SKRIPSI
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Humaniora
“The only things that matters is what you believe,” ujar Robert Langdon di
akhir film The Da Vinci Code. Profesor sejarah dan simbologi Harvard itu
mengingatkan saya kepada sebuah pertanyaan seorang sahabat, “Apa kamu
pernah meminta sesuatu kepada Tuhan?” Saya jarang berdoa, setidaknya sebuah
doa yang meminta sesuatu secara spesifik. Doa penutup sembahyang saja saya
tidak terlalu hafal. Saya hanya meminta pengampunan dan selebihnya saya
percaya. Saya percaya bahwa Tuhan adalah Pengasih yang akan mengatur dan
mencukupi semua. Pun di saat fisik dan hati saya kelelahan mengerjakan skripsi
ini. Saya pikir saya hanya harus melewati batasan diri, fisik dan hati. Selebihnya
adalah kepercayaan. Saya tidak tahu apakah Habib Rizieq akan setuju atau murka,
tetapi mungkin saat melihat saya yang kuyu Tuhan sedang berkata, “Daripada
merengek seharusnya kau gerakkan tangan dan hatimu menyelesaikannya.”
Langdon hanyalah fiksi, tetapi setidaknya kata-katanya ada benarnya. Jadi,
baiklah saya percaya sepenuhnya dan untuk kesekian kali saya harus bersyukur
kepada-Mu, Gusti.
Skripsi ini bukanlah yang terbaik, tetapi setidaknya saya telah menulisnya
dengan sepenuh hati dan jujur. Sejak awal kuliah saya ingin menulis skripsi yang
agak di luar arus utama, setidaknya menurut saya. Benar saja, memilih sosok
Njoto dan isi kepalanya telah membawa saya kepada penjelajahan yang
mengesankan. Dia komunis tetapi menurut sebagian kawannya kesehariannya
terkesan borjuis. Di zaman revolusi ia adalah aktivis yang anggota grup musik.
Tentu Goenawan Mohammad tidak sedang mengigau ketika memujinya sebagai
penulis yang cemerlang. Sisi khas itulah yang menarik penulis untuk mengangkat
pribadi dan pemikirannya menjadi karya skripsi ini.
Selain itu penulisan skripsi ini juga dimaksudkan untuk menelusur
kembali, sejauh yang penulis mampu, narasi sejarah komunisme Indonesia kurun
1950-an. Selama ini sorotan dan panggung utama diberikan kepada Aidit.
Diskursus tentang PKI kemudian selalu berasosiasi dengan Aidit. Apakah suara
PKI adalah suara Aidit? Tentu tidak dan inilah saatnya ‘pertunjukan’ berganti.
Melalui Njoto penulis berusaha menyodorkan ‘suara’ lain mengenai sejarah
vi
vii
viii
ix
Skripsi ini berfokus pada telaah pemikiran Njoto, salah satu pimpinan utama PKI,
dalam kapasitasnya sebagai seorang politikus, publisis, dan pekerja budaya.
Pemikirannya berkelindan pada konteks Indonesia periode 1951—1965. Melalui
kajian skripsi ini penulis mencoba keluar dari penilaian apriori terhadap pemikiran
kalangan kiri Indonesia. Skripsi ini juga bertujuan untuk melengkapi khazanah
historiografi pemikiran periode 1950-an yang nisbi terbatas. Oleh karena itu,
dalam proses penulisan skripsi ini penulis banyak memanfaatkan karya-karya
Njoto selama kurun tersebut yang dipublikasikan dalam koran komunis, Harian
Rakjat. Hasil studi ini menunjukkan bahwa akar dari pemikiran Njoto adalah
keberpihakan politik kepada masyarakat kelas bawah. Tema besar dari
gagasannya adalah tentang pembebasan rakyat dari ketertindasan. Gagasannya
dalam taraf tertentu tidak orisinal, tetapi gagasannya dalam tiga domain tersebut
saling bertaut sehingga mampu mendukung gerakan yang sinergis dan masif.
xi
This study focuses on Njoto’s thought, one of the eminent leaders of Indonesian
Communist Party, in his capacity as politician, publicist, and cultural
commentator. His thinking is intertwined in the context of Indonesia period
1951—1965. Through this study, the author tries out a priori assessment on the
thinking of the left movement in Indonesia. This study also aims to complete the
historiography of thought in the 1950s which were relatively limited. Therefore,
in the process of writing this study, the author utilizes Njoto’s works during that
period were published in a communist newspaper, Harian Rakjat. The result of
this study shows that the roots of his thought was his political alignments toward
the lower class. The major consideration of his thoughts is about people liberation
from oppression. The idea isn’t original to some extent, but in these three domains
linked with and support the synergistic and massive movement.
xii
xiii
xiv
xv
Kesimpulan .............................................................................................. 90
Daftar Pustaka ......................................................................................... 93
Lampiran ................................................................................................. 98
xvi
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Leo Agung, Sejarah Intelektual, (Yogyakarta: Ombak, 2013), h. 1.
Universitas Indonesia
2
Je ife Li dsa , Ahli Wa is Buda a Du ia 50— ; “e uah Pe ga ta , dala Je ife
Lindsay dan Maya H.T. Liem (ed.), Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950—1965,
(Denpasar-Jakarta: Pustaka Larasan dan KITLV-Jakarta, 2011), h. 3.
3
He k “ hulte No dholt, I do esia I The s: Natio , Modernity, And The Post-colonial
“tate , Bijdragen tot de Taal-, Land-, And Volkenkunde, Vol. 167, No. 4, 2011, h. 386.
4
Ad ia Vi ke s, Me gapa Tahu -a Pe ti g Bagi Kajia I do esia , dala He k “ hulte
Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Saptari (ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah
Universitas Indonesia
Indonesia, (Jakarta-Denpasar: Yayasan Obor Indonesia, KITLV, dan Pusataka Larasan, 2008), h.
68.
5
Rex Mortimer, Indonesian Communism Under Soekarno: Ideologi Dan Politik 1959—1965, terj.
Yudi Santoso, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. xii-xiv.
Universitas Indonesia
pemimpin utama PKI, Njoto. Dia adalah wakil ketua II Central Comite (CC) PKI
dan anggota Politbiro PKI periode 1951—1965. Selain aktif dalam dunia politik,
Njoto juga aktif di dunia jurnalistik, intelektual, dan memiliki minat besar dalam
bidang budaya. Bersama dengan dua pemimpin PKI lainnya, Dipa Nusantara
Aidit dan Mohamad Hakim Lukman, Njoto pada 1950 menerbitkan kembali
majalah resmi PKI Bintang Merah. Njoto duduk sebagai anggota dewan redaksi
dan secara khusus mengasuh perihal penguatan ideologi Marxisme-Leninisme.
Njoto juga dipercaya mengepalai Departemen Agitasi dan Propaganda partai dan
memimpin koran resmi partai, Harian Rakjat. Selain itu, Njoto juga memiliki
minat dan gairah besar di bidang kebudayaan. Hal ini terlihat saat Njoto menjadi
salah satu tokoh pendiri Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Bersama dengan
A.S. Dharta, M.S. Ashar, Herman Ardjuno, Henk Ngantung, dan Joebaar Ajoeb,
Njoto duduk sebagai anggota Sekretariat Lekra yang pertama.6
Pemilihan Njoto sebagai subjek kajian sejarah pemikiran juga didasaran
oleh beberapa alasan objektif. Pertama, masih terbatasnya pengajian terhadap
pemikiran tokoh gerakan komunis di Indonesia. Dari amatan penulis, selama ini
dari kajian yang terbatas itu magnet utama dalam pembahasan mengenai
komunisme Indonesia adalah sosok Aidit. Dengan mengetengahkan peran dan
pemikiran Njoto, penulis hendak menyodorkan perspektif yang lebih segar dalam
historiografi tentang kaum kiri Indonesia.
Kedua, jika dibandingkan dengan Aidit, sosok Njoto dalam pandangan
penulis lebih “berwarna”. Selain dikenal sebagai politikus, Njoto juga aktif
sebagai penulis dan publisis. Berdasarkan dokumentasi penulis terhadap karya-
karyanya, spektrum kajiannya pun cukup luas. Ia juga berpidato, memberi kuliah
umum, dan kerap terlibat aktif dalam beberapa polemik politik-ideologi.
Keterlibatannya dalam Lekra juga menggambarkan tipikal komunis yang lebih
‘berwarna’, tidak melulu terkurung dalam imaji politikus dan komunis yang
monoton. Melalui kajian terhadap pemikiran Njoto ini, penulis mencoba
menyodorkan interpretasi yang lebih luas terhadap posisi kaum kiri dalam sejarah
Indonesia.
6
Arif Zulkifli dan Bagja Hidayat (ed.), Njoto: Peniup Saksofon Di Tengah Prahara, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia dan Majalah Tempo, 2010), h. 17 dan 43-45.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Njoto itu terhenti sejak meletusnya Peristiwa G30S/PKI pada akhir 1965. Harian
Rakjat yang diasuh oleh Njoto sendiri menerbitkan edisi penghabisan pada 2
Oktober 1965. Pada akhir tahun ini pula Njoto menghilang. Karena itu penulis
mengakhiri periodisasi penelitian ini pada tahun 1965.
7
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), h. 189.
Universitas Indonesia
8
“a to o Ka todi djo, “eja ah I telektual dala Agu g, Op.cit., h. 211-212.
9
Kuntowijoyo, Op.cit., h. 191.
Universitas Indonesia
10
Ibid.
Universitas Indonesia
karya Siauw Tiong Djin berjudul Siauw Giok Tjhan: Riwayat Perjuangan
Seorang Patriot Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal
Ika. Buku ini adalah biografi Siauw Giok Tjhan, seorang politikus dan jurnalis
senior yang dekat dengan Njoto. Dalam buku ini terdapat kilasan awal karier
Njoto di dunia jurnalistik. Meskipun memiliki beberapa kelemahan dalam motode
sejarah, kedua buku ini cukup komprehensif untuk menelusuri literatur tentang
Njoto yang langka.
Bahan kedua dan yang sangat primer dalam skripsi ini adalah karya-karya
Njoto. Penulis menelusuri tulisan-tulisan Njoto yang dipublikasikan di Harian
Rakjat dan majalah Bintang Merah. Kendala terkait sumber primer ini adalah
pendokumentasiannya yang terpencar di beberapa lembaga dokumentasi berbeda.
Karena usia dokumen yang cukup tua dan perawatannya yang kurang memadai
penulis menemukan sumber dalam keadaan tidak lengkap atau rusak.
Selain menulis di media massa Njoto juga menulis untuk pidato dan kuliah
umum. Dalam penelusuran awal ini peneliti menemukan dua buku kumpulan
pidato dan kuliah umum Njoto. Bunga rampai itu masing-masing berjudul Pers
dan Massa dan Marxisme-Leninisme: Ilmu dan Amalnya. Bunga rampai yang
disebut pertama berisi kompilasi artikel Njoto di Harian Rakjat yang membahas
tentang pers dan peranannya bagi gerakan massa. Dalam buku ini juga dihimpun
serangkaian pidato Njoto menyambut ulang tahun Harian Rakjat. Sementara buku
kedua merupakan bunga rampai pidato dan manuskrip kuliah umum yang di
sampaikan Njoto. Hal-hal yang dibahas dalam buku ini mencakup persoalan
marxisme di ranah filsafat, ekonomi-politik, dan sosialisme serta
mengejawantahannya di Indonesia.
Buku penting lain yang menjadi rujukan penulis adalah Manuskrip
Sejarah 45 Tahun PKI (1920—1965). Buku ini merupakan tuturan “orang dalam”
PKI yang menceritakan sejarah partainya sendiri. Buku tersebut disusun oleh
Busjarie Latif dari Lembaga Sejarah PKI untuk memperingati ulang tahun ke-45
PKI pada 1965. Sebagaimana judulnya, buku ini pada dasarnya masih berupa
manuskrip atau buku konsep yang selesai disusun pada Mei 1965. Karena PKI
hancur setelah huru-hara Oktober 1965, manuskrip ini tidak pernah dibahas dan
diterbitkan secara resmi oleh PKI. Manuskrip yang awalnya hilang ini ditemukan
Universitas Indonesia
kembali oleh Sumaun Utomo, sekretaris Lembaga Sejarah PKI.11 Buku ini
menjadi penting bagi skripsi ini karena nilainya sebagai tuturan orang dalam PKI
dalam memandang sejarahnya sendiri. Manuskrip ini berguna sebagai
pembanding dan pelengkap bagi literatur-literatur tentang PKI yang telah banyak
ditulis oleh sejarawan.
11
Lihat pengantar yang ditulis oleh Sumaun Utomo dalam Busjarie Latif, Manuskrip Sejarah 45
Tahun PKI (1920-1965), (Bandung: Ultimus, 2014), h. ix-xi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 2
MEMASUKI DUNIA NJOTO
12
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), h. 203-207.
13
Kete a ga ta ggal lahi i i dikutip da i ‘i a at Hidup “i gkat Njoto , dala Bintang Merah,
tahun IX, September-Oktober 1953, h. 483. Sejumlah sumber juga mencatat tahun kelahiran
yang sama. Rex Mortimer dan M.C. Ricklefs mencatat 1925 sebagai tahun kelahiran. Lebih
jelas lihat Rex Mortimer, Indonesian Communism Under Sukarno: Ideologi dan Politik 1959—
1965, terj. Yudi Santoso, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 32 dan M.C. Ricklefs, Sejarah
Indonesia Modern 1200—2004, terj. Satrio Wahono dkk., (Jakarta: Serambi, 2008), h. 527.
Tetapi, catatan yang paling baru tentang Njoto menyebut adanya kejanggalan tahun kelahiran
itu. Njoto sebenarnya lahir pada 1927 menurut Joesoef Isak, seorang sahabat Njoto. Njoto
mencatatkan umur dua tahun lebih tua agar memudahkannya masuk dalam keanggotaan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Lihat Arif Zulkifli dan Bagja Hidayat (ed.), Njoto:
Peniup Saksofon Di Tengah Prahara, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama
dengan Majalah Tempo, 2010), h. 4 dan 13.
14
Mortimer, Ibid.
Universitas Indonesia
Jember, kala itu masuk dalam administrasi Karesidenan Besuki, suatu wilayah di
ujung timur Pulau Jawa sehingga Belanda menyebutnya Oost Hoek. Separuh
wilayah Besuki adalah daerah pegunungan dengan gunung-gunung yang masih
aktif. Selebihnya, di bagian-bagian utara, selatan, dan tenggara, adalah dataran
rendah subur yang menghasilkan padi, tebu, kopi, dan tembakau. Besuki sebelah
utara, selatan, dan timur berbatasan langsung dengan laut. Karenanya, Besuki
memiliki daerah-daerah pelabuhan yang cukup ramai pada masa kolonial seperti
di Panarukan, Probolinggo, dan Banyuwangi.15
Secara budaya daerah Besuki merupakan varian regional kebudayaan Jawa
yang dalam beberapa aspek memiliki kekhasan tersendiri. Letak geografisnya
yang berada di timur jauh jika dipandang dari kebudayaan kraton Mataram
membuat Besuki disebut sebagai Tanah Sabrang Wetan. Suatu sebutan yang
merujuk pada ‘asingnya’ Besuki secara kultural bagi kraton Jawa di Yogyakarta
dan Surakarta itu. Besuki justru lebih dekat secara kultural dengan budaya
Madura.16
Njoto lahir dalam keluarga yang berkecukupan secara ekonomi. Selain
dikenal sebagai aktivis PKI, ayahnya adalah seorang saudagar busana dan jamu.
Di Bondowoso, masih dalam lingkup Karesidenan Besuki, sang ayah menyewa
sebuah toko milik pedagang Tionghoa dan membukanya dengan nama
Yosobusono. Usaha Rustandar Sosrohartono juga berkembang di Solo. Di
kawasan Kauman, Solo, ia mengembangkan usaha batik tulis. Sementara ibunya,
Masalmah, adalah putri seorang pemborong yang mempunyai rumah bertingkat
tiga, suatu kemewahan di zaman itu. Agaknya, bisnis itu juga salah satu upaya
Rustandar untuk turut menyokong aktivitas kaum pergerakan. Tokonya kerap kali
dipakai sebagai tempat berkumpulnya aktivis pergerakan, termasuk aktivis yang
kemudian di buang ke Digul.17
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa Njoto kecil diasuh dalam dua
entitas nilai, lingkungan saudagar dan lingkungan pergerakan. Kalangan saudagar
Jawa umumnya bersifat lebih egaliter daripada kalangan priyayi. Egalitarianisme
15
G.A. Ohorella dan Restu Gunawan, Sejarah Lokal: Peranan Rakyat Besuki (Jawa Timur) Pada
Masa Perang Kemerdekaan 1945—1950, (Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan
Departemen Pendidikan Nasional, 2001), h. 5-11.
16
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 25-28.
17
Zulkifli dan Hidayat, Op.cit., h. 4-6 dan 10.
Universitas Indonesia
ini juga terkait dengan posisi Besuki yang secara geokultural jauh dari jangkauan
budaya kraton Mataram yang feodal. Lingkungan keluarga dan budaya egaliter
inilah medan sosialisasi pertama Njoto. Sifat egaliter ini kemudian mengendap
dalam dirinya dan dalam tingkat tertentu memengaruhi pandangan dunianya.
Demikian pula dengan lingkaran sosial ayahnya yang lekat dengan gerakan politik
komunis. Hal ini secara tidak langsung menjadikannya akrab dengan aktivitas
pergerakan politik dan, dalam kadar tertentu, nilai-nilai Marxisme sedari belia.
Seperti kelak diakuinya sendiri, “Djember adalah tempat kelahiranku, Djember
adalah tempat aku menemukan djalan revolusionerku.”18
Selama masa kecilnya di Bondowoso, hubungan Njoto dengan orang
tuanya berjalan dengan harmonis. Rustandar mendidik putranya dengan
pendekatan yang keras, tegas, dan disiplin. Sementara itu, Masalmah
mengimbanginya dengan pendekatan yang santun dan tutur kata yang halus.
Meskipun keras, Rustandar tidak lupa untuk meluangkan waktu bersama dengan
anak-anaknya. Biasanya Rustandar menemani dan melatih Njoto bermain bola.
Sebuah bentuk perhatiannya sebagai seorang ayah.19
Njoto mengenyam pendidikan formal pertamanya di Hollandsch-
Inlandsche School (HIS) di Besuki kira-kira pada umur enam tahun.20 Saat
bersekolah di HIS Jember Njoto tinggal bersama kakeknya, Raden Marjono, di
Kampung Tempean. Njoto bersekolah ke HIS di Jember atas inisiatif ayahnya.
Rustandar memilih menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Belanda karena
memiliki kurikulum yang teratur. Selain menerima pelajaran di sekolah, Njoto
juga menambah waktu belajarnya dengan mengikuti kursus di rumah seorang
pengajar bernama Meneer Darmo setiap sore. Di masa sekolah inilah Njoto kecil
mulai memupuk cita-citanya kelak. Dia bercita-cita menjadi jurnalis dan bertekad
18
Njoto, “o eka da i ukuha ia , Harian Rakjat 8 Oktober 1954, h. II.
19
Zulkifli dan Hidayat, Op.cit., h. 10.
20
Peneliti tidak menemukan keterangan yang jelas tentang tahun dan umur Njoto ketika
memasuki HIS di Jember. Umur enam tahun adalah perkiraan yang paling memungkinkan
berdasarkan keterangan yang peneliti dapat dalam Koentjaraningrat, Op.cit., h. 77 dan 247.
HIS merupakan sekolah tingkat dasar bagi pribumi yang dibentuk pemerintah Hindia Belanda
pada 1912. HIS memprogramkan masa belajarnya selama tujuh tahun dengan bahasa daerah
dan bahasa Belanda sebagai pengatar. Baik sekolah bagi pribumi maupun Eropa yang
setingkat HIS menerima murid-murid sejak umur enam tahun.
Universitas Indonesia
menguasai berbagai bahasa asing seperti Jerman, Inggris, Belanda, Rusia, dan
Prancis.21
Rustandar sangat perhatian pula pada pendidikan formal anak-anaknya. Ia
selalu menanyakan pelajaran dan soal cita-cita kepada Njoto dan adik
perempuannya, Sri Windarti. Njoto dan adiknya itu diberikan kebebasan untuk
bermain, tetapi satu pesannya agar tetap mengutamakan sekolah. Rustandar pun
secara khusus menanamkan budaya membaca kepada anak-anaknya. Bahkan sejak
umur yang masih belia Njoto telah akrab dengan buku-buku karya Karl Marx,
Stalin, dan Lenin. Rustandar memang membebaskan anak-anaknya membaca
buku apa saja asalkan urusan sekolah telah diselesaikan.22 Dapat disimpulkan
bahwa Njoto mendapatkan pendidikan formal yang baik dan dukungan penuh dari
orang tuanya. Agaknya, inilah yang menumbuhkan karakter otodidak dalam
dirinya.
Selepas menamatkan pelajaran di HIS Jember, Njoto dikirim ayahnya ke
Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO). Awalnya Njoto masuk MULO di
Jember, namun ketika Jepang datang ke Hindia Belanda pada 1942 sekolah ini
ditutup. Rustandar kemudian memindahkan Njoto dan adiknya, Sri Windarti,
bersekolah ke Solo. Selama bersekolah di sana Njoto tinggal bersama kakeknya
dari pihak ayah. Sabar Anantaguna, kawan satu sekolahnya ketika di MULO dan
salah satu penggiat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), mengatakan Njoto
hidup secara berkecukupan. Sabar mengingat dia berpenampilan cukup rapi dan
bersepeda ketika bersekolah. “Dia pakai celana panjang sedangkan saya pakai
celana pendek karena miskin,” kata Sabar. Njoto juga dikenal pintar bergaul dan
menonjol dalam tulis-menulis. Karena kelebihannya itu, gurunya menunjuk Njoto
menjadi ketua kelas.
Selain kemampuan akademis, Njoto juga memiliki ketertarikan dan
kemahiran di bidang seni. Njoto pandai memetik gitar dan mengarang beberapa
lagu selain hobi menikmati musik klasik. Njoto sempat membentuk sebuah grup
musik bernama Suara Putri. Njoto menjadi pemetik gitar dalam grup dengan 4
vokalis remaja putri ini. Agaknya grup musik ini cukup populer di Solo. Pada
21
Zulkifli dan Hidayat, Op.cit., h. 5.
22
Ibid., h. 10 dan 12.
Universitas Indonesia
sebuah kesempatan Suara Putri membawakan lagu berjudul Wanita Asia di sebuah
stasiun radio di Solo.23 Njoto dan grup musiknya itu kerap menjadikan rumah
kontrakannya sebagai tempat berlatih. “Rumah kontrakan mereka selalu ramai,”
kenang RA Sutarni Sumosutargijo, kawan sepermainan Njoto yang kelak menjadi
istrinya. Iramani, adik Njoto, kerap didaulat untuk menyanyi bagi band bentukan
Njoto dan kawan-kawannya. Tidak hanya bermusik, Njoto juga kerap menulis
puisi.24
Selama di Solo, dalam pergaulannya Njoto sempat diinformasikan secara
negatif. Hal ini barangkali berkait dengan gaya hidup dan kesehariannya yang
terlihat borjuis. Di mata beberapa orang yang mengenalnya di Solo, Njoto dicap
sebagai “pemuda yang tidak bermoral” dan “mengejar gaya hidup mewah”. Tetapi
kabar miring tersebut tidak terlalu berpengaruh pada citranya karena reputasi
Njoto dalam bidang akademis dan “karakter priyayi Jawa”-nya.25
Dapat disimpulkan bahwa elan modern dan egaliter yang berakar dari
pendidikan keluarga dan sekolah serta pengaruh lingkungan sosial-budaya adalah
pembentuk kepribadian Njoto. Dalam hal ini pengaruh sang ayah bagi
perkembangan pribadi Njoto cukup besar. Sebagai orang yang sempat mencecap
dunia pergerakan, tentulah Rustandar adalah seorang yang cukup terdidik dan
sadar akan pentingnya pendidikan pada masa itu. Terbukti Njoto dan adiknya
dimasukkan dalam sekolah Belanda demi menjamin mutu pendidikan yang
mereka peroleh. Masih ditambah pula dengan pelajaran tambahan di sore hari
kepada Meneer Darmo. Rustandar dalam hal ini menunjukkan dirinya sebagai
seorang Jawa yang telah menyerap modernitas. Kedekatan Rustandar dengan
aktivitas pergerakan politik juga menjadi jalan perkenalan pertama Njoto dengan
komunisme secara terbatas. Bangunan pribadi itu kemudian dimatangkan oleh
dinamika revolusi yang berkobar sejak Jepang menduduki Hindia Belanda.
Kehidupan Njoto mulai memasuki fase remaja ketika tatanan kolonial
Hindia Belanda runtuh pada 1942 dan berganti totalitarianisme Pendudukan
Tentara Kemaharajaan Jepang. Gaya pemerintah dan tata nilai yang sepenuhnya
23
Ibid., h. 6-8.
24
F a sis a ‘ia “usa ti, Te ta g Pe e pua Ya g Tak Pe ah Me a gis: O itua i ‘A “oeta i
“oe osoeta gijo , http://indoprogress.com/2014/09/tentang-perempuan-yang-tak-pernah-
menangis-obituari-ra-soetarni-soemosoetargijo/, diakses pada 1 Oktober 2015.
25
Mortimer, Op.cit., h. 32-33.
Universitas Indonesia
berbeda itu memberikan tempaan psikologis yang luar biasa bagi masyarakat
Indonesia. masa-masa yang penuh tekanan dan krisis itu ternyata membangkitkan
kesadaran nasionalisme masyarakat, terutama pemuda. Semua itu berawal dari
kebutuhan Jepang memobilisasi pemuda dalam skala besar untuk pemenangan
Perang Asia Timur Raya. Untuk itu, Pemerintah Pendudukan Jepang membentuk
organisasi kepemudaan, sebuah kebijakan yang menyediakan peranan politis dan
identitas berorganisasi kepada pemuda. Efek yang ternyata berkembang lebih jauh
daripada perkiraan Pemerintah Pendudukan Jepang.26 Dalam dinamika itulah
proses pematangan karakter Njoto remaja dimulai.
Selain perubahan sosial masyarakat yang drastis itu, para pemuda juga
dihadapkan pada kondisi pendidikan yang kacau. Kondisi ini membuat mereka
terdorong untuk membawa diri mereka kepada beberapa alternatif ‘jalan keluar’.
Ada sebagian dari mereka itu mengundurkan diri dari pendidikan dan kembali
kepada keluarganya. Sebagian lainnya mencari pekerjaan pada instansi
Pemerintah Pendudukan Jepang. Sebagian lainnya lagi, berkat kemampuan
keuangan yang memadai, menjalin kontak dengan kawan-kawannya yang
memiliki gairah politik dan membentuk kelompok diskusi tentang keadaan aktual
dewasa itu.
Kelompok terakhir inilah yang kemudian secara pelan-pelan masuk dalam
kelompok bawah tanah anti-Jepang. Tetapi, meskipun bermotif anti-Jepang,
gerakan bawah tanah itu bukanlah gerakan yang melakukan aksi perlawanan nyata
seperti sabotase, mata-mata, atau kegiatan subversi. Kegiatan utama kelompok
bawah tanah anti-Jepang itu adalah pertukaran informasi politik, diskusi tentang
hari depan Indonesia, memperkirakan rencana pasukan Sekutu, dan mengecam
politik Jepang dalam kelompok tertutup.27 Gerakan bawah tanah itu juga
melakukan infiltrasi ke dalam Peta dan ke dalam organisasi pemuda resmi
bentukan Jepang. Tujuan infiltrasi tersebut adalah mengambilalih kendali
organisasi dan menggiring opininya ke arah anti-Jepang. Suatu penggalangan
26
Mortimer, Op.cit., h. 20-22.
27
Benedict Anderson, Java In Time Of Revolution: Occupation And Resistance 1944-1946, (Ithaca:
Cornell University Press, 1972), h. 19 dan 38-39.
Universitas Indonesia
kekuatan sedang terbentuk saat itu. Kekuatan inilah yang diharapkan bisa bangkit
dengan kekuatan penuh ketika suatu saat Jepang kalah dalam perangnya.28
Njoto adalah produk sekaligus representasi dari dinamika pergerakan
pemuda masa Pendudukan Jepang itu. Masa-masa ini adalah awal persentuhannya
dengan pergerakan politik. Njoto remaja segera terseret ke dalam arus gerakan
organisasi kepemudaan. Njoto memulai perkenalannya dengan dunia politik pada
umur sangat belia, 14 tahun. Saat itu ia masuk dalam organisasi Indonesia Muda.
Dalam organisasi ini ia didaulat menjadi komisaris Indonesia Muda daerah
Besuki. Selain itu, ia juga terlibat dalam gerakan-gerakan bawah tanah ilegal di
Surabaya.29 Besar kemungkinan pula Njoto remaja masuk dalam lingkaran bawah
tanah bentukan Amir Sjarifuddin yang menguat di Jawa Timur yang disponsori
Belanda.30 Agaknya ia telah memiliki cukup kepercayaan karena telah mengenal
dengan dunia organisasi dan kemungkinan terinpirasi pula oleh ayahnya.
28
George McTurnan Kahin, Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia: Refleksi Pergumulan
Lahirnya Republik, terj. Nin Bakdi Soemanto, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan UNS Press,
1995), h. 144.
29
‘i a at... , Loc.cit.
30
Mortimer, Op.cit., h. 18-19 dan 32. Beberapa waktu sebelum kejatuhan kolonial Belanda oleh
invasi Jepang, P.J.A. Idenburg (pada waktu itu direktur Depatemen Pendidikan dan dipandang
sebagai seorang pejabat kolonial Hindia Belanda yang progresif) mengontak Amir Sjarifuddin
(mantan pimpinan Gerakan Rakyat Indonesia/Gerindo) untuk mengorganisasikan sebuah
jaringan bawah tanah saat Jepang menduduki Indonesia. Sebuah tawaran kerjasama yang
aneh tetapi sangat strategis bagi perjuangan. Sejak Juni 1941, Uni Soviet mengubah arah
kebijakan komunis yang memungkinkan kaum kiri bekerja sama dengan kaum borjuis
demokrat melawan blok fasis. Amir Sjarifuddin menerima sekira 25.000 gulden untuk
membiayai pembentukan jaringan bawah tanah itu. Keanggotaan organisasi bawah tanah ini
kemudian diisi oleh sisa-sisa aktivis Gerindo dan PKI ilegal yang dibentuk Muso pada 1935.
Karena kebanyakan anggota gerakan bawah tanah ini berasal dari PKI ilegal Surabaya,
jaringan itu pun konsentrasi terutama di Jawa Timur. Lebih jelas lihat Anderson, Op.cit., h. 58-
59 dan Kahin, Op.cit., 141-144. Sayang sekali, selain data ini peneliti tidak menemukan lagi
catatan-catatan lebih rinci mengenai aktivitas Njoto pada masa ini.
Universitas Indonesia
31
Angkatan Pemuda Indonesia atau API dibentuk sesaat setelah proklamasi pada 1 September
1945. Inisiatornya adalah tokoh-tokoh pemuda dari kelompok Menteng 31 yaitu Chaerul
Saleh, Adam Malik, Urkam, Sukarni dan Wikana. API dibentuk dengan tujuan
mengkoordinasikan sejumlah kelompok pemuda lainnya di dalam kota Jakarta yang
sebelumnya bergerak di bawah tanah. Chaerul Saleh dan Wikana kemudian didaulat sebagai
pemimpinnya. Pada hari-hari pertama setelah proklamasi, API mengomandoi kelompok-
kelompok paramiliter merebut fasilitas perkereta apian dan instalasi penyiaran di Jakarta,
gerakan-gerakan sabotase, dan perebutan gedung-gedung pemerintah dan swasta. Pemuda-
pemuda API juga melucuti senjata tentara Jepang. Peristiwa Rapat Raksasa di Lapangan Ikada
pada 19 September 1945 adalah salah satu gerakan yang dimobilisasi oleh API. Pada 29
September 1945 API juga menerbitkan sebuah surat kabar bernama Berita Indonesia. Dengan
gerakan-gerakannya itu, API segera mendapat dukungan yang luas. Lebih jelas lihat A.B.
Lapian dkk., Terminologi Sejarah 1945-1950 Dan 1950-1959, (Jakarta: Direktorat Jenderal
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), h. 8-9 dan Mortimer, Op.cit., h.
29-30 dan 32.
32
Njoto, Ja g e ihak e olusi dididik tjepat oleh e olusi , Harian Rakjat 3 November 1962, h.
III.
33
‘i a at... , Loc.cit.
Universitas Indonesia
terlibat dalam perdebatan yang cukup pelik terkait hasil Perjanjian Linggarjati.34
Kalangan elit pemerintahan dan KNIP terbelah dalam pro-kontra. Pihak
Pemerintah Indonesia mendukung ratifikasi Perjanjian Linggarjati. Kubu ini
berpendapat bahwa penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda akan sulit
diselesaikan tanpa perundingan. Sementara itu beberapa kelompok politik dalam
KNIP dan militer menganggap Perjanjian Linggarjati tidak memuaskan dan
merugikan Indonesia.35
Untuk meredam perselisihan ini, Pemerintah RI kemudian mencanangkan
suatu pembaruan KNIP. Melalui Peraturan Presiden No. 6 tanggal 30 Desember
1946 tentang Penyempurnaan Susunan KNIP, Pemerintah RI merilis “Daftar
Anggota KNIP Tambahan Menghadapi Sidang Pleno KNIP Ke-5 di Malang.”
Dalam rilisan resmi Pemerintah RI tersebut, yang oleh banyak pihak diartikan
sebagai usaha mempercepat ratifikasi naskah Perjanjian Linggarjati, Njoto masuk
sebagai anggota KNIP wakil PKI Besuki. Kerja pertama Njoto adalah turut serta
dalam Sidang Pleno KNIP Ke-5 di Malang yang berlangsung pada 25 Februari
hingga 5 Maret 1947.36 Selepas Sidang Pleno KNIP Ke-5 di Malang, Njoto masuk
dalam jajaran Badan Pekerja (BP) KNIP. Njoto ditugaskan menjadi ketua Fraksi
PKI dalam BP KNIP.37 Tugas hariannya dalam BP KNIP adalah sebagai anggota
Panitia Penyelidik Soal Lasykar, Tentara, dan Pengungsi.38
Pada Juli 1947 Kabinet Sjahrir jatuh karena kekecewaan beberapa
kalangan terhadap langkah diplomasinya dalam menindaklanjuti Perjanjian
34
Inti dari Perjanjian Linggarjati dapat diperinci dalam tiga kesepakan utama. Pasal pertama
bahwa Pemerintah Belanda mengakui secara de facto kekuasaan Pemerintah RI atas Jawa,
Madura, dan Sumatra. Pasal kedua menetapkan bahwa Pemerintah RI dan Belanda bersama-
sama menyelenggarakan berdirinya Negara Indonesia Serikat (NIS). Pasal ketiga menentukan
bahwa wilayah NIS akan meliputi bekas wilayah Hindia Belanda, dengan catatan bahwa suatu
daerah dapat setuju atau menolak masuk dalam NIS. Pasal-pasal yang selebihnya mengatur
tentang pembentukan NIS. Lihat Lapian dkk., Op.cit., h. 90-91.
35
Deliar Noer dan Akbarsyah, KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat, Parlemen Indonesia 1945-
1950, (Jakarta: Yayasan Risalah, 2005), h. 81-87.
36
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI:
Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 212-213. Lihat
juga lampiran naskah Peraturan Presiden No. 6 Tahun 1946 dalam Noer dan Akbarsyah, Ibid.,
h. 388-397.
37
‘i a at... , Loc.cit.
38
Noer dan Akbarsyah, Op.cit., h. 130-134.
Universitas Indonesia
39
Dalam beberapa negosiasi lanjutan pasca-Linggarjati, Perdana Menteri Sjahrir dinilai banyak
memberikan konsesi kepada Belanda. Akibat konsesi itu beberapa menteri kabinet
mengundurkan diri karena kecewa. Keadaan ini membuka jalan bagi Amir Sjarifuddin untuk
masuk dalam pemerintahan. Puncaknya pada Juli 1947 Amir Sjarifuddin berhasil menduduki
kursi perdana menteri. Lihat Harry A. Poeze, Madiun 1948: PKI Bergerak, terj. Hersri Setiawan,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, 2011), h. 10.
40
Inti dari Perjanjian Renville adalah langkah-langkah lebih lanjut dari kesepakatan dalam
Perjanjian Linggarjati. Pasal-pasal utamanya membahas mengenai rencana pembentukan
Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebelum terbentuknya RIS, Belanda akan tetap berdaulat
atas Indonesia. Pasal-pasal lainnya menyebut bahwa RI akan merupakan satu negara bagian
dari RIS. Nantinya akan disusun pula suatu sistem kenegaraan antara Indonesia-Belanda yang
keduanya memiliki kedudukan yang setara. Setelah melalui dinamika yang alot, kesepakatan-
kesepakatan itu jelas sangat merugikan posisi Indonesia. Tetapi Kabinet Amir tidak
mempunyai pilihan lain selain menyetujuinya. Lihat Lapian dkk., Op.cit., h. 91-93 dan
Poesponegoro dan Notosusanto, Op.cit., h. 214-217 dan 223-225.
41
Poesponegoro dan Notosusanto, Ibid., h. 232.
Universitas Indonesia
42
Poeze, Op.cit., h. 11-12.
43
Noer dan Akbarsyah, Op.cit., h. 189-192 dan 207-211.
44
“oe jo o, O Musso s ‘etu , te j. Be edi t A de so , Indonesia, No. 29, April 1980, h. 62-
64 dan 66.
45
‘i a at... , Loc.cit.
46
Latif, Op.cit., h. 251.
Universitas Indonesia
pengunduran diri Amir Sjarifuddin dari jabatan perdana menteri. Sejak saat itu
terlihat suatu polarisasi opini dalam PKI dan koalisi FDR antara kubu pemuda
kelompok Aidit dan kelompok senior Tan Ling Djie.47
Meskipun terkendala oleh senioritas dalam FDR, peluang politik Njoto
untuk masuk dalam lingkaran elit PKI terbuka setelah Musso kembali ke
Indonesia pada Agustus 1948. Dalam Konferensi PKI pada Agustus 1948 Musso
menjabarkan sebuah Resolusi Jalan Baru untuk Republik Indonesia (selanjutnya
disebut Jalan Baru) yang mengungkapkan kesalahan pokok PKI di ranah
organisasi, politik, dan ideologi. Jalan Baru juga memaparkan langkah-langkah
strategis yang harus ditempuh PKI untuk memperbaikinya.48 Jalan Baru yang
dirumuskan Musso itu ternyata sesuai benar dengan aspirasi kelompok muda yang
selama ini terpinggirkan. Hal itu terlihat dari model gerakan yang dicanangkan
Jalan Baru, yaitu mengupayakan PKI meraih kepemimpinan dalam revolusi yang
sedang berjalan.49
Musso pun sangat apresiatif terhadap kader muda dalam partai. Sebelum
kedatangan Musso, pada Juni 1948 Njoto telah diangkat sebagai kandidat anggota
Politbiro PKI. Dalam konferensi partai tersebut Musso kemudian dipilih oleh
pemimpin-pemimpin senior PKI menggantikan posisi Sardjono sebagai ketua.
Saat itu juga diumumkan susunan Politbiro PKI baru yang sebagiannya diisi oleh
tenaga muda. Njoto adalah salah satu kader muda yang diangkat sebagai anggota
penuh Politbiro PKI. Musso memandang Njoto sebagai seorang Stalinis yang
memiliki kecakapan politik.50
Tetapi secara mendadak, semua aktivitas dan kegairahan itu terhenti sejak
18 September 1948. Huru-hara yang hari ini dikenal sebagai Peristiwa Madiun itu
mencerai-beraikan PKI. Kelompok pemimpin puncak PKI yang dicap
pemberontak seperti Musso dan Amir Sjarifuddin tewas di hadapan bedil tentara.
47
Soerjono, Loc.cit., h. 70-74.
48
Busjarie Latif, Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI (1920—1965), (Bandung: Ultimus, 2014), h. 277-
278.
49
Poeze, Op.cit., h. 36.
50
‘i a at... , Loc.cit. h. 483-484 dan Arnold C. Brackman, Indonesian Communism: A History,
(London: Frederik A. Preager Inc., 1963), h. 84-85 dan 206. Politbiro dalam PKI adalah sebuah
badan dengan fungsi eksekutif yang menjalankan kegiatan-kegiatan dan program-program
partai sehari-hari. Sedangkan CC adalah badan dengan fungsi legislatif atau semacam
pa le e atau de a pe i a dala pa tai.
Universitas Indonesia
Sementara tokoh-tokoh seniornya seperti Alimin, Tan Ling Djie, dan Wikana
dijebloskan ke penjara. Keadaan menjadi serba sulit bagi pemimpin dan kader
PKI yang berhasil lolos dari maut dan kurungan. Tetapi, dengan menyusutnya
peran tokoh-tokoh senior itu, kelompok muda dari kelompok Aidit menjadi lebih
leluasa untuk bergerak. Pada tahap selanjutnya merekalah yang mengusahakan
suatu pembangunan kembali partai dan mengembangkannya menjadi lebih besar
lagi.
51
Boyd R. Compton, Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia, terj. Hamid Basyaib,
(Jakarta: Pustaka LP3ES, 1993), h. 170-173 dan Brackman, Op.cit., h. 123-124.
52
Pada saat ini PKI adalah suatu partai baru hasil fusi partai-partai kiri yang sebelum Peristiwa
Madiun berhimpun di dalam koalisi FDR. Penyatuan ini merupakan prakarsa Musso.
Keputusan fusi di antara partai-partai kiri ini sebenarnya sudah ditetapkan sejak Agustus 1948
oleh dewan-dewan harian FDR tetapi belum sempat disahkan dalam kongres anggota-anggota
FDR. Lihat Ja ues Le le , Aidit Da Pa tai Pada Tahu , dala Prisma, No. 7, Juli
1982, h. 61 dan 63.
Universitas Indonesia
53
Peter Kasenda, Soekarno, Marxisme, Dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri Dan Revolusi
Indonesia, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), h. 103 dan 177-179.
54
Brackman, Op.cit., h. 139.
Universitas Indonesia
kembali konsepsi Jalan Baru Musso. Selain itu Njoto juga memegang peran
ketika bersama dengan Aidit dan beberapa budayawan mendirikan Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950.55
Dimulai dari titik inilah karier politik Njoto meroket. Peristiwa Madiun
1948 dan proses revitalisasi partai setelahnya membuka peluang besar baginya
untuk berpanggung di level politik nasional. Dengan semua kegiatan di Jakarta itu
kelompok Bintang Merah, sebutan bagi kelompok Aidit dan kawan-kawannya,
mampu meraih dukungan yang cukup kuat dari berbagai daerah untuk meraih
posisi pimpinan PKI. Hasil gemilang dari usaha kelompok Bintang Merah terlihat
kala PKI mengumumkan lima orang pimpinan harian partai pada 7 Januari 1951,
yaitu Alimin, Aidit, Lukman, Njoto, dan Sudisman.56 Kelompok Bintang Merah
itu tetap bertahan di pucuk pimpinan PKI hingga menjelang kongres nasional
partai. Pada Oktober 1953 CC PKI mengadakan sidang pleno sebagai persiapan
menuju kongres nasional. Dalam pleno tersebut Aidit terpilih sebagai sekretaris
jenderal menggantikan posisi Alimin. Njoto sendiri terpilih sebagai wakil
sekretaris jenderal II, jabatan tertinggi ketiga di jajaran elit PKI. Selain jabatan
fungsional, dia pun termasuk dalam jajaran politbiro dan anggota CC PKI.
Kedudukan itu dikukuhkan dalam Kongres Nasional ke-V PKI di Jakarta pada
Maret 1954.57
Bersamaan dengan proses revitalisasi partai, pimpinan baru PKI ini juga
berhadapan dengan kondisi negara Indonesia dan masyarakatnya yang penuh
gejolak. Sebagaimana telah dikemukakan pada bab pendahuluan, bahwa periode
1950—1965 dalam historiografi Indonesia kerap direpresentasikan dengan istilah
‘the road to disaster’. Suatu masa di saat negara diguncang pemberontakan daerah
dan tegangnya kehidupan politik. Setelah pengakuan kedaulatan pada 1949
Indonesia adalah negara federasi dengan 16 negara bagian. Pemerintah RIS yang
dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta segera dihadapkan pada
beberapa permasalahan khas negara baru. Sebagai akibat Perang Kemerdekaan
1945—1949 Pemerintah RIS menghadapi masalah prasarana fisik yang hancur,
perekonomian yang buruk, dan bahkan dekadensi mental masyarakat.
55
Latif, Op.cit., h. 309-312.
56
Leclerc, Loc.cit., h. 65.
57
Latif, Op.cit., h. 332-334.
Universitas Indonesia
58
Poesponegoro dan Notosusanto, Op.cit., h. 301-308. Indonesia tetap memberlakukan sistem
parlementer berdasar pada Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. UUDS 1950
mengamanatkan sistem pemerintahan parlementer yang berdasar pada pemikiran demokrasi
liberal. Sesuai UUDS 1950, presiden dan wakil presiden adalah jabatan konstitusional dengan
tugas-tugas eksekutif dijalankan oleh para menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen.
Lihat FX. Koesworo, J.B. Margantoro, dan Ronnie S. Viko, Di Balik Tugas Kuli Tinta, (Surakarta-
Yogyakarta: Sebelas Maret University Press dan Yayasan Pustaka Nusatama, 1994), h. 18-19.
59
Poesponegoro dan Notosusanto, Ibid., h. 304-308.
Universitas Indonesia
60
Toeti Kakiailatu, B.M. Diah: Wartawan Serba Bisa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), h.
183-184.
61
Proses persiapan dan penyelenggaraan Pemilihan Umum 1955 secara lebih detil lihat
Poesponegoro dan Notosusanto, Op.cit., h. 316-321 dan Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955
di Indonesia, terj. Nugroho Katjasungkana dkk, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,
1999), h. 1-8.
62
Poesponegoro dan Notosusanto, Ibid., h. 316.
63
Ibid., h. 360-378.
Universitas Indonesia
64
Kasenda, Op.cit., h. 180. Upaya menambah jumlah anggota partai segera direalisasikan dengan
kelua a ‘esolusi CC PKI te ta g Pe luasa Kea ggotaa Pa tai pada Maret 1952. Ketika
target perluasan kuantitas kader tercapai selanjutnya yang harus dilakukan partai adalah
penguatan kualitas dan militansi kader. Target itu direalisasikan dengan mengadakan
pelatihan kader yang ketat dan berdurasi lama. Untuk mendapat status anggota tetap partai
setidaknya seorang kader harus menjalani enam bulan masa studi dan pelatihan. Gerakan
studi i i dipe luka gu a e i gkatka kesada a ko u is pa a kade PKI. Lihat Co pto ,
Op.cit., h. 171-179.
65
Yozar Anwar, Protes Kaum Muda!, (Jakarta: PT Variasi Jaya – Kartini Group, 1982), h. 119.
66
Feith, Op.cit., h. 13-14.
Universitas Indonesia
67
Bagi Aidit, PKI bisa bekerjasama dengan kaum borjuis kecil dan kelas feodal. Praksisnya terlihat
ketika PKI nantinya bermitra dengan PNI. Aidit menyebut orang-orang PNI sebagai golongan
borjuis nasional, meskipun orang-orang PNI lebih terlihat feodal daripada borjuis. Padahal
Masyumi sebenarnya lebih tepat sebagai representasi dari golongan borjuis pribumi. Tetapi
para pemimpin Masyumi adalah orang-orang antikomunis. Bersekutu dengan mereka jelas
tidak mungkin bagi PKI. Ketika NU keluar dari Masyumi pada 1952, PKI juga bersekutu dengan
mereka karena dianggap borjuis. NU sendiri menerima kerja sama itu karena PKI dinilai tidak
memusuhi Islam secara terang. Kenyataannya memang jalan pragmatis ini mampu
mempertahankan posisi PKI dalam konstelasi politik nasional. Pilihan ini membuat PKI
menjadi tampak lebih membela kepentingan partai daripada kelas buruh dan ideologi
komunisme. Lihat Ricklefs, Op.cit., h. 478-479
68
Compton, Op.cit., h. 173-174. Ricklefs juga mencatat perolehan yang sama. Tetapi, Ricklefs
mencatat bahwa penambahan jumlah anggota sangat signifikan terjadi antara Maret hingga
November 1954, dari jumlah awal 165.206 menjadi 500.000. Lihat Ricklefs, Op.cit., h. 492.
69
Mortimer, Op.cit., h. 36.
Universitas Indonesia
70
Poesponegoro dan Notosusanto, Op.cit., h. 316-321.
71
Feith, Op.cit., h. 84.
72
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia: Studi Sosio-Legal
Atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2001), h. 32.
73
PKI memiliki departemen-departemen khusus untuk membantu tugas Dewan Harian
Politbironya. Selain Agitprop PKI memiliki departemen bidang Organisasi, Ekonomi, Ilmu dan
Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga, Luar Negeri, Wanita, dan Front Persatuan
Nasional. Kecuali Departemen Organisasi, semua departemen tersebut adalah semacam
badan legislatif dalam partai yang mengurusi bidang spesialisasinya masing-masing. Tugas
setiap departemen biasanya datang dari Dewan Harian Politbiro atau inisiatif departemen
sendiri. Jadi departemen-departemen tersebut pada umumnya berfungsi sebagai badan
pemikir bagi PKI dan Harian Rakjat berguna untuk menyebarluaskan hasil-hasil kerjanya.
Keterangan ini diperoleh dari transkrip kesaksian Peris Pardede dalam sidang pengadilan Dr.
Subandrio. Selengkapnya lihat Pusat Pendidikan Kehakiman, G-30-S Dihadapan Mahmillub 3
Di Djakarta II: perkara Dr. Subandrio, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1967), h. 198-200.
Universitas Indonesia
74
“u agijo I.N., ‘i a at Hidup Wilopo , dala Pa itia Pe i gata Tahu Wilopo, Wilopo 70
Tahun, (Jakarta: Gunung Agung, 1979), h. 158.
75
Nasution, Op.cit., h. 40-41.
76
Dinamika perdebatan itu selengkapnya dapat dilihat melalui pidato Njoto dalam Tentang Dasar
Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid III, (Bandung: tanpa penerbit, 1958), h.
83-111 (Untuk memudahkan penyebutan, selanjutnya akan ditulis: Tentang Dasar Negara III).
Lihat juga Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75
Tahun, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 194-208.
77
Sejak awal pertentangan politik antara Masyumi dan PKI memang tidak terjembatani. Sejak
awal masa Demokrasi Parlementer hubungan antara Masyumi dan PKI telah tegang, terutama
sejak Perdana Menteri Sukiman melakukan Razia Agustus pada 1951. Saat itu Perdana
Menteri Sukiman memerintahkan penangkapan terhadap kaum komunis dan simpatisannya
setelah beberapa bulan sebelumnya merebak kekacauan dan pemogokan di Jakarta. Di Bogor
sebuah kerusuhan timbul akibat peledakan granat ke arah kerumunan massa dan
segerombolan bersenjata yang berlencana palu-arit menyerang sebuah pos polisi. Kaum
komunis ditengarai berada di balik layar kekacauan itu. PKI tidak bisa mengelak dari tuduhan
itu dan sejumlah penangkapan terhadap sejumlah aktivisnya akhirnya dilakukan oleh
pemerintah Perdana Menteri Sukiman. Akibatnya gerak PKI membangun kembali kekuatan
politiknya menjadi terganggu. Lihat Riclefs, Op.cit., h. 482-483 dan Siauw Tiong Djin, Siauw
Giok Tjhan: Riwayat Perjuangan Seorang Patriot Membangun Nasion Indonesia dan
Masyarakat Bhineka Tunggal Ika, (Jakarta: Hasta Mitra, 1989), h. 166-171. Bersama dengan
Universitas Indonesia
NU, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan beberapa tokoh PNI Masyumi telah menolak
masuknya tokoh PKI dalam kabinet hasil Pemilihan Umum 1955. Lihat Poesponegoro dan
Notosusanto, Op.cit., h. 321. Pemimpin Masyumi, Natsir, bahkan pernah mengungkapkan
sejumlah dalil Alquran dan hadits yang menyebutkan bahwa komunisme bertentangan
dengan hukum Islam. Dia juga memperingatkan kepada kader Masyumi agar waspada kepada
politik PKI. Lihat Nugroho Dewanto (ed.), Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), h. 62.
78
Njoto, Tentang Dasar Negara III, Op.cit., h. 85-86 dan 90-92.
79
Ibid., h. 99-102.
80
Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Op.cit.
Universitas Indonesia
81
Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Jakarta: Gunung Agung, 1987), h. 449-450.
82
Nasution, Op.cit., h. 41.
83
Ibid., 43.
84
Poesponegoro dan Notosusanto, Op.cit., h. 380-381.
Universitas Indonesia
85
Nasution, Op.cit., h. 357.
86
Ibid., h. 371.
87
Poesponegoro, Op.cit., h. 381 dan 385.
88
Pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1959 Presiden Sukarno membacakan pidato
e judul Pe e ua Ke ali ‘e olusi Kita . Melalui pidato te se ut P eside “uka o
menjelaskan secara lebih mendalam konsepsinya tentang sistem Demokrasi Terpimpin.
Rumusan pidato tersebut kemudian dijadikan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara
GBHN a g di e i kepala Ma ifesto Politik ‘epu lik I do esia atau disi gkat Ma ipol.
Manifesto politik yang berasal dari pidato Presiden Soekarno itu secara garis besar
menunjukkan bahwa Presiden Soekarno bermaksud menggelorakan kembali semangat
revolusi dan keadilan sosial yang berkesinambungan. Kaidah abstrak Manipol tersebut
ditambah lagi dengan seperangkat nilai-nilai yang disingkat USDEK; Undang-undang Dasar
1945, Sosialisme Indonesia, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Manipol-USDEK
Universitas Indonesia
selanjutnya menjadi ideologi yang resmi dan didiseminasikan ke segala tingkat pemerintahan,
pendidikan, dan bahkan pers diharuskan mendukungnya. Lihat Ibid., h. 419-420 dan Ricklefs,
Op.cit., h. 527.
89
Pada Juni 1960 Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilihan Umum 1955 dan
membentuk suatu DPR baru yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPR-GR). Pada Juni 1960 Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilihan Umum 1955
dan membentuk suatu DPR baru yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPR-GR). Berawal dari pembentukan DPR-GR tersebut kemudian Presiden Soekarno memulai
sebuah konsolidasi kekuasaan yang lebih masif. Pertama Presiden Soekarno membentuk
Front Nasional pada 1959 dan kemudian pada 1962 lembaga-lembaga tinggi negara
diintegrasikan dengan eksekutif. Pemimpin-pemimpin lembaga MPRS, DPR-GR, DPA,
Mahkamah Agung, dan Dewan Perancang Nasional (Depernas) diangkat menjadi menteri.
Dengan langkah tersebut Presiden Soekarno dapat mengamankan kebijakan
pemerintahannya. Lihat Poesponegoro dan Notosusanto, Ibid., h. 420-423.
90
Edward C. Smith, Sejarah Pembreidelan Pers Di Indonesia, terj. Atmakusumah dkk, (Jakarta:
Grafiti Pers, 1983), h. 176-177.
91
Ricklef, Op.cit., h. 529-530.
Universitas Indonesia
92
Onghokham, Sukarno, Orang Kiri, Revolusi, dan G30S 1965, (Depok: Komunitas Bambu, 2009),
h. 151-152 dan Poesponegoro dan Notosusanto, Op.cit., h. 425.
93
“e agai a a diakui a dala Njoto, Pe satua kita le ih kuat da i o ato !, Harian Rakjat
5 Juli 1962, h. III.
94
Njoto, Lo ok Ba gu , Harian Rakjat 13 Juli 1961, h. III.
95
John D. Legge, Sukarno: Sebuah Biografi Politik, terj. Tim Penerbit Sinar Harapan, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1985), h. 371.
96
Ibid., h. 435.
97
Zulkifli dan Hidayat, Op.cit., h. 37.
Universitas Indonesia
fantasi filsafat’. Karena itu Presiden Sukarno merasa jemu dengan gaya pidato
semacam itu yang disebutnya sebagai ‘ceramah’. Njoto-lah, dengan dibantu
Carmel Budiardjo, yang ternyata bisa memenuhi ekspektasinya. Meskipun pidato
itu menurut Ganis Harsono bermutu rendah karena tidak cermat menyajikan fakta
dan bernada kasar, Presiden Sukarno tetap memilih pidato tersebut daripada
susunan Subandrio.98
Meskipun demikian, alasan kedekatan Njoto dan Presiden Sukarno itu
sebenarnya tidak terlalu terang. Tetapi yang jelas, hal itu terjadi hampir bersamaan
dengan keretakan hubungan antara Njoto dan Aidit. Menjelang pertengahan 1965
dikabarkan bahwa Njoto dan Aidit berseberangan dalam dukungannya terhadap
perpecahan komunisme internasional. Aidit cenderung mendekat ke kubu
komunis Tiongkok dan Njoto tetap dalam pendiriannya berkiblat ke Uni Sovyet.99
Tetapi alasan itu bukan satu-satunya. Sejauh yang bisa dilacak penulis, Njoto
sebagai seorang tokoh pimpinan PKI agaknya bertindak terlalu jauh dengan
dukungan-dukungannya kepada pemikiran Presiden Sukarno. Presiden Sukarno
bahkan sampai menyebut Njoto sebagai ‘marhaenis sejati’. Njoto sendiri
menelurkan istilah ‘Sukarnoisme’ yang kemudian menjadi jargon populer.
Menurutnya Sukarnoisme lebih bisa diterima dalam kalangan buruh dan tani
daripada Marxisme yang terlalu asing. Pemikiran seperti ini memang terlalu
menyimpang bagi PKI yang tegas menyatakan berideologi Marxisme-Leninisme.
Aidit menuduh Njoto dipakai Presiden Sukarno untuk menggembosi PKI. Jabatan
Njoto dalam partai pun satu persatu dilucuti. Persoalan menjadi lebih rumit ketika
Presiden Sukarno menggagas sebuah partai baru yang berideologi Sukarnoisme
dan Njoto dikabarkan akan menjadi ketuanya.100
98
Harsono, Op.cit., h. 200-201.
99
Ibid., h. 199 dan Maulwi Saelan, Dari Revolusi ’ Sa pai Kudeta ’ : Kesaksia Wakil
Komandan Tjakrabirawa, (Jakarta: Yayasan Hak Bangsa, 2001), h. 291.
100
Zulkifli dan Hidayat, Op.cit., h. 38-41. Alasan perpecahan Njoto dan Aidit tersebut masih
diliputi kesimpangsiuran. Dalam hemat penulis jika memang perpecahan itu benar adanya,
alasan yang cukup logis adalah karena perbedaan haluan politik di antara keduanya.
Universitas Indonesia
itu akhirnya juga menjadi satu tengara yang melekat pada dirinya. Njoto memulai
langkahnya di dunia jurnalistik sejak berada di Yogyakarta pada situasi
berkecamuknya Perang Kemerdekaan. Bersamaan dengan aktivitasnya dalam PKI
dan KNIP dia masuk dalam dapur redaksi majalah Bintang Merah, majalah teori
yang diterbitkan PKI. Ia menjadi salah satu redaktur bersama Aidit dan Lukman.
Majalah ini diterbitkan pertama kali pada 17 November 1945.101 Saat itu, sebelum
Njoto masuk dalam lingkaran Aidit, pimpinan redaksi Bintang Merah dipegang
oleh M.H. Lukman.102
Njoto menulis dalam majalah teori ini sepanjang kurun 1947—1948.
Selain itu, tiga sekawan ini juga turut dalam tim penerjemahan beberapa buku-
buku teori penting komunisme. Di antara buku-buku hasil penerjemahan tim ini
adalah Dasar-Dasar Leninisme, Materialisme Dialektika dan Histori, dan
Manifesto Partai Komunis. Penerjemahan karya-karya itu merupakan sebuah
upaya untuk memadukan teori komunisme dengan praktik konkret revolusi di
Indonesia.103 Selain dalam Bintang Merah Njoto juga masuk jajaran pewarta
harian Suara Ibu Kota yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan. Siauw Giok Tjhan
adalah seorang Tionghoa yang telah lama berkecimpung di ranah politik dan
jurnalistik. Pada masa revolusi ia adalah salah satu wakil Partai Sosialis dalam
KNIP. Suara Ibu Kota adalah surat kabar harian yang menjadi terompet Partai
Sosialis, rekanan PKI dalam koalisi Sayap Kiri. Siauw Giok Tjhan memimpin
Suara Ibu Kota dalam tanggungjawabnya sebagai salah seorang anggota Seksi
Penerangan Partai Sosialis.104 Dari Siauw Giok Tjhan inilah agaknya Njoto
belajar mendalami dunia kewartawanan.
Bintang Merah berhenti penerbitannya ketika pecah Peristiwa Madiun
1948. Baru pada 15 Agustus 1950 majalah teori Bintang Merah diterbitkan
kembali bersamaan dengan dimulainya proses revitalisasi PKI oleh kelompok
Aidit. Saat itu Njoto turut kembali masuk dapur redaksinya bersama Aidit,
Lukman, dan Peris Pardede. Majalah ini menjadi basis utama untuk menjaga
kesatuan pemahaman kader terhadap teori-teori Marxisme dalam situasi
101
Latif, Op.cit., h. 250.
102
Soerjono, Loc.cit., h. 66.
103
Latif, Op.cit., h. 257-258.
104
Siauw, Op.cit., h. 117 dan 143.
Universitas Indonesia
105
Latif, Op.cit., h. 309-312
106
Murad Aidit, Aidit Sang Legenda, (Jakarta: Panta Rei, 2005), h. 121-125.
107
Siauw, Op.cit., h. 139.
108
Ibid., h. 143. Murad Aidit, adik D.N. Aidit, memiliki pandangan yang berlainan tentang
pendirian dan kepemilikan Suara Rakjat dan Harian Rakjat. Murad Aidit menyatakan bahwa
Suara Rakjat, dan kemudian Harian Rakjat, sejak awal didirikan oleh PKI. Suara Rakjat di
terbitkan dua kali seminggu dalam bentuk stensil untuk menyiasati keterbatasan dana.
Lambat laun stensil Suara Rakjat mendapat sambutan hangat dari pembaca di Jakarta. Karena
berkembang cukup baik kemudian stensilan ini bisa diterbitkan secara harian dengan nama
Harian Rakjat. Lihat Aidit, Op.cit., h. 124.
Universitas Indonesia
109
Siauw, Ibid., h. 145-147. Meskipun secara resmi akuisisi itu terjadi pada 1953, tetapi menurut
Arnold C. Brackman PKI sudah mengontrol koran ini sejak Februari 1951. Lihat Brackman,
Op.cit., h. 149.
110
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap
Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950—1965, (Yogyakarta: Merakesumba, 2008), h. 79-80.
111
Zulkifli dan Hidayat, Op.cit., h. 80-83.
Universitas Indonesia
masa 12 tahun selanjutnya Njoto menjadi ketua Dewan Redaksi Harian Rakjat
hingga menjelang peristiwa G30S. Salah satu pekerjaan rutinnya adalah menulis
editorial untuk koran resmi PKI tersebut.112 Selain sebagai komandan para
pewarta, Njoto juga rajin mengisi kolom-kolom Harian Rakjat dengan tulisannya.
Untuk publikasi seringkali ia memakai nama Iramani sebagai nama pena.113
Dalam menulis, hal-hal yang menjadi perhatiannya cukup luas dan
beragam. Njoto kerap menulis analisis politik, tinjauan buku, memoar tokoh,
puisi, catatan perjalanan, soal-soal ideologi, hingga menerjemahkan karya puisi
penyair dunia yang ia sukai. Pidato-pidatonya yang disampaikan dalam berbagai
majelis juga sering menjadi pengisi kolom-kolom Harian Rakjat. Berdasarkan
dokumentasi penulis, sejak 1955 kuantitas dan intensitas tulisan Njoto cenderung
meningkat. Dalam tulisannya Njoto senantiasa lugas dalam artikulasi dan sangat
kuat dalam menggunakan retorika. Seringkali juga terlontar sinisme dan letupan
emosinya. Umumnya Njoto menulis cukup panjang, bahkan perlu dibuat berseri
untuk mempublikasikannya secara utuh.
112
Martin Aleida, Langit Pertama Langit Kedua: Cerita Pendek, Catatan Perjalanan, Esei, Kritik,
Perdebatan, (Tanpa kota terbit: Nalar, 2013), h. 143-144.
113
Zulkifli dan Hidayat, Op.cit.
114
Harsono, Op.cit., h. 95. Perihal apakah Njoto menjadi pemusik sebelum atau sesudah menjadi
anggota KNIP, peneliti tidak menemukan catatan lebih lanjut tentang hal itu.
Universitas Indonesia
kawan senimannya. Sikap simpatik itu misalnya terlihat ketika dalam perjalanan
ke Jawa Timur Njoto sempat berkirim surat kepada salah satu kawan penyairnya,
Klara Akustia. Dalam suratnya itu dengan lugas Njoto menyatakan
kegembiraannya atas terpilihnya beberapa kawan seniman dan budayawan sebagai
panitia delegasi ke Konferensi Perdamaian Asia dan negara-negara Pasifik. Di
antara para panitia delegasi untuk hajatan internasional itu ada Utuy T. Sontani,
Basuki Resobowo, Armijn Pane, Henk Ngantung, dan Klara Akustia sendiri.
Konferensi tersebut sedianya akan diadakan di Peking, Tiongkok. Kepada Klara
Akustia Njoto merasa perlu untuk mengajukan satu orang lagi agar bisa diajak
dalam delegasi itu:
“...tidakkah bisa kauminta supaja Rivai Apin pergi? Katjuali akan dapat menyaksikan
sendiri apa jang selama ini suka disebut orang ‘dibelakang tirai besi’, baik buat dia untuk
berobat disana. Dia pasti akan sembuh disana!” 115
Permintaan Njoto kepada Klara Akustia mengajak serta Rivai Apin agar sekaligus
bisa berobat ini tentu lahir dari kedekatan yang intens.
Kepedulian Njoto juga terlihat ketika ia berkesempatan menjadi pembicara
dalam sebuah seminar di hadapan mahasiswa Fakultas Teknik di Bandung. Dalam
ceramah yang membicarakan persoalan pajak tersebut Njoto menyebut tentang
kesulitan-kesulitan beberapa kalangan sebagai akibat tarikan pajak. Salah satu
yang terimbas kebijakan pajak itu adalah kalangan seniman. Njoto yang memang
berkawan dengan beberapa tokoh seniman dan budayawan itu prihatin:
“...Semua ini terang membunuh usaha dan membunuh kehidupan. Tetapi masih ada lagi
jang tidak mau saja lewatkan, jaitu padjak bagi seniman. Sdr. Pramoedja A. Toer, sdr.
Utuy T. Sontani, dll., sudah ber-kali2 mengeluh tentang tagihan2 padjak jang tidak bisa
dan tidak mungkin bisa dibajar. Pemain film kita sdr. Soekarno misalnja, telah ditagih
padjak 48.000 rupiah untuk 1 tahun! Bukankah semua ini membunuh dajatjipta,
membunuh kehidupan kesenian, membunuh kebudajaan?”116
Sikap simpatik yang dimiliki Njoto itu agaknya bukanlah sebuah basa-basi
belaka. Lebih dari pernyataan simpati semata-mata, Njoto juga menunjukkan
solidaritasnya dalam bentuk dukungan langsung. Amrus Natalsya, seorang perupa
yang juga anggota Lekra, mengenang Njoto sebagai pribadi yang mau membantu
seniman dalam berkarya. Amrus mengaku pernah dibantu oleh Njoto ketika ia
115
Njoto, “u at pe djala a da i I a a i kepada Kla a Akustia , Harian Rakjat 16 Agustus
1952, h. V
116
Njoto, Uta aka sekto eko o i ega a u tuk e i ga ka padjak akjat I dala Harian
Rakjat 27 September 1956, h. III.
Universitas Indonesia
kesulitan dana membeli bahan patung dan lukisan. Njoto juga turut membantu
menjualkan karyanya. Sejarawan Asvi Warman Adam menilai bahwa Njoto
memiliki pengaruh besar di kalangan seniman.117 Pengaruh itu timbul salah
satunya karena sikap bersahabat dan dukungan langsung yang ditunjukkan Njoto
kepada kawan-kawan senimannya. Menurut sastrawan Lekra, Sabar Anantaguna,
Njoto memang orang yang tahu bagaimana berhubungan dengan seniman yang
lekat dengan citra tidak mau diatur dan dikomando.118
Satu faktor lagi yang menandai bahwa kedekatan dan simpati Njoto
kepada kalangan seniman dan budayawan bukan sekadar basa-basi saja adalah
wawasannya terhadap seni dan budaya yang cukup luas. Hal itu terlihat misalnya
dari keterangan cerpenis Trikoyo yang cukup akrab dengan Njoto. Trikoyo
menyatakan bahwa minat sastra Njoto cukup luas mulai dari karya-karya
sastrawan Rusia hingga sastrawan yang secara ideologi berseberangan seperti
H.B. Jassin dan Hamka. Njoto juga tahu banyak tentang pengetahuan musik, tidak
hanya fasih memainkan alat musik saja.119 Sumber lain yang mengonfirmasi
sejauh mana wawasan Njoto tentang soal-soal kesenian dan budaya adalah rubrik
“Kebudajaan” di Harian Rakjat. Dalam riset skripsi ini penulis mendokumentasi
artikel-artikel yang ditulis oleh Njoto yang mencakup beragam bahasan mulai dari
ulasan film, kritik sastra, puisi, puisi terjemahan, naskah pidato kebudayaan,
hingga biografi tokoh-tokoh seni dari dalam dan luar negeri. Dengan kapasitas
pribadi yang demikian menjadi tidak mengherankan jika Hr. Bandaharo sampai
menulis puisi khusus bagi Njoto. Pada dua bait pertamanya, Hr. Bandaharo
menyanjung Njoto sebagai maesenas:
“Dia seorang penjair dan seorang pedjuang/ kemana datang membawa sandjak dan njanji/
serta katabersajap jang terbang mengitari negeri;/ di Den Pasar, di Bona, di Belah Batu, di
Djemberana,/ di Banjuwangi jang rangsang dan heroik,/ aku menjaksikan dia menempa
matahari.//
Tibanja bersama kesegaran senjum/ melahirkan tepuktangan dan sorakgembira;/ dia ada
dalam Indonesia Raja,/ dalam Bendera Merah dan Internasionale,/ dia ada dalam pidato
serta utjapan selamatdatang.// ...”120
117
Arif Zulkifli dkk (ed.), Lekra dan Geger 1965, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014),
h. 18-20.
118
Zulkifli dan Hidayat, Op.cit., h. 45-47.
119
Ibid., h. 80-81 dan 92-93.
120
H . Ba daha o, Di- a a u ga e djadi eka dala Harian Rakjat 24 Maret 1962, h. III.
Universitas Indonesia
Dia juga menulis dan menerjemahkan puisi, mahir berdansa waltz dan
foxtrot, piawai memainkan beberapa jenis alat musik, dan sekaligus pribadi yang
mampu bergaul baik dengan seniman. Ia juga memiliki wawasan yang cukup
tentang kebudayaan. Bacaan sastranya juga cukup luas, mulai dari sastrawan
dunia komunis hingga sastrawan yang secara ideologi berseberangan.122
Determinasi yang demikian itu membuatnya menjadi pribadi komunis yang khas.
Ia merepresentasikan wajah lain komunisme yang lebih terbuka dan membumi.
Pada bagian sebelumnya telah dibahas bagaimana karakter otodidak telah
tumbuh dalam diri Njoto sejak belia. Karakter itu juga turut mewarnai dan
menjadi fundamen penting ketika Njoto mengekspresikan sikap-sikap
kebudayaannya. Karena “banyak studi, banyak membaca” itulah terdapat
idealisme tertentu yang ingin dipertahankan oleh Njoto dalam sikap
kebudayaannya. Termasuk ketika Njoto terlibat dalam pendirian Lekra Pada 1950.
Njoto adalah tokoh penting di balik pendirian Lekra pada 17 Agustus
1950. Ia mendirikan Lekra bersama Aidit serta beberapa tokoh seniman antara
lain M.S. Ashar, dan A.S. Dharta. Segera setelah itu dibentuk kepengurusan
Sekretarian Pusat Lekra dengan sekretaris umumnya Joebaar Ajoeb. Kelengkapan
pengurus lainnya diisi oleh A.S. Dharta, M.S. Ashar, dan Herman Ardjuno
sebagai sekretaris I, II, dan III. Sementara anggota-anggota Sekretariat Pusat itu
antara lain Henk Ngantung, Sudharnoto, dan Njoto. Setahun kemudian cabang-
cabang Lekra telah dibuka di Surabaya, Medan, Yogyakarta, Solo, Bogor,
121
Zulkifli dan Hidayat, Op.cit., h. 84-85.
122
Ibid., h. 80-83.
Universitas Indonesia
123
Yaha a Is ail, Politik Adalah Pa gli a: Ko sep Buda a Da “ast a Lek a “e uah Ti jaua
Aspek Sosio-Buda a , “k ipsi U i e sitas I do esia, Jaka ta, , h. -16.
124
Latif, Op.cit.
125
Ismail, Op.cit.
126
Ajip Rosidi, Loc.cit.
Universitas Indonesia
127
Njoto, Pidato Njoto e uka Pa e a , Harian Rakjat 14 September 1959, h. III.
128
Lebih detail tentang masalah ini lihat artikel Rosidi, Loc.cit., h. h. 32-36 dan Zulkifli dkk, Op.cit.,
h. 19 dan 52-60. Sejauh mana kadar pengaruh PKI terhadap Lekra atau sebaliknya dalam
pandangan penulis bisa dilihat secara detail dalam hubungan cabang-cabang kedua institusi
ini di tingkat nasional dan daerah. Untuk menjawab persoalan ini agaknya bisa dijadikan suatu
penelitian yang tersendiri. Skripsi ini tidak hendak membahas lebih lanjut hal tersebut karena
fokus kajiannya bukan dalam topik itu. Sejauh mana kadar pengaruh PKI terhadap Lekra atau
sebaliknya dalam pandangan penulis bisa dilihat secara detail dalam hubungan cabang-
cabang kedua institusi ini di tingkat nasional dan daerah. Untuk menjawab persoalan ini
agaknya bisa dijadikan suatu penelitian yang tersendiri. Skripsi ini tidak hendak membahas
lebih lanjut hal tersebut karena fokus kajiannya bukan dalam topik itu.
Universitas Indonesia
BAB 3
PURWARUPA SOSIALISME INDONESIA
Universitas Indonesia
federal dan republik. Banyak dari mereka kemudian diterima di dalam birokrasi.
Jumlah pegawai birokrasi itu pun sangat tinggi, tercatat pada 1960 jumlahnya
mencapai 807.000. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia saat itu,
rasionya satu pegawai melayani 118 orang penduduk. Padahal gaji mereka rendah
dan sangat dipengaruhi inflasi. Keadaan ini menjadikan inefisiensi, salah urus,
dan korupsi menjadi hal yang lumrah.130
Pemulihan ekonomi yang lamban membuat inflasi terus berlanjut dan
biaya hidup umum meningkat hingga sekitar 100 persen selama kurun 1950—
1957. Angka itu belum termasuk fluktuasi di daerah-daerah. Golongan pegawai
dan buruh upahan yang terpengaruh oleh inflasi sangat menderita oleh keadaan
ini. Tetapi keadaan sebaliknya justru dirasakan oleh para tuan tanah, pejabat desa
yang mendapatkan pembagian tanah sebagai pengganti gaji, dan petani produsen
beras. Segera tampak bahwa secara ekonomi Indonesia tidak merdeka.131
Kemerdekaan ternyata tidak serta-merta mendatangkan kemakmuran yang
diharapkan rakyat Indonesia.
Dalam paruh pertama dekade 1950-an suasana politik nasional pun belum
stabil benar. Sebagaiman telah disinggung dalam bab sebelumnya, delapan kali
pergantian kabinet dalam 1950—1959 dan menguatnya iklim kontestasi politik
ideologi menjadi indikasinya. PKI sekaligus menanggung juga citra buruk partai
Pascaperistiwa Madiun 1948. Keadaan masyarakat yang demikian rudin itu harus
dihadapi PKI, terutama oleh pemimpin baru PKI yang naik pada 1951.
Kepemimpinan Aidit sekawan memiliki beban ganda. Mereka harus
merevitalisasi partainya dan di waktu yang sama ikut mencari solusi agar frustasi
dalam masyarakat tidak semakin kalut.
Terlebih dahulu PKI perlu merehabilitasi namanya. Karena itu sejak 1951
PKI merancang aneka program dan propaganda untuk menumbuhkan citra positif
terhadap partai. PKI berusaha mencitrakan dirinya sebagai partai yang nasionalis,
demokratis, toleran, antikolonial, dan antikekerasan. PKI juga berusaha
merehabilitasi citranya terkait gerakan mereka dalam Peristiwa Madiun 1948.
Terhadap preseden buruk yang melekat pada partai terkait insiden tersebut, dalam
130
Ricklefs, Ibid., h. 472-474.
131
Ibid., h. 475.
Universitas Indonesia
132
Yozar Anwar, Protes Kaum Muda!, (Jakarta: PT Variasi Jaya-Kartini Group, 1982), h. 123-124.
133
Arnold C. Brackman, Cornell Paper: Di Balik Kolapsnya PKI, terj. Fauzi Absal, (Yogyakarta:
elstReba, 2000), h. 7-8.
Universitas Indonesia
nasionalisme maka semua partai saat itu kurang lebih adalah kanan. Begitu juga
sebaliknya, ketika istilah “kiri” dipakai untuk menyimbolkan sosialisme,
kolektivisme, dan sikap antikapitalisme maka semua partai pun adalah kiri.134
Simpulannya, dalam keadaan Indonesia yang tidak menentu itu pertarungan
politik tidak sepenuhnya berjalan dalam koridor idealisme yang kejur. Praksis
politik juga ditentukan dan disesuaikan dengan kondisi kekinian periode itu.
Simpulan tersebut menjadi titik kisar penulis dalam menjabarkan gagasan
politik dan ideologi Njoto. Penulis mengetengahkan pendekatan yang pragmatis
dalam mengurai pemikiran Njoto. Jadi, penulis berpendapat bahwa gagasan Njoto
adalah suatu respons atas kondisi sosial politik kekinian yang diartikulasikan
melalui cara pandang komunisme. Pertanyaan yang terbit kemudian adalah
kondisi atau konteks seperti apakah yang mendorong determinasi Njoto?
134
Fachry Ali dalam Boyd R. Compton, Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia Boyd R.
Compton, terj. Hamid Basyaib, (Jakarta: LP3ES, 1993), h. xlviii-xlix.
135
Njoto, ‘e u ga satu Mei Harian Rakjat 30 April 1952, h. lembaran ekstra.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Perjudian itu kemudian menjadi persoalan akut ketika tren pasar malam sudah
mereda di Besuki, tetapi perjudian malah semakin merajalela. Pada 1954, dua
tahun setelah lawatan pertama Njoto ke Besuki, Njoto mendapati kenyataan di
mana-mana di Besuki pemandangan orang berjudi menjadi umum:
“Di-kampung2, segera sesudah orang ‘slawatan’ atau ‘terbangan’ (me-mukul2 gendang
dibawah pengaruh Islam) terus main ‘kartu-lima’. Di-halaman2 surau orang berdjudi, di-
tepi2 djalan orang berdjudi. Dan kalau tjara2 djudi jang lama tak menarik lagi, mereka
me-reka2 tjara2 jang baru. Beli undian uang sudah terlalu lumrah. ...”141
140
Ibid.
141
Njoto, BE“UKI tjatata pe djala a si gkat , Harian Rakjat 16 Januari 1954, h. III.
Universitas Indonesia
Tetapi demarkasi itu hanja berlaku untuk beras Rakjat, untuk laba dan keuntungan tak ada
demarkasi. Jang di Banjuwangi karena pembelian padi bisa se-murah2nja, jang di-
kabupaten2 lain karena pendjualan beras bisa se-mahal2nja. Dan bupati2 membeli
perkebunan2 dan andil2 perseroan se-banjak2nja. Dan pembesar2 STII mendirikan dan
mendirikan terus rumah2 se-banjak2nja.”142
Merebaknya penyakit sosial dan ulah oknum aparat pemerintah lokal yang
tidak bertanggungjawab ternyata adalah baru satu fenomena. Di lain daerah Njoto
mendapati kaum tani kecil juga harus berhadapan dengan kekuatan perusahaan
asing. Seperti yang diamatinya di Sumatra Utara dalam sebuah perjalanan
kunjungan partai. Pada 6 April 1954, Njoto berkesempatan meninjau daerah
Tanjung Morawa yang pada Maret 1953 dilanda kerusuhan antara aparat
keamanan dan warga pengolah tanah yang sebelumnya milik Deli Planters
Vereeniging (DPV). Pada kunjungan itu Njoto sempat beraudiensi dengan salah
satu petani yang menjadi korban kerusuhan itu. Demikian Njoto mencatat
percakapan singkatnya dengan si petani:
“...kami pindah kesoal penghidupan mereka. ‘Bagaimana sawahnja pak?’ ‘Bulan j.l. kami
tanam katjang, hudjan tidak turun. Ini kami tanam kedelai, hudjan tidak turun lagi. Tjoba
barangkali bulan depan baik......’ ‘Bagaimana usahanja menangkap ikan?’ ‘Ah, itu ‘kan
hanja untuk mengeluarkan keringat, supaja kami tidak malas......’
Seperti tersajat hati kami. Toh orang mau mengorbankan penghidupan petani ini untuk
formalisme tentang ‘hak onderneming2 asing’!” 143
142
Ibid.
143
Njoto, Tjatata “u ate a IV , Harian Rakjat 12 April 1954, h. II.
144
Ibid.
Universitas Indonesia
Dari pernyataan ini segera terlihat pemihakannya terhadap rakyat kecil. Rakyat
sebagai sentral pandangan dan sikap politiknya. Dia melihat bahwa tidak ada
kesempatan berharap kepada borjuasi dan kaum tuan tanah karena golongan ini
selamanya akan mencegah munculnya kesadaran rakyat. Padahal, kesadaran
rakyat adalah salah satu modal dalam perjuangan meraih cita-cita kemakmuran.
Dalam tulisan berkepala Pers Dan Massa itu juga Njoto menandaskan
suatu keyakinan tradisional komunisme. Dia mengatakan bahwa, “Perdjuangan
ideologi itu pentjerminan perdjuangan klas. Selama ada penindasan dan
penghisapan didunia ini, selama itu perdjuangan ideologi berlangsung,...”146 Pada
kesempatan lainnya dia menyampaikan, “Mengapa Marxisme erat dengan massa
Rakjat? ... karena Marxisme bertolak dari kehidupan dan untuk mengubah
kehidupan.”147 Dari sini dia meyakini benar bahwa ideologi bisa menjadi jalan
pembebas bagi rakyat. Marxisme adalah jalan yang ia pilih untuk “berjuang”.
Njoto juga berkeyakinan bahwa “Didalam perdjuangan ideologi tidak ada djalan
ketiga, tidak ada djalan tengah.”148 Menjadi komunis adalah berpihak kepada
rakyat atau kaum tertindas. Keberpihakan dan pembelaan itu hanya sekali, kepada
kaum tertindas, dan tidak ada jalan kompromi.
Pada titik ini telah tergambar muasal dari determinasi politik dan ideologi
Njoto, rakyat. Dari intensitas tulisan-tulisannya secara tersirat dapat
menggambarkan bahwa kehidupan rakyat adalah titik kisar bagi perjuangan
politik dan ideologi. Sekaligus terlihat pula cara pandang kelas ala Marxisme
145
Njoto, Pers Dan Massa, (Jakarta: NV Rakjat, 1958), h. 10-11.
146
Ibid., h. 10.
147
Njoto, Ma is e Kia Besa Dajahidup ja , Harian Rakjat 7 Mei 1963, h. III
148
Njoto, Pers dan Massa, Op.cit., h. 9.
Universitas Indonesia
sangat mewarnai pandangan Njoto terhadap realitas sosial. Cara pandang yang
demikian adalah endapan dari pengalamannya bersentuhan dengan Marxisme
sejak belia. Pandangannya semakin tajam seiring dengan aktivitas dan
pengalaman politiknya yang meninggi, tetapi di sini Njoto masih hanya berbicara
tentang realitas dan persoalan masyarakat yang diamatinya. Njoto belum beranjak
dari posisinya sebagai kader komunis yang mengamati. Jadi, berhadapan dengan
kondisi khas Indonesia dewasa itu, seperti apa solusi “ideologis” yang hendak
disuguhkan oleh Njoto?
Dia juga melanjutkan bahwa komunisme yang membumi itu adalah suatu cita-cita
tersendiri, “Komunisme jang karakteristik Indonesia!, inilah tudjuan kita, kaum
Komunis Indonesia. Oleh sebab itu kita menjesuaikan kebenaran2 umum
Marxisme dengan keadaan2 jang chas Indonesia.”151
149
Njoto, Alte atif agi suatu alte atif , Harian Rakjat 13 Oktober 1954, h. II.
150
Njoto, Marxisme: Ilmu dan Amalnya, (Jakarta, Teplok Press, 2003), h. 57.
151
Njoto, Alte atif... , Loc.cit.
Universitas Indonesia
152
Anwar, Op.cit., h. 119-120. Borjuasi kecil yang dimaksud di sini adalah kaum miskin di kota,
intelektual, pedagang kecil, perajin, nelayan, dan lain-lain. Sedangkan borjuasi nasional adalah
golongan yang status sosialnya lebih tinggi daripada borjuasi kecil yang secara tegas anti-
Barat dan mendukung atau setidaknya masih bisa berkompromi dengan komunis.
153
Njoto, Pidato Pe ga ta U tuk Pe u aha P og a Pa tai , dala De a ‘edaksi Bintang
Merah, Madju Terus! Dokumen-dokumen Kongres Nasional ke-VII (Luarbiasa) Partai Komunis
Indonesia (djilid I), (Jakarta: Yayasan Pembaruan, 1963), h. 114-115.
Universitas Indonesia
154
Njoto, Marxisme: Ilmu dan Amalnya, Op.cit., h. 57.
155
Njoto, Pidato... , Op.cit., h. 105.
156
Njoto, Marxisme: Ilmu dan Amalnya, Op.cit., h. 59.
157
Ibid., h. 59-60.
Universitas Indonesia
kaum tani. Khusus tentang ini Njoto menjelaskan dalam pidatonya saat Kongres
Nasional VII (luar biasa) PKI pada 1962 sebagai berikut:
“Program agraria jang revolusioner ini adalah untuk menghapuskan samasekali sisa2-
feodalisme jang sangat membelenggu kaum tani itu. Sudah tentu, pembebasan kaum tani
ini hanja bisa dilakukan oleh kaum tani sendiri. Kewadjiban proletariat dan Partainja
adalah membangkitkan kaum tani itu, dengan menanamkan kesedaran politik dikalangan
mereka.”158
Program agraria itu di antaranya dilaksanakan dengan penyitaan tanah milik tuan
tanah asing dan pribumi lalu dilanjutkan dengan pembagian tanah kepada buruh
tani dan petani miskin.159
Lantas, bagaimanakah sosialisme yang dibayangkan Njoto terhadap
Indonesia?
Universitas Indonesia
Dalam hal ini secara tersirat Njoto mencoba menekankan tentang perlunya
menjaga jarak dengan anasir lokalitas dalam praksis membangun masyarakat
sosialisme. Njoto mengkhawatirkan suatu gejala yang mengasosiasikan
pemahaman atas sosialisme Indonesia dengan “Indonesianisasi”. Kekhawatiran itu
dilandasi pertimbangan bahwa Indonesianisasi itu disederhanakan menjadi soal
penggantian tenaga-tenaga asing dengan tenaga Indonesia. Padahal dengan
pengertian seperti itu pun belum menjamin bahwa tenaga-tenaga Indonesia yang
mengambil alih akan memiliki kapabilitas yang diperlukan untuk
mengaktualisasikan sosialisme. Njoto lalu menandaskan keterangannya itu dengan
bersandar pada dua pidato Presiden Sukarno yang terkenal,
“Ya, seandainya setiap Indonesianisasi sudah beres, tentulah Manipol tidak perlu
menggariskan keharusan retooling, dan tentulah Resopim tidak perlu menggariskan
keharusannya membersihkan segala aparat dari ‘pencoleng-pencoleng’,”164
162
Ibid., h. 69.
163
Ibid., h. 72.
164
Ibid., h. 73.
Universitas Indonesia
yang global dari khazanah komunis dan memadukannya dengan alam pikir ke-
Indonesiaan melalui pemikiran Presiden Sukarno atau hasil pemikiran Indonesia
lainnya.
Pola sintesis seperti itu terlihat ketika Njoto mengemukakan konsepnya
tentang masyarakat sosialis. Pertama ia kembali kepada ideal tradisional
komunisme dengan menekankan bahwa, “Sosialisme adalah suatu susunan sosial
atau sistem masyarakat yang berdasarkan pemilikan bersama atas alat-alat
produksi.” Jadi, secara ekonomi proses-prosesnya akan berjalan secara “sosial”,
begitu pula dengan distribusi perekonomiannya. Karena itu, proses-proses itu
akan kontras dengan kapitalisme yang dalam perkataannya “asosial”. Ia juga
menambahkan bahwa pengertian tentang sosialisme ekonomi itu jangan
disamakan dengan jargon “sama rata sama rasa”. Merujuk kepada Karl Marx,
Njoto menandaskan bahwa, “dalam sosialisme manusia bekerja menurut
kemampuannya dan mendapat menurut prestasi atau hasil kerjanya.”165 Jadi,
idealnya adalah bahwa masyarakat sosialis itu suatu masyarakat yang nihil
penindasan. Bentangan konsep tradisional komunisme ini kemudian ia pertautkan
dengan pemikiran Indonesia sehingga cukup relevan bagi situasi dan kondisi
Indonesia. Karena itu dalam pungkasannya, dengan merujuk pada pendapat
Presiden Sukarno, Njoto menyimpulkan, “...sosialisme adalah masyarakat tanpa
exploitation del’homme par l’homme, tanpa penghisapan oleh manusia atas
manusia...”166 Bahkan dengan optimistis, Njoto menilai bahwa prinsip sosialisme
ini telah diejawantahkan di Indonesia melalui UUD 1945 pasal 33.167
Konsep masyarakat sosial-ekonomi yang nihil penindasan tersebut akan
berjalan bersamaan dengan kedaulatan rakyat di lapangan politik. Karena
sosialisme di ranah politik “...haruslah berarti kekuasaan politik di tangan rakyat,
dalam arti yang sesungguh-sungguhnya,...”168 Kedaulatan bagi rakyat ini penting
diwujudkan dan dijaga untuk mengantisipasi potensi otoriter penguasa. Secara
implisit, terbaca bahwa Njoto menengarai adanya suatu potensi otoritarianisme
dari kaum penguasa. Di sinilah muasal kedaulatan rakyat harus ditumbuhkan
165
Ibid., h. 70-71.
166
Ibid., h. 71.
167
Ibid., h. 74.
168
Ibid.
Universitas Indonesia
dalam masyarakat sosialis. Karena jika kedaulatan itu tidak tercapai, merujuk
pada Jean Jaures, Njoto mengkhawatirkan “...sekarang ia (rakyat, dalam konteks
ini kaum buruh, pen.) menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar ke jalan
raya, dibikin werkloss, tidak dapat makan suatu apa.”169 Jika hal semacam itu
masih terjadi dalam relasi rakyat-penguasa, sejatinya masyarakat yang demikian
itu masih terjebak dalam kapitalisme. Demikian Njoto.
Dengan segala aktivitas, pemikiran, dan determinasi politiknya itu penulis
memandang sosok Njoto sebagai seorang solidarity maker atau penggerak
solidaritas. Sebagaimana dijelaskan oleh Herbert Feith, penggerak solidaritas
adalah tipe kepemimpinan yang berkecenderungan untuk menyatukan dan
mengorganisasi massa, memediasi dengan pendekatan kultural, dan manipulator
simbol.170 Njoto tidak jauh-jauh dari gambaran Herbert Feith tersebut. Dia lihai
menulis dan menarik dalam berorasi. Karena itu Njoto adalah pribadi yang
komplit dalam memangku jabatan Kepala Departemen Agitasi dan Propaganda
PKI. Njoto juga fasih dalam menggagas dan membumikan visi-visi yang
gemilang tentang masa depan Indonesia. Visi gemilang itu senantiasa direpetisi
sedemikian rupa dan menyatakan pada suatu saat akan bisa dicapai.
Tetapi kelemahan penggerak solidaritas adalah abai pada perencanaan
tujuan-tujuan jangka menengah dan tidak spesifik pada bagaimana visinya itu
dicapai.171 Sejauh yang dapat penulis lacak, Njoto banyak menggagas sesuatu dan
berargumentasi tetapi hal itu adalah visi-visi yang jauh. Dalam pemikirannya
tentang sosialisme Indonesia, Njoto menekankan tentang hal-hal yang akan
dicapai oleh sistem itu jika berhasil diterapkan. Tetapi dia tidak memerinci lebih
jauh program kongkret untuk menuju ke arah sosialisme Indonesia itu selain
dengan menunjukkan tahapan demokrasi rakyat. Lagi-lagi demokrasi rakyat itu
pun pada dasarnya lebih tepat disebut sebagai sebuah visi daripada suatu program
kongkret.
169
Ibid., h. 75.
170
Herbert Feith, The Decline Of Constitutional Democracy In Indonesia, (Singapura: Equinox
Publishing, 2007), h. 24-25
171
Ibid., h. 34.
Universitas Indonesia
BAB 4
PERS DALAM KACAMATA SEORANG KOMUNIS
172
FX. Koesworo, J.B. Margantoro, Ronnie S. Viko, Di Balik Tugas Kuli Tinta, (Surakarta-
Yogyakarta: Sebelas Maret University Press dan Yayasan Pustaka Nusantara, 1994), h. 19-20.
173
Edward C. Smith, Sejarah Pembreidelan Pers Di Indonesia, terj. Atmakusumah dkk., (Jakarta:
Grafiti Pers, 1983), h. 97 dan 108.
174
Koesworo dkk., Op.cit., h. 20.
175
Smith, Op.cit., h. 108-112.
Universitas Indonesia
176
Toeti Kakiailatu, B.M. Diah: Wartawan Serba Bisa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), h.
182-183 dan 186-187 dan Koesworo dkk., Ibid., h. 20.
177
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Lekra Tak Membakar Buku, (Yogyakarta:
Merakesumba, 2008), h. 78 dan Tribuana Said dan D.S. Moeljanto, Perlawanan Pers Indonesia
(BPS) Terhadap Gerakan PKI, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h. 26-29.
Universitas Indonesia
tulisan ini disebut sebagai suatu rumusan tentang perjuangan bangsa Indonesia
mewujudkan suatu kesejahteraan berdasarkan kekhasan Indonesia. Seri tulisan ini
kemudian dikutip dan dipublikasikan pula oleh beberapa surat kabar dan majalah
yang sehaluan dengan Berita Indonesia. Dari sinilah mula terbentuknya suatu
aliansi di kalangan pers antikomunis. Pada 1 September 1964 aliansi ini
mempublikasikan terbentuknya BPS. Kepada umum BPS menyatakan tujuannya
adalah mengembangkan dan mempopulerkan Sukarnoisme dan mendukung
penyelesaian revolusi Indonesia.178 Meskipun dalam publikasinya dibentuk untuk
tujuan idealis terkait Sukarnoisme, tetapi BPS juga dimaksudkan sebagai aliansi
untuk melawan dominasi politik PKI. BPS pada akhirnya bukanlah tandingan bagi
dominasi PKI dan golongan lain yang sehaluan. PKI berhasil meyakinkan
Presiden Soekarno bahwa BPS akan menjadi rongrongan bagi politiknya.
Akibatnya pada 17 Desember 1964 Presiden Soekarno secara resmi melarang BPS
dan beberapa aktivisnya ditahan.179
Dalam konstelasi kehidupan pers seperti itulah Njoto terlibat. Pertama dia
adalah seorang politikus dan fungsionaris partai yang sekaligus adalah pemimpin
dewan redaksi Harian Rakjat. Karena itu menjadi wajar jika berita dan wacana
dalam Harian Rakjat sangat kental bernuansa politik dan komunistis. Atau bisa
juga dipahami sebagai media propaganda partai, mengingat Njoto adalah kepala
Departemen Agitprop PKI. Pers di tangan komunis adalah corong suara partai.
Hal ini bukan sesuatu yang ideal, tetapi dalam kondisi semacam inilah hubungan
antara Harian Rakjat dan Njoto semestinya didekati. Dalam hemat penulis,
Harian Rakjat adalah arketipe pemikiran Njoto tentang bagaimana pers komunis
diwujudkan. Yang tidak kalah penting adalah melacak di mana posisi pers
komunis di tengah dinamika Indonesia dewasa itu. Permasalahan itulah yang
hendak dijelaskan dalam bab ini.
178
Said dan Moeljanto, Ibid., 29-34.
179
Smith, Op.cit., h. 233-234. PKI dan beberapa surat kabar yang berafiliasi dengannya dibantu
oleh PNI dan beberapa tokoh politik nasional yang dekat dengan mereka. Dalam agitasinya
melawan kampanye BPS, PKI menggunakan tiga wacana negatif untuk memengaruhi
pertimbangan Presiden Soekarno dan menyudutkan BPS. Ketiga wacana tersebut adalah: BPS
adalah kepanjangan tangan dan menerima dana dari Central Intelligent Agency (CIA);
Sukarnoisme BPS adalah suatu pemutarbalikan atau penyelewengan dari ajaran-ajaran
Presiden Soekarno; dan BPS memecah persatuan dan kesatuan nasional. Selengkapnya lihat
Said dan Moeljanto, Ibid., h. 63-69.
Universitas Indonesia
Pidato tersebut memang secara khusus disampaikan kepada para pekerja yang
telah membantu penerbitan Harian Rakjat. Selain ungkapan terima kasih dan
pujian, tidak lupa Njoto menyelipkan agitasi politik. Yang terang adalah, dia
memahami pentingnya media bagi tujuan-tujuan politik komunisme. Karena itu,
media dan para pekerjanya adalah aset penting yang mesti dijaga pun secara
ideologis. Itulah arti penting pernyataannya yang penulis kutip, bahwa pers adalah
salah satu instrumen penting untuk meraih cita-cita besar masyarakat sosialis.
Njoto menekuni dunia jurnalistik hampir bersamaan dengan karier
politiknya. Sejak awal bergiat di PKI sebagai kader biasa dan sekaligus menjadi
anggota KNIP, Njoto adalah seorang wartawan Suara Ibu Kota dan kolumnis
Bintang Merah. Karena itu tidak mengherankan jika dia memahami urgensi media
bagi partainya. Apalagi dalam struktur organisasi PKI dia adalah kepala
Departemen Agitprop. Pengalamanlah yang membawanya sampai kepada
kesimpulan bahwa, “sonder pers, perdjuangan Rakjat tidak mungkin mentjapai
kemenangan.”181 Karena itu menurutnya para aktivis Marxis hendaknya
menyadari peran penting pers bagi gerakannya. Njoto melanjutkan:
“... sesuatu aksi massa, baik demonstrasi, atau pemogokan, atau kongres, atau lain2nja,
berlangsung dengan efektif dan mentjapai sukses, djika ia dibantu oleh kampanje jang
baik didalam pers. Sebaliknja, aksi2 massa jang dilakukan tidak dengan kampanje
180
Njoto, Dia ta a peke dja-peke dja H‘ , Harian Rakjat 6 Februari 1956, h. III.
181
Njoto, Be djua g de ga pe s, Harian Rakjat 25 Februari 1954, h. III.
Universitas Indonesia
Pokok pikiran Njoto tentang posisi pers bagi partai dan gerakan
kerakyatan umumnya berkelindan dengan strategi politik PKI. Pada dekade 1950-
an PKI dibangun sebagai partai komunis berbasis massa. PKI memasifkan agitasi
dan propagandanya kepada kaum proletar di kota dan kalangan petani miskin di
daerah-daerah perkebunan. PKI juga membangun aliansi lebar yang menyatukan
golongan buruh, petani, borjuasi kecil, dan borjuasi nasionalis. Dari komposisinya
yang mengikutsertakan kekuatan di luar buruh dan tani itu, aliansi ini jelas
melebihi batas-batas partai dan ideologinya. Karena itu, dalam mengelola massa
yang nisbi heterogen tersebut diperlukan suatu media untuk diseminasi ideologi
dan penerangan politik.
Dengan fungsi yang demikian itu, pers komunis memiliki kewajiban yang
mesti ditunaikan untuk memenuhinya. Dalam soal ini Njoto mengingat kembali
ajaran Lenin tentang kewajiban pers komunis, yaitu “mengorganisasi
182
Ibid.
183
Ibid.
184
Njoto, Tahu Bi ta g Me ah, Bintang Merah, no. 11-12 tahun XI, November-Desember
1955, h. 371.
Universitas Indonesia
Jadi, pada pokoknya Njoto menekankan bahwa tugas pers komunis adalah
memberi penerangan tentang masyarakatnya dengan penghampiran secara
komunis. Dalam konteks pernyataan tersebut penghampiran secara komunis yang
dia maksud adalah dengan mengetengahkan pandangan kelas sosial. Pandangan
kelas sosial tersebut, masih dengan bersandar kepada pendapat Lenin, akan bisa
diperoleh dengan senantiasa memberitakan realitas aktual di masyarakat.
“Gambaran jang djelas ini tidak bisa diambil dari buku manapun,” kutip Njoto.
Karena itu tugas kedua pers komunis adalah memberitakan realitas sosial yang
aktual di masyarakat.187
Sampai pada titik ini teranglah prinsip-prinsip utama dalam mewujudkan
suatu pers komunis. Demikian pula dengan urgensi pers bagi gerakan rakyat.
Lantas, bagaimana pemikiran-pemikiran tersebut diejawantahkan secara praksis?
185
Njoto, Pers dan Massa, Op.cit., h. 26 dan 28.
186
Ibid., h. 26.
187
Ibid., h. 27.
Universitas Indonesia
Giok Tjhan sebagai pemimpin redaksi, Harian Rakjat mulai diarahkan menjadi
pers komunis. Harian Rakjat yang sebelumnya tampil dalam 8 kolom sejak itu
ditambah menjadi 9 kolom agar dapat memuat lebih banyak berita. Rubrik-rubrik
baru pun dibuat seperti Tinjauan Ekonomi, Editorial, Kritik dan Saran,
Kebudayaan, dan Berita Daerah.188 Pada ulang tahunnya yang keenam pada 1957,
Harian Rakjat masih menambah rubrik baru yaitu Sport dan Film. Selain itu,
untuk turut berperan aktif dalam memajukan sastra dan kebudayaan nasional,
Harian Rakjat di bawah Njoto juga menggelar Hadiah Sastera Harian Rakjat
setiap tahunnya.189
Dari segi kuantitas oplah harian, Harian Rakjat juga berkembang pesat.
Sejak mula berdiri pada 1951 hingga 1953, oplah hariannya telah mencapai
23.000 ekspemplar.190 Menurut catatan Kementerian Penerangan, pada 1958
Harian Rakjat telah mencatatkan oplah harian sekira 60.000 eksemplar, jumlah
yang demikian besar untuk ukuran waktu itu.191 Dengan kuantitas oplah sebesar
itu, Harian Rakjat memang potensial untuk menggarap massa PKI dan rakyat
pada umumnya. Potensi inilah yang digarap oleh Njoto, segera setelah dia
menggantikan posisi Siauw Giok Tjhan pada akhir 1953.
Pada Desember 1953, atau beberapa waktu setelah proses akuisisi Harian
Rakjat kepada PKI, Njoto mempublikasikan seri artikel berkepala ‘Pers dan
Massa’. Dalam seri artikel tersebut Njoto menjabarkan secara runtut hubungan
pers dan massa, bagaimana pers dapat bermanfaat bagi gerakan rakyat, serta
bagaimana rakyat dapat berpartisipasi dalam perjuangan melalui pers. Seri artikel
Njoto itu agaknya adalah suatu tengara akan ke mana Harian Rakjat melangkah.
Melalui artikel tersebut Njoto menjelaskan bagaimana pers komunis
diejawantahkan.
Dalam artikelnya Njoto menekankan tentang relasi erat antara pers dan
massa rakyat. Jika sebelumnya dia menerangkan tentang kewajiban pers sebagai
corong suara rakyat, di sini Njoto menerangkan pola sebaliknya bahwa gerakan
rakyat membutuhkan peran pers. Jadi, relasi itu adalah relasi dua arah. Njoto
188
Arif Zulkifli dkk. (ed.), Lekra dan Geger 1965, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014),
h. 44-45.
189
Njoto, Pers dan Massa, Op.cit., h. 60 dan 83.
190
Smith, Op.cit., h. 112.
191
Zulkifli dkk., Op.cit., h. 45.
Universitas Indonesia
mencibir sikap aktivis yang abai terhadap kampanye pers. Njoto memperingatkan,
“Sikap atjuh tak atjuh ini tidak hanja salah karena ia mengabaikan soal2 pers,
tetapi terutama karena sikap itu membuktikan tipisnja kesadaran.”192 Pers
memang berkewajiban menyokong gerakan rakyat, tetapi dalam tataran tertentu
pers memiliki keterbatasan. Njoto meyakini keterbatasan tersebut hanya bisa
diatasi dengan menjaga relasi erat antara pers dan massa rakyat. Njoto
menjelaskan:
“Salah benar adanja dugaan se-olah2 baik buruknja serta madju mundurnja pers itu
tergantung dari pimpinan jang mengemudikannja. ‘Bukankah sudah ada redaksinja,
direksinja, administrasinja?’, demikianlah kadang2 kita dengar.
Memang redaksi ada, direksi ada, administrasi ada. Tetapi bisakah sesuatu suratkabar
Rakjat baik dan madju djika ia tidak didukung oleh kader2 dan aktivis2 gerakan Rakjat, ...
djika tidak ada bantuan dari seluruh gerakan Rakjat, pimpinan Harian Rakjat akan
terpisah dari massa, dan didalam perdjuangan tidak ada jang lebih tjelaka daripada djika
terpisah dari massa. Djadi, pimpinan Harian Rakjat berkewadjiban terus-menerus
memperbaiki dan mempererat hubungannja dengan massa, dan sebaliknja, gerakan2
massa hendaknja lebih menjedari peranan dan pentingnja pers didalam perdjuangan.” 193
Relasi antara pers dan massa rakyat itu menurut Njoto dapat ditumbuhkan
melalui beberapa segi. Segi pertama adalah kebijakan pemberitaan dan sumber
berita. Njoto menekankan bahwa Harian Rakjat adalah surat kabar yang harus
“mentjerminkan kedjadian2 didalam masjarakat itu sebagaimana adanja.” Hal ini
disebutnya sebagai ‘objektif’. Tetapi, objektif yang dimaksudkan olehnya itu
memiliki pengertian yang lebih khusus. Dikatakannya bahwa “objektif tidak sama
dengan netral.” Lebih lanjut Njoto berargumentasi:
“Masjarakat ini penuh dengan pertentangan diantara klas jang satu dengan klas jang
lainnja, masjarakat ini penuh dengan perdjuangan klas. Oleh sebab itu, objektif itu dengan
sendirinja mengandung sikap berfihak kepada klas jang menindas atau klas jang tertindas,
kepada klas jang tumbuh atau klas jang runtuh.” 194
192
Njoto, Pers dan Massa, Op.cit., h. 10.
193
Ibid., h. 11-12.
194
Ibid., h. 12-13.
Universitas Indonesia
golongan buruh dan petani atau mereka yang didefinisikan sebagai golongan
rakyat pekerja. Melalui keberpihakan inilah Harian Rakjat menjalin relasi dengan
massa rakyat. Keberpihakan ini secara lebih tegas ditabalkan Njoto sebagai asas
koran yang dipimpinnya itu dalam pidatonya saat resepsi ulang tahun kelima
Harian Rakjat pada 1956.195
Sudut pandang pemberitaan yang demikian itu dipenuhi Harian Rakjat
dengan memanfaatkan korespondennya yang tersebar di beberapa kota besar.
Njoto tidak menampik bahwa koran yang dipimpinnya itu juga memanfaatkan
berita-berita yang dipasok dari kantor berita Antara dan Aneta. Selain itu juga
Harian Rakjat menjalin relasi dengan kantor berita luar negeri yang sehaluan
seperti Guardian di Australia, Cross Road di India, dan Daily Worker di Amerika
Serikat. Tetapi, pasokan berita dari kantor-kantor berita besar itu dianggap Njoto
belum mencukupi benar. “Harian Rakjat baru bisa mendapat sumber berita jang
tjukup, djika tiap2 kader, tiap2 aktivis, bahkan tiap2 buruh atau mahasiswa atau
petani, membantu Harian Rakjat dengan berita2,” tegas Njoto.196
Njoto menyadari bahwa relasi antara pers dan massa dapat dibangun
melalui keterlibatan massa sebagai sumber berita. Koresponden yang lahir dari
tengah-tengah massa adalah kekuatan bagi Harian Rakjat.197 Di bawah
kepemimpinannya, redaksi Harian Rakjat mengelaborasi ide ini lebih jauh dalam
soal keuangan perusahaan. Pada 1956, bertepatan dengan ulang tahun kelima
Harian Rakjat, Njoto mengumumkan bahwa manajemen Harian Rakjat membuka
penjualan saham yang harganya terjangkau oleh finansial rakyat kebanyakan. Dia
mengakui bahwa selama ini Harian Rakjat memang mengalami kesulitan
keuangan. Untuk mengatasi masalah ini sekaligus menjaga relasi baik dengan
massa rakyat manajemen akhirnya menempuh cara ini.198
Usaha lain yang patut dicatat pula adalah penyelenggaraan Seminar HR
pada awal tahun 1958. Njoto menjelaskan bahwa tujuan seminar tersebut adalah
untuk menghimpun kritik dan saran dari masyarakat demi perbaikan Harian
195
Ibid., h. 38-40.
196
Ibid., h. 14.
197
Ibid., h. 19.
198
Ibid., h. 55.
Universitas Indonesia
Jelasnya, Njoto tidak menginginkan Harian Rakjat menjadi sekadar koran gosip.
Dalam pengertian akurasi dan nilai pemberitaannya.
Perihal substansi Njoto memang serius. Tetapi keseriusan itu tidak lantas
menjadikannya ‘kering’. Sebagai seorang penulis yang cukup produktif dan
memiliki intensi pada soal-soal kebahasaan, Njoto juga peduli pada soal
kebahasaan dalam Harian Rakjat. Dalam pidato pada resepsi ulang tahun Harian
199
Ibid., h. 87
200
Be ita, ‘esepsi ula gtahu H‘ sukses, Harian Rakjat 1 Februari 1958, h. I.
201
Njoto, Pe s da Massa, Op.cit., h. 19.
202
Ibid., h. 16.
Universitas Indonesia
Rakjat kelima Njoto menyindir wartawan yang beritanya dia analogikan seperti
pantun:
“Dengan tidak mengurangi sedikitpun akan keindahan maupun kegunaan pantun, saja
harus menjesalkan bahwa rupa2nja masih ada sadja diantara wartawan2 kita jang suka
menjusun berita sematjam pantun: 50% jang pertama tidak berarti, baru 50% jang kedua
berisi.”203
Berita dengan mutu kebahasaan semacam ini dinilainya membuang waktu, karena
setiap hari kantor redaksi menerima kiriman berita yang tidak sedikit. Dituntut
bekerja cepat tentu berita yang bertele-tele akan mengehambat kerja redaksi.
Karena itu, Njoto amat menekankan kepadatan dalam menulis berita atau dalam
bahasanya ‘persklaar’.
Segi kebahasaan lain yang menjadi sorotannya adalah soal artikulasi.
Berita yang padat memang baik tetapi jika ia disajikan secara ‘kering’ tentu tidak
akan menarik bagi pembaca. Juga berita yang disajikan secara ‘berkembang-
kembang’ ditakutkannya akan mengaburkan fokus persoalan. Menurut Njoto
“Gaja jang paling benar dan paling tepat untuk Harian Rakjat jalah: sederhana,
tetapi hidup.”204 Pemikiran ini agaknya muncul karena Njoto menyadari siapa
khalayak yang menjadi pembaca Harian Rakjat. Jadi, intensinya kepada soal
kebahasaan ini dapat dimengerti dalam maksud memastikan bahwa pembaca
Harian Rakjat yang berasal dari golongan buruh dan tani dapat mamahami isinya.
Sampai pada titik ini Njoto telah dengan cukup detil menjelaskan sendi-
sendi penting dalam mengelola penerbitan pers komunis. Mulai dari pokok yang
prinsip hingga soal yang cukup teknis. Semua soal yang telah dijelaskan tersebut
terutama bersangkut paut dengan isi Harian Rakjat. Njoto mengingatkan bahwa
Agar dapat meluaskan pengaruh suatu gerakan faktor distribusi memang sangat
penting. Suatu surat kabar mesti bisa tersebar luas menjangkau semua kalangan
untuk menyebarkan :
“... Perdjuangan dilapangan pers masih mempunjai segi jang lain, jaitu: bagaimana
menjebarkan Harian Rakjat se-luas2nja. Sebab, sesuatu harian perdjuangan jang isi dan
mutunja sadja baik, belumlah tjukup. Ia menuntut sjarat lain agar ia benar2 berguna
didalam perdjuangan: ia harus dibatja oleh se-banjak2nja orang, ia harus tersebar se-
luas2nja.”205
203
Ibid., h. 52.
204
Ibid., h. 17-18.
205
Njoto, Be djua g..., Loc.cit.
Universitas Indonesia
Agar dapat meluaskan pengaruh suatu gerakan faktor distribusi memang sangat
penting. Suatu surat kabar mesti bisa tersebar luas menjangkau semua kalangan
untuk menyebarkan warta dan pengaruh suatu gerakan.
Universitas Indonesia
BAB 5
KEBUDAYAAN YANG MENGABDI RAKYAT
206
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2015), h. 48-49.
207
Soedjatmoko, Etika Pembebasan: Pilihan Karangan tentang Agama, Kebudayaan, Sejarah, dan
Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 8.
Universitas Indonesia
melawan Barat. Secara umum perdebatan semacam inilah yang terjadi di kalangan
intelektual Indonesia pada periode 1950-an.208 Jadi, telah ada suatu prakonsepsi
tentang bagaimana kebudayaan nasional Indonesia dibangun. Prakonsepsi inilah
yang kembali dicari perumusannya oleh kalangan budayawan dan intelektual di
alam Indonesia yang telah merdeka.
Pernyataan kebudayaan paling awal dipublikasikan pascakemerdekaan
adalah dari perkumpulan Gelanggang Seniman Merdeka (selanjutnya disebut
Gelanggang) pada 1946. Kelompok yang awalnya dimotori oleh Chairil Anwar ini
menghimpun seniman-seniman di antaranya Asrul Sani, Rivai Apin, M. Akbar
Djuhana, Mochtar Apin, M. Balfas, Baharudin, dan Henk Ngantung. Dalam
bagian pembukaan pernyataan kebudayaan yang mereka publikasikan pada 19
November 1946, Para seniman Gelanggang memilih “... Hendak melepaskan diri
kita dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk, dan kita
berani menentang pandangan, sifat dan anasir ini untuk menyalakan bara kekuatan
baru.”209 Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada 1949, kelompok
Gelanggang mempertegas kembali pernyataan mereka itu dengan
mempublikasikan Surat Kepercayaan Gelanggang pada 18 Februari 1950. Dalam
surat tersebut kelompok Gelanggang menyatakan bahwa:
“Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami
teruskan dengan cara kami sendiri. ... Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit
kami yang sawo matang, ... tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud
pernyataan hati dan pikiran kami. ... Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia,
kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk
dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang
sehat.”210
Kedua pernyataan ini menjelaskan bahwa saat itu persoalan konsepsi kebudayaan
Indonesia yang telah berkembang sejak 1930-an kembali dipikirkan oleh kalangan
seniman dan intelektual Indonesia. Kali ini dalam konteks Indonesia merdeka dan
dalam proses dekolonisasi.
208
Je ife Li dsa , Ahli Wa is Buda a Du ia — ; “e uah Pe ga ta dala Je ife
Lindsay dan Maya H.T. Liem, Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950—1965,
(Denpasar-Jakarta: Pustaka Larasan dan KITLV-Jakarta, 2011), h. 8 dan 15.
209
D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI dkk.
(Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah), (Bandung: Mizan bekerjasama dengan HU
Republika, 1995), h. 31.
210
Ibid., h. 421-422.
Universitas Indonesia
211
Arif Zulkifli dkk (ed.), Lekra dan Geger 1965, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014),
h. 2-3.
212
Ibid., h. 9-11.
Universitas Indonesia
213
Els Bogae ts, Ke a a a ah ke udajaa kita? Me ggagas ke ali ke uda aa di I do esia
pada asa dekolo isasi dala Li das da Lie , Op.cit., h. 256.
214
Penjelasan lebih detail mengenai perdebatan-perdebatan kebudayaan dalam serangkaian
kongres dan konferensi itu lihat Tod Jones, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia:
Kebijakan Budaya Selama Abad Ke-20 Hingga Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia dan KITLV-Jakarta, 2015), h. 89-97.
Universitas Indonesia
untuk menjembatani dikotomi antara Timur dan Barat yang masih menjadi
pertentangan. Selain itu pola sintesis itu juga berguna untuk melestarikan
kebudayaan tradisional dan di saat bersamaan menumbuhkan suatu bentuk
kebudayaan yang modern. Tengara kedua terkait jaminan kebebasan artistik
budayawan dalam berkarya. Lalu tengara ketiga terkait dengan peran pemerintah
dalam proses pengembangan kebudayaan Indonesia.215
Pada tahun-tahun antara 1956—1965 mulai terasa pergeseran wacana
kebudayaan Indonesia. Seiring dengan menguatnya peran politik Presiden
Sukarno dan demokrasi terpimpin, wacana dan kebijakan budaya mulai diarahkan
untuk memperkuat identitas nasional dan pembangunan masyarakat sosialis
Indonesia. Pemerintah dalam hal ini mulai meningkatkan intervensinya di bidang
kebudayaan. Diskursus seputar pendefinisian kebudayaan nasional yang tunggal
mulai dirumuskan secara resmi. Persoalan pengembangan budaya daerah yang
sebelumnya dikesampingkan kini mulai mendapat perhatian dan penguatan
sebagai elemen kebudayaan nasional Indonesia. Presiden Sukarno adalah
pendukung kebijakan-kebijakan ini dan Menteri Kebudayaan Prijono mulai tampil
sebagai eksekutornya. Prijono mengerucutkan konsepsi kebudayaan Indonesia
dengan bersandar pada konsepsi Manipol-USDEK rumusan Sukarno. Dia
mendorong pengembangan budaya tradisi dengan meyintesakan serbaneka unsur
budaya itu yang memiliki karakteristik revolusioner dan sesuai dengan cita-cita
sosialisme Indonesia. Sejalan dengan itu, pada periode ini Dinas Kebudayaan
sendiri juga lebih aktif mempromosikan pluralisme kebudayaan daripada
meneruskan perdebatan tentang definisi kebudayaan nasional seperti pada paruh
awal 1950-an.216
Di tengah-tengah keriuhan suasana dan diskursus berkebudayaan seperti
itulah Njoto ikut bersuara. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab terdahulu
minatnya yang besar serta karakter otodidaknya yang kuat adalah sentral penting
bagi seluruh gagasan dan aktivitasnya di bidang tersebut. Oleh karena itu
determinasinya dalam soal kebudayaan tidak bisa dianggap sebagai sepintas lalu.
215
Ibid., h. 97-98.
216
Ibid., h. 114-122.
Universitas Indonesia
217
Bogaerts, Loc.cit., h. 255.
218
Njoto, Ko-E iste si Nasio al dala Harian Rakjat 25 September 1954, h. III. Huruf kapital
nama acara oleh penulis.
Universitas Indonesia
mengembangkannja setjara kreatif. Perlu pula diingat: jang baru itu tidak ada
artinja, djika ia tidak lebih baik daripada jang lama!”219
Pada prinsipnya Njoto berpendapat bahwa praktik-praktik kebudayaan
tradisional yang berkembang di Indonesia telah memiliki kualitas estetis. Karena
itu budaya tradisional tidak lantas bersifat terbelakang atau kolot secara
keseluruhan. Pada suatu kesempatan berpidato dalam acara malam kesenian yang
diselenggarakan PKI Njoto menyatakan keyakinannya bahwa, “... dalam jg lama
banjak jg madju daripada jg kolot, banjak jg bagus daripada jg buruk.”220 Njoto
juga berpendapat bahwa mempertentangkan kebudayaan lama dan baru pada
dasarnya tidak menuju kepada titik temu. Njoto memberikan analogi dengan
mengajukan kembali pertanyaan lama, “apakah gamelan ataukah krontjong jang
akan mendjadi musik persatuan.” Jawabannya, keduanya sebagai suatu entitas
yang terpisah satu sama lain tidak akan bisa jadi musik persatuan jika saling
menegasikan. Tentang pemecahan masalah ini Njoto menyinggung usaha-usaha
kreatif yang telah dilakukan oleh Cornel Simandjuntak dan Amir Pasaribu:
“... Sifat madju Cornel Simandjuntak dan Amir Pasaribu misalnja, bukanlah karena
mereka membawa gamelan atau gambus mendjadi ‘musik persatuan’, tetapi karena
mereka berhasil menggunakan unsur-unsur ‘musik daerah’ –sebetulnja musik Rakjat-
terutama dalam melodik dan ritmik, dan setjara kreatif mengembangkan motif2 pilihannja
kedalam tuangan2 kreatif jang baru. Singkatnja, semua kebudajaan daerah memang bisa
mendjadi milik seluruh bangsa kita, tetapi tidak didalam wudjudnja jg. sekarang,
melainkan dalam wudjud pelandjutannja, penerusannja.”221
219
Ibid.
220
Njoto, Me apis ja g la a, elahi ka ja g a u kesa da i ala kese ia Ko g es PKI
dalam Harian Rakjat 12 Mei 1962.
221
Ibid.
Universitas Indonesia
222
Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) adalah sebuah lembaga kebudayaan yang digagas oleh
PNI dan resmi pada 1959. LKN digagas oleh PNI sebagai realisasi resolusi Desember 1958
untuk menunjukkan komitmen PNI dalam pengembangan kebudayaan. LKN diketuai oleh
penyair senior Sitor Situmorang. Kongres pertama LKN yang diselenggarakan di Solo pada
1959 dihadiri oleh 150 peserta yang terbagi dalam 21 delegasi provinsi. Hal itu menunjukkan
bahwa LKN telah memiliki basis massa yang cukup kuat dan merata. Berkelindan dengan
afiliasinya dengan PNI, LKN memang wadah yang dibentuk untuk melaksanakan gagasan-
gagasan kebudayaan PNI. LKN semakin nyata sebagai pendukung gagasan kebudayaan
Presiden Sukarno ketika dalam pertemuan nasionalnya pada Agustus 1964 LKN berkomitmen
u tuk elaksa aka ga is esa Bu g Ka o di ida g ke udajaa . LKN e efleksika
semangat Marhaenisme dalam setiap ekspresi seni dan budayanya. Semangat Marhaenisme
itu diadopsi dalam berbagai konteks, tetapi terutama LKN berfokus pada aspek pentingnya
asio alis e da pe jua ga ak at. Le ih detil lihat I N o a Da a Put a, Mulai
berbentuk; Budaya dan nasionalisme di Bali 1959— dala Li dsa da Lie , Op.cit., h.
351-355.
223
Ibid., h. 18-20.
Universitas Indonesia
Dalam pernyataan tersebut jelas bahwa masukan unsur asing bisa diterima
dalam pengertian unsur tersebut memberi dampak secara positif bagi kebudayaan
indonesia. Pernyataan ini membawa konsekuensi bahwa Njoto menengarai suatu
sisi negatif yang juga bisa datang dari kebudayaan asing. Dalam konteks
pembicaraan ini rujukannya jelas kepada imperialisme. Dalam pengertian lain,
agaknya yang dimaksud oleh Njoto adalah sifat hegemonistis budaya asing, suatu
kekhawatiran akan imperialisme dalam kebudayaan. Hal semacam ini tercermin
dari pandangan Njoto yang selalu sinis terhadap bentuk-bentuk budaya populer
Belanda dan Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia. Terkait dengan kedua
negara ini Njoto adalah seorang pengkritik yang keras. Bahkan dia tidak segan-
224
Njoto, Ideologi adalah adja , dala Harian Rakjat 17 Maret 1962, h. III.
225
Njoto, Ja g e ihak e olusi dididik tjepat oleh e olusi , dala Harian Rakjat 3 November
1962, h. III.
Universitas Indonesia
segan menyebut penetrasi itu sebagai invasi. Dalam lanjutan pidatonya di Unsera
itu Njoto menyerang dengan tajam:
“KMB djuga menempatkan kehidupan kebudajaan dibawah udara jang berat, lesu. ...
Konglomerat atau tjampur baurnja konservatisme Masjumi, kosmopolitanisme PSI dan
kruideniersgeest Belanda ... achirnja ber-sama2 mendjalankan ‘opendeur-politiek’
kebudajaan, dan maka menjusuplah dengan gaja invasi a la Mac Arthur –‘kebudajaan’
Amerika, the American way of life’.
... Saja teringat akan sadjak Samuel Marsjak, ‘Jatimpiatu dari Kansas’, dimana dilukiskan
seorang anak Amerika, karena pengaruh film2 dan siaran2 televisi Amerika, achirnja
menembak dengan pistol ajahnja sendiri, kemudian ibunja. Histeri matjam ini djuga
terdjadi disini, sekalipun belum dalam taraf jang setinggi itu. Tetapi haruskah kita
bertopangdagu? ...
... kita banjak bitjara tentang kepribadian nasional, kepribadian Indonesia –kenapa harus
berorientasi ke Amerika, ‘dunia baru’ jang sudah mendjadi tua itu?”226
Sikap keras Njoto yang demikian itu juga ditujukan kepada unsur negatif
feodalisme. Njoto mempertajam pemikirannya itu dengan memerinci unsur-unsur
tertentu yang harus ditolak dari feodalisme. Dalam forum Konferensi Nasional
Lekra di Bali pada Februari 1962 Njoto menyatakan:
“... Sudah tentu, jang kita hadapi bukannja adatistiadat kuno sebagai suatu keutuhan,
melainkan segi2 negatif daripadanja, terutama segi2 jang menjelubungi hakekat
feodalisme, seperti monopoli tuantanah atas tanah, sistim sewatanah, rodi, pologoro, dsb.
...”227
Jadi, menurutnya yang harus ditolak dari kebudayaan lama yang berasal dari masa
feodal adalah unsur penindasannya. Menurut Njoto selubung feodal itu membuat
kebudayaan tradisional menjadi kurang berkembang. Dia memang mengakui
bahwa kebudayaan tradisional telah mencapai suatu tingkatan estetis yang positif,
tetapi karena selubung feodal itu ia menjadi elitis. Padahal menurutnya
kebudayaan tradisional seharusnya dikembangkan secara lebih inklusif dan
merakyat. Njoto menjelaskan bahwa:
“...Kebudajaan dalam artian lama memang sudah mentjapai puntjak2nja jang tertentu.
Kita tengok sadjalah kesusastraan lama kita, dalam bahasa Indonesia maupun dalam
bahasa2 daerah. Tetapi kebudajaan dalam artian lama ini sudah terlalu lama berdjalan
sendiri, terpisah dari djalan Rakjat. Sebaliknja, pada massa Rakjat aktivitet kebudajaan
selalu berlangsung, ... Tetapi aktivitet massa ini sukar mentjapai puntjak2 ketinggian,
dikarenakan sebab jang jelas, jaitu bahwa sistim penindasan masjarakat merampas dari
massa Rakjat itu kemungkinan melahirkan setjara wadjar pudjangga2nja sendiri. ..” 228
Jadi, satu lagi ekses feodalisme yang ditolaknya adalah unsur elitisme. Pernyataan
ini juga menjelaskan fondasi keberpihakannya kepada “seni rakyat”, seni yang
226
Ibid.
227
Njoto, Ideologi... , Loc.cit.
228
Ibid.
Universitas Indonesia
berkembang dalam masyarakat akar rumput. Menurut Njoto seni rakyat inilah
yang mesti dikembangkan lebih lanjut dalam alam Indonesia merdeka. Seni rakyat
dikembangkan untuk mendorong “kemungkinan melahirkan setjara wadjar
pudjangga2nja sendiri.” Jadi, bukan lagi masanya hanya berpijak pada patron-
patron tradisional yang identik dengan eksklusivitas keraton.
229
Njoto, Tahu J.L. Beetho e Me i ggal , Harian Rakjat 22 September 1952, h. III.
230
Njoto, W.‘. “up at a Agustus — Agustus , Harian Rakjat 23 Agustus 1958,
h. III.
231
Ibid.
Universitas Indonesia
Berguru kepada massa adalah suatu pedoman penting menurut Njoto, karena
dengan memahami massa rakyat pekerja budaya dapat menghasilkan sesuatu yang
232
Njoto, Pidato Njoto e uka Pa e a , Harian Rakjat 14 September 1959, h. III.
233
Ibid.
234
Ibid., h. IV.
235
Ibid., h. III.
Universitas Indonesia
tepat guna. Njoto mengingatkan bahwa, “... kita tidak mungkin bekerdja lebih
banjak, lebih baik dan lebih berguna, djika kita tidak tahu apa jang diperlukan, apa
jang baik dan apa jang berguna bagi Rakjat dan Revolusi kita.”236
Apa yang dipikirkan Njoto tersebut sejajar dengan metode kerja yang
ditelurkan Kongres Nasional I Lekra, yaitu metode “turun ke bawah” atau turba.
Metode ini adalah cara yang dianjurkan oleh kongres bagi seniman dalam
menggali inspirasi berkarya. Dengan metode ini seniman menjadi tidak berjarak
dengan rakyat dan memperoleh pemahaman yang tepat atas kondisi aktual
masyarakatnya. Bagi Lekra inspirasi berkarya memang tidak bisa didapat hanya
dari angan individual atau teori-teori dari buku. Kemudian untuk memudahkan
pelaksanaan turba tersebut, pimpinan Lekra menjabarkan konsep “tiga sama”,
yaitu: bekerja bersama, makan bersama, dan tidur bersama.237
Hubungan seniman dan massa rakyat ini menurut Njoto pada akhirnya
akan berjalan sebagai hubungan timbal-balik. Di suatu waktu Rakyat dan
kehidupannya menjadi inspirasi seniman dalam berkarya, tetapi di waktu lainnya
karya seniman justru bisa menjadi inspirasi gerakan rakyat. Menurut Njoto,
“Demikianlah hubungan dialektik antara gerakan massa dan pekerdjaan
seniman.”238 Karena itu, hubungan baik si antara keduanya perlu dijaga dengan
baik. Njoto mengingatkan bahwa peran pekerja budaya dalam hubungannya
dengan massa rakyat harus diletakkan secara semestinya sebagai “murid kecil”.
“... Kita melantjarkan gerakan turun kebawah tidak dan tidak pernah untuk
menggurui massa,” tegas Njoto.239
Tugas selanjutnya dari pekerja budaya adalah dengan gerakan pembaruan
dan peningkatan derajat kebudayaan tradisional Indonesia. Pada bagian
sebelumnya telah penulis jelaskan bahwa inisiatif untuk melahirkan bentuk
ekspresi budaya Indonesia yang baru telah berjalan. Seperti yang dikemukakan
Njoto tentang inisiatif dalam seni musik oleh Cornel Simandjuntak dan Amir
Pasaribu. Tetapi, “... Usaha kita dalam hal ini tidak bisa dikatakan sudah
236
Ibid.
237
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap
Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950—1965, (Yogyakarta: Merakesumba, 2008), h. 31-32.
238
Njoto, Ideologi... , Loc.cit.
239
Ibid.,
Universitas Indonesia
memadai, dan iapun tidak selamanja berhasil.”240 Apa pasal? Dalam pandangan
Njoto hal ini terjadi karena masih ada seniman yang mengejar kebaruan tetapi
tidak mengindahkan nilainya. Njoto menjelaskan:
“... Dalam hal ini masih sadja ada kawan jang mengira bahwa ‘baru asal baru’ –sudah
tjukup. Padahal, apa artinja jang baru djika jang baru itu tidak tepat. Dan seperti dikatakan
oleh Friedrich Engels: jang baru itu tidak ada artinja, djika ia tidak lebih baik daripada
jang lama. Baiklah kita ingat, bahwa ‘Mukadimah’ kita tidak hanja berbitjara entang ‘jang
baru’, tetapi ‘jang baru dan madju. ...”241
Dalam menghadapi hal ini Njoto menekankan kembali prinsip utama yang
seharusnya dipegang oleh para pekerja budaya. “... Sjarat itu jalah: pemahaman
atas hukum gerak masyarakat, hukum perkembangan masjarakat, jang berlaku
objektif tidak tergantung dari kemauan kita,” terang Njoto.242 Agaknya yang
dimaksud oleh Njoto dalam hal ini adalah kontekstualisasi pekerjaan seni dan
budaya dengan dinamika kekinian masyarakat. Jelasnya adalah kebaruan dalam
esensi karya yang bersesuaian dengan jiwa zaman itu. “Demikianpun karja2 jang
lahir dari kita haruslah ikrar suatu zaman, ikrar zaman kita sendiri,” demikian
Njoto.243
Pada titik ini telah terbaca bagaimana seniman dan budayawan dapat
membaktikan dirinya bagi negara dan rakyatnya. Dalam hal ini Njoto secara
tersirat menunjukkan tidak ada beda atau sekat antara pekerjaan berkarya dan
berjuang. Keduanya berjalan berkelindan. Tetapi asas atau fundamen apa yang
akan menjadi sentral keseluruhan gerakan itu. Apa yang menjadi pertautan antara
kekaryaan dan perjuangan kerakyatan? Dalam soal ini Njoto telah memiliki
jawaban yang pasti yang diejawantahkan melalui jargon kolosal “politik sebagai
panglima”. Jargon inilah yang didorongnya agar menjadi pembimbing bagi
gerakan kebudayaan, terutama bagi seniman dan budayawan Lekra. Njoto
menyatakan dalam pidatonya di hadapan Kongres Nasional I Lekra sebagai
berikut:
“... Tepat benar jang dinjatakan oleh Laporan Umum bahwa politik tanpa kebudajaan
masih bisa djalan, tetapi kebudajaan tanpa politik tidak bisa samasekali. Kita harus
bersembojan: Politik adalah panglima. Dalam segala kegiatan kita sembojan kita
haruslah ‘politik adalah panglima”. 244
240
Njoto, Pidato... , Loc.cit., h. III
241
Ibid., h. IV.
242
Ibid., h. III.
243
Ibid.
244
Ibid., h. III.
Universitas Indonesia
245
Ibid.
Universitas Indonesia
KESIMPULAN
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
sayang sekali, sejauh yang dapat penulis lacak Njoto tidak cukup menjelaskan
tentang ketidakhirauannya terhadap prinsip independensi dan kebebasan pers.
Agaknya, Njoto berkesimpulan bahwa selama pers telah mampu memenuhi tugas-
tugasnya menurut rumusan komunisme hal itu sudah cukup. Di sinilah sekali lagi
politik sangat berpengaruh kepada gagasannya.
Njoto cukup mampu memadukan ketiga ranah aktivitasnya itu ke dalam
satu gerakan yang utuh. Sekali lagi aktivitas utamanya adalah politik. Pemikiran-
pemikirannya dalam ranah kebudayaan dan pers diarahkan untuk menunjang
tujuan-tujuan politik. Hal itu terihat dari idenya tentang bagaimana seniman atau
budayawan mengabdikan kekaryaannya bagi tujuan gerakan kerakyatan. Pun
demikian dengan pemikirannya dalam bidang publisistik yang memang sejak awal
dipandang sebagai media penyokong gerakan.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Media Massa:
Harian Rakjat:
30 April 1952
16 Agustus 1952
22 September 1952
16 Januari 1954
25 Februari 1954
12 April 1954
25 September 1954
8 Oktober 1954
13 Oktober 1954
6 Februari 1956
27 September 1956
1 Februari 1958
23 Agustus 1958
14 September 1959
13 Juli 1961
17 Maret 1962
12 Mei 1962
5 Juli 1962
3 November 1962
7 Mei 1963
Bintang Merah:
September-Oktober 1953
November-Desember 1955
Buku:
1958. Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid III.
Bandung: tanpa penerbit.
Aleida, Martin. 2013. Langit Pertama Langit Kedua: Cerita Pendek, Catatan
Perjalanan, Esei, Kritik, Perdebatan. Tanpa kota terbit: Nalar.
Universitas Indonesia
_____. 2000. Cornell Paper: Di Balik Kolapsnya PKI. (Fauzi Absal, penerjemah).
Yogyakarta: elstReba.
Compton, Boyd R.. 1993. Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia Boyd
R. Compton. (Hamid Basyaib, penerjemah dan editor). Jakarta: LP3ES.
Dewanto, Nugroho (ed.). 2011. Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Kakiailatu, Toeti. 1997. B.M. Diah: Wartawan Serba Bisa. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Universitas Indonesia
Kasenda, Peter. 2014. Soekarno, Marxisme dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri
dan Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
Koesworo, FX., Margantoro, J.B., Viko, Ronnie S. 1994. Di Balik Tugas Kuli
Tinta. Surakarta-Yogyakarta: Sebelas Maret University Press dan Yayasan
Pustaka Nusatama.
Legge, John D. 1985. Sukarno: Sebuah Biografi Politik. (Tim Penerbit Sinar
Harapan, penerjemah). Jakarta: Sinar Harapan.
Lindsay, Jennifer dan Liem, Maya H.T. (ed.). 2011. Ahli Waris Budaya Dunia:
Menjadi Indonesia 1950—1965. Denpasar-Jakarta: Pustaka Larasan dan
KITLV-Jakarta.
Moeljanto, D.S. dan Ismail, Taufiq. 1995. Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif
Lekra/PKI dkk. (Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah). Bandung:
Mizan bekerjasama dengan HU Republika.
Noer, Deliar dan Akbarsyah. 2005. KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat,
Parlemen Indonesia 1945—1950. Jakarta: Yayasan Risalah.
Universitas Indonesia
Nordholt, Henk Schulte, Purwanto, Bambang, dan Saptari, Ratna (ed.). 2008.
Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta dan Denpasar:
Yayasan Obor Indonesia, KITLV, Pustaka Larasan.
Ohorella, G.A. dan Gunawan, Restu. 2001. Sejarah Lokal: Peranan Rakyat
Besuki (Jawa Timur) Pada Masa Perang Kemerdekaan 1945—1950.
Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan
Nasional.
Onghokham. 2009. Sukarno, Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965. Depok:
Komunitas Bambu
Poeze, Harry A.. 2011. Madiun 1948: PKI Bergerak. (Hersri Setiawan,
penerjemah). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, KITLV.
Saelan, Maulwi. 2001. Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66: Kesaksian Wakil
Komandan Tjakrabirawa. Jakarta: Yayasan Hak Bangsa.
Said, Tribuana dan Moeljanto, D.S. 1983. Perlawanan Pers Indonesia (BPS)
Terhadap Gerakan PKI. Jakarta: Sinar Harapan.
Siauw Tiong Djin. 1999. Siauw Giok Tjhan: Riwayat Perjuangan Seorang Patriot
Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika.
Jakarta: Hasta Mitra.
Universitas Indonesia
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Dahlan, Muhidin M.. 2008. Lekra Tak Membakar
Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950—1965.
Yogyakarta: Merakesumba.
Zulkifli, Arif dan Hidayat, Bagja (ed.). 2010. Njoto: Peniup Saksofon Di Tengah
Prahara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan
Majalah Tempo.
Zulkifli, Arif dkk (ed.). 2014. Lekra dan Geger 1965. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Nordholt, Henk Schulte. 2011. “Indonesia In the 1950s: Nation, Modernity, and
the Post –colonial State” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde, Vol. 167, No. 4, hlm. 386.
Rosidi, Ajip. 2014. “Lekra Bagian Dari PKI” dalam Horison tahun XLVIII, No. 2,
hlm. 32-36.
Soerjono. 1980. “On Musso’s Return” dalam Indonesia, No. 29, hlm. 59-90.
Artikel Maya:
Susanti, Fransisca Ria. “Tentang Perempuan Yang Tak Pernah Menangis:
Obituari RA Soetarni Soemosoetargijo,”
http://indoprogress.com/2014/09/tentang-perempuan-yang-tak-pernah-menangis-
obituari-ra-soetarni-soemosoetargijo. diakses pada 1 Oktober 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Media Massa:
Universitas Indonesia
Harian Rakjat:
30 April 1952
16 Agustus 1952
22 September 1952
16 Januari 1954
25 Februari 1954
12 April 1954
25 September 1954
8 Oktober 1954
13 Oktober 1954
6 Februari 1956
27 September 1956
1 Februari 1958
23 Agustus 1958
14 September 1959
13 Juli 1961
17 Maret 1962
12 Mei 1962
5 Juli 1962
3 November 1962
7 Mei 1963
Bintang Merah:
September-Oktober 1953
November-Desember 1955
Buku:
1958. Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid III.
Bandung: tanpa penerbit.
Aleida, Martin. 2013. Langit Pertama Langit Kedua: Cerita Pendek, Catatan
Perjalanan, Esei, Kritik, Perdebatan. Tanpa kota terbit: Nalar.
Universitas Indonesia
_____. 2000. Cornell Paper: Di Balik Kolapsnya PKI. (Fauzi Absal, penerjemah).
Yogyakarta: elstReba.
Compton, Boyd R.. 1993. Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia Boyd
R. Compton. (Hamid Basyaib, penerjemah dan editor). Jakarta: LP3ES.
Dewanto, Nugroho (ed.). 2011. Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Kakiailatu, Toeti. 1997. B.M. Diah: Wartawan Serba Bisa. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Kasenda, Peter. 2014. Soekarno, Marxisme dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri
dan Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
Universitas Indonesia
Koesworo, FX., Margantoro, J.B., Viko, Ronnie S. 1994. Di Balik Tugas Kuli
Tinta. Surakarta-Yogyakarta: Sebelas Maret University Press dan Yayasan
Pustaka Nusatama.
Legge, John D. 1985. Sukarno: Sebuah Biografi Politik. (Tim Penerbit Sinar
Harapan, penerjemah). Jakarta: Sinar Harapan.
Lindsay, Jennifer dan Liem, Maya H.T. (ed.). 2011. Ahli Waris Budaya Dunia:
Menjadi Indonesia 1950—1965. Denpasar-Jakarta: Pustaka Larasan dan
KITLV-Jakarta.
Moeljanto, D.S. dan Ismail, Taufiq. 1995. Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif
Lekra/PKI dkk. (Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah). Bandung:
Mizan bekerjasama dengan HU Republika.
Noer, Deliar dan Akbarsyah. 2005. KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat,
Parlemen Indonesia 1945—1950. Jakarta: Yayasan Risalah.
Nordholt, Henk Schulte, Purwanto, Bambang, dan Saptari, Ratna (ed.). 2008.
Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta dan Denpasar:
Yayasan Obor Indonesia, KITLV, Pustaka Larasan.
Universitas Indonesia
Ohorella, G.A. dan Gunawan, Restu. 2001. Sejarah Lokal: Peranan Rakyat
Besuki (Jawa Timur) Pada Masa Perang Kemerdekaan 1945—1950.
Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan
Nasional.
Onghokham. 2009. Sukarno, Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965. Depok:
Komunitas Bambu
Poeze, Harry A.. 2011. Madiun 1948: PKI Bergerak. (Hersri Setiawan,
penerjemah). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, KITLV.
Saelan, Maulwi. 2001. Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66: Kesaksian Wakil
Komandan Tjakrabirawa. Jakarta: Yayasan Hak Bangsa.
Said, Tribuana dan Moeljanto, D.S. 1983. Perlawanan Pers Indonesia (BPS)
Terhadap Gerakan PKI. Jakarta: Sinar Harapan.
Siauw Tiong Djin. 1999. Siauw Giok Tjhan: Riwayat Perjuangan Seorang Patriot
Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika.
Jakarta: Hasta Mitra.
Universitas Indonesia
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Dahlan, Muhidin M.. 2008. Lekra Tak Membakar
Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950—1965.
Yogyakarta: Merakesumba.
Zulkifli, Arif dan Hidayat, Bagja (ed.). 2010. Njoto: Peniup Saksofon Di Tengah
Prahara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan
Majalah Tempo.
Zulkifli, Arif dkk (ed.). 2014. Lekra dan Geger 1965. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Nordholt, Henk Schulte. 2011. “Indonesia In the 1950s: Nation, Modernity, and
the Post –colonial State” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde, Vol. 167, No. 4, hlm. 386.
Rosidi, Ajip. 2014. “Lekra Bagian Dari PKI” dalam Horison tahun XLVIII, No. 2,
hlm. 32-36.
Soerjono. 1980. “On Musso’s Return” dalam Indonesia, No. 29, hlm. 59-90.
Artikel Maya:
Susanti, Fransisca Ria. “Tentang Perempuan Yang Tak Pernah Menangis:
Obituari RA Soetarni Soemosoetargijo,”
http://indoprogress.com/2014/09/tentang-perempuan-yang-tak-pernah-menangis-
obituari-ra-soetarni-soemosoetargijo. diakses pada 1 Oktober 2015.
Universitas Indonesia
Lampiran 1:
Contoh artikel Njoto tentang tema pers di Harian Rakjat 8 Desember 1953.
Dalam artikel ini Njoto mengemukakan prinsip-prinsip jurnalisme Harian Rakjat.
(Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional)
Universitas Indonesia
Lampiran 2:
Contoh artikel Njoto tentang tema budaya di rubrik ‘Kebudajaan’ Harian Rakjat
26 Juni 1954.
(Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia)
Universitas Indonesia
Lampiran 3:
Universitas Indonesia
Lampiran 4:
Contoh puisi karya asli Njoto berjudul ‘Variasi Tjak’ di rubrik ‘Kebudajaan’
Harian Rakjat 17 Maret 1962.
(Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia)
Universitas Indonesia
Lampiran 5:
Contoh karya terjemahan Njoto berupa puisi karya Karl Marx yang jarang
diketahui. Di publikasikan di rubrik ‘Kebudajaan’ Harian Rakjat 14 Maret 1959.
(Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia)
Universitas Indonesia
Lampiran 6:
Foto salah satu kegiatan turba yang diikuti Njoto di Jawa Barat. Dimuat di Harian
Rakjat 2 Juni 1959.
(Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia)
Universitas Indonesia
Lampiran 7:
Foto Njoto ketika berpidato di Alun-alun Jember dan massa yang menjadi
pendengarnya. Dimuat di Harian Rakjat 2 Oktober 1954.
(Sumber: Perpustakaan Nasional Indonesia)
Universitas Indonesia