BAB 1
PENDAHULUAN
(selanjutnya disingkat SAP) baik uang dikemas dalam bentuk modul maupun
powerpoint.
dalam diskusi;
BAB 2
BAHAN PEMBELAJARAN 1
A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu I bahwa
“mahasiswa dapat menjelaskan pengertian PIP (Pola Ilmiah Pokok),
penetapan ilmu-ilmu kelautan sebagai PIP, relevansi, visi dan misi PIP
Unhas”. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan
strategi pembelajaran berupa kuliah interaktif dan diskusi.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta
didik yaitu partisipasi dalam diskusi, kejelasan dalam mengemukakan
pendapat, dan ketepatan dalam menguraikan teori terkait ilmu-ilmu kelautan
sebagai PIP. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit dengan
media modul sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta didik.
B. Uraian
Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar dibawah kepemimpinan
Rektor Prof. DR. Achmad Amiruddin 1973 - 1983 melalui beberapa kali
lokakarya telah menetapkan Marine Sciences (Ilmu-Ilmu Kelautan) sebagai
Pola Ilmiah Pokok Universitas Hasanuddin berdasarkan argumentasi bahwa
negara Indonesia secara geografis adalah Negara-Kepulauan(Archipelagic
State) yang terdiri 74,3% laut dan 25,7 % daratan meliputi 18.108 pulau besar
dan kecil1. Perairan laut 74,3% seluas 5,8 juta km2, mencakup 0,3 % laut
teritorial, 2,8 juta km2 perairan Nusantara, dan 2,7 juta km2 zona ekonomi
eksklusif sangat kaya potensi sumber daya alam laut hayati dan nabati,
perlu dikaji, dianalisis, diteliti, di eksplorasi dan di eksploitasi untuk
kesejahteraan umat manusia umumnya dan kemakmuran bangsa Indonesia
khususnya. Inilah tantangan Unhas untuk memberikan jawaban konkrit melalui
teori ilmu dan teknologi kelautan dalam semua aspek disiplin ilmu yang
diajarkan di Unhas dan praktek melalui alumninya yang berbobot dan handal
1
Laode M. Syarif, Promotion and Management of Marine Fisheries in Indonesia, IUCN
Environmental Policy and Law Paper No. 74, IUCN Environmental Law Center, Germany, p. 32. See also
Vivian Louis Forbes, Optimalizing the Indonesian Diplomacy: Challenges and Future Direction, Experts
Group Meeting, Makassar, 30 October 2009. P. 1.
10
10
C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
materi pembelajaran pertama dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhir
perkuliahan yang dikemas dalam beberpa pertanyaaan, seperti:
1. Mengapa Marine Sciences (Ilmu-Ilmu Kelautan) ditetapkan sebagai Pola
Ilmiah Pokok Universitas Hasanuddin? Jelaskan ?
2
Idris Buyung. Buku Ajar Hukum Laut Internasional Indonesia, Diktat, (Fakultas Hukum
Unhas Makassar, 2007), hlm. 1. Lihat Juga Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional
(Pengantar), (Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007).
12
12
Daftar Bacaan
Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar),
Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007.
Idris Buyung. Buku Ajar Hukum Laut Internasional Indonesia, Diktat,
Fakultas Hukum Unhas Makassar, 2007.
Laode M. Syarif, Promotion and Management of Marine Fisheries in Indonesia,
IUCN Environmental Policy and Law Paper No. 74, IUCN
Environmental Law Center, Germany.
Vivian Louis Forbes, Optimalizing the Indonesian Diplomacy: Challenges
and Future Direction, Experts Group Meeting, Makassar, 30 October
2009.
13
13
BAB 3
BAHAN PEMBELAJARAN 2
A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu I bahwa
“mahasiswa dapat menjelaskan arti berbagai istilah seperti konsepsi
nusantara, wawasan nusantara, negara nusantara, benua maritim Indonesia
dan sejarah perkembangan hukum laut Indonesia.”. Sasaran pembelajaran
dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa
kuliah interaktif dan diskusi.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta
didik yaitu partisipasi dalam diskusi, kejelasan dalam mengemukakan
pendapat, dan kemampuan menjelaskan fakta mengenai beberapa istilah dan
sejarah perkembangan hukum laut di Indonesia. Pembelajaran ini akan
dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang
diberikan pada peserta didik.
B. Uraian:
Istilah Wawasan Nusantara dan Sejarah Perkembangan Hukum Laut di
Indonesia.
2. Laut Wilayah Indonesia ialah jalur laut selebar dua belas mil laut dari pulau-
pulau yang terluar atau bagian pulau-pulau yang terluar dengan
dihubungkan garis lurus antara satu dengan lainnya.
3. Apabila ada selat yang lebarnya tidak melebihi dua puluh empat mil laut,
dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi (artinya
ada negara tetangga), maka garis batas Laut Wilayah Indonesia ditarik
pada tengah selat.
4. Perairan Pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara) adalah semau
perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis besar.
5. Hak Lintas Damai kendaraan air (kapal) asing, diakui dan dijaman
sepanjang tidak mengganggu atau bertentangang dengan keamanan serta
keselamatan negara dan bangsa.
6. Tidak berlakunya lagi pasal 1 ayat (1) angka 1 sampai dengan 4
‘Territoriale Zee Maritieme Kringen Ordonantie” 1939.
Implikasi posistif klaim wawasan nusantara yang tercantum dalam UU
No. 4/ Prp 1960 adalah :
1. Wilayah Indonesia berdasarkan TZMKO 1939 luasnya hanya: 2.027.087
km2; setelah berlakunya UU No. 4/Prp. 1960 tersebut, luas wilayah
Indonesia menjadi: 5.193.250. km2 (daratan dan lautan); berarti luas
wilayah bertambah 3.166.163 km2 (Perairan) atau lebih kurang: 145%.
Meskipun pertambahan wilayah tersebut berwujud perairan, tetapi banyak
mengandung sumber daya alam.
2. Realisasi makna ketentuan yang tercantum didalam alinea IV pembukaan
UUD 1945, Juga Pasal 1 (1) UUD 1945 dapat dilaksana.
Dalam usaha mewujudkan konsep wawasan nusantara ini, pemerintah
RI telah dua kali meng-gol-kan klaim wawasan nusantara itu di forum
internasional, yaitu dalam konferensi hukum laut Internasional pada tahun
1958 dan tahun 1960; tetapi belum mendapatkan hasil sebagaimana
diharapkan. Dengan telah dijadikannya Deklarasi Djuanda 1957 kedalam
bentuk undang-undang, yang berarti mempunyai kekuatan hukum dan
mengikat. Dalam hal ini, ada dua macam jalur jalur yang ditempuh pemerintah
RI dalam memperjuangkan konsep wawasan nusantara. Kedua macam jalur
tersebut adalah:
17
17
3
S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam UUD 1945 Serta
Pembangunan Nasional, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1985), hlm 27-39.
4
Mustafa Abubakar, Menata Pulau-Pulau Kecil Perbatasan; Belajar dari Kasus Sipadan,
Ligitan, dan Sebatik, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), hlm.25-26
19
19
5
S. Toto Pandoyo, Op. Cit. hlm. 39
6
Pasal 46 UNCLOS 1982. Tim Penerjemah UNCLOS 1982, (Jakarta:tp, 1983), hlm. 41.
20
20
kepulauan, hak lintas alur-alur laut kepulauan, hak dan kewajiban kapal dan
pesawat udara asing dalam pelaksanan hak lintas alur-alur laut kepulauan.
Pengaturan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 dimulai dengan
penggunaan istilah negara kepulauan (archipelagic state). Pada pasal 46 butir
(a) disebutkan bahwa, “negara kepulauan adalah suatu negara yang
seluruhnya terdiri satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau
lain (pasal 46 butir (a). Maksud dari pasal 46 butir (a) tersebut adalah, secara
yuridis, pengertian negara kepulauan akan berbeda artinya dengan definisi
negara yang secara geografis wilayahnya berbentuk kepulauan. Hal ini
dikarenakan, dalam pasal 46 butir (b) disebutkan bahwa kepulauan adalah
suatu gugusan pulau-pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan
lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian erat
sehingga pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan
suatui kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki atau yang secara
historis dianggap sebagai demikian. Dengan kata lain, pasal 46 ini
membedakan pengertian yuridis antara negara kepulauan (archipelagic state)
dengan kepulauan (archipelago) itu sendiri.
Perbedaan ini menimbulkan konsekuensi bahwa penarikan garis
pangkal kepulauan (archipelagic baseline) tidak bisa dilakukan oleh semua
negara yang mengatasnamakan dirinya sebagai negara kepulauan. Hal ini
dikarenakan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bila ingin melakukan
penarikan garis pangkal lurus kepulauan. Yaitu, satu kesatuan geografis,
ekonomi, politik, dan historis.
Adapun persyaratan obyektif yang harus dipenuhi oleh negara
kepulauan dalam melakukan penarikan garis pangkal lurus kepulauan (pasal
47), yaitu:
1. Rasio (perbandingan) antara luas wilayah perairan dengan daratan, yaitu
suatu negara kepulauan minimal harus memiliki luas perairan yang sama
besar atau makasimal hanya sembilan kali dengan luas daratannya.
2. Panjang maksimum setiap segmen garis pangkal, yaitu panjang setiap
garis lurus yang menghubungkan dua titik pangkal ditetapkan diteteapkan
tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bila tiga persen dari jumlah
seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulaaun dapat melebihi
21
21
tambahan, ZEE dan landas kontinen bagi suatu negara kepulauan (pasal 48).
Dengan kata lain, pasal 48 mengukuhkan bahwa untuk suatu negara
kepulauan, garis-garis pangkal lurus kepulauan mempunyai fungsi yang sama
dengan garis-garis pangkal lain yang diakui oleh Konvensi Hukum Laut 1982,
seperti garis-garis pangkal biasa dan garis-garis pangkal lurus.
Dari beberapa aturan yang telah diuraikan di atas, jelas bahwa
Indonesia yang berstatus sebagai negara kepulauan akan diuntungkan, karena
dapat menggunakan kelebihan-kelebihan yang dimiliki cara penarikan garis-
garis pangkal kepulauan. Oleh karena itu, Indonesia menuangkan Konsepsi
Negara Kepulauan dalam amandemen ke 2 UUD 1945 Bab IXA tentang
wilayah negara. Pada pasal 25 E berbunyi ” Negara Kesatuan RI adalah
negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah-wilayah yang batas-
batasnya dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”. Selain itu,
dalam pasal 2 Undang-Undang No 6 tahun 1996 tentang Perairan indonesia,
pemerintah Indonesia secara tegas menyatakan bahwa negara RI adalah
negara kepulauan.
Sebagaimana yang disyaratkan oleh pasal 46 Konvensi Hukum Laut
PBB 1982, tidak semua negara yang wilayahya terdiri dari kumpulan pulau-
pulau dapat di anggap sebagai negara kepulauan. Dari peraturan peundang-
undangan nasional yang dikumpulkan oleh UN-DOALOS ada 19 negara yang
menetapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan negara
kepulauan, yaitu; Antigua dan Barbuda, Bahama, Komoro, Cape Verde, Fiji,
Filipina, Indonesia, Jamaika, Kiribati, Maldives, Kepulauan Marshall, PNG,
Kepulauan Solomon, Saint Vincent dan Grenadines, Sao Tome dan Principe,
Seychelles, Trinidad dan Tobago, Tuvalu, dan Vanuatu.
Selanjutnya dalam peraturan pelaksanannya, pemerintah RI
mengeluarkan PP No 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis titik-
titik garis pangkal kepulauan Indonesia yang telah diubah dengan PP No. 37
tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Geografis titik-titik garis pangkal
kepulauan Indonesia. Pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah
menarik garis pangkal kepulauan untuk menetapkan lebar laut teritorial.
Sedangkan penarikan garis pangkal kepulauan dilakukan dengan
menggunakan; garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa, garis
23
23
pangkal lurus, garis penutup teluk, garis penutup muara sungai, terusan dan
kuala, serta garis penutup pada pelabuhan.
Namun kepemilikan Indonesia terhadap pulau-pulau kecil, khususnya
pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, masih
menyisakan permasalahan. Kalahnya pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia
telah mamberikan pelajaran kepada Indonesia dimuka Internasional. Hal ini
mencerminkan bahwa pemerintah RI hanya sekedar memilki tanpa mempunyai
kemampuan untuk menguasai dan memberdayakannya. Berkaca dari
maraknya potensi konflik dipulau-pulau kecil terluar, pemerintah Indonesia
mengeluarkan Perpres No 78 Tahun 2005 tentang pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar. Perpres tersebut bertujuan untuk:
1. Menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara
dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan
2. Memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan yang
berkelanjutan
3. Memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar juga diharapkan dapat mengatasi
ancaman keamanan yang meliputi kejahatan transnasional penangkapan ikan
ilegal, penebangan kayu ilegal, perdagangan anak-anak dan perempuan
(trafficking), imigran gelap, penyelundupan manusia, penyelendupan senjata
dan bahan peledak, peredaran narkotika, pintu masuk terrorisme, serta potensi
konflik sosial dan politik. Hal ini penting agar kesaradaran untuk menjaga
pulau-pulau kecil diperbatasan tetap ada, dan pualu-pulau kecil diperbatasan
tidak dianggap sekedar halaman belakang.7
7
Mustafa Abubakar , Op.cit. hlm. 26-32
24
24
8
kukembangkan layarku kupilih tenggelam daripada surut langkah).
Masyarakat Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, Makassar dan Mandar
sejak dahulu dikenal sebagai pelaut ulung dan telah mampu melayari seluruh
pesisir Asia Tenggara, Australia, Madagaskar, Afrika Selatan bahkan sampai
ke Jeddah-Arab Saudi. Seiring dengan kentalnya warisan sejarah kebaharian
masyarakat Sulawesi Selatan, maka pemahaman akan hukum dan lingkungan
laut bagi mahasiswa Universitas Hasanuddin (selanjutnya disingkat Unhas)
menjadi sangat penting.9
Dalam konteks Indonesia dan khususnya Sulawesi Selatan konsep-
konsep kepemilikan laut dan pengaturan pelayaran juga telah berkembang
sejak abad ke 17 yang dapat dilihat pada hukum Pelayaran Amanna Gappa.
Dalam hukum Amanna Gappa lebih cenderung menganut konsep kebebasan
berlayar di laut. Lebih daripada itu hukum Amanna Gappa juga telah mengatur
hak dan kewajiban pemilik kapal dan anak buah kapal. Konsep-konsep
kepemilikan laut kemudian diadopsi oleh Hukum Laut Modern, yang dapat
dilihat pada sejumlah konvensi internasional yang akan dikemukakan
kemudian.
Terlepas dari tuanya sejarah kebahaarian masyarakat Sulawesi Selatan,
dalam dunia internasional kita mengenal beberapa konsep pengaturan laut,
yang berkembang sejak zaman romawi sampai berkembangnya hukum laut
modern, seperti dewasa ini. Pada zaman Romawi, laut dianggap sebagai “rest
communis omnium” (hak bersama seluruh umat manusia). Menurut konsep ini
penggunaan laut bebas atau terbuka bagi semua orang.
Pada Abad Pertengahan setelah keruntuhan Imperium Roma, negara-
negara yang muncul di sekitar laut Tengah mulai mengklaim hak kewilayahan
8
Baharuddin Lopa, Hukum Laut dan Perniagaan, (Bandung: P.T. Alumni, 1982). Naskah dalam bahasa
bugis tentang hukum laut perdata telah dibahas dalam berbagai pertemuan dan penulis antara lain Carron dalam
disertasinya yang berjudul “Het Handels en Zeerecht in Adatrechtsregelen van de Rechts kring Zuid Celebes”,
disertasi, (Belanda: Penerbit Van Dishoeck ,1973). Isi buku undang-undang Amanna gappa ini mengandung peraturan-
peraturan yang berlaku menurut hukum (adat) Bugis dibidang pengangkutan laut. Tulisan lain tentang buku undang-
undang amana gappa adalah Ph.D.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amana Gappa, (Makassar:
Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1961). Lihat juga Andi Zainal Abidin, Beberapa Catatan Tentang
Kitab Hukum Pelayaran dan Perniagaan Amana Gappa, (Jakarta: BPHN, 1977). Tentunya, penelitian mendalam perlu
dilakukan untuk mengetahui apakah di Indonesia dahulu kala, terutama dalam hukum (adat) Bugis yang dikenal sebagai
pelaut utama antara suku-suku bangsa di Indonesia, telah dikenal konsepsi-konsepsi hukum laut publik yang dapat
disamakan dengan Konsepsi atau lembaga-lembaga (atau pranata) hukum laut internasional publik yang telah diterima
secara umum.
9
Abdul Rasal Rauf, Mengurai Hukum Laut Amannagappa hingga Hukum Laut Modern, Jurnal
Hukum Internasional “Jurisdictionary”, Vol. VI No. 1 Juni 2010, hlm. 37-39.
25
25
atas laut di sekitar pantai. Venetia misalnya mulai mengklaim sebagian besar
dari laut Adriatik, Genoa melakukan hal yang sama atas laut Liguria, sedang
Pisa yang juga negara kecil pecahan Imperium Romawi mengklaim dan
melakukan tindakan-tindakan penguasaan atas laut Thyrenia. Pada masa itu,
para ahli terkemuka seperti Bartolus dan Baldus telah telah meletakkan dasar-
dasar pembagian wilayah laut, yakni bagian laut yang berada di bawah
kekuasaan kedaulatan negara pantai, dan wilayah laut yang berada di luar
kedaulatan pantai atau lebih dikenal dengan konsep laut teritorial dan laut
lepas. Selanjutnya Baldus membedakan tiga konsepsi yang bertalian dengan
wilayah laut yakni : (1) Pemilik laut, (2) Pemakaian laut dan (3) Yurisdiksi atas
laut dan wewenang untuk melakukan perlindungan terhadap kepentingan di
laut.10
Perkembangan pengaturan laut selanjutnya banyak ditentukan oleh
pertentangan pemikiran yang beranggapan bahwa laut sebagai sesuatu yang
tertutup (mare clausum) didukung oleh John Selden, dan pemikiran laut
sebagai sesuatu yang terbuka (mare liberum) yang didukung oleh sarjana
Belanda Hugo Gratius.11 Menurut pemikiran yang menganut mare clausum,
negara memiliki kedaulatan penuh di laut, sehingga tertutup bagi negara lain.
Sedangkan para pemikir mare liberum beranggapan bahwa harus ada
kebebasan berlayar di laut.12
Sekilas gambaran kontribusi sebagaimana dijelaskan di atas
menggambarkan betapa Sulawesi selatan telah berpartisipasi aktif dalam
sejarah perkembangan hukum laut di Indonesia.
C. Penutup
10
Baldus dalam Muchtar Kusumaatmadja, Hukum Laut International, (Bandung: Binacipta, 1987).
11
Buku-buku Grotius ini dalam terjemahan bahasa Inggris diterbitkan oleh International Laws dibawah
pimpinan redaksi James Brown Scott, Di Indonesia, buku-buku ini tersedia di Perpustakaan Lembaga Kebudayaan
Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang disebut sebagai Kementerian Pe ndidikan Nasional) yang
bertempat di Gedung Museum Jakarta. Dalam seri ini diterbitkannya karya-karya penulis klasik hukum internasional lain
sepertinya seperti Vittoria, Gentilis, Bynkershoek, Vattel, dll. Perpustakaan ini juga berfungsi sebagai perpustakaan
Rechtshogeschool (Perguruan Tinggi Hukum Zaman Hindia Belanda).
12
Hal inilah yang menyebabkan mengapa orang-orang Portugis seperti Vasco da Gama sampai di Timur Jauh
(Indonesia) melalui Tanjung Harapan (Afrika Selatan) dan India (kea arah Timur), sedangkan orang Spa nyol bernama
Magelhaens sampai di Filipina melalui Tanjung Magelhaens di Amerika Selatan (ke arah Barat). Pembagian dunia
kedalam dua lingkungan kekuasaan ini juga menerangkan mengapa sebagian dari Amerika Selatan jatuh di bawah
kekuasaan Spanyol dan sebagian dibawah kekuasaan Portugal yaitu yang kemudian menjadi Brazil yang hingga sekarang
berbahasa Portugis.
26
26
Daftar Bacaan
Abdul Rasal Rauf, Mengurai Hukum Laut Amannagappa hingga Hukum
Laut Modern, Jurnal Hukum Internasional “Jurisdictionary”, Vol. VI No. 1
Juni 2010, hlm. 37-39.
Andi Zainal Abidin, Beberapa Catatan Tentang Kitab Hukum
Pelayaran dan Perniagaan Amana Gappa, Jakarta: BPHN, 1977.
Baharuddin Lopa, Hukum Laut dan Perniagaan, Bandung: P.T.
Alumni, 1982.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut International, Bandung:
Binacipta, 1987.
Mustafa Abubakar, Menata Pulau-Pulau Kecil Perbatasan; Belajar
dari Kasus Sipadan, Ligitan, dan Sebatik, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2005.
Ph.D.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amana Gappa,
Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1961.
S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam
UUD 1945 Serta Pembangunan Nasional, Jakarta: PT Bina Aksara, 1985.
27
27
BAB 4
BAHAN PEMBELAJARAN 3
A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke 3 adalah
“Mahasiswa dapat menjelaskan implementasi asas Negara kepulauan dalam
berbagai peraturan perundangan Republik Indonesia”. Sasaran pembelajaran
dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa
discovery learning melalui small group work, kuliah interaktif dan diskusi kelas.
Adapun criteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik
dalam menyajikan fakta-fakta terkait soal implementasi atau penerapan prinsip
Negara kepulauan melalui partisipasi dalam diskusi, kerjasama tim dan
penguasaan individual pembelajaran ini dilaksanakan selama 100 menit dengan
media modul sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta didik.
B. Uraian
Meskipun secara teknis perundang-undangan hanya terjadi perubahan
terhadap pasal ayat 1 butir 1 hingga 4 dari teritoriale zee en maritieme (TZMKO)
1939 saja, perubahan system pengukuran serta kewilayahan yang termuat dalam
UU No. 4 / PRP / 1960 cukup bermasalah dilihat dari hukum dan kebiasaan
Internasional. Bukan saja hal itu telah meninggalkan peraturan hukum
internasional, yang berlaku dan telah berjalan berabad-abad lamanya tetapi juga
mengakibatkan perubahan kewilayahan yang substansial.
Disamping itu juga yang merupakan hal penting adalah permasalahan lalu
lintas kendaraan air asing, untuk itu dengan peraturan Pemerintah No. 8 tahun
1962, diatur tentang hak lalu lintas damai kendaraan air asing. Peraturan
Pemerintahan merupakan peraturan pelaksanaan dari UU no 4 tahun 1960.
Ketentuan nasional tentang lau lintas damai kapal-kapal asing penting artinya
sebagai bukti adanya kesungguhan dan itikad baik dari Negara pantai untuk
menjamin agar dapat terus berlangsungnya hak lalu lintas damai dalam wilyah
perairan Nusantara Undang-undang No.4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
28
28
Isi Pokok. a. l
a. Perairan Indonesia adalah laut wilayah Indonesia beserta perairan
pedalaman Indonesia (Pasal 1 ayat 1)
b. Laut wilayah Indonesia untuk wilayah laut selebar 12 mil yang garis
luarnya diukur tegak lurus atas garis-garis dasar atau titik pada garis
dasar yang terdiri dari garis-garis lurus untuk menghubungkan titik-titik
terluas pada garis rendah dari pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang
terluar dalam wilayah Indonesia dengan ketentuan jika ada selat yang
lebarnya tidak melebihi 24 mil mil laut + Negara Indonesia tidak
merupakan satu-satunya Negara tepi, maka garis batas laut wilayah
Indonesia ditarik pada tengah selat (Pasal 1 ayat 1).
c. Perairan pedalaman, Indonesia untuk semua perairan yang terletak pada
sisi dalam dari garis dasar laut wilayah (pasal 1 ayat 3)
d. lalu lintas laut damai dalam perairan pedalaman Indonesia terbuka bagi
kendaraan air asing (pasal 3 ayat 1).
e. dengan peraturan pemerintah dapat diatur lalulintas laut damani (pasal 3
ayat 2).
f. Mulai asal berlakunya undang-undang ini (18 Februari 1960) pertama
angka 1 angka 1 sampai 4 teritoriale zee am maritiesme ordonatiec 1939
dicabut (pasal 4 ayat 2).
Dari undang-undang No. 4 tahun 1960 ini jelas bahwa yang dimaksudkan
dengan peranan Indonesia di laut wilayah beserta perairan pedalaman di bagian
laut yang terletak pada di sebelah dalam garis-garis pangkal luas laut wilayah.
Daerah-daerah “berdekatan” yaitu daerah laut lepas sejauh 100 mil dari
perairan Indonesia. Jadi di daerah 100 mil dari laut wilayah, kapal-kapal pengawas
pantai Indonesia masih dapat melakukan pengawasan terhadap lalu lintas kapal-
kapal. Pasal-pasal ayat 2 : menentukan bahwa lalu lintas damai dianjurkan untuk
mengikuti alur-alur yang dicantumkan dalam buku-buku kepanduan bahari dalam
dunia pelayaran.
Menurut Pasal 3 PP No. 8 Tahun 1962, lalu lintas laut termaksud dianggap
damai selama tidak berlawanan dengan keamanan, keterbatasan umum, +
kepentingan dan/atau tidak mengganggu perdamaian negara Republik Indonesia.
Kalau lalu lintas kapal tersebut akan membahayakan Indonesia, lalu lintas tersebut
tidak dapat lagi dianggap damai. Dalam hal ini, pemerintah tidak dapat lagi
menjamin lautan tersebut/meminta kapal-kapal asing itu meninggalkan laut
wilayahnya dengan Negara yang sekarang diakui oleh Pasal 30 KHL 1982. Suatu
ketentuan yang juga sudah diterima oleh pihak Indonesia. Pantai dapat menutup
untuk sementara bagian-bagian perairannya bagi kapal-kapal asing bila dianggap
pula untuk menjaga keamanan dan pertahanan Nnegara.
Demikian pula halnya dengan Indonesia, dapat ditemukan dalam beberapa
pasal PP No. 8 tahun 1962, yaitu:
Pasal 4 PP No. 8 tahun 1962 menyebutkan bahwa Presiden Indonesia memiliki
kewewenangan untuk menutup bagian-bagian tentang perairan Indonesia
bila dianggap perlu.
Pasal 5 ayat (1) Kapal-kapal ikan asing yang lalu di perairan Indonesia harus
menyimpan alat-alat penangkap ikannya dalam keadaan terbungkus. (oleh
sumber daya ikan dan hak eksklusif rakyat Indonesia).
Ayat (2) : kapal-kapal ikan asing tersebut harus melalui jalanan yang telah
ditetapkan.
Pasal 6 : Presiden dapat member izin pada kapal-kapal penelitian ilmiah di
perairan Indonesia. Sepanjang tidak merugikan Indonesia.
Pasal 7: Kapal perang dan kapal publik asing harus memberitahukan menteri
terkait atau KSAL kecuali bila diatur 7 tahun ditetapkan. (SK Presiden No.
16 tahun 1971).
Bagi kapal-kapal niaga atau swasta asing yang melakukan lintas damai,
tidak ada persoalan. Kapal-kapal bebas tidak perlu diberi tahu dahulu. Tapi kapal-
30
30
kapal asing mengadakan kegiatan yang tidak bersifat lintas damai diperlukan izin
pelayaran sesuai SK Presiden No. 16 tahun 1971 tentang wewenang pemberian
izin berlayar bagi segala kegiatan kendaraan air asing dalam wilayah perairan
Indonesia.
Kesatuan wilayah Republik Indonesia itu selanjutnya makin di tegakkan lagi
kebulatannya dan keutuhannya secara menyeluruh dengan dikeluarkannya
pengumumam pemerintah Republik Indonesia tentang landas kontinen pada
tanggal 17 Februari 1969, yang kemudian diundangkan dalam bentuk UU No. 1
tahun 1973 sehingga pengaturannya telah mencakup dasar laut beserta tanah
dibawahnya (seabed dan subsoil).
2) The rights referred into paragraph 1 of this article are exclusive in the
sense that if the coastal state does not explore the continental shelf
or exploits natural resources, no one may undertake these activities,
or make a claim to the continental shelf without the express consent
of the coastal state.
yang banyak terdapat diperairan sejauh 200 mil, termasuk dasar laut dan tanah di
abwahnya. Argentina menagjukan teori “Epi Continental Sea”, kemudian Ekuador,
Chili dan Peru mengemukakan teori “Bloma”, yang selanjutnya diikuti oleh negara-
negara Amerika Latin lainnya, yakni Meksiko (1946), Honduras (1950), Costa Rica
(1950), El Salvador (1950).
Sebagai tindak lanjut dari tuntutan negara-negara Amerika Latin maka pada
tahun 1952 lahirlah suatu deklarasi baru yakni “Deklarasi Santiago” yang
ditandatangani oleh Negara-Negara : Chili, Ekuador dan Peru: sebagai motivasi
utama tuntutan ketiga Negara peserta deklarasi Santiago ini adalah pelaksanaan
jurisdiksi ekslusif terhadap sumber-sumber kekayaan alam (daya hayati maupun
non hayati) yang terdapat diperairannya yang sejauh 200 mil laut. Sumber-sumber
mana sangat bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan di negara-negara
peserta deklarasi tersebut.
Selanjutnya Winston C.E. menjelaskan bahwa dalam lingkaran sejauh 200
mil itu hak-hak lintas damai (innocent passage) tidak terganggu (inoffensive) dan
tetap diakui sebagaimana mestinya. Sehubungan dengan klaim beberapa negara
mengenai ZEE 200 mil laut ini, PBB telah menyelenggarakan Konferensi Hukum
Laut (UNCLOS) 1 tahun 1958 UNCLOS II tahun 1960 di Jenewa, terutama
bertujuan untuk menetapkan lebar laut wilayah, namun usaha PBB tersebut
ternyata gagal. Kegagalan ini mengakibatkan meluasnya praktek Negara-negara
dalam mengklaim kedaulatan mereka di laut yang berbatasan dengan pantainya.
Termasuk klaim yurisdiksi 200 mil. Klaim-klaim ini berkembang (meluas) sekitar
tahun 1960-1970, terutama yang mengklaim jurisdiksi 200 mil dan tidak terbatas
hanay pada Nnegara-negara Amerika Latin saja, melainkan juga meluas sampai
pada negara-negara asia Afrika.
Menurut Winston C.E., walaupun Negara-negara seperti Benin, Brazilia,
Ekuador, Guinea, panama, Peru, Siera Leone dan Somalia tetap mengklaim
jurisdiksi 200 mil laut sebagai laut wilayah, negara-negara seperti: Argentina,
Bangladesh, Chili, Costa Rica, El Salvador, Guatemala, Honduras, India, Iceland,
Meksiko, Nicaragua, Uruguay dan Amerika serikat mengajukan klaim mereka yang
sejalan dan selaras dengan tuntunan yang telah diajukan oleh Negara-negara
peserta deklarasi Santiago tahun 1952 (Chili, Ekuador, Peru). Perlu dijelaskan
dalam studi ini bahwa dalam perkembangannya, delegasi Kenya secara resmi
38
38
telah mengajukan usul draft article yang mengatur tentang ZEE dalam
persidangan Seabed Committee 18 Agustus 1972, yang selanjutnya dimasukkan
dalam List of Subjects and Issues dan dibahas dalam UNCLOS III 1974.
Ternyata diantara negara-negara yang mengklaim yurisdiksi laut 200 mil
tersebut mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda tentang apa yang telah
dideklarasikan sebelumnya. Hal ini terbukti dengan terjadinya perdebatan sengit
diantara negara-negara peserta UNCLOS III, masing-masing negara dengan gigih
mempertahankan kepentingannya yang menjadi latar belakang klaimnya itu.
Perdebatan dimaksud merupakan bagian laut bebas, ataukah memiliki rezim
hukum spesifik.
Dalam hal ini negara-negara maritim yang kuat, seperti Amerika Serikat,
Uni Soviet, Inggris, Jepang dan Jerman Barat bersitegang dengan pendapatnya
bahwa ZEE 200 mil harus merupakan laut bebas dengan ketentuan bahwa :
a. Negara-negara pantai diberi wewenang tertentu kekayaan alamnya.
b. Kebebasan lautan, termasuk kebebasan menggunakannya untuk kepentingan
militer, tetap terjamin bagi semua bangsa.
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut yang baru,
Indonesia sebagai salah satu Negara pantai berkewajiban untuk memberikan
akses kepada Negara ketiga atas sebagian dari surplus perikanan yang ada di
ZEE Indonesia. Surplus yang demikian aka nada jika tiba musim panen
(harvesting capacity). Indonesia berada dibawah “Total Allowable Catch” (TAC)
atau suatu jumlah yang diperkenankan untuk ditangkap.
Tidak dapat kita ingkari bahwa lazimnya kesulitan untuk menentukan TAC
dan harvesting capacity akan timbul. Hal ini adalah logis, karena Indonesia
sebagai negara pantai yang tergolong dalam negara yang sedang berkembang,
dengan masih mempergunakan alat-alat yang tradisional dalam rangka mengelola
penangkapan dalam hasil perikanan laut yang hamper mencapai 75% terdiri dari
laut Indonesia dapat diperkirakan akan mempunyai surplus yang harus diberikan
kepada negara ketiga tertentu. Sesuai dengan ketentuan Kovensi Hukum laut
yang baru, bahwa berdasarkan prioritas, negara ketiga yang dapat menerima
akses yang dimaksud. Hal ini sudah digariskan dalam konvensi yakni negara-
negara yang tak berpantai (landlocked States), negara-negara yanag secara
geografis kurang beruntung (geographically disvantages States). Dalam hal ini
negara Singapura dan Zambia. Kemudian Negara-negara ketiga lainnya termasuk
kedalam distant fishing countries yaitu Korea dan Jepang.
Sesuai dengan ketentuan Konvensi Hukum laut yang baru akses dimaksud
harus diberikan berdasarkan persetujuan, baik bilateral maupun regional, yang
memuat syarat-syarat tentang akses-akses tersebut. Oleh karena itu, Pemerintah
Republk Indonesia juga perlu segera merumuskan model persetujuan induk yang
mengatur secara umum masalah akses tersebut. Sebagaimana yang dianjurkan
(sarankan) oleh Dimyati Hartono bahwa :
“persetujuan yang dimaksud dapat menyangkut masalah tindakan maslah
perlindungan yang berupa pembatasan terhadap jenis, jumlah ikan yang
boleh ditangkap oleh masing-masing Negara, atau mengenai waktu dan
cara-cara penangkapan ikan yang semuanya didasarkan pada rujukan
untuk menjamin kelestarian sumber daya hayati di wialyah perairan
tersebut”.
suatu peraturan secara regional. Adanya usaha serupa ini sudah tentu dapat
mengisi gagasan-gagasan ekonomi ASEAN yang saat ini sedang digalakkan,
khususnya tentang masalh menjamin kelestarian sumber-sumber daya alam laut.
Tindkan serupa perlu diadakan untuk wilayah perairan Indonesia di sekitar laut
Sulawesi yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Filipina.
Sifat khusus sebagai Negara Kepulauan yang berimpit batas dengan
negara tetangga tidak boleh diabaikan. Adanya penangkapan-penangkapan ikan
secara tradisional oleh rakyat kedua negara sehingga perlu pula pendekatan
serupa terhadap Negara tetangga kita Papua Nugini mengenai kegiatan perikanan
di Pantai utara dan selatan Irian Jaya. Berdasarkan persetujuan-persetujuan
demikian dapatlah dibuat persetujuan-persetujuan pelaksanaan yang akan
mengatur secara terperinci syarat-syarat akses, seperti: mengenai quota, license,
fee serta masalah berlakunya perizinan bagi daerah yang ditentukan, mengenai
hukuman, pengawasan dan sebagainya. Tentunya, persetujuan bilateral tersebut
harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan tentang
perairan di ZEE Indonesia khususnya, tidak bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan yang termuat dengan konvensi Hukum Laut yang baru, serta aturan
kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
bangsa-bangsa yang beradab.
Selanjutnya dibawah ini akan dikemukakan kebijakan Pemerintah Republik
Indonesia dalam penetapan batas-batas laut wilayah serta batas ZEE 200 mil laut
dengan beberapa negara tetangga baik yang sudah dilakukan, antara lain adalah
dengan Papua Nugini, Australia, Vietnam, Filipina dan Malaysia dengan
memanfaatkan beberapa pendapat yang ada hubungannya dengan persoalan
penetapan batas-batas dimaksud.
1. Indonesia - Malaysia
Sebagaimana sudah kita ketahui bahwa sudah terdapat beberapa perjanjian
antara Indonesia dan Malaysia, baik mengenai laut wilayah maupun landas
kontinen telah diadakan, yang antara lain adalah sebagai berikut:
a. Perjanjian mengenai Lands Kontinen di Selat Malaka dan laut Cina Selatan,
27 Oktober 1969;
b. Perjanjian tentang Common Point di Selat Mlaka, 21 Desember 1971;
43
43
2. Indonesia - Filipina
Filipina pada bulan Mei 1979, tealh mengumkan ZEE 200 milnya. Sistem
yang dianut Filipina dalam penetapan batas landas kontinennya adalah sistem
yang sama dengan yang dianut oleh Indonesia yakni “middle line atau
equidistant”, baik di Indonesia maupun Filipina keduanya adalah negara
kepulauan. Dengan terjadinya penetapan batas ZEE 200 mil laut oleh masing-
45
45
3. Indonesia - Vietnam
Penetapan garis batas landas kontinen dengan pihak vietnam ternyata
mengalami kesulitan pula, dikarenakan adanya perbedaan pendapat mengenai
system penarikan garis batas tersebut, perbedaan yang dimaksud adalah
terdapatnya perbedaan prinsip sebagai berikut :
a. Pihak Indonesia: bagi penetapan batas landas kontinen ini, Indonesia
sangat berkeberatan dan menolak prinsip penarikan garis batas yang
dipergunakan oleh pihak Vietnam yakni prinsip “trench” Indonesia
menginginkan sistem penarikan sistem penarikan garis tengah (middle
line) sebagai batas landas kontinennya.
b. Pihak Vietnam: bagi penetapan batas landas kontinennya menghendaki
agar prinsip “thalweg” dipergunakan sebagaimana mestinya, prinsip lazim
dipergunakan untuk menentukan garis batas negara yang berbatasan
dengan sungai di mana alur-alur terdalamnya sangat diperhatikan. Sejalan
dengan prinsip tersebut, pihak Hanoi menuntut agar suatu trench (palung
laut) yang membentang sejak Pulau Anambas sampai Pulau Natuna
merupakan batas landas kontinennya.
Masalah penetapan batas ZEE 200 mil laut antara Indonesia dengan Papua
Nugini sesungguhnya tidak banyak menimbulkan masalah. Hal ini dikarenakan
bahwa perjanjian-perjanjian antara Indonesia Australia sebelum wialyah itu
merdeka masih tetap diakui dan berlaku. Sesuai dengan kebiasaan dan
ketentuan Hukum Internasional yang berlaku, perlu diadakan pembaharuan
perjanjian batas antara kedua negara. Kedua negara sudah membicarakan lagi
(dalam hal ini sebelumnya yakni pada bulan Mei 1978 telah dikeluarkan
pernyataan bersama (joint declaration) kedua negara. Pernyataan tersebut
menegaskan bahwa perjanjian-perjanjian terdahulu tetap mempunyai daya laku
dan akan diadakan persetujuan final mengenai penetapan batas kedua negara.
Juga dalam pernyataan bersama tersebut disebutkan bahwa tindakan-tindakan
yang diambil oleh pihak Papua Nugini untuk menetapkan zona perikanan 200 mil
serta kebijaksanaannya dalam pengelolaan sumber-sumber daya hayati zona
tersebut diakui.
47
47
5. Indonesia - Australia
Hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban Indonesia di ZEE 200
mil
Hak berdaulat (sovereign rights) dan yurisdiksi (jurisdiction) dan kewajiban-
kewajiban (duties) Indonesia atas laut selebar 200 mil dari garis dasar di sekeliling
kepulauan Indonesia berlaku berdasarkan Pengumuman Pemerintah tanggal 21
Maret 1980, yang kemudian dituangkan ke dalam Undang-undang Nomor 5 tahun
1983 tentang ZEE Indonesia. Telah diketahui bahwa ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam undang-undang tersebut adalah sebagian besar merupakan
ketentuan yang telah disesuaikan (accommodation) dengan Konvensi Hukum Laut
yang baru (1982) khususnya mengenai ZEE 200 mil tersebut. Di zona Ekonomi
Eksklusif tersebut, Indonesia merupakan salah satu negara pantai mempunyai dan
melaksanakan:
a. hak berdaulat untuk melakukan ekplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan
konservasi sumber daya alam hayati dan nonhayati dari dasar laut dan tanah
di bawahnya serta air diatasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk
ekplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkit tenaga
air, arus dan angin
b. Yurisdiksi yang berhubungan dengan :
1. Pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan
bangunan-bangunan lainnya (the estabilishment and use of artificial
island, installations and structures).
2. Penelitian ilmiah mengenai kelautan (marine scientifific research).
3. perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (the protection and
preservation of the marine environment).
50
50
c. pengaturan musim dan daerah penagkpan, serta jumlah ukuran dan tipe
kapal ikan (regulating seasons and ares of fishing, the types, sizes and
amount of gear, and the types, sizes and number of fishing vessels that
may be used);
d. Penentuan umur dan ukuran ikan serta jenis lain yang boleh ditangkap
(fixing the age and size of fish and other species that may be caught);
e. Keharusan memberikan informasi mengenai hasil dan kegiatan
penangkapan serta laporan posisi kapal (specifying information required
of fishing vessels, including catch and effort statistics and vessel
posisition reports);
f. Pelaksaan program penelitian perikanan tertentu dan pelaporan hasilnya
(the conduct of specified fisheries research programmes and regulating
the conduct of the such research and reporting associated);
g. Penempatan pengawasan atau pelajar praktek dikapal (the pacing of
observesof traines on board);
h. Pendaratan sebagian atau seluruh hasil tangkapan di pelabuhan
Indonesia sebagai negara pantai (the landing of all of any part of the
catch by such vessels in the ports of the coastal State);
i. Syarat-syarat “joint venture” atau bentuk kerja sama yang lain, (terms
and conditions relations relating to joint ventures or other cooperative
arrangements);
j. Keharusan melatih personal dan alih teknologi, termasuk meningkatkan
kemampuan Indonesia (negara pantai) untuk melakukan penilitian
perikanan (requirements for the training of personnel and the transfer of
fisheries technology, including enchancement of the coastal state’s
capability of undertaking fisheries research);
k. Peraturan-peraturan penegakan hukum di laut (enforcement
procedures).
Terhadap semua ketentuan dan/atau peraturan tersebut di atas harus
diumumkan terlebih dahulu. Dengan perkataan lain Negara-negara pantai harus
memperhatikan tentang pelestarian dan peraturan-peraturan tersebut di atas
hendaknya diummukan secara layak terlebih dahulu (coastal States shall give due
notice of conservation and management laws and regulations).
54
54
hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh mereka yang melakukan
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di zone tersebut, antara lain kewajiban untuk
membayar pungutan kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan
diatas, eksplorasi dan / atau eksploitasi sumber daya alam hayati harus menaati
ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia (pasal 5 ayat 2) dalam arti yang diatas diamksudkan adalah
sumber daya alam hayati pada dasarnya memiliki daya pulih kembali (to maintain
resources) namun tidak berarti tak berbatas. Dengan adanya sifat-sifat yang
demikian, dalam melaksanakan pengelolaan dan konvensi sumber daya alam
hayati, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan tingkat pemanfaatan baik
disebagian atau keseluruhan daerah di ZEE Indonesia.
Asal tidak bertentangan maupun mengurangi ketentuan sebagaimana yang
diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU. No. 5/1983 ekplorasi dan eksploitasi suatu
sumber daya alam hayati di daerah tertentu di ZEE Indonesia oleh orang atau
badan hukum atau pemerintah, negara asing dapat diizinkan jika jumlah
tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis
tersebut melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya. Dari uraian di
atas dapatlah ditegaskan bahwa dalam rangka konservasi sumber daya alam
hayati, Indonesia berkewajiban untuk menjamin batas panen lestari tersebut,
Indonesia berkewajiban pula untuk menjamin batas panen lestari tersebut,
Indonesia berkewajiban pula menetapkan jumlah tangkapan sumber daya alam
hayati yang diizinkan (allowable catch).
Dalam hal usaha perikanan, Indonesia belum dapat sepenuhnya
memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Selisih antara
jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan jumlah kemampuan tangkap (capacity
to harvest) Indonesia, boleh dimanfaatkan oleh negara lain dengan izin
Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional. Misalnya
jumlah tangkapan yang diperbolehkan antara 1000 (seribu) ton sedangkan jumlah
kemampuan tangkap Indonesia baru mencapai 600 (enam ratus) ton, maka
negara lain boleh ikut memanfaatkan dari sisa 400 (empat ratus) ton tersebut
dengan izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan
Internasional. Penunjukan pada pasal 4 ayat (2) dimaksudkan untuk menegaskan
56
56
bahwa jenis-jenis sedenter (sedentary species) yang terdapat pada dasar laut ZEE
tunduk pada ketentuan ayat ini.
Selanjutnya ditetapkan pula bahwa bagi siapa saja yang membuat dan/
atau instalasi-instalasi atau bangunan-bangunan lainnya di ZEE Indonesia harus
berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia dan dilaksanakan menurut
syarat-syarat perizinan tersebut (pasal 6). Dari ketentuan tersebut di atas,
dapatlah dijelaskan bahwa sesuai dengan pasal 4 ayat (1), Republik Indonesia
mempunyai hak eksklusif untuk membangun, mengizinkan dan mengatur
pembangunan, pengoperasian dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-
instalasi dan bangunan-bangunan tersebut termasuk yurisdiksi yang berkaitan
dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal,
kesehatan, keselamatan dan imigrasi.
Meskipun Indonesia mempuntai yurisdiksi eksklusif namun pulau-pulau
buatan, instalasi dan bangunan-bangunan tersebut tidak memiliki laut territorial
sendiri dan kehadirannya tidaklah mempengaruhi batas laut teritoria, ZEE
Indonesia atau landas kontinen Indonesia. Selanjutnya ditetapkan pula bagi siapa
saja yang melakukan kegiatan penelitian ilmiah (marine scientific research)
kelautan ZEE Indonesia harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari dan
dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan oelh Pemeritah Republik
Indonesia.
Dari ketentuan pasal tersebut dapatlah ditegaskan bahwa setiap penelitian
ilmiah kelautan di ZEE Indonesia hanya dapat dilaksanakan setelah permohonan
untuk penilitian disetujui terlebih dahulu oleh Pemerintah Republik Indonesia. Jika
dalam janga waktu 4 (empat) bulan setelah diterimanya permohonan tersebut
pemerintah Republik Indonesia tidak menyatakan :
a. Menolak permohonan tersebut;
b. Bahwa keterangan-keterangan yang diberikan oleh Pemohon tidak sesuai
dengan kenyataan atau kurang lengkap;
c. Bahwa permohonan belum memenuhi kewajiban atas proyek penelitiannya
yang terdahulu.
Suatu proyek penelitian ilmiah kelautan dapat dilakukan 6 (enam) bulan
sejak diterimanya permohonan penelitian oleh Pemerintah Republik Indonesia
(penjelasan pasal 7). Kemudian ditetapkan pula bahwa bagi siapa saja yang
57
57
ketentuan Hukum Internasional agar segala segala aturan yang berlaku, baik
aturan hukum nasional negara itu sendiri maupun aturan Hukum internasional,
dapat diindahkan oleh setiap orang dan/atau badan-badan hukum, bahkan
negara-negara lain, dalam rangka memenuhi kepentingannya namun tidak sampai
mengganggu kepentinagn pihak lain.
Kalau kita hubungkan masalah penegakan hukum ini ketentuan-ketentuan
penegakan hukum ZEE berdasarkan pada Konvensi Hukum Laut yang baru, maka
secara garis besarnya dapat diperincikan sebagai berikut :
a. The coastal State may, in the exerciase if its sovereign rights to explore,
exploit, conserve and manage the living resources in the ZEE, take such
resources, including boarding, inspection, arrest and judicial proceedings,
as may necessary to ensure compliance with the laws and regulations
adopted by it in conformity with this convention. Maksudnya, dalam
melaksanakan hak kedaulatannya untuk mengekplorasi, melestarikan dan
mengelola sumber daya alam hayati di ZEE, negara pantai dapat
mengambil tindakan-tindakan seperti menaiki kapal, menginspeksi,
menahan dan melakukan, penuntutan hukum sesuai kebutuhan untuk
menegakkan hukum negaranya dengan mempertimbangkan ketentuan-
ketentuan daripada konvensi (ayat 1) .
b. Arrested vessels and their crews shall be promotly released upon the
posting of reasonable bond or ather security. Artinya kapal dan anak-
anak-anak buah kapal yang ditahan harus dilepaskan setelah tanggungan
dibayarkan atau jamian keamanan lainnya (ayat 2).
c. Coastal state pinalties for violations of fisheries laws and regulations in
the ZEE may not include imprisonment, inte absence of agreements to the
contarary by the states concerned, or any other form of cuporal
punishment. Artinya adalah kurang lebih adalah tindakan / hukuman yang
boleh dijatuhkan terhadap nelayan asing di ZEE oleh Negara pantai tidak
termasuk hukum penjara (ayat 3).
d. In cases of arrest or detention of foreign vessel the coastal State shall
promptly notify the flag state, throght appropriate channels, of the any
penalties subsequently imposed. Maksudnya bilamana sampai melakukan
60
60
menyeret suatu kapal dari jarak yang terjauh dari ZEE Indonesia sampai ke suatu
pelabuhan atau pangkalan. Ketentuan mengenai penahanan terhadap tindak
pidana menurut UU ini belum belum diatur dalam UU No. 8 tahun 1981,
sedangkan terhadap tindak pidana tersebut penahanan adalah merupakan satu
upaya untuk dapat memproses perkara lebih lanjut.
Berhubung dengan hal tersebut, sekalipun ancaman pidana yang dapat
dijatuhkan adalah pidana denda tersebut perlu dimasukkan dalam golongan
tindak pidana sebagaiman dimaksud pasal 21 ayat (4) huruf b, UU No. 8 tahun
1981 tentang KUHAP. Selanjutnya ditetapkan pula bahwa aparatur penegak
hukum dibidang penyidikan di ZEE Indonesia adalah perwira Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima Bersenjata Republik
Indonesia (pasal 14 ayat (1)). Dalam ayat (2) ditetapkan bahwa penuntut umum
adalah jaksa pada pengadilan Negeri sebagaimanadimaksud dalam ayat (3).
Pengadilan yang berwenang mengadili perlanggaran terhadap ketentuan UU ini
adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi pelabuhan dimana
dilakukan penahanan terhadap kapal dan atau orang-orang sebagimana yang
dimaksud dalam pasal 13 huruf a. Dari ketentuan tersebut maka dapat dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan laut
yang dapat ditunjuk sebagai penyelidik adalah misalnya komandan kapal,
Panglima daerah Angkatan Laut, Komandan Pangkalan dan Komandan Stasiun
Angkatan Laut sebagai aparat penyidik di ZEE Indonesia adalah sesuai dengan
ketentuan pasal 30 ayat (2) UU No. 20 Tahun 1982 tentang ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia dan pasal 17 Peraturan
Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 8
tahun 1981 tentang KUHAP.
Kemudian ditetapkan pula bahwa permohonan untuk membebaskan kapal
dan atau orang-orang yang ditangkap akarena didakwa melakukan perlanggaran
terhadap UU ini, dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusan dari
Pengadialn Negeri yang berwenang. dari ketentuan di atas, dapat dijelaskan
bahwa permohonan membebaskan kapal/orang yang ditangkap karena
melakukan perlanggaran sesuai dengan praktek yang berlaku diajukan oleh
perwakilan negara dari kapal asing yang bersangkutan. Kemudian penetapan
besarnya uang jaminan ditentukan berdasarkan harga kapal, alat-alat
62
62
mendapat bagian yang tergolong besar, antara lain adalah Amerika Serikat,
Australia, dan Indoensia.
Perlu ditegaskan dalam kesimpulan ini bahwa yang dimaksud dengan ZEE
Indonesia adalah jalur diluar laut wilayah Indonesia, sebagiman ditetapkan
berdasarkan UU No. 4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia yang lebarnya 200
mil laut diukur dari garis pangkal laut wialyah Indonesia (pasal 2 UU No.5/1983).
Perlu pula diperhatikan bahwa pelaksanaan ZEE Indonesia ini selalu
mengandung dua aspek penanganan yaitu aspek dalam negeri dan aspek luar
negeri. Aspek dalam negeri tentunya yang menyangkut kebijakan-kebijakan
nasional tentang perikanan, perlindungan dan pelestarian laut serta penelitian
ilmiah tentang kelautan, yang ditentukan oleh instansi-instansi yang yang
bersangkutan. Sedangkan aspek luar negeri antara lain adalah yang menyangkut
pelaksanaan dalam kaitannya dengan hukum Internasional, yang selalu terdapat
dalam perumusan peraturan perundangan-undangan tentang aspek perikanan,
lingkungan laut dan penelitian ilmiah, juga perumusan persetujuan-persetujuan
bilateral tentang kerjasama di keempat bidang tersebut.
Meskipun klaim-klaim tersebut dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan
tertentu, misalnya pengambilan kekayaan alam, pencegahan polusi laut,
penelitian ilmiah kelautan dan lain sebagainya. Namun hal itu, dimaksudkan untuk
menguatkan kedudukan negara pantai di wilayah dan perairan Nusantaranya
ditambah 12 mil laut untuk zona pengawasan terhadap imigrasi, pabean,
kesehatan (zona tambahan) dan mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam
di ZEE selebar 200 mil laut yang diukur garis pangkal laut wilayahnya.
Sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi hukum laut PBB III 1982,
disamping mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di ZEE, Indonesia juga
harus mengakui hak-hak negara lain yang ada di ZEE tersebut, antara lain
kebebasan berlayar dan terbang diatasnya, hak-hak tertentu negra-negara yang
tidak berpantai (landlocked-States) dan negara-negara secara geografis kurang
beruntung (geographically disadvantaged States). Kebebasan menangkap ikan
sebagai salah satu kebebasan yang ada di laut lepas, memang pada prinsipnya
tetap berlaku, namun kebebasan ini sesuai dengan perkembangan yang ada
dewasa ini, telah mempunyai beberapa pembatasan, baik dilihat dari segi
perkembangan teknologi modern tentang peggunaan laut maupun tuntutan
64
64
negara-negara pantai terhadap suatu jalur laut yang cukup luas yang berbatasan
dengan pantainya untuk kepentingan ekonomis.
Untuk melindungi sumber-sumber daya alam hayati yang berada di luar laut
territorial, agar pemenuhan kebutuhan protein hewani untuk bahan makanan
rakyat Indonesia akan lebih terjamin. Karena melihat kemungkinan akan
terjadinya kian yang ditangkap itu berlebihan, sehingga pada suatu saat akan
mengakibatkan kurangnya persediaan sumber protein hewani bagi kehidupan
manusia di masa mendatang. Sehingga perlu diadakan pembatasan dalam
bentuk perjanjian, baik perjanjian bilateral maupun multilateral.
Alasan kedua adalah sebagai konsekuensi logis dari alasan pertama,
sehingga negara pantai mendapat jaminan bahwa sumber protein yang
cadangkan bagi bangsa dan generasi berikutnya akan tetap terpelihara, dan
kepastian yang kini diperoleh dengan batas-batas yang jelas didalam mana
negara yang bersangkutan mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi
sumber-sumber day alam hayati yang beraneka ragam didalamnya. Kini semua
hal yang disebut di atas sebagian besar sudah mampu dilakukan, dan tidaklah
berlebihan jika dikatakan bahwa ZEE Indonesia adalah benar-benar merupakan
“jaminan masa depan bangsa’. Dalam kaitan inilah maka apa yang telah
dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam pengumuman pada tanggal
21 Maret 1980 tentang ZEE Indonesia seluas 200 mil laut yang diukur dari garis
pangkal laut wilayah kemudian dituangkan dalam Undang-undang No. 5 tahun
1983 adalah merupakan suatu tindakan yang sangat tepat.
Kemudian dalam hal penegakan hukum laut, perlu diperhatikan beberapa
hal yang dirasakan mendesak, antara lain mengenai :
a. Peningkatan kemampuan fisik, yang mampu menjamin mobilitas yang akan
mencakup khususnya peralatan-peralatan untuk pengawasan (surveillance)
dan armada-armada kapal yang akan dipergunakan untuk melakukan
tindakan-tindakan operasional pergerakan hukum itu sendiri.
b. Sistem penegakan hukum yang efektif dan terpadu.
c. Diingatkan pula bahwa penanganan di bidang penciptaan alat-alat ataupun
prasarana dan sarana perundang-undangan bidang laut dihubungkan dengan
perkembangan teknologi serta perkembangan asas-asas hukum laut
Internasional sangat penting
65
65
Laut di luar yurisdiksi nasional negara-negara disebut laut bebas atau “high
seas”. Pemanfaatan laut bebas dilaksanakan berdasarkan prinsip “warisan
bersama umat manusia” (common heritage of mankind), yang berarti bahwa
manfaat laut bebas, baik aspek navigasi maupun aspek sumber daya alam yang
diakndungnya, harus dapat dinikmati oleh seluruh ummat manusia dan tidak boleh
dimonopoli oleh satu atau beberapa negara kuat saja. Prinsip tersebut melahirkan
hak dan kewajiban umum tiap negara terhadap laut bebas serta hak dan
kewajiban khusus dilaut bebas tertentu tersebut, seperti menyedikan sarana
pencarian dan penyelamatan (search and rescue), yang sering disingkat “SAR”,
yang memadai, pengejaran tidak terputus (hot pursuit) dan pelestarian lingkungan
laut.
Ketentuan-ketentuan mengenai rezim hukum laut Bebas yang tercantum
dalam konvensi Hukum Laut yang baru adalah terdapat pada part VII, Pasal 86
sampai dengan Pasal 120, berlaku semua bagian laut di luar laut pedalaman, laut
wilayah dan ZEE. Pada hakekatnya ketentuan-ketentuan tersebut sama dengan
yang tercantum dalam “Convention on the High Seas” dari Konvensi Jenewa
tahun 1958.
ketiga telah berhasil mewujudkan United Nations Convention on the Law of the
sea (Konvensi Perserikatan Bangsa – Bangsa tentang hukum Laut), telah
ditandatangani oleh 117 (seratus tujuh belas) negara peserta termasuk Indonesia
dan 2 satuan bukan Negara di Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10 Desember
1982. Dibandingkan dengan konvensi – konvensi Jenewa 1958 tentang hukum
laut, Konvensi PBB tentang hukum Laut tersebut mengatur rejim–rejim hukum laut
secara lengkap dan menyeluruh, yang rejim–rejimnya satu sama lainnya tidak
dapat dipisahkan.
Ditinjau dari isinya, Konvensi PBB tentang hukum laut tersebut :
a. Sebagian merupakan kodifikasi ketentuan – ketentuan hukum laut yang sudah
ada, misalnya kebebasan–kebebasan di laut lepas dan hak lintas damai di laut
teritorial;
b. Sebagian merupakan pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya
ketentuan mengenai lebar laut Teritorial menjadi Maksimun 12 mil laut dan
criteria landas kontinen.
Menurut konvensi Jenewa 1958 tentang hukum Laut kriteria bagi penentuan
lebar landas kontinen adalah kedalaman air dua ratus meter atau kriteria
kemampuan eksploitas. Kini dasarnya adalah kriteria kelanjutan alamiah
wilayah daratan sesuatu Negara hingga pinggiran luar tepian kontinennya
(Natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental
margin) atau kriteria jarak 200 mil laut, dihitung dari garis dasar untuk
mengukur lebar laut Teritorial jika pinggiran luar tepian kontinen tidak
mencapai jarak 200 mil tersebut;.
c. Sebagaian melahirkan rejim– ejim hukum baru, seperti asas Negara
Kepulauan, Zona Ekonomi Ekslusif dan penambangan di dasar laut
Internasional.
Bagi bangsa dan Negara Republik Indonesia, konvensi ini mempunyai arti
yang penting karena untuk pertama kalinya asas Negara Kepulauan yang
selam dua puluh lima tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh
Indonesia, telah berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat
internasional. Pengakuan resmi asas Negara kepulauan ini merupakan hal
ynag penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai dengan
deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan Wawasan Nusantara sebagaimana
68
68
b. Zona Tambahan
Jika dalam Konvensi jenewa 1958, lebar Zona Tambahan pada lebar tritorial
diukur, maka Konvensi PBB III 1982 kini menentukan bahwa, dengan
ditentukannya lebar laut Teritorial maksimal 12 mil laut, lebar Zona
Tambahan adalah maksimal 24 mil laut diukur dari garis dasar laut teritorial.
Di zona tambahan, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan dan
pengendalian yang perlu, untuk :
1) Mencegah pelanggaran terhadap peraturan perundang – undangannya di
bidang bea cukai, fiskal keimigrasian dan kesehatan yang berlaku di
wilayah darat dan laut teritorial negara pantai;
2) Menindak pelanggaran–pelanggaran atas peraturan perundang–
undangan tersebut yang dilakukan di wilayah darat dan laut teritorial
negara pantai;
3) Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.
Penetapan lebar laut Teritorial maksimal 12 mil laut membawa akibat
bahwa perairan dalam selat yang semula merupakan bagian dari laut
lepas berubah menjadi bagian dari laut teritorial maksimal 12 mil laut.
Oleh karena itu, dengan tidak mengurangi pelaksanaan kedaulatan dan
yuridiksi negara– egara pantai dibidang lain dari pada lintaslaut dan lintas
udara, kendaraan air asing pesawat udara asing mempunyai hal intas
laut/udara melalui sutu selat yang digunakan untuk pelayaran
72
72
dengan adanya rejim Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi
200 mil laut
b. pada sisi lain :
1) Negara–negara tanpai pantai dan negara–negara secara geografis tidak
beruntung baru dapat menerima penetapan lebar Laut teritorial maksimal
12 mil laut dan Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200
mil laut dengan ketentuan bahwa mereka memperoleh kesempatan untuk
turut serta memanfaatkan surplus dari jumlah tangkapan yang
diperbolehkan.
2) Mereka mempunyai hak transit ke dan dari laut melalui wilayah negara
pantai/negara transit.
3) Negara-negara maritim baru dapat menerima rejim Zona Ekonomi
Eksklusif jika negara pantai tetap menghormati kebebasan pelayaran/
penerbangan melalui Zona Ekonomi Eksklusif.
4) Landas Kontinen.
Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen yang
menetapkan lebar landas kontinen berdasrkan pada kriteria kedalaman
atau kriteria kemampuan eksploitasi, maka Konvensi 1982 ini
mendasarkan pada berbagai kritria :
a. Jarak sampai 200 mil laut jika tepian luar tidak mencapai jarak 200 mil
laut tersebut;
b. Kelanjutan alamiah wilayah daratan dibawah laut hingga tepian luar
kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur
dari garis dasar laut teritorial jika diluar 200 mil masih terdapat daerah
dasar laut yang merupakan kelnjutan lamiah dari wilayah daratan dan
jika memenuhi criteria kedalaman sdimentasi yang ditetapkan dalam
konvensi; atau
c. Tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (isobaths) 2500
meter. Kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga
tepian luar kontinen yang ditentukan dalam konvensi ini pada akhirnya
dapat diterima negara–negara bukan negara pantai, khususnya negara–
negara tanpa pantai atau negara–negara yang geografis tidak beruntung
setelah konvensi juga menentukan bahwa negara pantai
74
74
C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
materi pembelajaran ke 3 dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhir
perkuliahan yang dikemas dalam beberapa pertanyaang seperti :
1. Mengapa asas Negara kepulauan harus diimplementasikan dalam
berbagai peraturan perundang Republik Indonesia ?
2. Mengapa pengumuman pemerintah mengenai suatu obyek hukum
selalu diikuti dengan undang–undang ?
3. Apa implikasi dari ratifikasi Indonesia terhadapa konverensi hukum laut
PBB 1982 ?
80
80
Daftar Bacaan :
I. Wayan Parthiana, Landas Kontinen Dalam Hukum Laut Indonesia,
Bandung: Mandar Maju, 2005.
Made Pasek Diantha, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Bandung:
Mandar Maju, 2005
------------------, Analisis Negara Kepulauan dan Landas Kontinen Dalam
Perspektif Kepentingan Indonesia, Denpasar, CV. Karya
MasAgung, 1993.
Syahmin, AK, Beberapa Perkembangan dan Masalah Hukum Laut
International, Bandung: Bina Cipta, 1988.
UU No. 6 / 1996 tentang Wilayah Perairan Indonesia.
UU No. 17 / 1985 tentang Pengelolaan Konvensi Hukum Laut 1982.
UU No. 5/ 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
UU No. 1 /1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.
PP No. 8 / 1992 tentang Lalu lintas Damai Kendaraan air asing.
81
81
BAB 5
BAHAN PEMBELAJARAN 4
A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu IV bahwa
“Mahasiswa dapat menjelaskan berbaga jalur-jalur laut pada wilayah perairan
Indonesia sebagai negara nusantara”. Sasaran pembelajaran dimaksud
hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa discovery
learning melalui small group work, kuliah interaktif, dan diskusi.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta
didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait jalur-jalur laut.;Partisipasi
dalam diskusi; Kerjasama tim; Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan
dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang
diberikan pada peserta didik.
B. Uraian:
Jalur-jalur laut Indonesia sebagai negara nusantara atau negara
kepulauan:
1. Perairan Kepulauan
Dalam pasal 3 ayat 3 undang-undang perairan Indonesia disebutkan
bahwa, “Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang
terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa
memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.” Karena Konvensi
Hukum Laut Internasional (UNCLOS III) sudah mengakui konsep negara
kepulauan (archpelagic state), maka perairan kepulauan Indonesia juga
masuk kedalam perlindungan hukum laut internasional sebagaimana
halnya negara-negara kepulauan lainnya.
2. Perairan Pedalaman
Dalam pasal 8 ayat (1) United Nations Conventions on the Law of
the Sea (UNCLOS 1982) disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan
Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial.
Pasal tersebut selengkapnya berbunyi, “perairan pada sisi darat garis
82
82
15
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, (Bandung: PT Alumni, 2005), hlm. 383-384.
84
84
16
Mochtar Kusumaatmadj, Hukum Laut Internasional, (Bandung: Binacipta, 1978), hlm 129-
133. Konferensi Internasional Hukum Laut III, Tanggal 10 Desember 1982 (UNCLOS 1982) belum
86
86
dilaksanakan. Tetapi kurang lebih sebagai perbandingan dalam menganalisa dinamika perkembangan antara
Konvensi Jenewa tahun 1958 dengan UNCLOS 1982 yang juga saling berkaitan. Baca juga hasil-hasil
Konvensi Hukum Laut Jenewa 1957.
87
87
pasal 1 ayat 1 a.l. menyatakan bahwa “laut territorial Indonesia itu lebarnya
3 mil diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) daripada pulau-pulau dan
bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebied)
dari Indonesia...........” dirasakan tidak sesuai lagi dengan keadaan
sekarang dan dirasakan sudah tidak cukup lagi untuk menjamin dengan
sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan negara Indonesia yang biasanya
diselenggarakan dalam batas lautan territorial suatu negara. Oleh karena
itu, pada tahun 1996 pemerintah RI mengeluarkan UU No 6 Tahun 1996
Tentang Perairan Indonesia sebagai tindak lanjut dari kesepakatan
UNCLOS III/1982 yang menetapkan batas laut teritorial seluas 12 mil laut.
Menurut ICNT, yang dimaksud dengan ”Jalur Tambahan” adalah
suatu daerah laut yang berdekatan dengan laut wilayah, yang lebarnya
tidak lebih dari 24 mil laut dihitung dari garis dasar, dari mana lebar laut
wilayah diukur. Dengan adanya lebar perairan yang kurang dari 24 mil laut
yang membatasi wilayah RI dengan Malaysia, dengan Singapura serta
dengan Philipina, maka dengan perairan-perairan tertentu negara kita tidak
memiliki ”Jalur Tambahan”.
Pada jalur tambahan tersebut, NKRI mempunyai kewenangan-
kewenangan tertentu untuk:
1. Mencegah pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tentang ke-
Bea-an, perpajakan (fiskal), imirasi, maupun ”sanitary”, yang berlaku di
wilayah atau laut wilayah RI.
2. Menindak pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tersebut
17
diatas yang dilakukan di wilayah atau laut wilayah RI.
3. Laut teritorial
Dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang perairan Indonesia disebutkan
bahwa, “Laut Teritorial adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang
diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 5”.
Pasal 5 yang dimaksud adalah tentang ketentuan dan tata cara penarikan garis
pangkal kepulauan Indonesia. Definisi laut teritorial yang terdapat dalam UU No.
17
S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam UUD 1945 Serta
Pembangunan Nasional, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1985), hlm. 84-85.
88
88
6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia ini adalah mengikuti ketentuan yang
tercantum dalam UNCLOS 1982.
Dalam ketentuan ini (UNCLOS III), batas laut teritorial tidak melebihi batas
12 mil laut diukur dari garis pangkal normal. Untuk negara-negara kepulauan
yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis pangkalnya adalah garis
pasang surut dari sisi karang ke arah laut. Bagian ini juga membahas tentang
perairan kepulauan, mulut sungai, teluk, instalasi pelabuhan, penetapan garis
batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan serta lintas damai.
4. Laut Tambahan
Zona tambahan didalam pasal 24 (1) UNCLOS III dinyatakan bahwa
suatu zona dalam laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara
pantai tersebut dapat melaksanakan pengawasannya yang dibutuhkan untuk:
1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang
berkenaan dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal),
keimigrasian (imigration), dan kesehatan atau saniter.
2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan perundang-
undangannya tersebut di atas.
Didalam ayat 2 ditegaskan tentang lebar maksimum dari zona tambahan
tidak boleh melampaui dari 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal ini berarti
bahwa zona tambahan itu hanya mempunyai arti bagi negara-negara yang
mempunyai lebar laut teritorial kurang dari 12 mil laut (ini menurut konvensi
Hukum Laut Jenewa 1958), dan sudah tidak berlaku lagi setelah adanya
ketentuan baru dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pasal 33 ayat 2
Konvensi Hukum Laut 1982, zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut,
dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial itu diukur. Berikut ini beberapa
hal guna memperjelas tentang letak zona tambahan itu:
Pertama, Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu harus diukur,
tempat atau garis itu adalah garis pangkal.
Kedua, Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur dari
garis pangkal.
89
89
Ketiga, Oleh karena zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal
adalah merupakan laut teritorial, maka secara praktis lebar zona
tambahan itu adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu diukur dari garis atau
batas luar laut territorial, dengan kata lain zona tambahan selalu
terletak diluar dan berbatasan dengan laut teritorial.
Keempat, Pada zona tambahan, negara pantai hanya memiliki yurisdiksi yang
terbats seperti yang ditegaskan dalam pasal 33 ayat 1 Konvensi
Hukla 1982. Hal ini tentu saja berbeda dengan laut teritorial dimana
negara pantai di laut teritorial memiliki kedaulatan sepenuhnya dan
hanya dibatasi oleh hak lintas damai.
6. Landas Kontinen
Negara pantai termasuk Indonesia berhak mempunyai landas kontinen
di luar laut wilayahnya throughout the natural prolongation of its land territory to
the outer edge of the continental margin atau sampai 200 mil dan garis-garis
pantai (Pasal 76 ayat 1). Negara pantai harus menctapkan batas terluar dan
continental marginnya jika continental margin tersebut berada di luar batas 200
mil.
Batas terluar dan landas kontinen di continental margin yang terletak di
luar 200 mil ditetapkan maksimum 350 mil dan garis pangkal atau 100 mill dan
kedalaman air 2500 meter. Batas itu harus ditetapkan dengan garis-garis lurus
yang masing-masing panjangnya tidak boleh lebih dari 60 mil. Batas itu dapat
diperiksa oleh suatu Commission on the Limit of the Continental Shelf yang
akan didirikan dan harus diumumkan dan didepositkan pada Sekjen PBB
(Pasal 76 ayat 9).
Berlainan dengan hak negara pantai atas ZEE (yang memungkinkan
surplus perikanan diambil oleh negara lain) hak-hak berdaulat negara pantai
atas kekayaan alam, landas kontinennya adalah exclusive dan tidak perlu
dibagi-bagi dengan negara lain, kecuali seperti tersebut di bawah, walaupun
negara-negara yang bersangkutan belum memanfaatkannya.
Selanjunya dijelaskan, negara pantai harus menyumbangkan sebagian
dan hasil kekayaan alam landas kontinen yang diambilnya di luar batas 20 mil
kepada Badan Otorita Internasional yang akan didirikan. Besarnya sumbangan
itu adalah 1 persen dan produksi mulai tahun ke-6 produksi dan kemudian
setiap tahun naik dengan 1 persen sehingga kontribusi tersebut maksimum
menjadi 7 persen mulai tahun produksi ke-12.
Tindakan-tindakan lanjutan yang perlu dilakukan oleh pemerintah RI
adalah:
92
92
C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
materi pembelajaran keempat dilakukan dalam bentuk kuis diakhir perkuliahan
yang dikemas dalam beberapa pertanyaaan, seperti:
1. Jelaskan jalur-jalur laut Indonesia sebagai negara Kepulauan?
2. Dalam hal apakah ZEEI dapat dieksplorasi dan eksploitasi semaksimal
mungkin oleh Indonesia?
Daftar bacaan
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi
dalam Era Dinamika Global, Bandung: PT Alumni, 2005.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bandung:
Binacipta, 1978.
S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam
UUD 1945 Serta Pembangunan Nasional, Jakarta: PT Bina Aksara, 1985.
93
93
BAB 6
BAHAN PEMBELAJARAN 5
A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu IV bahwa
“Mahasiswa dapat menjelaskan berbagai macam garis pangkal yang dapat
diterapkan oleh Indonesia sebagai negara kepulauan.”. Sasaran pembelajaran
dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa
discovery learning melalui small group work, kuliah interaktif, dan diskusi.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta
didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait berbagai macam garis
pangkal pada umumnya.;Partisipasi dalam diskusi; Kerjasama tim;
Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit
dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan pada peserta didik.
B. Uraian:
Ada bermacam-macam garis pangkal, yaitu18:
1. Garis pangkal biasa, yaitu garis air rendah di sepanjang pantai. Dalam hal ini
garis air rendah dan fringing reefs (batu-batu karang) yang terluar juga dapat
dipergunakan. Garis air rendah dan fringing reefs tersebut harus di perlihatkan
dalam peta-peta yang diakui secara resmi oleh negara bersangkutan. (Pasal 5
dan 6);
2. Garis pangkal lurus, yaitu garis lurus yang ditarik untuk menutup pantai-
pantai yang terlalu melekuk, delta, low-tide elevations, mulut sungai, teluk,
bangunan-bangunan pelabuhan. Dalam hal:-hal mi, garis dasar dapat ditarik,
secara lurus tanpa mengikuti garis air rendah di pantai. Roadsteds (tempat
kapal-kapal buang jangkar di laut di depan pelabuhan) dianggap termasuk
dalam laut wilayah.
Dalam hal-hal negara berdampingan atau berhadapan, laut wilayah
masing-masing perlu ditetapkan dengan perjanjian antara negara-negara
tersebut (Pasal 15). Di luar laut wilayah, negara pantai diperkenankan
18
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, (Bandung: Binacipta, 1978). Lihat Juga
Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), Makassar: Fakultas Hukum
Unhas, 2007, hlm. 46-54.
94
94
mempunyai Lajur Tambahan (Contiguous Zone) sebesar 24 mil (12 mil di luar
laut wilayah), yang diukur dan garis pangkal yang dipergunakan untuk
mengukur laut wilayah.
Oleh karena itu, guna mendukung ketentuan tersebut, maka tindakan-
tindakan yang perlu dilakukan adalah:
- Meninjau kembali garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia dan
menyesuaikannya dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi, baik
dengan ketentuan-ketentuan dalam laut wilayah maupun ketentuan
ketentuan dalam negara-negara Nusantara;
- Merundingkan penyelesaian batas laut wilayah Indonesia dengan negara-
negara tetangga khususnya: (a) Garis batas segitiga RI-Malaysia-
Singapura di selat Singapura; (b) Garis batas laut wilayah RI-Malaysia di
pantai timur Kalimantan; (c) Garis batas laut wilayah RI-Philipina;
- Mendepositkan peta-peta dan koordinat-koordinat dan garis batas tersebut
pada Sekjen PBB sesuai dengan Pasal 16 ayat 2;
- Mendirikan/mengumumkan zone tambahan Indonesia untuk keperluan-
keperluan pengawasan pabean, keuangan, imigrasi dan kesehatan sesuai
dengan Pasal 33.
- Innocent Passage melalui Laut Wilayah.
Kapal semua negara menikmati hak untuk lewat secara damai (innocent
passage) melalui laut wilayah (Pasal 17) selama tidak membahayakan
perdamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai. Pasal 19 memperinci
tindakan-tindakan kapal yang lewat yang dapat dianggap membahayakan
perdamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai tersebut.
Pasal 21 memperkenankan negara pantai untuk membuat undang-
undang/ketentuan-ketentuan tentang lintasan laut damai tersebut, tetapi
terbatas kepada hal-hal yang terperinci dalam pasal 21 tersebut yaitu:
- Keselamatan pelayaran dan lalu lintas laut;
- Perlindungan sarana bantu pelayaran dan fasilitas atau instalasi lainnya;
- Perlindungan kabel-kabel dan pipa-pipa di dasar laut;
- Pelestarian kekayaan hayati laut;
- Pencegahan pelanggaran ketentuan-ketentuan perikanan;
- Pemeliharaan lingkungan dan pencegahan polusi;
95
95
19
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Rights Over Natural Resources: The Indonesian
Experience, (Bandung: Alumni, 2002), P. 196-197.
96
96
ZEE Indonesia diukur ke laut dan garis pangkal lurus nusantara (GPLN)
tersebut (Pasal 48). Perairan di sebelah dalarn dan GPLN yang mengelilingi
kepulauan nusantara tersebut dinamakan perairan nusantara di mana pada
umumnya berlaku ketentuan pelayaran innocent passage seperti dalam laut
wilayah (Pasal 52 ayat 1), dengan ketentuan bahwa hak innocent passage
tersebut dapat ditangguhkan untuk sementara waktu di bagian-bagian tertentu
karena alasan-alasan keamanan (suspendable innocent passage).
Dalam perairan nusantara itu, negara nusantara seperti Indonesia
rnasih diperkenankan menetapkan perairan pedalaman (internal waters) di
mana hak innocent passage tidak diakui misalnya pada perairan-perairan
mulut sungai, teluk dan pelabuhan (Pasal 50).
Seperti telah dipaparkan di muka, bahwa di perairan nusantara
negara-negara lain juga mempunyai hak-hak seperti:
1. Indonesia harus menghormati existing agreements dengan negara-negara
lain;
2. Indonesia harus mengakui traditional fishing rights dan “kegiatan-kegiatan
lainnya yang sah” dari negara tetangga yang langsung berdekatan di
bagian-bagian tertentu dan perairan nusantara;
3. Indonesia harus menghormati kabel-kabel laut yang sudah ada yang
diletakkan oleh negara lain dan harus mengizinkan
pemeliharaan/penggantian kabel-kabel tersebut;
4. Kapal-kapal semua negara mempunyai hak innocent passage untu1
melewati perairan nusantara;
5. Semua kapal dan kapal terbang menikmati hak archipelagic sealane
passage melalui archipelagic sea lanes dan air rutes di atas seaIane
tersebut. Hak archipelagic sealanes passage adalah lebih longgar dari hak
innocent passage dan kira-kira sama bebasnya dengan hak trantti passage
melalui selat yang dipakai untuk pelayaran internasional. Jadi negara-
negara nusantara dapat menetapkan sealanes dan TSS melalui perairan
nusantara tersebut. Pasal 53 mengatur tentang cara-cara penentuan
sealanes dan TSS di perairan nusantara. Axis dan sea/tines dan TSS
tersebut harus diumumkan secara terbuka. Selama sealanes dan air routes
belum ditetapkan maka hak lintas nusantara (archipelagic sealanes
97
97
20
Lihat Pasal 6 PP Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia telah diubah dengan PP No. 37 tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Titik-
titik garis pangkal kepulauan Indonesia (Maore masuk dalam titik 35 dan 36 sedangkan Miangas dalam titik
38 dan 39).
99
99
lurus tidak dapat diterapkan karena adanya kuala pada muara sungai,
sebagai garis penutup kuala dipergunakan garis-garis lurus yang
menghubungkan antara titik-titik kuala dengan titik-titik terluar pada air garis
rendah tepian muara sungai.21
c. Garis Penutup Pelabuhan
Pada daerah pelabuhan, garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial
adalah garis-garis lurus sebagai penutup daerah pelabuhan, yang meliputi
bangunan permanen terluar yang merupakan bagian integral sistem
pelabuhan sebagai bagian dari pantai. Garis lurus dimaksud ditarik antara
titik-titik terluar pada garis air rendah pantai dan titik-titik terluar bangunan
permanen terluar yang merupakan bagian integral system pelabuhan.22
C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
materi pembelajaran kelima dilakukan dalam bentuk makalah dengan
merumuskan beberapa judul/topik, seperti:
1. Praktek Indonesia dalam penerapan Garis Pangkal Lurus Kepulauan.
2. Kontroversi penerapan Garis pangkal normal dan garis pangkal lurus
kepulauan dalam praktek negara-negara.
Daftar Bacaan
Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar),
Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bandung: Binacipta,
1978.
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Rights Over Natural Resources:
The Indonesian Experience, Bandung: Alumni, 2002.
21
Lihat Pasal 7 PP Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia telah diubah dengan PP No. 37 tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Titik-
titik garis pangkal kepulauan Indonesia (Maore masuk dalam titik 35 dan 36 sedangkan Miangas dalam titik
38 dan 39).
22
Lihat Pasal 8 PP Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia telah diubah dengan PP No. 37 tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Titik-
titik garis pangkal kepulauan Indonesia (Maore masuk dalam titik 35 dan 36 sedangkan Miangas dalam titik
38 dan 39).
100
100
100
BAB 7
BAHAN PEMBELAJARAN 6
A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke 6 bahwa
mahasiswa dapat menjelaskan pengaturan hukum tentang lintas pelayaran
internasional di wilayah perairan Indonesia. Sasaran pembelajaran hendak dicapai
dengan strategi pembelaran berupa kuliah interaktif, studi kasus dan diskusi kelas.
Kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik yaitu
kemampuan mengemukakan dan menjelaskan fakta mengenai lintas pelayaran,
ketepatan menggunakan teori dalam menganalisis fakta terkait lintas pelayaran
serta partisipasi individual dalam diskusi kelas.
Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit dengan media
modul sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta didik:
1. Hak lintas damai;
2. Hak lintas transit; dan
3. Hak lintas alur laut kepulauan.
B. Uraian
Untuk itu uraian selanjutnya akan memberi gambaran tentang bagaimana
ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur ketiga jenis hak lintas
bagi kapal-kapal asing tersebut secara umum. Selanjutnya, mengidentifikasi ketiga
jenis pengaturan tersebut dengan selat-selat yang berada dalam perairan
Indonesia.
mencegah lintasan yang tidak damai. Konvensi sendiri tidak memberikan suatu
batasan atau pedoman pelaksanaan bagi ketentuan tersebut. Seperti telah
diuraikan di atas adalah kurang tepat untuk menganggap penangguhan sebagai
salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh negara pantai. Pada selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional jelas hal itu tidak diperkenankan. Lalu,
apa saja yang dapat dilakukan oleh negara pantai?
b. Hak dan kewajiban Negara Pantai
Pasal 21 memberi wewenang kepada negara pantai untuk menyusun
peraturan perundang-undangannya, mengenai:
(1). Keselamatan pelayaran dan pengaturan lalu-lintas maritim;
(2). Perlindungan atas sarana bantu navigasi dan fasilitas navigasi serta
fasilitas – fasilitas dan instalasi lainnya;
(3). Perlindungan kabel dan pipa laut;
(4). Konservasi kekayaan hayati laut;
(5). Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan
negara pantai;
(6). Pelestarian lingkungan negara pantai, dan pencegahan pengurangan dan
pengendalian pencemaran;
(7). Penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi;
(8). Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan Negara pantai
dibidang bea cukai, fiskal, imigrasi dan saniter.
Wewenang yang diberikan kepada Negara pantai tersebut dibatasi dalam
beberapa hal yaitu :
(1). Peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh mengatur
tentang desain, kontruksi, pengawakan atau peralatan kapal-kapal
asing, kecuali kalau hal tersebut dilakukan sebagai pelaksanaan dari
suatu peraturan atau standar internasional yang diterima secara
umum. Ketentuan ini ditujukan utnuk mencegah agar Negara pantai
tidak menetapkan suatu standar bagi bentuk atau jenis kapal dan
tidak memaksakan suatu persyaratan bagi pengawakannya;
(2). Kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam padal 24.
Menurut Pasal 22 negara pantai juga diberi wewenang untuk menetapkan
alur-alur laut dan skema pemisah lalu-lintas. Juga bagi tanker-tanker dan kapal-
106
106
106
merupakan hal yang dilarang oleh ketentuan pasal 19 ayat 2, Negara pantai tidak
mempunyai hak untuk mencegahnya.
Meskipun kapal–kapal perang mempunyai imunitas yang dijamin oleh
konvensi ini, namun tidak lepas dari kewajiban untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan Negara pantai tentang pelaksanaan hak lintas damai.
Meskipun telah diberi peringatan terlebih dahulu, apabila terbukti suatu kapal
perang melakukan pelanggaran terhadap peraturan tersebut, Negara mantai
mempunyai wewenang untuk memerintahkan kapal tersebut untu meninggalkan
laut teritorialnya (yang dalam hal ini selat). Selain dari itu, Negara bendera dari
kapal perang atau kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan yang non
komersial, bertanggung jawab atas segala kerugian atau kerusakan yang diderita
oleh negara pantai. Yang diakibatkan oleh tidak dipatuhinya peraturan perundang–
undangan tersebut, ketentuan–ketentuan konvensi itu sendiri, maupun ketentuan–
ketentuan hukum internasional lainnya.
Berbeda dengan konvensi Jenewa tentang laut territorial dan jalur
tambahan 1958, Konvensi Hukum laut 1982 memberikan perhatian yang cukup
untuk membicarakan masalah hak lintas bagi kapal perang. Disamping itu, apabila
pada tahun 1958 Konperensi Hukum Laut I masih ragu–ragu untuk membicarakan
masalah itu, maka keragu-raguan tersebut berhasil dihapuskan dalam konperensi
Hukum Laut III. Konvensi Hukum Laut 1982 menjamin hak lintas damai bagi
semua jenis kapal asalakan kapal yang melakukan lintasan tersebut tidak
melakukan salah satu perbuatan yang dilarang oleh pasal 19 ayat 2 (b),
khususnya mengenai latihan atau praktek dengan menggunakan senjata macam
apapun. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut khususnya, maupun terhadap
peraturan perundang-undangan negara pantai pada umumnya, dapat
mengakibatkan penggusiran kapal tersebut dari laut territorial atau selatnya.
Kapal selam serta alat-alat angkut dibawah air lainnya diharuskan untuk
berlayar dipermukaan air, dan mengibarkan benderanya. Kapal – kapal bertenga
nuklir dan kapal-kapal yang mengangkut bahan–bahan nuklir maupun bahan–
bahan lainnya dapat diminta untuk berlayar melalui alur laut yang ditetapkan
khusus untuk itu. Ketentuan tersebut tampaknya disediakan untuk
mengakomodasikan kekhawatiran Negara pantai akan bahaya yang dapat
ditimbulkan oleh kapal–kapal jenis demikian.
108
108
108
Konvensi hukum laut 1982 ini dengan demikian telah berhasil menetapkan
sesuatu pengaturan yang lebih jelas tentang pelaksanaan hak lintas damai, dan
negara pantai tidak dibenarkan untuk mengurangi atau menghalangi pelaksanaan
hak tersebut. Satu hal yang masih belum jelas dalam hal ini adalah cara
pelaksanaan hak tersebut dengan memperhatikan hak serta peraturan perundang–
undangan negara pantai. Sebagai contoh misalnya, menurut pasal 22 apabila
dianggap perlu Negara pantai dapat menetapkan alur laut khusus bagi lintasan
oleh kapal nuklir dengan alasan untuk menjamin keselamatan pelayaran. Namun
dalam hal ini, negara pantai tidak dapat mencegah kapal tersebut untuk melaukan
lintasan.
d. Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri utama dari
hak lintas damai bagi kapal asing pada selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional adalah:
(1). Lintasan oleh kapal asing dianggap sebagai lintas damai selama tidak
melakukan kegiatan–kegiatan yang dicantumkan dalam pasal 19 ayat 2;
(2). Negara pantai mempunyai wewenang terbatas untuk mengatur lintas
damai;
(3). Negara pantai mempunyai hak untuk mencegah lintasan yang tidak damai
(4). Tidak ada penangguhan terhadap pelakasanaan hak lintas damai pada
selat yang digunakan untuk pelayaran internasional;
(5). Kapal selam harus berlayar dipermukaan air;
(6). Negara pantai dapat meminta kapal perang untuk meniggalkan selat
apabila terbukti melakukan pelanggaran, meskipun telah diberi peringatan.
Terlebih-lebih karena pada arah laut tersedia rute yang sama fungsinya dilihat dari
segi navigasi dan hidrografis. Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksudkan
dengan convenience disini adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
sifat-sifat navigasi dan hidrografis. Jadi apabila tidak tepat apabila ada Negara
pemakai selat yang mengkehendaki diberlakukannya lintas transit karena alasan-
alasan militer, strategis maupun ekonomis. Bagi selat demikian, maupun bagi selat
dengan kategori kedua, yaitu yang terletak diatara laut lepas atau zona ekonomi
ekslusif denga laut territorial suatu negara, berlaku hak lintas damai.
Pasal 236 ini disusun dengan beberapa alasan. Adalah tidak tepat untuk
menerapkan peraturan-peraturan internasional, kepada kapal-kapal perayng yang
mempunyai konfigurasi dan misi tertentu. Selain dari itu dikhawatirkan bahwa
apabila ketentuan tersebut diterapkan kepada kapal-kapal perang, akan
mengakibatkan dampak timbulnya wewenang Negara pantai untuk melakukan
pemeriksaan. Hal ini sudah barang tentu merupakan suatu hal yang tidak
dikehendaki untuk terjadi pada kapal-kapal perang. Disamping itu kapal-kapal
perang juga dianggap bukan merupakan jenis kapal yang dapat membahayakan
lingkungan laut.
menetapkan jenis atau bentuk kegiatan yang akan menyebabkan suatu lintasan
tidak merupakan lintasan transit.
Masalahanya kemudian adalah apakah suatu pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan pasal 39 dan 40 tersebut diatas dapat menyebabkan suatu
lintasan menjadi bukan lintas transit, atau apakah Negara pantai dapat melakukan
tindakan-tindakan pencegahan? Kalau lintas damai memakai sebagi ukuruan
adalah kegiatan kapal sewaktu melakukan lintasan , pengertian lintas transit
menurut konvensi adalah pelaksanaan dari kebebasan pelayaran yang langsung,
terus menerus dan secepat mungkin. Pasal 39 tidak memberikan penjabaran
seperti pasal 19, karena ke dalam pengertiannya tercakup kebebasan pelayaran
dan penerbangan, meskipun dikaitkan dengan suatu tujuan khusus untuk “transit
secara terus menerus dan langsung” tersebut, apabila kapal yang sedang
melakukan lintasan bermaksud untuk memasuki, atau meninggalkan, atau kembali
kewilayah Negara tepi selat.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 39 dan 40 tersebut diatas, dengan
demikian tidak dapat dianggap sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan
ketentuan pasal 38 ayat 2, dan lintasan nya tetap akan dianggap sebagai lintas
transit. Apabila hal yang serupa terjadi dalam pelaksanaan hak lintas damai. Akan
tetapi apakah keadaan demikian tidak menutup kemungkinan bagi Negara pantai
untuk bertindak?
Tolak ukur yang dapat dipakai oleh negara pantai untuk menentukan
apakah suatu lintasan tersebut dapat dianggap seabagai suatu lintas transit
adalah : apakah lintasan tersebut dapat dianggap sebagai suatu lintasan “terus
menerus dan langsung”, yang digambarkan pada pasal 39 ayat 1 sebagai “lewat
dengan cepat” (proceed without delay). Lintasan oleh sebuah kapal yang tidak
cepat dan terputus-putus dapat dianggap sebagai tidak continous, jadi bukan
merupakan lintas transit. Dalam keadaan demikian, apakah Negara pantai dapat
melakukan suatu tindakan untuk mencegah atau menghalanginya?
Kalau dihubungkan dengan ketentuan pasal 44, Negara pantai tidak
mempunyai hak untuk menghalangi lintas transit yang dilakukan oleh kapal asing.
Sebaliknya, pasal 25 ayat 1 justru secara pasti memberikan wewenang kepada
Negara pantai untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk
mencegah lintas yang tidak damai. Karena ketentuan serupa tidak ada dalam
116
116
116
Oleh karena itu dalam penafsiran demikian, MOORE mengajukan agar “recourse
may be had to the negotiating context, which I believe makes abundantly clear that
this pharase includes submerged transit”.
Di lain pihak seorang sarjana lain KL KOH menganalisa masalah ini secara
berbeda. Menurut pendapatnya yang menjadi pokok masalah dalam hal lintas oleh
kapal sealam adalah kenayataan dalam pengaturan lintas damai ada keharusan
bagi kapal selam untuk berlayar dipermukaan air kedalam ketentuan-ketentuan
bagi lintas damai; dan kemudian mengeluarkannya, atau tapatnya tidak
mencantumkannya dalam ketentuan-ketentuan tentang lintas transit. Lebih lanjut
menurut KOH “The argument of inclusion and exelsio cannot ipso facto suffice to
lend the interpretation that submerged passage was clearly contemplated by the
drafters.”
Oleh karena itu perlu diperhatikan konteks dari ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam pasal-pasal lain. Seperti juga halnya MOORE dan REISMAN, KOH
pun memakai ketentuan Pasal 39 ayat 1 (c) dan pasal 87 untuk memperkuat
kesimpulannya bahwa konfensi hukum laut 1982 tidak mengenal adanya
kewajiban bagi kapal selam untuk berlayar dipermukaan air pada waktu
melaksanakan hak lintas transit, akan tetapi Koh juga tidak menyangkal suatu
kemungkinan bahwa pada wilayah perairan tertentu, walaupun tidak ada
keharusan untuk itu, demi keselamatan pelayaran kapal selam akan “terpaksa”
berlayar dipermukaan air.
Argumentasi tentang ada atau tidaknya keharusan untuk berlayar
dipermukaan air ini dapat juga dilihat dari sudut lain. Pasal 39 ayat 1(b)
mewajibkan kapal untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang menimbulkan
ancaman atau menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun dalam Negara
pantai. Alasan demikian dapat dipakai oleh Negara pantai untuk berargumentasi
bahwa dalam memantau apakah pada waktu melaksanakan lintasannya suatu
kapal selam tidak menimbulkan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap
Negara pantai, tidak mungkin dilakukan apabila kapal selam tersebut berlayar
dibawah permukaan air. Dengan menggunakan alasan ini, mungkin dapat ditarik
118
118
118
kesimpulan bahwa ada keahrusan bagi kapal selam untuk berlayar dipermukaan
air. Akan tetapi, seperti kemukakan oleh MORE, pasa 39 ayat 1 ini merupakan
ketentuan yang berisi kewajiban bagi kapal-kapal selama melakukan lintas transit.
Selanjutnya menurut MORE, ketentuan tersebut tidak dengan begitu saja
menimbulkan hak bagi Negara pantai untuk meminta agar kapal selam berlayar
diatas permukaan air, agar memudahkannya untuk memantau lintasan oleh kapal
selam tersebut.
f. Kesimpulan
Pada akhirnya dapat disimpulkan disini bahwa pokok-pokok utama
pengaturan tentang hak lintas transit bagi kapal asing melalui selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional adalah sebagai berikut :
(1) tidak terdapat persyatatan – persyaratan dalam bentuk kegiatan-kegiatan
tertentu bagi kapal-kapal yang melakukan lintasan;
(2). Tidak ada keharusan bagi kapal selam untuk berlayar dipermukaan air;
(3). Hak lintas penerbangan bagi pesawat-pesawat udara diakui;
(4). Berdasarkan imunits kapal perang, ketentuan-ketentuan tentang
pencegahan pencemaran dan pelestarian lingkungan laut tidak berlaku bagi
kapal-kapal perang;
(5). Tidak ada keharusan untuk meminta izin atau memeberitahukan terlebih
dahulu;
(6). Tidak ada penangguhan terhadap hak lintas transit;
(7). Negara pantai tidak berhak untuk menghalangi atau mencegah lintasan
yang dilakukan oleh kapal-kapal asing;
(8). Negara bendera kapal atau tempat terdaftarnya suatu pesawat udara,
bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh
pelaksanaan lintas transit pada Negara pantai;
(9). Kapal perang diwajibkan untuk mematuhi peraturan perundang-undangan
Negara pantai mengenai hak lintas transit.
perairan dimana Negara pantai harus memberikan akomodasi dalam bentuk hak
untuk melakukan lintasan bagi kapal-kapal asing, hanya terbatas pada laut
territorial dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.
Konvensi hukum Laut 1982 menyebutkan bahwa kedaulatan dari suatu
Negara kepulauan (archipelagic baselines) yang ditarik pada ketentuan pasal 47,
dan disebut perairan kepualaun ini kapal-kapal asing selain mempunyai hak untuk
melakukan lintas damai juga berhak untuk melaksanakan hak lintas alur laut
=kepulauan (archipelagic sealanes passages).
Jadi pokok utama dari pengaturan tentang hak lintas alur laut kepualauan
adalah bahwa lintasan ini selain dalam bentuk lintas pelayaran juga mencakup
lintas penerbagan, yang dilakukan dalam cara normal. Kedua, pasal ini
menyebutkan adanya keharusan bahwa lintas pelayaran atau penerbangan
tersebut hanya dimaksudkan untuk suatu lintasan yang terus menerus, langsung,
secepat mungkin dan tidak terhalang. Pokok ketiganya menetapkan bahwa
lintasan tersebut harus dilakaukan antara satu bagian dari laut lepas atau zona
ekonomi ekslusif dengan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif
dengan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif.
Kalau diperhatikan pengertian ini lebih mendekati pengertian yang diberikan
oleh Konvensi terhadap hak lintas Transit. Perbedaannya tampak pada
pembebanan persyaratan-persyaratan bagi pelaksanaan kedua macam lintasan
bagi kapal asing tersebut.
120
120
120
nasional yang dilakukan oleh Negara sedang berkembang ini dianggap telah
“menggerogoti”prinsip kebebasan dilautan (freedom of the seas).
Argumentasi yang muncul kemudian dari negara-negara maritim adalah
bahwa konsepsi Negara kepulauan ini akan menganggu (kelancaran) pelayaran
internasional. Kekhawatiran ini terletak pada masasalah status hukum dari
perairan yang sekarang tertutup oleh garis pangkal, yang dinamakan perairan
kepulauan tersebut.
Pada Konvensi Hukum Laut III perundingan tentang Negara kepulauan
dimulai dengan munculnya usul dari negara-negara kepulauan agar pada perairan
kepualauan tersebut berlaku rejim hak lintas damai bagi kapal-kapal asing seperti
pada laut territorial. Usul ini kemudian berkembang menjadi suatu gabungan
antara pengaturan dilaut territorial dan perairan pedalaman, dengan pengertian
bahwa hak lintas damai akan dijamin pada alur-alur laut yang akan ditetapkan oleh
Negara.
Usul tersebut dengan segera menimbulkan reaksi dari negara–negara
maritim. Pada akhirnya kelompok negara-negara kepulauan mengusulkan agar
pengaturan yang diterapkan adalah dalam bentuk pengaturan yang bersifat
dualistis. Seperti pengaturan pada selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional, hak lintas damai dijamin pada perairan kepualauan, kecuali pada
alur-alur khusus dimana berlaku hak lintas laut kepualauan.
Usul tersebut dengan segera menimbulkan reaksi dari negara-negara
maritim. Pada lahirnya kelompok negara-negara kepulauan mengusulkan agar
pengaturan yang diterapkan adalah dalam bentuk pengaturan pada selat yang
digunakan untuk pelayaran inernasional, hak lintas damai dijamin pada perairan
kepulauan, kecuali pada alur-alur khusus di mana akan berlaku hak lintas alur laut
kepualauan.
Sudah dapat diduga bahwa negara-negara maritim tetap berusaha untuk
mempertahankan hak lintas bebas bagi kapal-kapalnya dalam perkembangannya
kemudian, sikap Negara-negara maritim pu berkembang dan bergerak sehingga
mencapai pandangan yang hampir mendekati pandangan Negara-negara
kepulaauan, yaitu berupa pembentukan suatu rejim yang dualistis juga.
Perbedaannya adalah bahwa negara-negara maritim mengusulkan agar rejim
lintas yang berlaku pada alur-alur laut khusus tersebut bukannya hak lintas alur
122
122
122
laut kepualauan melainkan hak lintas bebas. Pada akhirnya hasil yang dicapai
tidak jauh bebeda dengan perundingan tentang rejim pelayaran melaui selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional, yaitu melainkan ketentuan-ketentuan
tentang hak lintas damai Pasal 52 dan hak lintas alur laut kepulauan pasal 53
(3). Harus mencantumkan secara jelas sumbu dari alur-alur laut dan
skema pemisah lalu-lintas yang telah ditetapkannya tersebut pada
peta-peta yang harus diumumkan sebagaimana mestinya.
Khusus bagi kapal-kapal, pada waktu melakukan hak lintas alur laut
kepulauan, ketentuan-ketentuan dibawah ini harus dipatuhi, yaitu :
(1). Memenuhi aturan hukum internasional yang diterima secara umum,
prosedur praktek tentang keselamatan dilaut termasuk Peraturan
Internasional tentang pencegahan Tubrukan dilaut;
(2). Memenuhi peraturan internasional yang diterima secara umum, prosedur
dan praktek tentang pencegahan, pengurangan dan pengendalian
pencemaran yang berasal dari kapal.
Bagi pesawat udara dikenakan ketentuan yang berbeda yaitu pada waktu
melakukan hak lintas penerbangan di atas perairan kepulauan, diharuskan untuk :
(1). Menaati Peraturan Udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan
Internasional (internasional Civil Aviation Organization) sepanjang berlaku
bagi pesawat udara sipil; pesawat udara pemerintah biasanya memenuhi
tindakan keselematan demikian dan setiap waktu beroperasi dengan
mengindahkan keselamatan penerbangan sebagaimana mestinya;
(2). Setiap waktu memantau frekuensi radio yang ditunjuk oleh Otorita
Pengawas Lalu Lintas Udara (Air Traffic Controller) yang berwenang yang
ditetapkan secara internasional atau oleh frekuensi radio darurat
internasional yang tepat.
Pokok-pokok utama dari pengaturan yang dapat dirinci oleh ketentuan-
ketentuan tersebut diatas dapat digambarkan dalam bentuk kewajiban-kewajiban
yang harus dipatuhi baik oleh kapal-kapal maupun pesawat udara, yaitu untuk:
(1). Melakukan lintasan yang cepat;
(2). Mencegah timbulnya ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap
Negara kepulaun;
126
126
126
Memang ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa perbedaan ini tidak
akan menimbulkan pelaksanaan yang berbeda dalam praktek, karena pada
dasarnya rejim yang dimaksudkan adalah unimpeded passage. Akan tetapi
apabila dilihat perbedaan wilayah perairan yang sempit sedangkan yang satunya
lagi cukup luas, pelaksanaannya dalam praktek tentu akan menimbulkan
perbedaan.
Jhon Norton MOORE misalnya, mengemukakan argumentasi yang berbeda
dengan menyatakan bahwa pada garis besarnya kedua konsepsi tentang hak
lintas itu adalah sama, termasuk juga hak untuk melakukan lintas penerbagan,
dan hak bagi kapal selam untuk berlayar dibawah permukaan air. MOORE
menyimpulkan bahwa naskah ICNT yang telah disetujui pada waktu itu merupakan
suatu pencerminan dari apa yang telah terjadi dalam perundingan tentang Negara
kepualauan tersebut. Ketentuan – ketentuan tentang Negara kepulauan sepertu
yang tercantum dalam ICNT menunjukkan bahwa Konperensi Hukum Laut III tidak
akan begitu saja menerima konsepsi mid-ocean archipelago yang kemudian
melahirkan konsepsi Negara kepulauan, tanpa adanya jaminan hak istimewa bagi
kapal selam.
Seorang penulis lain, morris F.MADURO, memberikan penafsiran yang
berbeda dan menganggap bahwa kalau disatu pihak hak lintas transit
mengandung pengertian yang mencakup pelayaran (lintasan) dibawah permukaan
air, hak lintas alur laut kepulauan yang menggunakan istilah in the normal mode,
dapat diinterpretasikan sebagai hanya memperkenankan lintasan diatas
permukaan air. Terlebih – lebih dengan adanya hak Negara kepulauan untuk
menetapkan pengaturan tentang keselamtan pelayaran.
Akan tetapi tampaknya akan lebih banyak penulis yang berpendapat bahwa
hak lintas alur laut kepulauan mempunyai derajat yang sama dengan hak lintas
transit, oleh karena hak lintas transit mengadung unsur kebebasan pelayaran, dan
dengan demikian meluangkan hak kapal selam untuk berlayar dibawah
permukaan air, maka hal yang samapun dapat dibenarkan pada pelaksanaan hak
lintas alur laut kepulauan. Hal tersebut lebih ditegaskan lagi oleh penulis-penulis
yang menggaris bawahi istilah in the normal mode dan menyimpulkannya bahwa
kapal selam secara normal berlayar dibawah permukaan air.
129
129
129
e. Kesimpulan
Oleh karena adanya persamaan pengaturan dalam pelaksanaan kedua hak
lintas tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa keduanya mengandung pokok
pengaturan yang berbeda, sehingga hak lintas alur lau kepulauan tidak selalu
identik dengan hak lintas transit, seperti tampak dalam pokok-pokok pengaturan
tentang hak lintas alur laut kepulauan dibawah ini:
(1). Tidak ada persyaratan untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan tertentu;
(2). Tidak terdapat ketentuan yang secara eksplisit mengharuskan kapal selam
untuk berlayar dipermukaan air;
(3). Hak lintas penerbangan bagi pesawat udara diakui;
(4). Kapal-kapal perang mempunyai imunitas terhadap ketentuan-ketentuan
konvensi tentang pencegahan pencemaran dan pelestarian lingkungan laut;
(5). Tidak ada keharusan untuk meminta izin atau memberitahukan terlebih
dahulu;
(6). Tidak ada penangguhan terhadap hak lintas alur laut kepualaun;
(7). Negara pantai tidak mempunyai hak untuk mencegah atau menghalangi
lintasan oleh kapal-kapal asing;
(8). Negara bendera kapal atau Negara tempat pesawat undara terdaftar
bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh
pelaksanaan hak lintas alur laut kepualauan;
(9). Kapal-kapal diwajibkan untuk mematuhi peraturan perundang-undangan
Negara kepulauan tentang hak lintas alur laut kepualauan.
(10). Hak lintas alur laut kepulauan hanya dapat dilaksanakan pada laur-alur laut
yang ditetapkan oleh Negara kepulauan untuk itu. Setiap penyimpangan
(deviasi) dari garis sumbu pada alur-alur laut tersebut dikenakan
persyaratan-persyaratan teknis.
c. Penutup
evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
pembelajaran ke 6 dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhir perkuliahan
yang dikemas dalam beberapa pertanyaan seperti :
1. Apa perbedaan antara ke tiga lintas pelayaran yang berlaku di Indonesia
2. Apa saja persyaratan untuk melakukan lintas akan laut kepulauan?
130
130
130
3. Selat mana saja di Indonesia yang dapat dilayari dengan lintas transit
4. Apa latar belakang munculnya lintas transit?
Daftar Bacaan
Etty. R. Agoes, Konvensi Hukum Laut 1982, Masalah Pengaturan Hak Lintas
Kapal Asing, Abardin 1991.
Mochtar Kusumaatmadj, Hukum Laut Internasional, Bandung: Bina cipta, 1986.
131
131
131
BAB 8
BAHAN PEMBELAJARAN 7
A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembeljaran yang hendak di capai pada minggu ke 9 bahwa
“mahasiswa dapat menjelaskan pengaturan hukum keselamatan pelayaran
(safety of navigation).” Sasaran pembelajaran demi aktual hendak dicapai
dengan menggunakan afrategi pembelajaran berupa kuliah interaktif dan
diskusi kelas serta studi kasus (case study).
Kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik
adalah kemampuan mengemukakan dan menjelaskan fakta mengenai
keselamatan pelayaran, ketetapan menggunakan teori dalam menganalisis
fakta terkait dengan ISPS dan penerapannya, serta partisipasi individual
dalam diskusi kelas. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit
dengan media modul sebagai pengamatan yang diberikan bagi peserta didik.
B. Uraian
Pelayaran merupakan salah satu penggunaan laut yang paling tua dan
tetap menjadi salah satu unsure yang penting. Kebutuhan akan pengaturan
dibidang pelayaran meliputi aspek kelayakan kapal untuk berlayar; standard
penempakan awak; sarana bantuan pelayaran; dan pencegahan tubrukan
dan trayek kapal.
Kelayakan Kapal
Standar kelayakan merupakan aspek, yang pasti karena fakta bahwa
laut dan angin (bahaya laut) dapat mengerahkan pasukan tak terpikirkan.
Tapi, secara umum dipahami sebagai suatu keterampilan kekuatan, daya
tahan dan teknik merupakan bagian dari konstruksi kapal dan pemeliharaan
melanjutkan, bersama dengan awak kapal yang kompeten, yang memiliki
kemampuan untuk berdiri bahaya unsur-unsur yang dapat cukup ditemui atau
diharapkan selama pelayaran tanpa kehilangan atau kerusakan pada kargo
132
132
132
tertentu dari sebuah kapal. Sebuah kapal yang laik laut tidak berarti bahwa
23
kapal tersebut tidak memiliki kemungkinan untuk tidak tenggelam.
Oleh karena itu, hal terpenting yang harus dikedepankan mengenai
suatu kapal yaitu kelayakan kapal tersebut untuk berlayar. Beberapa hal yang
harus diperhatikan sehubungan dengan kelayakan dimaksud, seperti:
a. keselamatan kapal;
b. pencegahan pencemaran dari kapal;
c. pengawakan kapal;
d. garis muat kapal dan pemuatan;
e. kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang;
f. status hukum kapal;
g. manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal; dan
h. manajemen keamanan kapal.
Pemenuhan setiap persyaratan kelaiklautan kapal sebagaimana dimaksud di
atas harus dibuktikan dengan sertifikat dan surat kapal.24
Telah dibentuk International safety management (ISM Code) dalam
kaitannya dengan pengoperasian kapal yang telah menyebabkan keraguan
dan kecemasan di antara pemilik kapal, operator dan manajer. Dalam konteks
ini, efek hukum ISM Code dan tindakan yang diperlukan pemilik kapal lokal
untuk mematuhi Kode Etik. ISM Code dimaksudkan untuk memastikan
keselamatan di laut, mencegah cedera manusia atau hilangnya nyawa, dan
menghindari kerusakan lingkungan, khususnya lingkungan laut, dan properti.
Kode ini telah ditambahkan sebagai Bab IX dari Konvensi Internasional untuk
Keselamatan Jiwa di Laut (SOLAS) 1974, dan memiliki akibat hukum di tanah,
sebagai Negara Pihak pada Konvensi. Kode ini ditujukan untuk mewujudkan
23
R. R. Churchill & A.V. Lowe, The Law of the Sea, (Manchester: Manchester University Press,
1999), p. 255-256.
24
Sertifikat kapal tidak berlaku apabila:
a. masa berlaku sudah berakhir;
b. tidak melaksanakan pengukuhan sertifikat (endorsement);
c. kapal rusak dan dinyatakan tidak memenuhi persyaratan keselamatan kapal;
d. kapal berubah nama;
e. kapal berganti bendera;
f. kapal tidak sesuai lagi dengan data teknis dalam sertifikat keselamatan kapal;
g. kapal mengalami perombakan yang mengakibatkan perubahan konstruksi kapal,
perubahan ukuran utama kapal, perubahan fungsi atau jenis kapal;
h. kapal tenggelam atau hilang; atau
i. kapal ditutuh (scrapping).
133
133
133
dan kapal kapal, termasuk kesiapan untuk keadaan darurat baik tentang
perlindungan keselamatan dan lingkungan.
Secara garis besarnya, dapat dikatakan bahwa dalam konteks kelayakan
kapal untuk berlayar, International Maritime Organization (IMO), Desember
2002, telah menerapkan International Ships and Port Facility Security (ISPS)
Code atau Kode Internasional yang mengatur tentang keamanan kapal dan
fasilitas pelabuhan. ISPS inilah yang menjadi rambu dalam mengatur tentang
keselamatan kapal.
Disamping beberapa prasyarat yang harus terpenuhi sebagaimana
disebutkan di atas, hal lain yang tidak dapat diabaikan dalam praktek adalah
nasionalitas kapal. Nasionalitas kapal memainkan peranan yang vital dalam
pelayaran karena menyoal tentang jurisdiksi negara mana yang berlaku atas
kapal tersebut, termasuk didalamnya negara mana yang bertanggung jawab
atas kapal apabila terjadi kasus dimana tindakan yang dilakukan di atau oleh
kapal tersebut merupakan atribusi negara, dan perlindungan diplomatic atas
nama kapal dimaksud.25
Negara biasanya menjamin nasionalitas kapal dengan cara
mendaftarkannya dan mengotorisasi kapal tersebut dengan cara
mengibarkan bendera di atas kapal (bendera kapal). Dalam hal ini, negara
pendaftar atau bendera kapal memiliki kesamaan bagi negara dimana
nasionalitas kapal berlaku, termasuk apakah hukum internasional atau aturan
lainnya berlaku untuk keadaan di mana suatu negara menjamin nasionalitas
kapal dimaksud. Pasal 5 Konvensi mengenai Laut Lepas 1958 menyebutkan
25
R. Pinto, Flag of Convenience, 87 Journal du Droit International, 344-69 (1960).
134
134
134
Crew Kapal
Salah satu komponen pelayaran yang sangat berarti penting yaitu awak
kapal. Para kru harus menjadi awak yang efisien dan kompeten. Kondisi ini
menjadi salah satu faktor prinsip dalam menentukan kelayakan kapal. Hal itu
terlihat dalam kasus Hong Kong Shipping Co Ltd Fir v. Kawasaki Kisen
Kaisha Ltd. Dalam kasus ini terlihat bahwa mesin diesel kapal bersama
dengan mesin lain dalam rangka cukup baik. Namun karena alasan usia
mereka, mesin harus dipertahankan oleh staf, berpengalaman kompeten,
mesin-mati dan memadai kamar. Bahkan staf ruang mesin tidak kompeten,
dengan mesin kepala kecanduan minuman keras, sehingga kapal dinyatakan
layak
Menurut Konvensi ILO No. 147 tahun 1976 tentang Standar Minimum
Awak Kapal disebutkan bahwa “setiap negara naggota Konvensi harus
menjamin bahwa awak kapal yang dipekerjakan atas kapal yang terdaftar
dalam wilayahnya memiliki kualifikasi atau keahlian atas pekerjaan yang
menjadi tanggung jawabnya.26 Hal yang sama juga disebutkan pada Pasal 94
ayat 4 Konvensi Hukum Laut yang menyebutkan bahwa negara bendera
harus menjamin bahwa setiap kapalnya memiliki nahkoda dan awak kapal
yang berkualitas (appropriate qualifications). Dalam ranah yang dimaksud,
telah dibuat suatu Konvensi yang membidangi standar pelatihan yang disebut
dengan Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping
for Seafarers (the STCW Convention). STCW Convention meletakkan syarat-
syarat wajib minimum yang mesti dipunyai oleh nahkoda dan awak kapal
dalam melaksanakan dan mengawasi pelayaran.
26
R. R. Churchill & A.V. Lowe, op.cit, p. 269.
135
135
135
C. Penutup
136
136
136
Daftar Bacaan
R. R. Churchill & A.V. Lowe, The Law of the Sea, Manchester: Manchester
University Press, 1999.
R. Pinto, Flag of Convenience, 87 Journal du Droit International, 344-69
(1960).
137
137
137
BAB 9
BAHAN PEMBELAJARAN 8
A. Sasaran Pembelajaran
Ujian tengah Semester
B. Uraian:
Pelaksanaan ujian tengah semester dilaksanakan dengan memberikan
tugas berupa makalah individu yang dipilih dari materi hukum laut yang telah
dipelajari. Adapaun criteria penilaian berupa Isi Makalah; Organisasi makalah;
Kesesuaian antara teori dan kasus serta analisis; dan Ketepatan waktu.
C. Penutup
Kriteria evaluasi adalah makalah individu.
138
138
138
BAB 10
BAHAN PEMBELAJARAN 9
A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembeljaran yang hendak di capai pada minggu ke 9
bahwa “mahasiswa dapat menjelaskan keselamatan atau keamanan kapal
maupun pelabuhan (international ship and port facilities security code).”
Sasaran pembelajaran demi actual hendak dicapai dengan menggunakan
afrategi pembelajaran berupa kuliah interaktif dan diskusi kelas serta studi
kasus (case study).
Kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik
adalah kemampuan mengemukakan dan menjelaskan fakta mengenai standar
keamanan kapal dan pelabuhan, ketetapan menggunakan teori dalam
menganalisis fakta terkait dengan ISPS dan penerapannya, serta partisipasi
individual dalam diskusi kelas. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama
100 menit dengan media modul sebagai pengamatan yang diberikan bagi
peserta didik.
B. Uraian
Pasca serangan bom di WTC New York pada tanggal 11 september
2001, Negara maju terutama Amerika Serikat gencar melaksanakan
kampanye untuk memerangi tindakan teroris dan segala aspeknya. Hal ini pun
dilakukan dibidang maritime. Kejahatan lintas Negara yang memiliki delapan
kategori, lima diantaranya terjadi dan dilaksanakan melalui laut seperti
peredaran obat terlarang, penyelundupan/ perdagangan manusia,
perompakan, penyeludupan senjata dan terorisme. Obat terlarang,
penyelundupan/perdagangan manusia, perompakan, penyelundupan senjata
dan terorisme.
International Maritime Organization (IMO), Desember 2002, telah
menerapkan International Ships and Port Facility Security ( ISPS ) Code atau
Kode Internasional yang mengatur tentang keamanan kapal dan fasilitas
pelabuhan. Peraturan baru ini bertujuan mendeteksi ancaman keamanan,
sekaligus mencegah insiden kemanan dilaut dan pelabuhan.
139
139
139
Kelengkapan kapal :
1. International Ship Security ( ISSC ).
2. Automatic Identification System ( AIS ).
3. Ship Security Alert System ( SSAS ) .
4. Declaration of Security ( DOS ).
Persiapan Pelabuhan :
1. Port Facility Security Assessement ( PPSA ).
2. Port Facility Security Officer( PFCO ).
3. Port Facility Security Plan ( PFSP ).
4. Operational and Physical Security Measures.
5. Training.
6. Declaration of Security.
Sanksi
Bila pelabuhan–pelabuhan Indonesia ( dan kapal–kapal berbendera Indonesia )
tidak menerapkan ISPS Code, maka sanksi internasional yang akan dijatuhkan
sangat berat, yakni pelabuhan tersebut tidak akan disinggahi kapal dari luar negeri
dan kapal–kapal ( berbendera Indonesia ) tidak akan diperkenankan masuk
pelabuhan diluar negeri.
142
142
142
Penerapan ISPS Code di Pelabuhan Tanjun Priok
Berkenaan dengan implementasi ISPS Code dimaksud, Manajemen PT
(Persero) pelabuhan Indonesia II, telah menunjuk PT. Berau Veritas Indonesia
sebagai Recognized Security Organization (RSO) untuk melakukan Assement
terhadap Pengamanan fasilitas Pelbuhan (PSFA) dan membuat Rancangan
Pengamanan Fasilitas Pelabuhan PFSP) untuk diserahkan dan disetujui oleh
Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Kementerian Perhubungan sebagai
Designated Authoruty (DA ). Dari aspek kesisteman manajemen, CabangTanjung
Priok sedang melakukan Inventarisasi pendataan dan penataan ulang terhadap
seluruh kapal – kapal domestic ( dalam negeri ) dan ocean going ( International ).
Berdasarkan hasil Assement Pengamanan Fasilitas Pelbuhan, Pelabuhan
Tanjung Priok di bagi menjadi 7 wilayah pengamanan yang terdiri atas terminal
Konvensional Pelabuhan Tanjung Priok, PT. JICT, PT TPK Koja, PT. Pertamina
Unit Pemsaran III, PT. Indofod Sukses Makmur Bogasari Flour Mills, PT. DOK dan
Perkapalan Kodja dan PT. Dharma Karya Perdana.
Hasil Assessment Pengamanan Fasilitas Pelbuhan ( PFSA ) di Terminal
Konvensional Pelabuhan Tanjung Priok, pada tahap awal dititikberatkan di area
Pelbuhan Nusantara, Pelabuhan I, Pelabuhan II dan gedung PT ( persero )
Pelbuhan Indonesia II yang kemudian akan diperluas ke area Lini II dengan sistem
dan prosedur pengamanan yang sama dengan area Lini I.
Ketentuan yang diatur di dalam Rancangan Pengamanan Fasilitas
Pelabuhan (PFSP) antara lain memuat sistem dan prosedur pengamanan yang
meliputi prosedur pengamanan masuk Lini II, prosedur masuk Lini I, Prosedur
pengiriman kebutuhan barang kapal, prosedur pengawasan keamanan fasilitas
pelabuhan dan prosedur masuk gedung PT. ( Persero ) Pelabuhan Indonesia II.
Untuk penerapan Rancangan Pengaman Fasilitas Pelabuhan ( PFSP )
dimaksud, manajemen Tanjung Priok telah melakukan pembenahan pos–pos dan
pagar area ( dilakukan pemagaran area dengan ketinggian minimal 2,5 meter,
sesuai persyaratan dalam ISPS Code ) yang panjangnya 3 km lebih ( catatan
sementara pagar yang ada saat ini ketinggiannya baru sekitar 2 meter ) Lini I
maupun Lini II, pemberian rambu warna merah ( sebagai tanda restricted area )
dipagar area Lini I, pemasangan tanda peringatan”area terbatas” diseluruh pintu
masuk area Lini I, pengadaan pass orang (berupa pass tamu sebanyak 500 buah),
143
143
143
saluran hotline service sementara di nomor 4301080 ext 2020 atau fax 439222
untuk melayani apabila terjadi kendala/hambatan atas pelaksanaan ISPS Code ini.
tentang kepelabuhanan) adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan
sekitarnya, dengan batas–batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintah dan
kegaiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh,
naiuk turun penumpang dan atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatn pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai
tempat perpindahan intra danantar moda transportasi.
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulakan (meskipun sementara) bahwa
merupakan suatu pekerjaan yang besar untuk dapat mewujudkan diterapkannya
ISPS Code (dipelabuhan), terutama di bidang dana (yang sangat tidak sedikit)
untuk membeli sarana–sarana dan peralatan yang canggih, belum lagi harus
menyiapkan petugas–petugas pengamanan yang terlatih. Sebagai informasi
honorarium FSO/ Konsultan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya adalah Rp. 1
M. meskipun Tanjung Priok yang menjadi pelabuhan terdepan di Negara ini,
namun masih mempunyai banyak sekali kelemahan – kelemahan yang harus
ditiadakan bila mematuhi ketentuan internasional mengenai ISPS Code.
C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
meteri pembelajaran ke 9 dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhiri
perkuliahan yang dikumas dalam beberapa pertanyaan seperti :
1. Mengapa ISPS Code dibutuhkan padahal menyangkut
keselamatan,bagi kapal dagang dan penumpang di seluruh dunia telah
diatas dalam Internasional Safety af Live at Sea ( SOLAS ) 1974?
2. Apa sanksi bila pelabuhan Indonesia dan kapal – kapal berbendara
Indonesia tidak menerapkan ISPS Code ?
3. Apa konsekuensi pelaksanaan ISPS code bagi pemerintah ?
Daftar Bacaan
Chandra Motik yusuf Djemaah, ISPS Code Diterapkan Di Pelabuhan
Perikanan Samudra Jakarta, Mungkinkah? Jurnal Hukum
Internasional, vol 2 No. 3 April 2005.
SOLAS Convention 1974
Kompas 22 Juni 2004, Halaman 15.
146
146
146
BAB 11
BAHAN PEMBELAJARAN 10
A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu X bahwa
“Mahasiswa dapat menjelaskan prinsip-prinsip dasar mengenai perlindungan
dan pelestarian lingkungan laut”. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak
dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa discovery learning
dengan small group work, kuliah interaktif, dan diskusi.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta
didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut; Partisipasi dalam diskusi; Kerjasama tim;
Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit
dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan pada peserta didik.
B. Uraian:
Perlindungan dan pelestarian lingkungan diatur dalam pasal 145
UNCLOS 1982.27 Ketentuan ini memuat peraturan-peraturan pelestarian
lingkungan laut dan pencegahan pencemaran lingkungan laut. Konvensi ini
menyebutkan bahwa negara-negara berkewajiban untuk melindungi dan
memelihara lingkungan laut (pasal 192), disamping hak negara-negara
tersebut untuk mengeksplosit kekayaan alam mereka (pasal 193).
Negara-negara berkewajiban untuk mengambil segala tindakan guna
mencegah, mengurangi dan mengawasi pencemaran lingkungan laut {Pasal
194 (ayat 1)} dan harus mengambil segala tindakan yang perlu agar
perbuatan-perbuatan yang dilakukan di bawah yurisdiksinya tidak
menimbulkan polusi terhadap negara lain atau terhadap daerah di luar
yurisdiksinya {Pasal 194 (ayat 2)}.
Negara-negara harus berkewajiban secara global atau regional untuk
merumuskan aturan-aturan, standar dan praktek yang direkomendasikan
untuk melindungi lingkungan laut (Pasal 197). Negara-negara harus
27
D.J. Harris, Cases nd Materials on International Law, (London: Sweet & Maxwell, 1998), p.
419-455.
147
147
147
Banjir Floods
Sumber: Patricia Parkinson, Perubahan Iklim dan Hukum Lingkungan Internasional, 2007.
28
Komar Kantaatmadja, Bunga Rampai Hukum Lingkungan Laut Internasional, (Bandung:
Alumni, 1982), hlm. 13-27.
148
148
148
Sumber: Patricia Parkinson, Perubahan Iklim dan Hukum Lingkungan Internasional, 2007.
Congress dan diadopsi oleh IUCN pada 1 7th general Assembly pada tahun
1988, yaitu sebagai berikut:
Suatu kawasan laut atau paparan subtidal, termasuk perairan yang
menutupinya,flora,fauna, sisi sejarah dan budaya, yang terkait di
dalamnya,dan telah dilindungi oleh hukum atau peraturan lainnya
untuk melindungi sebagian atau seluruhnya lingkungan tersebut.
29
Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), Makassar: Fakultas
Hukum Unhas, 2007, hlm. 203-205.. Lihat juga Patricia W. Birnie & Alan E. Boyle, International Law and
the Environment, (Oxford: Clarendon, 1995), p. 490.
150
150
150
30
Ibid, hlm. 208-210.
152
152
152
C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
materi pembelajaran kesepuluh dilakukan dalam bentuk makalah dengan
menganalisis beberapa kasus seperti:
1. Kasus Showa Maru, 1975.
2. Kasus tumpahan minyak di perairan Natuna, 2000.
Daftar Bacaan
Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar),
Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007.
D.J. Harris, Cases nd Materials on International Law, London: Sweet &
Maxwell, 1998.
Komar Kantaatmadja, Bunga Rampai Hukum Lingkungan Laut
Internasional, Bandung: Alumni, 1982.
Patricia W. Birnie & Alan E. Boyle, International Law and the Environment,
Oxford: Clarendon, 1995.
153
153
153
BAB 12
BAHAN PEMBELAJARAN 11
A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu X bahwa
“Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian dan sumber-sumber pencemaran
laut”. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan
strategi pembelajaran berupa discovery learning dengan small group work,
kuliah interaktif, dan diskusi.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta
didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut; Partisipasi dalam diskusi; Kerjasama tim;
Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit
dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan pada peserta didik.
B. Uraian:
1. Pengertian dan Sumber Pencemaran Laut
Sebelum menjelaskan tentang pengertian pencemaran secara detail,
hal menarik yang penting untuk diuraikan terlebih dahulu yaitu istilah
pencemaran pertama kali digunakan dalam studi literatur Indonesia yakni
pada seminar Biologi II di Ciawi Bogor pada tahun 1970,31 yang merupakan
terjemahan atas istilah asing “pollution”. Secara resmi, istilah pencemaran
ini digunakan dalam pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 16 Agustus 1972 di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.32
Pencemaran memiliki banyak dimensi yang melingkupinya.
Pencemaran tidak hanya diartikan dalam arti yang sempit, akan tetapi ia
memiliki makna yang luas. Secara garis besar pencemaran dalam konteks
hukum lingkungan dapat dibedakan atas pencemaran lingkungan;
pencemaran daratan, pencemaran air; pencemaran laut; pencemaran
31
Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan : Sistem Hukum Pencemaran, (Bandung: Bina
Cipta, 1986), hlm. 30
32
Ibid.
154
154
154
udara; dan pencemaran angkasa. Dalam konteks ini yang menjadi fokus
pembelajaran disini yaitu pencemaran laut.
Menurut Komar Kantaatmadja33, pencemaran laut adalah masuknya ke
laut zat zat pencemaran dari lautan sendiri dan yang dibawa dan berasal
dari darat. Dalam hal ini, pencemaran laut yang bersumber dari
pencemaran laut sendiri dapat berasal dari dari:34
a. Kapal berupa pembuangan minyak yang merupakan pembuangan rutin;
berasal dari pembersihan tangki kapal; kebocoran kapal; kecelakaan
kapal yang berakibat kapal menjadi pecah, kapal menjadi kandas, dan
atau tabarakan kapal.
b. Instalasi minyak di lautan yang mungkin mengalami kebocoran atau
rusak.
Adapun pencemaran laut yang berasal dari darat dapat berupa:
a. Pencemaran melalui udara;
b. Pembuangan sampah ke laut (dumping);
c. Pembuangan air buangan sungai; dan
d. Pembuangan air buangan industri.
Pemahaman mengenai efek yang ditimbulkan dari pencemaran laut
sangatlah penting untuk diketahui oleh seluruh stakeholders. Stakeholders
pada dasarnya merupakan subyek pencemaran laut yang dalam hal ini
sebagai pelaku pencemaran laut yang secara hukum dapat dikenai dan
dimintai pertanggungjawaban dari akibat-akibat pencemaran laut.
Pemahaman tentang pengertian pencemaran laut juga penting untuk
diselaraskan. Bukan hanya memahami gambaran sumber-sumber
pencemaran laut sebagaimana telah dijelaskan di atas, tetapi lebih dari itu
pelaku pencemaran laut memahami dampak hukum yang timbul akibat
aktifitas pencemaran yang dilakukannya.35
Pencemaran laut yang dimaksudkan disini yaitu terjadinya peruban
pada lingkungan laut yang terjadi sebagai akibat dimasukkannya oleh
33
Komar Kantaatmadja, Ganti Rugi Internasional Pencemaran Minyak di Laut, (Bandung:
Alumni, 1981), hlm. 14.
34
Ibid. lihat juga Alma Manuputty, State Cooperation In Combating Transboundary Air Pollution,
Jurnal Hukum Internasional “Jurisdictionary”, Vol. V No. 1 Juni 2009, hlm. 24.
35
Ibid, hlm. 16.
155
155
155
C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
materi pembelajaran kesebelas dilakukan dalam bentuk makalah dengan
menganalisis beberapa kasus Newmont dan Kasus tumpahan minyak di
perairan Natuna,. Dalam hal ini analisisnya diletakkan pada upaya eksaminasi
atas putusan kedua kasus yang telah mendapat memperoleh kekuatan hukum
yang tetap (incraht).
36
Mochtar Kusumaatmadja, Pencemaran Laut dan Pengaturan Hukumnya, (Bandung:
Universitas Padjajaran, 1977), hlm. 5.
37
Komar Kantaatmadja, op.cit., hlm. 18.
156
156
156
Daftar Bacaan
Alma Manuputty, State Cooperation In Combating Transboundary Air Pollution,
Jurnal Hukum Internasional “Jurisdictionary”, Vol. V No. 1 Juni 2009
: 24.
Komar Kantaatmadja, Ganti Rugi Internasional Pencemaran Minyak di
Laut, Bandung: Alumni, 1981.
Mochtar Kusumaatmadja, Pencemaran Laut dan Pengaturan Hukumnya,
Bandung: Universitas Padjajaran, 1977.
Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan : Sistem Hukum Pencemaran,
Bandung: Bina Cipta, 1986.
157
157
157
BAB 13
BAHAN PEMBELAJARAN 12 dan 13
A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke 12 dan 13
adalah mahasiswa dapat menjelaskan pengertian harta karena serta berbagai
istilah terkait serta pengaturannya baik pengaturan internasional maupun nasional.
Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi
pembelajaran berupa kuliah interaktif, studi kasus dan diskusi kelas.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik
yaitu partisipasi dalam diskusi, kejelasan dalam mengungkapkan pendapat dan
ketepatan dalam menguraikan teori pembelajaran akan dilaksanakan selama 100
menit untuk masing – masing pembelajaran dengan media modul bagi masing–
masing pembelajaran sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta didik.
B. Uraian
Peraturan perundang–undangan yang ada kaitannya dengan pengangkatan
dan pemanfaatan benda–benda berharga di dasar laut perairan Indonesia.
Peraturan perundan –undangan yang ada kaitannya dengan penangkatan dan
pemanfaatan benda–benda berharga di dasar laut perairan Indonesia yaitu
Monument Ordonnantie STb.238 tahun 1931 dengan berbagai implementasinya
berupa instruksi–instruksi pimpinan–pimpinan kita ketahui bahwa dalam
KEPPRES Nomor 43 tahun 1981 pasal 1 yang dimaksudkan dengan benda
berharga adalah benda yang mempunyai nilai sejarah, budaya, ekonomi dan
lainnya. Dari pengertian tersebut jelas dapat kita kaitkan dengan apa yang menjadi
kriteria dalam pasal 1 ayat (1a ) Monument Ordonnantie Stb. 238 tahun 1931
sebagaiman kami kutip di bawah ini.
“ Onder monument worden in deze ordonnantie verstaan :
a. Door menschenhand tot stand gekomen ontroerende of roerrende
zaken, deelen of groepen van zaken, dan wel overblif selen daarvan,
die in hoofdzaakkourder zijn dan 50 jaar of tot een ten minste 50 jaar
oude stijil – periode behooren en voor de praehistorie, gescheidenis
of kunst van groot belang worden geacht”;
(terjemahan bebas)
158
158
158
(Terjemahan bebas)
“ Dilarang mengeksport dari Hindia Belanda (Kini Republik Indonesia) tanpa
ijin Kepala Dinas Purbakala (kini direktur Perlindungan dan Pembinaan
Peninggalan sejarah Purbakala) benda–benda yang dicacat sementara atau
tetap di dalam daftar monument umum pusat atau yang sesuai dengan pasal
8 ayat (2) dianggap di catat sementara maupun benda – benda yang berasal
dar jaman sebelum Islam, meskipun tidak tercatat pada daftar tersebut.
perundang–undangan yang sudah ada tetap berlaku. Karen itu terkoordinasi maka
untuk pelaksanaan JUKLAK Ketua Panitia Nasional, masing–masing Departemen
atau Instansi di haruskan membuat keputusan tentang cara pelaksanaan di
bidangnya masing–masing tetapi yang jelas harusbersifat koordinatif dan
interagtif.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam hubungan ini telah
menerbitkan surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No.
9834/O/1989 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengangkatan Benda–benda
Berharga khususnya yang berhubungan dengan Benda Cagar Budaya di Wilayah
Perairan Indonesia. Dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
tersebut tentang penelitian Arkeologi bawah air ditegaskan bahwa ijin penelitian
arkeologi bawah air ditujukan kepada Panitia nasional tetapi dengan rekomendasi
dar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kecuali untuk penelitian terhadap benda
hasil pengangkatan benda berharga dilakukan oleh suatu Tim Penilaian Benda
Cagar Budaya. Hal ini dicantumkan pada surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Bab IV, Pasal 4. Dengan demikian di harapakan kepentingan dunia
pengetahuan dan sejarah, arkeologi bawah air akan lebih diperhatikan.
Dengan adanya KEPRES No. 43 tahun 1989 agaknya lebih
terkoordinasikan hal–hal atau masalah–masalah benda–benda berharga
koordinasikan hal–hal atau masalah–masalah benda–benda berharga termasuk
benda–benda historis atau arkeologis itu. Namun demikian tentu masih ada
beberapa hal yang masih merupakan masalah karena dalam KEPRES No. 43
tersebut terutama bagi dunia arkeologi bawah air dan kaitannya juga dengan
peraturan perundang –undangan lainnya belum mantap betu. Suatu contoh dalam
KEPRES Pasal 1 butir b disebutkan kapal yang tenggelam adalah kapal VOC,
Portugis, Spanyol, yang tenggelam, dan kapal lain waktu perang Dunia II
tenggelam di dasar laut di Wilayah Perairan Indonesia.
Dari alinea itu masih dapat menimbulkan pertanyaan: bagaiman dengan
kapal–kapal diluar yang disebut, misalnya kapal–kapal zaman sriwijaya,
Majapahit, Mataram dan lain sebagainya ? bahkan bagaiman dengan kapal Cina
dari masa dinasti T’ang, Yuang, Ming, Ching dan sebagainya. Bagaimanakah jika
kerangka kapal–kapal yang ditetapkan tersebut tidak boleh diangkat? Padahal
untuk penelitian arkeologi bawah air bentuk–bentuk kapal diperlukan untuk
163
163
163
meneliti sejauh mana teknologi pembuatan perkapalan itu. Jika ditemukan sebuah
kapal dan muatannya dari zaman Sailendra atau Sriwijaya maka penting diketahui
bagaimana sebenarnya bentuk dan teknik pembuatnnya? Apakah sama dengan
apa yang terdapat pada gambaran atau relief kapal di Candi Borobudur ? hal–hal
itu semuanya kita perlukan untuk mengadakan terus menerus penelitian, dan
kesempatan adalah pada underwater archeology.
Kita sadar bahwa Wawasan Nusantara yang tidak terlepas dari masalah
kemaritiman, kelautan memerlukan penerapannya dalam bentuk atau cara antar
lain mengadakan penelitian kandungan dasar lautan kita terutama dari segi marine
archeology. Kemanfaatan yang besar bukan hanya metrinya tetapi juga dari segi
keilmuwan yang dapat menjadi dan membntuk Wawasan Kebaharian yang kuat
pada bangsa sesuai apa yang pernah dihimbau oleh Mochtar Kusumaatmadja
dalam ceramahnya “Bahan ceramah Menteri Luar negeri: Dalam
Pengimplemantasian Wawasan Nusantara” pada rapat Rektor Universitas / Instuti
Negri seluruh Indonesia tanggal 28 Februari s.d 2 Maret 1979 di Jakarta, Beliau
berkata dalam kesimpulannya:
“ Bahwa segala unsure bagi diwujudkannya Wawasan Kesatuan Bangsa dan
Negara itu kini telah tersedia yakni : (1) Unsur kesatuan wilayah,(2) Unsur
Komunikasi,dan (3) Unsur Perencanaan. Yang harus dilakukan kini adalah
penjbaran dan pemanfataannya dari pad aide pembinaan bangsa – bangsa
berdasarkan konsepsi kesatuan di setiap bidang kehidupan Nasional.”
Apa yang dinyatakan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja 11 tahun yang lalu
sampai dimana sudah dimplementasikan oleh kita semuanya? persoalan lain dari
segi hokum kelautan khususnya mengenai benda berharga dalam hal ini benda–
benda bersejarah belum diimplementasikan dalam bentuk perundang–undangan.
Masalah lainnya ialah bagaiman mengatur benda – benda arkeologis yang
terdapat diperairan diluar territorial kita, Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun
1982, sudah sejauh mana pelaksanannya khususnya mengenai pasal 149 benda
– benda purbakala dan bersejarah yang berbunyi :
“ semua benda – benda purbakala dan yang mempunyai nilai sejarah yang
ditemukan di kawasan harus dipelihara atau digunakan untuk memanfaatkan
umat manusia sebagai suatu keseluruhan, dengan memperhatikan secara
khusus hak – hak yang didahulukan dari negar asal kepurbakalan”.
164
164
164
Kecuali sampai sejauh mana pelaksanaannya maka sampai sejauh man pula akan
dikaitkan dengan hukum – hukum laut nasional kita. Dari uraian di atas maka
semuanya kita dapat mengambil kesimpulan pokok bahwa masalah benda– benda
berharga, baik pengambilan, penelitian, pemanfataannya terutama hubungannya
dengan perkembangan dunia arkeologi bawah air, belumlah mantap secara
tercantumkan pada perundang–undangan. Misalnya apabila masalah tersebut
dicantumkan pada stu perundang–undangan maka jelas diperlukan cantumkan
kaitannya dengan hukum–hukum yang berlaku bagi kelautan, termasuk masalah
kewenangan security. Saran kami tentunya yang utama bagaimana mengatur
tersebut dalam suatu undang – undang dan kaitannya dengan Undang – undang
lain.
Perdagangan rempah–rempah terjadi antara Nusantara dengan Eropah
yang tadinya melalui perantara pedagang Timur Tengah tidak dapat berlangsung
seperti sediakala, kerna berkecamuknya perang Salib di kawasan itu. Semenjak
165
165
165
itu 5 abad yang lalu para pedagang Eropah dengan Armada lautnya mengirim mis
misi dagang langsung ke sumber asalnya rempah-rempah di Nusantara. Armada
dagang yang berlayar kemabli menuju Eropah bermuatan tidak hanya rempah-
rempah, tetapi juga benda budaya dan seni dari Timur seperti hiasan emas
permata, piring dan mangkok serta jembatan terbuat dari tembikar dan porselin,
sutera dan sebagainya. Diantara armada dagang yang melaksanakan misinya itu
tidak sedikit yang terdampar dan tenggelam dan tenggelam karena ganasnya laut.
Lokasi dan penemuan kembali kapal – kapal yang tenggelam di Nusantara
ini kini hampir dapat ditentukan. Hal ini tidak lain karena hasil riset di arsip-arsip
pelbagai Negara yang juga menggunakan peralatan canggih seperti komputer.
Demikian pula halnya falan survey dan eksplorasi di laut peralatan mutakhir dan
canggih dipergunakan. Terungkaplah posisi Flor de la Mar yang tenggelam diselat
Malaka dengan barang-barang berharga di antaranya emas permata dan harta
benda lainnya dari kerajaan Malaka, salah satu hasil jarahan Portugis di kawasan
ini semasa jayanya di masa silam. Demikian pula halnya dengan peristiwa
penemuan kapal De Geldermalsen yang pemberitannya dimuat dalam waktu yang
cukup lama. Michael Hatcher sebelum mengangkat, mengambil dan menjual
benda – benda berharga dari kapal Geldermalsen telah bekerja belasan tahun
dimulai tahun 1972 di antaranya menyelenggarakan riset dimuseum dan
perpustakaan negeri Belanda.
Permasalahannya timbul setelah diketahui dan disadari potensi kekayaan
benda–benda yang terpendam di dasar laut dan di perairan Indonesia yang
tenggelam bersama kapal dagang VOC,Portugis dan Spanyol di masa silam,
jumlahnya tidak kecil. Ratusan kapal bermuatan benda–benda berharga yang
tenggelam tergelatak di dasar laut di Nusantara kita ini dan sekitarnya. Persoalan
pertama yang harus dipecahkan ialah benda – benda berharga yang dilihat dari
nilai historis, budaya, arkeologinya dan nilai ekonominya itu milik siapa.
Selanjutnya untuk dapat melakukan pengangkatannya dari dasar laut siapa yang
berwenang mengeluarkan ijin. Dan setelah diangkat, dan dijual manfaatnya untuk
siapa. Dengan demikian maka persoalan pokoknya adalah bagaimana status
hukum benda–benda berharga di dasar laut dan perairan Indonesia, dan juga
bagaiman tata cara penangkatannya.
166
166
166
hanya terbatas pada mineral saja tetapi meliputi sumber daya non hayati lainnya
pada dasar laut (Other non living resources of the sea bed and subsoil ) dan tanah
di bawahnya ( vide Pasal 77 KHL 1982 ).
Dalam hubungan dengan “resource” ini termasuk dalamnya pengertian
archaeological and historical objects, kata sementara penulis. Dengan demikian
termasuk benda–benda berharga di dasar laut yang diatasnya Negara pantai
mempunyai hak berdaulat. Dengan demikian pengangkatan benda–benda
berharga di Landas Kontinen Indonesia haruslah dengan persetujuan dan setidak–
tidaknya kerjasama dengan Pemerintah Indonesia. Semua Negara berkewajiban
untuk melindungi benda–benda arkeologi dan sejarah yang ditemukan di laut di
manapun di temukan dan semua Negara berkewajiban untuk melindungi benda-
benda arkeologi dan sejarah yang ditemukan di laut di manapun ditemukan dan
semua Negara harus bekerja sama untuk maksud tersebut (vide pasal 303 ayat 1
KHL).
Indonesia sebagai negara yang sangat berkepentingan dalam hal ini
berkewajiban untuk mengaturnya, paling tidak dengan maksud untuk melindungi
benda – benda berharga di Landas Kontinennya. Sehubungan dengan hal ini patut
dikemukakan selama Konperensi Hukum Laut PBB – III, (Kemudian menghasilkan
KHL 1982) ialah “residual power” Negara pantai atas ZEE. Siapa yang
berwewenang mengatur hal–hal yang tidak jelas diatur dalam konvensi. Pasal 59
KHL 1982 sebagai hasil ‘Castaneda Formula”menyatakan bahwa dalam hal–hal
Konvensi Hukum Laut tidak jelas menentukan hak–hak atau yurisdiksi kepada
Warga Negara pantai atau kepada Negara lain di ZEE, maka jika kelak timbul
sengketa itu harus diselesaikan berdasrkan keadilan dan dengan pertimbangan
segala keadaan yang relevan, dengan memeprhatikan masing masing keutamaan
kepentingan pihak–pihak yang terlibat maupun masyarakat internasional
keseluruhannya. Karena ZEE dan Landas Kontinen bukan lagi merupakan bagian
dari laut yang mempunyai ketentuan – ketentuan tersendiri, maka Negara pantai
dapat menentukan ketentuan–ketentuan mengenai benda- benda berharga di ZEE
dan Landas Kontinen. Dan jika nanti ada yang mempermasalakn sah atau
tidaknya ketentuan yang ditetapkan itu, maka penyelesainnya akan dilakukan
yang ditetapkan sesuai ketentuan pasal 59.
169
169
169
Hukum Perdata
Pemilikan ataupun penguasaan benda–benda berharga dasar laut dan
perairan Indonesia oleh Pemerintah Indonesia cukup pula kuatnya dasarnya.
Ketentuan–ketentuan tentang Daluwarsa dalam Bab ke Tujuh KUH Perdata
memuat ketentuan yang dapat digunakan untuk menguatkan dasar kepemilikan
Negara RI. Penguasaannya dari dahulu kala, terus–menerus dan dengan itikad
baik, setidak–tidaknya Indonesia telah menguasai benda–benda berharga di dasar
laut dan perairannya lebih dari 30 tahun. Penguasaannya dapat ditunjuk dengan
penguasaan perairan Indonesia. Dengan menggunakan TZMKO 1939. Dan jik
perairan Indonesia cukup pula kuat dasarnta. Ketentuan–ketentuan tentang
Daluwarsa dalam Bab ketujuh KUH Perdata memuat ketentuan yang dapat
digunakan untuk menguatkan dasar kepemilikan Negara RI. Penguasaannya dar
dahulu kala, terus menerus dan dengan itikad baik, setidak–tidaknya Indonesia
telah mengusai benda–benda berharga di dasar laut dan perairannya lebih dari 30
tahun. Penguasannya dapat ditunjuk dengan penguasaan perairan di Indonesia
dengan menggunakan TZMKO 1939. Dan jika perairan Indonesia dimaksud kini
sudah jauh berbeda dengan perairan pada saat lahirnya TZMKO, dihitung sejak
lahirnya Deklarasi Djuanda 1957 juga cukup alasan untuk itu.
diuraikan dalm butir – butir 7,8,9 dan 10 diatas. Juga apabila dilihat dari segi
pewarisan penguasa di negeri ini ataupun ada pihak yang merasa mengaku
berhak atasnya, maka alasannya untuk itu adalah alasan yang mengada – ada.
tersebut minimal harus seijin dan kerja sama dengan Pemerintah RI karena
pengankatan dan tentunya nanti juga pengangkutannya berada dalam yurisdiksi
RI berkaitan dengan imigrasi, fiscal, bea cukai dan sanietr sedangkan bagi benda–
benda berharga di Zona Ekonomi Eksklusif setidak–tidaknya akan menyangkut
masalah izin mengadakan riset dan survey dikawasan itu dalam upaya
eksplorasinya atau mengeksploitasnya maka tidak seorang pun dapat melakukan
kegiatan dimaksud tanpa persetujuan yang jelas tegas dari pemerintah RI ( vide
pasal 77 ayat 2 KHL 1982 ).
Pemilikan ataupun penguasaan benda–benda berharga yang terdapat di
dasar laut dalam perairan Indonesia adalah sepenuhnya di tangan Pemerintah RI
sebagai wakil Negara dan bangsa Indonesia tidak dapat dipungkiri. Tata cara
pengangkatan dan pemanfaatannya telah cukup diatur dalam Keppres RI No. 13
Tahun 1989. Keputusan Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda
Berharga Asal Muatan Kapal yang tenggelam Nomor : Kep – 4 / PN/BMKT/12
1989 dan Keputusan Menhankam RI Nomor : Kep/12/VI/1989 tentang tata cara
Pemberian ijin/Security Clearance Dalam Rangka Kegiatan Pengambilam dan
Pemanfaatan benda – benda berharga di Zona Tambahan dan di Landas Kontinen
belumlah ada dan pemikirankita tidak ada kelirunya diarahkan bagi terwujudnya
pengaturan yang demikian. Pengangkatandan pemanfaatan benda – benda
berharga di Zona Tambahan harus seijin dan kerjasama dengan pemerintah RI,
yurisdiksi nasional Indonesia di Zona tambahan terkait dengan ketentuan imigrasi,
fiskal, bea cukai dan saniter. Di ZEE Indonesia/ landas Kontinen Indonesia
pengangkatan dan pemanfaatannya harus dengan ijin dan kerja sama pemerintah
RI minimal untuk perlindungannya bagi kepentingan Indonesia dan umat manusia
seluruhnya memerlukan pengaturan.
C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
meteri pembelajaran 12 dan 13 dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhir
perkuliahan yang dikemas dalam beberapa pertanyaan, seperti :
1. Sampai sejauh mana hak Negara Republik Indonesia atas benda –
benda tersebut ?
2. Benda – benda itu milik siapa ?
173
173
173
Daftar Bacaan
Bill ST John Wilkes, Nautical Archaelogy A Handbook. New Ton Abbot:
David & Charles, 1971.
C.L van der pijl–Ketel (editor), The Ceramic Load of the Witte Leeuw (1613),
Amsterdam: Rijkmuseum Amsterdam., Tanpa tahun.
George F. Bass, Archaelogy Beneat The Sea. Harper Colophon Books.
New York, London, 1975.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Sejarah Perkembangan Hukum Laut
dan Kaitannya dengan Hukum Internasional.
Mochtar Kusumaatmadja, Bahan ceramah Menteri Luar Negeri Dalam
Pengimplementasian Wawasan Nusantara”. Pada rapat kerja
Rektor Universitas /Institut Negeri Seluruh Indonesia, tanggal 28
Februari s.d 2 Maret 1979 di Jakarta.
Safri Burhanuddin, Kewenangan Derah dan Eksploitasi Sumber Daya Non
Hayati ( Paper )
Uka Tjandrasasmita, Peangkatan dan Pemanfaatan Benda – Benda
Purbakala di Dasar Laut Perairan Indonesia (Paper).
Uka Tjandrasasmita, Perlindungan Benda Cagar Budaya Nasional (Protection
Of National Vultural Heritage), Makalah untuk peserta Kursus
Perundang–undangan Lingkungan Hidup di Puncak,1985.
Konvensi Hukum laut PBB 1982
Keppres RI N0. 43 tahun 1989 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan
Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam
Beserta Implementasinya.
KEPPRES No. 43 Tahun 1989 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan
Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam.
174
174
174
BAB 14
BAHAN PEMBELAJARAN 14 dan 15
A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu XIV dan XV
bahwa “Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian, prinsip-prinsip pengelolaan
perikanan Indonesia”. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai
dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa discovery learning dengan
small group work, kuliah interaktif, dan diskusi.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta
didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut; Partisipasi dalam diskusi; Kerjasama tim;
Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 200 menit
(2 kali tatap muka) dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan
pada peserta didik.
B. Uraian
1. Desentralisasi Kelautan: Evaluasi dan Proteksi
38
Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), Makassar: Fakultas
Hukum Unhas, 2007, hlm. 239-250.
176
176
176
a. Aspek pemanfaatan.
Norma hukum tentang pemanfaatan sumber daya alam perikanan,
pertama-tama harus dicari dalam UUD 1945 sebagai sumber hukum yang
berkedudukan di puncak piramida hirearki perundang-undangan,
sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang
Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundang-
undangan. Dalam Ketetapan MPRS ini, ditentukan bentuk-bentuk dan tata
urutan perundang-undangan, sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR).
3. Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(UU/Perpu).
4. Peraturan Pemerintah (PP).
5. Keputusan Presiden (Keppres).
39
Sudirman Saad, Politik Hukum Perikanan Indonesia. (Jakarta: Dian Pratama Printing, 2003).
Hlm. 67-83.
177
177
177
5. Kemandirian.
Diterangkan lebih jauh dalam penjelasan resmi pasal 33 UUD 1945
bahwa demi mengamankan demokrasi ekonomi yang bertujuan mewujudkan
kemakmuran bagi semua orang, maka cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai
oleh negara. Dengan cara demikian, diharapkan tampuk produksi tidak jatuh
ke tangan orang seorang yang berkuasa, dan rakyat yang banyak ditindasnya.
Hanya, sektor-sektor yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh
ada di tangan orang-seorang
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah
sumber-sumber kemakmuran rakyat. Karena itu, segenap sumber daya alam
tersebut harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, UUD 1945 juga
mengatur mengenai sistem pemerintahan daerah (pasal 18). Dalam
penjelasannya disebutkan bahwa didalam wilayah Negara Indonesia terdapat
lebih kurang 250 zelfbestuterende landschappen dan volksgemeenschappen,
seperti desa di Jawa dan Bali, Negeri di Minangkabau, dusun serta marga di
Palembang. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daereah-
daerah istimewa tersbut, dan segala peraturan negara mengenai daerah-
daerah istimewa tersebut, dan segala peraturan negara mengenai daerah-
daerah itu akan memperhatikan hak-hak asal-usul daerah yang bersangkutan.
Ketentuan sistam pemerintahan tersebut di atas, memiliki arti penting
manakala dihubungkan dengan UUPA, terutama mengenai hak ulayat. Pasal
tiga UUPA menyebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa
itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi.
Penjelasan umum UUPA (II-3), menerangkan bahwa pengakuan hak
ulayat didasarkan pada dua pangkal pikiran. Pertama, keberadaan hak ulayat
diakui dalam hukum agraria nasional. Pengakuan ini dilatarbelakangi oleh
179
179
179
pengalaman masa penjajahan, yang ketika itu, meski hak ulayat nyata-nyata
ada, berlaku, dan diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim,
tetapi tidak satupun peraturan perundang-undangan mengakuinya secara
resmi. Konsekuensinya, dalam pelaksanaan hukum, hak ulayat lebih sering
diabaikan.
Pengakuan secara resmi hak ulayat dalam UUPA, mengandung makna
bahwa kepentingan masyarakat hukum yang menjadi pendukung hak ulayat
itu, akan diperhatikan. Misalnya ketika akan diberikan HGU kepada suatu
badan usaha, maka masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan
didengarkan pendapatnya dan akan diberikan recognitie sebagai tanda
pengakuan dan perlindungan hukum bagi masyarakat pendukung hak ulayat.
Pangkal pikiran kedua yang melatarbelakangi pengakuan hak ulayat
dalam UUPA adalah kenyataan yang berkenaan dengan pembangunan
daerah. Selama ini (sebelum tahun 1960), pembangunan di daerah-daerah
sering terhambat karena mendapat kesukaran dari masyarakat hak ulayat.
Oleh karena itu, dengan pengaturan hak ulayat dalam UUPA, maka
masyarakat hukum adat yang menjadi pendukung hak ulayat tidak dibenarkan
menghalang-halangi pelaksanaan pembangunan sektoral, seperti pemberian
HGU. Kepentingan masyarakat hukum adat harus tunduk pada kepentingan
nasional dan negara. Namun tidak berarti kepentingan masyarakat adat
terabaikan sama sekali. Selain ketentuan hak ulayat, dalam UUPA juga masih
dijumpai beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber
daya perikanan. Pertama-tama mengenai pengertian istilah air, yang
mencakup baik perairan pedalaman maupun wilayah laut (pasal 1 ayat 5).
Kemudian diatur lebih lanjut bhwa bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Wewenang yang
bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut digunakan untuk
mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum
Indonesia. Hak menguasai dari negara ini, pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sesuai keperluan
(pasal 2 UUPA).
180
180
180
Hukum agraria berlaku di atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia, serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-
undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu
dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama
(pasal 5 UUPA). Ketentuan ini mencerminkan politik hukum agraria nasional
yang meskipun bertujuan untuk menciptakan suatu kesatuan dan
kesederhanaan hukum, tetapi tetap memberi ruang hidup bagi hukum adat
yang pada kenyataannya sanga majemuk.
Karakteristik politik hukum agraria tersebut, tercermin pula dalam
berbagai pasal lainnya, seperti pasal 16 dan penjelasan umum UUPA. Di
dalam penjelasan umum (III-1), dinyatakan bahwa hukum agraria harus
sesuai dengan kesadaran hukum rakyat, dan karena rakyat sebagian besar
tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria tersebut harus didasarkan
pada hukum adat sebagai hukum asli. Namun demikian, hukum adat harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan masyarakat dalam
negara modern dan dalam hubungan negara Internasional. Hal yang terakhir
ini, penting karena hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas dari
pengaruh politik karena hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas
dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan
masyarakat swapraja yang feodal.
Penjelasannya pasal 16, antara lain, menegaskan bahwa sesuai asas
yang diletakkan dalam pasal 5, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air
didasarkan pula atas sistematika hukum adat. Permasalahannya kemudian
adalah hukum adat manakah yang sesuai dengan politik hukum agraria
nasional tersebut. Untuk pernyataan ini, Seminar Hukum Adat dan
Pembangunan Hukum Nasional tahun 1975 di Yogyakarta menyimpulkan :
Maka tidak ada alasan meragukan bahwa yang dimaksudkan UUPA dengan hukum
adat itu adalah : hukum aslinya golongan rakyat pribumi, yang merupakan hukum yang
hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional asli, yaitu sifat
kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh
suasana keagamaan.
40
Ph.D.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amana Gappa, Makassar: Yayasan
Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1961.
182
182
182
7. Kapal perikanan adalah kapal atau perahu atau alat apung lainnya yang
dipergunakan untuk mrlakukan penangkapan ikan, termasuk untuk
melakukan survai atau eksplorasi perikanan.
8. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan
ikan.
Wilayah perikanan Indonesia meliputi (1) perarian Indonesia, (2)
sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya di dalam wilayah
Republik Indonesia, dan (3) zona ekonomi ekslusif (pasal 2 UU perikanan).
Sementara wilayah perairan Indonesia, menurut Undang-Undang Nomor. 6
Tahun 1996 tentang perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan
kepulauan, dan perairan pedalaman. Laut teritorial (territorial sea) Indonesia
adalah jalur laut selebar 12 mil yang diukur dari garis pangkal kepulauan
Indonesia. Perairan kepulauan (archipelagic waters) Indonesia adalah semua
perairan yang terletak pada sisi garis pangkal lurus kepulauan tanpa
memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Perairan pedalaman
(internal waters) Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi
darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk didalamnya
semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis
penutup (pasal 3). Ketentuan-ketentuan tersebut, bersesuaian dengan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa dalam Hukum Laut.
Selanjutnya, pengertian sungai, danau, dan waduk diatur dalam PP
Nomor 35 Tahun 1991 tentang sungai. Dalam PP ini, sungai didefenisikan
sebagai tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan air mulai dari mata
air sampai muara dibatasi kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh
garis sempadan (pasal 1 ayat 1). Adapun danau didefenisikan sebagai bagian
dari sungai yang dalam dan kedalamannya secara alamiah jauh melebihi
ruas-ruas lain sungai yang bersangkutan (pasal 1 ayat 2). Waduk
didefenisikan sebagai wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya
bangunan sungai, dalam hal ini bangunan bendungan, dan berbentuk
pelebaran alur/badan/palung/sungai (pasal 1 ayat 3).
Rawa, sebagaimana diatur dalam PP No. 27 Tahun 1991 tentang rawa,
adalah lahan genangan air secara alamiah secara terus menerus atau
183
183
183
Khusus wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai, maka kewenangan
eksplorasi dan eksploitasi berada di tangan pemerintah daerah. Pada tingkat
daerah, kewenangan itu dibagi lagi, yakni sepertiga dari luas wilayah menjadi
kewenangan daerah kabupaten atau daerah kota dan duapertiga sisanya
merupakan kewenangan daerah provinsi (Pasal 10 UU Pemerintahan
Daerah). Bahkan, di dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 telah diatur secara lebih
spesifik bahwa kewenangan pemerintah pusat terbatas pada aspek-aspek
kelautan diluar 12 mil (Pasal 2 ayat (3) butir 2).
Untuk tidak mengulangi kesalahan pelaksanaan otonomi daerah masa
lalu, yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka dalam UU
Pemerintahan Daerah ini, pemberian otonomi kepada daerah kabupaten dan
daerah kota didasarkan pada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi
yang luas, nyata, dan bertanggung jawab (Penjelasan Umum 1 butir h).
Dijelaskan pula bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, maka
kewenangan keuangan yang melekat pada setiap kewenangan pemerintah
pusat menjadi kewenangan daerah (Penjelasan Umum 8 butir 2). Penjelasan
ini memiliki implikasi bagi pelaksanaan perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah.
Di dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, disebutkan bahwa sumber-sumber
penerimaan daerah dalam pepelaksanaan desentralisasi adalah :
1. Pendapatan asli daerah;
2. Dana perimbangan;
3. Pinjaman daerah;
4. Lain-lain penerimaan yang sah (Pasal 3).
Berkaitan dengan pengelolaan laut sejauh 12 mil, maka dapat
ditafsirkan bahwa seluruh penerimaan keuangan dari sumber daya alam
tersebut merupakan pendapatan asli daerah. Sementara itu, penerimaan
negara yang bersumber dari pengelolaan laut di luar 12 mil, sejauh
menyangkut sektor perikanan, dibagi dengan imbangan 20 % untuk
pemerintah pusat dan 80 % untuk daerah (Pasal 6 ayat 5). Dijelaskan lebih
lanjut bahwa 80 % dari pungutan pengusahaan perikanan dan pungutan hasil
185
185
185
b. Aspek konservasi.
Ketentuan-ketentuan umum mengenai konservasi sumber daya
alam, termasuk sumber daya alam perikanan, dapat ditemukan dalam
Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan perlindungan
Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UUPPLH). Di dalam UUPLH ini,
diatur kerangka dan arah kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, yang
penjabarannya masih memerlukan peraturan perundang-undangan lebih
rendah. Sesuai dengan keperluan, maka beberapa aspek yang diatur dalam
UUPPLH tersebut, seperti konsep-konsep yang digunakan, kelembagaan dan
kewenangannya serta mekanisme penyelesaian sengketa yang muncul, akan
diberi perhatian khusus. Pertama-tama diawali dengan penjelasan beberapa
konsep yang relevan, sebagai berikut :
1. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup, yang meliputi kebijaksanaan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (Pasal 1 angka 2).
2. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan
hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk
menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi
masa kini dan generasi masa depan (Pasal 1 angka 3).
3. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan
kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan
hidup (Pasal 1 angka 4).
4. Sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas
sumber daya manusia, sumber daya alam, baik hayati maupun
nonhayati, dan sumber daya buatan (Pasal 1 angka 10).
5. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau
dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain
186
186
186
Sumber: Data MSY bersumber dari Agenda 21 Indonesia; data TAC dari SK Mentari No. 473a/1985.
41
Marhaeni Ria Siombo, Hukum Perikanan Nasional dan Internasional, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2010), hlm. 23-24.
191
191
191
meliputi perairan nasional, mulai dari laut tertorial, laut, pedalaman, laut
42
kepulauan, sampai wilayah laut ZEEI.
Dalam konteks UUP, pemanfaatan sumber daya ikan merupakan hak-
hak tiap warga negara, sebagaimana diamantkan dalam Pasal 27 UUD 1945
yang menyatakan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Oleh karena itu, pemanfaatan
sumber daya ikan dapat dilakukan oleh siapa saja sepanjang ia tunduk dan
mematuhi norma dan atau kaidah sebagaimana disebutkan dalam Konstitusi
Republik Indonesia dan UUP.43
Seorang nelayan dapat menggunakan haknya untuk menangkap ikan
sebagai mata pencahariannya, akan tetapi dalam melaksanakan haknya,
nelayan tersebut wajib memperhatikan aspek-aspek kelestarian dari sumber
daya ikan yaitu melakukan penangkapan ikan yang tidak merusak lingkungan
abiotik dan biotik lainnya. Apabila kewajibannya dilanggar maka nelayan akan
mendapatkan sanksi hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang
mengatur.44
Dalam konteks yang lebih umum kemudian, Pasal UUP menyatakan
bahwa “pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan
pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan
lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat”. Pasal ini dimaksudkan
untuk memberian guideline kepada pemerintah sebagai penyelenggara
pemerintahan agar dalam pengelolaan, manajemen, dan regulasi, keberadaan
masyarakat lokal dengan kearifannya tentap mendapat pengakuan.45
46
Christy dalam Abdul Rasal Rauf, hlm. 265.
43. ibid.
193
193
193
bersama”. Ada faktor lain yang juga memberi kontribusi terhadap keadaan
tersebut, seperti faktor sosial dan kultural. Namun, sekiranya ke-
ikutsertaan dalam perikanan itu dibatasi dengan menghilangkan keadaan
”milik bersama”, maka akan diperoleh suatu bunga ekonomi (economic
rent) atau bunga sumber daya (resource rent). Bunga ekonomi ini-yang
merupakan selisih antara penerimaan total (total revenues) dan biaya total
(total costs)-akan dibagi di antara nelayan sehingga pendapatan mereka
meningkat.
Keempat, rezim ”milik bersama” juga telah menyebabkan pertikaian
di antara nelayan. Pertikaian itu berwujud dalam berbagai bentuk, yaitu (1)
antara nelayan yang menangkap jenis ikan yang sama dan menggunakan
alat tangkap yang sama pula, (2) antara nelayan yang menangkap jenis
ikan yang tidak sama, tetapi menggunakan alat tangkap yang sama,
seperti antara nelayan kecil dengan nelayan besar, dan (3) anatara
nelayan yang menangkap jenis ikan dan menggunakan alat tangkap yang
tidak sama, tetapi melakukan kegiatan penangkapan di daerah yang sama,
seperti antara nelayan pukat harimau yang bergerak (mobile trawlers)
dengan nelayan jaring menetap (fixed nets) atau perangkap (pots).47
Satu-satunya akibat positif dari manajemen perikanan yang berbasis
”milik bersama”, adalah dapat menyediakan kesempatan kerja ketika
alternatif pekerjaan di sektor lain sudah tertutup sama sekali. Namun,
keuntungan ini hanya bersifat jangka pendek sebab begitu kesempatan
kerja di sektor lain terbuka kembali, mereka akan meninggalkan sektor
perikanan.
Keadaan buruk yang ditimbulkan manajemen perikanan berbasis
”milik bersama” inilah yang merupakan latar belakang ditawarkannya
HPWP sebagai solusi yang patut dipertimbangkan dengan sunguh-
sungguh. Perdebatan yang kemudian mengemuka di kalangan ahli
perikanan, ialah bagaimana HPWP itu dilembagakan dalam perundang-
undangan yang akan mengikat semua orang. Dalam konteks ini, sedikitnya
dua persoalan hukum sangat relevan, yakni siapa subjek dan bagaimana
bentuk-bentuk haknya.
47
Ibid. hlm. 266.
194
194
194
48
Ibid. hlm. 268
195
195
195
pula, hingga kini belum ada satu produk hukum pun yang mengatur
mengenai HPWP, baik secara implisit maupun eksplisit.
49
Ibid. hlm. 271.
202
202
202
50
Ibid. hlm. 275
204
204
204
C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
materi pembelajaran keempatbelas dan kelimabelas dilakukan dalam
bentuk kuis, yakni mengangakt beberapa pertanyaan yang dilengkapi
dengan penjelasan dan dilakukan pada tatap muka kelimabelas. Beberapa
pertanyaan yang dikemukakan, seperti:
1. Sebutkan UU yang terkait dengan pengelolaan perikanan disertai
dengan penjelasannya?
2. Sebutkan ruang lingkup Hak Penggunaan Wilayah Untuk Perikanan
(HPWP)?
3. Sebutkan bentuk dan subjek HPWP?
Daftar Bacaan
Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar),
Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007.
Marhaeni Ria Siombo, Hukum Perikanan Nasional dan Internasional,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.
205
205
205
Ph.D.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amana Gappa,
Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara,
1961.
Sudirman Saad, Politik Hukum Perikanan Indonesia, Jakarta: Dian
Pratama Printing, 2003.
206
206
206
BAB 16
BAHAN PEMBELAJARAN 16
A. Sasaran Pembelajaran
Ujian Akhir Semester
B. Uraian:
Pelaksanaan ujian akhir semester dilaksanakan dengan memberikan
pilihan pada mahasiswa untuk mengikuti ujian akhir yang diberikan dapat
bentuk makalah atau ujian tertulis. Pilihan makalah atau ujian tertulis oleh
peserta didik akan bersifat individu yang dipilih dan atau diberikan dari materi
hukum laut yang telah dipelajari. Adapun kriteria penilaian makalah berupa Isi
Makalah; Organisasi makalah; Kesesuaian antara teori dan kasus serta
analisis; dan Ketepatan waktu. Sedangkan ujian tertulis didasarkan pada
kemampuan peserta didik menjelaskan materi yang dipertanyakan dilengkapi
dengan analisis dan contoh.
C. Penutup
Kriteria evaluasi adalah makalah individu dan ujian tertulis.