Anda di halaman 1dari 9

Nuha Litakuna Karima / 25318391 / 2TB04

POSTMODERNISME
Awalan “post” pada istilah itu banyak menimbulkan perbedaan arti. Lyotard mengartikan “post”
berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan. David Griffin,
mengartikannya sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan. Sementara menurut
Tony Cliff, postmodernisme berarti suatu teori yang menolak teori.

Istilah postmodernisme pertama kali digunakan oleh Frederico de Onis pada tahun 1930-an
untuk menyebutkan gerakan kritik di bidang sastra, khusunya sastra Prancis dan Amerika Latin. Bagi
Toynbee, pengertian postmodern adalah masa yang ditanai perang, gejolak sosial, revolusi yang
menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan pencerahan. Daniel Bell mengartikan postmodernisme
sebagai Kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang
bersamaan dengan semakin bebasnya daya instingual dan kian membubungnya kesenangan dan
keinginan. Sementara menurut Frederic Jameson, mengartikan postmodernisme adalah logika kultural
yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya.

Pemikiran Lyotard berkisar tentang posisi pengetahuan di abad ilmiah kita, khususnya tentang
cara ilmu dilegitimasikan melalui yang disebutnya “narasi besar” seperti kebebasan, kemajuan,
emansipasi, kaum proletar dan sebagainya. Dengan pandangan macam itulah, Lyotard membawa istilah
“postmodernisme” kedalam medan diskusi filsafat lebih luas. Sejak saat itu segala kritik atas
pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme, diidentikkan
dengan ”postmodernisme”. Oleh sebab itu. Istilah “postmodernisme” di bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan memang ambigu; ia menjadi sekedar istilah yang memayungi hampir segala bentuk kritik
atas modernisme, meskipun satu sama lain berbeda. Dengan demikian istilah postmodernisme dipahami
sebagai “segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada
umumnya” (Cultural and society Vol. 5, 1988, hlm. 195-213).

Postmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal
dengan menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan
bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”)

Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan
dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada
pada alur vulgar material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja.

Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik


dalam filsafat Barat yang mengajak kita untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak
lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika” seperti yang
diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan
wavana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana
sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.

Heterogenitas yang mungkin menyebabkan sulitnya pemahaman orang awam terhadap


postmodernisme. Dalam wujudnya yang bukan merupakan suatu kebulatan, postmodernisme tidak
dapat dianggap sebagai suatu paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan solusi bagi
persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan lebih merupakan sebuah kritik
permanen yang selalu mengingatkan kita untuk lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi
Nuha Litakuna Karima / 25318391 / 2TB04

kecenderungan untuk secara sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum tentu
benar.
LAHIRNYA POSTMODERNISME

Munculnya postmodernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme itu sendiri. Kata
modernisme mengandung makna serba maju, gemerlap, dan progresif. Modernisme selalu menjanjikan
pada kita untuk membawa pada perubahan ke dunia yang lebih mapan di mana semua kebutuhan akan
dapat terpenuhi. Rasionalitas akan membantu kita menghadapi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan
tradisional yang tak berdasar, yang membuat manusia tak berdaya dalam menghadapi dunia ini
(Maksum, 2014: 309).

Namun demikian, modernisme memiliki sisi gelap yang menyebabkan kehidupan manusia
kehilangan diorientasi. Apa yang dikatakan oleh Max Horkheimer, Ardono, dan Herbert Marcuse bahwa
pencerahan tersebut melahirkan sebuah penindasan dan dominasi disamping juga melahirkan
kemajuan.

Modernisme, menurut Anthony Giddens, menimbulkan berkembangbiaknya petaka bagi umat


manusia. Pertama, penggunaan Johan Setiawan dan Ajat Sudrajat 29 kekerasan dalam menyelesaikan
sengketa. Kedua, penindasan oleh yang kuat atas yang lemah. Ketiga, ketimpangan sosial yang kian
parah. Keempat, kerusakan hidup yang kian menghawatirkan (Maksum, 2014: 311).

Tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme dapat kita ketahui dari pemikiran
filsafatnya Soren Kierkegaard (1813-1855), sebagaimana dikutip oleh Ali Maksum, yang menentang
rekonstruksirekonstruksi rasional dan masuk akal yang menentukan keabsahan kebenaran ilmu. Sesuatu
itu dikatakan benar ketika sesuai dengan konsensus atau aturan yang berlaku di dunia modern, yaitu
rasional dan objektif. Namun tidak dengan Kierkegaard, dia berpendapat bahwa kebenaran itu bersifat
subjektif (Ghazali & Effendi, 2009: 314). Truth is subjectivity, artinya bahwa pendapat tentang kebenaran
subjektif itu menekankan pentingnya pengalaman yang dialami oleh seorang individu yang dianggapnya
relatif.

Gejala Postmodernisme yang merambah ke berbagai bidang kehidupan tersebut yang


didalamnya termasuk ilmu pengetahuan merupakan suatu reaksi terhadap gerakan modernisme yang
dinilainya mengalami kegagalan. Modernisme yang berkembang dengan ditandai oleh adanya
rasionalisme, materialisme, dan kapitalisme yang didukung dengan perkembangan teknologi serta sains
menimbulkan disorientasi moral keagamaan dengan runtuhnya martabat manusia (Kalean, 2002: 298).

Atas latar belakang itulah, para tokoh dan pemikir postmodernisme menghadirkan sebuah
gagasan baru yang disebut dengan postmodernisme dalam rangka melakukan dekonstruksi paradigma
terhadap berbagai bidang keilmuan, sebagai sebuah upaya untuk mengoreksi atau membuat dan
bahkan menemukan paradigma yang baru. Postmodernisme seperti yang dikatakan oleh Derrida dan
Lyotard, merupakan anti tesis dari modernisme. Hampir semua istilah yang diajukan oleh
postmodernisme adalah antonimasi modernisme. Kelahiran postmodernisme membuat istilah baru dan
mengakibatkan perbedaan dengan paham modernisme.
Nuha Litakuna Karima / 25318391 / 2TB04

Berikut ini beberapa istilah yang digunakan oleh aliran modernisme dan postmodernisme atau
pembeda antara keduanya (Maksum, 2014: 348):

MODERNISME POSTMODERNISME
Sentralisasi Desentralisasi
Pertarungan Kelas Pertarungan Etnis
Konstruksi Dekonstruksi
Kultur Sub-Kultur
Hermeneutis Nihilisme
Budaya Tinggi Budaya Rendah
Hierarki Anarki
Industri Pasca-Industri
Teori Paradigma
Kekuatan Negara Kekuatan Bersama
Agama Sekte-sekte
Legitimasi Delegitimasi
Konsensus Dekonsensus
Budaya Tradisional Liberalisme
Kontinuitas Diskontinuitas

CIRI-CIRI PEMIKIRAN POSTMODERNISME

Amin Abdullah dalam bukunya berjudul Falsafah Kalam di Era Postmodernisme menyatakan
bahwa ciri-ciri pemikiran postmodernisme adalah dekonstruktif. Hampir semua bangunan atau
konstruksi dasar keilmuan yang telah mapan dalam era modern, baik dalam bidang sosiologi, psikologi,
antropologi, sejarah, bahkan juga ilmu-ilmu kealaman yang selama ini baku ternyata dipertanyakan
ulang oleh postmodernisme. Hal ini terjadi karena teori tersebut dianggap menutup munculnya teori-
teori lain yang barangkali jauh lebih dapat membantu memahami realitas dan pemecahan masalah. Jadi
klaim adanya teori-teori yang baku, standar, yang tidak dapat diganggu gugat, itulah yang ditentang oleh
pemikir postmodernisme.

Standar yang dilihatnya kaku dan terlalu skematis sehingga tidak cocok untuk melihat realitas
yang jauh lebih rumit. Maka menurutnya harus diubah, diperbaiki, dan disempurnakan oleh para
pemikir postmodernisme. Dalam istilah Amin Abdullah dikenal dengan deconstructionism yakni upaya
mempertanyakan ulang teori-teori yang sudah mapan yang telah dibangun oleh pola pikir modernisme,
untuk kemudian dicari dan disusun teori yang lebih tepat dalam memahami kenyataan masyarakat saat
ini, meliputi keberagaman, dan juga realitas alam (Abdullah, 2004: 96).

Ciri postmodernisme yang lain adalah berwatak relativisme, artinya pemikiran postmodernisme
dalam hal realitas budaya (nilainilai, kepercayaan, dan lainnya) tergambar dalam teori-teori yang
dikembangkan oleh disiplin ilmu antropologi. Dalam pandangan antropologi, tidak ada budaya yang
sama dan sebangun antara satu dengan yang lain. Seperti budaya Amerika jelas berbeda dengan
Indonesia. Maka nilai-nilai budaya jelas sangat beraneka ragam sesuai dengan latar belakang sejarah,
geografis, dan sebagainya.

Berdasarkan penjelasan di atas, nampak bahwa nilai-nilai budaya bersifat relatif, dan hal ini
sesuai dengan alur pemikiran postmodernisme yaitu bahwa wilayah, budaya, bahasa, agama sangat
Nuha Litakuna Karima / 25318391 / 2TB04

ditentukan oleh tata nilai dan adat istiadat masing-masing. Dari sinilah Nampak jelas bahwa para pemikir
postmodernisme menganggap bahwa segala sesuatu itu relatif dan tidak boleh absolut, karena harus
mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada.

Dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan bagi postmodernisme bersifat relatif, tidak ada
ilmu pengetahuan yang kebenarannya absolut. Dan melihat suatu peristiwa tertentu juga ketika ingin
menilainya harus dilihat dari segala sisi, tidak hanya terfokus pada satu sisi tertentu.

Pluralisme merupakan ciri pemikiran postmodernisme selanjutnya. Hasil teknologi modern


dalam bidang transportasi dan komunikasi menjadikan era pluralisme budaya dan agama telah semakin
dihayati dan dipahami oleh banyak orang dimanapun mereka berada. Adanya pluralisme budaya,
agama, keluarga, ras, ekonomi, sosial, suku pendidikan, ilmu pengetahuan, politik merupakan sebuah
realitas. Artinya bahwa mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama dan budaya
(Abdullah, 2004: 104). Sehingga menciptakan suatu adanya heterogen, bermacam-macam bukan
homogen. Keanekaragaman ini harus ditoleransi antara satu dengan yang lainnya bukan saling
menjatuhkan apalagi sampai terjadinya suatu konflik tertentu.

Tata fikir spesifik posmo adalah: kontradiksi, kontroversi, paradoks, dan dilematis. Posmo lebih
melihat realitas sebagai problematis, sebagai yang selalu perlu di-inquired, yang selalu perlu di-
discovered, sebagai yang kontroversial. Bukannya harus tampil ragu, melainkan harus memaknai dan
selanjutnya in action. Ber-action sesuai dengan indikator jalan benar.

Menurut Bambang Sugiharto, 23 terdapat tiga konsepsi tentang postmodern yang dapat
digolongkan sebagai berikut. Pertama, pemikiran yang hendak merevisi kemodernan dan cenderung
kembali ke pra-modern. Corak pemikiran yang mistikomitis dan semboyan khas pemikiran ini adalah
holisme. Kedua, pemikiran yang erat pada dunia sastra dan banyak pada persoalan linguistik. Kata kunci
yang populer adalah dekonstruksi, yaitu Kecenderungan untuk mengatasi gambaran-gambaran dunia
modern melalui gagasan anti gambaran dunia sama sekali. Semangat membongkar segala unsur yang
penting dalam sebuah gambaran dunia, seperti diri, tuhan, tujuan, dunia nyata dan lain-lain. Tokoh yang
berperan dalam teori-teori tersebut adalah J. F. Lyotard, M. Foucauld, Jean Baudrillard, Jacques derrida.
Ketiga, pemikiran yang hendak merevisi modernisme, tidak dengan menolak modernisme secara total,
namun dengan memperbaharuinya premis-premis modern disana-sini saja. Singkat kata, kritik terhadap
imanen terhadap modernisme dalam rangka mengatasi berbagai konsekuensi negatifnya.

Pendekatan dalam penelitian postmoderen dikenal dengan pendekatan dekonstruksi, karena


karekteristik teoritik metodologik paling dasar dan esensial dari postmoderen, adalah mendekontruksi
Noeng Muhadjir (2000) menggunakan tiga istilah untuk pendekatan ini yaitu poststruktural,
postmodernsme dan postpardigmatik.

1. Post strukturalis Derrida


Jacques Derrida (1930) dikenal sebagai tokoh dekonstruksi studi sastra yang pertama.
Dalam jangka panjang studi sastra hanya mengenal strukturalisme positivistic (linguistik
moderen) dari Ferdinand de Saussere, dilanjutkan strukturalisme sosial yang postpositivistik
sampai ke hermeneutic. Konstruk logic kebahasaan: logosentrisme “oleh Derrida dikonstruk.
Bagi Derrida teks bukan sekedar kumpulan tanda-tanda, melainkan merupakan “rajutan”
yang maknanya terajut dalam keseluruhan teks, dalam teksualitas. Banyak ahli sebelum
Derrida berpendapat bahwa bahasa sebagai tanda atau symbol itu adalah bahasa lisan (yang
Nuha Litakuna Karima / 25318391 / 2TB04

mungkin pula dapat ditulisakan); tetapi yang penting adalah bahsa lisan (tuturan). Bagi
Derrida bahasa lisan dan bahasa tilisan ada, dan yang tulisan lebih penting.
Para ahli membedakan antara symbol dan tanda. Simbol mempunyai hubungan natural
dengan yang ditunjuknya, sedangkan tanda bersifat arbiter. Derrida menolak perbedaan
antara tanda dan symbol. Bagi Derrida symbol atau tanda itu bersifat arbiter,
pemaknaannya tidak bersifat logosentris. Makna bahasa dalam suatu teks dapat berbeda
dengan makna dalam teks lain. Mencari makna dapat ditempuh dengan pembacaan
heuristic dan dapat ditempuh dengan pembacaan hermeneutik. Dalam strukturalis
pembacaan sesuai dengan hokum-hukum logosentrisme, sedangkan pada poststrukturalis
pembacaan untuk mencari makna lebih terbuka, karena setiap tanda itu bersifat arbiter.
Para poststrukturalist sependapat dengan strukturalist bahwa semua unsur dalam bahasa
itu mempunyai makna, tetapi makna itu berkembang terus dalam sejarah perubahan. Jika
bahasa secara konstan berubah terus maknanya, bagaimana seseorang dapat menjamin
kemungkinan benarnya penafsiran.
Dengan demikian tidak ada yang dapat menjamin benarnya penafsiran pada satu kurun
waktu. Dengan bertambahnya wawasanpun buku yang sama dibaca oleh penulis yang sama
dapat mengangkat penafsiran yang berbeda. Segala sesuatu merupakan bagian perubahan
yang dinamis termasuk makna teks.

2. Postmodernisme Loytard
Jean-Francois Loytard (1942) dikenal sebagai tokoh yang pertama kali mengenalkan
konsep postmodernisme dalam filsafat. Meraih gelar Doktor tahun 1971 di Universitas
Sorbone dalam bahasa dan bergabung pada gerakan marxis. Kerangka pemikirannya
menggabungkan antara Marxis dan psikoanalisis Freud. Pemikiran postmodernnya
berkembang setelah melihat kenyataan sejarah hilangnya daya pikat seperti perjuangan
sosialisme, runtuhnya komunisme, melihat gagalnya modernitas, kejadian-kejadian
“Auschwich” yang tak terfahami secara rasional, modernitas dalam kesatuan ideal yang
menjadi terpecah-pecah, dan berlanjut 10 tahun setelah buku pertamanya tentang
postmodern terbit (1986). Posmo menolak idee otonomi aesthetic dari modernis. Seni tidak
dapat dipisahkan dari lingkungan politik dan sosial, dan menolak pemisahan antara
legitimate art dengan popular calture. Posmo menolak hirarkhi, genealogik, menolak
kontinuitas, dan perkembangan. Posmo bukan membuat destruksi terhadap modernitas.
Posmo beruipaya mempersentasikan yang tidak dapat dipresentasikan oleh modernism,
demikian Lyotard. Mengapa modernisme tidak dapat mempersentasikan karena logikanya
masih terikat pada standard logic, sedangkan posmo mengembangkan kemampuan kreatif
membuat makna-makna baru menggunakan unstandard logic. Dominasi luar biasa dari
technoscience dalam kebudayaan, melewati kebutuhan manusia; sehinga tehnoscience
memperburuk krisis kemanusiaan, demikian Lyotard.

3. Postparadigmatik
Postmodernisme menggunakan logika postparadigmatik, atau yang dikenal sebagai
paraconsistent logic, yang dikembangkan antara lain oleh Joskowki dan da Costa.
Paraconsistent adalah logika yang inferensinya dibangun dengan cara sensible/make sense
atau dapat dimengerti, meskipun informasi yang digunakan untuk membuat kesimpulan
Nuha Litakuna Karima / 25318391 / 2TB04

tidak konsisten. Dengan paraconsistent logic kita mungkin menggunakan kontradiksi yang
dapat dimengerti dan inferensinya dapat diterima logika kita. Global paradoksnya Naisbitt
dapat dipakai sebagai contoh. Logika yang digunakan menampilkan konsep yang berisi
kontradiksi intern atau paradoksal, tetapi argumentasinya dapat dimengerti, sehingga
inferensinya dapat diterima.
Tentang kebenaran struktural paradigmatic, Thomas Kuhn mengemukakan bahwa
konstruksi paradigma antara lan: momot kesesuaian observasi dengan paradigma,
mencakup phenomena tambahan dan menetapkan nilai universal konstan. Kebenaran
postparadigmatik mengakui bahwa sangat mungkin sekali observasi baru dan phenomena
tambahan tidak sesuai dengan paradigma yang ada, sehingga juga tidak dapat ditetapkan
nilai universal konstan. Kebenaran universal itu tumbuh terus skopnya, isinya, dan
dimensinya, tak terduga, karena manusia berkelanjutan bersifat aktif kreatif dan
mengembangkan terus maknanya.
Dalam berfikir moderen: kontradiksi, kontroversi, paradoks dan dilemma itu indikasi
lemahnya teori. Tetapi dalam berfikir postmodern tata pikir tersebut dapat mernjadi inventif
atau inovatif. Small is Beautifulnya, Schumacher menampilkan kontroversi. Dalam alur
berfikir dunia pada waktu itu (1973) semakin besar akan semakin kuat dan semakin hebat,
Schumacher menampilkan yang kecil juga dapat hebat. Alvin Toffler menampilkan
kontroversi yang lain. Sampai tahun 1980, perkembangan sejarah peradaban ditahapkan
menjadi masa berburu, bercocok tanam dan berdagang.
Toffler dengan The Third wavenya (1980) menampilkan pentahapan sejarah yang
berbeda, yaitu berdasar energi yang digunakan. Noeng Muhadjir mengetengahkan bahwa
untuk kepentingan pendidikan generasi muda, sejarah penjajahan 350 tahun oleh
kolonealisme perlu direkonstruksi menjadi sejarah perlawanan berkelanjutan selama 350
tahun. Sampai 1908 perlawanan terhadap kolonialisme berlangsung lewat perang, dan sejak
1908 perlawanan terhadap kolonialisme dilakukan dengan perjuangan politik, dan akhirmya
lewat perlawanan bersenjata bangsa Indonesia menjadi merdeka. Schumacher, Toffler dan
Noeng Muhadjir telah mengetengahkan berfikir postmodern: postparadigmatik.
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN POSTMODERNISME

Kelebihan postmodernisme antara lain bahwa perspektif postmodernisme dapat membuat kita
peka terhadap kemungkinan bahwa wacana besar positif, prinsip-prinsip etika positif, dapat diputar dan
dipakai untuk menindas manusia. Martabat manusia harus dijunjung tinggi, seperti kebebasan adalah
nilai tinggi, tetapi bisa saja terjadi bahwa nama kebebasan sekelompok orang mau ditiadakan.
Postmodernisme ikut membuat kita sadar, sebuah kesadaran bahwa semua cerita besar perlu dicurigai,
perlu diwaspadai agar tidak menjelma rezim totalitarianisme yang hanya mau mendengarkan suara diri
sendiri dan mengharuskan suara-suara yang berbeda dari luar (Zaprulkhan, 2006: 323-324). Menurut
Franz Dahler, postmodernisme memiliki segi positif, yaitu keterbukaan untuk kebhinekaan masyarakat,
untuk toleransi, perlawanan terhadap monopoli, dominan agama, aliran dan ideologi tertentu, hingga
menguntungkan demokrasi (Jalaluddin, 2013: 67).

Zaprulkhan menyatakan bahwa setidaknya ada kelemahan yang ada pada postmodernisme,
yang penulis rangkum menjadi tiga poin utama, yaitu, pertama, postmodernisme yang sangat semangat
mempromosikan narasi-narasi kecil, ternyata buta terhadap kenyataan bahwa banyak juga narasi kecil
yang mengandung banyak kebusukan. Katakanlah kaum komunitarian yang membela tradisi-tradisi
Nuha Litakuna Karima / 25318391 / 2TB04

komunitas dikemukakan bahwa banyak tradisi komunitas Johan Setiawan dan Ajat Sudrajat 37
bertentangan tidak hanya dengan suatu ide abstrak martabat manusia postmodernisme akan menolak
argumen itu, melainkan terhadap institusi-institusi moral mendalam manusia. Kedua, postmodernisme
tidak membedakan antara ideologi, di satu pihak dan prinsip-prinsip universal etika terbuka, di pihak
lain. Dengan istilah-istilah kabur seperti cerita besar mereka menutup perbedaan yang prinsipil itu. Yang
mempermudah adalah pendekatan ideologis dan bukan nilainilai dan prinsip-prinsip dasar moralitas
yang terbuka. Dalam arti ideologi tertutup, memang bertentangan dengan martabat manusia sebagai
makluk yang bertindak berdasarkan kesadaran akan baik dan buruk, yang sanggup untuk bertanggung
jawab, karena ideologi selalu menuntut ketaatan mutlak. Dan yang ketiga Postmodernisme menuntut
untuk menyingkirkan cerita-cerita besar demi cerita kecil atau lokal. Dengan kata lain tuntutan
postmodernisme kontradiktif, memaklumkan kepada umat manusia bahwa maklumat-maklumat kepada
umat manusia (cerita besar) harus ditolak sama artinya dengan memaklumatkan bahwa maklumat itu
sendiri tidak perlu dihiraukan (Zaprulkhan, 2006: 322-323).
SIMPULAN

Postmodernisme merupakan reaksi kritis dan reflektif terhadap paradigm modernism yang
dipandang gagal mencapai tujuan, sehingga menyebabkan munculnya patologi modernitas dan akhirnya
menimbulkan kritik-kritik dan koreksi-koreksi dari para ahli. Banyaknya teori tentang postmodernisme
pun muncul seperti Turner yang mengatakan bahwa postmodernisme dapat dipilah menjadi dua yaitu
lebih melihat dari akibat perubahan berbagai aspek ekonomi dan aspek kultural.

Penganut postmodernisme mengakui adanya suatu pendekatan dalam ilmu pengetahuan yaitu
secara pendekatan metodologis antara lain interpretasi anti obyektifitas dan dekonstruksi.
Postmodernisme dipahami sebagai interpretasi tak terbatas (Soetriono & Hanafie, 2007: 31). Dengan
demikian dalam pandangan postmodernisme bahwa ilmu pengetahuan bersifat subjektif. Implikasinya
adalah bahwa tidak ada apa yang dinamakan ilmu bebas nilai. Sedangkan modernisme menganggap ilmu
pengetahuan yang objektif maka bebas dari nilai (Jalaluddin, 2013: 67).

Sehingga penganut postmodernisme tidak mengakui akan adanya rasionalitas universal, yang
ada hanyalah relativitas dari eksistensi plural. Maka, dengan demikian, perlu dirubah dari berfikir
totalizing menjadi pluralistic and open democracy dalam semua sendi kehidupan. Pandangan
postmodernisme lebih menekankan pluralitas, perbedaan, heterogenitas, budaya lokal/etnis, dan
pengalaman hidup sehari-hari.

Jadi, postmodernisme memandang bahwa ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh modernisme
akan membawa pada kehancuran. Modernisme tidak membawa kita pada kehidupan yang lebih layak
dan bisa mengangkat harkat martabat manusia seperti apa yang telah dijanjikannya, namun malah
sebaliknya. Postmodernisme berpandangan, harus dilakukan perombakan terhadap apa yang
ditawarkan oleh modernisme dan juga harus dikaji ulang terlebih dahulu.

Sebuah disiplin ilmu akan “mati” dan tidak berkembang jika seluruh aktor intelektual dan
pemikirnya berhenti pada sebuah kata “sepakat”. Artinya, pro dan kontra, mengkritik dan dikritik adalah
sebuah “pola wajib” bagi dinamika ilmu pengetahuan. Kemudian, setelah menelaah dan mengkaji
perihal paradigma postmodernisme ini muncul pertanyaan, apakah paradigma ini layak atau pantas
dianggap sebagai solusi atas segala fenomena sosial dewasa ini? Kita bisa menjawab “iya” dan bisa
Nuha Litakuna Karima / 25318391 / 2TB04

menjawab “tidak”. Postmodernitas bisa dilihat sebagai sesuatu yang menggembirakan, namun juga bisa
dilihat sebagai sesuatu yang membawa malapetaka.

Dalam beberapa kasus, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, kita bisa melihat bahwa
kehadiran postmodernisme bisa membawa angin segar dan menjadi jawaban untuk beberapa
permasalahan. Contohnya; hadirnya konstruksi bangunan yang dibangun dengan gaya arsitektur
postmodern bisa mengatasi masalah di perkotaan yang memang memiliki keterbatasan dalam akses
lahan. Namun, keberadaan postmodernisme sebagai hasil ’’kontemplasi‟ pemikiran yang lahir dari
manusia, di mana manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan, tentu saja memiliki nilai minus dan
perlu dkritisi dan dikaji ulang dalam wacana keilmuan.

Oleh karena itu, saya melihat paradigma postmodernisme ini sebagai “cerita yang belum
selesai”, dalam arti masih perlu dikaji dan dikritisi sehingga benar-benar bisa mewakili pemikiran
kontemporer yang bisa memecahkan segala permasalahan dalam fenomena sosialbudaya–minimal bisa
menjawab sebagian besar tantangan dan krisis sosio-kultural. Menurut hemat penulis, awal “musibah”
postmodernisme ini adalah ketika terjadi generalisasi. Sebagaimana pendapat yang disampaikan Lyotard
yang mengatakan bahwa narasinarasi besar sudah runtuh, ada banyak narasi besar, namun ia cenderung
mengeneralkan semuanya.

Kelebihannya postmodernisme dapat membuat kita peka terhadap kemungkinan bahwa wacana
besar positif, prinsip-prinsip etika positif, dapat diputar dan dipakai untuk menindas manusia. Menurut
Franz Dahler, postmodernisme memiliki segi positif, yaitu keterbukaan untuk kebhinekaan masyarakat,
untuk toleransi, perlawanan terhadap monopoli, dominan agama, aliran dan ideologi tertentu, hingga
menguntungkan demokrasi. Sedangkan kelemahan postmodernisme, pertama, postmodernisme yang
sangat semangat mempromosikan narasi-narasi kecil, ternyata buta terhadap kenyataan bahwa banyak
juga narasi kecil yang mengandung banyak kebusukan. Kedua, postmodernisme tidak membedakan
antara ideologi, di satu pihak dan prinsip-prinsip universal etika terbuka, di pihak lain. Ketiga,
postmodernisme menuntut untuk menyingkirkan cerita-cerita besar demi cerita kecil atau lokal.

Kritik terhadap postmodernisme antara lain pemikir postmodernisme kurang tegas terhadap
membedakan apakah mereka menciptakan teori atau mengarang sastra. Habermas merasa argumen
para postmodernis sarat dengan sentimen normatif. Ciri discourse postmodernisme dalam ilmu
pengetahuan memahami fenomena modern yang bernama pengetahuan. Ia mempertanyakan tentang
”apa itu pengetahuan yang benar” secara genealogis dan arkeologis, dalam arti, dengan melacak
bagaimana pengetahuan itu mengembangkan diri selama ini. Misalnya konseptual tentang ”kegilaan”,
”seksualitas”, manusia”, ”gender” dan lain sebagainya yang biasa dianggap ”natural” itu sebenarnya
adalah situs-situs produksi dari ilmu pengetahuan.

Relevansi postmodernisme saat ini karena mereka bersikap saling menghargai manusia sebagai
individu-individu dengan segala keunikan yang ada pada dirinya dan keberagamanya yang meliputi
kelemahan dan kelebihan adalah suatu nilai lebih dan unik, hal itu merupakan pembeda dengan yang
lainnya. Bukan kita untuk mempermasalahkan keberagaman itu tetapi bagaimana hal itu menjadi suatu
kegembiraan dan kekhasan terhadap apa yang dimiliki.
Nuha Litakuna Karima / 25318391 / 2TB04

REFERENSI

http://spi.uin-alauddin.ac.id/index.php/2016/10/31/postmodernisme/

https://www.slideshare.net/meldays22/postmodernisme-35295523

https://www.researchgate.net/publication/336753563_PARADIGMA_POSTMODERN

http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JSU/article/download/11693/9271

https://media.neliti.com/media/publications/228512-pemikiran-postmodernisme-dan-pandanganny-
bbc8bbca.pdf

Anda mungkin juga menyukai