Anda di halaman 1dari 8

Foucault

Salah satu pemikir terkemuka dalam dunia ilmu sosial dan falsafat adalaf Foucault (1926-
1984), seorang failasuf Perancis, sejahrawan, intelektual, kritikus, dan seoran sosiolog.
Foucault menjalani pendidikan akademis di Ecole Normale Supertuere (Paris) pada bidang
falsafat dan psikologi. Pada masa hidupnya, ia memegang kursi jabatan di Collège de France,
History of Systems of Thought.) serta menjadi pengajar di Universitas California Berkeley
dan beberapa negara Arab Maghrib.

Pada tahun 60-an Foucault sering diasosiasikan dengan gerakan strukturalis dan
dikarekterisasikan sebagai seorang posmodernisasi tetapi Foucault selalu menolak label
poststrukturalis dan postmodernis. Pada karya pertamanya yang berjudul Madness and
Civilization (1961), dianalogikan bahwa penderita kegilaan yang menjalani perawatan oleh
dokter di rumah sakit jiwa merupakan refleksi dari realitas praktik subjektifitas diskursus
yang nyata, dimana semua penderita kegilaan dikungkung dan dikendalikan aktifitas berpikir
maupun kehidupannya. Karya Foucault yang berjudul The Theory of Truth membahasa
mengenai nilai-nilai subjektifitas konstitutif serta eksplorasi praktik-praktik diskursif
penguasa dalam membentuk subjek. Pada karyanya yang paling monumental yaitu The
Archeology of Knowledge yang membahasa mengenai kekuasaan, pengetahuan dan
‘diskursus’ telah banyak diperdebatkan secara luas.

Selanjutnya, terdapat pembahasan mengenai diskursus yang merupakan salah satu konsep
kunci dalam falsafat postmodernisme yang melihat pentingnya ‘sejarah’ dan ‘waktu’ dimana
prinsip ini bertentangan dengan falsafat strukturalisme yang mementingkan ‘sistem’ dan
‘struktur’ dan ilmu pengetahuan yang melampaui kawasan sejarah. Menurut Foucault, istilah
diskursus dikaryanya tidak dalam konteks kontinuitas sejarah, tetapi di dalam konteks
diskontinuitas dan yang dilihat Foicault adalah sesuaitu yang terputus atau sesuatu yang
kontradiktif. Keterputusan dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya, menurut Foucault
menghasilkan ‘diferensi’ perbedaan.

Dalam melihat diskursus sebagai suatu praktik Foucault tidak menjadikan bahasa atau sistem
tanda sebagai obyek kajian utama nya. Kajian praktis Diskursus ditemukan dalam arsip yang
disebut dengan arkeologi, yang mendeskripsikan mengenai arsip arsip itu sendiri sebagai
kumpulan dari sesuatu, Disusun, di akui, digunakan kembali, di ulang dan ditransformasikan
di dalam kebudayaan. Diskursus terdiri dari pernyataan, peristiwa, penggunaan fisik dan
ruang, memiliki aturan main, kondisi, fungsi dan akibatnya sendiri dalam melihat hubungan
antara satu ungkapan Diskursus dan ungkapan lain.

Diskursus dikaji dalam kerangka atau pendekatan genealogi, relasi kekuasaan, perkembangan
strategi, dan taktik. Genealogi merupakan sejarah yang ditulis dengan terang penglihatan dan
kepedulian masa kini, yang mengandung implikasi bahwa masa lalu haruslah di evaluasi
ulang. Tetapi, geneologi tidak berpretensi kembali ke masa lalu untuk memulihkan sebuah
kontinuitas yang terputus namun, berusaha mengidentifikasi hal hal yang menyempal,
penyimpangan kecil dan fokus pada retakan ratakan, pada kondisi sing kronik serta tumpang
tindihnya pengetahuan yang bersifat akademis dengan kenangan yang bersifat lokal.
Genealogi tidak diartikan sebagai pencarian asal-muasal Diskursus fakta maupun peristiwa
tetapi relasi kuasa dibaliknya. Foucault menitikberatkan pada Diskursus pinggiran untuk
mengetahui lebih jauh setiap aspek pada seorang individu.

Foucault tidak menaruh perhatian pada kajian Diskursus dalam kerangka struktur penandaan
sehingga hubungan antara diskursus dengan genealogi lebih mengaji diskursus dalam
kerangka genealogi, relasi kekuasaan, perkembangan strategis dan taktis. Dalam analisis
Foucauldian, agama dipandang sebagai praktik yang berperan dalam pembentukan Diskursus
Diskursus umum lainnya sehingga perspektif ini mengkaji agama dari sudut eksterior itas
nya, menempatkannya dalam suatu relasi relasi kekuasaan yang Imanen yang terdapat dalam
diskursus keagamaan. Menurut Rudi, terdapat tiga pendekatan studi agama dalam perspektif
Foucaldian : Pertama, menginvestigasi praktik praktik sosial, termasuk agama yang akan
menjadi sasaran investigasi. Kedua, mendeskripsikan bagaimana relasi relasi kuasa bekerja
lewat mekanisme yang disediakan oleh praktik praktik sosial tersebut dan bagaimana relasi
relasi kuasa tersebut mengkonstitusi, memproduksi serta memunculkan Diskursus
keagamaan. Ketiga, menganalisis bagaimana Diskursus Diskursus keagamaan yang telah
diproduksi selanjutnya menopang dan menjustifikasi pekerjaannya relasi kuasa tersebut.
Perspektif studi agama ini lebih mengarahkan perhatian terhadap efek kuasa yang negatif.

Pendekatan Foucauldian ini merupakan perpaduan antara perspektif studi agama atau cultural
studies dan kritis, karena memiliki keberpihakan pada nilai dan komitmen pada perubahan
struktur relasi sosial yang bersifat hegemonik-dominasi, sehingga pendekatan ini tidak hanya
sebagai gerakan teori this the mode analis, tetapi juga sebagai kritik sosial.
Jacques

Jacques Derrida (1930-2004), salah satu tokoh penting poststrukturalis-postmodernis


merupakan seorang failasuf Perancis yang berkuliah dan mengajar di Ecole Normale
Superieure di Paris. Pada 1967, Derrida menerbitkan tiga karya utama ( Of Grammatology,
Writting and Difference, and Speech and Phenomena) yang mana karyanya ini memberi
pengaruh yang berbeda beda.

Pada karyanya yang berjudul Of Grammatology, yaitu karyanya yang paling terkenal Derrida
mengungkapkan dan kemudian merusak oposisi ujaran-tulisan, yang menurut Terry Ida telah
menjadi faktor yang begitu berpengaruh pada pemikiran Barat. Karena karya karya yang
diterbitkan oleh Derrida, dekonstruksi secara bertahap meningkat terutama di benua Eropa,
dan juga berperan penting dalam konteks falsafu Anglo-Amerika serta memiliki peran khusus
pada bidang kritik sastra, dan kajian budaya.

Pemikiran Derrida yang terkenal adalah dekonstruksi yang memiliki makna bahwa di dalam
setiap teks terdapat titik titik ekuivokasi dan kemampuan utnuk tidak memutuskan, yang
menghianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam
teks yang ditulisnya. Menurut Derrida, pemikir pemikir seperti Plato, Rousseau, De Sussure,
dan Levi-Strauss, semua telah meresahkan kata tertulis dan lebih mengutamakan ujaran,
dengan mengontraskan, dan menempatkan ujaran sebagai semacam saluran murni pergi
makna. Dalam karyanya yang terkenal jadi dan berusaha menunjukkan bahwa struktur
penulisan dan gramatologi lebih penting daripada yang dianggap sebagai struktur murni
kehadiran diri, yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran.

Dekonstruksi menurut Derrida dibatasi dengan membongkar narasi narasi yang sudah ada,
dan mengungkapkan hirarki hirarki dualistik yang disembunyikan. Oleh karena itu filsafat
karya Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan kata kunci selalu berubah, karena selalu
tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk di dekonstruksi, sehingga. pengelakan
selalu di lokasi ikan di tempat yang berbeda.

Dalam kajian keagamaan, dekonstruksi Derrida memberi beberapa pengaruh penting.


Pertama, makna tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, tunggal, universal, dan
stabil, tetapi selalu berubah. Kedua, dominasi sebuah diskursus keagamaan atas diskursus
keagamaan lain menandakan adanya sebuah struktur hierarkis penafsiran, yang menempatkan
diskursus keagamaan yang dominan itu pada posisi pusat dan menempatkan diskursus
keagamaan lainnya pada posisi pinggiran sehingga struktur ini tidak hanya mengeksklusifkan
keagamaan tertentu, tetapi juga menundukkan dan menyubdinasikan. Ketiga, dekonstruksi
dapat diartikan sebagai keterbukaan kepada yang lain sehingga dapat digunakan sebagai
Arahan untuk membangun suatu sikap, Etos, dan pandangan dunia yang egaliter dengan
menekankan keberagaman dari segala aspek. Oleh karena itu, dekonstruksi sesuai dengan
konsep keberagaman budaya, agama, identitas, permainan bahasa, sehingga dapat membuka
diri terhadap yang lain. Pendekatan konstruksi ini pernah dipakai Derrida sendiri dalam
menganalisis peristiwa 11 September 2001, dengan berdialog bersama tokoh postmo
Habernas dan kemudian dipublikasikan sebagai karya yang menyimpulkan bahwa terasa latah
ketika Merika memkalumatkan perang terjdapat terorisme karena menurut Derrida dan
Habernas, terorisme adalah istilah yang maknanya sulit dimengerti.

Dalam pemikiran Islam, Muhammed Arkoun dan Hasan Hanafi mencoba melakukan
pembongkaran terhadap teks teks keagamaan Islam. Menurut Arkoum ilmu ilmu keislaman
tidak cukup dengan hanya menyentuh dimensi normatif Metafizik atau dimensi historis
empiris sehingga pola pendekatan ini memang lebih menyempitkan wilayah telah agamaan.
Dengan begitu, proses dekonstruksi yang menolak segala bentuk kemapanan, kemutlakan,
standar baku dan kaku akan menunjukkan adanya dinamika keberagaman manusia dalam arti
yang sesungguhnya.
Jurgen Habernas

Jurgen Habernas dilahirkan di Jerman 18 Juni 1929 merupakan seorang failasuf yang paling
berpengaruh di abad kontemporer dan mulai tertarik dengan falsafat kritis setelah ia
memasuki sebuah aliran falsafat maupun ilmu-ilmu sosial di madzhab Frakfrut yang
merupakan gerakan neo-Marxis dan kelanjutan dari falsafat Marxis.

Hubungannya dengan generasi pertama madzhab Frankfrut adalah Habernas lebih mengarah
pada kajian bahasa sebagai pendekatan kritis, yang membuat Habernas lebih mampu
berkomunikasi terhadap budaya sosial. Selain Marx, Habernas juga terpengaruh oleh
dialektika Hegel dimana dialektika dianggao sesuatu yang benar dilihat dari totalitas
hubungannya. Hubungan ini disebut Negasi yang berarti bisa menemukan keutuhan dan
keseluruhan. Oleh Habernas negasi ini ditransformasikan menjadi filsafat kritis.

Gerakan madzhab kritis ini adalah memperjelas struktur masyrakat industri sekarang dan
melihat akibat akibat struktur tersebut pada manusia yang berbudaya. Gerakan ini
merumuskan kelemahan masyarakat industri sehingga dapat merekonstruksi struktur dan
bangunan kehidupan masyarakat yang baru. Teori sosial kritis ini merupakan program
integratif komunikatif dalam wilayah sosiologis di mana teori ini menghubungkan antara
Hermeneutik, refleksi emansipatoris dan pengetahuan analisis kausalis akan bisa memberi
agar bisa memberi basis baru bagi teori kritis. Penamaan teori kritis ini dikarenakan salah
satu aksinya yaitu mengkritik ideologis terhadap rasio instrumental yang saling
mempengaruhi paradigma ilmu pengetahuan alam dan paradigma ilmu pengetahuan sosial.

Selain mengkritisi logika ilmu pengetahuan dan struktur masyarakat industri modern,
Habernas juga melakukan studi kritis terhadap ‘agama’ yang beristilah ‘transcendental
pragmatic’. Menurutnya, pengetahuan manusia dilatar belakangi oleh riwayat sosial budaya
dimana setiap orang merupakan produk dari dunia hidup mereka atau tradisi linguistik di
tempat tinggalnya. Hal hal inilah yang menyebabkan adanya klaim validitas universal.
Justifikasi dari klaim universal yang berbeda ditentukan oleh sebuah pengukuhan dari
legitimasi sana atau tidak sah dalam suatu masyarakat. Habernas melakukan konfrontasi kritis
terhadap tantangan intelejtual sesuai dengan prinsipnya ‘ateisme metodologi’.

Bagi aliran kritis tugas ilmu sosial adalah mengkritisi masyarakat terhadap sistem dan
struktur sosial ‘dehumanisasi’ yang membunh kemanusiaan. Oleh karena itu, kegiatan sosial
dianggap area netral bebas politik tetapi kebalikannya, yatu merupakan kegiatan politik
dalam menghadapi sistem dan struktur yang bersifat hegemonik. struktural tidak adil, ilmu
sosial yang bertindak tidak memihak, netral, obyektif, serta berjarak atau detachment adalah
suatu bentuk sikap ketidakadilan sendiri, atau paling tidak ikut melanggengkan
ketidakadilan.Teori ini menolak obyektifitas dan netralitas ilmu sosial, dimana ilmu
pengetahuan tidak akan pernah netral yang seharusnya berperan dalam proses pembangkitan
kesadaran kritis, baik yang tertindas maupun yang menindas, bukan hanya untuk diabdikan
demi kepentingan golongan lemah dan tertindas.

Menurut Donald E. Comstock, pengembangan teori-teori kritis membutuhkan sebuah metode


riset kritis yang tidak dapat dikembangkan dengan logika penelitian karena sebagian besar
teori adalah kritis dan analisis. Fungsi ilmu sosial kritis berfungsi untuk meningkatkan
kesadaran pelaku perubahan terhadap realitas yang diputarbalikkan dan disembunyikan dari
pemahaman sehati hari. Dengan demikian, manusia merupakan agen aktif dalam
pembangunan sosial dan kehidupan personal dan merupakab subyek dalam menciptakan
proses sejarah, bukan obyek.

Habermas bersama Kurt Lewin dan Poulo Freire bisa disebut sebagai peletak dasar utama
paradigma kritis. Menurut Kurt, perubahan sosial dilakukan melalui 3 tahapan : mencairkan
kebekuan situasi, melakukan intervensi, dan mencairkan situasi kembali. Freire lebih fokus
pada proyek pendidikan mengatakan bahwa risat harus didudukkan dalam konteks dialog
dengan tujuan untuk mengubah suatu realitas secara bersamaan dengan orang lain yang
berarti bukan orang lain yang harus diubah. Penelitian bukan hanya sekedar menguji
hipotesis melainkan suatu dialog untuk memahami tema generatif yang memicu rakyat untuk
bertindak.

Saat ini, Subdit penelitian dan pengap Dian masyarakat, Direktorat perguruan tinggi agama
Islam departemen agama dan memikirkan untuk menggunakan paradigma penelitian sosial
kritis melalui kegiatan pengabdian masyarakat dan penelitian berbasis PAR (participatory
action research). untuk melaksanakan program pemberdayaan mutu madrasah/pesantren,
kelembagaan mesjid dan daerah serta masyarakat tertinggal dan terpencil. Paradigma sosial
kritis ini juga diterapkan dalam kuliah kerja nyata mahasiswa dengan pendekatan
transformatif.
Static Creeds, Dynamic Beliefs: The Challenge of Study and Self- Reporting

Perubahan pada metodologi terjadi akibat adanya perubahan pada persepsi. Pembelajaran
fenomena postmodern dengan alat modern yang tidak memadai, akan menyebabkan
banyaknya tulisan sementara mengenai agama yang sederhana, namun sebagian besar
menyesatkan. Kondisi ini dapat ditelusuri dan mengarah ke salah satu teori yaitu satu ide
yang mencakup keseluruhan, yang disebut sekularisasi. Teori ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pola sosial pada industri perkotaan
maupun dalam sekala nasional memiliki efek yang merusak kehidupan beragama.
Masyarakat modern menjalankan prinsip non religius, sehingga gereja kehilangan pengaruh
sosial dan orang orang berhenti mendatangi gereja.

Selain itu menurunnya penganut agama utama mungkin lebih banyak daripada yang
ditunjukkan oleh literatur. Sebagai contoh terdapat beberapa masalah yang membingungkan
seperti adanya kemungkinan memiliki tanpa kepercayaan. Maksud dari kalimat tersebut yaitu
adanya kepemilikan atas gereja untuk hal sosial, spriritual, atau alasan lainnya, tanpa
mempercayai dari ajaran agama tersebut. Adanya ketegangan antara kepercayaan statis dan
kepercayaan dinamis akan menciptakan kesulitan yang besar dalam membedakan antara
pilihan yang dinyatakan maupun tulisan yang sebenarnya. Sebagai contoh, Donegani (2007)
melaporkan bahwa hanya 51 persen responden Perancis menggambarkan diri mereka sebagai
umat Katolik, tetapi hanya 52 persen umat Katolik Prancis yang percaya kepada Tuhan, dan
hanya 18 persen mendefinisikan Tuhan menurut ajaran Gereja Katolik, sehingga arti dari
menjadi seorang Katholik dipertanyakan.

Sebaliknya, tanpa melihat partisipasi institusional, menurunnya partisipasi religius tidak akan
berarti. Di sisi lain, agama yang bersifat konvensional dan teroganisir tidak sesuai dengan
spiritualitas masa kini dan para pencari agama. Oleh karena itu, penelitian mengenai agama
harus mempertimbangkan masalah-masalah seperti ini.

Assessing Postmodernism

Pada akhirnya, timbulah pertanyaan yaitu hal apa yang akan dibuat dari postmodernisme dan
efeknya terhadap agama.

Critiques on the critiques

Terdapat dua masalah dasar terhadap kritik postmodernisme dan agama, yang pertama kritik
ilmiah mengenai postmodernisasi dan agama dianggap tidak masuk akal. Gellner (1992)
menuliskan bahwa postmodernisasi bersifat rumit atau berliku-liku tetapi memberikan
pengaruh terhadap model pembelajaran. Terlepas dari itu, postmodernisasi telah masuk ke
kesadaran umum sebagai manifestasi yang lebih dalam seperti yang dinyatakan oleh Clarke
(2006) sebagai gerakan era baru dari mode elit menjadi gerakan massa yang mendunia.
Postmodernisasi ada dan bersifat umum, namun terlalu memberikan batas terhadap kritik dari
perspektif ilmiah. Tidak disangkal bahwa kebanyak orang tidak memiliki pengetahuan
mengenai Derrida, Rorty, Habernas, Nietzsche maupun filsuf lainnya, sehingga tidak
mengerti menganai dasar-dasar postmodernisasi. Meskipun demikian, semakin banyak orang
orang yang mempelajari mengenai ideologi postmodern, seperti yang ditunjukkan oleh
institusi, kegiatan keagamaan, dan menurut pandangan dunia, orang-orang ini dianggap
mempelajari serta menganut postmodernisasi. Banyak yang bertanya darimanakah
munculnya postmodernisasi ini, apakah dari sekolah, budaya, bahasa, atau sudah tertanam
didalam pikiran dari masing- masing individu. Kemunculan postmodernisasi ini akan dijawab
secara mendalam sesuai teologi, filosofi, sosiologi, antropologi, dan bahkan ekonomi, dengan
pandangan secara perspektif dan institusi.

Masalah yang kedua, penggabungan ide dan kemampuan dalam berbicara mengenai
pencerahan. Secara sederhana, terdapat dua perbedaan yang dapat disatukan yaitu pencerahan
Scottish dan Kontinental. Tetapi hal ini berbahaya, dikarenakan konsep pada Scottish lebih
menekankan kerendahan hati, iman, dan penerimaan yang baik terhadap manusia, dimana
konsep Kontinental mengarah ke penalaran, teknik sosial, penolakan terhadap individu yang
mendukung dugaan sesuatu yang sangat baik atau cukup baik. Yang paling mengejutkan,
Giddens (1990) menuliskan bahwa totalitarianisme dan modernisme tidak hanya sementara,
tetapi secara permanen, terhubung, khususnya terhadap pencerahan Kontinental seperti yang
dijelaskan oleh Zygmunt Bauman, namun tidak dengan pencerahan Skotlandia.

Reaksi postmodern, mengorbankan otonomi negara seiring dengan berjalannya pertumbuhan


negara, perusakan lingkungan melalui hak kepemilikan yang tidak jelas, dan industrialisasi
perang, semua yang merupakan konsekuensi penting dan tak terhindarkan dari Pencerahan
Kontinental. Namun pada pencerahan Scottish, yang didasarkan pada introspeksi diri,
keraguan, dan latar belakang keimanan, maka ada ruang untuk mempertanyakan kekurangan-
kekurangan modernitas , tanpa masuk ke dalam nihilisme dan obskurantisme linguistik
postmodernisme.

Anda mungkin juga menyukai