) dan Kabinet Djuanda (Maret
1957—Juli 1959). Segera terlihat bahwa stabilitas pemerintahan dan politik yang
diharapkan itu tidak tercapai.62 Selain pemerintahan yang tidak stabil itu,
Indonesia juga diwarnai sejumlah pergolakan bersenjata di daerah. Pergolakan
yang paling menyita fokus pemerintah adalah pemberontakan Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia (DI/TII) dan dewan-dewan militer di beberapa daerah yang
berujung pada pemberontakan PRRI-Permesta.63
Pada tantangan politik yang demikian itulah PKI dihadapkan. Karena itu,
segera setelah pergantian kepemimpinan PKI di awal tahun 1951, orientasi partai

60
Toeti Kakiailatu, B.M. Diah: Wartawan Serba Bisa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), h.
183-184.
61
Proses persiapan dan penyelenggaraan Pemilihan Umum 1955 secara lebih detil lihat
Poesponegoro dan Notosusanto, Op.cit., h. 316-321 dan Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955
di Indonesia, terj. Nugroho Katjasungkana dkk, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,
1999), h. 1-8.
62
Poesponegoro dan Notosusanto, Ibid., h. 316.
63
Ibid., h. 360-378.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


29

dirumuskan kembali. Secara simultan PKI melakukan perbaikan-perbaikan di


lapangan internal organisasi dan bergerak mengupayakan pemecahan masalah-
masalah nasional. Pekerjaan dalam internal partai dilakukan dengan memperbarui
orientasi partai. Dalam pandangan kelompok Bintang Merah, watak eksklusif
partai yang diusung Alimin adalah sebuah strategi yang malah membuat PKI tidak
populer. Karena itu kepemimpinan Aidit memiliki orientasi bahwa PKI harus
dikembangkan menjadi organisasi berbasis massa yang kuat secara struktural.
Artinya partai harus mampu menggaet massa dalam kuantitas besar sekaligus juga
memiliki bangunan struktur organisasi yang kokoh.64
PKI dalam kepemimpinan tiga serangkai Aidit-Lukman-Njoto
mendasarkan gerakannya pada analisis-analisis yang dikemukakan oleh Musso
pada 1948 dan juga pengalaman gerakan Komunisme di Tiongkok. Strategi yang
dikembangkan oleh Aidit sekawan kemudian disebut strategi front persatuan
nasional. Strategi ini adalah sebuah aliansi lebar yang dibentuk dengan kerjasama
antara buruh, tani, borjuasi kecil, dan borjuasi nasional.65 Kepemimpinan Aidit
sekawan juga mengembangkan organisasi PKI menjadi efektif dan memiliki
disiplin tinggi. PKI pada masa-masa ini belum memusatkan perhatiannya pada
perolehan jabatan penting, tetapi mencoba memperkuat basisnya di level akar
rumput. Strategi PKI adalah memasifkan gerakannya pada kaum proletariat di
kota dan perkebunan serta kalangan petani yang rudin penghidupannya.66
Sejarawan M.C. Ricklefs menilai strategi front nasional itu merupakan
bentuk adaptasi PKI terhadap iklim kontestasi politik Indonesia. Pragmatisme itu
terlihat dari stretegi politik PKI yang dipublikasikan dengan terminologi-
terminologi khas Marxisme-Leninisme, tetapi banyak menyimpang dari teori
Marxisme-Leninisme konfensional. Hal ini terlihat dari pandangan Aidit bahwa
orientasi politiklah yang menjadi penentu kelas sosial, bukan kelas sosial yang

64
Kasenda, Op.cit., h. 180. Upaya menambah jumlah anggota partai segera direalisasikan dengan
kelua a ‘esolusi CC PKI te ta g Pe luasa Kea ggotaa Pa tai pada Maret 1952. Ketika
target perluasan kuantitas kader tercapai selanjutnya yang harus dilakukan partai adalah
penguatan kualitas dan militansi kader. Target itu direalisasikan dengan mengadakan
pelatihan kader yang ketat dan berdurasi lama. Untuk mendapat status anggota tetap partai
setidaknya seorang kader harus menjalani enam bulan masa studi dan pelatihan. Gerakan
studi i i dipe luka gu a e i gkatka kesada a ko u is pa a kade PKI. Lihat Co pto ,
Op.cit., h. 171-179.
65
Yozar Anwar, Protes Kaum Muda!, (Jakarta: PT Variasi Jaya – Kartini Group, 1982), h. 119.
66
Feith, Op.cit., h. 13-14.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


30

menentukan orientasi politik. Karena pandangan pragmatis inilah kerja sama


dengan golongan nonkomunis bisa dilakukan berdasarkan persamaan prinsip
antiimperialisme.67
Berkat organisasi dan strategi yang efektif tersebut PKI berhasil meraih
capaian mengesankan. Bukti paling sahih keberhasilan PKI menjalankan strategi
politiknya adalah meningkatnya jumlah anggota secara bertahap. Pada tahun
pertama sejak CC PKI mengeluarkan Resolusi Perluasan Keanggotaan Partai pada
1952, jumlah anggota partai bertambah signifikan dari 8.000 orang menjadi lebih
dari 100.000 orang. Lalu dalam 1953 meningkat lagi menjadi 170.000 orang.
Capaian jumlah anggota ini terus meroket. Pada November 1954, pimpinan PKI
mengeluarkan pernyataan bahwa partai telah mampu merangkul hampir 500.000
orang anggota dan calon anggota. Perluasan keanggotaan ini juga diiringi dengan
perluasan basis politiknya. Pada 1951 PKI hanya memiliki cabang di kota-kota
penting di Jawa dan Madura. Cabang-cabang PKI kemudian merata di semua
provinsi pada 1954.68 Ekspansi PKI ke organisasi-organisasi massa dibeberapa
bidang juga mendapat kemajuan. Organisasi serikat buruhnya, Serikat Organisasi
Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), adalah serikat buruh terbesar di seluruh
Indonesia. Barisan Tani Indonesia (BTI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani),
dan organisasi Pemuda Rakyat berhasil diekspansi dan segera identik dengan
PKI.69
Dengan capaian kuantitas anggota ini dan kemenangannya dalam
Pemilihan Umum 1955, PKI benar-benar telah bangkit dari keterpurukannya sejak
Peristiwa Madiun 1948. Tetapi, pencapaian itu tidak cukup bisa segera

67
Bagi Aidit, PKI bisa bekerjasama dengan kaum borjuis kecil dan kelas feodal. Praksisnya terlihat
ketika PKI nantinya bermitra dengan PNI. Aidit menyebut orang-orang PNI sebagai golongan
borjuis nasional, meskipun orang-orang PNI lebih terlihat feodal daripada borjuis. Padahal
Masyumi sebenarnya lebih tepat sebagai representasi dari golongan borjuis pribumi. Tetapi
para pemimpin Masyumi adalah orang-orang antikomunis. Bersekutu dengan mereka jelas
tidak mungkin bagi PKI. Ketika NU keluar dari Masyumi pada 1952, PKI juga bersekutu dengan
mereka karena dianggap borjuis. NU sendiri menerima kerja sama itu karena PKI dinilai tidak
memusuhi Islam secara terang. Kenyataannya memang jalan pragmatis ini mampu
mempertahankan posisi PKI dalam konstelasi politik nasional. Pilihan ini membuat PKI
menjadi tampak lebih membela kepentingan partai daripada kelas buruh dan ideologi
komunisme. Lihat Ricklefs, Op.cit., h. 478-479
68
Compton, Op.cit., h. 173-174. Ricklefs juga mencatat perolehan yang sama. Tetapi, Ricklefs
mencatat bahwa penambahan jumlah anggota sangat signifikan terjadi antara Maret hingga
November 1954, dari jumlah awal 165.206 menjadi 500.000. Lihat Ricklefs, Op.cit., h. 492.
69
Mortimer, Op.cit., h. 36.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


31

mengantarkan PKI masuk dalam pemerintahan. Pada 20 Maret 1956 susunan


kabinet yang merupakan representasi hasil Pemilihan Umum 1955 dan disebut
Kabinet Ali II diumumkan kepada publik. Tampaklah kabinet ini sebagai koalisi
PNI, Masyumi, dan NU.70 Kendati tidak satu pun kursi menteri kabinet diraih
PKI, tetapi posisi partai di Parlemen dan Konstituante cukup signifikan. PKI
berhasil mendudukkan 39 perwakilan partai dalam Parlemen.71 Dalam
Konstituante pun posisi PKI cukup baik. Sebagai salah satu pemenang pemilu,
PKI mendudukkan 60 wakilnya dalam majelis penyusun undang-undang
tersebut.72
Tahun-tahun sejak 1955 adalah masa-masa meninggi bagi PKI dan tentu
saja Njoto. Tugasnya sebagai wakil sekjen II PKI dan sekaligus pimpinan
Departemen Agitasi dan Propaganda (Agitprop) mengharuskannya banyak
berhubungan langsung dengan massa rakyat. Sebagai pimpinan Departemen
Agitprop Njoto membawahi dua badan utama yang menjadi corong suara PKI,
yaitu penerbit Yayasan Pembaruan dan tentu saja Harian Rakjat. Melalui dua
badan inilah PKI mempopulerkan ideologinya dan menarik massa, terutama sekali
lewat Harian Rakjat.73 Yayasan Pembaruan merupakan badan penerbitan yang
khusus menerbitkan bahan bacaan Marxisme-Leninisme untuk kader PKI atau
khalayak umum. Brosur-brosur politik PKI untuk khalayak umum juga diterbitkan
oleh yayasan ini.
Di lingkup politik nasional, Njoto adalah salah satu wakil PKI yang duduk
dalam majelis Konstituante. Pada awal masa kerja majelis ini Njoto sempat ikut
mencalonkan diri dalam pemilihan Ketua Konstituante pada 20 November 1956.

70
Poesponegoro dan Notosusanto, Op.cit., h. 316-321.
71
Feith, Op.cit., h. 84.
72
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia: Studi Sosio-Legal
Atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2001), h. 32.
73
PKI memiliki departemen-departemen khusus untuk membantu tugas Dewan Harian
Politbironya. Selain Agitprop PKI memiliki departemen bidang Organisasi, Ekonomi, Ilmu dan
Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga, Luar Negeri, Wanita, dan Front Persatuan
Nasional. Kecuali Departemen Organisasi, semua departemen tersebut adalah semacam
badan legislatif dalam partai yang mengurusi bidang spesialisasinya masing-masing. Tugas
setiap departemen biasanya datang dari Dewan Harian Politbiro atau inisiatif departemen
sendiri. Jadi departemen-departemen tersebut pada umumnya berfungsi sebagai badan
pemikir bagi PKI dan Harian Rakjat berguna untuk menyebarluaskan hasil-hasil kerjanya.
Keterangan ini diperoleh dari transkrip kesaksian Peris Pardede dalam sidang pengadilan Dr.
Subandrio. Selengkapnya lihat Pusat Pendidikan Kehakiman, G-30-S Dihadapan Mahmillub 3
Di Djakarta II: perkara Dr. Subandrio, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1967), h. 198-200.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


32

Kompetitor Njoto dalam pemilihan Ketua Konstituante adalah Wilopo (PNI),


Prof. S.M. Abidin (Partai Buruh), K.H. Mohammad Dachlan (NU), dan Prof. Mr.
H. Muhammad Yamin (gabungan partai-partai kecil). Tetapi kemudian ia
mengundurkan diri dengan alasan demi kelancaran pemilihan.74
Pembahasan dasar negara dalam Konstituante berjalan dengan sangat alot.
Perdebatan di antara partai-partai dalam sidang yang digelar sejak tanggal 11
November hingga 6 Desember 1957 itu cenderung mengarah kepada debat
ideologis, mutlak-mutlakan, dan antagonistik. Karena itu, titik temu di antara
partai-partai itu tidak tercapai dan pembahasan dasar negara terpaksa
ditangguhkan. Pimpinan Konstituante akhirnya menyerahkan persoalan ini kepada
Panitia Persiapan Konstitusi untuk mempersiapkan rumusan yang memungkinkan
tercapainya kompromi.75 Dalam perdebatan itu Njoto adalah salah seorang
pendukung Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dalam hal ini ia
berseberangan paham dengan faksi pendukung Islam sebagai dasar negara yang
kekuatan utamanya terdiri dari tokoh-tokoh Masyumi dan NU. Lawan-lawan
debatnya di antaranya adalah Kasman Singodimedjo, Kiai Isa Anshary,
Mohammad Natsir, dan Kiai Saifuddin Zuhri.76 Debat tersebut memang tidak
terelakkan jika merunut kembali konstelasi hubungan partai Islam dan PKI yang
selalu tegang.77

74
“u agijo I.N., ‘i a at Hidup Wilopo , dala Pa itia Pe i gata Tahu Wilopo, Wilopo 70
Tahun, (Jakarta: Gunung Agung, 1979), h. 158.
75
Nasution, Op.cit., h. 40-41.
76
Dinamika perdebatan itu selengkapnya dapat dilihat melalui pidato Njoto dalam Tentang Dasar
Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid III, (Bandung: tanpa penerbit, 1958), h.
83-111 (Untuk memudahkan penyebutan, selanjutnya akan ditulis: Tentang Dasar Negara III).
Lihat juga Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75
Tahun, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 194-208.
77
Sejak awal pertentangan politik antara Masyumi dan PKI memang tidak terjembatani. Sejak
awal masa Demokrasi Parlementer hubungan antara Masyumi dan PKI telah tegang, terutama
sejak Perdana Menteri Sukiman melakukan Razia Agustus pada 1951. Saat itu Perdana
Menteri Sukiman memerintahkan penangkapan terhadap kaum komunis dan simpatisannya
setelah beberapa bulan sebelumnya merebak kekacauan dan pemogokan di Jakarta. Di Bogor
sebuah kerusuhan timbul akibat peledakan granat ke arah kerumunan massa dan
segerombolan bersenjata yang berlencana palu-arit menyerang sebuah pos polisi. Kaum
komunis ditengarai berada di balik layar kekacauan itu. PKI tidak bisa mengelak dari tuduhan
itu dan sejumlah penangkapan terhadap sejumlah aktivisnya akhirnya dilakukan oleh
pemerintah Perdana Menteri Sukiman. Akibatnya gerak PKI membangun kembali kekuatan
politiknya menjadi terganggu. Lihat Riclefs, Op.cit., h. 482-483 dan Siauw Tiong Djin, Siauw
Giok Tjhan: Riwayat Perjuangan Seorang Patriot Membangun Nasion Indonesia dan
Masyarakat Bhineka Tunggal Ika, (Jakarta: Hasta Mitra, 1989), h. 166-171. Bersama dengan

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


33

Njoto yang mendukung Pancasila sebagai dasar negara setidaknya


menyerang secara frontal pidato-pidato dari Natsir, Kasman Singodimedjo, dan
Kiai Isa Anshary. Karena sikapnya yang demikian itu pada akhirnya menjadikan
perdebatan menjadi berlarut-larut dan menjurus sarkastis serta saling serang
secara pribadi. Menurutnya para penganjur Islam sebagai dasar negara tidak
menunjukkan sikap toleransi dan fanatik, seperti yang dilontarkannya kepada
Kasman dan Natsir.78 Njoto menyayangkan sikap sebagian angota Konstituante
dari partai Islam yang mengkritik Marxisme sebagai ideologi. Padahal
menurutnya pihak komunis hanya menyerang Islam dalam konteks sebagai dasar
negara, bukan sebagai agama atau ideologi. Kritikan ini ditujukannya khususnya
kepada Kiai Isa Anshary dan Natsir. Bahkan Njoto menyinggung Kiai Isa hanya
berpanjang kata, tetapi sebenarnya tidak paham terhadap Marxisme yang
dikritiknya.79
Sikap Njoto yang hantam kromo itu terang menimbulkan antipati pula di
kalangan Islam, terutama lawan-lawan debatnya. Adalah Kasman yang secara
khusus menjawab serangan-serangan Njoto tersebut. Menurutnya upaya Njoto dan
anggota komunis lain dalam Konstituante mendukung Pancasila bertujuan untuk
menjadikan Pancasila itu ateis dan antiagama. Selanjutnya dia menyerang Njoto
sebagai penyulut adu domba karena dalam pidatonya selalu mempertentangkan
satu pihak dengan pihak lain. Tidak habis di situ, Kasman masih menyerang
substansi pidato Njoto yang menurutnya hanya retorika, pemutarbalikan logika,
dan tidak kontekstual.80 Sementara itu Kiai Saifuddin Zuhri yang juga mendukung
Islam sebagai dasar negara menengarai, dari pidatonya, Njoto hanya menjadikan
Pancasila sebagai alat politik saja. Kiai Saifuddin mencatat bahwa Njoto
mengusulkan agar sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebaiknya diganti dengan

NU, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan beberapa tokoh PNI Masyumi telah menolak
masuknya tokoh PKI dalam kabinet hasil Pemilihan Umum 1955. Lihat Poesponegoro dan
Notosusanto, Op.cit., h. 321. Pemimpin Masyumi, Natsir, bahkan pernah mengungkapkan
sejumlah dalil Alquran dan hadits yang menyebutkan bahwa komunisme bertentangan
dengan hukum Islam. Dia juga memperingatkan kepada kader Masyumi agar waspada kepada
politik PKI. Lihat Nugroho Dewanto (ed.), Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), h. 62.
78
Njoto, Tentang Dasar Negara III, Op.cit., h. 85-86 dan 90-92.
79
Ibid., h. 99-102.
80
Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Op.cit.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


34

‘kemerdekaan beragama’. Kiai Saifuddin menilai bahwa usulan tersebut adalah


usaha untuk menyelamatkan ideologi PKI yang ateistis.81
Dalam soal perumusan dasar negara ini Konstituante tidak dapat mencapai
sutu konsensus hingga berakhirnya masa persidangan. Tetapi dalam bidang
lainnya Konstituante berhasil mencapai konsensus. Tidak seperti pembahasan
dasar negara yang berlarut-larut, pembahasan tentang hak-hak asasi manusia
berhasil mencapai konsensus dan siap dirumuskan ke dalam substansi undang-
undang dasar.82 Pada periode persidangan 1958 Konstituante bahkan berhasil
‘panen keputusan’. Konstituante berhasil merumuskan bentuk pemerintahan,
ketentuan mengenai pejabat negara dan keuangan negara, serta pasal-pasal terkait
bahasa resmi, bendera nasional, lagu kebangsaan, lambang negara, dan juga ibu
kota negara. Tetapi persoalan mengenai dasar negara tetap menemui jalan buntu.
Karenanya, hingga berakhirnya periode persidangan 1958 Konstituante belum
bisa menghasilkan suatu undang-undang dasar yang lengkap.83
Didorong oleh kemacetan dalam Konstituante itu, pada 22 April 1959
Presiden Sukarno berpidato di depan sidang Konstituante menganjurkan agar
memberlakukan kembali UUD 1945 secara tetap. Anjuran Presiden Sukarno
tersebut selanjutnya ditampung oleh Konstituante untuk dibahas. Kelompok Islam
kemudian mengajukan usul amandemen untuk mengembalikan kalimat ‘dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ ke dalam
pembukaan UUD 1945. Usul ini ditolak Konstituante melalui pemungutan suara
pada 29 Mei 1959. Sehari berikutnya pemungutan suara kembali digelar untuk
memutuskan usul kembali kepada UUD 1945 tanpa perubahan. Hasilnya
Konstituante tidak memenuhi kuorum dan karenanya Konstituante tidak dapat
mencapai kesepakatan terhadap UUD 1945.84
Di dalam polemik ini Njoto mendukung anjuran Presiden Soekarno untuk
kembali memberlakukan UUD 1945. Njoto berpendapat bahwa dengan kembali
kepada semangat UUD 1945 akan mencegah pertentangan politik dan

81
Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Jakarta: Gunung Agung, 1987), h. 449-450.
82
Nasution, Op.cit., h. 41.
83
Ibid., 43.
84
Poesponegoro dan Notosusanto, Op.cit., h. 380-381.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


35

memperkuat kesatuan di antara seluruh kekuatan antiimperialisme.85 Lebih jauh


tentang substansi UUD 1945, Njoto mendukung amandemen terhadap UUD 1945.
Berbeda dengan kelompok Islam yang menginginkan dimasukkannya kembali
kalimat ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’,
titik tekan Njoto terhadap amandemen adalah pada aspek kewenangan
pemerintah. Hal ini untuk mencegah pemerintah melakukan tindakan yang
sewenang-wenang.86
Dalam dua kali pemungutan suara ulang Konstituante tetap tidak mencapai
kuorum. Hal ini menjadikan Konstituante tidak mencapai konsensus apapun
mengenai pemberlakuan kembali UUD 1945 hingga memasuki masa reses pada 3
Juni 1959. Akhirnya itulah akhir dari Konstituante, karena setelah itu Presiden
Sukarno dengan dukungan beberapa kalangan politik dan Angkatan Perang
mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Presiden Sukarno berkesimpulan
bahwa Konstituante telah gagal dan keadaan negara waktu itu telah mencapai
klimaks yang membahayakan. Karena itu melalui dekrit tersebut Presiden
membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945.87 Dekrit
tersebut menjadi tengara berakhirnya masa Demokrasi Parlementer dan mulanya
masa Demokrasi Terpimpin.
Dalam periode demokrasi terpimpin ini konstelasi politik nasional
mengalami perubahan yang cukup signifikan. Sejak berlakunya Dekrit Presiden 5
Juli 1959 Presiden Sukarno secara bertahap membangun suatu mesin politik dan
pemerintahan yang kuat meskipun memiliki kecenderungan otoriter. Presiden
Sukarno memulai Demokrasi Terpimpin dengan mengkonsep suatu ideologi
negara yang dikenal sebagai Manifesto Politik (Manipol).88 Selanjutnya Presiden

85
Nasution, Op.cit., h. 357.
86
Ibid., h. 371.
87
Poesponegoro, Op.cit., h. 381 dan 385.
88
Pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1959 Presiden Sukarno membacakan pidato
e judul Pe e ua Ke ali ‘e olusi Kita . Melalui pidato te se ut P eside “uka o
menjelaskan secara lebih mendalam konsepsinya tentang sistem Demokrasi Terpimpin.
Rumusan pidato tersebut kemudian dijadikan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara
GBHN a g di e i kepala Ma ifesto Politik ‘epu lik I do esia atau disi gkat Ma ipol.
Manifesto politik yang berasal dari pidato Presiden Soekarno itu secara garis besar
menunjukkan bahwa Presiden Soekarno bermaksud menggelorakan kembali semangat
revolusi dan keadilan sosial yang berkesinambungan. Kaidah abstrak Manipol tersebut
ditambah lagi dengan seperangkat nilai-nilai yang disingkat USDEK; Undang-undang Dasar
1945, Sosialisme Indonesia, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Manipol-USDEK

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


36

Sukarno membentuk lembaga-lembaga tinggi negara yang pejabatnya diangkat


oleh presiden dan akan membantu pelaksanaan program pemerintah.89
Presiden Soekarno juga melakukan politik pembatasan gerak terhadap
partai-partai politik. Presiden Sukarno melakukan “penyederhanaan” sistem
kepartaian dengan mengumumkan suatu dekrit pada April 1961. Hanya ada
delapan partai politik yang diperbolehkan hidup sejak saat itu. Partai oposisi
utama, Masyumi dan PSI, bahkan sudah dilarang pada 1960. Angkatan Bersenjata
juga telah mampu mengakhiri sejumlah pemberontakan di daerah pada 1962.
Determinasi politik Presiden Sukarno juga terlihat dari intensifnya usaha
pembebasan Irian Barat pada 1962 hingga mencapai keberhasilan pada Mei
1963.90
Dalam periode Demokrasi Terpimpin ini konstelasi politik nasional telah
mengalami perubahan yang cukup signifikan. Partai-partai politik dengan
ideologinya sudah tidak terlalu relevan lagi dalam percaturan politik nasional.
Presiden Sukarno menerapkan suatu doktrin persatuan yang disebut
Nasionalisme-Agama-Komunisme atau Nasakom. Dengan doktrin ini Presiden
Sukarno hendak menciptakan suatu pemerintahan koalisi yang terpusat dan
mewakili semua golongan.91
Tetapi agaknya peta politik Nasakom itu hanya entitas yang terlihat di
permukaan. Politik Indonesia masa demokrasi terpimpin adalah sebuah segitiga
interaksi kekuatan. Presiden Sukarno berada di puncaknya sebagai Pemimpin
Besar Revolusi yang ditopang oleh PKI dan Angkatan Bersenjata. Sebagai pusat

selanjutnya menjadi ideologi yang resmi dan didiseminasikan ke segala tingkat pemerintahan,
pendidikan, dan bahkan pers diharuskan mendukungnya. Lihat Ibid., h. 419-420 dan Ricklefs,
Op.cit., h. 527.
89
Pada Juni 1960 Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilihan Umum 1955 dan
membentuk suatu DPR baru yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPR-GR). Pada Juni 1960 Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilihan Umum 1955
dan membentuk suatu DPR baru yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPR-GR). Berawal dari pembentukan DPR-GR tersebut kemudian Presiden Soekarno memulai
sebuah konsolidasi kekuasaan yang lebih masif. Pertama Presiden Soekarno membentuk
Front Nasional pada 1959 dan kemudian pada 1962 lembaga-lembaga tinggi negara
diintegrasikan dengan eksekutif. Pemimpin-pemimpin lembaga MPRS, DPR-GR, DPA,
Mahkamah Agung, dan Dewan Perancang Nasional (Depernas) diangkat menjadi menteri.
Dengan langkah tersebut Presiden Soekarno dapat mengamankan kebijakan
pemerintahannya. Lihat Poesponegoro dan Notosusanto, Ibid., h. 420-423.
90
Edward C. Smith, Sejarah Pembreidelan Pers Di Indonesia, terj. Atmakusumah dkk, (Jakarta:
Grafiti Pers, 1983), h. 176-177.
91
Ricklef, Op.cit., h. 529-530.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


37

kuasa politik Presiden Sukarno adalah penjaga perimbangan kekuatan kedua


pendukungnya itu. Kekuatan politik Angkatan Bersenjata mulai terbangun sejak
dukungannya terhadap Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan terus menguat setelah
perebutan Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. Sementara PKI
memanfaatkan kesempatan yang diperoleh atas loyalitasnya terhadap Presiden
Sukarno.92
Seiring dengan meroketnya kekuatan politik PKI pada masa Demokrasi
Terpimpin, karier politik Njoto juga perlahan meninggi. Dalam dinamika
konsolidasi politik Demokrasi Terpimpin, Njoto segera terserap ke dalam
lembaga-lembaga tinggi negara bentukan Presiden Sukarno. Dia masuk dalam
jajaran anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan
sekaligus anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).93 Kini selain mengemban
tugas-tugas partai, Njoto mulai terlibat langsung dalam tugas kenegaraan. Salah
satu tugasnya sebagai anggota DPA adalah indoktrinasi Manipol ke daerah dan
meninjau pelaksanaan undang-undang yang diprakarsai oleh DPA.94 Selain itu
Njoto juga diangkat oleh Presiden Sukarno sebagai salah satu pengurus Front
Nasional.95 Karier puncak yang berhasil dicapainya sebagai politikus adalah
ketika Agustus 1964 dia diangkat sebagai menteri negara tanpa portofolio.96
Masa Demokrasi Terpimpin adalah tahun-tahun penting dalam karier
politik Njoto. Tidak hanya karena dia berhasil menduduki beberapa jabatan
penting negara, tetapi juga karena kedekatannya dengan Presiden Sukarno.
Menurut Joesoef Isak, kolega Njoto, dalam pandangan Presiden Sukarno, Njoto
adalah tokoh komunis yang ‘liberal’, pragmatis, dan tidak dogmatis.97 Presiden
Sukarno bahkan tidak segan meminta Njoto menjadi penulis pidatonya. Hal itu
terjadi pada April 1965. Dalam catatan Ganis Harsono Presiden Sukarno merasa
bahwa Subandrio yang biasa menulis pidatonya menjadi terlalu ‘keranjingan

92
Onghokham, Sukarno, Orang Kiri, Revolusi, dan G30S 1965, (Depok: Komunitas Bambu, 2009),
h. 151-152 dan Poesponegoro dan Notosusanto, Op.cit., h. 425.
93
“e agai a a diakui a dala Njoto, Pe satua kita le ih kuat da i o ato !, Harian Rakjat
5 Juli 1962, h. III.
94
Njoto, Lo ok Ba gu , Harian Rakjat 13 Juli 1961, h. III.
95
John D. Legge, Sukarno: Sebuah Biografi Politik, terj. Tim Penerbit Sinar Harapan, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1985), h. 371.
96
Ibid., h. 435.
97
Zulkifli dan Hidayat, Op.cit., h. 37.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


38

fantasi filsafat’. Karena itu Presiden Sukarno merasa jemu dengan gaya pidato
semacam itu yang disebutnya sebagai ‘ceramah’. Njoto-lah, dengan dibantu
Carmel Budiardjo, yang ternyata bisa memenuhi ekspektasinya. Meskipun pidato
itu menurut Ganis Harsono bermutu rendah karena tidak cermat menyajikan fakta
dan bernada kasar, Presiden Sukarno tetap memilih pidato tersebut daripada
susunan Subandrio.98
Meskipun demikian, alasan kedekatan Njoto dan Presiden Sukarno itu
sebenarnya tidak terlalu terang. Tetapi yang jelas, hal itu terjadi hampir bersamaan
dengan keretakan hubungan antara Njoto dan Aidit. Menjelang pertengahan 1965
dikabarkan bahwa Njoto dan Aidit berseberangan dalam dukungannya terhadap
perpecahan komunisme internasional. Aidit cenderung mendekat ke kubu
komunis Tiongkok dan Njoto tetap dalam pendiriannya berkiblat ke Uni Sovyet.99
Tetapi alasan itu bukan satu-satunya. Sejauh yang bisa dilacak penulis, Njoto
sebagai seorang tokoh pimpinan PKI agaknya bertindak terlalu jauh dengan
dukungan-dukungannya kepada pemikiran Presiden Sukarno. Presiden Sukarno
bahkan sampai menyebut Njoto sebagai ‘marhaenis sejati’. Njoto sendiri
menelurkan istilah ‘Sukarnoisme’ yang kemudian menjadi jargon populer.
Menurutnya Sukarnoisme lebih bisa diterima dalam kalangan buruh dan tani
daripada Marxisme yang terlalu asing. Pemikiran seperti ini memang terlalu
menyimpang bagi PKI yang tegas menyatakan berideologi Marxisme-Leninisme.
Aidit menuduh Njoto dipakai Presiden Sukarno untuk menggembosi PKI. Jabatan
Njoto dalam partai pun satu persatu dilucuti. Persoalan menjadi lebih rumit ketika
Presiden Sukarno menggagas sebuah partai baru yang berideologi Sukarnoisme
dan Njoto dikabarkan akan menjadi ketuanya.100

2.4. Njoto Sebagai Jurnalis dan Publisis


Dunia Njoto tidak hanya bergerak di gelanggang politik. Sejak kecil ia
telah memilih cita-cita sebagai wartawan. Bidang kewartawanan atau jurnalistik

98
Harsono, Op.cit., h. 200-201.
99
Ibid., h. 199 dan Maulwi Saelan, Dari Revolusi ’ Sa pai Kudeta ’ : Kesaksia Wakil
Komandan Tjakrabirawa, (Jakarta: Yayasan Hak Bangsa, 2001), h. 291.
100
Zulkifli dan Hidayat, Op.cit., h. 38-41. Alasan perpecahan Njoto dan Aidit tersebut masih
diliputi kesimpangsiuran. Dalam hemat penulis jika memang perpecahan itu benar adanya,
alasan yang cukup logis adalah karena perbedaan haluan politik di antara keduanya.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


39

itu akhirnya juga menjadi satu tengara yang melekat pada dirinya. Njoto memulai
langkahnya di dunia jurnalistik sejak berada di Yogyakarta pada situasi
berkecamuknya Perang Kemerdekaan. Bersamaan dengan aktivitasnya dalam PKI
dan KNIP dia masuk dalam dapur redaksi majalah Bintang Merah, majalah teori
yang diterbitkan PKI. Ia menjadi salah satu redaktur bersama Aidit dan Lukman.
Majalah ini diterbitkan pertama kali pada 17 November 1945.101 Saat itu, sebelum
Njoto masuk dalam lingkaran Aidit, pimpinan redaksi Bintang Merah dipegang
oleh M.H. Lukman.102
Njoto menulis dalam majalah teori ini sepanjang kurun 1947—1948.
Selain itu, tiga sekawan ini juga turut dalam tim penerjemahan beberapa buku-
buku teori penting komunisme. Di antara buku-buku hasil penerjemahan tim ini
adalah Dasar-Dasar Leninisme, Materialisme Dialektika dan Histori, dan
Manifesto Partai Komunis. Penerjemahan karya-karya itu merupakan sebuah
upaya untuk memadukan teori komunisme dengan praktik konkret revolusi di
Indonesia.103 Selain dalam Bintang Merah Njoto juga masuk jajaran pewarta
harian Suara Ibu Kota yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan. Siauw Giok Tjhan
adalah seorang Tionghoa yang telah lama berkecimpung di ranah politik dan
jurnalistik. Pada masa revolusi ia adalah salah satu wakil Partai Sosialis dalam
KNIP. Suara Ibu Kota adalah surat kabar harian yang menjadi terompet Partai
Sosialis, rekanan PKI dalam koalisi Sayap Kiri. Siauw Giok Tjhan memimpin
Suara Ibu Kota dalam tanggungjawabnya sebagai salah seorang anggota Seksi
Penerangan Partai Sosialis.104 Dari Siauw Giok Tjhan inilah agaknya Njoto
belajar mendalami dunia kewartawanan.
Bintang Merah berhenti penerbitannya ketika pecah Peristiwa Madiun
1948. Baru pada 15 Agustus 1950 majalah teori Bintang Merah diterbitkan
kembali bersamaan dengan dimulainya proses revitalisasi PKI oleh kelompok
Aidit. Saat itu Njoto turut kembali masuk dapur redaksinya bersama Aidit,
Lukman, dan Peris Pardede. Majalah ini menjadi basis utama untuk menjaga
kesatuan pemahaman kader terhadap teori-teori Marxisme dalam situasi

101
Latif, Op.cit., h. 250.
102
Soerjono, Loc.cit., h. 66.
103
Latif, Op.cit., h. 257-258.
104
Siauw, Op.cit., h. 117 dan 143.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


40

terpecahnya partai pasca-Peristiwa Madiun.105 Kantor redaksi Bintang Merah


menempati rumah Peris Pardede di Gang Kernolong, Jakarta. Trio Aidit-Lukman-
Njoto sangat ketat dalam menjalankan penerbitan majalah ini. Setiap tulisan yang
akan diterbitkan, harus melalui seleksi bersama ketiganya. Tulisan Aidit harus
dibaca dahulu oleh Lukman dan Njoto. Hal demikian juga berlaku bagi tulisan
Lukman dan Njoto.106
Selama di Jakarta itu Njoto kembali menjalin kontak dengan mentor
jurnalistiknya, Siauw Giok Tjhan. Pada awal 1950 Siauw Giok Tjhan menerbitkan
majalah mingguan ekonomi-politik bernama Sunday Courier, di penerbitan inilah
Njoto menjadi wartawan. Hubungan Njoto dan Siauw Giok Tjhan memang tetap
terjalin bagus dalam masa-masa sulit setelah peristiwa Madiun 1948. Njoto yang
pada waktu itu masih bujangan juga sempat tinggal di kantor redaksi Sunday
Courier di Jalan Pintu Besar Utara.107
Pada awal 1951, Njoto sekali lagi mendapat kepercayaan dari sang mentor
untuk turut mengelola sebuah media. Siauw Giok Tjhan menerbitkan sebuah
majalah yang diproyeksikan menjadi surat kabar harian. Majalah yang diberi
nama Suara Rakjat itu ditujukan untuk publik pembaca Indonesia. Dalam
pertengahan tahun itu juga, saat dana untuk penerbitan harian berhasil terkumpul,
Suara Rakjat berganti menjadi sebuah koran harian dengan nama Harian Rakjat.
Di sini Njoto menjadi pembantu Siauw Giok Tjhan yang penting. Dalam
penerbitan ini Njoto bekerja bersama-sama dengan mantan tokoh-tokoh Pesindo
yang dekat dengan Siauw Giok Tjhan dan menjadi rekannya semasa Perang
Kemerdekaan.108
Kehadiran Njoto yang seorang pemimpin PKI di dapur redaksi membuat
Harian Rakjat kebanjiran berita tentang aktivitas partai. Meskipun begitu Njoto
tidak bisa berbuat lebih leluasa daripada itu karena kebijakan redaksi ada di

105
Latif, Op.cit., h. 309-312
106
Murad Aidit, Aidit Sang Legenda, (Jakarta: Panta Rei, 2005), h. 121-125.
107
Siauw, Op.cit., h. 139.
108
Ibid., h. 143. Murad Aidit, adik D.N. Aidit, memiliki pandangan yang berlainan tentang
pendirian dan kepemilikan Suara Rakjat dan Harian Rakjat. Murad Aidit menyatakan bahwa
Suara Rakjat, dan kemudian Harian Rakjat, sejak awal didirikan oleh PKI. Suara Rakjat di
terbitkan dua kali seminggu dalam bentuk stensil untuk menyiasati keterbatasan dana.
Lambat laun stensil Suara Rakjat mendapat sambutan hangat dari pembaca di Jakarta. Karena
berkembang cukup baik kemudian stensilan ini bisa diterbitkan secara harian dengan nama
Harian Rakjat. Lihat Aidit, Op.cit., h. 124.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


41

tangan Siauw Giok Tjhan. Tetapi, PKI sebenarnya telah mempertimbangkan


Harian Rakjat sebagai media partai untuk meluaskan pengaruhnya kepada massa
rakjat. Untuk kebutuhan itu Harian Rakjat sangat menggiurkan bagi PKI untuk
diakuisisi. Harian Rakjat memiliki cakupan distribusi yang luas di kota-kota besar
Jawa dan Sumatra. Kemungkinan untuk akusisi itu ternyata menemukan
momentumnya manakala Siauw Giok Tjhan merasakan kesulitan pendanaan bagi
Harian Rakjat meskipun cukup luas peredarannya. PKI memanfaatkan kedekatan
Njoto dan Siauw Giok Tjhan dalam proses penjajakan akuisisi koran itu. Proses
akuisisi itu berjalan dengan lancar dan pada pengujung Oktober 1953 Harian
Rakjat resmi digenggam PKI. Njoto kemudian diplot sebagai pengganti Siauw
Giok Tjhan sebagai pemimpin redaksinya.109
Di bawah naungan PKI jurnalisme yang diusung oleh Harian Rakjat
cenderung bergaya agresif. Harian Rakjat menyajikan berita-berita dan
permasalahan nasional dan internasional. Tetapi sebagai terompet utama PKI,
koran ini tidak hanya sekadar mengabarkan berita belaka, redaksi juga membuat
analisis dan menarik kesimpulan kepada kepentingan partai. Kekhasan Harian
Rakjat adalah adanya ruang khusus bagi pembahasan Marxisme-Leninisme dan
ruang khusus pemuda yang di beri tajuk “HR Muda.” Rubrik khas lainnya adalah
“Kebudajaan” yang terbit setiap hari Minggu. “Kebudajaan” adalah ruang khusus
yang diperuntukkan bagi kesusastraan dan seni pada umumnya. Dalam ruang
khusus “Kebudajaan” itulah aktivis-aktivis Lekra mempublikasikan sebagian
karyanya.110 Dalam ruang “Kebudayaan” itu Njoto menjadi pengasuhnya
bersama-sama dengan para budayawan Amarzan Ismail Hamid, Banda Harahap,
Basuki Resobowo, Zubir A.A. dan Bambang Sukawati Dewantara. Harian Rakjat
Minggu seakan-akan menjadi standar bagi sastrawan yang bernaung dalam
Lekra.111
Sejak adanya akuisisi penuh oleh PKI Harian Rakjat dan Njoto
selanjutnya menjadi asosiasi yang tidak bisa dipisahkan. Selama kurang lebih

109
Siauw, Ibid., h. 145-147. Meskipun secara resmi akuisisi itu terjadi pada 1953, tetapi menurut
Arnold C. Brackman PKI sudah mengontrol koran ini sejak Februari 1951. Lihat Brackman,
Op.cit., h. 149.
110
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap
Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950—1965, (Yogyakarta: Merakesumba, 2008), h. 79-80.
111
Zulkifli dan Hidayat, Op.cit., h. 80-83.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


42

masa 12 tahun selanjutnya Njoto menjadi ketua Dewan Redaksi Harian Rakjat
hingga menjelang peristiwa G30S. Salah satu pekerjaan rutinnya adalah menulis
editorial untuk koran resmi PKI tersebut.112 Selain sebagai komandan para
pewarta, Njoto juga rajin mengisi kolom-kolom Harian Rakjat dengan tulisannya.
Untuk publikasi seringkali ia memakai nama Iramani sebagai nama pena.113
Dalam menulis, hal-hal yang menjadi perhatiannya cukup luas dan
beragam. Njoto kerap menulis analisis politik, tinjauan buku, memoar tokoh,
puisi, catatan perjalanan, soal-soal ideologi, hingga menerjemahkan karya puisi
penyair dunia yang ia sukai. Pidato-pidatonya yang disampaikan dalam berbagai
majelis juga sering menjadi pengisi kolom-kolom Harian Rakjat. Berdasarkan
dokumentasi penulis, sejak 1955 kuantitas dan intensitas tulisan Njoto cenderung
meningkat. Dalam tulisannya Njoto senantiasa lugas dalam artikulasi dan sangat
kuat dalam menggunakan retorika. Seringkali juga terlontar sinisme dan letupan
emosinya. Umumnya Njoto menulis cukup panjang, bahkan perlu dibuat berseri
untuk mempublikasikannya secara utuh.

2.5. Njoto Sebagai Pegiat Budaya


Sosok Njoto adalah pribadi yang kompleks dan khas. Hal ini terlihat dari
spektrum minatnya yang cukup beraneka. Tidak hanya terlibat dalam aktivitas
politik serta dapur redaksi surat kabar dan majalah, ia juga masih menunjukkan
determinasinya di bidang budaya. Sama dengan jurnalistik dan politik, minatnya
terhadap budaya, terutama kesenian, sudah digelutinya sejak belia. Semasa di
Yogyakarta ketika mula berkecimpung di politik, bersama dengan kelompok
musik pop Hardi Boys, Njoto menghibur kaum Republiken melalui sebuah
program radio. Ia menjadi pianis dalam kelompok musik tersebut. Program radio
yang mengudara sekali seminggu itu dipancarkan ke daerah-daerah pendudukan
Belanda.114
Njoto juga dikenal sebagai sosok yang dekat dengan seniman dan
budayawan. Njoto memiliki sikap yang hangat dan simpatik terhadap kawan-

112
Martin Aleida, Langit Pertama Langit Kedua: Cerita Pendek, Catatan Perjalanan, Esei, Kritik,
Perdebatan, (Tanpa kota terbit: Nalar, 2013), h. 143-144.
113
Zulkifli dan Hidayat, Op.cit.
114
Harsono, Op.cit., h. 95. Perihal apakah Njoto menjadi pemusik sebelum atau sesudah menjadi
anggota KNIP, peneliti tidak menemukan catatan lebih lanjut tentang hal itu.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


43

kawan senimannya. Sikap simpatik itu misalnya terlihat ketika dalam perjalanan
ke Jawa Timur Njoto sempat berkirim surat kepada salah satu kawan penyairnya,
Klara Akustia. Dalam suratnya itu dengan lugas Njoto menyatakan
kegembiraannya atas terpilihnya beberapa kawan seniman dan budayawan sebagai
panitia delegasi ke Konferensi Perdamaian Asia dan negara-negara Pasifik. Di
antara para panitia delegasi untuk hajatan internasional itu ada Utuy T. Sontani,
Basuki Resobowo, Armijn Pane, Henk Ngantung, dan Klara Akustia sendiri.
Konferensi tersebut sedianya akan diadakan di Peking, Tiongkok. Kepada Klara
Akustia Njoto merasa perlu untuk mengajukan satu orang lagi agar bisa diajak
dalam delegasi itu:
“...tidakkah bisa kauminta supaja Rivai Apin pergi? Katjuali akan dapat menyaksikan
sendiri apa jang selama ini suka disebut orang ‘dibelakang tirai besi’, baik buat dia untuk
berobat disana. Dia pasti akan sembuh disana!” 115

Permintaan Njoto kepada Klara Akustia mengajak serta Rivai Apin agar sekaligus
bisa berobat ini tentu lahir dari kedekatan yang intens.
Kepedulian Njoto juga terlihat ketika ia berkesempatan menjadi pembicara
dalam sebuah seminar di hadapan mahasiswa Fakultas Teknik di Bandung. Dalam
ceramah yang membicarakan persoalan pajak tersebut Njoto menyebut tentang
kesulitan-kesulitan beberapa kalangan sebagai akibat tarikan pajak. Salah satu
yang terimbas kebijakan pajak itu adalah kalangan seniman. Njoto yang memang
berkawan dengan beberapa tokoh seniman dan budayawan itu prihatin:
“...Semua ini terang membunuh usaha dan membunuh kehidupan. Tetapi masih ada lagi
jang tidak mau saja lewatkan, jaitu padjak bagi seniman. Sdr. Pramoedja A. Toer, sdr.
Utuy T. Sontani, dll., sudah ber-kali2 mengeluh tentang tagihan2 padjak jang tidak bisa
dan tidak mungkin bisa dibajar. Pemain film kita sdr. Soekarno misalnja, telah ditagih
padjak 48.000 rupiah untuk 1 tahun! Bukankah semua ini membunuh dajatjipta,
membunuh kehidupan kesenian, membunuh kebudajaan?”116

Sikap simpatik yang dimiliki Njoto itu agaknya bukanlah sebuah basa-basi
belaka. Lebih dari pernyataan simpati semata-mata, Njoto juga menunjukkan
solidaritasnya dalam bentuk dukungan langsung. Amrus Natalsya, seorang perupa
yang juga anggota Lekra, mengenang Njoto sebagai pribadi yang mau membantu
seniman dalam berkarya. Amrus mengaku pernah dibantu oleh Njoto ketika ia

115
Njoto, “u at pe djala a da i I a a i kepada Kla a Akustia , Harian Rakjat 16 Agustus
1952, h. V
116
Njoto, Uta aka sekto eko o i ega a u tuk e i ga ka padjak akjat I dala Harian
Rakjat 27 September 1956, h. III.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


44

kesulitan dana membeli bahan patung dan lukisan. Njoto juga turut membantu
menjualkan karyanya. Sejarawan Asvi Warman Adam menilai bahwa Njoto
memiliki pengaruh besar di kalangan seniman.117 Pengaruh itu timbul salah
satunya karena sikap bersahabat dan dukungan langsung yang ditunjukkan Njoto
kepada kawan-kawan senimannya. Menurut sastrawan Lekra, Sabar Anantaguna,
Njoto memang orang yang tahu bagaimana berhubungan dengan seniman yang
lekat dengan citra tidak mau diatur dan dikomando.118
Satu faktor lagi yang menandai bahwa kedekatan dan simpati Njoto
kepada kalangan seniman dan budayawan bukan sekadar basa-basi saja adalah
wawasannya terhadap seni dan budaya yang cukup luas. Hal itu terlihat misalnya
dari keterangan cerpenis Trikoyo yang cukup akrab dengan Njoto. Trikoyo
menyatakan bahwa minat sastra Njoto cukup luas mulai dari karya-karya
sastrawan Rusia hingga sastrawan yang secara ideologi berseberangan seperti
H.B. Jassin dan Hamka. Njoto juga tahu banyak tentang pengetahuan musik, tidak
hanya fasih memainkan alat musik saja.119 Sumber lain yang mengonfirmasi
sejauh mana wawasan Njoto tentang soal-soal kesenian dan budaya adalah rubrik
“Kebudajaan” di Harian Rakjat. Dalam riset skripsi ini penulis mendokumentasi
artikel-artikel yang ditulis oleh Njoto yang mencakup beragam bahasan mulai dari
ulasan film, kritik sastra, puisi, puisi terjemahan, naskah pidato kebudayaan,
hingga biografi tokoh-tokoh seni dari dalam dan luar negeri. Dengan kapasitas
pribadi yang demikian menjadi tidak mengherankan jika Hr. Bandaharo sampai
menulis puisi khusus bagi Njoto. Pada dua bait pertamanya, Hr. Bandaharo
menyanjung Njoto sebagai maesenas:
“Dia seorang penjair dan seorang pedjuang/ kemana datang membawa sandjak dan njanji/
serta katabersajap jang terbang mengitari negeri;/ di Den Pasar, di Bona, di Belah Batu, di
Djemberana,/ di Banjuwangi jang rangsang dan heroik,/ aku menjaksikan dia menempa
matahari.//
Tibanja bersama kesegaran senjum/ melahirkan tepuktangan dan sorakgembira;/ dia ada
dalam Indonesia Raja,/ dalam Bendera Merah dan Internasionale,/ dia ada dalam pidato
serta utjapan selamatdatang.// ...”120

117
Arif Zulkifli dkk (ed.), Lekra dan Geger 1965, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014),
h. 18-20.
118
Zulkifli dan Hidayat, Op.cit., h. 45-47.
119
Ibid., h. 80-81 dan 92-93.
120
H . Ba daha o, Di- a a u ga e djadi eka dala Harian Rakjat 24 Maret 1962, h. III.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


45

Di ranah kesenian dan kebudayaan ini, Njoto adalah seorang otodidak


yang memiliki intensi kuat. Tidak hanya dalam hal bermusik saja dia
mengembangkan diri, tetapi juga di bidang seni yang lain seperti sastra. Hal ini
terlihat misalnya dari komentar Asahan Aidit, adik bungsu D.N. Aidit, terhadap
wawasan Njoto tentang sastra:
“Hal itu bukan otomatis begitu saja, tapi Njoto adalah juga seorang otodidak besar yang
punya banyak perhatian dan banyak studi, termasuk di bidang sastra. Dia menguasai
karena dia juga banyak studi, banyak membaca, dan dia mempunyai otak yang cerdas
serta apresiasi sastra yang tinggi.” 121

Dia juga menulis dan menerjemahkan puisi, mahir berdansa waltz dan
foxtrot, piawai memainkan beberapa jenis alat musik, dan sekaligus pribadi yang
mampu bergaul baik dengan seniman. Ia juga memiliki wawasan yang cukup
tentang kebudayaan. Bacaan sastranya juga cukup luas, mulai dari sastrawan
dunia komunis hingga sastrawan yang secara ideologi berseberangan.122
Determinasi yang demikian itu membuatnya menjadi pribadi komunis yang khas.
Ia merepresentasikan wajah lain komunisme yang lebih terbuka dan membumi.
Pada bagian sebelumnya telah dibahas bagaimana karakter otodidak telah
tumbuh dalam diri Njoto sejak belia. Karakter itu juga turut mewarnai dan
menjadi fundamen penting ketika Njoto mengekspresikan sikap-sikap
kebudayaannya. Karena “banyak studi, banyak membaca” itulah terdapat
idealisme tertentu yang ingin dipertahankan oleh Njoto dalam sikap
kebudayaannya. Termasuk ketika Njoto terlibat dalam pendirian Lekra Pada 1950.
Njoto adalah tokoh penting di balik pendirian Lekra pada 17 Agustus
1950. Ia mendirikan Lekra bersama Aidit serta beberapa tokoh seniman antara
lain M.S. Ashar, dan A.S. Dharta. Segera setelah itu dibentuk kepengurusan
Sekretarian Pusat Lekra dengan sekretaris umumnya Joebaar Ajoeb. Kelengkapan
pengurus lainnya diisi oleh A.S. Dharta, M.S. Ashar, dan Herman Ardjuno
sebagai sekretaris I, II, dan III. Sementara anggota-anggota Sekretariat Pusat itu
antara lain Henk Ngantung, Sudharnoto, dan Njoto. Setahun kemudian cabang-
cabang Lekra telah dibuka di Surabaya, Medan, Yogyakarta, Solo, Bogor,

121
Zulkifli dan Hidayat, Op.cit., h. 84-85.
122
Ibid., h. 80-83.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


46

Subang, Bandung, Cirebon, Semarang, Klaten, Pati, Pekalongan, Tuban, Malang,


Purwokerto, Bukittinggi, Palembang, Manado, Comal, dan Balikpapan.123
Lekra dalam pandangan para pendirinya adalah sebuah langkah di ranah
kebudayaan yang kontra terhadap Perjanjian KMB. Tujuan Lekra adalah untuk
mencipta kebudayaan rakyat yang baru dan berkepribadian, yaitu suatu
kebudayaan yang merupakan hasil penyaringan ilmiah dari perpaduan kebudayaan
Indonesia dan Kebudayaan dari luar.124 Hadirnya Njoto dan Aidit di jajaran
pendiri Lekra secara praktis memberikan ruang lebih besar bagi PKI untuk
“menyapa” massa rakyat. Keterlibatan Njoto dan Aidit dalam pendirian Lekra
adalah sebuah langkah politik kultural. PKI dalam konteks ini sedang
menjalankan strategi “agitasi, organisasi, dan mobilisasi massa” di ranah seni dan
kebudayaan.125
Catatan penting yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa Lekra
bukanlah organisasi bawahan PKI. Secara formal PKI dan Lekra tidak
menunjukkan hubungan struktural. Anggaran dasar Lekra tidak nyatakan diri
sebagai organ bawahan PKI. PKI pun dalam anggaran dasarnya tidak menjadikan
Lekra sebagai organ bawahannya. Tetapi, keterkaitan antara Lekra dengan politik
komunis pada kenyataannya memang tidak bisa dikatakan kecil. Praktik riilnya
dapat dilihat dari beberapa cabang Lekra di daerah yang didirikan oleh PKI.
Dalam gerakannya Lekra juga menerapkan konsep “politik adalah panglima,”
sesuatu yang juga menjadi pegangan PKI.126
Keberjarakan antara Lekra dan PKI juga terlihat dari komposisi
anggotanya. Tidak semua anggota Lekra adalah seniman atau budayawan
komunis. Agaknya sebagian anggotanya bergabung lebih karena visi yang
dimiliki Lekra. Tentang hal ini Njoto pernah menyatakan sendiri dengan lugas
saat berpidato membuka Pameran Seni Rupa Lekra. “Didalam LEKRA tergabung
seniman2 progresif, ada jang Komunis, ada jang bukan. Tetapi mereka semua
telah bulat dalam pendirian seperti jang digariskan ‘Kongres Solo’,” demikian

123
Yaha a Is ail, Politik Adalah Pa gli a: Ko sep Buda a Da “ast a Lek a “e uah Ti jaua
Aspek Sosio-Buda a , “k ipsi U i e sitas I do esia, Jaka ta, , h. -16.
124
Latif, Op.cit.
125
Ismail, Op.cit.
126
Ajip Rosidi, Loc.cit.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


47

Njoto menguraikan.127 Menurut sebagian kalangan Njoto memang dikenal tegas


menolak keinginan D.N. Aidit menjadikan Lekra sebagai organ PKI. Spekulasi-
spekulasi tentang hal ini lalu kian berkembang hingga memunculkan isu keretakan
hubungan antara D.N. Aidit dan Njoto.128 Spekulasi-spekulasi itu masih perlu
ditelusuri lebih lanjut. Tetapi penulis memiliki pandangan tersendiri soal ini.
Meskipun berjarak, hubungan PKI-Lekra memang tidak bisa dinegasikan sama
sekali baik secara struktural ataupun kultural.

127
Njoto, Pidato Njoto e uka Pa e a , Harian Rakjat 14 September 1959, h. III.
128
Lebih detail tentang masalah ini lihat artikel Rosidi, Loc.cit., h. h. 32-36 dan Zulkifli dkk, Op.cit.,
h. 19 dan 52-60. Sejauh mana kadar pengaruh PKI terhadap Lekra atau sebaliknya dalam
pandangan penulis bisa dilihat secara detail dalam hubungan cabang-cabang kedua institusi
ini di tingkat nasional dan daerah. Untuk menjawab persoalan ini agaknya bisa dijadikan suatu
penelitian yang tersendiri. Skripsi ini tidak hendak membahas lebih lanjut hal tersebut karena
fokus kajiannya bukan dalam topik itu. Sejauh mana kadar pengaruh PKI terhadap Lekra atau
sebaliknya dalam pandangan penulis bisa dilihat secara detail dalam hubungan cabang-
cabang kedua institusi ini di tingkat nasional dan daerah. Untuk menjawab persoalan ini
agaknya bisa dijadikan suatu penelitian yang tersendiri. Skripsi ini tidak hendak membahas
lebih lanjut hal tersebut karena fokus kajiannya bukan dalam topik itu.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


48

BAB 3
PURWARUPA SOSIALISME INDONESIA

3.1. Indonesia yang Rudin dan Adaptasi PKI


Pascarevolusi keadaan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia demikian
kacau. Perekonomian menanggung beban cukup berat sebagai akibat Perjanjian
KMB. Indonesia menanggung beban utang luar negeri sebesar Rp1.500 juta dan
utang dalam negeri mencapai Rp2.800 juta. Struktur perekonomian juga tidak
seimbang. Pemerintah yang baru segera dihadapkan pada masalah jangka pendek
yaitu inflasi dan masalah jangka panjang berupa potensi pertambahan penduduk
dan tingkat kualitas hidup yang rendah. Beban ini semikin pelik jika melihat
struktur perekonomian negara yang masih timpang. Sebagai negara berkembang
Indonesia belum bisa mengembangkan ekspornya karena hanya bisa bergantung
pada hasil-hasil perkebunan. Padahal produktifitasnya tidak bisa sebesar seperti
sebelum Perang Dunia II.129
Keadaan ekonomi menjadi bertambah pelik karena jumlah penduduk
meningkat cukup tajam. Keadaan ini sangat tidak menguntungkan bagi ketahanan
pangan dan kesempatan kerja menjadi langka. Pada 1950 jumlah penduduk
diperkirakan adalah 77,2 juta jiwa. Jumlah itu meningkat menjadi 85,4 juta jiwa
pada 1955. Produksi pangan sebenarnya meningkat tetapi tidak cukup memenuhi
kebutuhan jumlah penduduk itu sehingga dilakukan impor. Keluarga-keluarga
petani di perdesaan kebanyakan tidak memiliki lahan garapan yang cukup untuk
menopang ekonomi keluarga. Kondisi ini membuat sebagian penduduk perdesaan
mendatangi kota-kota menjadi buruh.
Tidak hanya petani dan buruh yang butuh pekerjaan, masih ada lulusan-
lulusan lembaga pendidikan, mantan pejuang gerilya, serta mantan pejabat negara
129
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI:
Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 334-335.
Minyak bumi sebenarnya potensial menjadi sumber devisa. Pada tahu 1957 produksi minyak
Indonesia meningkat dua kali lipat dibandingkan pada 1940. Tetapi peningkatan produksi
tersebut masih diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri yang cukup tinggi. Lihat M.C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200—2004, terj. Satrio Wahono dkk., (Yogyakarta:
Serambi, 2008), h. 475.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


49

federal dan republik. Banyak dari mereka kemudian diterima di dalam birokrasi.
Jumlah pegawai birokrasi itu pun sangat tinggi, tercatat pada 1960 jumlahnya
mencapai 807.000. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia saat itu,
rasionya satu pegawai melayani 118 orang penduduk. Padahal gaji mereka rendah
dan sangat dipengaruhi inflasi. Keadaan ini menjadikan inefisiensi, salah urus,
dan korupsi menjadi hal yang lumrah.130
Pemulihan ekonomi yang lamban membuat inflasi terus berlanjut dan
biaya hidup umum meningkat hingga sekitar 100 persen selama kurun 1950—
1957. Angka itu belum termasuk fluktuasi di daerah-daerah. Golongan pegawai
dan buruh upahan yang terpengaruh oleh inflasi sangat menderita oleh keadaan
ini. Tetapi keadaan sebaliknya justru dirasakan oleh para tuan tanah, pejabat desa
yang mendapatkan pembagian tanah sebagai pengganti gaji, dan petani produsen
beras. Segera tampak bahwa secara ekonomi Indonesia tidak merdeka.131
Kemerdekaan ternyata tidak serta-merta mendatangkan kemakmuran yang
diharapkan rakyat Indonesia.
Dalam paruh pertama dekade 1950-an suasana politik nasional pun belum
stabil benar. Sebagaiman telah disinggung dalam bab sebelumnya, delapan kali
pergantian kabinet dalam 1950—1959 dan menguatnya iklim kontestasi politik
ideologi menjadi indikasinya. PKI sekaligus menanggung juga citra buruk partai
Pascaperistiwa Madiun 1948. Keadaan masyarakat yang demikian rudin itu harus
dihadapi PKI, terutama oleh pemimpin baru PKI yang naik pada 1951.
Kepemimpinan Aidit sekawan memiliki beban ganda. Mereka harus
merevitalisasi partainya dan di waktu yang sama ikut mencari solusi agar frustasi
dalam masyarakat tidak semakin kalut.
Terlebih dahulu PKI perlu merehabilitasi namanya. Karena itu sejak 1951
PKI merancang aneka program dan propaganda untuk menumbuhkan citra positif
terhadap partai. PKI berusaha mencitrakan dirinya sebagai partai yang nasionalis,
demokratis, toleran, antikolonial, dan antikekerasan. PKI juga berusaha
merehabilitasi citranya terkait gerakan mereka dalam Peristiwa Madiun 1948.
Terhadap preseden buruk yang melekat pada partai terkait insiden tersebut, dalam

130
Ricklefs, Ibid., h. 472-474.
131
Ibid., h. 475.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


50

historiografinya PKI memosisikan diri sebagai pihak yang tersulut provokasi


Kabinet Hatta.132
PKI juga memulai suatu kerja politik yang bersifat pragmatis sejak 1951
seiring dengan naiknya Aidit sekawan ke pucuk pimpinan partai. Pada bab
sebelumnya penulis telah menyisipkan satu pendapat dari sejarawan M.C.
Ricklefs bahwa kelompok Aidit itu memiliki orientasi menjadikan PKI sebagai
partai massa yang populis dan memiliki bangun struktur organisasi yang kuat.
Berdasar pada tren baru ini Ricklefs menilai strategi-strategi politik PKI di bawah
Aidit, meskipun memungkinkannya berkembang pesat, mengandung
penyimpangan praksis ideologis.
Pandangan berbeda dikemukakan oleh Arnold C. Brackman. Brackman
menilai pragmatisme PKI itu sebenarnya bukanlah penyimpangan karena politik
komunis di manapun pada dasarnya bersifat pragmatis. Komunis internasional
memiliki apa yang disebut strategi kanan dan strategi kiri yang diterapkan dalam
momen-momen tertentu. Strategi kanan berarti merangkul secara taktis kaum
borjuis dan kolaborasi dengan imperialis jika diperlukan. Strategi kiri lebih
diarahkan kepada konfrontasi dan antikompromi dengan musuh komunis. Karena
sifat gerakan komunisme internasional yang monolitik, strategi mana yang akan
diterapkan ditentukan oleh Moskow dengan menimbang kepentingan komunis
secara global. Keputusan itu diterapkan secara spiral dari atas ke bawah, dari
presidium partai atau politbiro partai sampai ke tingkat bawah, melalui suatu
proses yang disebut sentralisme demokratis. Hal ini menjadikan gerakan komunis
seringkali bermanuver dari strategi kanan ke strategi kiri. Manuver itu juga sering
membuat pihak nonkomunis sukar menebak langkah politik komunis.133
Gerak politik yang demikian itu juga membuat cara pandang dikotomi
golongan “kanan” dan “kiri” dalam menganalisis sejarah kontestasi ideologi
dekade 1950-an menjadi tidak terlampau relevan. Menurut pengamat politik
Fachry Ali, baik kelompok kanan maupun kelompok kiri pada dasarnya sama-
sama memiliki keprihatinan yang sama atas kondisi rudin Indonesia
pascarevolusi. Jika istilah “kanan” diasosiasikan dengan partai-partai pengusung

132
Yozar Anwar, Protes Kaum Muda!, (Jakarta: PT Variasi Jaya-Kartini Group, 1982), h. 123-124.
133
Arnold C. Brackman, Cornell Paper: Di Balik Kolapsnya PKI, terj. Fauzi Absal, (Yogyakarta:
elstReba, 2000), h. 7-8.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


51

nasionalisme maka semua partai saat itu kurang lebih adalah kanan. Begitu juga
sebaliknya, ketika istilah “kiri” dipakai untuk menyimbolkan sosialisme,
kolektivisme, dan sikap antikapitalisme maka semua partai pun adalah kiri.134
Simpulannya, dalam keadaan Indonesia yang tidak menentu itu pertarungan
politik tidak sepenuhnya berjalan dalam koridor idealisme yang kejur. Praksis
politik juga ditentukan dan disesuaikan dengan kondisi kekinian periode itu.
Simpulan tersebut menjadi titik kisar penulis dalam menjabarkan gagasan
politik dan ideologi Njoto. Penulis mengetengahkan pendekatan yang pragmatis
dalam mengurai pemikiran Njoto. Jadi, penulis berpendapat bahwa gagasan Njoto
adalah suatu respons atas kondisi sosial politik kekinian yang diartikulasikan
melalui cara pandang komunisme. Pertanyaan yang terbit kemudian adalah
kondisi atau konteks seperti apakah yang mendorong determinasi Njoto?

3.2. Menggali Inspirasi di antara Rakyat


Sejak awal keikutsertaannya dalam revitalisasi PKI pada awal 1950-an,
Njoto melibatkan diri pada kerja-kerja pengorganisasian dan pengelolaan massa.
Pada masa itu dia mulai melakukan beberapa perjalanan politik dalam
kapasitasnya sebagai fungsionaris partai dan sekaligus menulis reportasenya di
Harian Rakjat. Melalui publikasi itu dia menyuarakan kondisi rudin kehidupan
masyarakat dan sindiran-sindiran kepada kerja pemerintah yang dianggapnya
belum memuaskan. Dalam satu tulisannya memperingati hari buruh 1952 dia
menyindir pemerintah dengan lugas, “Di Indonesia Rakjat muak oleh djandji2
pembesar, karena diantara kata2 dan perbuatannja menganga djurang jang
dalam.”135
Pada waktu itu pemerintahan Perdana Menteri Sukiman baru saja lengser
karena polemik Mutual Security Act (MSA). Perjanjian bantuan ekonomi dan
persenjataan bagi Indonesia yang ditandatangani oleh Menlu Ahmad Subardjo dan
Dubes AS Merle Cochran itu dianggap banyak kalangan menggiring Indonesia
kepada Blok Barat-AS. Ditambah lagi dengan konflik kepentingan yang timbul
dari kebijakan Menteri Dalam Negeri Mr. Iskaq (PNI) yang menonaktifkan

134
Fachry Ali dalam Boyd R. Compton, Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia Boyd R.
Compton, terj. Hamid Basyaib, (Jakarta: LP3ES, 1993), h. xlviii-xlix.
135
Njoto, ‘e u ga satu Mei Harian Rakjat 30 April 1952, h. lembaran ekstra.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


52

dewan-dewan perwakilan daerah dan pengangkatan tokoh PNI sebagai gubernur


Jawa Barat dan Sulawesi.136
Karena soal-soal politik itulah kemudian beberapa janji pemerintahan
Perdana Menteri Sukiman terbengkalai. Padahal, sebagaimana diingatkan oleh
Njoto, “...pengangguran meningkat terus, beras diganti lumut dan lauk tempe
diganti bekitjot. Ibu2 mulai tak kenal tjinta: anak2 ditukar dengan nasi atau
sajur2-an.”137 Sorotan Njoto tidak habis hanya pada soal kesejahteraan rakyat
yang buruk, tetapi juga soal Razia Agustus yang memenjarakan banyak orang-
orang berhaluan kiri. Padahal menurut Njoto, dengan mengutip reportase
wartawan AS Alexander Marschak, “...jang berontak di Indonesia jalah pasukan2
Belanda dan Darul Islam, bukan kaum komunis.”138
Terhadap persoalan-persoalan masyarakat kecil, Njoto tidak hanya
berhenti sebagai politikus-pengamat. Bersamaan dengan tugas partai yang
diembannya, ia menyempatkan pula untuk terlibat lebih dekat dengan massa.
Selama kurun 1952-1955 Njoto melakukan perjalanan ke beberapa pelosok tanah
air. Dari perjalanan-perjalanan itu kemudian ia membuat catatan-catatan yang
beberapa di antaranya dimuat di Harian Rakjat. Catatan-catatan itu umumnya
mengungkapkan kesan-kesannya ketika meninjau suatu daerah dan masyarakat
yang ia kunjungi.
Dalam satu perjalanannya dari Surabaya ke Malang Njoto menulis surat
yang ditujukan kepada kawan senimannya, Klara Akustia. Melalui surat
perjalanan yang juga dimuat di Harian Rakjat Njoto mengabarkan kesannya
tentang bagus dan mewahnya kereta api yang ia tumpangi. Tetapi, tentang
kemewahan itu Njoto berkomentar satir:
“...Pendeknja, ini memang satu kemadjuan untuk Djawatan Kereta Api. Hanja sadja,
apakah kau menumpang kereta jang baru ini atau menumpang kereta tua jang sudah pejot,
jang kaulihat diperdjalanan sama sadja: kaum tani jang melarat, dan harus bekerdja
setengahmati untuk sesuap nasinja.........”139

Dari komentar ini segera terlihat bahwa kemerdekaan tidak serta-merta


mendatangkan kemakmuran yang banyak diharapkan rakyat. Beberapa kemajuan
di bidang tertentu barangkali telah bisa dicapai, tetapi seiring dengan itu disparitas
136
Poesponegoro dan Notosusanto, Op.cit., h. 309-310.
137
Njoto, ‘e u ga ... Loc.cit.
138
Ibid.
139
Njoto, “u at..., Loc.cit.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


53

kemakmuran dalam masyarakat juga masih belum teratasi. Terlebih lagi


kemakmuran itu masih belum beranjak dari sekadar cita-cita dan Pemerintah
Pusat RI pun masih hanya sibuk pada permasalahan-permasalahan birokrasi dan
politik.
Dari lawatannya ke daerah-daerah, Njoto menyadari adanya paradoks-
paradoks yang terjadi di tengah masyarakat yang susah penghidupannya. Seperti
yang dikabarkannya kepada Klara Akustia tentang geliat pasar malam di Besuki
yang diwarnai praktik perjudian. Ironisnya pasar malam dan judi itu diadakan
guna mengumpulkan dana sosial untuk membantu pemberantasan penyakit TBC.
Njoto menceritakan:
“...diseluruh Besuki kini orang sibuk dengan mengadakan pasarmalam2, komplit dengan
tjapdjiki, sebangsa rulet dan aduansapi. Pasarmalam itu konon ditudjukan untuk mentjari
derma guna ‘pemberantasan penjakit TBC’....” 140

Perjudian itu kemudian menjadi persoalan akut ketika tren pasar malam sudah
mereda di Besuki, tetapi perjudian malah semakin merajalela. Pada 1954, dua
tahun setelah lawatan pertama Njoto ke Besuki, Njoto mendapati kenyataan di
mana-mana di Besuki pemandangan orang berjudi menjadi umum:
“Di-kampung2, segera sesudah orang ‘slawatan’ atau ‘terbangan’ (me-mukul2 gendang
dibawah pengaruh Islam) terus main ‘kartu-lima’. Di-halaman2 surau orang berdjudi, di-
tepi2 djalan orang berdjudi. Dan kalau tjara2 djudi jang lama tak menarik lagi, mereka
me-reka2 tjara2 jang baru. Beli undian uang sudah terlalu lumrah. ...”141

Gambaran kehidupan masyarakat yang terjebak dalam perjudian itu sangat


ironis ketika dihadapakan pada kenyataan penghidupan mereka sangat buruk.
Daerah Besuki adalah daerah pertanian yang cukup subur. Di Banyuwangi bahkan
dalam setahun panen padi bisa berlangsung lima kali. Tetapi kelimpahan itu
ternyata tidak mendatangkan kemakmuran juga. Njoto mencatat dengan cukup
detil keadaan distribusi panen di sana sebagai berikut:
“Penduduk diluar kabupaten Banjuwangi kelabakan oleh harga beras, sedang petani2 di
Banjuwangi kelabakan oleh harga padi. Jang pertama karena tingginja, jang kedua karena
rendahnja!
Pembesar2 di Besuki, mengikuti djedjak pembesar2 Djepang dulu, memasang demarkasi
atau barikade atau katakanlah tirai besi antara kabupaten jang satu dengan jg. lainnja.
Beras tak boleh keluar-masuk, ketjuali, pertama, djika ada kontak (dan kontrak) dengan
kepala2 daerah, dan kedua, djika ada koneksi (sonder koreksi) dengan polisi2 pendjaga.
Akibatnja, kita dihadapkan kepada pemandangan jang sudah menjebalkan mata kita
selama pendudukan Djepang dulu, jaitu bondongan manusia jg. seperti kafilah me-
njelundup2kan beras dari Banjuwangi ke-kabupaten2 lainnja.

140
Ibid.
141
Njoto, BE“UKI tjatata pe djala a si gkat , Harian Rakjat 16 Januari 1954, h. III.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


54

Tetapi demarkasi itu hanja berlaku untuk beras Rakjat, untuk laba dan keuntungan tak ada
demarkasi. Jang di Banjuwangi karena pembelian padi bisa se-murah2nja, jang di-
kabupaten2 lain karena pendjualan beras bisa se-mahal2nja. Dan bupati2 membeli
perkebunan2 dan andil2 perseroan se-banjak2nja. Dan pembesar2 STII mendirikan dan
mendirikan terus rumah2 se-banjak2nja.”142

Merebaknya penyakit sosial dan ulah oknum aparat pemerintah lokal yang
tidak bertanggungjawab ternyata adalah baru satu fenomena. Di lain daerah Njoto
mendapati kaum tani kecil juga harus berhadapan dengan kekuatan perusahaan
asing. Seperti yang diamatinya di Sumatra Utara dalam sebuah perjalanan
kunjungan partai. Pada 6 April 1954, Njoto berkesempatan meninjau daerah
Tanjung Morawa yang pada Maret 1953 dilanda kerusuhan antara aparat
keamanan dan warga pengolah tanah yang sebelumnya milik Deli Planters
Vereeniging (DPV). Pada kunjungan itu Njoto sempat beraudiensi dengan salah
satu petani yang menjadi korban kerusuhan itu. Demikian Njoto mencatat
percakapan singkatnya dengan si petani:
“...kami pindah kesoal penghidupan mereka. ‘Bagaimana sawahnja pak?’ ‘Bulan j.l. kami
tanam katjang, hudjan tidak turun. Ini kami tanam kedelai, hudjan tidak turun lagi. Tjoba
barangkali bulan depan baik......’ ‘Bagaimana usahanja menangkap ikan?’ ‘Ah, itu ‘kan
hanja untuk mengeluarkan keringat, supaja kami tidak malas......’
Seperti tersajat hati kami. Toh orang mau mengorbankan penghidupan petani ini untuk
formalisme tentang ‘hak onderneming2 asing’!” 143

Lepas dari Tanjung Morawa Njoto masih melanjutkan kembali perjalanannya ke


Belawan dan Binjai. Di dua daerah itu ia mendapati hal-hal yang kurang lebih
serupa, “...kami me-lihat2 pelabuhan. Ber-ulang2 lagi motif dalam lagu tambo
bangsaku: kemelaratan, kerdja berat, perdjuangan...”144
Dari catatan-catatan perjalanan tersebut terlihat keberpihakan Njoto
kepada orang-orang yang tertindas dan susah penghidupannya. Potret buram itu
selalu dibenturkan dengan kinerja pemerintah yang loyo serta kesenjangan
ekonomi di tengah masyarakat. Meskipun dia sendiri melihat bahwa masyarakat
kecil pun secara sadar juga jatuh dalam penyakit sosial, ia selalu menautkan akar
dari permasalahan itu secara struktural sebagai ekses dari kinerja pemerintah yang
terbengkalai atau keserakahan pengusaha besar. Sebagai suatu cara pandang pada
dasarnya pandangannya itu cenderung berat sebelah, tetapi di sinilah terlihat
pandangan kelasnya.

142
Ibid.
143
Njoto, Tjatata “u ate a IV , Harian Rakjat 12 April 1954, h. II.
144
Ibid.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


55

Sejak permulaan Njoto telah memiliki pandangan sinis terhadap borjuasi


dan kaum tuan tanah. Suatu pandangan yang khas Marxisme. Hal itu terlihat
ketika dengan nada sengit Njoto menuliskan dalam buku bunga rampai Pers Dan
Massa sebagai berikut:
“Burdjuasi dan kaum tuantanah, dengan menggunakan alat-alat jang modern seperti pers,
radio, film, dll. terus-menerus meratjuni Rakjat dengan matjam2 fitnah dan kebohongan.
... Usaha2 mereka itu tidak bertudjuan lain ketjuali mentjegah tumbuhnja kesedaran pada
Rakjat, mengalihkan perhatian Rakjat dari soal2 tuntutan dan kepentingannja,
melemahkan semangat perdjuangan Rakjat, menjebarkan ke-ragu2an, kebingungan dan
keputusasaan, dan dengan demikian mempertahankan kekuasaan mereka sendiri.”145

Dari pernyataan ini segera terlihat pemihakannya terhadap rakyat kecil. Rakyat
sebagai sentral pandangan dan sikap politiknya. Dia melihat bahwa tidak ada
kesempatan berharap kepada borjuasi dan kaum tuan tanah karena golongan ini
selamanya akan mencegah munculnya kesadaran rakyat. Padahal, kesadaran
rakyat adalah salah satu modal dalam perjuangan meraih cita-cita kemakmuran.
Dalam tulisan berkepala Pers Dan Massa itu juga Njoto menandaskan
suatu keyakinan tradisional komunisme. Dia mengatakan bahwa, “Perdjuangan
ideologi itu pentjerminan perdjuangan klas. Selama ada penindasan dan
penghisapan didunia ini, selama itu perdjuangan ideologi berlangsung,...”146 Pada
kesempatan lainnya dia menyampaikan, “Mengapa Marxisme erat dengan massa
Rakjat? ... karena Marxisme bertolak dari kehidupan dan untuk mengubah
kehidupan.”147 Dari sini dia meyakini benar bahwa ideologi bisa menjadi jalan
pembebas bagi rakyat. Marxisme adalah jalan yang ia pilih untuk “berjuang”.
Njoto juga berkeyakinan bahwa “Didalam perdjuangan ideologi tidak ada djalan
ketiga, tidak ada djalan tengah.”148 Menjadi komunis adalah berpihak kepada
rakyat atau kaum tertindas. Keberpihakan dan pembelaan itu hanya sekali, kepada
kaum tertindas, dan tidak ada jalan kompromi.
Pada titik ini telah tergambar muasal dari determinasi politik dan ideologi
Njoto, rakyat. Dari intensitas tulisan-tulisannya secara tersirat dapat
menggambarkan bahwa kehidupan rakyat adalah titik kisar bagi perjuangan
politik dan ideologi. Sekaligus terlihat pula cara pandang kelas ala Marxisme

145
Njoto, Pers Dan Massa, (Jakarta: NV Rakjat, 1958), h. 10-11.
146
Ibid., h. 10.
147
Njoto, Ma is e Kia Besa Dajahidup ja , Harian Rakjat 7 Mei 1963, h. III
148
Njoto, Pers dan Massa, Op.cit., h. 9.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


56

sangat mewarnai pandangan Njoto terhadap realitas sosial. Cara pandang yang
demikian adalah endapan dari pengalamannya bersentuhan dengan Marxisme
sejak belia. Pandangannya semakin tajam seiring dengan aktivitas dan
pengalaman politiknya yang meninggi, tetapi di sini Njoto masih hanya berbicara
tentang realitas dan persoalan masyarakat yang diamatinya. Njoto belum beranjak
dari posisinya sebagai kader komunis yang mengamati. Jadi, berhadapan dengan
kondisi khas Indonesia dewasa itu, seperti apa solusi “ideologis” yang hendak
disuguhkan oleh Njoto?

3.3. Demokrasi Rakyat: Jalan Pembebasan dan Fundamen Sosialisme


Indonesia
Njoto menyadari bahwa komunisme adalah ideologi asing bagi Indonesia.
Komunisme lahir dari alam dan kondisi-kondisi yang sangat berbeda dengan
Indonesia. Karena itu, teori-teori ideal komunisme harus dikontekstualisasikan
terlebih dahulu sebelum menjadikannya sebagai rujukan solusi bagi masyarakat.
Usaha untuk membumikan ideal komunisme dalam konteks lokalitas sebenarnya
telah disadari Njoto sejak awal. Njoto mengatakan bahwa amanat itu datang
langsung dari pemimpin besar komunis, Lenin:
“...adalah Lenin jang besar jang seperempat abad j.l. mengadjarkan supaja kaum Komunis
‘beladjar menjesuaikan prinsip2 umum dan pokok daripada Komunisme dengan
hubungan2 jang chusus diantara klas2 dan partai2, dengan sifat2 jang chusus daripada
perkembangan objektif menudju Komunisme jang karakteristik ditiap negeri’...” 149

Bahkan secara tegas Njoto mengingatkan:


“Oleh sebab itu kalau ada seseorang yang menamakan dirinya komunis tetapi mau
menyelesaikan masalah Indonesia dengan main jiplak saja, entah menjiplak Uni Sovyet
atau menjiplak Tiongkok, maka dia itu lebih menyerupai Pak Tolol daripada komunis. ...
Masalah Indonesia hanya dapat dipecahkan dengan jalan Indonesia, dengan cara
Indonesia, dengan gaya Indonesia.”150

Dia juga melanjutkan bahwa komunisme yang membumi itu adalah suatu cita-cita
tersendiri, “Komunisme jang karakteristik Indonesia!, inilah tudjuan kita, kaum
Komunis Indonesia. Oleh sebab itu kita menjesuaikan kebenaran2 umum
Marxisme dengan keadaan2 jang chas Indonesia.”151

149
Njoto, Alte atif agi suatu alte atif , Harian Rakjat 13 Oktober 1954, h. II.
150
Njoto, Marxisme: Ilmu dan Amalnya, (Jakarta, Teplok Press, 2003), h. 57.
151
Njoto, Alte atif... , Loc.cit.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


57

Njoto menjelaskan hal itu lebih lanjut dengan menyejajarkan antara


pendapatnya dan tesis resmi PKI tentang masyarakat Indonesia dewasa itu. Dalam
tesis partai yang dirumuskan sejak 1951 dinyatakan bahwa kesukaran-kesukaran
yang membelit Indonesia disebabkan karena masih eksisnya kekuatan
imperialisme dan feodalisme. Dalam pandangan PKI, sejatinya Indonesia masih
negara setengah jajahan dan setengah feodal. Keadaan itu disebabkan karena
kaum imperialis, khususnya Belanda, masih punya kontrol atas Indonesia karena
ikatan Perjanjian KMB. Oleh karena itu, menurut PKI prioritas revolusi Indonesia
yang pertama seharusnya adalah menumbangkan sisa kekuatan imperialisme dan
feodalisme yang masih bercokol di Indonesia. Untuk mencapai tujuan itu PKI
menelurkan suatu wacana tentang demokrasi rakyat dan program front persatuan
nasional. Front persatuan nasional merupakan suatu aliansi politik inklusif yang
digagas oleh PKI. Aliansi ini akan berintikan kerja sama antara kaum buruh, tani,
borjuasi kecil, dan borjuasi nasional. Di dalam front ini kaum buruh akan
mengambil peran sebagai pimpinan yang akan mengarahkan strategi dalam
menegakkan demokrasi rakyat itu.152
Njoto, sebagai soerang komunis, berpikir sejajar dengan tesis PKI tersebut.
Dalam pidatonya saat Kongres Nasional VII (luar biasa) PKI pada 26 April 1962,
Njoto menjabarkan soal tersebut sebagai berikut:
“Tjita2 kita adalah menegakkan Sosialisme di Indonesia, Sosialisme Indonesia. ...
Tetapi kita kaum Komunispun tahu, bahwa Sosialisme itu tak bisa ditjapai dengan sekali
pukul. Rakjat Indonesia tidak berpamrih manamakan tingkat revolusi sekarang ‘revolusi
sosialis’, karena memang bukan, melainkan revolusi nasional atau revolusi anti-
imperialis, untuk mentjapai kemerdekaan nasional jang penuh, atau lebih lengkapnja
revolusi nasional-demokratis anti-imperialis dan anti-feodal, untuk mentjapai
kemerdekaan dan demokrasi.
Kemerdekaan penuh harus ditjapai dulu, baru bisa berbitjara tentang merealisasi
Sosialisme : revolusi nasional-demokratis harus diselesaikan dulu, baru boleh bitjara
tentang revolusi sosialis. Buat kedua-duanja, peranan memimpin dari proletariat tak boleh
dilupakan.”153

Kondisi Indonesia belum memungkinkan untuk sebuah revolusi sosialisme


sebagaimana cita-cita komunisme yang asali. Karena itu suatu fundamen perlu

152
Anwar, Op.cit., h. 119-120. Borjuasi kecil yang dimaksud di sini adalah kaum miskin di kota,
intelektual, pedagang kecil, perajin, nelayan, dan lain-lain. Sedangkan borjuasi nasional adalah
golongan yang status sosialnya lebih tinggi daripada borjuasi kecil yang secara tegas anti-
Barat dan mendukung atau setidaknya masih bisa berkompromi dengan komunis.
153
Njoto, Pidato Pe ga ta U tuk Pe u aha P og a Pa tai , dala De a ‘edaksi Bintang
Merah, Madju Terus! Dokumen-dokumen Kongres Nasional ke-VII (Luarbiasa) Partai Komunis
Indonesia (djilid I), (Jakarta: Yayasan Pembaruan, 1963), h. 114-115.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


58

ditegakkan lebih dulu di Indonesia untuk mencapai cita-cita masyarakat sosialis.


“...Bagi Indonesia, sosialisme itu akan melalui demokrasi rakyat, harus melalui
demokrasi rakyat, ... ini dibawa oleh watak dan keadaan kongkrit negeri kita,”
demikian Njoto menegaskan pada kesempatan lain.154 Jadi, yang pertama kali
perlu diusahakan adalah menumbuhkan sebuah revolusi nasional-demokratis
untuk meruntuhkan imperialisme dan feodalisme. Revolusi nasional-demokratis
tersebut harus dilalui “...untuk menegakkan suatu demokrasi Rakjat, sebagai
tingkat peralihan menudju ke Sosialisme.”155
Njoto tidak membicarakan aspek-aspek teoretis yang menjadi dasar
pewujudan sistem demokrasi rakyat. Dia juga tidak menjelaskan lebih jauh
tentang bagaimana demokrasi rakyat akan dijalankan atau struktur dan praksis
manajemen-birokratisnya akan seperti apa. Dia hanya mengelaborasi capaian apa
saja yang hendak diupayakan melalui demokrasi rakyat. Tentang ini dia
menjelaskan melalui pidatonya yang berkepala Ekonomi Sosialis. Dalam
pidatonya itu dia mengetengahkan tentang capaian-capaian di bidang politik,
ekonomi, dan agraria. Capaian politik dan ekonomi yang hendak dituju oleh
demokrasi rakyat memperlihatkan bagaimana sistem ini mengaktualisasikan
sifatnya yang antiimperialisme. Njoto menjelaskan bahwa,
“...untuk mencapai kemerdekaan nasional, program tersebut menekankan pentingnya
membatalkan persetujuan KMB dan menyita serta menasionalisasi semua pabrik, bank,
perkebunan, alat-alat pengangkutan, tambang, maskapai-maskapai dagang dan
perusahaan-perusahaan lainnya kepunyaan kaum penjajah Belanda.”156
Jadi, tahap pertama dari proses penegakan demokrasi rakyat itu adalah tercapainya
kedaulatan Indonesia secara penuh.
Diawali dari tercapainya kemerdekaan penuh dan lepasnya ikatan ekonomi
dari kaum imperialis, demokrasi rakyat akan melanjutkan progaramnya di bidang
perburuhan dan agraria. Njoto menerangkan bahwa program ekonomi yang
hendak dicapai bertitikberat dalam pembangunan industri nasional, proteksi dari
persaingan asing, dan perbaikan sistem perburuhan nasional.157 Bersamaan
dengan itu, program agraria juga akan diterapkan untuk memperbaiki kehidupan

154
Njoto, Marxisme: Ilmu dan Amalnya, Op.cit., h. 57.
155
Njoto, Pidato... , Op.cit., h. 105.
156
Njoto, Marxisme: Ilmu dan Amalnya, Op.cit., h. 59.
157
Ibid., h. 59-60.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


59

kaum tani. Khusus tentang ini Njoto menjelaskan dalam pidatonya saat Kongres
Nasional VII (luar biasa) PKI pada 1962 sebagai berikut:
“Program agraria jang revolusioner ini adalah untuk menghapuskan samasekali sisa2-
feodalisme jang sangat membelenggu kaum tani itu. Sudah tentu, pembebasan kaum tani
ini hanja bisa dilakukan oleh kaum tani sendiri. Kewadjiban proletariat dan Partainja
adalah membangkitkan kaum tani itu, dengan menanamkan kesedaran politik dikalangan
mereka.”158
Program agraria itu di antaranya dilaksanakan dengan penyitaan tanah milik tuan
tanah asing dan pribumi lalu dilanjutkan dengan pembagian tanah kepada buruh
tani dan petani miskin.159
Lantas, bagaimanakah sosialisme yang dibayangkan Njoto terhadap
Indonesia?

3.4. Purwarupa Sosialisme Indonesia


Dibandingkan dengan wacana demokrasi rakyat yang telah terang dari segi
praksisnya, sosialisme Indonesia masihlah berupa wacana yang jauh. Seperti telah
diakui Njoto sendiri bahwa kondisi objektif Indonesia belum memungkinkan
dimulainya suatu revolusi menuju masyarakat sosialis. Komunis Indonesia harus
memperjuangkan terlebih dahulu tercapainya suatu demokrasi rakyat. Meskipun
demikian bukan berarti wacana sosialisme Indonesia itu kemudian terpinggirkan.
“Dewasa ini di Indonesia istilah Sosialisme sudah demikian galibnja, sehingga
boleh dibilang semua orang Indonesia sekarang berbitjara perkara Sosialisme,”
demikian Njoto berkomentar pada 1962.160
Tentang seperti apa purwarupa Indonesia sosialis itu Njoto
menjelaskannya dengan ekplanasi yang unik dalam satu pidatonya berkepala
Sosialisme Indonesia. “Saya ingin memulai dengan suatu logika yang sederhana
tetapi keras: Sosialisme adalah sosialisme,” demikian Njoto membuka.161
Pernyataan ini ia tekankan sebagai suatu bentuk kehati-hatiannya secara ideologis.
Ia menyadari bahwa sebagai suatu paham global, sosialisme sering kali diklaim
dengan anasir lokalitas. Misalnya saja dengan adanya sosialisme Sovyet,
sosialisme Tiongkok, atau sosialisme Kuba. Pemahaman lokalitas seperti ini
menurutnya justru menimbulkan pertentangan atau rawan dipertentangkan.
158
Njoto, Pidato... , Op.cit., h. 118.
159
Ibid., h. 117.
160
Ibid., h. 114.
161
Njoto, Marxisme: Ilmu dan Amalnya, Op.cit., h. 68.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


60

Bahkan Njoto mengkhawatirkan, “...jangan-jangan yang dimaksudkan oleh


mereka adalah bahwa Sosialisme Indonesia itu bukan ... sosialisme!”162
Satu argumentasi kemudian ia kemukakan untuk memperkuat catatannya
itu. Njoto mencoba menjelaskan potensi pengaburan sosialisme itu dengan
mengambil amsal dinamika politik di Timur Tengah, antara Mesir dan Suriah
sebagai berikut:
“Bahwa ‘sosialisme’ itu tidak selalu sosialisme, dan bahwa ada macam ‘sosialisme’ yang
sesungguhnya bukan sosialisme, juga bisa kita saksikan dari kejadian-kejadian beberapa
waktu yang lalu di dunia Arab. Presiden Gamal Abdel Nasser, seperti diketahui, secara
pandai telah memasukkan Suriah ke dalam gabungan dengan Mesir, ke dalam Republik
Persatuan Arab. Presiden Nasser memaklumkan bahwa RPA adalah negeri sosialis, yang
berasaskan ‘sosialisme ala Arab.’ Beberapa waktu kemudian, setelah rakyat Suriah, mulai
buruhnya sampai bourjuasinya, mengalami apa artinya berada di dalam RPA, mereka
memilih kembali jalan menentukan nasib sendiri dengan merenggutkan diri dari Mesir
dan mendirikan kembali Suriah merdeka. Republik Suriah ini kemudian memaklumkan
sosialisme juga: ‘sosialisme sejati.’ Nah, kita lihatlah, ‘sosialisme’ ditentang oleh
‘sosialisme,’ ‘sosialisme ala Arab’ ditentang oleh ‘sosialisme sejati.’”163

Dalam hal ini secara tersirat Njoto mencoba menekankan tentang perlunya
menjaga jarak dengan anasir lokalitas dalam praksis membangun masyarakat
sosialisme. Njoto mengkhawatirkan suatu gejala yang mengasosiasikan
pemahaman atas sosialisme Indonesia dengan “Indonesianisasi”. Kekhawatiran itu
dilandasi pertimbangan bahwa Indonesianisasi itu disederhanakan menjadi soal
penggantian tenaga-tenaga asing dengan tenaga Indonesia. Padahal dengan
pengertian seperti itu pun belum menjamin bahwa tenaga-tenaga Indonesia yang
mengambil alih akan memiliki kapabilitas yang diperlukan untuk
mengaktualisasikan sosialisme. Njoto lalu menandaskan keterangannya itu dengan
bersandar pada dua pidato Presiden Sukarno yang terkenal,
“Ya, seandainya setiap Indonesianisasi sudah beres, tentulah Manipol tidak perlu
menggariskan keharusan retooling, dan tentulah Resopim tidak perlu menggariskan
keharusannya membersihkan segala aparat dari ‘pencoleng-pencoleng’,”164

Konsepsi-konsepsi Presiden Sukarno agaknya juga menjadi salah satu


referensi bagi gagasan Njoto tentang bagaimana sosialismen Indonesia dibangun.
Dalam pidato Sosialisme Indonesia Njoto memang cukup sering mengutip atau
mengaitkan eksplanasinya dengan pidato Presiden Sukarno. Agaknya dalam
pidato Sosialisme Indonesia itu Njoto mencoba menggali suatu wacana sosialisme

162
Ibid., h. 69.
163
Ibid., h. 72.
164
Ibid., h. 73.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


61

yang global dari khazanah komunis dan memadukannya dengan alam pikir ke-
Indonesiaan melalui pemikiran Presiden Sukarno atau hasil pemikiran Indonesia
lainnya.
Pola sintesis seperti itu terlihat ketika Njoto mengemukakan konsepnya
tentang masyarakat sosialis. Pertama ia kembali kepada ideal tradisional
komunisme dengan menekankan bahwa, “Sosialisme adalah suatu susunan sosial
atau sistem masyarakat yang berdasarkan pemilikan bersama atas alat-alat
produksi.” Jadi, secara ekonomi proses-prosesnya akan berjalan secara “sosial”,
begitu pula dengan distribusi perekonomiannya. Karena itu, proses-proses itu
akan kontras dengan kapitalisme yang dalam perkataannya “asosial”. Ia juga
menambahkan bahwa pengertian tentang sosialisme ekonomi itu jangan
disamakan dengan jargon “sama rata sama rasa”. Merujuk kepada Karl Marx,
Njoto menandaskan bahwa, “dalam sosialisme manusia bekerja menurut
kemampuannya dan mendapat menurut prestasi atau hasil kerjanya.”165 Jadi,
idealnya adalah bahwa masyarakat sosialis itu suatu masyarakat yang nihil
penindasan. Bentangan konsep tradisional komunisme ini kemudian ia pertautkan
dengan pemikiran Indonesia sehingga cukup relevan bagi situasi dan kondisi
Indonesia. Karena itu dalam pungkasannya, dengan merujuk pada pendapat
Presiden Sukarno, Njoto menyimpulkan, “...sosialisme adalah masyarakat tanpa
exploitation del’homme par l’homme, tanpa penghisapan oleh manusia atas
manusia...”166 Bahkan dengan optimistis, Njoto menilai bahwa prinsip sosialisme
ini telah diejawantahkan di Indonesia melalui UUD 1945 pasal 33.167
Konsep masyarakat sosial-ekonomi yang nihil penindasan tersebut akan
berjalan bersamaan dengan kedaulatan rakyat di lapangan politik. Karena
sosialisme di ranah politik “...haruslah berarti kekuasaan politik di tangan rakyat,
dalam arti yang sesungguh-sungguhnya,...”168 Kedaulatan bagi rakyat ini penting
diwujudkan dan dijaga untuk mengantisipasi potensi otoriter penguasa. Secara
implisit, terbaca bahwa Njoto menengarai adanya suatu potensi otoritarianisme
dari kaum penguasa. Di sinilah muasal kedaulatan rakyat harus ditumbuhkan

165
Ibid., h. 70-71.
166
Ibid., h. 71.
167
Ibid., h. 74.
168
Ibid.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


62

dalam masyarakat sosialis. Karena jika kedaulatan itu tidak tercapai, merujuk
pada Jean Jaures, Njoto mengkhawatirkan “...sekarang ia (rakyat, dalam konteks
ini kaum buruh, pen.) menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar ke jalan
raya, dibikin werkloss, tidak dapat makan suatu apa.”169 Jika hal semacam itu
masih terjadi dalam relasi rakyat-penguasa, sejatinya masyarakat yang demikian
itu masih terjebak dalam kapitalisme. Demikian Njoto.
Dengan segala aktivitas, pemikiran, dan determinasi politiknya itu penulis
memandang sosok Njoto sebagai seorang solidarity maker atau penggerak
solidaritas. Sebagaimana dijelaskan oleh Herbert Feith, penggerak solidaritas
adalah tipe kepemimpinan yang berkecenderungan untuk menyatukan dan
mengorganisasi massa, memediasi dengan pendekatan kultural, dan manipulator
simbol.170 Njoto tidak jauh-jauh dari gambaran Herbert Feith tersebut. Dia lihai
menulis dan menarik dalam berorasi. Karena itu Njoto adalah pribadi yang
komplit dalam memangku jabatan Kepala Departemen Agitasi dan Propaganda
PKI. Njoto juga fasih dalam menggagas dan membumikan visi-visi yang
gemilang tentang masa depan Indonesia. Visi gemilang itu senantiasa direpetisi
sedemikian rupa dan menyatakan pada suatu saat akan bisa dicapai.
Tetapi kelemahan penggerak solidaritas adalah abai pada perencanaan
tujuan-tujuan jangka menengah dan tidak spesifik pada bagaimana visinya itu
dicapai.171 Sejauh yang dapat penulis lacak, Njoto banyak menggagas sesuatu dan
berargumentasi tetapi hal itu adalah visi-visi yang jauh. Dalam pemikirannya
tentang sosialisme Indonesia, Njoto menekankan tentang hal-hal yang akan
dicapai oleh sistem itu jika berhasil diterapkan. Tetapi dia tidak memerinci lebih
jauh program kongkret untuk menuju ke arah sosialisme Indonesia itu selain
dengan menunjukkan tahapan demokrasi rakyat. Lagi-lagi demokrasi rakyat itu
pun pada dasarnya lebih tepat disebut sebagai sebuah visi daripada suatu program
kongkret.

169
Ibid., h. 75.
170
Herbert Feith, The Decline Of Constitutional Democracy In Indonesia, (Singapura: Equinox
Publishing, 2007), h. 24-25
171
Ibid., h. 34.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


63

BAB 4
PERS DALAM KACAMATA SEORANG KOMUNIS

4.1. Kehidupan Pers Era Sukarno


Struktur pers di Indonesia pada masa pascarevolusi masih merupakan
kelanjutan dari struktur sebelumnya. Pers nasional, pers Belanda, dan pers
Tionghoa secara berimbang mengisi percaturan dunia pers Indonesia. Dalam
suasana liberal, siapapun berhak menerbitkan korannya. Tetapi kebebasan itu
tidak selamanya berbuah pesatnya perkembangan suatu penerbitan koran.
Manajemen dan kapital tetap menjadi hal yang menentukan. Saat itu penerbitan
milik pribumi belum mapan dalam dua aspek ini. Karena itulah penerbitan
Belanda dan Tionghoa secara ekonomis masih beberapa langkah lebih mapan
daripada penerbitan yang dimiliki oleh orang Indonesia.172
Selepas pengakuan kedaulatan pada 1949, secara umum terdapat kurang
lebih 75 surat kabar dengan akumulasi oplah sekira 400.000 eksemplar. Selama
periode 1950—1953 statistik itu meningkat menjadi 104 surat kabar dengan
akumulasi oplah sekira 630.000 eksemplar.173 Setelah terjadi kenaikan kecil pada
1954, menjadi 105 surat kabar, statistik kemudian menunjukkan penurunan yang
signifikan pada 1955 menjadi 78 surat kabar. Setahun kemudian jumlah itu
menurun lagi menjadi 75 surat kabar. Pada periode itu hanya sedikit surat kabar
Indonesia yang beroplah lebih dari 30.000 eksemplar sekali terbit. Di antara yang
sedikit itu tercatat surat kabar-surat kabar terkemuka dengan oplah besar yaitu
Harian Rakjat, Pedoman, Suluh Indonesia, dan Abadi.174 Selain surat kabar
tersebut beberapa surat kabar lain yang juga turut mewarnai hiruk-pikuk Jakarta
adalah Sin Po, Keng Po, Pemandangan, Duta Masyarakat, Bintang Timur, Berita
Indonesia, Merdeka, Indonesia Raya, dan Times of Indonesia.175

172
FX. Koesworo, J.B. Margantoro, Ronnie S. Viko, Di Balik Tugas Kuli Tinta, (Surakarta-
Yogyakarta: Sebelas Maret University Press dan Yayasan Pustaka Nusantara, 1994), h. 19-20.
173
Edward C. Smith, Sejarah Pembreidelan Pers Di Indonesia, terj. Atmakusumah dkk., (Jakarta:
Grafiti Pers, 1983), h. 97 dan 108.
174
Koesworo dkk., Op.cit., h. 20.
175
Smith, Op.cit., h. 108-112.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


64

Kehidupan pers dalam periode kajian skripsi ini umumnya mencerminkan


suasana sosial-politik yang berkembang di Indonesia. Polarisasi politik ikut
menggiring banyak surat kabar menjadi “juru bicara” suatu partai atau setidaknya
berafiliasi. Beberapa surat kabar terkemuka yang berafiliasi dengan partai politik
di antaranya adalah Suluh Indonesia dengan PNI, Harian Rakjat dengan PKI,
Abadi dengan Masyumi, Duta Masyarakat dengan NU, dan Pedoman dengan PSI.
Polemik, perang opini, dan serangan-serangan bersifat politis sering kali menjadi
“hidangan” dalam surat-surat kabar tersebut. Bahkan tidak jarang kebebasan yang
dimiliki surat kabar bisa menjurus pada fitnah dan anarki. Hal ini menjadikan
mutu pemberitaan menjadi tidak berimbang dan sarat kepentingan yang turut
menjadi salah satu pemicu instabilitas politik nasional.176
Polarisasi di kalangan pers sebagai imbas perbedaan pandangan politik
kian memuncak menjelang akhir kuasa Presiden Soekarno. Perbedaan pandangan
politik itu menjadi semakin banal dan menjurus pada polemik-polemik yang kalut.
Setidaknya ada dua polemik di kalangan pers yang menimbulkan suatu kegegeran
di ibu kota, yaitu polemik antara Harian Rakjat kontra Merdeka dan polemik
Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS). Polemik antara Harian Rakjat dan
Merdeka berlangsung sejak 2 Juni hingga 9 Juli 1964. Perdebatan di antara kedua
surat kabar besar ini bermula dari tajuk rencana Merdeka yang mendukung ide
penyederhanaan sistem kepartaian. Masalah kemudian melebar ke pasal-pasal
politik dalam negeri, persoalan Sukarnoisme, politik agraria, dan penafsiran
Manipol-USDEK. Beberapa tokoh politik nasional seperti Ali Sastroamidjojo dan
K.H. Idham Chalid sampai turut berkomentar dalam polemik. Karena semakin
tidak kondusif dan dianggap bisa membahayakan persatuan, Jaksa Agung
akhirnya turun tangan meminta agar polemik ini diakhiri.177
Polemik Harian Rakjat versus Merdeka itu pada kenyataannya adalah
suatu pembuka kepada polemik baru, yaitu polemik BPS. Bersamaan dengan
polemik Harian Rakjat dan Merdeka itu, Berita Indonesia mempopulerkan serial
tulisan Sayuti Melik tentang Sukarnoisme sejak 8 Juni 1964. Oleh penulisnya, seri

176
Toeti Kakiailatu, B.M. Diah: Wartawan Serba Bisa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), h.
182-183 dan 186-187 dan Koesworo dkk., Ibid., h. 20.
177
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Lekra Tak Membakar Buku, (Yogyakarta:
Merakesumba, 2008), h. 78 dan Tribuana Said dan D.S. Moeljanto, Perlawanan Pers Indonesia
(BPS) Terhadap Gerakan PKI, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h. 26-29.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


65

tulisan ini disebut sebagai suatu rumusan tentang perjuangan bangsa Indonesia
mewujudkan suatu kesejahteraan berdasarkan kekhasan Indonesia. Seri tulisan ini
kemudian dikutip dan dipublikasikan pula oleh beberapa surat kabar dan majalah
yang sehaluan dengan Berita Indonesia. Dari sinilah mula terbentuknya suatu
aliansi di kalangan pers antikomunis. Pada 1 September 1964 aliansi ini
mempublikasikan terbentuknya BPS. Kepada umum BPS menyatakan tujuannya
adalah mengembangkan dan mempopulerkan Sukarnoisme dan mendukung
penyelesaian revolusi Indonesia.178 Meskipun dalam publikasinya dibentuk untuk
tujuan idealis terkait Sukarnoisme, tetapi BPS juga dimaksudkan sebagai aliansi
untuk melawan dominasi politik PKI. BPS pada akhirnya bukanlah tandingan bagi
dominasi PKI dan golongan lain yang sehaluan. PKI berhasil meyakinkan
Presiden Soekarno bahwa BPS akan menjadi rongrongan bagi politiknya.
Akibatnya pada 17 Desember 1964 Presiden Soekarno secara resmi melarang BPS
dan beberapa aktivisnya ditahan.179
Dalam konstelasi kehidupan pers seperti itulah Njoto terlibat. Pertama dia
adalah seorang politikus dan fungsionaris partai yang sekaligus adalah pemimpin
dewan redaksi Harian Rakjat. Karena itu menjadi wajar jika berita dan wacana
dalam Harian Rakjat sangat kental bernuansa politik dan komunistis. Atau bisa
juga dipahami sebagai media propaganda partai, mengingat Njoto adalah kepala
Departemen Agitprop PKI. Pers di tangan komunis adalah corong suara partai.
Hal ini bukan sesuatu yang ideal, tetapi dalam kondisi semacam inilah hubungan
antara Harian Rakjat dan Njoto semestinya didekati. Dalam hemat penulis,
Harian Rakjat adalah arketipe pemikiran Njoto tentang bagaimana pers komunis
diwujudkan. Yang tidak kalah penting adalah melacak di mana posisi pers
komunis di tengah dinamika Indonesia dewasa itu. Permasalahan itulah yang
hendak dijelaskan dalam bab ini.

178
Said dan Moeljanto, Ibid., 29-34.
179
Smith, Op.cit., h. 233-234. PKI dan beberapa surat kabar yang berafiliasi dengannya dibantu
oleh PNI dan beberapa tokoh politik nasional yang dekat dengan mereka. Dalam agitasinya
melawan kampanye BPS, PKI menggunakan tiga wacana negatif untuk memengaruhi
pertimbangan Presiden Soekarno dan menyudutkan BPS. Ketiga wacana tersebut adalah: BPS
adalah kepanjangan tangan dan menerima dana dari Central Intelligent Agency (CIA);
Sukarnoisme BPS adalah suatu pemutarbalikan atau penyelewengan dari ajaran-ajaran
Presiden Soekarno; dan BPS memecah persatuan dan kesatuan nasional. Selengkapnya lihat
Said dan Moeljanto, Ibid., h. 63-69.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


66

4.2. Pers Dalam Kacamata Seorang Komunis


Pada Februari 1956 digelar sebuah acara selamatan memperingati ulang
tahun kelima Harian Rakjat. Bertempat di Perguruan Rakyat, Jakarta, selamatan
itu dihadiri sekira 200 orang pekerja Percetakan Persatuan dan Harian Rakjat,
mulai dari jajaran direksi sampai para loper. Dalam acara tersebut Njoto
menyampaikan pidatonya yang simpatik. Kepada para hadirin yang disapanya
sebagai para kawan itu, Njoto menyampaikan:
“Dengan bekerdja membantu terbitnja Harian Rakjat, kawan2 bukan hanja turut aktif
melawan kolonialisme –kawan2 djuga turut meletakkan dasar2 untuk masjarakat
Sosialisme. Kalau tidak ada kaum buruh, tidak akan ada Sosialisme. Kalau tidak ada
Partai Komunis, tidak akan ada Sosialisme. Begitu djuga: kalau tidak ada Harian Rakjat,
sukar akan ada Sosialisme!”180

Pidato tersebut memang secara khusus disampaikan kepada para pekerja yang
telah membantu penerbitan Harian Rakjat. Selain ungkapan terima kasih dan
pujian, tidak lupa Njoto menyelipkan agitasi politik. Yang terang adalah, dia
memahami pentingnya media bagi tujuan-tujuan politik komunisme. Karena itu,
media dan para pekerjanya adalah aset penting yang mesti dijaga pun secara
ideologis. Itulah arti penting pernyataannya yang penulis kutip, bahwa pers adalah
salah satu instrumen penting untuk meraih cita-cita besar masyarakat sosialis.
Njoto menekuni dunia jurnalistik hampir bersamaan dengan karier
politiknya. Sejak awal bergiat di PKI sebagai kader biasa dan sekaligus menjadi
anggota KNIP, Njoto adalah seorang wartawan Suara Ibu Kota dan kolumnis
Bintang Merah. Karena itu tidak mengherankan jika dia memahami urgensi media
bagi partainya. Apalagi dalam struktur organisasi PKI dia adalah kepala
Departemen Agitprop. Pengalamanlah yang membawanya sampai kepada
kesimpulan bahwa, “sonder pers, perdjuangan Rakjat tidak mungkin mentjapai
kemenangan.”181 Karena itu menurutnya para aktivis Marxis hendaknya
menyadari peran penting pers bagi gerakannya. Njoto melanjutkan:
“... sesuatu aksi massa, baik demonstrasi, atau pemogokan, atau kongres, atau lain2nja,
berlangsung dengan efektif dan mentjapai sukses, djika ia dibantu oleh kampanje jang
baik didalam pers. Sebaliknja, aksi2 massa jang dilakukan tidak dengan kampanje

180
Njoto, Dia ta a peke dja-peke dja H‘ , Harian Rakjat 6 Februari 1956, h. III.
181
Njoto, Be djua g de ga pe s, Harian Rakjat 25 Februari 1954, h. III.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


67

didalam pers, mengalami kegagalan, atau tidak mentjapai tudjuannja dengan


sepenuhnja.”182

Secara implisit dari konstatasinya itu, Njoto memposisikan pers sebagai


“pengeras” suara gerakan. Pers adalah alat berjuang. “Harian Rakjat adalah suatu
harian jang tidak mempunjai tudjuan lain ketjuali mengabdi kepada Rakjat dan
perdjuangannja,” demikian Njoto menandaskan.183 Selain sebagai media untuk
mengampanyekan gerakan rakyat, pers juga berfungsi sebagai media pendidikan.
Tentu saja yang dimaksud adalah pendidikan politik dan ideologi. Tujuan ini,
yang diemban oleh media PKI yang lain yaitu Bintang Merah, dijelaskan Njoto
secara agak panjang dengan berkaca pada sejarah perjalan partai pasca-Peristiwa
Madiun 1948:
“Dengan tak djemu2nja, Bintang Merah mendidikkan pendirian, pandangan dan tjara2
proletar, mengadjak pembatja2nja memikirkan, medekati dan memetjahkan masalah2
revolusi setjara revolusioner, dan menanamkan semangat internasionalisme proletar,
semangat Leninisme.
Patut ditjatat setjara chusus peranan Bintang Merah pada achir tahun 1950 dan awal tahun
1951. Ketika itu, sebagai akibat Provokasi Madiun dan agresi Belanda, anggota2 Partai
ter-sebar2 dan organisasi2 Partai banjak jang rusak. Dalam keadaan demikian, Bintang
Merah terbit kembali sebagai ‘aparat untuk memberi penerangan pada Rakjat-banjak,
untuk mengadjak Rakjat-banjak dan mengorganisasinja’.” 184

Pokok pikiran Njoto tentang posisi pers bagi partai dan gerakan
kerakyatan umumnya berkelindan dengan strategi politik PKI. Pada dekade 1950-
an PKI dibangun sebagai partai komunis berbasis massa. PKI memasifkan agitasi
dan propagandanya kepada kaum proletar di kota dan kalangan petani miskin di
daerah-daerah perkebunan. PKI juga membangun aliansi lebar yang menyatukan
golongan buruh, petani, borjuasi kecil, dan borjuasi nasionalis. Dari komposisinya
yang mengikutsertakan kekuatan di luar buruh dan tani itu, aliansi ini jelas
melebihi batas-batas partai dan ideologinya. Karena itu, dalam mengelola massa
yang nisbi heterogen tersebut diperlukan suatu media untuk diseminasi ideologi
dan penerangan politik.
Dengan fungsi yang demikian itu, pers komunis memiliki kewajiban yang
mesti ditunaikan untuk memenuhinya. Dalam soal ini Njoto mengingat kembali
ajaran Lenin tentang kewajiban pers komunis, yaitu “mengorganisasi

182
Ibid.
183
Ibid.
184
Njoto, Tahu Bi ta g Me ah, Bintang Merah, no. 11-12 tahun XI, November-Desember
1955, h. 371.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


68

penelandjangan2 politik jang meliputi semua segi” dan “memberikan kenjataan2


jang hidup.”185 Kedua hal itu saling bertautan satu sama lain. Kewajiban pertama
itu bertujuan mendidik rakyat agar mampu mengidentifikasi siapa musuhnya dan
membangkitkan sikap revolusionernya. Dengan berpedoman kepada penjelasan
Lenin dia menjabarkan:
“Lenin menerangkan bahwa kaum buruh, dan sudah tentu seluruh Rakjat-pekerdja,
membutuhkan peladjaran dari kenjataan2 dan kedjadian2 jang kongkrit, kenjataan2 dan
kedjadian2 politik jang aktuil. Ini perlu sekali, sebab, untuk memiliki kesadaran klas jang
benar2, klas buruh perlu mengenal klas2 lainnja ‘didalam segala bentuk permuntjulannja
dari kehidupan intelektuil, moril dan politiknja.
... Tentu sadja, djika klas buruh tidak mengetahui siapa2 kawannja dan siapa2 lawannja,
klas buruh bukan sadja tidak bisa mentjapai apa2 didalam perdjuangan, tetapi malahan
tidak bisa berdjuang samasekali!”186

Jadi, pada pokoknya Njoto menekankan bahwa tugas pers komunis adalah
memberi penerangan tentang masyarakatnya dengan penghampiran secara
komunis. Dalam konteks pernyataan tersebut penghampiran secara komunis yang
dia maksud adalah dengan mengetengahkan pandangan kelas sosial. Pandangan
kelas sosial tersebut, masih dengan bersandar kepada pendapat Lenin, akan bisa
diperoleh dengan senantiasa memberitakan realitas aktual di masyarakat.
“Gambaran jang djelas ini tidak bisa diambil dari buku manapun,” kutip Njoto.
Karena itu tugas kedua pers komunis adalah memberitakan realitas sosial yang
aktual di masyarakat.187
Sampai pada titik ini teranglah prinsip-prinsip utama dalam mewujudkan
suatu pers komunis. Demikian pula dengan urgensi pers bagi gerakan rakyat.
Lantas, bagaimana pemikiran-pemikiran tersebut diejawantahkan secara praksis?

4.3. Harian Rakjat: Arketipe Pers Komunis


Dibandingkan dengan dalam PKI dan Lekra, signifikansi peran Njoto
paling terasa dalam Harian Rakjat. Sebagai pimpinan dewan redaksi dia memiliki
wewenang tinggi yang menentukan arah kebijakan redaksi. Di bawah naungannya
jurnalisme yang diusung Harian Rakjat cenderung bergaya agresif. Sebagai ‘juru
bicara’ partai koran ini tidak sekadar mengabarkan berita, redaksi juga
menyisipkan pendirian politik atau ideologinya. Sejak Njoto menggatikan Siauw

185
Njoto, Pers dan Massa, Op.cit., h. 26 dan 28.
186
Ibid., h. 26.
187
Ibid., h. 27.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


69

Giok Tjhan sebagai pemimpin redaksi, Harian Rakjat mulai diarahkan menjadi
pers komunis. Harian Rakjat yang sebelumnya tampil dalam 8 kolom sejak itu
ditambah menjadi 9 kolom agar dapat memuat lebih banyak berita. Rubrik-rubrik
baru pun dibuat seperti Tinjauan Ekonomi, Editorial, Kritik dan Saran,
Kebudayaan, dan Berita Daerah.188 Pada ulang tahunnya yang keenam pada 1957,
Harian Rakjat masih menambah rubrik baru yaitu Sport dan Film. Selain itu,
untuk turut berperan aktif dalam memajukan sastra dan kebudayaan nasional,
Harian Rakjat di bawah Njoto juga menggelar Hadiah Sastera Harian Rakjat
setiap tahunnya.189
Dari segi kuantitas oplah harian, Harian Rakjat juga berkembang pesat.
Sejak mula berdiri pada 1951 hingga 1953, oplah hariannya telah mencapai
23.000 ekspemplar.190 Menurut catatan Kementerian Penerangan, pada 1958
Harian Rakjat telah mencatatkan oplah harian sekira 60.000 eksemplar, jumlah
yang demikian besar untuk ukuran waktu itu.191 Dengan kuantitas oplah sebesar
itu, Harian Rakjat memang potensial untuk menggarap massa PKI dan rakyat
pada umumnya. Potensi inilah yang digarap oleh Njoto, segera setelah dia
menggantikan posisi Siauw Giok Tjhan pada akhir 1953.
Pada Desember 1953, atau beberapa waktu setelah proses akuisisi Harian
Rakjat kepada PKI, Njoto mempublikasikan seri artikel berkepala ‘Pers dan
Massa’. Dalam seri artikel tersebut Njoto menjabarkan secara runtut hubungan
pers dan massa, bagaimana pers dapat bermanfaat bagi gerakan rakyat, serta
bagaimana rakyat dapat berpartisipasi dalam perjuangan melalui pers. Seri artikel
Njoto itu agaknya adalah suatu tengara akan ke mana Harian Rakjat melangkah.
Melalui artikel tersebut Njoto menjelaskan bagaimana pers komunis
diejawantahkan.
Dalam artikelnya Njoto menekankan tentang relasi erat antara pers dan
massa rakyat. Jika sebelumnya dia menerangkan tentang kewajiban pers sebagai
corong suara rakyat, di sini Njoto menerangkan pola sebaliknya bahwa gerakan
rakyat membutuhkan peran pers. Jadi, relasi itu adalah relasi dua arah. Njoto

188
Arif Zulkifli dkk. (ed.), Lekra dan Geger 1965, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014),
h. 44-45.
189
Njoto, Pers dan Massa, Op.cit., h. 60 dan 83.
190
Smith, Op.cit., h. 112.
191
Zulkifli dkk., Op.cit., h. 45.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


70

mencibir sikap aktivis yang abai terhadap kampanye pers. Njoto memperingatkan,
“Sikap atjuh tak atjuh ini tidak hanja salah karena ia mengabaikan soal2 pers,
tetapi terutama karena sikap itu membuktikan tipisnja kesadaran.”192 Pers
memang berkewajiban menyokong gerakan rakyat, tetapi dalam tataran tertentu
pers memiliki keterbatasan. Njoto meyakini keterbatasan tersebut hanya bisa
diatasi dengan menjaga relasi erat antara pers dan massa rakyat. Njoto
menjelaskan:
“Salah benar adanja dugaan se-olah2 baik buruknja serta madju mundurnja pers itu
tergantung dari pimpinan jang mengemudikannja. ‘Bukankah sudah ada redaksinja,
direksinja, administrasinja?’, demikianlah kadang2 kita dengar.
Memang redaksi ada, direksi ada, administrasi ada. Tetapi bisakah sesuatu suratkabar
Rakjat baik dan madju djika ia tidak didukung oleh kader2 dan aktivis2 gerakan Rakjat, ...
djika tidak ada bantuan dari seluruh gerakan Rakjat, pimpinan Harian Rakjat akan
terpisah dari massa, dan didalam perdjuangan tidak ada jang lebih tjelaka daripada djika
terpisah dari massa. Djadi, pimpinan Harian Rakjat berkewadjiban terus-menerus
memperbaiki dan mempererat hubungannja dengan massa, dan sebaliknja, gerakan2
massa hendaknja lebih menjedari peranan dan pentingnja pers didalam perdjuangan.” 193

Relasi antara pers dan massa rakyat itu menurut Njoto dapat ditumbuhkan
melalui beberapa segi. Segi pertama adalah kebijakan pemberitaan dan sumber
berita. Njoto menekankan bahwa Harian Rakjat adalah surat kabar yang harus
“mentjerminkan kedjadian2 didalam masjarakat itu sebagaimana adanja.” Hal ini
disebutnya sebagai ‘objektif’. Tetapi, objektif yang dimaksudkan olehnya itu
memiliki pengertian yang lebih khusus. Dikatakannya bahwa “objektif tidak sama
dengan netral.” Lebih lanjut Njoto berargumentasi:
“Masjarakat ini penuh dengan pertentangan diantara klas jang satu dengan klas jang
lainnja, masjarakat ini penuh dengan perdjuangan klas. Oleh sebab itu, objektif itu dengan
sendirinja mengandung sikap berfihak kepada klas jang menindas atau klas jang tertindas,
kepada klas jang tumbuh atau klas jang runtuh.” 194

Segera terlihat bahwa pengertiannya tentang objektivitas pers dipengaruhi


oleh pandangan kelas khas Marxisme. Dalam hal ini dia membuat tafsir tersendiri
bagi kaidah objektivitas jurnalistik. Berdasar argumentasi tersebut, objektivitas
menurut Njoto hadir setelah seorang jurnalis memilih di pihak mana dia berdiri.
Jadi, objektivitas itu dipraktikkan di dalam suatu sudut pandang pemberitaan
tertentu, dalam keberpihakan. Dapat segera diduga pula, sebagai pers berhaluan
komunis, sudut pandang pemberitaan Harian Rakjat adalah sudut pandang

192
Njoto, Pers dan Massa, Op.cit., h. 10.
193
Ibid., h. 11-12.
194
Ibid., h. 12-13.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


71

golongan buruh dan petani atau mereka yang didefinisikan sebagai golongan
rakyat pekerja. Melalui keberpihakan inilah Harian Rakjat menjalin relasi dengan
massa rakyat. Keberpihakan ini secara lebih tegas ditabalkan Njoto sebagai asas
koran yang dipimpinnya itu dalam pidatonya saat resepsi ulang tahun kelima
Harian Rakjat pada 1956.195
Sudut pandang pemberitaan yang demikian itu dipenuhi Harian Rakjat
dengan memanfaatkan korespondennya yang tersebar di beberapa kota besar.
Njoto tidak menampik bahwa koran yang dipimpinnya itu juga memanfaatkan
berita-berita yang dipasok dari kantor berita Antara dan Aneta. Selain itu juga
Harian Rakjat menjalin relasi dengan kantor berita luar negeri yang sehaluan
seperti Guardian di Australia, Cross Road di India, dan Daily Worker di Amerika
Serikat. Tetapi, pasokan berita dari kantor-kantor berita besar itu dianggap Njoto
belum mencukupi benar. “Harian Rakjat baru bisa mendapat sumber berita jang
tjukup, djika tiap2 kader, tiap2 aktivis, bahkan tiap2 buruh atau mahasiswa atau
petani, membantu Harian Rakjat dengan berita2,” tegas Njoto.196
Njoto menyadari bahwa relasi antara pers dan massa dapat dibangun
melalui keterlibatan massa sebagai sumber berita. Koresponden yang lahir dari
tengah-tengah massa adalah kekuatan bagi Harian Rakjat.197 Di bawah
kepemimpinannya, redaksi Harian Rakjat mengelaborasi ide ini lebih jauh dalam
soal keuangan perusahaan. Pada 1956, bertepatan dengan ulang tahun kelima
Harian Rakjat, Njoto mengumumkan bahwa manajemen Harian Rakjat membuka
penjualan saham yang harganya terjangkau oleh finansial rakyat kebanyakan. Dia
mengakui bahwa selama ini Harian Rakjat memang mengalami kesulitan
keuangan. Untuk mengatasi masalah ini sekaligus menjaga relasi baik dengan
massa rakyat manajemen akhirnya menempuh cara ini.198
Usaha lain yang patut dicatat pula adalah penyelenggaraan Seminar HR
pada awal tahun 1958. Njoto menjelaskan bahwa tujuan seminar tersebut adalah
untuk menghimpun kritik dan saran dari masyarakat demi perbaikan Harian

195
Ibid., h. 38-40.
196
Ibid., h. 14.
197
Ibid., h. 19.
198
Ibid., h. 55.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


72

Rakjat.199 Seminar HR itu diadakan dalam rangka memperingati ulang tahun


ketujuh Harian Rakjat. Dalam seminar ini panitia mengangkat tema besar
“Bagaimana memperbaiki HR guna memperbesar sumbangannja kepada
perdjuangan Rakjat.” Seminar HR ini juga dilaksanakan dalam skala besar,
dengan digelar di beberapa ibu kota provinsi dan kota besar di seluruh
Indonesia.200
Gagasan mengundang massa rakyat untuk ikut terlibat sebagai informan
atau koresponden adalah langkah yang berani sekaligus riskan. Pasalnya gagasan
ini mengandung kelemahan mendasar, yaitu masalah kecakapan jurnalistik. Tentu
tidak setiap aktivis gerakan massa cakap dalam jurnalistik. Tetapi, untuk
mengatasinya Njoto telah ambil ancangan. Redaksi akan menerima surat-surat
dari koresponden itu, tetapi redaksi menentukan warta-warta macam apa yang bisa
diterima. “Didalam surat2 itu jg sangat diharapkan ialah soal2 tentang
pengalaman sendiri, tentang kehidupan se-hari2, kesukaran se-hari2, perdjuangan
se-hari2,” terang Njoto.201 Juga Njoto menekankan tentang asas kebenaran dalam
berita itu. “Kebenaran nomor satu, faktor2 lainnya boleh menjusul,” terang Njoto.
Tidak habis di situ, Njoto masih mewanti-wanti agar menghindari sifat
sensasional dalam pemberitaan. Soal ini dijelaskannya dengan agak berseloroh:
“Koran2 burdjuis biasanja mempunjai pegangan begini: kalau andjing menggigit orang,
itu bukan berita; kalau orang menggigit andjing itulah berita. Pendapat ini pendapat jg
exentrik, pendapat jang aneh asal aneh sadja. Dari sinilah keterangannja mengapa koran2
burdjuis biasanja penuh dengan jang aneh2. Ular berkepala ajam, baji berkepala sekian,
baji ‘merah-putih’, --hal-hal jang aneh2 begini itu memang disukai sekali oleh koran2
exentrik itu. Kalau ada demonstrasi kaum buruh, jang diberitakan bukan djumlah
pesertanja berapa, tuntutannja apa, dsb. tetapi misalnja: ‘ada pesertanja jang sepatunja
terbalik’, dan matjam2 lelutjon lainnja.202

Jelasnya, Njoto tidak menginginkan Harian Rakjat menjadi sekadar koran gosip.
Dalam pengertian akurasi dan nilai pemberitaannya.
Perihal substansi Njoto memang serius. Tetapi keseriusan itu tidak lantas
menjadikannya ‘kering’. Sebagai seorang penulis yang cukup produktif dan
memiliki intensi pada soal-soal kebahasaan, Njoto juga peduli pada soal
kebahasaan dalam Harian Rakjat. Dalam pidato pada resepsi ulang tahun Harian

199
Ibid., h. 87
200
Be ita, ‘esepsi ula gtahu H‘ sukses, Harian Rakjat 1 Februari 1958, h. I.
201
Njoto, Pe s da Massa, Op.cit., h. 19.
202
Ibid., h. 16.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


73

Rakjat kelima Njoto menyindir wartawan yang beritanya dia analogikan seperti
pantun:
“Dengan tidak mengurangi sedikitpun akan keindahan maupun kegunaan pantun, saja
harus menjesalkan bahwa rupa2nja masih ada sadja diantara wartawan2 kita jang suka
menjusun berita sematjam pantun: 50% jang pertama tidak berarti, baru 50% jang kedua
berisi.”203

Berita dengan mutu kebahasaan semacam ini dinilainya membuang waktu, karena
setiap hari kantor redaksi menerima kiriman berita yang tidak sedikit. Dituntut
bekerja cepat tentu berita yang bertele-tele akan mengehambat kerja redaksi.
Karena itu, Njoto amat menekankan kepadatan dalam menulis berita atau dalam
bahasanya ‘persklaar’.
Segi kebahasaan lain yang menjadi sorotannya adalah soal artikulasi.
Berita yang padat memang baik tetapi jika ia disajikan secara ‘kering’ tentu tidak
akan menarik bagi pembaca. Juga berita yang disajikan secara ‘berkembang-
kembang’ ditakutkannya akan mengaburkan fokus persoalan. Menurut Njoto
“Gaja jang paling benar dan paling tepat untuk Harian Rakjat jalah: sederhana,
tetapi hidup.”204 Pemikiran ini agaknya muncul karena Njoto menyadari siapa
khalayak yang menjadi pembaca Harian Rakjat. Jadi, intensinya kepada soal
kebahasaan ini dapat dimengerti dalam maksud memastikan bahwa pembaca
Harian Rakjat yang berasal dari golongan buruh dan tani dapat mamahami isinya.
Sampai pada titik ini Njoto telah dengan cukup detil menjelaskan sendi-
sendi penting dalam mengelola penerbitan pers komunis. Mulai dari pokok yang
prinsip hingga soal yang cukup teknis. Semua soal yang telah dijelaskan tersebut
terutama bersangkut paut dengan isi Harian Rakjat. Njoto mengingatkan bahwa
Agar dapat meluaskan pengaruh suatu gerakan faktor distribusi memang sangat
penting. Suatu surat kabar mesti bisa tersebar luas menjangkau semua kalangan
untuk menyebarkan :
“... Perdjuangan dilapangan pers masih mempunjai segi jang lain, jaitu: bagaimana
menjebarkan Harian Rakjat se-luas2nja. Sebab, sesuatu harian perdjuangan jang isi dan
mutunja sadja baik, belumlah tjukup. Ia menuntut sjarat lain agar ia benar2 berguna
didalam perdjuangan: ia harus dibatja oleh se-banjak2nja orang, ia harus tersebar se-
luas2nja.”205

203
Ibid., h. 52.
204
Ibid., h. 17-18.
205
Njoto, Be djua g..., Loc.cit.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


74

Agar dapat meluaskan pengaruh suatu gerakan faktor distribusi memang sangat
penting. Suatu surat kabar mesti bisa tersebar luas menjangkau semua kalangan
untuk menyebarkan warta dan pengaruh suatu gerakan.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


75

BAB 5
KEBUDAYAAN YANG MENGABDI RAKYAT

5.1. Riwayat Pencarian Kebudayaan Nasional


Revolusi kemerdekaan Indonesia menelurkan pencapaian besar, yaitu
kelahiran suatu negara Indonesia yang berdaulat. Dalam kacamata politik,
kedaulatan atau kemerdekaan formal itu memulai pula suatu proses dekolonisasi.
Dalam proses itu norma-norma lama yang dianggap feodal atau kolonial berusaha
diputuskan dan sebagai gantinya bangsa Indonesia membangun norma-normanya
sendiri yang baru.206 Kemerdekaan Indonesia juga sebagai pernyataan identitas
pribadi sebagai sebuah bangsa dan keinginan untuk turut aktif dalam lingkungan
dunia luas secara setara guna mencapai kehidupan yang lebih baik.207
Dari sini jelaslah bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hanya suatu
pernyataan politik dan kebebasan menentukan nasib atas persoalan kongkret saja,
tetapi pada dasarnya menyangkut aspek kebudayaan yang luas. Pascaproklamasi
ada suatu proses dekolonisasi untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan kolonial.
Dekolonisasi kebudayaan termanifestasi dalam suatu proses melepaskan diri dari
konstruksi orientalisme Barat mengenai kebudayaan Indonesia. Masyarakat
Indonesia dihadapkan pada persoalan tentang apa yang memisahkan dan
menghubungkan mereka, serta apa yang membuat dirinya disebut sebagai orang
Indonesia. Sebuah pendefinisian atau penegasan identitas. Sejajar dengan proses
pencarian itu pola dekolonisasi kebudayaan yang terjadi pada awal kemerdekaan
masih melanjutkan perdebatan lama yang terjadi sejak era 1930-an. Singkatnya
kalangan intelektual Indonesia terbelah pada dua kanon pemikiran: satu pihak
melihat keharusan meninggalkan kebudayaan lama untuk bergerak maju sebagai
Indonesia yang modern dan pihak lainnya melihat kebudayaan lama sebagai suatu
identitas bagi Indonesia. Keduanya termanifestasi dalam istilah kolonial Timur

206
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2015), h. 48-49.
207
Soedjatmoko, Etika Pembebasan: Pilihan Karangan tentang Agama, Kebudayaan, Sejarah, dan
Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 8.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


76

melawan Barat. Secara umum perdebatan semacam inilah yang terjadi di kalangan
intelektual Indonesia pada periode 1950-an.208 Jadi, telah ada suatu prakonsepsi
tentang bagaimana kebudayaan nasional Indonesia dibangun. Prakonsepsi inilah
yang kembali dicari perumusannya oleh kalangan budayawan dan intelektual di
alam Indonesia yang telah merdeka.
Pernyataan kebudayaan paling awal dipublikasikan pascakemerdekaan
adalah dari perkumpulan Gelanggang Seniman Merdeka (selanjutnya disebut
Gelanggang) pada 1946. Kelompok yang awalnya dimotori oleh Chairil Anwar ini
menghimpun seniman-seniman di antaranya Asrul Sani, Rivai Apin, M. Akbar
Djuhana, Mochtar Apin, M. Balfas, Baharudin, dan Henk Ngantung. Dalam
bagian pembukaan pernyataan kebudayaan yang mereka publikasikan pada 19
November 1946, Para seniman Gelanggang memilih “... Hendak melepaskan diri
kita dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk, dan kita
berani menentang pandangan, sifat dan anasir ini untuk menyalakan bara kekuatan
baru.”209 Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada 1949, kelompok
Gelanggang mempertegas kembali pernyataan mereka itu dengan
mempublikasikan Surat Kepercayaan Gelanggang pada 18 Februari 1950. Dalam
surat tersebut kelompok Gelanggang menyatakan bahwa:
“Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami
teruskan dengan cara kami sendiri. ... Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit
kami yang sawo matang, ... tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud
pernyataan hati dan pikiran kami. ... Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia,
kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk
dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang
sehat.”210

Kedua pernyataan ini menjelaskan bahwa saat itu persoalan konsepsi kebudayaan
Indonesia yang telah berkembang sejak 1930-an kembali dipikirkan oleh kalangan
seniman dan intelektual Indonesia. Kali ini dalam konteks Indonesia merdeka dan
dalam proses dekolonisasi.

208
Je ife Li dsa , Ahli Wa is Buda a Du ia — ; “e uah Pe ga ta dala Je ife
Lindsay dan Maya H.T. Liem, Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950—1965,
(Denpasar-Jakarta: Pustaka Larasan dan KITLV-Jakarta, 2011), h. 8 dan 15.
209
D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI dkk.
(Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah), (Bandung: Mizan bekerjasama dengan HU
Republika, 1995), h. 31.
210
Ibid., h. 421-422.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


77

Dinamika pengembangan kebudayaan kemudian menghangat ketika pada


17 Agustus 1950 Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) berdiri. Lekra dalam
pandangan para pendirinya adalah sebuah langkah menghimpun kekuatan untuk
mendukung revolusi dan kebudayaan nasional. Hersri Setiawan, salah satu aktivis
Lekra, menerangkan bahwa tujuan organisasi ini adalah membebaskan diri dari
ketergantungan terhadap negeri penjajah. Suatu pernyataan kemandirian dalam
berkebudayaan. Menurut Mukadimah pendirian Lekra, organisasi ini bekerja di
ranah kebudayaan, terutama kesenian dan ilmu dengan orientasi kerakyatan. Lebih
lanjut menurut Mukadimah itu, Lekra adalah ajakan kepada “pekerja-pekerja
kebudayaan” untuk mengabdi kepada Indonesia.211
Kehadiran Lekra, setelah sebelumnya lahir Gelanggang, menjelaskan
bahwa arus pemikiran kebudayaan Indonesia dewasa itu tidak tunggal. “Mereka
bagaikan orang yang seiring bertukar jalan,” demikian Joebaar Ajoeb, sekretaris
umum Lekra sejak 1957, menggambarkan hubungan keduanya. Budayawan dalam
komunitas Gelanggang dan Lekra sama-sama merupakan suatu bentuk sikap
dalam menyambut revolusi kemerdekaan Indonesia. Keduanya juga dihidupi oleh
eksponen penting angkatan ’45. Meskipun demikian kecenderungan prinsip
Gelanggang dan Lekra berbeda sejak awal. Gelanggang memiliki prinsip
universalisme yang humanis dan dalam kadar tertentu dipengaruhi budaya Barat.
Seniman-seniman Gelanggang juga tidak terlembagakan sebagaimana Lekra.
Terhadap revolusi yang sedang berkembang, komunitas Gelanggang bersikap
intuitif dan mengutamakan kemerdekaan berekspresi tanpa ikatan organisasi. Hal-
hal itu berbeda dengan Lekra yang sejak awal mendeklarasikan diri sebagai
organisasi dengan orientasi ideologi, kegiatan, dan pengabdian praktis yang
dirumuskan secara rinci dan jelas. Sementara komunitas Gelanggang cenderung
melawan motif-motif politik dan kolonial dalam berkebudayaan, Lekra justru
bersandar kepada suatu haluan politik kerakyatan.212
Pemerintah Indonesia sendiri mengambil peran dalam proses kebudayaan
ini dengan bertindak sebagai pelindung dan pembendung imperialisme
kebudayaan secara struktural. Dalam fungsi ini Pemerintah Indonesia pada awal

211
Arif Zulkifli dkk (ed.), Lekra dan Geger 1965, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014),
h. 2-3.
212
Ibid., h. 9-11.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


78

1950-an mempromosikan pengembangan nasionalisme dalam kebudayaan, seni,


dan ilmu pengetahuan.213 Pemerintah Indonesia juga bergerak dengan
mensponsori beberapa konvensi kebudayaan. Konvensi itu mempertemukan
kalangan intelektual, budayawan, dan bahkan elit politik dalam upaya
konseptualisasi kebudayaan Indonesia dan rekomendasi kebijakan kebudayaan
bagi Pemerintah Indonesia. Pemerintah yang dalam hal ini direpresentasikan oleh
Departemen Pendidikan, Pelatihan, dan Kebudayaan (DPPK) menggelar tiga kali
Kongres Kebudayaan dan sebuah Konferensi Kebudayaan pada 1950.
Kongres Kebudayaan I berhasil digelar pada 1948 di tengah kecamuk
revolusi. Diskursus utama yang berkembang dalam kongres ini berkisar pada
pertanyaan besar “apa itu kebudayaan nasional Indonesia” dan cara-cara
pengembangan kebudayaan Indonesia di alam kemerdekaan. Diskursus
kebudayaan yang selanjutnya bergulir menyoal hubungan antara kebudayaan
Indonesia dan kebudayaan bangsa-bangsa lain. Persoalan ini dibahas dalam
Konferensi Kebudayaan pada Agustus 1950 yang diselenggarakan oleh suatu
badan resmi pemerintah, Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Pada 1951 LKI
kembali menggelar Kongres Kebudayaan II di Bandung. Tema utamanya adalah
seputar pengembangan kelembagaan dan usaha-usaha kongkret mendorong
kegitan-kegiatan budaya. Dalam kongres kali ini juga dibahas masalah akomodasi
bagi pengembangan kebudayaan-kebudayaan daerah. Sayang sekali persoalan ini
tidak sampai menjadi perhatian sentral dalam kongres. Selepas itu Kongres
Kebudayaan III dihelat di Solo pada 1954 dengan penyelenggara baru yaitu Badan
Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Dibandingkan dengan kongres-
kongres sebelumnya, Kongres Kebudayaan III ini membahas suatu soal yang
lebih spesifik dan teknis, yaitu tentang isu kebudayaan dalam pendidikan.214
Dari serangkaian konvensi kebudayaan itu terdapat tengara yang menjadi
inti diskursus kebudayaan Indonesia. Pertama adalah upaya perumusan suatu
sintesis untuk menciptakan suatu kebudayaan nasional yang tunggal. Sintesis ini

213
Els Bogae ts, Ke a a a ah ke udajaa kita? Me ggagas ke ali ke uda aa di I do esia
pada asa dekolo isasi dala Li das da Lie , Op.cit., h. 256.
214
Penjelasan lebih detail mengenai perdebatan-perdebatan kebudayaan dalam serangkaian
kongres dan konferensi itu lihat Tod Jones, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia:
Kebijakan Budaya Selama Abad Ke-20 Hingga Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia dan KITLV-Jakarta, 2015), h. 89-97.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


79

untuk menjembatani dikotomi antara Timur dan Barat yang masih menjadi
pertentangan. Selain itu pola sintesis itu juga berguna untuk melestarikan
kebudayaan tradisional dan di saat bersamaan menumbuhkan suatu bentuk
kebudayaan yang modern. Tengara kedua terkait jaminan kebebasan artistik
budayawan dalam berkarya. Lalu tengara ketiga terkait dengan peran pemerintah
dalam proses pengembangan kebudayaan Indonesia.215
Pada tahun-tahun antara 1956—1965 mulai terasa pergeseran wacana
kebudayaan Indonesia. Seiring dengan menguatnya peran politik Presiden
Sukarno dan demokrasi terpimpin, wacana dan kebijakan budaya mulai diarahkan
untuk memperkuat identitas nasional dan pembangunan masyarakat sosialis
Indonesia. Pemerintah dalam hal ini mulai meningkatkan intervensinya di bidang
kebudayaan. Diskursus seputar pendefinisian kebudayaan nasional yang tunggal
mulai dirumuskan secara resmi. Persoalan pengembangan budaya daerah yang
sebelumnya dikesampingkan kini mulai mendapat perhatian dan penguatan
sebagai elemen kebudayaan nasional Indonesia. Presiden Sukarno adalah
pendukung kebijakan-kebijakan ini dan Menteri Kebudayaan Prijono mulai tampil
sebagai eksekutornya. Prijono mengerucutkan konsepsi kebudayaan Indonesia
dengan bersandar pada konsepsi Manipol-USDEK rumusan Sukarno. Dia
mendorong pengembangan budaya tradisi dengan meyintesakan serbaneka unsur
budaya itu yang memiliki karakteristik revolusioner dan sesuai dengan cita-cita
sosialisme Indonesia. Sejalan dengan itu, pada periode ini Dinas Kebudayaan
sendiri juga lebih aktif mempromosikan pluralisme kebudayaan daripada
meneruskan perdebatan tentang definisi kebudayaan nasional seperti pada paruh
awal 1950-an.216
Di tengah-tengah keriuhan suasana dan diskursus berkebudayaan seperti
itulah Njoto ikut bersuara. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab terdahulu
minatnya yang besar serta karakter otodidaknya yang kuat adalah sentral penting
bagi seluruh gagasan dan aktivitasnya di bidang tersebut. Oleh karena itu
determinasinya dalam soal kebudayaan tidak bisa dianggap sebagai sepintas lalu.

215
Ibid., h. 97-98.
216
Ibid., h. 114-122.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


80

Lalu, gagasan-gagasan kebudayaan seperti apa yang dimunculkan Njoto dalam


dinamika diskursus kebudayaan nasional?

5.2. Pengembangan Secara Kreatif: Suatu Literasi Kebudayaan


Peneliti kebudayaan Els Bogaerts menjelaskan, dengan mengutip pendapat
Claire Holt, bahwa pada periode 1950-an hingga 1960-an serbaneka upaya untuk
mewujudkan suatu kebudayaan Indonesia berjalan dalam tiga arah yang berbeda.
Arah pertama adalah upaya memelihara kemurnian bentuk-bentuk budaya
tradisional yang telah ada di Indonesia. Arah kedua adalah upaya
mengadaptasikan kebudayaan tradisional dengan modernitas dewasa itu.
Praksisnya dengan mencangkokkan unsur-unsur modern yang baru dalam ekspresi
kebudayaannya atau memodifikasi asas-asasnya. Arah ketiga adalah dengan
sepenuhnya berpaling kepada kebudayaan modern.217 Ketiga orientasi inilah yang
menjadi umum dalam diskursus kebudayaan Indonesia dewasa itu. Ketiga arah ini
menjadi titik kisar pemisah atau pemersatu para aktivis kebudayaan Indonesia.
Pada titik kisar inilah penulis mencoba mendedah posisi pemikiran Njoto dalam
diskursus tentang kebudayaan Indonesia.
Keterlibatan Njoto dalam diskursus kebudayaan dalam aras nasional mulai
tercatat dalam Kongres Kebudayaan Indonesia ke-III pada 1954. Ketika itu Njoto
ikut angkat suara menanggapi prasaran Mangunsarkoro, seorang tokoh PNI.218
Tentang bagaimana mengembangkan kebudayaan Indonesia, Mangunsarkoro
yang bertindak selaku preadvisur atau pemprasaran berpendapat bahwa
masyarakat Indonesia telah berubah 100 persen dan menghidupkan kembali
kebudajaan lama itu tidak tepat. Prasaran ini ditolak oleh Njoto karena
menurutnya kebudayaan lama seharusnya tidak ditolak sebagai keseluruhan.
Kebudayaan lama semestinya tidak digeneralisasi sebagai tidak lebih baik
daripada kebudayaan modern. Untuk memecahkan persoalan ini Njoto
mengusulkan suatu literasi kebudayaan: “Menolak jang lama berarti mengambil
dari jang lama itu unsur-unsurnja jang positif, meneruskannja dan

217
Bogaerts, Loc.cit., h. 255.
218
Njoto, Ko-E iste si Nasio al dala Harian Rakjat 25 September 1954, h. III. Huruf kapital
nama acara oleh penulis.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


81

mengembangkannja setjara kreatif. Perlu pula diingat: jang baru itu tidak ada
artinja, djika ia tidak lebih baik daripada jang lama!”219
Pada prinsipnya Njoto berpendapat bahwa praktik-praktik kebudayaan
tradisional yang berkembang di Indonesia telah memiliki kualitas estetis. Karena
itu budaya tradisional tidak lantas bersifat terbelakang atau kolot secara
keseluruhan. Pada suatu kesempatan berpidato dalam acara malam kesenian yang
diselenggarakan PKI Njoto menyatakan keyakinannya bahwa, “... dalam jg lama
banjak jg madju daripada jg kolot, banjak jg bagus daripada jg buruk.”220 Njoto
juga berpendapat bahwa mempertentangkan kebudayaan lama dan baru pada
dasarnya tidak menuju kepada titik temu. Njoto memberikan analogi dengan
mengajukan kembali pertanyaan lama, “apakah gamelan ataukah krontjong jang
akan mendjadi musik persatuan.” Jawabannya, keduanya sebagai suatu entitas
yang terpisah satu sama lain tidak akan bisa jadi musik persatuan jika saling
menegasikan. Tentang pemecahan masalah ini Njoto menyinggung usaha-usaha
kreatif yang telah dilakukan oleh Cornel Simandjuntak dan Amir Pasaribu:
“... Sifat madju Cornel Simandjuntak dan Amir Pasaribu misalnja, bukanlah karena
mereka membawa gamelan atau gambus mendjadi ‘musik persatuan’, tetapi karena
mereka berhasil menggunakan unsur-unsur ‘musik daerah’ –sebetulnja musik Rakjat-
terutama dalam melodik dan ritmik, dan setjara kreatif mengembangkan motif2 pilihannja
kedalam tuangan2 kreatif jang baru. Singkatnja, semua kebudajaan daerah memang bisa
mendjadi milik seluruh bangsa kita, tetapi tidak didalam wudjudnja jg. sekarang,
melainkan dalam wudjud pelandjutannja, penerusannja.”221

Lewat pernyataan ini Njoto menyiratkan sikap kebudayaannya. Pertama,


semua bentuk kebudayaan tradisional, yang juga berasosiasi kedaerahan dalam
konteks pernyataan itu, bisa diangkat menjadi nasional dengan dipadukan dengan
unsur-unsur kekinian secara kreatif. Dengan perkataan lain tradisi dan modernitas
itu pada dasarnya bisa saling mengakomodasi bahkan dipromosikan sebagai
kebudayaan nasional. Pandangan ini seakan menjadi jalan tengah bagi dikotomi
budaya tradisional dan modern yang dewasa itu diperdebatkan mana yang paling
tepat sebagai budaya nasional. Kebudayaan tradisional dengan kecenderungan
sifat kedaerahannya disadari Njoto memerlukan “jembatan” agar bisa menjadi
milik seluruh elemen bangsa Indonesia yang heterogen.

219
Ibid.
220
Njoto, Me apis ja g la a, elahi ka ja g a u kesa da i ala kese ia Ko g es PKI
dalam Harian Rakjat 12 Mei 1962.
221
Ibid.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


82

Wacana kebudayaan yang diusung Njoto ini berkorelasi dengan gagasan


organisasi kebudayaan seperti Lekra (tempatnya terlibat langsung dalam dunia
budaya) dan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN, sebuah lembaga kebudayaan
yang berafiliasi dengan PNI)222 juga dengan Presiden Soekarno. Presiden
Soekarno misalnya sering mensponsori kesenian daerah yang “dimodernkan”
untuk tampil di panggung acara-acara kenegaraan atau untuk misi-misi
kebudayaan ke luar negeri. Lekra dan LKN mengaktualisasikan modernitas itu
dengan menyisipkan anasir yang mereka sebut “progresif” dan “revolusioner”
dalam pertunjukan wayang, ludruk, hingga musik keroncong. Lekra secara khusus
memang memiliki antusiasme besar pada kesenian-kesenian daerah sekaligus juga
mendorong eksperimentasi terhadap bentuk kesenian baru. Bagi Lekra berbagai
bentuk budaya, tradisional maupun modern, bisa dikembangkan secara bersama
dengan fokus pada sikap antielitisme dan antifeodalisme. Suatu sikap yang juga
paralel dengan afiliasi mereka dengan PKI.223
Pada bab sebelumnya telah penulis jelaskan pendirian PKI tentang sumber
kerudinan masyarakat Indonesia, yaitu imperialisme dan feodalisme. Pendirian ini
memengaruhi pula organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PKI, termasuk
Lekra. Kecenderungan ini bukan suatu kebetulan mengingat Njoto, pejabat wakil
ketua II CC PKI dan ketua Departemen Agitasi dan Propaganda PKI, adalah salah
satu tokoh pendiri dan pengurus Lekra. Karena itu penulis menilai penting untuk
mendalami lebih lanjut sikap Njoto terhadap kebudayaan asing yang berasal dari

222
Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) adalah sebuah lembaga kebudayaan yang digagas oleh
PNI dan resmi pada 1959. LKN digagas oleh PNI sebagai realisasi resolusi Desember 1958
untuk menunjukkan komitmen PNI dalam pengembangan kebudayaan. LKN diketuai oleh
penyair senior Sitor Situmorang. Kongres pertama LKN yang diselenggarakan di Solo pada
1959 dihadiri oleh 150 peserta yang terbagi dalam 21 delegasi provinsi. Hal itu menunjukkan
bahwa LKN telah memiliki basis massa yang cukup kuat dan merata. Berkelindan dengan
afiliasinya dengan PNI, LKN memang wadah yang dibentuk untuk melaksanakan gagasan-
gagasan kebudayaan PNI. LKN semakin nyata sebagai pendukung gagasan kebudayaan
Presiden Sukarno ketika dalam pertemuan nasionalnya pada Agustus 1964 LKN berkomitmen
u tuk elaksa aka ga is esa Bu g Ka o di ida g ke udajaa . LKN e efleksika
semangat Marhaenisme dalam setiap ekspresi seni dan budayanya. Semangat Marhaenisme
itu diadopsi dalam berbagai konteks, tetapi terutama LKN berfokus pada aspek pentingnya
asio alis e da pe jua ga ak at. Le ih detil lihat I N o a Da a Put a, Mulai
berbentuk; Budaya dan nasionalisme di Bali 1959— dala Li dsa da Lie , Op.cit., h.
351-355.
223
Ibid., h. 18-20.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


83

dunia Barat. Begitu juga pandangannya tentang feodalisme yang bagaimanapun


juga sering dilekatkan pada kebudayaan tradisional di Indonesia.
Terhadap budaya Barat dia cenderung mengambil jarak tetapi tidak serta-
merta menolak. Sebagai kader PKI Njoto jelas antiimperialisme dan
antifeodalisme. Dalam forum Konferensi Nasional Lekra di Bali pada Februari
1962, Njoto menegaskan “... siapa musuh kita dewasa ini? ... Mereka adalah
imperialisme dan feodalisme.”224 Tentang kedua entitas ini Njoto, sebagai seorang
komunis, tidak memiliki pilihan lain. Tetapi dalam kuliah umum yang
disampaikannya di hadapan Universitas Kesenian Rakyat (Unsera) Bandung pada
November tahun yang sama memberikan penjelasan lebih lanjut. Njoto dengan
berpedoman kepada UUD 1945 dan Pancasila menjelaskan:
“Kebudajaan nasional –ini tentu sadja tidak berarti dan tidak boleh berarti penolakan
terhadap segala jg datang dari mantjanegara. Jang datang dari luarnegeri, jang asing.
Pendjelasan resmi UUD ’45 berbunji: ‘Usaha kebudajaan harus menudju kearah
kemadjuan adab, budaja dan persatuan, dengan tidak menolak bahan2 baru dari
kebudajaan asing jang dapat memperkembangkannja atau memperkaja kebudajaan bangsa
sendiri, serta mempertinggi deradjat kemanusiaan bangsa Indonesia’.
Demikianpun kalau kita bitjarakan sifat kerakjatan dari kebudajaan nasional kita –
Kerakjatan adalah salahsatu sila Pantjasila- ia tidak berarti dan tidak boleh berarti
penolakan terhadap segala jang lahirnja dalam zaman feodalisme dan kapitalisme. Untuk
menjata setjara sederhana, kebudajaan nasional Rakjat Indonesia bersifat menapis atau
menampi.
Perkataan Lord Russel ‘revolution rejects yesterday’ hanja benar apabila ia berarti
menolak jg negatif dari harikemarin. Begitu mutlak2an, menolak segala dari harikemarin,
termasuk hal2nja jang positif, begitu pernjataan itu mendjadi reaksioner. ...”225

Dalam pernyataan tersebut jelas bahwa masukan unsur asing bisa diterima
dalam pengertian unsur tersebut memberi dampak secara positif bagi kebudayaan
indonesia. Pernyataan ini membawa konsekuensi bahwa Njoto menengarai suatu
sisi negatif yang juga bisa datang dari kebudayaan asing. Dalam konteks
pembicaraan ini rujukannya jelas kepada imperialisme. Dalam pengertian lain,
agaknya yang dimaksud oleh Njoto adalah sifat hegemonistis budaya asing, suatu
kekhawatiran akan imperialisme dalam kebudayaan. Hal semacam ini tercermin
dari pandangan Njoto yang selalu sinis terhadap bentuk-bentuk budaya populer
Belanda dan Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia. Terkait dengan kedua
negara ini Njoto adalah seorang pengkritik yang keras. Bahkan dia tidak segan-

224
Njoto, Ideologi adalah adja , dala Harian Rakjat 17 Maret 1962, h. III.
225
Njoto, Ja g e ihak e olusi dididik tjepat oleh e olusi , dala Harian Rakjat 3 November
1962, h. III.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


84

segan menyebut penetrasi itu sebagai invasi. Dalam lanjutan pidatonya di Unsera
itu Njoto menyerang dengan tajam:
“KMB djuga menempatkan kehidupan kebudajaan dibawah udara jang berat, lesu. ...
Konglomerat atau tjampur baurnja konservatisme Masjumi, kosmopolitanisme PSI dan
kruideniersgeest Belanda ... achirnja ber-sama2 mendjalankan ‘opendeur-politiek’
kebudajaan, dan maka menjusuplah dengan gaja invasi a la Mac Arthur –‘kebudajaan’
Amerika, the American way of life’.
... Saja teringat akan sadjak Samuel Marsjak, ‘Jatimpiatu dari Kansas’, dimana dilukiskan
seorang anak Amerika, karena pengaruh film2 dan siaran2 televisi Amerika, achirnja
menembak dengan pistol ajahnja sendiri, kemudian ibunja. Histeri matjam ini djuga
terdjadi disini, sekalipun belum dalam taraf jang setinggi itu. Tetapi haruskah kita
bertopangdagu? ...
... kita banjak bitjara tentang kepribadian nasional, kepribadian Indonesia –kenapa harus
berorientasi ke Amerika, ‘dunia baru’ jang sudah mendjadi tua itu?”226

Sikap keras Njoto yang demikian itu juga ditujukan kepada unsur negatif
feodalisme. Njoto mempertajam pemikirannya itu dengan memerinci unsur-unsur
tertentu yang harus ditolak dari feodalisme. Dalam forum Konferensi Nasional
Lekra di Bali pada Februari 1962 Njoto menyatakan:
“... Sudah tentu, jang kita hadapi bukannja adatistiadat kuno sebagai suatu keutuhan,
melainkan segi2 negatif daripadanja, terutama segi2 jang menjelubungi hakekat
feodalisme, seperti monopoli tuantanah atas tanah, sistim sewatanah, rodi, pologoro, dsb.
...”227

Jadi, menurutnya yang harus ditolak dari kebudayaan lama yang berasal dari masa
feodal adalah unsur penindasannya. Menurut Njoto selubung feodal itu membuat
kebudayaan tradisional menjadi kurang berkembang. Dia memang mengakui
bahwa kebudayaan tradisional telah mencapai suatu tingkatan estetis yang positif,
tetapi karena selubung feodal itu ia menjadi elitis. Padahal menurutnya
kebudayaan tradisional seharusnya dikembangkan secara lebih inklusif dan
merakyat. Njoto menjelaskan bahwa:
“...Kebudajaan dalam artian lama memang sudah mentjapai puntjak2nja jang tertentu.
Kita tengok sadjalah kesusastraan lama kita, dalam bahasa Indonesia maupun dalam
bahasa2 daerah. Tetapi kebudajaan dalam artian lama ini sudah terlalu lama berdjalan
sendiri, terpisah dari djalan Rakjat. Sebaliknja, pada massa Rakjat aktivitet kebudajaan
selalu berlangsung, ... Tetapi aktivitet massa ini sukar mentjapai puntjak2 ketinggian,
dikarenakan sebab jang jelas, jaitu bahwa sistim penindasan masjarakat merampas dari
massa Rakjat itu kemungkinan melahirkan setjara wadjar pudjangga2nja sendiri. ..” 228

Jadi, satu lagi ekses feodalisme yang ditolaknya adalah unsur elitisme. Pernyataan
ini juga menjelaskan fondasi keberpihakannya kepada “seni rakyat”, seni yang

226
Ibid.
227
Njoto, Ideologi... , Loc.cit.
228
Ibid.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


85

berkembang dalam masyarakat akar rumput. Menurut Njoto seni rakyat inilah
yang mesti dikembangkan lebih lanjut dalam alam Indonesia merdeka. Seni rakyat
dikembangkan untuk mendorong “kemungkinan melahirkan setjara wadjar
pudjangga2nja sendiri.” Jadi, bukan lagi masanya hanya berpijak pada patron-
patron tradisional yang identik dengan eksklusivitas keraton.

5.3. Peran Seniman Dalam Revolusi


Pada Maret 1952, dalam tulisan kenangannya tentang komponis Ludwig
von Beethoven, Njoto menulis:
“Beethoven adalah tjontoh jg se-besar2nja tentang keharusan berfihak bagi
seniman. Ketika petjah revolusi besar Perantjis, Beethoven menjambutnja dengan
antusiasme jang luarbiasa. ‘Ia mentjintai azas2 republik’, tulis Schindler, salah seorang
temannja jang karib, dan menurut von Seyfried, Beethoven gemar membitjarakan soal2
politik dalam lingkungan2 jang ketjil, dan ia mengemukakan pandangan2nja jang
tepat. Beethoven adalah pendjundjungtinggi tjita2 kebebasan dan kemeredekaan
nasional.
Keterangan tentang ini tidaklah sukar. Dalam salah sebuah suratnja kepada Hertog
Rudolf, Beethoven menjatakan: ‘Kemerdekaan dan kemadjuan adalah tudjuan
kesenian, seperti halnja jang dua itu adalah tudjuan seluruh kehidupan’. 229

Di sini Njoto memperkenalkan Beethoven yang lain, Beethoven yang ikut


bersinggungan dengan revolusi. Lain dari yang umum dikenangkan orang tentang
Beethoven sebagai komponis besar dunia. Dalam tulisannya yang lain mengenang
jasa-jasa W.R. Supatman, Njoto mengingat sosok sang komponis itu sebagai
patriot. Hari-hari itu orang barangkali cukup mengenal W.R. Supratman sebagai
penggubah lagu Indonesia Raya, tetapi “Kurang dia dikenal sebagai wartawan
(‘Kaoem Moeda’, ‘Alpena’, ‘Sin Po’), dan paling tidak dikenal dia adalah sebagai
pengarang roman.”230 Sekali itu dia juga berkomentar tentang lagu-lagu karya
W.R. Supratman yang menggelorakan kecintaan kepada perjuangan kemerdekaan.
Karena itulah Njoto menandaskan, “Supratman adalah benar2 teladan bagi kita:
bahwa seniman itu sesungguhnja mahluk sosial, dan makaitu mempunjai tugas2
sosial, ja, bahkan tugas2 politik terhadap Tanahairnja.”231
Segera terbaca sinyalemen yang tegas dari Njoto bahwa seniman sebagai
bagian dari masyarakat tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari gerak

229
Njoto, Tahu J.L. Beetho e Me i ggal , Harian Rakjat 22 September 1952, h. III.
230
Njoto, W.‘. “up at a Agustus — Agustus , Harian Rakjat 23 Agustus 1958,
h. III.
231
Ibid.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


86

lingkungannya. Begitulah Njoto menekankan pentingnya seniman ikut berjuang


dengan karyanya. “Kita tentu harus memberikan sumbangan jang lebih banjak,
lebih baik dan lebih berguna lagi kepada kebudajaan kita, kepada Rakjat kita,
kepada Revolusi kita. ...” ujar Njoto.232 Tentang ini secara samar terlihat bahwa
ideologi juga menjadi inspirasi bagi elan perjuangan itu. Secara lebih jelas
inspirasi ideologi itu pernah disampaikannya di hadapan seniman dan budayawan
dalam Kongres Nasional Lekra I di Solo pada 1959. Dengan menyitir ujaran Karl
Marx, Njoto menandaskan:
“Karl Marx pernah mengatakan bahwa tugas filsafat jang sesungguhnja adalah bukan
hanja menafsirkan dunia, tetapi merombak dunia. Saja kira kita harus membuat variasi
atas pesan jang arif ini. Tugas kebudajaan Rakjat adalah bukan hanja mentjerminkan
dunia atau menafsirkan dunia, tetapi merombak dunia.”233

Di akhir pidatonya di hadapan Kongres Nasional Lekra itu, Njoto


menjelaskan relevansi perjuangan pekerja budaya di alam Indonesia merdeka. Dia
menjelaskan bahwa dalam perjalanan sejarah Indonesia sejak proklamasi hingga
dewasa itu gelombang revolusi senantiasa dinamis. Ada masanya perjuangan
revolusioner itu meninggi, pun di saat lain elan perjuangan itu kendur. Di tengah
dinamika itu setiap pekerja budaya mesti menjaga kesetiaannya kepada revolusi
Agustus 1945. Karena menurutnya cita-cita revolusi Indonesia belum tercapai
benar. Itulah tujuan perjuangan yang juga mesti disadari oleh para seniman,
budayawan, dan intelektual Lekra. “Dan penjelesaian tuntutan2 Revolusi Agustus
sampai ke-akar2-nja adalah tugas utama kita, jang harus kita tempatkan diatas
segala hal lainnja,” demikian Njoto.234
Lalu bagaimana para pekerja budaya berpartisipasi dalam penyelesaian
tuntutan-tuntutan revolusi itu? Hal pertama yang diserukan Njoto adalah dengan
menjadikan diri sebagai manusia pembelajar.
“... Kita harus selalu beladjar sebagai seorang murid ketjil, dengan rendahhati beladjar
dari mereka2 jang mendahului kita, beladjar dari sahabat2 diluarnegeri, dan jang
terpenting beladjar selalu dari massa, berguru kepada massa.”235

Berguru kepada massa adalah suatu pedoman penting menurut Njoto, karena
dengan memahami massa rakyat pekerja budaya dapat menghasilkan sesuatu yang

232
Njoto, Pidato Njoto e uka Pa e a , Harian Rakjat 14 September 1959, h. III.
233
Ibid.
234
Ibid., h. IV.
235
Ibid., h. III.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


87

tepat guna. Njoto mengingatkan bahwa, “... kita tidak mungkin bekerdja lebih
banjak, lebih baik dan lebih berguna, djika kita tidak tahu apa jang diperlukan, apa
jang baik dan apa jang berguna bagi Rakjat dan Revolusi kita.”236
Apa yang dipikirkan Njoto tersebut sejajar dengan metode kerja yang
ditelurkan Kongres Nasional I Lekra, yaitu metode “turun ke bawah” atau turba.
Metode ini adalah cara yang dianjurkan oleh kongres bagi seniman dalam
menggali inspirasi berkarya. Dengan metode ini seniman menjadi tidak berjarak
dengan rakyat dan memperoleh pemahaman yang tepat atas kondisi aktual
masyarakatnya. Bagi Lekra inspirasi berkarya memang tidak bisa didapat hanya
dari angan individual atau teori-teori dari buku. Kemudian untuk memudahkan
pelaksanaan turba tersebut, pimpinan Lekra menjabarkan konsep “tiga sama”,
yaitu: bekerja bersama, makan bersama, dan tidur bersama.237
Hubungan seniman dan massa rakyat ini menurut Njoto pada akhirnya
akan berjalan sebagai hubungan timbal-balik. Di suatu waktu Rakyat dan
kehidupannya menjadi inspirasi seniman dalam berkarya, tetapi di waktu lainnya
karya seniman justru bisa menjadi inspirasi gerakan rakyat. Menurut Njoto,
“Demikianlah hubungan dialektik antara gerakan massa dan pekerdjaan
seniman.”238 Karena itu, hubungan baik si antara keduanya perlu dijaga dengan
baik. Njoto mengingatkan bahwa peran pekerja budaya dalam hubungannya
dengan massa rakyat harus diletakkan secara semestinya sebagai “murid kecil”.
“... Kita melantjarkan gerakan turun kebawah tidak dan tidak pernah untuk
menggurui massa,” tegas Njoto.239
Tugas selanjutnya dari pekerja budaya adalah dengan gerakan pembaruan
dan peningkatan derajat kebudayaan tradisional Indonesia. Pada bagian
sebelumnya telah penulis jelaskan bahwa inisiatif untuk melahirkan bentuk
ekspresi budaya Indonesia yang baru telah berjalan. Seperti yang dikemukakan
Njoto tentang inisiatif dalam seni musik oleh Cornel Simandjuntak dan Amir
Pasaribu. Tetapi, “... Usaha kita dalam hal ini tidak bisa dikatakan sudah

236
Ibid.
237
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap
Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950—1965, (Yogyakarta: Merakesumba, 2008), h. 31-32.
238
Njoto, Ideologi... , Loc.cit.
239
Ibid.,

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


88

memadai, dan iapun tidak selamanja berhasil.”240 Apa pasal? Dalam pandangan
Njoto hal ini terjadi karena masih ada seniman yang mengejar kebaruan tetapi
tidak mengindahkan nilainya. Njoto menjelaskan:
“... Dalam hal ini masih sadja ada kawan jang mengira bahwa ‘baru asal baru’ –sudah
tjukup. Padahal, apa artinja jang baru djika jang baru itu tidak tepat. Dan seperti dikatakan
oleh Friedrich Engels: jang baru itu tidak ada artinja, djika ia tidak lebih baik daripada
jang lama. Baiklah kita ingat, bahwa ‘Mukadimah’ kita tidak hanja berbitjara entang ‘jang
baru’, tetapi ‘jang baru dan madju. ...”241

Dalam menghadapi hal ini Njoto menekankan kembali prinsip utama yang
seharusnya dipegang oleh para pekerja budaya. “... Sjarat itu jalah: pemahaman
atas hukum gerak masyarakat, hukum perkembangan masjarakat, jang berlaku
objektif tidak tergantung dari kemauan kita,” terang Njoto.242 Agaknya yang
dimaksud oleh Njoto dalam hal ini adalah kontekstualisasi pekerjaan seni dan
budaya dengan dinamika kekinian masyarakat. Jelasnya adalah kebaruan dalam
esensi karya yang bersesuaian dengan jiwa zaman itu. “Demikianpun karja2 jang
lahir dari kita haruslah ikrar suatu zaman, ikrar zaman kita sendiri,” demikian
Njoto.243
Pada titik ini telah terbaca bagaimana seniman dan budayawan dapat
membaktikan dirinya bagi negara dan rakyatnya. Dalam hal ini Njoto secara
tersirat menunjukkan tidak ada beda atau sekat antara pekerjaan berkarya dan
berjuang. Keduanya berjalan berkelindan. Tetapi asas atau fundamen apa yang
akan menjadi sentral keseluruhan gerakan itu. Apa yang menjadi pertautan antara
kekaryaan dan perjuangan kerakyatan? Dalam soal ini Njoto telah memiliki
jawaban yang pasti yang diejawantahkan melalui jargon kolosal “politik sebagai
panglima”. Jargon inilah yang didorongnya agar menjadi pembimbing bagi
gerakan kebudayaan, terutama bagi seniman dan budayawan Lekra. Njoto
menyatakan dalam pidatonya di hadapan Kongres Nasional I Lekra sebagai
berikut:
“... Tepat benar jang dinjatakan oleh Laporan Umum bahwa politik tanpa kebudajaan
masih bisa djalan, tetapi kebudajaan tanpa politik tidak bisa samasekali. Kita harus
bersembojan: Politik adalah panglima. Dalam segala kegiatan kita sembojan kita
haruslah ‘politik adalah panglima”. 244

240
Njoto, Pidato... , Loc.cit., h. III
241
Ibid., h. IV.
242
Ibid., h. III.
243
Ibid.
244
Ibid., h. III.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


89

Pernyataan ini, sebagaimana anjuran-anjuran untuk mengabdikan kekaryaan bagi


rakyat dan negara, semestinya dilihat pula sebagai sebuah pernyataan zaman.
Ketika kongres digelar, iklim politik Indonesia sedang meninggi. Presiden
Sukarno tengah menguatkan kembali kekuatan politiknya. Di sisi lain sistem
Demokrasi Parlementer mulai kehilangan legitimasinya. Konstituante terjebak
dalam kemacetan dalam merundingkan dasar negara Indonesia. Angkatan Darat,
bersamaan dengan ditetapkannya status negara dalam keadaan darurat pun mulai
menguat peran politiknya. Terlebih lagi Angkatan Darat mendukung penuh
konsepsi Presiden Sukarno tentang Demokrasi Terpimpin. Dalam konstelasi
seperti ini pernyataan Njoto tersebut terkesan sebagai sebuah peringatan.
“Sekali lagi kawan2, politik itu penting sekali. Djika kita menghindarinja, kita akan
digilas mati olehnja. Oleh sebab itu dalam hal apapun dan kapan sadjapun, politik harus
menuntun segala kegiatan kita: Politik adalah Panglima!”245

245
Ibid.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


90

KESIMPULAN

Njoto berasal dari keluarga yang berkecukupan secara ekonomi tetapi


dekat dengan dunia pergerakan. Sosok ayah dan pola asuhnya memberikan warna
khas dalam pribadi Njoto. Keterlibatan ayahnya dalam dunia pergerakan secara
tidak langsung membuatnya akrab dengan politik sejak belia. Sejak remaja,
seiring dengan pendidikannya yang baik dan interaksinya yang kian luas,
membawanya kepada dunia pergerakan yang sebenarnya. Kedekatannya dengan
buku menjadikannya seorang otodidak Marxisme. Kemahiran dan intensinya pada
kesenian dan literasi menjadikannya seorang komunis yang luwes.
Semua endapan karakter itu terasah dan matang dalam iklim pendudukan
Jepang dan revolusi kemerdekaan yang penuh gejolak. Njoto adalah tipikal
generasi ‘pemuda’ yang dimatangkan oleh zaman itu. Dia lebih dahulu
mengidentifikasikan dirinya kepada politik revolusi baru kemudian dengan
komunisme. Jiwa dan wawasan komunisnya terasah oleh politik. Hal inilah cikal
dari seluruh pandangan dunianya ketika perannya dalam gelanggang politik
nasional kian menanjak. Jadi, dalam mendekati pribadi Njoto dan pemikirannya
hal pertama yang mesti disadari bahwa dia adalah seorang politikus, baru
kemudian komunis. Karena itu, pola penghayatannya terhadap komunisme
pertama adalah melalui politik. Sebagai tipikal ‘pemuda’ masa revolusi Njoto
menemukan komunisme itu sebagai jalan atau wadah bagi determinasi politiknya.
Secara umum, dalam kesimpulan penulis Njoto cukup berhasil menerakan elan
politik komunisme dalam aktivitasnya.
Dalam bidang politik, pertama kali Njoto menghayatinya sebagai jalan
pembebasan rakyat dari kerudinan keadaan. Dia telah melihat sendiri kondisi
masyarakatnya dari dekat dan dari itu menyadari politik sebagai jalan keluarnya.
Pilihan yang wajar sebenarnya, mengingat komunisme pada dasarnya adalah
sebuah gerakan politik. Melalui tulisan-tulisannya ia menyuarakan perjuangan
kerakyatan dengan memakai khazanah komunisme. Njoto dapat leluasa

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


91

menyitesakan gagasan sebagai respon dari kondisi aktual lingkungannya karena


dia tidak terkungkung dalam penghayatan filosofis yang kejur.
Dari pemikiran politiknya yang telah dijabarkan pada bab 2 terlihat Njoto
adalah seorang pragmatis, dalam pengertian dia menyadari pula situasi dan
kondisi aktual Indonesia. Jadi, cara-cara komunisme itu tidak hadir dalam
bentuknya yang paling murni. Komunisme itu hadir dalam adaptasinya dengan
alam Indonesia. Dia juga tidak melepaskan diri dari pengaruh pemikiran induk
partainya, PKI. Pada titik ini terlihat Njoto bukanlah seorang pemikir yang
berdisiplin. Dia cenderung menyerap gagasan-gagasan yang telah ada untuk
kemudian diartikulasikan dengan bahasanya sendiri. Karena itu tidak ada
kebaruan yang khusus atau dogmatisme dalam pemikiran politiknya. Kekuatannya
adalah pada kemampuannya membumikan suatu gagasan yang ia serap dan
mengelaborasinya.
Gagasan-gagasannya dalam bidang kebudayaan dan pers adalah perluasan
dari politiknya. Tema sentral adalah tetap, pembebasan rakyat. Gagasannya
terarah kepada bagaimana kebudayaan dan pers mengambil perannya dalam
usaha-usaha mengatasi kesukaran yang merundung masyarakat Indonesia. Dalam
bidang kebudayaan dia memikirkan suatu penguatan identitas budaya nasional
yang tidak terjebak dalam kebekuan tradisi dan tidak mengekor kepada
modernitas asing. Dia berjarak dengan budaya asing dalam bentuknya sebagai
imperialisme. Karena itu dia mudah menerima dan menikmati budaya Barat,
terutama dari negeri-negeri komunis, tetapi di saat yang bersamaan begitu antipati
terhadap Amerika Serikat dan Belanda.
Sementara dalam bidang pers intensinya terletak pada usaha membangun
pers komunis yang solid dan mampu mendukung gerakan politik massa. Njoto
mengahayati pers dan bidang publisistik umumnya sebagai salah satu metode
diseminasi semangat dan wawasan gerakan komunis. Berbeda dengan
pemikirannya tentang politik-ideologi dan budaya yang cenderung luwes, dalam
pemikirannya tentang pers Njoto bersikap ketat. Skripsi ini tidak mengukur
seberapa ketat praktiknya dalam kenyataan, tetapi hal itu tampak dari rumusan-
rumusannya yang tajam tentang bagaimana pers komunis dibangun dan bergerak.
Dia tegas berkomitmen kepada asas berpihak tanpa suatu penyangkalan. Tetapi

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


92

sayang sekali, sejauh yang dapat penulis lacak Njoto tidak cukup menjelaskan
tentang ketidakhirauannya terhadap prinsip independensi dan kebebasan pers.
Agaknya, Njoto berkesimpulan bahwa selama pers telah mampu memenuhi tugas-
tugasnya menurut rumusan komunisme hal itu sudah cukup. Di sinilah sekali lagi
politik sangat berpengaruh kepada gagasannya.
Njoto cukup mampu memadukan ketiga ranah aktivitasnya itu ke dalam
satu gerakan yang utuh. Sekali lagi aktivitas utamanya adalah politik. Pemikiran-
pemikirannya dalam ranah kebudayaan dan pers diarahkan untuk menunjang
tujuan-tujuan politik. Hal itu terihat dari idenya tentang bagaimana seniman atau
budayawan mengabdikan kekaryaannya bagi tujuan gerakan kerakyatan. Pun
demikian dengan pemikirannya dalam bidang publisistik yang memang sejak awal
dipandang sebagai media penyokong gerakan.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


93

DAFTAR PUSTAKA

Media Massa:
Harian Rakjat:
30 April 1952
16 Agustus 1952
22 September 1952
16 Januari 1954
25 Februari 1954
12 April 1954
25 September 1954
8 Oktober 1954
13 Oktober 1954
6 Februari 1956
27 September 1956
1 Februari 1958
23 Agustus 1958
14 September 1959
13 Juli 1961
17 Maret 1962
12 Mei 1962
5 Juli 1962
3 November 1962
7 Mei 1963

Bintang Merah:
September-Oktober 1953
November-Desember 1955

Buku:
1958. Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid III.
Bandung: tanpa penerbit.

Agung, Leo. 2013. Sejarah Intelektual. Yogyakarta: Ombak.

Aidit, Murad. 2005. Aidit Sang Legenda. Jakarta: Panta Rei.

Aleida, Martin. 2013. Langit Pertama Langit Kedua: Cerita Pendek, Catatan
Perjalanan, Esei, Kritik, Perdebatan. Tanpa kota terbit: Nalar.

Anderson, Benedict. 1972. Java In Time of Revolution: Occupation and


Resistance 1944—1946. Ithaca: Cornell University Press.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


94

Anwar, Yozar. 1982. Protes Kaum Muda!. Jakarta: PT Variasi Jaya-Kartini


Group.

Brackman, Arnold C. 1963. Indonesian Communism: A History. London:


Frederick A. Preager Inc.

_____. 2000. Cornell Paper: Di Balik Kolapsnya PKI. (Fauzi Absal, penerjemah).
Yogyakarta: elstReba.

Compton, Boyd R.. 1993. Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia Boyd
R. Compton. (Hamid Basyaib, penerjemah dan editor). Jakarta: LP3ES.

Dewan Redaksi Bintang Merah. 1963. Madju Terus!: Dokumen-dokumen Kongres


Nasional ke-VII (Luarbiasa) Partai Komunis Indonesia. Jakarta: Yayasan
Pembaruan.

Dewanto, Nugroho (ed.). 2011. Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Feith, Herbert. 1999. Pemilihan Umum 1955 Di Indonesia. (Nugroho


Katjasungkana dkk, penerjemah). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

_____. 2007. The Decline Of Constitutional Democracy In Indonesia. Singapura:


Equinox Publishing.

Gazali, Zulfikar. 1996. Terminologi Sejarah 1945—1950 dan 1950—1959.


Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan dan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa.


(Aswab Mahasin, penerjemah). Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial dan
Pustaka Jaya.

Harsono, Ganis. 1989. Cakrawala Politik Era Sukarno. Jakarta: CV Haji


Masagung.

Jones, Tod. 2015. Kebudayaan dan Kekuasaan Di Indonesia: Kebijakan Budaya


Selama Abad Ke-20 Hingga Era Reformasi. (, penerjemah). Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta.

Kahin, George McTurnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi Di Indonesia:


Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik. (Nin Bakdi Soemanto,
penerjemah). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan UNS Press.

Kakiailatu, Toeti. 1997. B.M. Diah: Wartawan Serba Bisa. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


95

Kasenda, Peter. 2014. Soekarno, Marxisme dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri
dan Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Koentjaraningrat. 2015. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

Koesworo, FX., Margantoro, J.B., Viko, Ronnie S. 1994. Di Balik Tugas Kuli
Tinta. Surakarta-Yogyakarta: Sebelas Maret University Press dan Yayasan
Pustaka Nusatama.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lapian, A.B. dkk. 1996. Terminologi Sejarah 1945—1950 & 1950—1959.


Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Latif, Busjarie. 2014. Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI (1920—1965). Bandung:


Ultimus.

Legge, John D. 1985. Sukarno: Sebuah Biografi Politik. (Tim Penerbit Sinar
Harapan, penerjemah). Jakarta: Sinar Harapan.

Lindsay, Jennifer dan Liem, Maya H.T. (ed.). 2011. Ahli Waris Budaya Dunia:
Menjadi Indonesia 1950—1965. Denpasar-Jakarta: Pustaka Larasan dan
KITLV-Jakarta.

Moeljanto, D.S. dan Ismail, Taufiq. 1995. Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif
Lekra/PKI dkk. (Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah). Bandung:
Mizan bekerjasama dengan HU Republika.

Mortimer, Rex. 2011. Indonesian Communism Under Sukarno: Ideologi dan


Politik 1959—1965. (Yudi Santoso, penerjemah). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Nasution, Adnan Buyung. 2001. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di


Indonesia: Studi Sosio-Legal Atas Konstituante 1956—1959. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.

Njoto. 1958. Pers dan Massa. Jakarta: NV Rakjat.

______. 2003. Marxisme: Ilmu dan Amalnya. Jakarta: Teplok Press.

Noer, Deliar dan Akbarsyah. 2005. KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat,
Parlemen Indonesia 1945—1950. Jakarta: Yayasan Risalah.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


96

Nordholt, Henk Schulte, Purwanto, Bambang, dan Saptari, Ratna (ed.). 2008.
Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta dan Denpasar:
Yayasan Obor Indonesia, KITLV, Pustaka Larasan.

Ohorella, G.A. dan Gunawan, Restu. 2001. Sejarah Lokal: Peranan Rakyat
Besuki (Jawa Timur) Pada Masa Perang Kemerdekaan 1945—1950.
Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan
Nasional.

Onghokham. 2009. Sukarno, Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965. Depok:
Komunitas Bambu

Panitia Peringatan 70 Tahun Wilopo. 1979. Wilopo 70 Tahun. Jakarta: Gunung


Agung.

Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. 1982. Hidup Itu Berjuang: Kasman


Singadimedjo 75 Tahun. Jakarta: Bulan Bintang.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. 2008. Sejarah


Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.

Poeze, Harry A.. 2011. Madiun 1948: PKI Bergerak. (Hersri Setiawan,
penerjemah). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, KITLV.

Pusat Pendidikan Kehakiman. 1967. G-30-S Di Hadapan Mahmillub Di Djakarta


II, Perkara Dr. Subandrio. Jakarta: Pembimbing Masa.

Ricklefs, M.C.. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200—2004. (Satrio Wahono


dkk., penerjemah). Yogyakarta: Serambi.

Saelan, Maulwi. 2001. Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66: Kesaksian Wakil
Komandan Tjakrabirawa. Jakarta: Yayasan Hak Bangsa.

Said, Tribuana dan Moeljanto, D.S. 1983. Perlawanan Pers Indonesia (BPS)
Terhadap Gerakan PKI. Jakarta: Sinar Harapan.

Siauw Tiong Djin. 1999. Siauw Giok Tjhan: Riwayat Perjuangan Seorang Patriot
Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika.
Jakarta: Hasta Mitra.

Smith, Edward C. 1983. Sejarah Pembreidelan Pers Di Indonesia.


(Atmakusumah dkk., penerjemah). Jakarta: Grafiti Pers.

Soedjatmoko. 1988. Etika Pembebasan: Pilihan Karangan Tentang Agama,


Kebudayaan, Sejarah, dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


97

Soe Hok Gie. 2005. Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan: Kisah


Pemberontakan Madiun September 1948. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya.

Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Dahlan, Muhidin M.. 2008. Lekra Tak Membakar
Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950—1965.
Yogyakarta: Merakesumba.

Zuhri, Saifuddin. 1987. Berangkat dari Pesantren. Jakarta: Gunung Agung.

Zulkifli, Arif dan Hidayat, Bagja (ed.). 2010. Njoto: Peniup Saksofon Di Tengah
Prahara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan
Majalah Tempo.

Zulkifli, Arif dkk (ed.). 2014. Lekra dan Geger 1965. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.

Karya Akademis Tidak Diterbitkan:


Ismail, Yahaya. 1970. Politik Adalah Panglima: Konsep Budaya dan Sastra Lekra
(Sebuah Tinjauan Aspek Sosio-Budaya). Jakarta: Skripsi tidak diterbitkan.

Jurnal dan Artikel Majalah:


Leclerc, Jacques. 1982. “Aidit dan Partai Pada Tahun 1950” dalam Prisma no. 7,
hlm. 61-79.

Nordholt, Henk Schulte. 2011. “Indonesia In the 1950s: Nation, Modernity, and
the Post –colonial State” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde, Vol. 167, No. 4, hlm. 386.

Rosidi, Ajip. 2014. “Lekra Bagian Dari PKI” dalam Horison tahun XLVIII, No. 2,
hlm. 32-36.

Soerjono. 1980. “On Musso’s Return” dalam Indonesia, No. 29, hlm. 59-90.

Artikel Maya:
Susanti, Fransisca Ria. “Tentang Perempuan Yang Tak Pernah Menangis:
Obituari RA Soetarni Soemosoetargijo,”
http://indoprogress.com/2014/09/tentang-perempuan-yang-tak-pernah-menangis-
obituari-ra-soetarni-soemosoetargijo. diakses pada 1 Oktober 2015.

DAFTAR PUSTAKA

Media Massa:

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


98

Harian Rakjat:
30 April 1952
16 Agustus 1952
22 September 1952
16 Januari 1954
25 Februari 1954
12 April 1954
25 September 1954
8 Oktober 1954
13 Oktober 1954
6 Februari 1956
27 September 1956
1 Februari 1958
23 Agustus 1958
14 September 1959
13 Juli 1961
17 Maret 1962
12 Mei 1962
5 Juli 1962
3 November 1962
7 Mei 1963

Bintang Merah:
September-Oktober 1953
November-Desember 1955

Buku:
1958. Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid III.
Bandung: tanpa penerbit.

Agung, Leo. 2013. Sejarah Intelektual. Yogyakarta: Ombak.

Aidit, Murad. 2005. Aidit Sang Legenda. Jakarta: Panta Rei.

Aleida, Martin. 2013. Langit Pertama Langit Kedua: Cerita Pendek, Catatan
Perjalanan, Esei, Kritik, Perdebatan. Tanpa kota terbit: Nalar.

Anderson, Benedict. 1972. Java In Time of Revolution: Occupation and


Resistance 1944—1946. Ithaca: Cornell University Press.

Anwar, Yozar. 1982. Protes Kaum Muda!. Jakarta: PT Variasi Jaya-Kartini


Group.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


99

Brackman, Arnold C. 1963. Indonesian Communism: A History. London:


Frederick A. Preager Inc.

_____. 2000. Cornell Paper: Di Balik Kolapsnya PKI. (Fauzi Absal, penerjemah).
Yogyakarta: elstReba.

Compton, Boyd R.. 1993. Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia Boyd
R. Compton. (Hamid Basyaib, penerjemah dan editor). Jakarta: LP3ES.

Dewan Redaksi Bintang Merah. 1963. Madju Terus!: Dokumen-dokumen Kongres


Nasional ke-VII (Luarbiasa) Partai Komunis Indonesia. Jakarta: Yayasan
Pembaruan.

Dewanto, Nugroho (ed.). 2011. Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Feith, Herbert. 1999. Pemilihan Umum 1955 Di Indonesia. (Nugroho


Katjasungkana dkk, penerjemah). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

_____. 2007. The Decline Of Constitutional Democracy In Indonesia. Singapura:


Equinox Publishing.

Gazali, Zulfikar. 1996. Terminologi Sejarah 1945—1950 dan 1950—1959.


Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan dan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa.


(Aswab Mahasin, penerjemah). Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial dan
Pustaka Jaya.

Harsono, Ganis. 1989. Cakrawala Politik Era Sukarno. Jakarta: CV Haji


Masagung.

Jones, Tod. 2015. Kebudayaan dan Kekuasaan Di Indonesia: Kebijakan Budaya


Selama Abad Ke-20 Hingga Era Reformasi. (, penerjemah). Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta.

Kahin, George McTurnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi Di Indonesia:


Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik. (Nin Bakdi Soemanto,
penerjemah). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan UNS Press.

Kakiailatu, Toeti. 1997. B.M. Diah: Wartawan Serba Bisa. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Kasenda, Peter. 2014. Soekarno, Marxisme dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri
dan Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


100

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Koentjaraningrat. 2015. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

Koesworo, FX., Margantoro, J.B., Viko, Ronnie S. 1994. Di Balik Tugas Kuli
Tinta. Surakarta-Yogyakarta: Sebelas Maret University Press dan Yayasan
Pustaka Nusatama.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lapian, A.B. dkk. 1996. Terminologi Sejarah 1945—1950 & 1950—1959.


Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Latif, Busjarie. 2014. Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI (1920—1965). Bandung:


Ultimus.

Legge, John D. 1985. Sukarno: Sebuah Biografi Politik. (Tim Penerbit Sinar
Harapan, penerjemah). Jakarta: Sinar Harapan.

Lindsay, Jennifer dan Liem, Maya H.T. (ed.). 2011. Ahli Waris Budaya Dunia:
Menjadi Indonesia 1950—1965. Denpasar-Jakarta: Pustaka Larasan dan
KITLV-Jakarta.

Moeljanto, D.S. dan Ismail, Taufiq. 1995. Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif
Lekra/PKI dkk. (Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah). Bandung:
Mizan bekerjasama dengan HU Republika.

Mortimer, Rex. 2011. Indonesian Communism Under Sukarno: Ideologi dan


Politik 1959—1965. (Yudi Santoso, penerjemah). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Nasution, Adnan Buyung. 2001. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di


Indonesia: Studi Sosio-Legal Atas Konstituante 1956—1959. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.

Njoto. 1958. Pers dan Massa. Jakarta: NV Rakjat.

______. 2003. Marxisme: Ilmu dan Amalnya. Jakarta: Teplok Press.

Noer, Deliar dan Akbarsyah. 2005. KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat,
Parlemen Indonesia 1945—1950. Jakarta: Yayasan Risalah.

Nordholt, Henk Schulte, Purwanto, Bambang, dan Saptari, Ratna (ed.). 2008.
Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta dan Denpasar:
Yayasan Obor Indonesia, KITLV, Pustaka Larasan.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


101

Ohorella, G.A. dan Gunawan, Restu. 2001. Sejarah Lokal: Peranan Rakyat
Besuki (Jawa Timur) Pada Masa Perang Kemerdekaan 1945—1950.
Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan
Nasional.

Onghokham. 2009. Sukarno, Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965. Depok:
Komunitas Bambu

Panitia Peringatan 70 Tahun Wilopo. 1979. Wilopo 70 Tahun. Jakarta: Gunung


Agung.

Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. 1982. Hidup Itu Berjuang: Kasman


Singadimedjo 75 Tahun. Jakarta: Bulan Bintang.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. 2008. Sejarah


Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.

Poeze, Harry A.. 2011. Madiun 1948: PKI Bergerak. (Hersri Setiawan,
penerjemah). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, KITLV.

Pusat Pendidikan Kehakiman. 1967. G-30-S Di Hadapan Mahmillub Di Djakarta


II, Perkara Dr. Subandrio. Jakarta: Pembimbing Masa.

Ricklefs, M.C.. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200—2004. (Satrio Wahono


dkk., penerjemah). Yogyakarta: Serambi.

Saelan, Maulwi. 2001. Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66: Kesaksian Wakil
Komandan Tjakrabirawa. Jakarta: Yayasan Hak Bangsa.

Said, Tribuana dan Moeljanto, D.S. 1983. Perlawanan Pers Indonesia (BPS)
Terhadap Gerakan PKI. Jakarta: Sinar Harapan.

Siauw Tiong Djin. 1999. Siauw Giok Tjhan: Riwayat Perjuangan Seorang Patriot
Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika.
Jakarta: Hasta Mitra.

Smith, Edward C. 1983. Sejarah Pembreidelan Pers Di Indonesia.


(Atmakusumah dkk., penerjemah). Jakarta: Grafiti Pers.

Soedjatmoko. 1988. Etika Pembebasan: Pilihan Karangan Tentang Agama,


Kebudayaan, Sejarah, dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.

Soe Hok Gie. 2005. Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan: Kisah


Pemberontakan Madiun September 1948. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


102

Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Dahlan, Muhidin M.. 2008. Lekra Tak Membakar
Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950—1965.
Yogyakarta: Merakesumba.

Zuhri, Saifuddin. 1987. Berangkat dari Pesantren. Jakarta: Gunung Agung.

Zulkifli, Arif dan Hidayat, Bagja (ed.). 2010. Njoto: Peniup Saksofon Di Tengah
Prahara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan
Majalah Tempo.

Zulkifli, Arif dkk (ed.). 2014. Lekra dan Geger 1965. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.

Karya Akademis Tidak Diterbitkan:


Ismail, Yahaya. 1970. Politik Adalah Panglima: Konsep Budaya dan Sastra Lekra
(Sebuah Tinjauan Aspek Sosio-Budaya). Jakarta: Skripsi tidak diterbitkan.

Jurnal dan Artikel Majalah:


Leclerc, Jacques. 1982. “Aidit dan Partai Pada Tahun 1950” dalam Prisma no. 7,
hlm. 61-79.

Nordholt, Henk Schulte. 2011. “Indonesia In the 1950s: Nation, Modernity, and
the Post –colonial State” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde, Vol. 167, No. 4, hlm. 386.

Rosidi, Ajip. 2014. “Lekra Bagian Dari PKI” dalam Horison tahun XLVIII, No. 2,
hlm. 32-36.

Soerjono. 1980. “On Musso’s Return” dalam Indonesia, No. 29, hlm. 59-90.

Artikel Maya:
Susanti, Fransisca Ria. “Tentang Perempuan Yang Tak Pernah Menangis:
Obituari RA Soetarni Soemosoetargijo,”
http://indoprogress.com/2014/09/tentang-perempuan-yang-tak-pernah-menangis-
obituari-ra-soetarni-soemosoetargijo. diakses pada 1 Oktober 2015.

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


103

Lampiran 1:

Contoh artikel Njoto tentang tema pers di Harian Rakjat 8 Desember 1953.
Dalam artikel ini Njoto mengemukakan prinsip-prinsip jurnalisme Harian Rakjat.
(Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional)

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


104

Lampiran 2:

Contoh artikel Njoto tentang tema budaya di rubrik ‘Kebudajaan’ Harian Rakjat
26 Juni 1954.
(Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia)

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


105

Lampiran 3:

Contoh Njoto tentang tema politik di Harian Rakjat 30 April 1952.


(Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia)

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


106

Lampiran 4:

Contoh puisi karya asli Njoto berjudul ‘Variasi Tjak’ di rubrik ‘Kebudajaan’
Harian Rakjat 17 Maret 1962.
(Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia)

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


107

Lampiran 5:

Contoh karya terjemahan Njoto berupa puisi karya Karl Marx yang jarang
diketahui. Di publikasikan di rubrik ‘Kebudajaan’ Harian Rakjat 14 Maret 1959.
(Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia)

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


108

Lampiran 6:

Foto salah satu kegiatan turba yang diikuti Njoto di Jawa Barat. Dimuat di Harian
Rakjat 2 Juni 1959.
(Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia)

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015


109

Lampiran 7:

Foto Njoto ketika berpidato di Alun-alun Jember dan massa yang menjadi
pendengarnya. Dimuat di Harian Rakjat 2 Oktober 1954.
(Sumber: Perpustakaan Nasional Indonesia)

Universitas Indonesia

Segala daya..., Fadrik Aziz Firdausi, FIB UI, 2015

Anda mungkin juga menyukai