Anda di halaman 1dari 7

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ALIRAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN SEBAGAI BENTUK

PERWUJUDAN HAK KONSTITUSIONAL YANG UTUH BERLANDASKAN AMANAT UUD NRI 1945

Aminatul Afillah
Fakultas Hukum Universitas Jember

Indonesia merupakan negara hukum (rechstaat) sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1
ayat 3 UUD 19451. Sebagai negara hukum, Pemerintah Indonesia berkewajiban menjamin hak-hak
konstitusional negaranya sebagaimana yang diatur dalam pasal 28 dan 29 UUD NRI 1945. Dalam
pasal 28 A-J dan pasal 29 UUD 1945, negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak azasi manusia
warga negaranya. Salah satunya adalah hak untuk beragama & menganut kepercayaan tertentu.
Permasalahan sosial yang timbul pada hari ini, negara masih belum utuh mewujudkan hak-hak azasi
kaum minoritas & penganut aliran penghayat kepercayaan. Mengutip bunyi Pasal 28E ayat (1) yang
menyatakan “bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.”.2 Selanjutnya pada pasal 29 ayat (2) mengatur bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”.3 Berdasarkan tabel data yang disadur oleh IGM Nurdjana pada tahun 2009,
bahwa ditemukan sekurang-kurangnya 2,30% kepercayaan yang belom diakomodir menjadi keyakinan
resmi & diakui oleh Pemerintahan Indonesia 4, sejauh ini Indonesia masih hanya mengakui keberadaan
6 agama yang resmi & dicatatatkan secara administratif. Menurut Budijatno, salah satu penyebab hak-
hak konstitusional warga negara tak dapat diakomodir dengan baik tatkala terjadi penetapan kebijakan
diskriminatif negara mengenai aliran kepercayaan sebagai bukan dari agama-agama resmi yang telah
diakui negara.5 Mereka masih keraplali memperoleh diskriminasi & disudutkan dalam kehidupan
bermasyarakat. Lantas, bagaimana semestinya negara menjamin hak mereka? Tulisan ini akan
membahas tentang Perlindungan Hukum Bagi Aliran Penghayat Kepercayaan Sebagai Bentuk
Perwujudan Pasal 29 Ayat 2 UUD NRI 1945.

1. Tinjauan Yuridis tentang Kewajiban Negara Menjamin Hak Warga Negara dalam Hal Menganut
Kepercayaan Tertentu

1
Dewan Perwakilan Rakyat RI, “UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945,” ,
pasal 1 ayat (3).
2
Dewan Perwakilan Rakyat RI, pasal 28 E ayat (1).
3
Dewan Perwakilan Rakyat RI, pasal 29 ayat (2).
4
M. Iwan Satriawan, “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ALIRAN MENYIMPANG DI INDONESIA,” FIAT
JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum 9, no. 1 (19 April 2016): halaman 62,
https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v9no1.588.
5
Muwaffiq Jufri, “THE POTENTIAL OF RELIGION EQUALIZING WITH INDIGENOUS FAITHS IN INDONESIA” 13, no.
1 (April 2020): hlm. 23.
Sejatinya negara telah menjamin hak beragama dan berkepercayaan sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945. Pasal ini mengatur bahwa hak dan kebebasan
beragama dan menganut kepercayaan adalah hak yang dijamin keberlangsungannya oleh konstitusi.
Selain itu, ketentuan lain dapat ditemukan pada Pasal 28E ayat (2) UUD NRI 1945 yang memberikan
jaminan terhadap keberadaan aliran kepercayaan yang dianut masyarakat Indonesia, terlebih di daerah
pedalaman seperti kepercayaan Kejawen, Kapitayan, dan Sunda Wiwitan yang “eksis” di seluruh
Nusantara.6 Di bawah konstitusi, terdapat pula ketentuan yang mengatur jaminan negara terhadap
penganut kepercayaan tertentu, hal ini bisa teridentifikasi dalam pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Tidak hanya itu, Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
(Undang-Undang ICCPR) pun selaras dengan komitmen negara dalam menjamin hak penganut
kepercayaan. Pada pokok materi bahasannya bermuatan sebagai berikut 7 :

a. Jaminan terhadap penganut kepercayaan untuk bebas meyakini ajaran


kepercayaannya.
b. Larangan kepada setiap orang melakukan tindakan pemaksaan yang bisa
mengganggu kebebasan para penganut aliran kepercayaan. Oleh karena, setiap
bentuk pemaksaan sejatinya adalah perbuatan yang bertentangan dengan prinsip hak
asasi manusia.
c. Ketentuan limitasi(pembatasan) hanya bisa dilakukan oleh peraturan perundang-
undangan dengan pertimbangan keamanan, ketertiban, kesehatan, dan moral
masyarakat.

Seiring bergeraknya zaman, upaya dan komitmen negara dalam rangka perwujudan hak
asasi manusia dengan sebaik-baiknya melalui kesetaraan antara agama dan kepercayaan
semakin diperkokoh dengan keberadaan putusan Mahkamah Konstitusi pada 7 November
2017, yaitu diterbitkannya Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 dengan perkara Pengujian
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan terhadap UUD NRI 1945.
Pokok Putusan tersebut memuat bahwa :

1. Tidak adanya kekuatan hukum bersyarat bagi frasa “agama” jika tidak
menyertakan “kepercayaan” sebagai bagian dari “agama.”
6
Jufri, hlm. 28.
7
Jufri, hlm, 29.
2. Ketentuan di atas bertentangan dengan UUD NRI 1945 sehingga tidak lagi
memiliki kekuatan hukum tetap.

Maka keberadaan putusan ini adalah langkah prestisius yang dilakukan Mahkamah Konstitusi
guna menjamin eksistensi para penganut aliran kepercayaan yang selama ini kerapkali
memperoleh perilaku diskriminatif oleh kebijakan pemerintah dan berbagai tekanan sosial oleh
sebagian besar masyarakat.

2. Hak-hak Kaum Minoritas & Aliran Penghayat Kepercayaan Yang Belum Terakomodasi Dengan
Baik

Perlu disadari bahwa kehidupan beragama tidak akan bisa terwujud tanpa adanya
kebebasan beragama. Kontravensi dalam interaksi sosial masyarakat itu bermula dari
pembatasan yang diatur dalam UU PNPS No. 1 Tahun 1965, hal ini menjadi penyebab
masyarakat penganut aliran kepercayaan di luar agama resmi yang diakui oleh UU tersebut
kesulitan bahkan tidak mendapatkan hak-haknya. Contohnya ialah hak pencantuman identitas
agama yang mereka anut di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), dalam sejumlah kasus,
justru para penganut aliran kepercayaan ini dijustifikasi sesat, menyimpang,dan kafir. 8

Tak hanya itu, eksistensi Pasal 61 ayat (1) jo. ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) jo. ayat
(5) UU 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang kini telah dirubah menjadi
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 banyak mengundang kontroversi dan kontradiksi.
Setidaknya ada 5(lima) fakta kasus yang menunjukkan bahwa pasal-pasal tersebut sangat
diskriminatif dan melanggar hak-hak konstitusional warga negara penganut aliran
kepercayaan9, adapun kelima hal tersebut sebagai berikut:

1. Problematika perkawinan antar pemeluk kepercayaan yang dilakukan secara adat


tidak memperoleh pengakuan dari negara yang mengakibatkan terhambatnya
penerbitan akta kelahiran bagi anak-anak mereka.
2. Sulitnya melamar pekerjaan oleh karena kolom agama di KTP elektronik kosong atau
bertanda strip (-).
3. Tertutupnya akses modal usaha dari lembaga keuangan seperti bank dan koperasi
dikarenakan adanya tanda strip (-) pada KTP elektronik.

8
Moh Bhayu Surya Andhika, “Perlindungan Hukum terhadap Hak Konstitusional Warga Negara Penganut
Kepercayaan,” SYARIATI 5, no. 02 (1 November 2019): hlm. 287, https://doi.org/10.32699/syariati.v5i02.1198.
9
Andhika, hlm. 285.
4. Akses Pendidikan yang layak, anak yang masuk sekolah dipaksa untuk harus
mengikuti mata pelajaran agama yang diakui oleh negara, padahal hal tersebut
bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan sebagai penghayat kepercayaan.
5. Penolakan pemakaman keluarga di tempat pemakaman umum hanya karena kolom
agama yang kosong atau bertanda strip (-).

Uraian kasus di atas merupakan rangkuman dari sederet kasus nyata yang terjadi di Indonesia,
Dalam pelayanan akta kelahiran misalnya, hal demikian telah menimpa umat Baha’i di Pati dan
Malang, atau warga komunitas Sedulur Sikep di Pati, serta penganut agama Marapu di Sumba
Barat NTT tetap mendapatkan pelayanan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
walaupun tidak memiliki akta perkawinan. Namun oleh karena perkawinan mereka tersebut
dinilai tidak sah oleh negara, dan karena itu anak-anak mereka tidak bisa dinasabkan kepada
ayahnya. Maka akta kelahiran dari pasangan Baha’i, Sedulur Sikep, dan penganut Marapu
hanya menunjukkan peristiwa kelahiran seorang anak yang terlahir dari seorang perempuan,
atau seorang ibu tanpa menyebutkan nama ayah dalam akta tersebut. Kendati demikian,
dalam Kartu Keluarga (KK) yang diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kabupaten Pati untuk keluarga-keluarga penganut agama Baha’i di Desa Cebolek Kidul ini
mencantumkan nama ayah dan nama ibu dari anak-anak mereka. Hanya saja, keterangan
agama dalam kolom agama di KK tersebut tidak dituliskan nama agama Baha’i melainkan
hanya berisi tanda strip (-). Hal tersebut sebagaimana kasus KTP, yakni identitas agama dalam
kolom agama hanya diberi tanda strip (-). 10

3. Peran Pemerintah Dalam Rangka Mewujudkan HAM & Merawat Keberagaman Masyarakat
Indonesia

Kondisi yang berhasil diciptakan dengan diputusnya amar putusan Nomor 97/PUU-
XIV/2016 dengan perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan terhadap UUD NRI 1945 oleh Mahkamah Konstitusi ini telah membuka
gerbang kebebasan nyata perihal pengakuan negara terhadap keberadaan aliran kepercayaan
yang semestinya diperlakukan setara dengan agama resmi negara, kendati yang dimuat dalam
amar putusan tersebut hanyalah penyetaraan dalam konteks pencatatan identitas keagamaan

10
Joko Tri Haryanto, Negara Melayani Agama Dan Kepercayaan: Konstruksi “Agama” Dan Pelayanan Negara
Terhadap Umat Beragama Dan Kepercayaan Di Indonesia, Cetakan Pertama (Jakarta: Litbangdiklat Press,
2018), Halaman 96.
dalam dokumen kependudukan. 11 Dalam hal ini, kewenangan hakim konstitusi selaku
penyelenggara pemerintahan di ranah yudikatif sangat krusil. Pertimbangan-pertimbangan dan
argumentasi hakim konstitusi yang dapat kita amati dalam putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016
sebagai berikut12 :

1. Bahwa keberadaan Pasal 61 ayat (1) juncto ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1)
juncto ayat (5) UU Administrasi Kependudukan yang memerintahkan agar
penganut kepercayaan atau bagi penganut agama yang belum diakui untuk
mengosongkan kolom agama di Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk
elektronik merupakan bentuk keengganan negara mengakui keberadaan para
penganut kepercayaan serta penganut agama lain yang bukan mayoritas di
Indonesia. Ketidakmauan negara untuk mengakui ini merupakan tindakan
diskriminasi secara langsung, yang dalam kasus ini setidaknya dialami oleh
para Pemohon.
2. Bahwa pasal Undang-Undang a quo telah melanggar kepastian hukum, hal ini
karena dalam rumusannya mengandung penafsiran yang berbeda-beda Pasal
Undang-Undang a quo disebutkan bahwa Kartu Keluarga memuat elemen
keterangan agama didalamnya, begitu juga dengan Kartu Tanda Penduduk
(elektronik) memeuat elemen penduduk, termasuk agama sipemegang KTP
elektronik. Namun khusus bagi penganut kepercayaan/penghayat atau bagi
penganut agama yang belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan
peraturan perundangundangan, kolom agama tersebut dikosongkan.
3. Bahwa pasal Undang-Undang a quo menunjukkan adanya pertentangan satu
sama lainnya, karena terdapat perbedaan dalam hal pengurusan KK dan KTP
elektronik antara penghayat kepercayaan dan pemohon dengan warga negara
lainnya, sebab bagi penghayat kepercayaan, kolom agama dikosongkan,
meskipun dalam Undang-Undang a quo disebutkan tetapi tetap dilayani dan
dicatat dalam database Kependudukan. Hal ini menunjukkan ketidakjelasan
dan melanggar hak-hak dasar yang dimiliki warga negara, sebagaimana

11
Jufri, “THE POTENTIAL OF RELIGION EQUALIZING WITH INDIGENOUS FAITHS IN INDONESIA,” halaman 30.
12
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 dengan perkara Pengujian
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan terhadap UUD NRI 1945,” mkri.id, 2016,
https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/97_PUU-XIV_2016.pdf.
dialami Pemohon. Padahal bagi warga negara pada umumnya, kolom agama
tidak dikosongkan.
4. Bahwa dengan demikian pasal Undang-Undang a quo bertentangan dengan
asas hukum perlakuan yang sama dihadapan hukum. Hal ini adalah karena
pasal-pasal a quo menunjukkan tidak ada kesetaraan/kesamaan dalam
hukum bagi setiap warga negara dan menunjukkan perlakuan yang berbeda
antara warga negara, yakni membedakan pengurusan KK dan KTP elektronik
antara penghayat kepercayaan dengan warga negara pada umumnya dengan
mengosongkan kolom agama bagi penghayat kepercayaan.

Pertimbangan hukum hakim konstitusi di atas juga dikuatkan dengan argumentasi yang menilai
posisi agama dan aliran kepercayaan merupakan dua hal yang setara. Hal demikian
dilandaskan pada akar definisi dari agama dan kepercayaan itu sendiri. 13 Definisi ini berasumsi
bahwa terdapat pengklasifikasian antara agama samawi (langit) dan agama wadh’i (bumi).
Masih dalam konteks pengertian ini juga, dijelaskan indikator-indikator yang menggolongkan
agama-agama yang termasuk agama langit dan agama-agama bumi. 14

Kesimpulan

Daftar Pustaka

Andhika, Moh Bhayu Surya. “Perlindungan Hukum terhadap Hak Konstitusional Warga Negara
Penganut Kepercayaan.” SYARIATI 5, no. 02 (1 November 2019): 283–92.
https://doi.org/10.32699/syariati.v5i02.1198.
Dewan Perwakilan Rakyat RI. “UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
1945,” t.t., hlm. 1.
Haryanto, Joko Tri. Negara melayani agama dan kepercayaan: konstruksi “agama” dan pelayanan
negara terhadap umat beragama dan kepercayaan di Indonesia . Cetakan pertama. Jakarta:
Litbangdiklat Press, 2018.
Jufri, Muwaffiq. “Perbandingan Pengaturan Hak Kebebasan Beragama antara Indonesia dengan
Majapahit.” Jurnal Konstitusi 14, no. 2 (2 November 2017): 396.
https://doi.org/10.31078/jk1428.

13
Jufri, “THE POTENTIAL OF RELIGION EQUALIZING WITH INDIGENOUS FAITHS IN INDONESIA,” halaman 33.
14
Muwaffiq Jufri, “Perbandingan Pengaturan Hak Kebebasan Beragama antara Indonesia dengan Majapahit,”
Jurnal Konstitusi 14, no. 2 (2 November 2017): halaman 401, https://doi.org/10.31078/jk1428.
———. “THE POTENTIAL OF RELIGION EQUALIZING WITH INDIGENOUS FAITHS IN INDONESIA”
13, no. 1 (April 2020): 16.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. “Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 dengan perkara
Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan terhadap UUD
NRI 1945.” mkri.id, 2016. https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/97_PUU-
XIV_2016.pdf.
Satriawan, M. Iwan. “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ALIRAN MENYIMPANG DI INDONESIA.”
FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum 9, no. 1 (19 April 2016).
https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v9no1.588.

Anda mungkin juga menyukai