Anda di halaman 1dari 206

1

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Gambaran Profil Lulusan Program Studi


Era Globalisasi yang berlangsung saat ini telah membuka peluang yang
cukup luas bagi negara-bangsa untuk melakukan hubungan internasional.
Hubungan internasional yang terjadi dewasa ini tidak lagi menjadi dominasi
antar negara dan/atau pemerintah, akan tetapi juga berlangsung antar warga
negara, antar perusahaan, dan antar organisasi/institusi suatu negara
dengan pihak negara lainnya. Indonesia menjadi salah satu negara yang
menyadari arti pentingnya hubungan internasional, khususnya dalam
melakukan hubungan kerjasama yang saling menguntungkan, baik di bidang
ekonomi, politik, keamanan, hukum, dan sebagainya.
Agar suatu hubungan internasional yang berlangsung tidak
menimbulkan ancaman bagi keamanan dan ketertiban internasional, maka
hubungan yang berlangsung diletakkan dalam tatanan hukum internasional,
suatu tatanan yang disepakati dan diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa
beradab sebagai perwujudan kehendak bersama masyarakat internasional
untuk menciptakan tatanan dunia baru yang memiliki keberadaban dan
keteraturan, saling menghargai, dan saling menguntungkan satu dengan
yang lain. Untuk itu, keberadaan hukum internasional menjadi sangat urgen
dalam tatanan dunia yang sedang bergerak cepat dan transparan sebagai
sebuah tuntutan globalisasi.
Di bidang ekonomi, perkembangan kegiatan investasi dan perdagangan
internasional berlangsung sangat cepat. Pemanfaatan sumberdaya alam
yang dilakukan oleh perusahaan transnasional telah menjadi kecenderungan
global. Hal ini juga berlangsung di Indonesia, dan seringkali menimbulkan
problem lingkungan internasional, investasi internasiol, bahkan kejahatan
internasional, sehingga membutuhkan penyelesaian hukum internasional
yang akurat. Untuk itu, sekali lagi sumberdaya manusia yang menguasai
hukum internasional akan memainkan peranan strategis dalam penyelesaian
sengketa internasional yang berlangsung.
2

Sebagai konsekuensi dari semakin intensnya hubungan hukum


internasional, maka permasalahan hukum internasional juga berkembang
semakin kompleks. Keberadaan sumberdaya manusia yang memiliki
kemampuan dalam penguasaan hukum internasional secara komprehensif
menjadi harapan bersama, khusunya perannya dalam memecahkan dan
menemukan solusi atas permasalahan hukum internasional yang semakin
kompleks. Kebutuhan sumberdaya manusia yang memiliki kapasitas
penguasaan hukum internasional yang komprehensif tersebut perlu didukung
oleh wawasan yang holistik. Hal ini menjadikan pentingnya penyelenggaraan
program pendidikan tinggi yang berkualitas pada konsentrasi Hukum
Internasional untuk memenuhi tuntutan kebutuhan tersebut.
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin merupakan Fakultas Hukum
yang termapan di Kawasan Timur Indonesia yang dipandang sebagai
”maskot” perguruan tinggi terbaik di kawasan timur. Dalam menjalankan
peran strategi penyelenggaraan pendidikan tinggi maka program studi ilmu
hukum Fakultas Hukum Unhas diarahkan dengan tetap mengkiblati visi dan
misi universitas. Penjabaran visi dan misi dimaksud kemudian tertuang
sebagai berikut:
I. VISI
”Menjadikan Program studi Ilmu Hukum (S1) Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin sebagai Program studi Ilmu Hukum unggulan
di Indonesia pada tahun 2020 dalam pengembangan ilmu hukum
internasional yang berbasis pada budaya bahari”.
II. MISI
Untuk mewujudkan visi program studi Ilmu Hukum maka ditetapkan
misi sebagai berikut:
a. Mengembangkan Program studi Ilmu Hukum (S1) yang memiliki
keunggulan kompetitif dalam penelitian dan pendalaman ilmu hukum
yang berwawasan holistik, serta memiliki kompetensi spesifik untuk
melakukan penelitian di bidang ilmu hukum secara mandiri.
b. Mengembangkan Program studi Ilmu Hukum (S1) yang memiliki
kemampuan dan keunggulan dalam pelaksanaan Tri Dharma
3

Perguruan Tinggi, sehingga menghasilkan profesionalisme dan


intelektualitas keilmuan yang diakui secara nasional dan internasional.
c. Mengembangkan Program studi Ilmu Hukum (S1) menjadi
kebanggaan Universitas Hasanuddin dengan keluaran yang memiliki
kemampuan penelitian dan pemikiran keilmuan berwawasan holistik
untuk dapat memberikan solusi terbaik pada setiap persoalan
pembangunan Hukum Nasional dan Internasional.

B. Kompetensi Lulusan, dan Analisis Kebutuhan Pembelajaran.


Uraian visi dan misi Fakultas Hukum Unhas di atas, kemudian dijabarkan
dalam bentuk pilihan kompetensi lulusan. Hal ini diartikan bahwa pilihan
kompetensi lulusan ditetapkan dalam rangka menggambarkan wujud lulusan
program studi ilmu hukum (S1) Fakultas Hukum Unhas. Kompetensi lulusan
yang ditetapkan adalah “praktisi”. Pilihan kompetensi lulusan pada “praktisi”
dimaksudkan agar lulusan yang dihasilkan memiliki basis skill (keahlian) yang
merupakan pasangan (tandem) dari knowledge (pengetahuan) yang tentunya
telah dimiliki oleh setiap lulusan. Sehingga, setiap lulusan dipandang telah siap
baik skill maupun knowledge untuk berkompetisi pada universitas yang
sesungguhnya (real life). Dalam konteks pembelajaran mata kuliah Hukum
Laut (PIP) maka akan terbangun suatu konstruksi bahwa lulusan dengan
kompetensi praktisi akan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan strategis
di bidang hukum laut khususnya terkait dengan penegak hukum di laut yang
merupakan muara dari pemebelajaran hukum laut.
Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan harmonisasi antara apa yang
hendak dicapai dengan apa yang ditetapkan terhadap lulusan maka
penyediaan metode pembelajaran yang tepat merupakan pilihan bijak dalam
rangka menjembatani harmonisasi yang dimaksud. Kebutuhan pembelajaran
yang baik dan benar yang kemudian dikelola dengan pola menejerial yang
tepat akan mempermudah tercapainya harmonisasi dimaksud. Tentunya,
perubahan merode pembelajaran yang diterapkan di Unhas saat ini akan
semakin mempermudah pencapaian dimaksud, khususnya ketersediaanya
garis-garis Besar Pembelajaran (selanjutnya disingkat GBRP), Jadwal kegiatan
mengajar (selanjutnya disingkat JKM), dan Satuan Acara Pengajaran
4

(selanjutnya disingkat SAP) baik uang dikemas dalam bentuk modul maupun
powerpoint.

C. Garis-garis Besar Rencana Pembelajaran (GBRP)

MATA KULIAH : HUKUM LAUT (PIP)


SEMESTER/SKS/KODE : AKHIR 20….-2011…; 2 SKS; 419 HI 2

Kompetensi Utama 1. Memiliki kemampuan dan keterampilan


menggunakan dan menerapkan berbagai teori,
ketentuan, dan prinsip hukum laut;
2. Memiliki kemampuan dan keterampilan melakukan
penelitian di bidang hukum laut (internasional)
secara mandiri.
Kompetensi 1. Memiliki pemahaman, kesadaran dan kearifan
Pendukung tentang berbagai aspek sosial, ekonomi, budaya
dan Iptek yang mempengaruhi bidang hukum laut;
2. Memiliki kemampuan dalam hal penguasaan
software dan hardware komputer untuk mengakses
informasi dari berbagai sumber informasi dalam
bidang hukum internasional secara umum dan
hukum laut secara khusus.
Kompetensi Lainnya 1. Memiliki kesadaran, kepedulian, dan komitmen
terhadap penegakan hukum di bidang hukum laut;
2. Memiliki kemampuan dalam menemukan korelasi
antara berbagai sektor/element yang terkait dengan
hukum laut, khususnya hubungan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah.

GBRP Hukum Laut (PIP):

Minggu Sasaran Pembelajaran Materi Strategi Pembelajaran Kriteria penilaian Bobot


Ke Pembelajaran Nilai
(%)
1 Mahasiswa dapat - Pengertian PIP; 1. Kuliah; interaktif; 1. Partisipasi 5
menjelaskan pengertian - Penetapan ilmu-ilmu 2. Diskusi. dalam diskusi:
PIP (Pola Ilmiah Pokok), kelautan sebagai PIP, 2. Kejelasan
penetapan ilmu-ilmu relevansi, visi dan misi dalam
kelautan sebagai PIP, PIP Unhas. mengemukaka
relevansi, visi dan misi PIP n pendapat;
Unhas. 3. Ketepatan
dalam
menguraikan
teori terkait
Ilmu-ilmu
kelautan
sebagai PIP.

2 Mahasiswa dapat - Berbagai istilah seperti 1. Kuliah Interaktif; 1. Partisipasi 5


menjelaskan arti berbagai konsepsi nusantara, 2. Diskusi. dalam diskusi:
5

istilah seperti konsepsi wawasan nusantara, 2. Kejelasan


nusantara, wawasan negara nusantara, dalam
nusantara, negara benua maritim mengemukaka
nusantara, benua maritim Indonesia; n pendapat;
Indonesia dan sejarah - Sejarah 3. Kemampuan
perkembangan hukum laut perkembangan hukum menjelaskan
Indonesia. laut Indonesia. fakta
mengenai
beberapa
istilah dan
sejarah
perkembanga
n hukum laut
di Indonesia.

3 Mahasiswa dapat Implementasinya dapat 1. Discovery 1. Kemampuan 5


menjelaskan implementasi dilihat pada: learning melalui menyajikan
asas negara nusantara 1. PP No. 8 Tahun 1962 small group fakta-fakta
dalam berbagai peraturan tentangg Lintas work; terkait
perundang-undangan Damai; 2. Kuliah Interaktif; implementasi
nasional. 2. Pengumuman 3. Diskusi. prinsip negara
Pemerintahan Tahun kepulauan;
1969 tentang Landas 2. Partisipasi
Kontinen; dalam diskusi;
3. UU No. 1 tahun 1973 3. Kerjasama
tentang Landas tim;
Kontinen; 4. Penguasaan
4. Perjanjian garis batas individu.
maritim dengan
negara tetangga;
5. Pengumuman
Pemerintahan Tahun
1980 tentang ZEEI;
6. UU No. 5 Tahun 1983
tentang ZEEI;
7. UU No. 17 tahun
1985 tentang
pengesahan Republik
Indonesia atas
Konvensi Hukum Laut
(UNCLOS III) 1982;
8. Dan lain sebagainya.

4 Mahasiswa dapat Jalur Laut Indonesia 1. Discovery 1. Kemampuan 5


menjelaskan berbaga jalur- meliputi: learning melalui menyajikan
jalur laut pada wilayah a. Peraiaran small group fakta-fakta
peraiaran Indonesia kepulauan; work; terkait jalur-
sebagai negara nusantara. b. Perairan 2. Kuliah Interaktif; jalur laut.;
pedalaman; 3. Diskusi. 2. Partisipasi
c. Laut territorial; dalam diskusi;
d. Jalur tambahan; 3. Kerjasama
e. ZEEI; tim;
f. Landas Kontinen 4. Penguasaan
Indonesia. individu.

5 Mahasiswa dapat 1. Garis Pangkal normal; 1. Kuliah Interaktif; 1. Kemampuan 5


menjelaskan berbagai 2. Garis pangkal lurus; 2. Studi kasus; menyajikan
macam garis pangkal yang 3. Garis pangkal lurus 3. Diskusi. fakta-fakta
dapat diterapkan oleh kepulauan; terkait jalur-
Indonesia sebagai negara 4. Garis penutup. jalur laut.;
kepulauan. 2. Partisipasi
6

dalam diskusi;

6 Mahasiswa dapat 1. Berbagai macam 1. Kuliah Interaktif; 1. Kemampuan 5


pengaturan hukum tentang lintas pelayaran di 2. Studi kasus; menyajikan
lintas pelayaran wilayah perairan RI 3. Diskusi. fakta-fakta
internasional di wilayah serta penegertiannya; mengenai
perairan Indonesia. 2. Analisis perbandingan lintas
antara ketiga lintas pelayaran;
pelayaran itu; 2. Ketepatan
3. Berbagai persyaratan menggunakan
yang harus teori dalam
diperhatikan ketika menganalisis
melakukan lintas alur fakta;
kepulauan (PP No. 37 3. Partisipasi
Tahun 2002 tentang dalam diskusi;
ALKI).

7 Mahasiswa dapat 1. Kelayakan kapal 1. Kuliah Interaktif; 1. Kemampuan 5


menjelaskan pengaturan untuk berlayar di laut; 2. Studi kasus; menyajikan
hukum tentang 2. Penempatan awak 3. Diskusi. fakta-fakta
keselamatan pelayaran kapal; mengenai
(safety of navigation). 3. Sarana bantu prinsip
pelayaran; keselamatan
4. Pencegahan tubrukan pelayaran;
dan trayek kapal. 2. Ketepatan
menggunakan
teori dalam
menganalisis
fakta;
3. Partisipasi
dalam diskusi;

8 Ujian Tengah Semester Makalah Individu 1. Isi Makalah; 10


mengenai salah satu 2. Organisasi
materi perkuliahan makalah;
yang telah dipelajari 3. Kesesuaian
antara teori
dan kasus
serta analisis;
. Ketepatan
waktu.
9 Mahasiswa dapat ISPS Code: 1. Kuliah Interaktif; 1. Kemampuan 5
menjelaskan standardisasi a. Sejarah lahirnya 2. Studi kasus; menyajikan
keselamatan atau ISPS Code; 3. Diskusi. fakta-fakta
keamanan kapal dan b. Ruang Lingkup mengenai
pelabuhan (International dan Tujuannya; standardisasi
Ship and Port facilities c. Persyaratan- keselamatan
Security Code). persyaratan atau
keamanan terkait keamanan
kapal dan kapal dan
pelabuhan; pelabuhan;
d. Implementasi 2. Ketepatan
ISPS dalam menggunakan
hukum nasional. teori dalam
menganalisis
fakta;
3. Partisipasi
dalam diskusi;

10 Mahasiswa dapat Perlindungan dan 1. Kuliah Interaktif; 1. Kemampuan 5


7

menjelaskan prinsip-prinsip Pelestarian Laut: 2. Studi kasus; menyajikan


dasar mengenai a. Ketentuan dalam 3. Diskusi. fakta-fakta
perlindungan dan KHL III 1982; mengenai
pelestarian lingkungan laut. b. Tindak lanjut perlindungan
dan
pelestarian
lingkungan
laut;
2. Partisipasi
dalam diskusi;
3. Kerjasama
Tim;
4. Penguasaan
Individual.

11 Mahasiswa dapat 1. Pengertian; 1. Discovery 1. Kemampuan 5


menjelaskan pengertian 2. Sumber-sumber learning melalui menyajikan
dan sumber-sumber pencemaran laut; small group fakta-fakta
pencemaran laut. 3. Kasus pencemaran work; mengenai
laut Newmont dan 2. Kuliah Interaktif; pencemaran
kasus tumpahnya 3. Diskusi. laut;
minyak di kepulauan 2. Partisipasi
Natuna. dalam diskusi;
3. Kerjasama
Tim;
4. Penguasaan
Individual.

12 Mahasiswa dapat 1. Pengertian; 1. Kuliah Interaktif 1. Partisipasi 5


menjelaskan pengertian 2. KHL 1982; 2. Studi kasus; dalam diskusi;
harta karun serta berbagai 3. Status harta karun; 3. Diskusi. 2. Kejelasan
istilah, pengaturan dalam
hukumnya. mengungkap
pendapat;
3. Ketepatan
dalam
menguraikan
teori.
13 Mahasiswa dapat 1. UU no. 32 tahun 1. Kuliah Interaktif 1. Kemampuan 5
menejelaskan pengaturan 2004; 2. Studi kasus; menyajikan
harta karun dalam berbagai 2. PP No. 25 Tahun 3. Diskusi. fakta-fakta
peraturan perundang- 2000; mengenai
undangan nasional. 3. Keppres No. 107 standardisasi
Tahun 2000, dlsb. keselamatan
atau
keamanan
kapal dan
pelabuhan;
2. Ketepatan
menggunakan
teori dalam
menganalisis
fakta;
3. Partisipasi
dalam diskusi;

14 Mahasiswa dapat - Pengantar 1. Discovery 1. Kemampuan 5


menjelaskan ketentuan dan Desentralisasi learning melalui menyajikan
prinsip-prinsip dasar kelautan small group fakta-fakta
8

mengenai perikanan - Hukum Perikanan work; mengenai


Indonesia (1). Indonesia (UU no. 31 2. Kuliah Interaktif; pencemaran
tahun 2004) dan 3. Diskusi. laut;
peraturan perundang- 2. Partisipasi
undangan terkait dalam diskusi;
lainnya.. 3. Kerjasama
Tim;
4. Penguasaan
Individual.

15 Mahasiswa dapat - penggunaan wilayah 1. Discovery 1. Kemampuan 5


menjelaskan prinsip-prinsip untuk perikanan (2). learning melalui menyajikan
dasar mengenai perikanan small group fakta-fakta
Indonesia ( 2) work; mengenai
2. Kuliah Interaktif; pencemaran
3. Diskusi. laut;
2. Partisipasi
dalam diskusi;
3. Kerjasama
Tim;
4. Penguasaan
Individual.

16 Ujian Akhir Semester Ujian akhir diberikan 1. Penguasaaan 10


dapat berupa teori materi
makalah atau ujian pembelajaran;
tertulis. 2. Ketepatan
dalam
menganilisi;
3. Ketepatan
waktu dalam
menyelesaika
n makalah
atau
menyelsaikan
soal-soal.
9

BAB 2
BAHAN PEMBELAJARAN 1

A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu I bahwa
“mahasiswa dapat menjelaskan pengertian PIP (Pola Ilmiah Pokok),
penetapan ilmu-ilmu kelautan sebagai PIP, relevansi, visi dan misi PIP
Unhas”. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan
strategi pembelajaran berupa kuliah interaktif dan diskusi.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta
didik yaitu partisipasi dalam diskusi, kejelasan dalam mengemukakan
pendapat, dan ketepatan dalam menguraikan teori terkait ilmu-ilmu kelautan
sebagai PIP. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit dengan
media modul sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta didik.

B. Uraian
Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar dibawah kepemimpinan
Rektor Prof. DR. Achmad Amiruddin 1973 - 1983 melalui beberapa kali
lokakarya telah menetapkan Marine Sciences (Ilmu-Ilmu Kelautan) sebagai
Pola Ilmiah Pokok Universitas Hasanuddin berdasarkan argumentasi bahwa
negara Indonesia secara geografis adalah Negara-Kepulauan(Archipelagic
State) yang terdiri 74,3% laut dan 25,7 % daratan meliputi 18.108 pulau besar
dan kecil1. Perairan laut 74,3% seluas 5,8 juta km2, mencakup 0,3 % laut
teritorial, 2,8 juta km2 perairan Nusantara, dan 2,7 juta km2 zona ekonomi
eksklusif sangat kaya potensi sumber daya alam laut hayati dan nabati,
perlu dikaji, dianalisis, diteliti, di eksplorasi dan di eksploitasi untuk
kesejahteraan umat manusia umumnya dan kemakmuran bangsa Indonesia
khususnya. Inilah tantangan Unhas untuk memberikan jawaban konkrit melalui
teori ilmu dan teknologi kelautan dalam semua aspek disiplin ilmu yang
diajarkan di Unhas dan praktek melalui alumninya yang berbobot dan handal

1
Laode M. Syarif, Promotion and Management of Marine Fisheries in Indonesia, IUCN
Environmental Policy and Law Paper No. 74, IUCN Environmental Law Center, Germany, p. 32. See also
Vivian Louis Forbes, Optimalizing the Indonesian Diplomacy: Challenges and Future Direction, Experts
Group Meeting, Makassar, 30 October 2009. P. 1.
10
10

mengeksplorasi dan mengeksploitasi laut beserta sumber daya alamnya for


benefit of mankind.
Unhas telah beberapa kali melaksanakan Lokakarya dalam rangka
untuk menangkap ide, aspirasi dan arah Pola Ilmu Pokok. Marine Sciences
adalah Ilmu dan Teknologi Kelautan untuk menjawab tantangan zaman guna
melahirkan Sarjana Teknologi Kelautan yang mampu melakukan eksplorasi
dan eksploitasi sumber daya laut baik yang terdapat di dasar laut (sea bed)
maupun yang terdapat pada tanah di bawahnya (sub soil). Sarjana Teknologi
Kelautan ini masih langka di dunia apa lagi di Indonesia. Rektor Universitas
Hasanuddin Prof. Achmad Amiruddin pada saat itu mengatakan bahwa Unhas
harus tampil di depan menjadi pelopornya, dan bukan menjadi universitas
pengekor di belakang universitas lain. Unhas harus menjadi universitas
terkemuka di Indonesia dan di dunia. Jadi, ide, aspirasi dan arah Marine
Sciences pada intinya adalah Fakultas Teknologi Kelautan, bukan Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan. Perlu reevaluasi atas arah yang tidak sesuai
design awalnya atau grand masternya.
Bagi Fakultas Hukum Unhas, implementasi Pola Ilmiah Pokok itu adalah
mata-kuliah Hukum Laut PIP (Pola Ilmiah Pokok) menjadi mata-kuliah Wajib
Universitas bagi seluruh mahasiswa dengan bobot 2 kredit. Dalam
perkembangan selanjutnya, di masa kepemimpinan Rektor Prof. Rady A Gani,
implementasi Pola Ilmiah Pokok itu ditambah lagi satu mata-kuliah wajib
universitas yakni Budaya Maritim dengan bobot 2 kredit. Penambahan mata
kuliah Budaya Maritim tentunya dimaksudkan untuk lebih memasyarakatkan
PIP diseluruh fakultas di Unhas yang selama ini hanya merupakan domain ilmu
mahasiswa Ilmu Kelautan dan Perikanan dan Fakultas Hukum. Oleh karena
itu, hal yang strategis harus dilakukan adalah mengharmonisasikan dan
mengsinkronnisasikan materí mata kuliah PIP yang diajarkan di Fakultas
Hukum dengan materi budaya maritim yang diajarkan di Mata Kuliah Umum di
Unhas (disajikan seluruh fakultas karena meruapakan mata kuliah wajib
universitas). Meskipun disisi lain, kebijakan Pimpinan Unhas setelah lebih dua
dekade untuk menambah lagi mata-kuliah Budaya Maritim bersamaan mata-
kuliah Hukum Laut PIP, dipandang hanya menambah beban saja yang
berlebihan (over load) dan tidak relevan bagi mahasiswa Fakultas Hukum. Dua
11
11

mata-kuliah yang hampir serupa tersebut ditetapkan menjadi mata-kuliah wajib


universitas, karena struktur organisasi Unhas masih menerapkan sistem
sentralistik yang bersifat top-down (sistem komando) dan lagi pula sudah
terlihat ketinggalan zaman (out of date), karena tidak mampu mengikuti
perkembangan zaman yang cepat berubah (up to date, sesuai filosofi: pantai
rei), sehingga otonomi Fakultas Hukum untuk mengatur mata-kuliah yang
relevan saja bagi profesi hukum, telah diabaikan.
Kepemimpinan Rektor Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi (2006 – sekarang)
kemudian hendak mengejewantahkan visi universitas yakni budaya maritim
atau baharí dalam bentuk yang lebih konkrit. Apa lagi salah satu visi yang juga
hendak diraih oleh Unhas yakni membawa Unhas sebagai ”The World Class
University”. Oleh karena itu, strategis sifatnya jika dilakukan evaluasi dan
peninjauan kembali mata-kuliah Budaya Maritim agar tidak tumpang tindih
secara substansi dengan mata-kuliah PIP yang diberikan bagi mahasiswa
Fakultas Hukum. Sehingga kedua mata kuliah tetap dapat diajarkan tanpa
menimbulkan kontroversi tentang penyelenggaraan kedua mata kuliah ini.
Tentunya, pembelajaran PIP (hukum laut) tidak hanya mengkaji
perkembangan hukum laut dari waktu ke waktu, tetapi juga sebagai
”penghargaan generasi” atas apa yang telah ditorehkan nenek moyang bangsa
Indonesia dulu yang merintis budaya kemaritiman dalam memperkaya
khazanah cakrawala pengetahuan kemaritiman hingga sekarang, serta
mendorong karya-karya intelektual baru bagi yang bisa bermanfaat bagi
pembangunan nasional.2

C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
materi pembelajaran pertama dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhir
perkuliahan yang dikemas dalam beberpa pertanyaaan, seperti:
1. Mengapa Marine Sciences (Ilmu-Ilmu Kelautan) ditetapkan sebagai Pola
Ilmiah Pokok Universitas Hasanuddin? Jelaskan ?

2
Idris Buyung. Buku Ajar Hukum Laut Internasional Indonesia, Diktat, (Fakultas Hukum
Unhas Makassar, 2007), hlm. 1. Lihat Juga Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional
(Pengantar), (Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007).
12
12

2. Siapakah Rektor Unhas yang berkontribusi dalam menggagas PIP? Dan


bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan dan dianjurkan oleh
rector berikutnya?
3. Mengapa mata kuliah PIP dan Budaya Maritim yang diajarkan bagi
mahasiswa Fakultas Hukum Unhas menjadi perdebatan?

Daftar Bacaan
Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar),
Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007.
Idris Buyung. Buku Ajar Hukum Laut Internasional Indonesia, Diktat,
Fakultas Hukum Unhas Makassar, 2007.
Laode M. Syarif, Promotion and Management of Marine Fisheries in Indonesia,
IUCN Environmental Policy and Law Paper No. 74, IUCN
Environmental Law Center, Germany.
Vivian Louis Forbes, Optimalizing the Indonesian Diplomacy: Challenges
and Future Direction, Experts Group Meeting, Makassar, 30 October
2009.
13
13

BAB 3
BAHAN PEMBELAJARAN 2

A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu I bahwa
“mahasiswa dapat menjelaskan arti berbagai istilah seperti konsepsi
nusantara, wawasan nusantara, negara nusantara, benua maritim Indonesia
dan sejarah perkembangan hukum laut Indonesia.”. Sasaran pembelajaran
dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa
kuliah interaktif dan diskusi.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta
didik yaitu partisipasi dalam diskusi, kejelasan dalam mengemukakan
pendapat, dan kemampuan menjelaskan fakta mengenai beberapa istilah dan
sejarah perkembangan hukum laut di Indonesia. Pembelajaran ini akan
dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang
diberikan pada peserta didik.

B. Uraian:
Istilah Wawasan Nusantara dan Sejarah Perkembangan Hukum Laut di

Indonesia.

a. Klaim Wawasan Nusantara


Sebelum lahirnya Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 (United
Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982) yang menetapkan
lebar laut teritorial adalah 12 mil laut. Pada konvensi hukum laut I dan II yang
dilangsungkan di Jenewa tidak mampu menyelesaikan masalah kesepakatan
tentang luas laut teritorial dan hanya menetapkan lebar laut teritorial seluas 3
mul laut berdasarkan praktek kebiasaan waktu itu. Selain itu, penetapan batas
wilayah menurut “Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939” yang
dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442 Pasal 1 (1) yang juga menetapkan
lebar wilayah laut teritorial Indonesia adalah 3 mil, dalam konteks negara
kepulauan (archipelagic state) seperti Indonesia, hal ini jelas sangat
merugikan.
14
14

Mengingat adanya kelemahan atas hukum yang mengatur mengenai


wilayah laut (perairan) di Wilayah Negara Republik Indonesia yang masih
merupakan warisan kolonial Belanda dahulu, dengan tolak ukur jarak tiga mil
laut dari pantai itu, ternyata ada juga negara-negara lain yang
menyimpanginya. .Negara-negara itu yaitu negara-negara Skandinavia sejauh
empat mil, dan Spanyol dengan jarak enam mil dari pantai. Karena itu,
wajarlah apabila pemerintah RI mempunyai gagasan baru untuk merombak
total (masalah lebar laut) dan kemudian mengembangkan ke aspek-aspek
selanjutnya.
Perombakan yang dimaksudkan di atas untuk pertama kali
dilaksanakan oleh pemerintah RI dengan mengeluarkan pengumuman pada
tanggal 13 Desember 1957 yang disebut Deklarasi 13 Desember 1957, atau
dikemudian hari dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda karena pada saat itu
Indonesia masih memakai konstitusi RIS 1949 dengan Perdana Menteri-nya Ir,
Djuanda.
Adapun pertimbangan-pertimbangan yang mendorong pemerintah RI
sebagai suatu negara kepulauan sehingga mengeluarkan pernyataan
mengenai wilayah perairan Indonesia, adalah:
a. Bahwa bentuk geografis Indonesia yang berwujud negara kepulauan, yang
terdiri atas tiga belas ribu lebih pulau-pulau, besar dan kecil yang tersebar
dilautan.
b. Demi untuk kesatuan wilayah negara RI, agar semua kepulauan dan
perairan (selat) yang ada diantaranya merupakan satu kesatuan yang utuh,
dan tidak dapat dipisahkan antara pulau yang satu dengan lainnya, atau
antara pulau dengan perairannya.
c. Bahwa penetapan batas perairan wilayah sebagaimana menurut
“Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939” yang dimuat dalam
Staatsblad 1939 No. 442 Pasal 1 (1) sudah tidak sesuai lagi dengan
kepentingan Indonesia setelah merdeka.
d. Bahwa Indonesia setelah berdaulat sebgai suatu negara yang merdeka,
mempunyai hak sepenuhnya dan berkewajiban untuk mengatur segala
sesuatunya, demi untuk keamanan dan keselamatan negara serta
bangsanya.
15
15

Deklarasi Djuanda 1957 merupakan titik pangkal lahirnya klaim


Wawasan Nusantara, yang merupakan konsepsi kewilayahan. Dalam masalah
pengumuman pemerintah RI tentang konsep Wilayah Perairan, pemerintah RI
bukan satu-satunya negara yang melakukan klaim atas wilayah pantainya.
Sebab sebelumnya, Presiden AS, S. Truman, pada tanggal 25 Desember 1945
mengumumkan dua pernyataan, yaitu:
1. Proklamasi tentang landas kontinen
2. Proklamasi tentang perikanan.
Istilah Wawasan Nusantara sebenarnya baru dikenal pada seminar
pertahanan keamanan tahun 1966. Pada waktu itu Wawasan Nusantara
dipergunakan untuk mengembangkan kekuatan pertahanan dan keamanan
yang terpadu, untuk menggantikan tiga wawasan yang pernah ada, dan
sifatnya sektoral, yatiu:
a. Wawasan Benua, yang diprakarsai oleh AD.
b. Wawasan Bahari yang diprakarsai oleh AL.
c. Wawasan Dirgantara yang diprakarsai oleh AU.
Ketiga wawasan tersebut di atas masing-masing sebagai perwujudan
konsep kekuatan (power concept) sehingga menimbulkan adu kekuatan, yang
dapat mengakibatkan gejolak atau ketegangan dalam kehidupan politik bagsa
dan negara, atau kemungkinan dapat menimbulkan terjadinya instabilitas
nasional dalam kehidupan masyarakat negara. Lain halnya dengan Wawasan
Nusantara yang dikembangkan menjadi kebudayaan politik (political culture)
dan merupakan milik bangsa dan negara RI. Dua tahun setelah keluarnya
Deklarasi Djuanda 1957, pada tanggal 18 Februari 1960 dikuatkan dalam
bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 4 tahun
1960 tentang Perairan Indonesia (LN. 1960. No. 22) dengan maksud agar
klaim tersebut memiliki kekuatan hukum dan mengikat.
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966, Peraturan
Pemerintah pengganti Undang-Undang tersebut diatas, dikukuhkan
(dituangkan) menjadi undang-undang No. 4 Prp. Tahun 1960. Adapun isi
pokok UU No. 4. Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia adalah:
1. Perairan Indonesia ialah Laut Wilayah beserta perairan Pedalaman
Indonesia (Perairan Nusantara).
16
16

2. Laut Wilayah Indonesia ialah jalur laut selebar dua belas mil laut dari pulau-
pulau yang terluar atau bagian pulau-pulau yang terluar dengan
dihubungkan garis lurus antara satu dengan lainnya.
3. Apabila ada selat yang lebarnya tidak melebihi dua puluh empat mil laut,
dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi (artinya
ada negara tetangga), maka garis batas Laut Wilayah Indonesia ditarik
pada tengah selat.
4. Perairan Pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara) adalah semau
perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis besar.
5. Hak Lintas Damai kendaraan air (kapal) asing, diakui dan dijaman
sepanjang tidak mengganggu atau bertentangang dengan keamanan serta
keselamatan negara dan bangsa.
6. Tidak berlakunya lagi pasal 1 ayat (1) angka 1 sampai dengan 4
‘Territoriale Zee Maritieme Kringen Ordonantie” 1939.
Implikasi posistif klaim wawasan nusantara yang tercantum dalam UU
No. 4/ Prp 1960 adalah :
1. Wilayah Indonesia berdasarkan TZMKO 1939 luasnya hanya: 2.027.087
km2; setelah berlakunya UU No. 4/Prp. 1960 tersebut, luas wilayah
Indonesia menjadi: 5.193.250. km2 (daratan dan lautan); berarti luas
wilayah bertambah 3.166.163 km2 (Perairan) atau lebih kurang: 145%.
Meskipun pertambahan wilayah tersebut berwujud perairan, tetapi banyak
mengandung sumber daya alam.
2. Realisasi makna ketentuan yang tercantum didalam alinea IV pembukaan
UUD 1945, Juga Pasal 1 (1) UUD 1945 dapat dilaksana.
Dalam usaha mewujudkan konsep wawasan nusantara ini, pemerintah
RI telah dua kali meng-gol-kan klaim wawasan nusantara itu di forum
internasional, yaitu dalam konferensi hukum laut Internasional pada tahun
1958 dan tahun 1960; tetapi belum mendapatkan hasil sebagaimana
diharapkan. Dengan telah dijadikannya Deklarasi Djuanda 1957 kedalam
bentuk undang-undang, yang berarti mempunyai kekuatan hukum dan
mengikat. Dalam hal ini, ada dua macam jalur jalur yang ditempuh pemerintah
RI dalam memperjuangkan konsep wawasan nusantara. Kedua macam jalur
tersebut adalah:
17
17

a) Jalur internasional; yaitu seperti yang sudah dilakukan, dengan jalan


memperjuangkan dalam pembicaraan-pembicaraan di forum internasional,
konferensi hukum laut,dan forum-forum internasional lainnya.
b) Jalur nasional; yaitu dengan langsung mengadakan perundingan baik
secara bilateral maupun multilateral dengan negara-negara tetangga yang
berkepentingan.
Diantara dua macam jalur cara memperjuangkan klaim wawasan
nusantara tersebut, ternyata dalam jangka waktu pendek lebih terlihat hasilnya
meskipun terbatas hanya negara-negara yang berkepentingan saja adalah
yang melalui jalur nasional. Hal ini terbukti dengan adanya perundingan-
perundingan antar negara yang menghasilkan perjanjian (treaty) atau
persetujuan (agreement), mengenai perbatasan laut wilayahnya dengan
wilayah RI. Perjanjian dan persetujuan yang dimaksudkan antara lain, termuat
dalam:
1. UU No. 22 tahun 1971 (LN. 1971 No. 16) tentang Perjanjian antara RI dan
Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Laut kedua negara di selat
Malaka.
2. Keputusan Presiden No. 66 Tahun 1972 (LN. 1972 No. 45) tentang
Penetapan Batas Laut Antara RI - Australia di Laut Timor dan Laut Arafuru.
3. UU No. 6 Tahun 1973 (LN. 1973 No. 58), tentang Perjanjian Antara
Indonesia dengan Australia Mengenai Garis-garis Batas Tertentu Antara
Indonesia dengan PNG.
4. UU No. 7 tahun 1973 (LN. 1973 No. 59) tentang Perjanjian Antara
Indonesia dengan Singapura Mengenai Penetapan Garis Batas Laut
Wilayah kedua negara di Selat Singapura.
5. Keppres No 24 Tahun 1978 (LN. 1978 No 37) Mengesahkan Persetujuan
Antara Pemerintah RI, Pemerintah Republik India dan Pemerintah Kerajaan
Thailand, Tentang Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas dan
Penetapan Garis Batas Ketiga Negara di Laut Andaman.
6. Keppres No. 6 Tahun 1980 (LN. 1980 No. 3) tentang Pengesahan
Persetujuan Dasar Antara RI dan PNG tentang Pengaturan-Pengaturan
Perbatasan Kedua Negara.
18
18

b. Konsepsi Landas Kontinen


Landas kontinen menurut pengertian Hukum Laut Internasional
mencakup seluruh pengertian Tepian Kontinen (continental margin), yang
secara geografik meliputi: Landas atau Dataran Kontinen, Lereng Kontinen ada
pada dasar laut dan tanah dibawahnya, sampai kedalaman 200 meter atau
lebih, selama masih dapat dilakukan eksplorasi dan eksploitasi.
Adapun isi pokok Deklarasi (Djuanda; kursip penulis) yang juga
mengandung ketentuan tentang landas kontinen sebagaimana dimaksudkan
diatas adalah sebagai berikut:
a) Segala sumber kekayaan-kekayaan alam yang terdapat dalam Landas
Kontinen Indonesia adalah milik eksklusif negara Indonesia.
b) Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas Landas
Kontinen dengan negara-negara tetangga melalui perundingan
c) Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas Landas Kontinen
Indonesia adalah suatu garis yang ditarik ditengah-tengah antara pulau
terluar Indonesia dengan titik luar wilayah negara tetangga.
d) Klaim di atas tidak mempengaruhi sifat serta status dari perairan di atas
Landas Kontinen Indonesia dan ruang udara diatasnya.3
Wilayah ini mencakup dasar laut dan tanah dibawah dasar laut diluar
laut teritorial dan merupakan kelanjutan dari wilayah daratan sampai tepi luar
dari batas kontinen. Berdasarkan batasan ini negara pantai dapat menetapkan
dua kriteria landas kontinen. Pertama wilayah yang lebarnya dari zona landas
kontinen dibatasi sampai jarak 200 mil laut dari garis dasar batas teritorial
diukur. Kedua, tepi luar dari landas kontinen melebihi 200 mil dari garis dasar
laut teritorial diukur, sehingga negara pantai dapat menetapkan batas melebihi
200 mil laut tetapi tidak boleh melebihi 350 mil laut.4
Pengundangan konsepsi negara kepulauan (archipelagic state) telah
mengakibatkan perubahan pada panjang garis pantai yang tadinya melebihi
jarak jumlah total sepanjang 33. 972 mil menjadi 8. 069, 8 mil. Perlu diingat

3
S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam UUD 1945 Serta
Pembangunan Nasional, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1985), hlm 27-39.
4
Mustafa Abubakar, Menata Pulau-Pulau Kecil Perbatasan; Belajar dari Kasus Sipadan,
Ligitan, dan Sebatik, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), hlm.25-26
19
19

bahwa bukan hanya negara RI saja yang mengeluarkan Deklarasi tentang


Landas Kontinennya, tetapi Presiden Truman dari Amerika Serikat pada
tanggal 28 September 1945 juga telah mengumandangkan Proklamasi tentang
Landas Kontinen (Continental Shelf) negara Amerika Serikat.5

c. Konsepsi Negara Kepulauan


Konsepsi negara kepulauan diterima oleh masyarakat internasional dan
dimasukan kedalam UNCLOS III 1982, utamanya pada pasal 46. Dalam pasal
tersebut, disebutkan bahwa, “Negara Kepulauan” berarti suatu Negara yang
seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-
pulau lain”. Sedangkan pengertian kepulauan disebutkan sebagai, “ kepulauan”
berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan
lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya
sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan
suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara
historis diangap sebagai demikian.”6 Dan dalam sejarah hukum laut Indonesia
sudah dijelaskan dalam deklarasi Juanda 1957 , yaitu pernyataan Wilayah
Perairan Indonesia: “Segala perairan di sekitar, diantara dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan
negara RI dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian
yang wajar daripada wilayah daratan RI dan dengan demikian merupakan
bagian daripada perairan nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak
daripada negara RI”.
Sedangkan dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan
Indonesia disebutkan bahwa, “Negara Kepulauan adalah negara yang
seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-
pulau lain.” Sementara itu, dimasukannya poin-poin negara kepulauan dalam
Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 yang berisi 9 pasal, yang berisi antara lain:
Ketentuan-ketentuan tentang negara-negara kepulauan, garis-garis pangkal
lurus kepulauan, status hukum dari perairan kepulauan, penetapan perairan
pedalaman, dalam perairan kepulauan, hak lintas damai melalui perairan

5
S. Toto Pandoyo, Op. Cit. hlm. 39
6
Pasal 46 UNCLOS 1982. Tim Penerjemah UNCLOS 1982, (Jakarta:tp, 1983), hlm. 41.
20
20

kepulauan, hak lintas alur-alur laut kepulauan, hak dan kewajiban kapal dan
pesawat udara asing dalam pelaksanan hak lintas alur-alur laut kepulauan.
Pengaturan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 dimulai dengan
penggunaan istilah negara kepulauan (archipelagic state). Pada pasal 46 butir
(a) disebutkan bahwa, “negara kepulauan adalah suatu negara yang
seluruhnya terdiri satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau
lain (pasal 46 butir (a). Maksud dari pasal 46 butir (a) tersebut adalah, secara
yuridis, pengertian negara kepulauan akan berbeda artinya dengan definisi
negara yang secara geografis wilayahnya berbentuk kepulauan. Hal ini
dikarenakan, dalam pasal 46 butir (b) disebutkan bahwa kepulauan adalah
suatu gugusan pulau-pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan
lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian erat
sehingga pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan
suatui kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki atau yang secara
historis dianggap sebagai demikian. Dengan kata lain, pasal 46 ini
membedakan pengertian yuridis antara negara kepulauan (archipelagic state)
dengan kepulauan (archipelago) itu sendiri.
Perbedaan ini menimbulkan konsekuensi bahwa penarikan garis
pangkal kepulauan (archipelagic baseline) tidak bisa dilakukan oleh semua
negara yang mengatasnamakan dirinya sebagai negara kepulauan. Hal ini
dikarenakan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bila ingin melakukan
penarikan garis pangkal lurus kepulauan. Yaitu, satu kesatuan geografis,
ekonomi, politik, dan historis.
Adapun persyaratan obyektif yang harus dipenuhi oleh negara
kepulauan dalam melakukan penarikan garis pangkal lurus kepulauan (pasal
47), yaitu:
1. Rasio (perbandingan) antara luas wilayah perairan dengan daratan, yaitu
suatu negara kepulauan minimal harus memiliki luas perairan yang sama
besar atau makasimal hanya sembilan kali dengan luas daratannya.
2. Panjang maksimum setiap segmen garis pangkal, yaitu panjang setiap
garis lurus yang menghubungkan dua titik pangkal ditetapkan diteteapkan
tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bila tiga persen dari jumlah
seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulaaun dapat melebihi
21
21

kepanjangan tersebut, maka dapat digunakan batas maksimum 125 mil


laut.
3. Penarikan garis pangkal demikian tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari
konfigurasi umum kepulauan tersebut.
4. Garis pangkal demikian tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut, kecuali
apabila diatasnya telah dibangun mercusuar atau instalasi serupa yang
secara permanen berada diatas permukaan laut atau apabila elevasi surut
tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak
melebihi lebar laut teritorial dari pulau terdekat
5. Sistem garis pangkal demikian, tidak boleh diterapkan oleh suatu negara
kepulauan dengan cara yang demikian rupa sehingga memotong laut
teritorial negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.
6. Apabila suatu bagian perairan kepulauan suatu negara kepulauan, terletak
diantara dua bagian suatu negara tetangga yang langsung berdampingan,
hak-hak yang ada dan kepentingan-kepentingan sah lainnya yang
dilaksanakan secara tradisional oleh negara tersebut terakhir diperairan
mereka, serta segala hak yang ditetapkan dalam perjanjian antara negara-
negara tersebut akan tetap berlaku dan harus dicermati.
7. Untuk maksud menghitung perbandingan perairan dengan daratan, daerah
daratan dapat mencakup didalamnya perairan yang terletak didalam
tebaran karang pulau-pulau dan Atol, termasuk bagian plateau oceanic
yang bertebing curam yang tertutup atau hampir tertutup oleh serangkaian
pulau batu gamping dan karang kering diatas permukaan laut yang terletak
disekeliling plateau tersebut.
8. Garis pangkal yang ditarik sesuai dengan ketentuan pasal ini, harus
dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai
untuk menegaskan posisinya, dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-
titik yang secara jelas memerinci datum geodetik.
9. Negara kepulauan harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau
daftar koordinat geografis demikian dan harus mendepositkan satu salinan
setiap peta atau daftar demikian ke Sekjen PBB.
Selanjutnya, diatur bahwa ketentuan yang tertuang dalam pasal 47
merupakan garis pangkal untuk pengukuran lebar laut teritorial, zona
22
22

tambahan, ZEE dan landas kontinen bagi suatu negara kepulauan (pasal 48).
Dengan kata lain, pasal 48 mengukuhkan bahwa untuk suatu negara
kepulauan, garis-garis pangkal lurus kepulauan mempunyai fungsi yang sama
dengan garis-garis pangkal lain yang diakui oleh Konvensi Hukum Laut 1982,
seperti garis-garis pangkal biasa dan garis-garis pangkal lurus.
Dari beberapa aturan yang telah diuraikan di atas, jelas bahwa
Indonesia yang berstatus sebagai negara kepulauan akan diuntungkan, karena
dapat menggunakan kelebihan-kelebihan yang dimiliki cara penarikan garis-
garis pangkal kepulauan. Oleh karena itu, Indonesia menuangkan Konsepsi
Negara Kepulauan dalam amandemen ke 2 UUD 1945 Bab IXA tentang
wilayah negara. Pada pasal 25 E berbunyi ” Negara Kesatuan RI adalah
negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah-wilayah yang batas-
batasnya dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”. Selain itu,
dalam pasal 2 Undang-Undang No 6 tahun 1996 tentang Perairan indonesia,
pemerintah Indonesia secara tegas menyatakan bahwa negara RI adalah
negara kepulauan.
Sebagaimana yang disyaratkan oleh pasal 46 Konvensi Hukum Laut
PBB 1982, tidak semua negara yang wilayahya terdiri dari kumpulan pulau-
pulau dapat di anggap sebagai negara kepulauan. Dari peraturan peundang-
undangan nasional yang dikumpulkan oleh UN-DOALOS ada 19 negara yang
menetapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan negara
kepulauan, yaitu; Antigua dan Barbuda, Bahama, Komoro, Cape Verde, Fiji,
Filipina, Indonesia, Jamaika, Kiribati, Maldives, Kepulauan Marshall, PNG,
Kepulauan Solomon, Saint Vincent dan Grenadines, Sao Tome dan Principe,
Seychelles, Trinidad dan Tobago, Tuvalu, dan Vanuatu.
Selanjutnya dalam peraturan pelaksanannya, pemerintah RI
mengeluarkan PP No 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis titik-
titik garis pangkal kepulauan Indonesia yang telah diubah dengan PP No. 37
tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Geografis titik-titik garis pangkal
kepulauan Indonesia. Pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah
menarik garis pangkal kepulauan untuk menetapkan lebar laut teritorial.
Sedangkan penarikan garis pangkal kepulauan dilakukan dengan
menggunakan; garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa, garis
23
23

pangkal lurus, garis penutup teluk, garis penutup muara sungai, terusan dan
kuala, serta garis penutup pada pelabuhan.
Namun kepemilikan Indonesia terhadap pulau-pulau kecil, khususnya
pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, masih
menyisakan permasalahan. Kalahnya pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia
telah mamberikan pelajaran kepada Indonesia dimuka Internasional. Hal ini
mencerminkan bahwa pemerintah RI hanya sekedar memilki tanpa mempunyai
kemampuan untuk menguasai dan memberdayakannya. Berkaca dari
maraknya potensi konflik dipulau-pulau kecil terluar, pemerintah Indonesia
mengeluarkan Perpres No 78 Tahun 2005 tentang pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar. Perpres tersebut bertujuan untuk:
1. Menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara
dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan
2. Memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan yang
berkelanjutan
3. Memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar juga diharapkan dapat mengatasi
ancaman keamanan yang meliputi kejahatan transnasional penangkapan ikan
ilegal, penebangan kayu ilegal, perdagangan anak-anak dan perempuan
(trafficking), imigran gelap, penyelundupan manusia, penyelendupan senjata
dan bahan peledak, peredaran narkotika, pintu masuk terrorisme, serta potensi
konflik sosial dan politik. Hal ini penting agar kesaradaran untuk menjaga
pulau-pulau kecil diperbatasan tetap ada, dan pualu-pulau kecil diperbatasan
tidak dianggap sekedar halaman belakang.7

d. Kontribusi Amannagappa dalam Studi Hukum Laut


Uraian konsepsi Wanus sebagaimana dijelaskan di atas termasuk
konstribusi sejarah didalamnya, perlu dilengkapi dengan mencantumkan
kontribusi Sulawesi selatan sebagai basis kemaritiman. Konsepsi tersebut
dapat dilihat pada “Pura tagkisi” gulikku, pura babbara sompeku’ ku
ulebbirengngi telling natowalie’ (Telah kupasang kemudiku, telah

7
Mustafa Abubakar , Op.cit. hlm. 26-32
24
24

8
kukembangkan layarku kupilih tenggelam daripada surut langkah).
Masyarakat Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, Makassar dan Mandar
sejak dahulu dikenal sebagai pelaut ulung dan telah mampu melayari seluruh
pesisir Asia Tenggara, Australia, Madagaskar, Afrika Selatan bahkan sampai
ke Jeddah-Arab Saudi. Seiring dengan kentalnya warisan sejarah kebaharian
masyarakat Sulawesi Selatan, maka pemahaman akan hukum dan lingkungan
laut bagi mahasiswa Universitas Hasanuddin (selanjutnya disingkat Unhas)
menjadi sangat penting.9
Dalam konteks Indonesia dan khususnya Sulawesi Selatan konsep-
konsep kepemilikan laut dan pengaturan pelayaran juga telah berkembang
sejak abad ke 17 yang dapat dilihat pada hukum Pelayaran Amanna Gappa.
Dalam hukum Amanna Gappa lebih cenderung menganut konsep kebebasan
berlayar di laut. Lebih daripada itu hukum Amanna Gappa juga telah mengatur
hak dan kewajiban pemilik kapal dan anak buah kapal. Konsep-konsep
kepemilikan laut kemudian diadopsi oleh Hukum Laut Modern, yang dapat
dilihat pada sejumlah konvensi internasional yang akan dikemukakan
kemudian.
Terlepas dari tuanya sejarah kebahaarian masyarakat Sulawesi Selatan,
dalam dunia internasional kita mengenal beberapa konsep pengaturan laut,
yang berkembang sejak zaman romawi sampai berkembangnya hukum laut
modern, seperti dewasa ini. Pada zaman Romawi, laut dianggap sebagai “rest
communis omnium” (hak bersama seluruh umat manusia). Menurut konsep ini
penggunaan laut bebas atau terbuka bagi semua orang.
Pada Abad Pertengahan setelah keruntuhan Imperium Roma, negara-
negara yang muncul di sekitar laut Tengah mulai mengklaim hak kewilayahan

8
Baharuddin Lopa, Hukum Laut dan Perniagaan, (Bandung: P.T. Alumni, 1982). Naskah dalam bahasa
bugis tentang hukum laut perdata telah dibahas dalam berbagai pertemuan dan penulis antara lain Carron dalam
disertasinya yang berjudul “Het Handels en Zeerecht in Adatrechtsregelen van de Rechts kring Zuid Celebes”,
disertasi, (Belanda: Penerbit Van Dishoeck ,1973). Isi buku undang-undang Amanna gappa ini mengandung peraturan-
peraturan yang berlaku menurut hukum (adat) Bugis dibidang pengangkutan laut. Tulisan lain tentang buku undang-
undang amana gappa adalah Ph.D.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amana Gappa, (Makassar:
Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1961). Lihat juga Andi Zainal Abidin, Beberapa Catatan Tentang
Kitab Hukum Pelayaran dan Perniagaan Amana Gappa, (Jakarta: BPHN, 1977). Tentunya, penelitian mendalam perlu
dilakukan untuk mengetahui apakah di Indonesia dahulu kala, terutama dalam hukum (adat) Bugis yang dikenal sebagai
pelaut utama antara suku-suku bangsa di Indonesia, telah dikenal konsepsi-konsepsi hukum laut publik yang dapat
disamakan dengan Konsepsi atau lembaga-lembaga (atau pranata) hukum laut internasional publik yang telah diterima
secara umum.
9
Abdul Rasal Rauf, Mengurai Hukum Laut Amannagappa hingga Hukum Laut Modern, Jurnal
Hukum Internasional “Jurisdictionary”, Vol. VI No. 1 Juni 2010, hlm. 37-39.
25
25

atas laut di sekitar pantai. Venetia misalnya mulai mengklaim sebagian besar
dari laut Adriatik, Genoa melakukan hal yang sama atas laut Liguria, sedang
Pisa yang juga negara kecil pecahan Imperium Romawi mengklaim dan
melakukan tindakan-tindakan penguasaan atas laut Thyrenia. Pada masa itu,
para ahli terkemuka seperti Bartolus dan Baldus telah telah meletakkan dasar-
dasar pembagian wilayah laut, yakni bagian laut yang berada di bawah
kekuasaan kedaulatan negara pantai, dan wilayah laut yang berada di luar
kedaulatan pantai atau lebih dikenal dengan konsep laut teritorial dan laut
lepas. Selanjutnya Baldus membedakan tiga konsepsi yang bertalian dengan
wilayah laut yakni : (1) Pemilik laut, (2) Pemakaian laut dan (3) Yurisdiksi atas
laut dan wewenang untuk melakukan perlindungan terhadap kepentingan di
laut.10
Perkembangan pengaturan laut selanjutnya banyak ditentukan oleh
pertentangan pemikiran yang beranggapan bahwa laut sebagai sesuatu yang
tertutup (mare clausum) didukung oleh John Selden, dan pemikiran laut
sebagai sesuatu yang terbuka (mare liberum) yang didukung oleh sarjana
Belanda Hugo Gratius.11 Menurut pemikiran yang menganut mare clausum,
negara memiliki kedaulatan penuh di laut, sehingga tertutup bagi negara lain.
Sedangkan para pemikir mare liberum beranggapan bahwa harus ada
kebebasan berlayar di laut.12
Sekilas gambaran kontribusi sebagaimana dijelaskan di atas
menggambarkan betapa Sulawesi selatan telah berpartisipasi aktif dalam
sejarah perkembangan hukum laut di Indonesia.

C. Penutup

10
Baldus dalam Muchtar Kusumaatmadja, Hukum Laut International, (Bandung: Binacipta, 1987).
11
Buku-buku Grotius ini dalam terjemahan bahasa Inggris diterbitkan oleh International Laws dibawah
pimpinan redaksi James Brown Scott, Di Indonesia, buku-buku ini tersedia di Perpustakaan Lembaga Kebudayaan
Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang disebut sebagai Kementerian Pe ndidikan Nasional) yang
bertempat di Gedung Museum Jakarta. Dalam seri ini diterbitkannya karya-karya penulis klasik hukum internasional lain
sepertinya seperti Vittoria, Gentilis, Bynkershoek, Vattel, dll. Perpustakaan ini juga berfungsi sebagai perpustakaan
Rechtshogeschool (Perguruan Tinggi Hukum Zaman Hindia Belanda).
12
Hal inilah yang menyebabkan mengapa orang-orang Portugis seperti Vasco da Gama sampai di Timur Jauh
(Indonesia) melalui Tanjung Harapan (Afrika Selatan) dan India (kea arah Timur), sedangkan orang Spa nyol bernama
Magelhaens sampai di Filipina melalui Tanjung Magelhaens di Amerika Selatan (ke arah Barat). Pembagian dunia
kedalam dua lingkungan kekuasaan ini juga menerangkan mengapa sebagian dari Amerika Selatan jatuh di bawah
kekuasaan Spanyol dan sebagian dibawah kekuasaan Portugal yaitu yang kemudian menjadi Brazil yang hingga sekarang
berbahasa Portugis.
26
26

Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas


materi pembelajaran kedua dilakukan dalam bentuk makalah dengan
merumuskan beberapa judul/topik, seperti:
1. Kontribusi Indonesia Dalam Konvensi Hukum Laut III Tahun 1982.
2. Konsepsi Negara Kepulauan: Suatu Tantangan Hukum Laut.
3. Sulawesi Selatan: Kontribusi Kelautan yang Tak terbantahkan.

Daftar Bacaan
Abdul Rasal Rauf, Mengurai Hukum Laut Amannagappa hingga Hukum
Laut Modern, Jurnal Hukum Internasional “Jurisdictionary”, Vol. VI No. 1
Juni 2010, hlm. 37-39.
Andi Zainal Abidin, Beberapa Catatan Tentang Kitab Hukum
Pelayaran dan Perniagaan Amana Gappa, Jakarta: BPHN, 1977.
Baharuddin Lopa, Hukum Laut dan Perniagaan, Bandung: P.T.
Alumni, 1982.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut International, Bandung:
Binacipta, 1987.
Mustafa Abubakar, Menata Pulau-Pulau Kecil Perbatasan; Belajar
dari Kasus Sipadan, Ligitan, dan Sebatik, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2005.
Ph.D.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amana Gappa,
Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1961.
S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam
UUD 1945 Serta Pembangunan Nasional, Jakarta: PT Bina Aksara, 1985.
27
27

BAB 4
BAHAN PEMBELAJARAN 3

A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke 3 adalah
“Mahasiswa dapat menjelaskan implementasi asas Negara kepulauan dalam
berbagai peraturan perundangan Republik Indonesia”. Sasaran pembelajaran
dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa
discovery learning melalui small group work, kuliah interaktif dan diskusi kelas.
Adapun criteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik
dalam menyajikan fakta-fakta terkait soal implementasi atau penerapan prinsip
Negara kepulauan melalui partisipasi dalam diskusi, kerjasama tim dan
penguasaan individual pembelajaran ini dilaksanakan selama 100 menit dengan
media modul sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta didik.

B. Uraian
Meskipun secara teknis perundang-undangan hanya terjadi perubahan
terhadap pasal ayat 1 butir 1 hingga 4 dari teritoriale zee en maritieme (TZMKO)
1939 saja, perubahan system pengukuran serta kewilayahan yang termuat dalam
UU No. 4 / PRP / 1960 cukup bermasalah dilihat dari hukum dan kebiasaan
Internasional. Bukan saja hal itu telah meninggalkan peraturan hukum
internasional, yang berlaku dan telah berjalan berabad-abad lamanya tetapi juga
mengakibatkan perubahan kewilayahan yang substansial.
Disamping itu juga yang merupakan hal penting adalah permasalahan lalu
lintas kendaraan air asing, untuk itu dengan peraturan Pemerintah No. 8 tahun
1962, diatur tentang hak lalu lintas damai kendaraan air asing. Peraturan
Pemerintahan merupakan peraturan pelaksanaan dari UU no 4 tahun 1960.
Ketentuan nasional tentang lau lintas damai kapal-kapal asing penting artinya
sebagai bukti adanya kesungguhan dan itikad baik dari Negara pantai untuk
menjamin agar dapat terus berlangsungnya hak lalu lintas damai dalam wilyah
perairan Nusantara Undang-undang No.4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
28
28

Isi Pokok. a. l
a. Perairan Indonesia adalah laut wilayah Indonesia beserta perairan
pedalaman Indonesia (Pasal 1 ayat 1)
b. Laut wilayah Indonesia untuk wilayah laut selebar 12 mil yang garis
luarnya diukur tegak lurus atas garis-garis dasar atau titik pada garis
dasar yang terdiri dari garis-garis lurus untuk menghubungkan titik-titik
terluas pada garis rendah dari pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang
terluar dalam wilayah Indonesia dengan ketentuan jika ada selat yang
lebarnya tidak melebihi 24 mil mil laut + Negara Indonesia tidak
merupakan satu-satunya Negara tepi, maka garis batas laut wilayah
Indonesia ditarik pada tengah selat (Pasal 1 ayat 1).
c. Perairan pedalaman, Indonesia untuk semua perairan yang terletak pada
sisi dalam dari garis dasar laut wilayah (pasal 1 ayat 3)
d. lalu lintas laut damai dalam perairan pedalaman Indonesia terbuka bagi
kendaraan air asing (pasal 3 ayat 1).
e. dengan peraturan pemerintah dapat diatur lalulintas laut damani (pasal 3
ayat 2).
f. Mulai asal berlakunya undang-undang ini (18 Februari 1960) pertama
angka 1 angka 1 sampai 4 teritoriale zee am maritiesme ordonatiec 1939
dicabut (pasal 4 ayat 2).

Dari undang-undang No. 4 tahun 1960 ini jelas bahwa yang dimaksudkan
dengan peranan Indonesia di laut wilayah beserta perairan pedalaman di bagian
laut yang terletak pada di sebelah dalam garis-garis pangkal luas laut wilayah.

Peraturan Pelaksanaan PP No. 8 tahun 1962


Memberikan pengertian tentang lalu lintas damai, di pelayaran untuk
maksud damai yang melintasi laut wilayah +perairan pedalaman Indonesia dari
laut lepas ke teratas pelabuhan Indonesia dari laut lepas kelaut lepas (ayat 10.
Ditentukan pula bahwa semua pelayanan ini harus dilakukan tanpa berhenti +
membuang serta mondar mondir tanpa alasan yang sah (hovering unnua
Cessarily) di perairan atau di laut lepas yang berdekatan dengan perairan tersebut
tersebut tidak termasuk pengertian lalu lintas damai (ayat 3).
29
29

Daerah-daerah “berdekatan” yaitu daerah laut lepas sejauh 100 mil dari
perairan Indonesia. Jadi di daerah 100 mil dari laut wilayah, kapal-kapal pengawas
pantai Indonesia masih dapat melakukan pengawasan terhadap lalu lintas kapal-
kapal. Pasal-pasal ayat 2 : menentukan bahwa lalu lintas damai dianjurkan untuk
mengikuti alur-alur yang dicantumkan dalam buku-buku kepanduan bahari dalam
dunia pelayaran.
Menurut Pasal 3 PP No. 8 Tahun 1962, lalu lintas laut termaksud dianggap
damai selama tidak berlawanan dengan keamanan, keterbatasan umum, +
kepentingan dan/atau tidak mengganggu perdamaian negara Republik Indonesia.
Kalau lalu lintas kapal tersebut akan membahayakan Indonesia, lalu lintas tersebut
tidak dapat lagi dianggap damai. Dalam hal ini, pemerintah tidak dapat lagi
menjamin lautan tersebut/meminta kapal-kapal asing itu meninggalkan laut
wilayahnya dengan Negara yang sekarang diakui oleh Pasal 30 KHL 1982. Suatu
ketentuan yang juga sudah diterima oleh pihak Indonesia. Pantai dapat menutup
untuk sementara bagian-bagian perairannya bagi kapal-kapal asing bila dianggap
pula untuk menjaga keamanan dan pertahanan Nnegara.
Demikian pula halnya dengan Indonesia, dapat ditemukan dalam beberapa
pasal PP No. 8 tahun 1962, yaitu:
Pasal 4 PP No. 8 tahun 1962 menyebutkan bahwa Presiden Indonesia memiliki
kewewenangan untuk menutup bagian-bagian tentang perairan Indonesia
bila dianggap perlu.
Pasal 5 ayat (1) Kapal-kapal ikan asing yang lalu di perairan Indonesia harus
menyimpan alat-alat penangkap ikannya dalam keadaan terbungkus. (oleh
sumber daya ikan dan hak eksklusif rakyat Indonesia).
Ayat (2) : kapal-kapal ikan asing tersebut harus melalui jalanan yang telah
ditetapkan.
Pasal 6 : Presiden dapat member izin pada kapal-kapal penelitian ilmiah di
perairan Indonesia. Sepanjang tidak merugikan Indonesia.
Pasal 7: Kapal perang dan kapal publik asing harus memberitahukan menteri
terkait atau KSAL kecuali bila diatur 7 tahun ditetapkan. (SK Presiden No.
16 tahun 1971).
Bagi kapal-kapal niaga atau swasta asing yang melakukan lintas damai,
tidak ada persoalan. Kapal-kapal bebas tidak perlu diberi tahu dahulu. Tapi kapal-
30
30

kapal asing mengadakan kegiatan yang tidak bersifat lintas damai diperlukan izin
pelayaran sesuai SK Presiden No. 16 tahun 1971 tentang wewenang pemberian
izin berlayar bagi segala kegiatan kendaraan air asing dalam wilayah perairan
Indonesia.
Kesatuan wilayah Republik Indonesia itu selanjutnya makin di tegakkan lagi
kebulatannya dan keutuhannya secara menyeluruh dengan dikeluarkannya
pengumumam pemerintah Republik Indonesia tentang landas kontinen pada
tanggal 17 Februari 1969, yang kemudian diundangkan dalam bentuk UU No. 1
tahun 1973 sehingga pengaturannya telah mencakup dasar laut beserta tanah
dibawahnya (seabed dan subsoil).

Perkembangan Konsep Landas Kontinen


Konsep Landas Kontinen untuk pertama kalinya dikemukakan oleh seorang
Spanyol yaitu Odon de buen pada Konferensi Perikanan di Madrid tahun 1926.
Pada saat itu peringatan landasan kontinen tidak dikaitkan dengan kepentingan
perikanan. Menurut dugaan, perairan diatas Landasan Kontinen merupakan
perairan yang baik sekali bagi kehidupan ikan. Secara oceanografi dapat
dijelaskan bahwa perairan diatas continental shelf termasuk jenis perairan
“euphotic zone” yakni suatu lapisan air yang karena dangkalnya dapat mendapat
cahaya matahari sehingga memudahkan terjadinya “photo sytesis” yang
diperlukan bagi kesuburankehidupan biologi laut. Jenis bologi laut berupa phyto
plankton dan zoo-plankton yang sangat digemari oleh ikan-ikan sebagai makanan
pokoknya.
Kemudian konsep Landasan Kontinen yang dikaitkan dengan kekayaan
alam yang terdapat di dasar laut dan tanah dibawahnya, untuk pertama kali dapat
dilihat dalam proklamasi Presiden Amerika Serikat Harry S Truman pada tanggal
28 September 1945 sebagai berikut:
“Now, therefore, I Harry S Thurman, President of the United Stated of
America, do hereby proclaim the following policy of United States of subsoul
and and seabed of the continental shelf. Having concern for the urgency of
conserving and prudently utilizing its natural resources, the government of
the United States regard the natural resources of the sudsoil and seabed of
tehe continental shelf beneath the high seas but contiguous to the coast of
the United States are appertaining to the United States, subject to
jurisdiction and control. In cases where the continental shelf extend to the
shores of another state or is share with an adjacent state the boundary shall
31
31

be determined by the United States and the States concerned in


accordance with equitable principle. The characteristic as high seas of the
water above the continental shelf and the right to their free and unimpeded
navigation are no way thus affected.

Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian berkenaan dengan


proklamasi tersebut yakni :
1. Bahwa objek proklamasi itu berkaitan dengan kekayaan alam yang terdapat di
dlaam tanah (subsoil) dan sasar laut (seabed) dari landas Kontinen Amerika
Serikat.
2. Bahwa proklamasi itu bertujuan untuk melindungi kekayaan alam dan
memanfaatkannya secara bijaksana.
3. Bahwa Landas Kontinen itu tunduk dibawah jurisdiksi dan pengawasan
Amerika Serikat.
4. Bahwa dalam hal Landasan Kontinen bertemu dengan pantai Negara lain,
batasnya akan diatur secara bilateral berdasarkan prinsip keadilan.
5. Bahwa penentuan landasan Kontinen itu tidak mempengaruhi status perairan
diatasnya sebagai laut bebas.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, proklamasi Presiden Truman itu tidaklah


dapat dianggap menyimpang dari ajaran Grotius tentang laut bebas, karena
motivasi ajaran Grotius itu adalah semata-mata mengenai kebebasan berlayar
dan kebebasan perikanan, sama sekali bukan menyangkut existensi kekayaan
alam yang terkandung pada dasar laut dan tanah di bawahnya. Pandangan
tersebut dikemukakan dalam suatu kesempatan simposium internasional, sebagai
berikut: “It must be added at once the view presented by Grotius on resources of
the sea were limited to the living resources as there as there was no notion at the
time of the existence of mineral and energy resources”.
Disisi lain, Hasjim Djalal menilai bahwa proklamasi Prsiden Truman itu
mengakibatkan perubahan yang radikal dibidang houkum laut. Beliau menyatakan:
“I think it is no exaggeration to state that the Truman Proclamation of 1945 ate the
most important causes the radical changes that have occurred in the legal rezim of
the oceans”.
Perubahan yang radikal memang jelas dapat dilihat dari negara-negara di
Amerika Latin dan di Asia secara pasti mengikuti jejak Presiden Truman. Misalnya,
32
32

Mexico mengeluarkan proklamasi serupa tanggal 29 Oktober 1946; Chili, 1 Juni


1947; Peru, 1 Agustus 1947; Costa Rica, 27 Juli 1948; Saudi Arabia, tahun 1949;
Bahrain, 5 Juni 1949; Qatar, 8 Juni 1949; Abu Dhabi, 10 Juni 1949 ;dan Pakistan,
9 Maret 1950. Sedangkan Indonesia baru mengeluarkan deklarasi yang berupa
Pengumuman Pemerintah tanggal 17 Februari 1969.
Dalam perkembangan selanjutnya terlihat adanya variasi dan modifikasi,
Chili dan Peru misalnya mendasarkan deklarasi mereka atas “teori bioma” dan
“teori kompensasi” dan mengesampingkan teori “perpanjangan secara geologi”
(geological prolongation). Akibatnya, batas landasan Kontinen mereka bukan
kedalaman 200 meter tetapi sejauh 200 mil dari pantai. Bahkan ternyata Argentina
telah melangkah sangat jauh dengan mengklaim bahwa selain landas kontinen,
perairan yang ada diatasnya tunduk di bawah kedaulatan Negara Argentina. Klaim
Argentina ini betul-betul merupakan klaim perluasan wilayah, tidak lagi merupakan
klaim jurisdiksi eksklusif.
Dengan adanya variasi-variasi itu sudah barang tentu dapat menimbulkan
hambatan dan kesulitan dalam praktek internasionla. Hambatan dan kesulitan itu
dicoba diatasi dalam Konferensi Jenewa 1958. Selain tentang landas Kontinen
Konferensi Jenewa 1958 juga membahas tentang Perikanan, Laut Territorial dan
Laut Lepas. Pasal 1 dari Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen
menyebutkan bahwa pengertian landas kontinen tidak saja berupa landas
kontinen dari suatu benua tetapi juga termasuk Landas Kontinen dari suatu pulau.
Batas landas kontinen adalah sampai dengan kedalaman 200 meter atau di luar
itu sepanjang memungkinkan dilakuakn exploitasi. Secara lengkap rumusan Pasal
1 adalah:
“For the purposes of these articles, the term of continental shelf is used as
refreshing: (a) to the seabed and subsoil of the submarine areas adjacent to
the coast but outside the area of the territorial sea, to a depth of 200 meters
or, beyond that limit, to where the superjacent waters admits of the
exploitation of the natural resources of the said areas: (b) to the seabed and
subsoil of similar submarine areas adjacent to the coast of island”.

Mengenai hubungan hukum antar negara dengan landasan kontinennya


dinyatakan dalam Pasal 2 para. (1) sebagai berikut :
1) The coastal state exercises over the continental shelf Sovereign
Right for the purpose of exploring it and its natural resources.
33
33

2) The rights referred into paragraph 1 of this article are exclusive in the
sense that if the coastal state does not explore the continental shelf
or exploits natural resources, no one may undertake these activities,
or make a claim to the continental shelf without the express consent
of the coastal state.

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas jelaslah bahwa menurut Konvensi


Jenewa 1958 negara hanya mempunyai hak berdaulat dan jurisdiksi eksklusif atas
Landasan Kontinen. Dengan demikian berarti klaim Argentina yang menuntut
kedaulatan penuh atas Landas Kontinen dan perairan diatasnya tidak sesuai
dengan perasaan hukum masyarakat internasional yang tertuang dalam Konvensi
Jenewa 1958 itu.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata rumusan Pasal 1 tentang batas
landas Kontinen seperti disinyalir oleh sarjana-sarjana Hukum Internasional
misalnya, Ian Brownlie, Mochtar Kusumaatjaya, Satya Nandan dapat
menimbulkan bermacam-macam interpretasi, tidak menjamin kepastian hukum
sehingga perlu diadakan penyempurnaan. Ketentuan yang ditunjuk sebagai
penyebab ketidak pastian itu adalah kalimat yang berbunyi …”beyond that limit to
when the superjacent water admits the exploitation of the natural resources”.
(Diluar batas itu ketika kedalaman air memungkinkan eksploitasi sumber daya
alam). Akhirnya penyempurnaan itu terlihat dalam ketentuan pasal 76 UNCLOS
1982.

Tindakan Pemerintah Indonesia


Mengikuti perkembangan konsep Negara Kepulauan dan Landas Kontinen,
Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Pada tanggal 13 Desember 1957,
Pemerintah Indonesia mengeluarkan Pengumuman tentang Negara Kepulauan
dan pada tanggal 17 Februari1969 mengeluarkan pengumuman itu masing-
masing dikukuhkan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1973.
Ditinjau dari segi kepentingan Internasional dan nasional kedua
Pengumuman pemerintah itu mempunyai corak yang sedikit berbeda. Perbedaan
itu paling tidak dapat dilihat dalam dua hal yaitu :
1) Secara asas (prinsip), pengumuman pemerintah tentang Negara Kepulauan
tidak sesuai dengan asas kebebasan laut lepas karena akibat hukum dari
pengumuman itu berupa dimasukkannya beberapa bagian wilayah integral
34
34

Indonesia. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pengumuman Pemerintah


tersebut merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari Proklamasi
Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Sementara Pengumuman
Pemerintah tentang landas Kontinen adalah sesuai dengan aspirasi
masyarakaat internasional yang telah tumbuh menjadi hukum kebiasaan
internasional. Singkatnya konsep Negara Kepulauan adalah konsep yang
sama sekali baru dan waktu itu belum terjelma dalam hukum kebiasaan
internasional, sedangkan Konsep Landas Kontinen adalah konsep yang sudah
menjelma dalam hukum kebiasaan internasional walaupun untuk
kepastiannya, lebih jaudgh diperlukan penuangan dalam bentuk tertulis
berupa Konvensi Internasional.
2) Secara politis, Pengumuman Pemerintah tentang Negara Kepulauan bersifat
memperluas wilayah negara yang berarti juga memperluas wilayah negara
yang berarti juga memperluas ruang lingkup berlakunya kedaulatan negara,
sedangkan Pengumuman Pemerintah tentang landas kontinen tidak
memperluas wilayah Negara melainkan hanya memperluas hak berdaulat
serta jurisdikasi ekslusif negara.

Meskipun Pengumuman Pemerintah tentang Negara kepaulauan bersifat


melawan prinsip Hukum Internasional, namun berkat pejuangan yang gigih dari
Indonesia bersama-sama dengan Negara-Negara kepulauan lainya, akhirnya
melalui Konvensi Jamaica (UNCLOS) 1982, prinsip Negara Kepulaaun dapat
diterima oleh masyarakat internasional. Disisi lain, pengumuman tentang landas
Kontinen tidak memerlukan dukungan internasional kerana Pengumuman itu
dikeluarkan setelah berlangsungnya konferensi Jenewa 1958. Dalam konferensi
tersebut terlihat aspirasi dunia untuk menjadikan ketentuan tentang Landas
Kontinen sebagai aturan hukum tertulis. Apa yang dilakukan Indonesia melalui
Pengumuman Pemerintah tanggal 17 Februari 1969 itu telah sinkron dengan apa
yang terlihat dalam konferensi Jenewa mengenai landas Kontinen.
Persoalannya kini adalah bagaimanakah sikap Indonesia menghadapi
adanya dua Konvensi yakni konvensi Jenewa 1958 dan UNCLOS 1982 yang
sama – sama mengatur tentang Landas Kontinen tetapi satu sama lain isinya
berbeda. Terhadap persoalan ini kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut.
35
35

Adalah memang benar Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1958


yaitu Konvensi tentang Laut Lepas (High Seas), tentang Perikanan dan
Perlindungan Sumber Hayati di Laut Lepas (Fishing And Conservation of The
Living Resources of the High Seas), tentang Landas Kontinen (Continental
Shelf). Namun ratifikasi yang dilakukan dengan Undang – Undang No.19 Tahun
1961 sepanjang mengenai perikanan dan Landas Kontinen telah ditolak ole Sek
Jen PBB berhubung dimuatnya persyaratan (reservation) oleh Indonesia bertalian
dengan garis pangkal sesuai dengan UU. No. 4/Prp./1960. Dengan demikian,
yang diterima hanyalah ratifikasi tentang Laut Lepas saja. Berhubung dengan hal
itu, maka secara juridis sepanjang tentang landas Kontinen, Indonesia tidak
terikat pada konvensi Jenewa 1958. Sementara itu, Indonesia telah meratifikasi
UNCLOS 1982 dengan undang-undang No. 17 Tahun 1985. Ini berarti Indonesia
hanya tunduk pada UNCLOS 1982 saja.
Berlainan dengan sifat dari jurisdiksi atau Landas Kontinen yang hanya
memberikan pengaturan tentang dasar laut beserta tanah dibawahnya, maka
pada tanggal 21 Maret 1980 Pemerintah Republik Indonesia telah mengumumkan
wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia selebar 200 mil (yang diukur dari garis
pangkal laut territorial Indonesia sesuai dengan ketentuan UUD No. 4/Prp/1960
tentang wilayah Perairan Indonesia.

Pengertian ZEE Indonesia


Menurut Konvensi Hukum Laut yang baru, yang dimaksud dengan ZEE
adalah: “The exlusive Economic Zone is a are a beyond and adjacent to the
territorial sea, subject to the specific legal rezim established in this part under
which the rights and jurisdiction of the coastal State and the rights and freedom of
other States are governed by the relevant provisions of this Convention”.
Maksudnya adalah ZEE adalah jalur diluar dan dengan laut wilayah, yang
tunduk kepada rezim hukum khusus sebagaimana yang ditetapkan pada bagian
ini yang meliputi hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta
kebebasan-kebebasan dari pada Negara-negara lain yang ditentukan sesuai
dengan konvensi ini. Kemudian batansan yang hampir dengan ketentuan pasal
tersebut di atas adalah batasan yang diberikan oleh Pasal 2 UU No. 5 tahun 1983,
yang menetapkan bahwa. “ZEE Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan
36
36

dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-


undang yang berlaku tentang perairan iNdonesia yang meliputi dasar laut, tanah
dibawahnya dan air diatasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur
dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.”
Dari ketentuan pasal tersebut, ternyata bahwa pasal ini hanya menegaskan
dan mengukuhkan definisi geografis ZEE Indonesia sebagaimaan yang tercantum
dalam pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang ZEE Indonesia
tertanggal 21 Maret 1980.

Sejarah perkembangan rezim hukum ZEE 200 mil


Pada tanggal 28 September 1945 Presiden Amerika Seriakt “Harry S.
Truman” telah mengeluarkan suatu proklamasi No. 2667, ‘Policy of the United
States with respect to the Natural Resources of the Subsoil and Seabed of the
Continental Shelf”.
Dengan proklamasi Presiden Truman tahun 1945 di atas dimulailah suatu
perkembangan dalam hukum Laut yakni pengertian geologi “continental shelf”
atau daratan kontinen. Tindakan Presiden Amerika serikat ini bertujuan
mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan tanah dibawahnya yang
berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan rakyat dan bangsa
Amerika Serikat, terutama kekayaan mineral khususnya minyak dan gas bumi. Hal
tersebut sesuai dengan isi dari proklamasi tersebut yang pada pokoknya adalah :
Sudah selayaknya tindakan demikian diambil oleh negara pantai karena
“continental shelf” dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah daripada wilayah
daratan dan bagaimanapun juga usaha-usaha untuk mengelola kekayaan alam
yang terdapat didalamnya memerlukan kerjasama dan perlindungan dari pantai.
Dnagn demikian maka demi keamanan penguasaaan sember daya alam yang
terdapat dari dalam continental shelf, seyogyanya kekuasaan untuk mengaturnya
ada pada negara pantai yang berbatasan dengan daratan yang bersangkutan”.
Tindakan sepihak Amerika Serikat mengenai landas Kontinen dan
perikanan sebagaimana disebutkan di atas, berpengaruh terhadap perkembangan
rezim hukum ZEE 200 mil tersebut. Hal ini terbukti bahwa negara-negara Amerika
Latin dalam mengajukan tuntutan mereka telah mengemukakan beberapa
argumentasi yang bertujuan untuk melindungi sumber-sumber kekayaan alam
37
37

yang banyak terdapat diperairan sejauh 200 mil, termasuk dasar laut dan tanah di
abwahnya. Argentina menagjukan teori “Epi Continental Sea”, kemudian Ekuador,
Chili dan Peru mengemukakan teori “Bloma”, yang selanjutnya diikuti oleh negara-
negara Amerika Latin lainnya, yakni Meksiko (1946), Honduras (1950), Costa Rica
(1950), El Salvador (1950).
Sebagai tindak lanjut dari tuntutan negara-negara Amerika Latin maka pada
tahun 1952 lahirlah suatu deklarasi baru yakni “Deklarasi Santiago” yang
ditandatangani oleh Negara-Negara : Chili, Ekuador dan Peru: sebagai motivasi
utama tuntutan ketiga Negara peserta deklarasi Santiago ini adalah pelaksanaan
jurisdiksi ekslusif terhadap sumber-sumber kekayaan alam (daya hayati maupun
non hayati) yang terdapat diperairannya yang sejauh 200 mil laut. Sumber-sumber
mana sangat bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan di negara-negara
peserta deklarasi tersebut.
Selanjutnya Winston C.E. menjelaskan bahwa dalam lingkaran sejauh 200
mil itu hak-hak lintas damai (innocent passage) tidak terganggu (inoffensive) dan
tetap diakui sebagaimana mestinya. Sehubungan dengan klaim beberapa negara
mengenai ZEE 200 mil laut ini, PBB telah menyelenggarakan Konferensi Hukum
Laut (UNCLOS) 1 tahun 1958 UNCLOS II tahun 1960 di Jenewa, terutama
bertujuan untuk menetapkan lebar laut wilayah, namun usaha PBB tersebut
ternyata gagal. Kegagalan ini mengakibatkan meluasnya praktek Negara-negara
dalam mengklaim kedaulatan mereka di laut yang berbatasan dengan pantainya.
Termasuk klaim yurisdiksi 200 mil. Klaim-klaim ini berkembang (meluas) sekitar
tahun 1960-1970, terutama yang mengklaim jurisdiksi 200 mil dan tidak terbatas
hanay pada Nnegara-negara Amerika Latin saja, melainkan juga meluas sampai
pada negara-negara asia Afrika.
Menurut Winston C.E., walaupun Negara-negara seperti Benin, Brazilia,
Ekuador, Guinea, panama, Peru, Siera Leone dan Somalia tetap mengklaim
jurisdiksi 200 mil laut sebagai laut wilayah, negara-negara seperti: Argentina,
Bangladesh, Chili, Costa Rica, El Salvador, Guatemala, Honduras, India, Iceland,
Meksiko, Nicaragua, Uruguay dan Amerika serikat mengajukan klaim mereka yang
sejalan dan selaras dengan tuntunan yang telah diajukan oleh Negara-negara
peserta deklarasi Santiago tahun 1952 (Chili, Ekuador, Peru). Perlu dijelaskan
dalam studi ini bahwa dalam perkembangannya, delegasi Kenya secara resmi
38
38

telah mengajukan usul draft article yang mengatur tentang ZEE dalam
persidangan Seabed Committee 18 Agustus 1972, yang selanjutnya dimasukkan
dalam List of Subjects and Issues dan dibahas dalam UNCLOS III 1974.
Ternyata diantara negara-negara yang mengklaim yurisdiksi laut 200 mil
tersebut mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda tentang apa yang telah
dideklarasikan sebelumnya. Hal ini terbukti dengan terjadinya perdebatan sengit
diantara negara-negara peserta UNCLOS III, masing-masing negara dengan gigih
mempertahankan kepentingannya yang menjadi latar belakang klaimnya itu.
Perdebatan dimaksud merupakan bagian laut bebas, ataukah memiliki rezim
hukum spesifik.
Dalam hal ini negara-negara maritim yang kuat, seperti Amerika Serikat,
Uni Soviet, Inggris, Jepang dan Jerman Barat bersitegang dengan pendapatnya
bahwa ZEE 200 mil harus merupakan laut bebas dengan ketentuan bahwa :
a. Negara-negara pantai diberi wewenang tertentu kekayaan alamnya.
b. Kebebasan lautan, termasuk kebebasan menggunakannya untuk kepentingan
militer, tetap terjamin bagi semua bangsa.

Sedangkan Negara-negara pantai terutama negara-negara yang tergabung


dalam kelompok 77 dengan gigih pula tetap mempertahankan pendapatnya
bahwa konsep ZEE merupakan suara konsepsi suigeneris yang memiliki rezim
khusus mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban negaranya. Dengan
demikian negara-negara yang tergabung dalam kelompok 77 tersebut tetap
menentang dipertahankannya status laut bebas bagi ZEE, walaupun mengakui
beberapa kebebasan dilaut lepas dengan ketentuan bahwa hak-hak tersebut
harus diperinci secara jelas dan tegas.
Menurut Hasjim Djalal dalam bukunya “Perjuangan Indonesia dibidang
Hukum Laut”. Meyatakan bahwa, negara-negara tak berpantai (landlocked
States) dan negar-negara secara geografis tidak beruntung (geographically
disadvantaged States) menuntut hak-hak yang sama dengan negara-negara
pantai, tidak saja dibidang perikanan tetapi juga terhadap sumber-sumber
kekayaan laut lainnya di dasar laut.
Namun negara-negara pantai hanya bersedia memberikan surplus
perikanan yang tidak dapat diambil oleh negara-negara pantai, dalam hal ini
negara-negara yang tergolong landlocked dan geographically disanvantage yang
39
39

mendasarkan tuntutan mereka atas dasar prinsip “common heritage of mankind”


yang mengklaim hak yang sama dengan negara-negara pantai untuk mengambil
kekayaan alam di ZEE tersebut. Sebagai ilustrasi disini, negara-negara tak
berpantai dan secara geografis tidak beruntung misalnya Singapura, Nepal, dan
Zambia, sedangkan ketiga lainnya yang termasuk dalam ketegori “distant”.
Penyelesaian yang selalu menjadi tujuan hukum pada akhirnya perbedaan dan
pertentangan pendapat yang pada mulanya tegang itu, dengan jalan perundingan
dan mufaakt kemudian dapat dipertemukan, sehingga perjuangan mengenai rezim
hukum ZEE 200 mil akhirnay dapat dirumuskan, kepentingan semua pihak dapat
dapat ditampung tanpa saling merugikan. ZEE 200 mil dengan demikian tidak
dikualifikasikan sebagai laut bebas dan tidak pula sebagai laut wilayah, namun
sebagai suatu rezim sul generis, yang diartikan ZEE mempunyai ketentuan hukum
sendiri.
Kemudian setelah mengalami amandemen-amandemen dalam Informal
Single Negotiating Text (INST) dan Revised Singel Negotiating Text (RSNT),
ketentuan-ketentuan mengenai ZEE 200 mil dimuat dalam pasal 55-75 Bab V
Informal Composite Negotiating Text. (ICNT).
Menlu RI Mochtar Kusumaatmadja, dalam penjelasannya mengenai
Pengumuman Pemerintah tentang ZEE Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980,
tealh menegaskan bahwa walaupun ketentuan-ketentuan tentang ZEE dalam bab
V ICNT ini belum berhasil diresmikan menjadi suatu konvensi Hukum Laut
Internasional, dengan makin banyaknya negara-negara yang mengumumkan ZEE
200 mil, maka rezim itu melalui proses pembentukan hukum kebiasaan
internasional, dewasa ini telah menjadi Hukum Laut Internasional yang abru,
Konvensi Hukum laut III ini telah ditandatangani di Montego Bay, Jamaika tanggal
10 Desember 1982.

Penentuan batas ZEE


Salahsatu masalah yang cukup rumit untuk diselesaikan adalah penentuan
batas ZEE dengan negara-negara tetangga. Meskipun negara-negara tetangga
menganut prinsip penarikan batas yang sama tentang rezim ZEE, namun dalam
masalah penetapan batas ini masih beluma da kesepakatan, sampai akhirnya
sidang ke 11 di New York yang lalu, Komperensi Hukum Laut PBB telah berhasil
40
40

mencapai kesepakatan dalam merumuskan penetapan batas ZEE ini, khususnya


mengenai penentuan batas ZEE yang menyangkut kepentingan dua negara atau
lebih baik yang letaknya berdampingan maupun yang berhadapan (opposite or
adjacent coastals) harus dilakukan secara damai menurut Hukum Internasional
yang berlaku umum dan khususnya tidak bertantangan dengan ketentuan-
ketentuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akan tetapi bagi Indonesia,
batas ZEE 200 mil laut dengan negara-negara tetangga dimaksud tetap harus
ditentukan berdasarkan pada “asas sama jauh” (equidistant principle) dengan
memperhitungkan keadaan-keadaan khusus (special circumstances).
Selain itu Indonesia berpendirian bahwa batas ZEE tersebut tidak perlu
identik dengan batas landas kontinen, karena patokan-patokan yang dipakai,
factor-faktor yang mempengaruhinya pun adalah berbeda. Apabila ZEE Indonesia
tumpang tindih dengan ZEE Negara-negara yang pantainya saling berhadapan
ataupun ataupun berdampingan (opposite or adjacent coastal) dengan pantai
Indonesia, maka batas ZEE antara Indonesia dengan Negara-negara tersebut
ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan Negara yang
bersangkutan. Selama persetujuan sebagaimana dimaksud di atas belum ada dan
tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas
ZEE antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama
jarak (middle line or equidistant) antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia
atau titik-titik terluar negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang peraturan
sementara yang berkaitan dengan batas ZEE termaksud.
Dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa pasal ini
memberikan ketentuan bahwa prinsip sama jarak (equidistant) digunaakn untuk
menetapkan batas ZEE antara Indonesia dengan negara tetangga, kecuali jika
terdapat keadaan-keadaan khusus (special circumstances) yang perlu
dipertimbangkan sehingga tidak merugikan kepentingan nasional. Keadaan
khusus tersebut adalah misalnya terdapatnya suatu pulau dari negara lain yang
terletak dalam jarak kurang dari 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal untuk
menetapkan lebarnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Persetujuan Bilateral tentang Akses Negara ketiga


41
41

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut yang baru,
Indonesia sebagai salah satu Negara pantai berkewajiban untuk memberikan
akses kepada Negara ketiga atas sebagian dari surplus perikanan yang ada di
ZEE Indonesia. Surplus yang demikian aka nada jika tiba musim panen
(harvesting capacity). Indonesia berada dibawah “Total Allowable Catch” (TAC)
atau suatu jumlah yang diperkenankan untuk ditangkap.
Tidak dapat kita ingkari bahwa lazimnya kesulitan untuk menentukan TAC
dan harvesting capacity akan timbul. Hal ini adalah logis, karena Indonesia
sebagai negara pantai yang tergolong dalam negara yang sedang berkembang,
dengan masih mempergunakan alat-alat yang tradisional dalam rangka mengelola
penangkapan dalam hasil perikanan laut yang hamper mencapai 75% terdiri dari
laut Indonesia dapat diperkirakan akan mempunyai surplus yang harus diberikan
kepada negara ketiga tertentu. Sesuai dengan ketentuan Kovensi Hukum laut
yang baru, bahwa berdasarkan prioritas, negara ketiga yang dapat menerima
akses yang dimaksud. Hal ini sudah digariskan dalam konvensi yakni negara-
negara yang tak berpantai (landlocked States), negara-negara yanag secara
geografis kurang beruntung (geographically disvantages States). Dalam hal ini
negara Singapura dan Zambia. Kemudian Negara-negara ketiga lainnya termasuk
kedalam distant fishing countries yaitu Korea dan Jepang.
Sesuai dengan ketentuan Konvensi Hukum laut yang baru akses dimaksud
harus diberikan berdasarkan persetujuan, baik bilateral maupun regional, yang
memuat syarat-syarat tentang akses-akses tersebut. Oleh karena itu, Pemerintah
Republk Indonesia juga perlu segera merumuskan model persetujuan induk yang
mengatur secara umum masalah akses tersebut. Sebagaimana yang dianjurkan
(sarankan) oleh Dimyati Hartono bahwa :
“persetujuan yang dimaksud dapat menyangkut masalah tindakan maslah
perlindungan yang berupa pembatasan terhadap jenis, jumlah ikan yang
boleh ditangkap oleh masing-masing Negara, atau mengenai waktu dan
cara-cara penangkapan ikan yang semuanya didasarkan pada rujukan
untuk menjamin kelestarian sumber daya hayati di wialyah perairan
tersebut”.

Selanjutnya ditegaskan bahwa sebagaimana yang dilakukan oleh negara-


negara yang secara geografis kurang beruntung dan yang letaknya berhadapan
ataupun berdekatan (adjenct) mengadakan tindakan demikian dapat berarti bahwa
42
42

suatu peraturan secara regional. Adanya usaha serupa ini sudah tentu dapat
mengisi gagasan-gagasan ekonomi ASEAN yang saat ini sedang digalakkan,
khususnya tentang masalh menjamin kelestarian sumber-sumber daya alam laut.
Tindkan serupa perlu diadakan untuk wilayah perairan Indonesia di sekitar laut
Sulawesi yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Filipina.
Sifat khusus sebagai Negara Kepulauan yang berimpit batas dengan
negara tetangga tidak boleh diabaikan. Adanya penangkapan-penangkapan ikan
secara tradisional oleh rakyat kedua negara sehingga perlu pula pendekatan
serupa terhadap Negara tetangga kita Papua Nugini mengenai kegiatan perikanan
di Pantai utara dan selatan Irian Jaya. Berdasarkan persetujuan-persetujuan
demikian dapatlah dibuat persetujuan-persetujuan pelaksanaan yang akan
mengatur secara terperinci syarat-syarat akses, seperti: mengenai quota, license,
fee serta masalah berlakunya perizinan bagi daerah yang ditentukan, mengenai
hukuman, pengawasan dan sebagainya. Tentunya, persetujuan bilateral tersebut
harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan tentang
perairan di ZEE Indonesia khususnya, tidak bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan yang termuat dengan konvensi Hukum Laut yang baru, serta aturan
kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
bangsa-bangsa yang beradab.
Selanjutnya dibawah ini akan dikemukakan kebijakan Pemerintah Republik
Indonesia dalam penetapan batas-batas laut wilayah serta batas ZEE 200 mil laut
dengan beberapa negara tetangga baik yang sudah dilakukan, antara lain adalah
dengan Papua Nugini, Australia, Vietnam, Filipina dan Malaysia dengan
memanfaatkan beberapa pendapat yang ada hubungannya dengan persoalan
penetapan batas-batas dimaksud.
1. Indonesia - Malaysia
Sebagaimana sudah kita ketahui bahwa sudah terdapat beberapa perjanjian
antara Indonesia dan Malaysia, baik mengenai laut wilayah maupun landas
kontinen telah diadakan, yang antara lain adalah sebagai berikut:
a. Perjanjian mengenai Lands Kontinen di Selat Malaka dan laut Cina Selatan,
27 Oktober 1969;
b. Perjanjian tentang Common Point di Selat Mlaka, 21 Desember 1971;
43
43

c. Perjanjian tentang Garis Batas laut Wilayah di Selat Malaka, 17 Maret


1970;
d. Perjanjian tentang Rezim Hukum Negara Kepulauan, Kamis 25 Februari
1982 di Jakarta.

Perjanjian yang disebutkan terakhir merupakan tindak lanjut daripada


“Memorandum of Understanding” antara kedua negara mengenai pengakuan
hak-hak dan kepentingan Malaysia berdasarkan sejarah di perairan laut Cina
Selatan yang memisahkan Malaysia Barat dan Timur. Perundingan-
perundingannya sudah dilakukan sejak bulan Februari 1981 di Kuala Lumpur
dan di Jakarta awal bulan Juli 1981, dimana masing-masing pihak telah
melakukan pembebasan terhadap draft article persetujuan dan counter draft-
nya. Pihak Malaysia diberitakan telah menyatakan dukungannya terhadap
rezim hukum negara kepulauan (Wawasan Nusantara) Indonesia. Adanya
pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang ZEE pihak Indonesia
telah menegaskan bahwa materi pengumuman tersebut tidak akan
mempengaruhi hak-hak Malaysia dengan kepentingan nasionalnya,
sedangkan pihak Malaysia telah pula menyatakan dukungannya terhadap
Wawasan Nusantara kita.
Dengan demikian baik mengenai batas laut wilayah maupun batas
landas kontinen serta ZEE 200 mil laut Indonesia Malaysia sudah diwujudkan
dalam bentuk persetujuan / perjanjian. Akan tetapi pihak Indonesia dikejutkan
dengan adanya tindakan sepihak (unilateral act) Malaysia yang
mengumumkan peta baru landas kontinen Malaysia dalam mana Pulau
Sipadan dan Ligitan yang termasuk wilayah Indonesia telah dicantumkan
dalam peta tersebut, Indonesia telah mengajukan protes, yang selanjutnya
dalam pertemuan Presiden Soeharto dengan Perdana Menteri Datok Husain
Onn di Kuantan 26 Maret 1980 untuk menyelesaikan masalah tersebut telah
dibicarakan cara-cara menyelesaikannya secara hubungan baik.
Sehubungan dengan dihukumnya ZEE 200 mil Malaysia pada 28 April
1980, pemerintah Malaysia telah memberikan gambaran-gambaran yang
positif dalam hubungannya dengan pihak Indonesia, gambaran (penjelasan)
tersebut diberitakan antara lain:
44
44

a. Menteri Hukum Abdul Kadir Yusuf menjelaskan bahwa sebagai dampak


dari pengumuman tersebut akan terjadi wilayah-wilayah yang dpat
dipersengketaan dengan negara-negara tetangga-tetangga (termasuk
Indonesia), Malaysia bersedia untuk menyelesaikannya secara damai
melalui perundingan dan menetapkan batas-batas ZEE sesuai dengan
batas-batas ZEE sesuai dengan Hukum Internasional
b. Dibagian utara Selat Malaka dsan bagian-bagian tertentu Laut Cina
Selatan, Malaysia akan memperhatikan hak-hak negara tetangga yang
bersangkutan

Dari penegasan yang disebut dalam point b diatas, maka di perairan


tersebut Indonesia masih harus mengadakan penetapan batas ZEE 200 mil,
dimana diperkirakan yang lebarnya kurang dari 400 mil, namun lebih dari 24 mil
laut, termasuk dibagian utara Selat Malaka. Tentu saja penetapan batas ZEE
diperairanyang diseut terakhir diatas, tidak hanya menyangkut kepentingan
Malaysia dan Indonesia saja melainkan juga dengan Thailand, sebagaimana
halnya sewaktu mengadakan perjanjian mengenai penentuan “Common Point”
diSelat Malaka pada tanggal 21 Desember 1971 tempo hari.
Diperairan tersebut antara Indonesia Thailand sudah dicapai persetujuan
mengenai batas landas kontinen, tidak saja di Selat Malaka ytahun 1971, tetapi
juga dibagian utara dan barat laut Selat Malaka tahun 1975. Kemudian dicapai
kesepakatan yang dituangkan dalam persetujuan tiga Negara (trilateral) antara
Indonesia India dan Thailand mengenai batas landas kontinen dilaut Andaman
tahun 1978. Dari ketentuan dan penegasan diatas, dapat disimpulkan bahwa
perjuangan Indonesia dalam menegakkan rezim hkum ZEE 200 mil ini sudah
merupakan perjuanagn yang keberhasilannya tidak dapat diragukan dan dan
disangsikan lagi.

2. Indonesia - Filipina
Filipina pada bulan Mei 1979, tealh mengumkan ZEE 200 milnya. Sistem
yang dianut Filipina dalam penetapan batas landas kontinennya adalah sistem
yang sama dengan yang dianut oleh Indonesia yakni “middle line atau
equidistant”, baik di Indonesia maupun Filipina keduanya adalah negara
kepulauan. Dengan terjadinya penetapan batas ZEE 200 mil laut oleh masing-
45
45

masing yang mengelilingi masing-masing kepulaunnya, maka dibagian selatan


Filipina (selatan Mindanao) dan bagian utara Indonesia (laut Sulawesi dan Sangir
Talaud) perlu diadakan penetapan batas-batasnya. Tumpang tindihnya wilayah
tersebut di atas diperkirakan akan terjadi dibagian selatan Mindanao, sedangkan
di perairan laut Sulawesi hanya akan terjadi perhimpitan garis batas.

3. Indonesia - Vietnam
Penetapan garis batas landas kontinen dengan pihak vietnam ternyata
mengalami kesulitan pula, dikarenakan adanya perbedaan pendapat mengenai
system penarikan garis batas tersebut, perbedaan yang dimaksud adalah
terdapatnya perbedaan prinsip sebagai berikut :
a. Pihak Indonesia: bagi penetapan batas landas kontinen ini, Indonesia
sangat berkeberatan dan menolak prinsip penarikan garis batas yang
dipergunakan oleh pihak Vietnam yakni prinsip “trench” Indonesia
menginginkan sistem penarikan sistem penarikan garis tengah (middle
line) sebagai batas landas kontinennya.
b. Pihak Vietnam: bagi penetapan batas landas kontinennya menghendaki
agar prinsip “thalweg” dipergunakan sebagaimana mestinya, prinsip lazim
dipergunakan untuk menentukan garis batas negara yang berbatasan
dengan sungai di mana alur-alur terdalamnya sangat diperhatikan. Sejalan
dengan prinsip tersebut, pihak Hanoi menuntut agar suatu trench (palung
laut) yang membentang sejak Pulau Anambas sampai Pulau Natuna
merupakan batas landas kontinennya.

Dengan belum adanya kesepakatan mengenai masalah ini, jelas telah


menggambarkan adanya batas wilayah yang masih tumapng tindih dan demi
keamanan serta ketertiban masing-masing negara, keadaan demikian perlu
segera diselesaikan. Dari keenam kali perundingan yang telah dilaksanakan oleh
kedua belah pihak, masing-masing pihak telah menyatakan itikad baik sehingga
diperoleh kemajuan-kemajuan yang positif, terutama dengan adanya pergeseran-
pergeseran dari posisi masing-masing yang semula, bahkan dalam perundingan
yang keenam di Jakarta pada pertengahan Mei 1981 pihak Vietnam telah
meninggalkan sistem thalweg-nya dan pihak Indonesia telah memberikan
konsensi-konsensi tertentu pula.
46
46

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Vietnam telah mengeluarkan


pernyataannya mengenai wilayah perairannnya pada tanggal 12 Mei 1977 dan
menetapkan Undang-undang Maritimnya pada bulan Januari 1980. Undang-
undang tersebut antara lain ditetapkan bahwa wilayah maritim Vietnam adalah
sejauh 200 mil laut, dengan perincian 12 mil laut territorial, 2 mil wilayah
menjangga dan selebihnya adalah ZEE.
Sehubungan dengan penetapan batas ZEE 200 mil laut Indonesia dan
adanya perntyataan seperti tersebut di atas dari pihak Vietnam dalam hal
penetapan batas ZEE sesungguhnya tidak akan terjadi tumpang tindih batas, jika
pihak vietnam tetap mempergunakan formulanya yang pertama yakni “normal
baseline”, dan tidak mengubah formula tersebut dengan sistem sgalwe, dan tidak
mengubah formula tersebut dengan sistem thalweg-nya garis pangkal yang
ditetapkannya akan berada lebih jauh dari apntai dan lebih jauh dari pada normal
baselines tersebut, sehingga tumpang tindih wilayah akan terjadi. Namun menurut
Guy Sacerdotti dalam tulisannya yang berjudul “Flexing an Economic Muscle
(FEER), 1980 menyebutkan bahwa pihak Indonesia tetap berpendirian bahwa
tidak ada wilayah yang tumpang tindih dengan pihak Vietnam.

4. Indonesia - Papua Nugini

Masalah penetapan batas ZEE 200 mil laut antara Indonesia dengan Papua
Nugini sesungguhnya tidak banyak menimbulkan masalah. Hal ini dikarenakan
bahwa perjanjian-perjanjian antara Indonesia Australia sebelum wialyah itu
merdeka masih tetap diakui dan berlaku. Sesuai dengan kebiasaan dan
ketentuan Hukum Internasional yang berlaku, perlu diadakan pembaharuan
perjanjian batas antara kedua negara. Kedua negara sudah membicarakan lagi
(dalam hal ini sebelumnya yakni pada bulan Mei 1978 telah dikeluarkan
pernyataan bersama (joint declaration) kedua negara. Pernyataan tersebut
menegaskan bahwa perjanjian-perjanjian terdahulu tetap mempunyai daya laku
dan akan diadakan persetujuan final mengenai penetapan batas kedua negara.
Juga dalam pernyataan bersama tersebut disebutkan bahwa tindakan-tindakan
yang diambil oleh pihak Papua Nugini untuk menetapkan zona perikanan 200 mil
serta kebijaksanaannya dalam pengelolaan sumber-sumber daya hayati zona
tersebut diakui.
47
47

Menurut R.S Roosman dalam tulisannya yang berjudul “Persetujuan


Perbatasan Indonesia Papua Nugini”, menyebutkan bahwa pernyataan bersama
kedua Negara yang dikeluarkan pada tanggal 18 Oktober 1979 di Port Moresby
disebabkan bahwa telah dilangsungkan perundingan mengenai rancangan
persetujuan perbatasan laut dan dasar laut dibagian utara Papua Nugini.
Selanjutnya menurut Press Release Departement Luar Negeri Republik Indonesia
tentang perundingan Indonesia Papua Nugini. Di Port Mosbey mengenai batas-
batas kedua Negara, dinyatakan bahwa dengan diumumkannya ZEE 200 mil laut
Indonesia tanggal 21 Mei 1980, perlu diadakan penetapan batas ZEE kedua
Negara, terutama sebhubungan denagan tindakan sepihak Papua Nigini dalam
menetapkan zona perikanan pada bulan Maret 1978. Dalam rangka mencari
penyelesaian mengenai hal-hal tersebut di atas, maka pada tanggal 29 Mei
sampai dengan 6 Juni 1980 telah diadakan perundingan antara kedua negara di
Port Moresby. Menurut Feter Rodgers persetujuan-persetujuan tersebut di atas
adalah melengkapi perjanjian-perjanjian yang telah diadakan oleh kedua negara
sebelumnya.

5. Indonesia - Australia

Perairan di sebelah selatan Timor-timor terdapat masalah yang pada


waktunya harus diselesaikan antara kedua negara bertetangga yang
bersangkutan. Masalah ini adalah menyangkut batas landas kontinen bagian
sebelah timor-timur dan barat Timor Timur telah diselesaikan sewaktu wilayah itu
masih merupakan bagian Portugal. Dengan timbulnya integrasi Timor Timur ke
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan keharusan bagi
Indonesia dan Australia untuk menyelesaikan penentuan batas landas kontinen di
sebelah selatan pulau tersebut.
Pada awal bulan Januari 1985, diberbagai harian umum telah diberitakan
bahwa usaha-usaha melalui perundingan untuk menetapkan batas landas
kontinen di sebelah selatan Timor Timur itu kurang lancar dan mengalami ‘gap”
antara garis batas bagian barat dan timur debagai hasil perjanjian 1971 dan 1972.
Penetapan batas antara Indonesia-Australia di bagian barat dan timur yang
berdasarkan suatu formula yang telah dirimuskan semula, telah mengakibatkan ¾
landas kontinen diperairan tersebut. Berada dibawah pengawasan pihak Australia.
48
48

Sesungguhnya pada waktu Portugal masih menguasai Tim-Tim tersebut, antara


Portugal dan Australia tealh tibul perbedaan pendapat mmengenai garis batas
landas kontine dirairan itu. Pihak Australia mengemukakan bahwa ada dua landas
kontinen yang berbeda yang dipisahkan oleh lembah Timor (Timor Trough) yang
terletak 60 mil Selatan Pulau Timor dan 300 mil di sebelah utara Darwin.
Sedangkan pihak Portugal menganggap hanay ada satu landas kontinen yang
berlanjut (one continous continental shelf) dan middle line seharusnya ditarik
antara Australia dan Timor Timur.
Pada tahun 1974 Portugal memberi izin konsesi perusahaan minyak
Amerika “Oceanic Exploration Company” (OEC) sampai garis batas yang
diklaimnya, yang ternyata tindakan ini diprotes oleh Australia karena perizinan itu
memotong dan melampaui wilayah konsesi berbagai perusahaan minyak asing
yang telah diberi izin konsesi oleh Australia sampai pada garis batas yang telah
diklaimnya.
Menurut Michael Richardson dalam tulisannya yang berjudul “Drawing The
Seabed Line” 1978,sehubungan dengan usaha-usaha penetapan landas kontinen
antara Indonesia dan Australia, pihak perusahaan minyak OEC mengharapkan
agar Indonesia dapat memberi izin konsesi seperti yang diberikan oleh Portugal.
Bagi Australia, jika Pihak Indonesia memenuhi permintaan tersebut memenuhi
permintaan tersebut dan mengubah formula perjanjian 1971 dan 1972 maka izin
konsesi itu akan memotong enam wilayah konsesi Australia. Pihak Australia
mengharapkan agar Indonesia melanjutkan penarikan garis batas straight
archipelagic baselines joining the outermost points of the outermost islands and
drying reefs of the archipelago provided that…, yang telah dicapainya.
Sepanjang pengetahuan penulis, perundingan antara Indonesia Australia
mengenai masalah ini telah berulang kali diadakan. tercatat bahwa pertama di
Canberra pada bulan Februari 1979; kedua, di Jakarta pada bulan Mei 1979;
ketiga di Canberra. Namun hasilnya sampai saat ini belum dapat diselesaikan
secara tuntas, karena dikabarkan bahwa pihak Australia pada tanggal 1 November
1979 telah mengumumkan zona perikanan 200 mil laut, dalam hal ini dirasakan
telah mendesak untuk menetapkan garis batas ZEE 200 mil di wilayah tersebut
melalui perjanjian bilateral.
49
49

Hingga kini baik Indonesia maupun pihak Australia masih menyatakan


hasratnya untuk bertanding kembali dan menyelesaikan persoalan batas landas
kontinen ZEE 200 mil masing-masing. Tercapainya kesepakatan mengenai
penetapan batas landas kontinen dibagian selatan Timor Timur nanti sudah tentu
akan memudahkan tercapainya kesepakatan mengenai penetapan batas ZEE,
antara kedua negara, bahkan akan menjadi dampak positif terhadap ubungan
bilateral kedua negara di berbagai kepentingan.

Hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban Indonesia di ZEE 200
mil
Hak berdaulat (sovereign rights) dan yurisdiksi (jurisdiction) dan kewajiban-
kewajiban (duties) Indonesia atas laut selebar 200 mil dari garis dasar di sekeliling
kepulauan Indonesia berlaku berdasarkan Pengumuman Pemerintah tanggal 21
Maret 1980, yang kemudian dituangkan ke dalam Undang-undang Nomor 5 tahun
1983 tentang ZEE Indonesia. Telah diketahui bahwa ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam undang-undang tersebut adalah sebagian besar merupakan
ketentuan yang telah disesuaikan (accommodation) dengan Konvensi Hukum Laut
yang baru (1982) khususnya mengenai ZEE 200 mil tersebut. Di zona Ekonomi
Eksklusif tersebut, Indonesia merupakan salah satu negara pantai mempunyai dan
melaksanakan:
a. hak berdaulat untuk melakukan ekplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan
konservasi sumber daya alam hayati dan nonhayati dari dasar laut dan tanah
di bawahnya serta air diatasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk
ekplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkit tenaga
air, arus dan angin
b. Yurisdiksi yang berhubungan dengan :
1. Pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan
bangunan-bangunan lainnya (the estabilishment and use of artificial
island, installations and structures).
2. Penelitian ilmiah mengenai kelautan (marine scientifific research).
3. perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (the protection and
preservation of the marine environment).
50
50

c. Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan konvensi Hukum


laut yang berlaku (other rights and duties provided for ini this convention).

Hak berdaulat Indonesia sebagai negara pantai yang dimaksudkan di atas


tidak sama atau tidak dapat disamakan dengan kedaulatan penuh yang dimilki dan
dilaksanakan oleh Indonesia atas laut wialyah, perairan Nusantara dan perairan
pedalaman Indonesia. Berdasarkan hal tersebut di atas maka sanksi-sanksi yang
diancam di ZEE Indonesia berbeda dengan sanksi-sanksi yang diancam
diperairan yang berada dibawah kedaulatan Republik Indonesia tersebut. hak-hak
lain berdasarkan Hukum Internasional adlah hak Republik Indonesia untuk
melaksanakan penegakan hukum (law enforcement) dan hot pursuit terhadap
kapal-kapal asing yang melakukan perlanggaran atas ketentuan-keetntuan
peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai ZEE. Kewajiban lainnya
berdasarkan Hukum Internasional adalah kewajiban Republik Indonesia untuk
menghormati hak-hak negara lain, misalnya kewajiban pelayaran dan
penerbangan (freedom of navigation and overflight) dan kebebasan pemasangan
kebal-kabel dan pipa-pipa dibawah laut (freedom of the laying of submarine cables
and pipelines).
Sepanjang yang bertalian dengan dasar laut dan tanah dibawahnya, hak
berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Indonesia
sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan menurut perundang-undangan
landas kontinen (this rights set out in this article with respect to the seabed and
subsoil shall be exerciased in accordance with part VI) Indonesia, serta
persetujuan-persetujuan antara republik Indonesia dengan negara-negara
tetangga dan ketentuan-ketentuan hukum Internasional yang berlaku (pasal 4 ayat
2).
Jelaslah bahwa ketentuan tersebut di atas menginginkan bahwa sepanjang
menyangkut sumber daya alam dhayati dan non hayati didasar laut dan tanah
dibawahnya yang terletak didalam batas-batas ZEE Indonesia hak berdaulat
Indonesia dilaksanakan dan diatur berdasarkan perundang-undangan Indonesia
yaitu yang berlaku di bidang landas kontinen serta persetujuan-persetujuan
internasional tentang landas kontinen yang menetapkan batas-batas landas
kontinen antara Indonesia dengan negara-negara tetangga yang pantainya saling
berhadapan atau saling berdampingan dengan Indonesia.
51
51

Di ZEE Indonesia, kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional


serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut diakui sesuai dengan
prinsip-prinsip Hukum Laut Internasional yang berlaku dimaksud, seperti yang
tumbuh dari praktek negara dan dituangkan dalam konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa tentang Hukum Laut yang dihasilkan oleh UNCLOS III di ZEE setiap
negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai (landlocked States) dan
negara secara geografis kurang beruntung (geographically disanvantaged States),
menikmati kebebasan pelayaran penerbangan Internasional serta kebebasan
pemasangan kabel dan pipa bawah laut, serta pengunaan laut yang bertalian
dengan kebebasan-kebebasan tersebut seperti pengoperasian kapal-kapal
pesawat udara dan pemeliharaan kabel dan pipa bawah laut.
Untuk lebih mudah pemahamannya maka hak-hak dan kewajiban Indonesia
sebagai negara pantai menurut hukum yang mengatur tentang ZEE ini, akan
diperinci sebagai berikut:
1. Semua nNegara bebas dalam pelayaran, penerbangan, peletakan kabel dan
pipa dibawah laut dan kebebasan-kebebasan internasional lain yang
berhubungan dengan pengoperasian kapal-kapal, pesawat terbang dan kabel
serta pipa dibawah laut. Juga semua Negara dalam melaksanakan hak dan
kewajiban di ZEE Indonesia harus menghormati hak dan Negara Indonesia
dalam bidang-bidang yang diatur oleh konvensi Huku Laut yang baru atau
Hukum Internasional lainnya (Pasal 58 ayat 1,2)
2. jika terjadi perselisihan antara negra Indonesia dengan Negra-negara lain di
ZEE Indonesia harus diselesaikan atas dasar keadilan (equitable solution)
dengan memperhatikan semau keadaan yang berkaitan (Pasal 59).
Dalam rangka pelestarian sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi
Eksklusif, Konvensi Hukum laut III (1982) mewajibkan Indonesia untuk:
a. Menentukan jumlah ikan yang boleh ditangkap (the coastal State Shall
determine the allowable catch of the living resources in its exclusive economic
zone);
b. Dengan menggunakan data-data ilmiah (the best scientific evidence available
to it) terbaik yang dapat disediakan harus mencegah ekploitasi yang
berlebihan (over exploitation) dengan tindakan pelestarian dan pengelolaan
yang benar atas sumber daya alam hayati. jika perlu disarankan (dianjurkan)
52
52

bekeja sama dengan negara atau organisasi internasional lain baik


subregional, regional maupun global (as appropriate, the coastal State and
competent international organization, whetever subregional, regional or global,
shall co-operate to this end);
c. Melaksanakan tindakan untuk memelihara dan mengembalikan populasi
(restoring populations) jenis-jenis ikan tertentu sampai “maximum sustainable
yield” dan memelihara serta meningkatkan jenis-jenis yang akan punah.

Selanjutnya Konvensi Hukum Laut yang baru mewajibkan Indonesia


sebagai Negara pantai untuk mengusahakan pemanfaatan secara optimum
sumber daya alam hayati di ZEE (the coastal State shall promote the objective of
optimum utilization of the living resources in the ZEE without prejudice), dengan
cara-cara sebagai berikut:
1. Menetukan kapasitas (kemampuan) penangkapan pihak Indonesia sebagai
Negara pantai di ZEE (the coastal State shall determine its capacity to
harvest the living resources of the ZEE). dalam hal pihak Indonesia tidak
mempunyai kemampuan memanen seluruh ‘allowable catch” harus
mengizinkan negara atau nelayan negara lain yang mengambil suplusnya
(where the coastal state does not have the capacity to harvest the entire
allowable catch, it shall, througt agreements or other arrangements and
pursuant to the terms);
2. Pihak asing yang menangkap ikan di ZEE Indonesai harus tunduk kepada
aturan-aturan untuk pelestarian sumber alam hayati yang (akan) dibuat oleh
pemerintah Indonesia, antara lain menyangkut :
a. Lisensi nelayan, jenis kapal dan perlengkapannya, termasuk
pembayaran uang perizinan yang dapat berupa perlengkapan (alat) atau
teknologi yang berhubungan dengan industri pengelolaan ikan (licensing
of fisherman, fishing vessels and equipment, including payment of fish
and other forms of remuneration, which, in the case of developing
coastal State, may consist of adequate compensation in the field of
fishing industry);
b. Penentuan jenis ikan yang boleh ditangkap, quota penagkapan dan
waktu penangkapan (determining the species which may be caught, and
fixng quotas of catch pervesser over a period of time);
53
53

c. pengaturan musim dan daerah penagkpan, serta jumlah ukuran dan tipe
kapal ikan (regulating seasons and ares of fishing, the types, sizes and
amount of gear, and the types, sizes and number of fishing vessels that
may be used);
d. Penentuan umur dan ukuran ikan serta jenis lain yang boleh ditangkap
(fixing the age and size of fish and other species that may be caught);
e. Keharusan memberikan informasi mengenai hasil dan kegiatan
penangkapan serta laporan posisi kapal (specifying information required
of fishing vessels, including catch and effort statistics and vessel
posisition reports);
f. Pelaksaan program penelitian perikanan tertentu dan pelaporan hasilnya
(the conduct of specified fisheries research programmes and regulating
the conduct of the such research and reporting associated);
g. Penempatan pengawasan atau pelajar praktek dikapal (the pacing of
observesof traines on board);
h. Pendaratan sebagian atau seluruh hasil tangkapan di pelabuhan
Indonesia sebagai negara pantai (the landing of all of any part of the
catch by such vessels in the ports of the coastal State);
i. Syarat-syarat “joint venture” atau bentuk kerja sama yang lain, (terms
and conditions relations relating to joint ventures or other cooperative
arrangements);
j. Keharusan melatih personal dan alih teknologi, termasuk meningkatkan
kemampuan Indonesia (negara pantai) untuk melakukan penilitian
perikanan (requirements for the training of personnel and the transfer of
fisheries technology, including enchancement of the coastal state’s
capability of undertaking fisheries research);
k. Peraturan-peraturan penegakan hukum di laut (enforcement
procedures).
Terhadap semua ketentuan dan/atau peraturan tersebut di atas harus
diumumkan terlebih dahulu. Dengan perkataan lain Negara-negara pantai harus
memperhatikan tentang pelestarian dan peraturan-peraturan tersebut di atas
hendaknya diummukan secara layak terlebih dahulu (coastal States shall give due
notice of conservation and management laws and regulations).
54
54

Selanjutnya Konvensi Hukum laut yang baru mewajibkan Indonesia sebagai


negara pantai untuk mengadakan kerjasama dengan negara-negara lain
mengenai pengelolaan jenis-jenis ikan tertentu yakni sebagai berikut :
a. Jenis ikan yang ada di ZEE dua atau tiga negra atau lebih (stradling stock);
b. Benis ikan beruaya (highly migratory species) ;
c. Binatang laut yang yang menyusi (marime mammals) ;
d. Jenis ikan yang bertelur di sungai (anadromous species/stock);
e. Jenis ikan yang bertelur di laut (catadromous species);
f. jenis ikan yang menetap di laut (sedentary species).

Pelaksanaan (kegiatan) ZEE Indonesia


Dasar pertimbangan peraturan tentang Zona Ekonomi Ekskusif mempunyai
sifat serba daya guna (multifunctional) maka tinjauan tentang pelaksanaan
ekonomi eksklusif ini akan diuraikan melalui kegunaannya, pengaturan
perundang-undangannya di Indonesia. Namun pada hakikatnya tentang
pelaksanaan ekonomi eksklusif ini sebagian telah dibahas pada uraian-uraian
sebagaimana yang telah dikemuakakan di atas. Oleh sebab itu uraian berikut ini
hanya tinggal melihat bagaimana dan sejauh mana pengaturan hukumnya yang
telah ditetapkan.
Di Indonesia, sebagaimana yang telah ditetapkan didalam undang-undang
Nomor 5 tahun 1983 tentang ZEE Indonesia), bahwa baik orang perseorangan
maupun perusahaan, apakah perusahaan negara maupun berupa perusahaan
swasta, yang melakukan kegiatan eksplorasi dan / atau eksploitasi ekonomis
seperti pembangkitan tanaga dari air, arus dan angin di ZEE Indonesia, harus
berdasarkan izin dari pemerintah Republik Indonesia dan dilaksanakan menurut
syarat-syarat perizinan atau persetujuan internasional tersebut.
Maksudnya adalah kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan / atau
eksploitasi ekonomis seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin di ZEE
Indonesia yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia atau badan hukum
Indonesia harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia.
Sedangkan kegiatan-kegiatan tersebut di atas yang dilakukan oleh negara asing,
orang atau badan hukum asing harus berdasarkan persetujuan internasional
antara Pemerintah Republik Indonesia dengan negara asng yang bersangkutan.
Dalam syarat-syarat perjanjian atau persetujuan internasional dicantumkan hak-
55
55

hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh mereka yang melakukan
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di zone tersebut, antara lain kewajiban untuk
membayar pungutan kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan
diatas, eksplorasi dan / atau eksploitasi sumber daya alam hayati harus menaati
ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia (pasal 5 ayat 2) dalam arti yang diatas diamksudkan adalah
sumber daya alam hayati pada dasarnya memiliki daya pulih kembali (to maintain
resources) namun tidak berarti tak berbatas. Dengan adanya sifat-sifat yang
demikian, dalam melaksanakan pengelolaan dan konvensi sumber daya alam
hayati, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan tingkat pemanfaatan baik
disebagian atau keseluruhan daerah di ZEE Indonesia.
Asal tidak bertentangan maupun mengurangi ketentuan sebagaimana yang
diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU. No. 5/1983 ekplorasi dan eksploitasi suatu
sumber daya alam hayati di daerah tertentu di ZEE Indonesia oleh orang atau
badan hukum atau pemerintah, negara asing dapat diizinkan jika jumlah
tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis
tersebut melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya. Dari uraian di
atas dapatlah ditegaskan bahwa dalam rangka konservasi sumber daya alam
hayati, Indonesia berkewajiban untuk menjamin batas panen lestari tersebut,
Indonesia berkewajiban pula untuk menjamin batas panen lestari tersebut,
Indonesia berkewajiban pula menetapkan jumlah tangkapan sumber daya alam
hayati yang diizinkan (allowable catch).
Dalam hal usaha perikanan, Indonesia belum dapat sepenuhnya
memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Selisih antara
jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan jumlah kemampuan tangkap (capacity
to harvest) Indonesia, boleh dimanfaatkan oleh negara lain dengan izin
Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional. Misalnya
jumlah tangkapan yang diperbolehkan antara 1000 (seribu) ton sedangkan jumlah
kemampuan tangkap Indonesia baru mencapai 600 (enam ratus) ton, maka
negara lain boleh ikut memanfaatkan dari sisa 400 (empat ratus) ton tersebut
dengan izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan
Internasional. Penunjukan pada pasal 4 ayat (2) dimaksudkan untuk menegaskan
56
56

bahwa jenis-jenis sedenter (sedentary species) yang terdapat pada dasar laut ZEE
tunduk pada ketentuan ayat ini.
Selanjutnya ditetapkan pula bahwa bagi siapa saja yang membuat dan/
atau instalasi-instalasi atau bangunan-bangunan lainnya di ZEE Indonesia harus
berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia dan dilaksanakan menurut
syarat-syarat perizinan tersebut (pasal 6). Dari ketentuan tersebut di atas,
dapatlah dijelaskan bahwa sesuai dengan pasal 4 ayat (1), Republik Indonesia
mempunyai hak eksklusif untuk membangun, mengizinkan dan mengatur
pembangunan, pengoperasian dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-
instalasi dan bangunan-bangunan tersebut termasuk yurisdiksi yang berkaitan
dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal,
kesehatan, keselamatan dan imigrasi.
Meskipun Indonesia mempuntai yurisdiksi eksklusif namun pulau-pulau
buatan, instalasi dan bangunan-bangunan tersebut tidak memiliki laut territorial
sendiri dan kehadirannya tidaklah mempengaruhi batas laut teritoria, ZEE
Indonesia atau landas kontinen Indonesia. Selanjutnya ditetapkan pula bagi siapa
saja yang melakukan kegiatan penelitian ilmiah (marine scientific research)
kelautan ZEE Indonesia harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari dan
dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan oelh Pemeritah Republik
Indonesia.
Dari ketentuan pasal tersebut dapatlah ditegaskan bahwa setiap penelitian
ilmiah kelautan di ZEE Indonesia hanya dapat dilaksanakan setelah permohonan
untuk penilitian disetujui terlebih dahulu oleh Pemerintah Republik Indonesia. Jika
dalam janga waktu 4 (empat) bulan setelah diterimanya permohonan tersebut
pemerintah Republik Indonesia tidak menyatakan :
a. Menolak permohonan tersebut;
b. Bahwa keterangan-keterangan yang diberikan oleh Pemohon tidak sesuai
dengan kenyataan atau kurang lengkap;
c. Bahwa permohonan belum memenuhi kewajiban atas proyek penelitiannya
yang terdahulu.
Suatu proyek penelitian ilmiah kelautan dapat dilakukan 6 (enam) bulan
sejak diterimanya permohonan penelitian oleh Pemerintah Republik Indonesia
(penjelasan pasal 7). Kemudian ditetapkan pula bahwa bagi siapa saja yang
57
57

melakukan kegiatan-kegiatan di ZEE Indonesia, wajib melakukan langkah-langkah


untuk mencegah, membatasi, mengendalikan dan menaggulangi peraturan
pencemaran lingkungan laut. Pembuangan ZEE Indonesia hanya dapat dilakukan
setelah memperoleh izin dari Pemerintah Republik Indonesia. Dari ketentuan
ketentuan tersebut di atas, dapatlah dijelaskan bahwa wewenang perlindungan
dan pelestarian sumber daya alam di ZEE Indonesia secara Internasional
didasarkan pada praktek negara, yang sekarang yang diterima pula dalam
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut, sedangkan secara
nasional landasan terdapat di dalam Undang-undang Nomor 4 1982 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolahan Lingkungan Hidup.
Pembuangan (dumping) di laut dapat menimbulkan pencemaran lingkungan
laut, terhubung dengan itu perlu diatur tempat, cara dan frekuensi pembuangan
serta jenis, kadar dan jumlah bahan yang dibuangkan melalui perizinan.
Pembuangan meliputi limbah pembuangan bahan-bahan lainnya yang
menyebabkan pencemaran lingkungan laut, pembuangan limbah yang lazimnya
dilakukan oleh kapal selama pelayaran tidak memerlukan izin.

Penegakan Hukm (law enforcement)


Masalah yang tidak kalah pentingnya dari ZEE ini adalah aspek “law
enforcement” atau penegakan hukumnya. akan tidak ada artinya sama sekali jika
kita mempunyai hak-hak berdaulat dari yurisdiksi di ZEE, tetapi kita sendiri tidak
dapat menegakkan hukum disana. Di lain pihak, kita semua menyadari bahwa
bagaimana sulitnya penegakan hukum di daerah laut yang sangat luas tersebut
yang merupakan bahan tambahan, disamping itu penegakan hukum di perairan
Indonesia yang sudah amat luas.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa masalah penegakan hukum
ataupun pengawasan ini menjadi lebih berat lagi jika diperhitungkan bahwa
daerah-daerah yang diliputi pengawasan tersebut tidak hanya terbatas pada
perairan Nusantara dan laut wilayah 12 mil itu, tetapi juga landas kontinen dan
zona Ekonomi eksklusif Indoensia selebar 200 mil laut. Bertambah luasnya
wilayah laut dan daerah-daerah kewenangan Indonesia tentu saja memerlukan
perjuangan perluasan kemampuan untuk mengamankannya.
58
58

Penegakan hukum (law enforcement) disini diartikan sebagai bagian dari


jurisdiksi negara. Jurisdiksi dimaksud meliputi dan mempunyai pengertian yang
antara lain adalah :
a. Jurisdiksi of legislation atau jurisdiction to prescribe (wewenang membuat
aturan-aturan hukum untuk mengatur berbagai kepentingan, dan
b. Jurisdiction to enforce the law (wewenang menegakkan aturan hukum yang
berlaku.
Dasar hukum berlakunya (adanya) wewenang penegakan hukum ini dapat
bersumber pada:
a. Kedaulatan.
Sovereignty of State yang mendasari / melandasi segala aktivitas segala
aktivitas negara baik terhadap orang, benda, wilayah, negara dan lain-
lainnnya demi eksistensi dan kelangsungan hidup dan kegidupan bangsa dan
negara. Di samping kedaulatan ini merupakan kekuasaan tertinggi dari negara
maka kedaulatan juga merupakan hak dasar (fundamental rights) daripada
negara yang perwujudannya berupa hak-hak dan kewenangan-kewenangan
tertentu yang dituangkan dalam UUD, Tap. MPR, undang-undang dan
peraturan perundang-undangan lainnya. pada umumnya setiap hak dan
kewenangan ini dibarengi pula dengan kewajiban serta tanggung jawab
tertentu pula.
b. Ketentuan hukum Internasional.
Selain hak-hak dan wewenangan yang bersumber pada kedaulatan negara,
maka berdasarkan ketentuan Hukum Internasional baik ketentuan hukum
internasional yang berupa “conventional law/treaty” maupun kebiasaan-
kebiasaan internasiona dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
bangsa-bangsa / negara yang beradab, maka negara sebagai subjek hukum
internasional adalah pendukung hak dan kewajiban hukum yang tertentu
dapat juga dimilki negara sepeti halnya hak berdaulat dan yurisdiksi tertentu
yang dimiliki negara pantai pada zona-zona tertentu dilaut atau objek-objek
tertentu di laut
Dari pengertian sebagaimana disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan penegakan hukum adalah merupakan usaha atau
kegiatan negara berdasarkan kedaulatan negara atau berdasarkan ketentuan-
59
59

ketentuan Hukum Internasional agar segala segala aturan yang berlaku, baik
aturan hukum nasional negara itu sendiri maupun aturan Hukum internasional,
dapat diindahkan oleh setiap orang dan/atau badan-badan hukum, bahkan
negara-negara lain, dalam rangka memenuhi kepentingannya namun tidak sampai
mengganggu kepentinagn pihak lain.
Kalau kita hubungkan masalah penegakan hukum ini ketentuan-ketentuan
penegakan hukum ZEE berdasarkan pada Konvensi Hukum Laut yang baru, maka
secara garis besarnya dapat diperincikan sebagai berikut :
a. The coastal State may, in the exerciase if its sovereign rights to explore,
exploit, conserve and manage the living resources in the ZEE, take such
resources, including boarding, inspection, arrest and judicial proceedings,
as may necessary to ensure compliance with the laws and regulations
adopted by it in conformity with this convention. Maksudnya, dalam
melaksanakan hak kedaulatannya untuk mengekplorasi, melestarikan dan
mengelola sumber daya alam hayati di ZEE, negara pantai dapat
mengambil tindakan-tindakan seperti menaiki kapal, menginspeksi,
menahan dan melakukan, penuntutan hukum sesuai kebutuhan untuk
menegakkan hukum negaranya dengan mempertimbangkan ketentuan-
ketentuan daripada konvensi (ayat 1) .
b. Arrested vessels and their crews shall be promotly released upon the
posting of reasonable bond or ather security. Artinya kapal dan anak-
anak-anak buah kapal yang ditahan harus dilepaskan setelah tanggungan
dibayarkan atau jamian keamanan lainnya (ayat 2).
c. Coastal state pinalties for violations of fisheries laws and regulations in
the ZEE may not include imprisonment, inte absence of agreements to the
contarary by the states concerned, or any other form of cuporal
punishment. Artinya adalah kurang lebih adalah tindakan / hukuman yang
boleh dijatuhkan terhadap nelayan asing di ZEE oleh Negara pantai tidak
termasuk hukum penjara (ayat 3).
d. In cases of arrest or detention of foreign vessel the coastal State shall
promptly notify the flag state, throght appropriate channels, of the any
penalties subsequently imposed. Maksudnya bilamana sampai melakukan
60
60

penahanan, negara pantai harus segera memberitahukan hal tersebut


kapada perwakilan Negara bendera kapal (ayat 4).

Demikianlah mengenai penegakan hukum yang berkaitan dengan rezim


hukum ZEE menurut Konvensi Hukum laut yang baru, selanjutnya akan kita lihat
bagaimana pengaturan penegakan hukum menurut perundang-undangan nasional
kita. Menurut ketentuan pasal 13 UU No.5 tahun 1983, ditetapkan bahwa dalam
rangka melaksanakan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1), aparatur penegak
hukum Republik Indonesia yang berwenang, dapat mengambil tindakan-tindakan
penegakan hukum sesuai dengan UU No. 8 tahun 1981 tentang kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dengan pengecualian sebagai berikut :
a. Pengkapan terhadap kapal dan/atau orang-orang yang diduga melakukan
pelanggaran di ZEE Indonesia meliputi tindakan penghentian kapal sampai
dengan diserahkannya kapal dan/atau orang-orang tersebut di pelabuhan
dimana perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut;
b. Penyerahan kapal dan/atau orang-orang tersebut harus dilakukan secepat
mungkin dan tidak boleh melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari, kecuali apabila
terdapat keadaan force majeure;
c. Untuk kepentingan penahanan, tindak pidana yang diatur dalam pasal 16 dan
pasl 17 termasuk dalam golongan tindak pidana sebagimana diamksudka
pasal 21 ayat (4) huruf b. UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP.

Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa terhadap kapal-kapal dan/atau


orang-orang yang diduga melakukan itndak pidana berdasarkan bukti permulaan
yang cukup dilaut khususnya bagi kaapl dan/atau orang-orang tersebut. terhadap
kapal-kapal dan atau orang-orang yang berkebangsaan Indonesia dapat
diperintahkan (perintah ad-hoc) ke suatu pelabuhan atau pangkalan yang ditunjuk
oleh penyidik dilaut untuk diproses lebih lanjut. Penangkapan tersebut tidak selalu
dapat dilaksanakan sesuai dengan batas waktu penangkapan yang ditetapkan
dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, yaitu satu hari. Oleh karena itu
untuk tidak tindakan penangkapan di laut perlu diberi waktu yang memungkinkan
para aparat penegak hukum di laut membawa kapal dan dan atau orang-orang
tersebut kepelabuhan atau penangkalan. Jangka waktu maksimal untuk menarik /
61
61

menyeret suatu kapal dari jarak yang terjauh dari ZEE Indonesia sampai ke suatu
pelabuhan atau pangkalan. Ketentuan mengenai penahanan terhadap tindak
pidana menurut UU ini belum belum diatur dalam UU No. 8 tahun 1981,
sedangkan terhadap tindak pidana tersebut penahanan adalah merupakan satu
upaya untuk dapat memproses perkara lebih lanjut.
Berhubung dengan hal tersebut, sekalipun ancaman pidana yang dapat
dijatuhkan adalah pidana denda tersebut perlu dimasukkan dalam golongan
tindak pidana sebagaiman dimaksud pasal 21 ayat (4) huruf b, UU No. 8 tahun
1981 tentang KUHAP. Selanjutnya ditetapkan pula bahwa aparatur penegak
hukum dibidang penyidikan di ZEE Indonesia adalah perwira Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima Bersenjata Republik
Indonesia (pasal 14 ayat (1)). Dalam ayat (2) ditetapkan bahwa penuntut umum
adalah jaksa pada pengadilan Negeri sebagaimanadimaksud dalam ayat (3).
Pengadilan yang berwenang mengadili perlanggaran terhadap ketentuan UU ini
adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi pelabuhan dimana
dilakukan penahanan terhadap kapal dan atau orang-orang sebagimana yang
dimaksud dalam pasal 13 huruf a. Dari ketentuan tersebut maka dapat dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan laut
yang dapat ditunjuk sebagai penyelidik adalah misalnya komandan kapal,
Panglima daerah Angkatan Laut, Komandan Pangkalan dan Komandan Stasiun
Angkatan Laut sebagai aparat penyidik di ZEE Indonesia adalah sesuai dengan
ketentuan pasal 30 ayat (2) UU No. 20 Tahun 1982 tentang ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia dan pasal 17 Peraturan
Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 8
tahun 1981 tentang KUHAP.
Kemudian ditetapkan pula bahwa permohonan untuk membebaskan kapal
dan atau orang-orang yang ditangkap akarena didakwa melakukan perlanggaran
terhadap UU ini, dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusan dari
Pengadialn Negeri yang berwenang. dari ketentuan di atas, dapat dijelaskan
bahwa permohonan membebaskan kapal/orang yang ditangkap karena
melakukan perlanggaran sesuai dengan praktek yang berlaku diajukan oleh
perwakilan negara dari kapal asing yang bersangkutan. Kemudian penetapan
besarnya uang jaminan ditentukan berdasarkan harga kapal, alat-alat
62
62

perlengkapan dan hasil dari kegiatannya ditambah besarnya jumlah denda


maksimum.

Kesimpulan dan Rekomendasi


Apabila diinventarisasi kembali uraian-uraian mengenai ZEE di atas, dapat
disimpulkan bahwa ditengah-tengah meningkatnya kegiatan pengimplementasian
Wawasan Nusantara secara lebih mantap dan terpadu, Pemerintah Republik
Indonesia dengan cara seksama memperhatikan perkembangan Hukum laut
secara keseluruhannya, khususnya dengan makin mantapnya formulasi
ketentuan-ketentuan tentang ZEE dalam part V. Pasal 55 sampai dengan Pasal
75 Konvensi Hukum Laut III (1982). Hingga tahun 1982 kurang lebih tercatat ada
90 negara yang telah mengumumkan ZEE-nya. Hal tersebut dilakukan guna
meneguhkan hak kedaulatan mereka atas sumber-sumber daya alam yang
terdapat di ZEE. Oleh karena itu pula dirasakan bahwa situasi dan kondisinya
telah mendesak Indonesia untuk juga mengumumkan ZEE-nya.
Tentunya, masih segar dalam ingatan kita, bahwa ketika Konperensi
Hukum Laut PBB III melangsungkan sidangnya yang ke 9 di New York, pada
tanggal 21 Maret 1980 “Pemerintah Republik Indonesia mengumumkan ZEE
Indonesia” dengan mengunakan landasan “Rumusan baku tentang ZEE”
sebagimana yang tercantum dalam UNCLOS III. Perlu digarisbawahi bahwa salah
satu ciri khas dalam Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang ZEE
tersebut adalah bahwa ZEE Indonesia ditetapkan ukuran lebarnya dan cara
pemanfaatannya berdasarkan pada UU No. 4/Prp/1960 dan UU No. 1 tahun
1973.
Pengumuman yang dilakukan oleh Indonesia memberikan implikasi
bertambah luasnya wilayah nasional Indonesia dengan segala isi dan
kekayaannya yang menjadi milik dan modal dasar pembangunan bangsa.
Menurut hasil penelitian “Ocean Education Project” dari Universitas Villanova-
Pensylvania Amerika Serikat, Indonesia memperoleh kekayaan alam dalam ZEE-
nya yang meliputi luas 764.000 mil persegi. Menurut perhitungan tersebut, luas
wilayah ZEE di seluruh dunia yang diperebutkan oleh semua negara adalah
hampir sama dengan luas daratan muka bumi. Terdapat 10 negara yang
63
63

mendapat bagian yang tergolong besar, antara lain adalah Amerika Serikat,
Australia, dan Indoensia.
Perlu ditegaskan dalam kesimpulan ini bahwa yang dimaksud dengan ZEE
Indonesia adalah jalur diluar laut wilayah Indonesia, sebagiman ditetapkan
berdasarkan UU No. 4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia yang lebarnya 200
mil laut diukur dari garis pangkal laut wialyah Indonesia (pasal 2 UU No.5/1983).
Perlu pula diperhatikan bahwa pelaksanaan ZEE Indonesia ini selalu
mengandung dua aspek penanganan yaitu aspek dalam negeri dan aspek luar
negeri. Aspek dalam negeri tentunya yang menyangkut kebijakan-kebijakan
nasional tentang perikanan, perlindungan dan pelestarian laut serta penelitian
ilmiah tentang kelautan, yang ditentukan oleh instansi-instansi yang yang
bersangkutan. Sedangkan aspek luar negeri antara lain adalah yang menyangkut
pelaksanaan dalam kaitannya dengan hukum Internasional, yang selalu terdapat
dalam perumusan peraturan perundangan-undangan tentang aspek perikanan,
lingkungan laut dan penelitian ilmiah, juga perumusan persetujuan-persetujuan
bilateral tentang kerjasama di keempat bidang tersebut.
Meskipun klaim-klaim tersebut dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan
tertentu, misalnya pengambilan kekayaan alam, pencegahan polusi laut,
penelitian ilmiah kelautan dan lain sebagainya. Namun hal itu, dimaksudkan untuk
menguatkan kedudukan negara pantai di wilayah dan perairan Nusantaranya
ditambah 12 mil laut untuk zona pengawasan terhadap imigrasi, pabean,
kesehatan (zona tambahan) dan mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam
di ZEE selebar 200 mil laut yang diukur garis pangkal laut wilayahnya.
Sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi hukum laut PBB III 1982,
disamping mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di ZEE, Indonesia juga
harus mengakui hak-hak negara lain yang ada di ZEE tersebut, antara lain
kebebasan berlayar dan terbang diatasnya, hak-hak tertentu negra-negara yang
tidak berpantai (landlocked-States) dan negara-negara secara geografis kurang
beruntung (geographically disadvantaged States). Kebebasan menangkap ikan
sebagai salah satu kebebasan yang ada di laut lepas, memang pada prinsipnya
tetap berlaku, namun kebebasan ini sesuai dengan perkembangan yang ada
dewasa ini, telah mempunyai beberapa pembatasan, baik dilihat dari segi
perkembangan teknologi modern tentang peggunaan laut maupun tuntutan
64
64

negara-negara pantai terhadap suatu jalur laut yang cukup luas yang berbatasan
dengan pantainya untuk kepentingan ekonomis.
Untuk melindungi sumber-sumber daya alam hayati yang berada di luar laut
territorial, agar pemenuhan kebutuhan protein hewani untuk bahan makanan
rakyat Indonesia akan lebih terjamin. Karena melihat kemungkinan akan
terjadinya kian yang ditangkap itu berlebihan, sehingga pada suatu saat akan
mengakibatkan kurangnya persediaan sumber protein hewani bagi kehidupan
manusia di masa mendatang. Sehingga perlu diadakan pembatasan dalam
bentuk perjanjian, baik perjanjian bilateral maupun multilateral.
Alasan kedua adalah sebagai konsekuensi logis dari alasan pertama,
sehingga negara pantai mendapat jaminan bahwa sumber protein yang
cadangkan bagi bangsa dan generasi berikutnya akan tetap terpelihara, dan
kepastian yang kini diperoleh dengan batas-batas yang jelas didalam mana
negara yang bersangkutan mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi
sumber-sumber day alam hayati yang beraneka ragam didalamnya. Kini semua
hal yang disebut di atas sebagian besar sudah mampu dilakukan, dan tidaklah
berlebihan jika dikatakan bahwa ZEE Indonesia adalah benar-benar merupakan
“jaminan masa depan bangsa’. Dalam kaitan inilah maka apa yang telah
dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam pengumuman pada tanggal
21 Maret 1980 tentang ZEE Indonesia seluas 200 mil laut yang diukur dari garis
pangkal laut wilayah kemudian dituangkan dalam Undang-undang No. 5 tahun
1983 adalah merupakan suatu tindakan yang sangat tepat.
Kemudian dalam hal penegakan hukum laut, perlu diperhatikan beberapa
hal yang dirasakan mendesak, antara lain mengenai :
a. Peningkatan kemampuan fisik, yang mampu menjamin mobilitas yang akan
mencakup khususnya peralatan-peralatan untuk pengawasan (surveillance)
dan armada-armada kapal yang akan dipergunakan untuk melakukan
tindakan-tindakan operasional pergerakan hukum itu sendiri.
b. Sistem penegakan hukum yang efektif dan terpadu.
c. Diingatkan pula bahwa penanganan di bidang penciptaan alat-alat ataupun
prasarana dan sarana perundang-undangan bidang laut dihubungkan dengan
perkembangan teknologi serta perkembangan asas-asas hukum laut
Internasional sangat penting
65
65

d. Konvensi-konvensi internasional yang berhubungan dengan hukum laut yang


ada relevansinya dengan kepentingan Indonesia, segera diratifikasi dan
disebarluaskan kepada masyarakat.

4. Laut Bebas (Laut Lepas)

Laut di luar yurisdiksi nasional negara-negara disebut laut bebas atau “high
seas”. Pemanfaatan laut bebas dilaksanakan berdasarkan prinsip “warisan
bersama umat manusia” (common heritage of mankind), yang berarti bahwa
manfaat laut bebas, baik aspek navigasi maupun aspek sumber daya alam yang
diakndungnya, harus dapat dinikmati oleh seluruh ummat manusia dan tidak boleh
dimonopoli oleh satu atau beberapa negara kuat saja. Prinsip tersebut melahirkan
hak dan kewajiban umum tiap negara terhadap laut bebas serta hak dan
kewajiban khusus dilaut bebas tertentu tersebut, seperti menyedikan sarana
pencarian dan penyelamatan (search and rescue), yang sering disingkat “SAR”,
yang memadai, pengejaran tidak terputus (hot pursuit) dan pelestarian lingkungan
laut.
Ketentuan-ketentuan mengenai rezim hukum laut Bebas yang tercantum
dalam konvensi Hukum Laut yang baru adalah terdapat pada part VII, Pasal 86
sampai dengan Pasal 120, berlaku semua bagian laut di luar laut pedalaman, laut
wilayah dan ZEE. Pada hakekatnya ketentuan-ketentuan tersebut sama dengan
yang tercantum dalam “Convention on the High Seas” dari Konvensi Jenewa
tahun 1958.

Ketentuan-ketentuan yang dimaksud adalah :


1. The high seas are open to all States, whether coastal or landlocked. freedom
of the high seas is exercised under the conditions laid down by this convention
and by other rules or international law. It comprises, “inter alia”, both for
coastal and landlocked States. (Laut bebas terbuka untuk semua negara, baik
negara pantai maupun negara yang tidak berpantai). Namun pelaksanaan
negara-negara itu harus diperhatikan kepentingan negara lain menurut
ketentuan konvensi atau aturan Hukum Internasional lain, kebebasan-
kebebasan baik bagi negara pantai maupun bagi negara-negara tak berpantai
terdri dari :
66
66

a. Kebebasan berlayar (freedom of navigation) ;


b. Kebebasan terbang (freedom of over flight);
c. Kebebasan meletakkan kabel dan pipa dibawah laut (freedom to lay
submarine cables and pipelines) ;
d. Kebebasan membangun pulau-pulau buatan dan instalasi-instalasi lain
yang diizinkan oleh hukum Internsional (freedom to construct artificial
islands and other installations promoted under international law);
e. Kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing);
f. Kebebasan melakuakn penelitian ilmiah kelautan (freedom of scientific
researches).

Kemudian Konvensi Hukum laut baru ini telah mengingatkan bahwa


laut bebas hanya boleh digunakan unutk keperluan damai (the high seas shall
be reseved for peaceful purposes). Tidak satu negara pun boleh mengklaim
setiap bagian laut bebas menjadi miliknya atau berada dibawah
kedaulatannya (no State may validly purport to subject any part of the high
seas to its sovereignty, pasal 89).
2. Hak atau kebebasan berlayar (rights of navigation) dilaksanakan dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Sebagai negara (coastal atau landlocked) mempunyai hak berlayar dengan
mengibarkan benderanya (every State, whether coastal or landlocked, has
the rights to sail ships flying its flag on the high seas: pasal 90)
b. Setiap kapal mendapatkan kebangsaan dari benderanya (every State shall
fix the conditions for the grant of its nationally to ships : pasal 91 ayat 1)
c. Setiap kapal dengan bendera suatu Negara berada dalam yurisdiksi
Negara bendera. Selama dalam pelayaran atau disuatu pelabuhan
dilarang ganti bendera kecuali karena pindah.

Tanggal 31 Desember 1985,Presiden Republik Indonesia di Jakarta


mengesahkan sertifikasi Indonesia terhadap konvensi perserikaatn PBB tentang
Hukum Laut dengan undang-undang No. 17 tahun 1985, secara umum konvensi
Hukum Laut PBB 1982, merupakan usaha masyarakat Internasional untuk
mengatur masalah kelautan tersebut. Usaha masyarakat internasional untuk
mengatur masalah kelautan melalui Konperensi PBB tentang hukum Laut yang
67
67

ketiga telah berhasil mewujudkan United Nations Convention on the Law of the
sea (Konvensi Perserikatan Bangsa – Bangsa tentang hukum Laut), telah
ditandatangani oleh 117 (seratus tujuh belas) negara peserta termasuk Indonesia
dan 2 satuan bukan Negara di Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10 Desember
1982. Dibandingkan dengan konvensi – konvensi Jenewa 1958 tentang hukum
laut, Konvensi PBB tentang hukum Laut tersebut mengatur rejim–rejim hukum laut
secara lengkap dan menyeluruh, yang rejim–rejimnya satu sama lainnya tidak
dapat dipisahkan.
Ditinjau dari isinya, Konvensi PBB tentang hukum laut tersebut :
a. Sebagian merupakan kodifikasi ketentuan – ketentuan hukum laut yang sudah
ada, misalnya kebebasan–kebebasan di laut lepas dan hak lintas damai di laut
teritorial;
b. Sebagian merupakan pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya
ketentuan mengenai lebar laut Teritorial menjadi Maksimun 12 mil laut dan
criteria landas kontinen.
Menurut konvensi Jenewa 1958 tentang hukum Laut kriteria bagi penentuan
lebar landas kontinen adalah kedalaman air dua ratus meter atau kriteria
kemampuan eksploitas. Kini dasarnya adalah kriteria kelanjutan alamiah
wilayah daratan sesuatu Negara hingga pinggiran luar tepian kontinennya
(Natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental
margin) atau kriteria jarak 200 mil laut, dihitung dari garis dasar untuk
mengukur lebar laut Teritorial jika pinggiran luar tepian kontinen tidak
mencapai jarak 200 mil tersebut;.
c. Sebagaian melahirkan rejim– ejim hukum baru, seperti asas Negara
Kepulauan, Zona Ekonomi Ekslusif dan penambangan di dasar laut
Internasional.
Bagi bangsa dan Negara Republik Indonesia, konvensi ini mempunyai arti
yang penting karena untuk pertama kalinya asas Negara Kepulauan yang
selam dua puluh lima tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh
Indonesia, telah berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat
internasional. Pengakuan resmi asas Negara kepulauan ini merupakan hal
ynag penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai dengan
deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan Wawasan Nusantara sebagaimana
68
68

termaktubdalam ketetapan majelis Permusyarawatan Rakyat tentang Garis –


garis Besar haluan Negara, yang menjadi dasar perwujudan bagi kepulauan
indonesai sebagai satu kesatuan politik, ekonomi sosial budaya dan
pertahanan keamanan.
“Negara Kepulauan” menurut konvensi ini adalah suatu negara yang
seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan adapat
mencakup pulau–pulau lain. Konvensi menentukan pula bahwa gugusan
kepulauan berarti suatu gugusan pulau–pulau termasuk bagian pulau, perairan
diantara gugusan pulau–pulau tersebut dan lain–lain wujud alamiah yang
hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga gugusan pulau–
pulau, perairan dan wujud alamiah lannya tersebut meruapkan kesatuan
geografi dan politik yang hakiki, atau secara historis telah diangggap sebagai
satu kesatuan demikian.
Negara kepulauan dapat menarik garis dasar / pangkal lurus kepulauan
yang manghubungkan titik – titik terluar pulau – pulau dan karang kering terluar
kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa :
a. Di dalam garis dasar/pangkal demikian termasuk pulau–pulau utama dan suatu
dearah dimana perbandingan antara derah perairan dan daerah daratan,
termasuk atol, adalah antara satuberbanding satu ( 1 : 1 ) dan Sembilan
berbanding satu ( 9:1).
b. Panjang garis dasar/pangkal demikian tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali
bahwa hingga 3 % dari jumlah seleuruh garis dasar/pangkal yang mengelilingi
setiap kepualaun dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga pada suatu
kepanjangan maksimun 125 mil laut;
c. Penarikan garis dasar/ pangkal demikian tidak boleh penyimpang dari
konfirugasi umum Negara Kepulauan. Negara Kepulauan berkewajiban
menetapkan garis–garis dasar/pangkal kepulauan pada peta dengan skala
yang cukup untuk menetapkan posisinya. Peta atau daftar koordinat geografi
demikian harus diumumkan sebagaimana mestinya dan satu salinan dari
setiap peta atau daftar demikian didepositnya pada Sekretaris Jenderal PBB.
Dengan diakuinya asas Negara kepulauan maka perairan yang dahulu
merupakan bagian dari laut lepas kini menjadi “ perairan kepulauan” yang
berarti menjadi wilayah perairan Republik Indonesia.
69
69

Disamping ketentuan–ketentuan sebagaimana telah disebutkan, syarat–


syarat yang penting bagi pengakuan internasional atas asas Negara Kepulauan
adalah ketentuan–ketentuan sebagaimana diuraikan dibawah ini.
Dalam “perairan kepulauan” berlaku hak lintas damai (right of innocent
passage) bagi kapal–kapal negara lain. Namun demikian Negara Kepulauan dapat
menangguhkan untuk semenatara waktu hak lintas damai tersebut pada bagian–
bagian tertentu dari “perairan kepulaunnya” apabila dianggap perlu untuk
melindungi kepentingan keamanannya. Negara kepulauan dapat menetapkan alur
laut kepulauan dan rute penerbaangan di atas alur laut tersebut.
Kapal asaing dan pesawat udara asing menikmati hak lintas laur laut
kepulauan melalui alur laut dan rute penerbangan tersebut untuk transit dari suatu
bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Ekslusif ke bagian lain dari laut Lepas atau
Zona Ekonomi Eksklusif. Alur laut kepulauan dan rute penerbagangan tersebut
tidak boleh berlayar atau terbang melampaui 25 mil laut sisi kiri dan sisi kanan
garis poros tersebut. Sekalipun kapal dan pesawat udara asing menikmati hak
lintas jalur laut kepulauan melalui laur laut dan rite penerbangan tersebut, namun
hal ini di bidang lain dari pada pelayaran dan penerbangan tidak boleh
mengurangi kedaulatan Negara Kepulauan atas air serta ruang udara di atasnya,
dasr laut dan tanah di bawahnya dan sumber kekayaan di dalamnya.
Dengan demikian hak lintas alur kepulauan melalui rute penerbangan yang
diatur dalam konvensi ini hanyalah mencakup hak lintas penerbangan melewati
udara di atas alur laut tanpa mempengaruhi kedaulatan negara untuk mengatur
penerbangan di atas wilayahnya sesuai dengan konvensi Chicago 1944 tentang
penerbangan sipil ataupun kedaulatan Negara kepulauan atas wilayah udara
lainnya diatas perairan Nusantara.
Sesuai dengan ketentuan konvensi, disamping harus menghormati
perjanjian–perjanjian internasional yang sudah ada, Negara kepulauan
berkewajiban pula menghormati hak–hak tradisioanal penangkapan ikan dan
kegiatanlain yang sah dari negara–negara tetangga yang langsung berdampingan,
serta kabel laut yang telah ada dibagian tertentu perairan kepulauan yang
dahulunya merupakan laut lepas. Hak–hak tradisional dan kegiatan lain yang sah
tersebut tidak boleh dialihkan kepada atau dibagi dengan Negara ketiga atau
warganegaranya.
70
70

Konvensi perserikatan Bangsa – bangsa tentang hukum Laut ini mengatur


pula rejim sebagai berikut :
1. Laut Teritorial dan Zona Tambahan
a. Laut tertorial
Konferensi PBB tentang hukum laut yang pertama (1958) dan kedua
(1960) di Jenewa tidak dapat memecahkan masalah lebar laut teritorial
Karena pada waktu itu praktek negara menunjukkan keanekaragaman
dalam masalah lebar laut teritorial, yaitu dari 3 mil laut hingga 200 mil laut.
Konferensi PBB tentang hukum laut ketiga pada akhirnya berhasil
menentukan lebar laut Teritorial maksimal 12 mil laut sebagai bagian dari
keseluruhan paket rejim – rejim hukum laut, khususnya :
1) Zona ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebih 200 mil laut
dihitung dari garis dasar/pangkal darimana lebar laut territorial
diukur dimana berlaku kebebasan pelayaran;
2) Kebebasan transit kapal – kapal asing melalui selat yang digunakan
untuk pelayran internasioanal;
3) Hak akses Negara tanpa pantai ked an dari laut dan kebebasan
transit;
4) Tetap dihormati hak lintas laut damai melalui laut territorial.

Rejim laut teritorial memuat ketentuan sebagai berikut:


1) Negara pantai mempunyai kedaulatan penuh atas Laut territorial, ruang
udara diatasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya.
2) Dalam laut Teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan–
kendaraan air asing. Kendaraan air asing yang menyelenggarakan lintas
laut damai di laut teritorial tidak boleh melakukan ancaman atau
penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau
kemrdekaan politik negara pantai serta tidak boleh melakukan
pencemaran dan melakukan kegiatan lain yang tidak ada hubungan
langsung dengan lintas laut damai. Pelayaran lintas laut damai tersebut
harus dilakukan secara terus menerus, langsung serta secepatnya,
sedangkan berhenti membuang jangkar hanya dapat dilakukan bagi
keperluan navigasi yang normal atau karena keadaan memaksa (force
71
71

majeure) atau dalam keadaan bahaya atau untuk tujuan memberikan


bantuan pada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam
kedaan bahaya.
3) Negara pantai berhak membuat peraturan tentang lintas laut damai
yang berkenaan dengan keselamatan pelayaran dan penngaturan lintas
laut, perlindungan alat bantuan serta fasilitas navigasi, perlindungan
kabel dan pipa bawah laut, konservasi kekayaan alam hayati,
pencegahan terhadap pelanggaran atas peraturan perikanan,
pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan, pengurangan dan
pengendalian pencemaran, penelitian ilmiah kelautan dan survey
hidrografi dan pecegahan pelanggaran peraturan bea cukai, fiskal
imigrasi dan kesehatan.

b. Zona Tambahan
Jika dalam Konvensi jenewa 1958, lebar Zona Tambahan pada lebar tritorial
diukur, maka Konvensi PBB III 1982 kini menentukan bahwa, dengan
ditentukannya lebar laut Teritorial maksimal 12 mil laut, lebar Zona
Tambahan adalah maksimal 24 mil laut diukur dari garis dasar laut teritorial.
Di zona tambahan, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan dan
pengendalian yang perlu, untuk :
1) Mencegah pelanggaran terhadap peraturan perundang – undangannya di
bidang bea cukai, fiskal keimigrasian dan kesehatan yang berlaku di
wilayah darat dan laut teritorial negara pantai;
2) Menindak pelanggaran–pelanggaran atas peraturan perundang–
undangan tersebut yang dilakukan di wilayah darat dan laut teritorial
negara pantai;
3) Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.
Penetapan lebar laut Teritorial maksimal 12 mil laut membawa akibat
bahwa perairan dalam selat yang semula merupakan bagian dari laut
lepas berubah menjadi bagian dari laut teritorial maksimal 12 mil laut.
Oleh karena itu, dengan tidak mengurangi pelaksanaan kedaulatan dan
yuridiksi negara– egara pantai dibidang lain dari pada lintaslaut dan lintas
udara, kendaraan air asing pesawat udara asing mempunyai hal intas
laut/udara melalui sutu selat yang digunakan untuk pelayaran
72
72

internasional. Negara-negara selat, dengan memperhatikan ketentuan–


ketentuan Konvensi, dapat membuat perundang–undangan mengenai
lintas laut transit melalui selat tersebut bertalian dengan :
a. Keselamatan pelyaran dan pengaturan lintas laut;
b. Penecegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran;
c. Pencegahan penangkapan ikan, termasuk penyimpanan alat
penangkapan ikan dalam palka;
d. Memuat atau membongkar komoditi, mata uang atau orang – orang,
bertentangan dengan peraturan perundang – undangan bea cukai,
fiscal, imigrasi dan kesehatan.

3. Zona Ekonomi Eksklusif


Dizona Ekonomi Eksklusif, Negara pantai mempunyai :
a. Hak berdaulat untuk tujuan eksploirasi, eksploitasi, pengelolaan dan
konservasi sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati
diruang air dan kegiatan–kegiatan lainnya untuk eksploirasi dan
eksploitasi ekonomi Zona tersebut seperti pembangkitan tenaga dari air,
arus dan angin.
b. Jurisdiksi yang berkaitan dengan pembuatan dan penggunaan pulau–
pulau buatan, instalasi- instalasi dan bangunan–banguanan lainnya,
penelitian ilmiah dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut.
c. kewajiban untuk menghormati kebebasan pelayaran dan penerbanngan
internasional, pemasangan kabel atau pipa bawah laut menurut prinsip
hukum internasional yang berlaku di Zona Ekonomi Eksklusif.
d. kewajiban untuk memberikan kesemapatan terutama kepada Negara
tidak berpantai atau Negara yang secara geografis taidak beruntung
untuk turut serta memanfaatkan surplus dari jumlah tangkapan ikan yang
diperbolehkan.
Masalah Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut
tersebut erat kaitannya dengan masalah penetapan lebar laut Teritorial 12 mil
laut, karena :
a. Beberapa negara pantai, yang menganut lebar laut teritorial 200 mil laut,
baru dapat menerima penetapan lebar laut teritorial maksimal 12 mil laut
73
73

dengan adanya rejim Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi
200 mil laut
b. pada sisi lain :
1) Negara–negara tanpai pantai dan negara–negara secara geografis tidak
beruntung baru dapat menerima penetapan lebar Laut teritorial maksimal
12 mil laut dan Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200
mil laut dengan ketentuan bahwa mereka memperoleh kesempatan untuk
turut serta memanfaatkan surplus dari jumlah tangkapan yang
diperbolehkan.
2) Mereka mempunyai hak transit ke dan dari laut melalui wilayah negara
pantai/negara transit.
3) Negara-negara maritim baru dapat menerima rejim Zona Ekonomi
Eksklusif jika negara pantai tetap menghormati kebebasan pelayaran/
penerbangan melalui Zona Ekonomi Eksklusif.
4) Landas Kontinen.
Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen yang
menetapkan lebar landas kontinen berdasrkan pada kriteria kedalaman
atau kriteria kemampuan eksploitasi, maka Konvensi 1982 ini
mendasarkan pada berbagai kritria :
a. Jarak sampai 200 mil laut jika tepian luar tidak mencapai jarak 200 mil
laut tersebut;
b. Kelanjutan alamiah wilayah daratan dibawah laut hingga tepian luar
kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur
dari garis dasar laut teritorial jika diluar 200 mil masih terdapat daerah
dasar laut yang merupakan kelnjutan lamiah dari wilayah daratan dan
jika memenuhi criteria kedalaman sdimentasi yang ditetapkan dalam
konvensi; atau
c. Tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (isobaths) 2500
meter. Kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga
tepian luar kontinen yang ditentukan dalam konvensi ini pada akhirnya
dapat diterima negara–negara bukan negara pantai, khususnya negara–
negara tanpa pantai atau negara–negara yang geografis tidak beruntung
setelah konvensi juga menentukan bahwa negara pantai
74
74

mempunyai kewajiban untuk memebrikan pembayaran atau kontribusi


dalam natura yang berkenaan dengan eksploitasi sumber kekayaan
non–hayati Landas Kontinen di luar 200 mil laut. Pembayaran atau
kontribusi tersebut harus dilakukan melalui Otorita Dasar Laut
Internasional yang akan membagikannya kepada Negara peserta
Konvensi di dasarkan pada criteria pembagian yang adil dengan
memperhatikan kepentingan serta kebutuhan negara–negara
berkembang, khususnya negara–negara yang pekembangannya masih
paling rendah dan negara–negara tanpai pantai.
Sekalipun Landas Kontinen pada mulanya termasuk dalam rejim Zona
Ekonomi Eksklusif, namun dalam Konvensi ini Landas Kontinen diatur
dalam Bab tersendiri . hal ini berkaitan dengan diterimanya criteria
kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga parkiran luar tepian
kontinen, yang memungkinkan lebar landas kontinen melebihi lebar
Zona Ekonomi Eksklusif.
5. Laut Lepas
Berbeda dengan konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas yang
menetapkan laut lepas dimulai dari batas terluar laut territorial. Konvensi ini
menetapkan bahwa laut Lepas tidak mencakup Zona Ekonomi Eksklusif,
Laut territorial perairan pedalaman dan perairan kepualauan. Kecuali
perbedaan–perbedaan tersebut di atas, pada dasarnya tidak terdapat
perbedaan antara Konvensi Jenewa 1958 tentang laut Lepas dan Konevensi
PBB tentang hukum Laut mengenai hak–hak dan Kebebasan–kebebasan
dilaut lepas. Kebebasan–kebebasan tersebut harus dilaksanakan oleh setiap
negara dengan mengindahkan hak negara lain dalam melaksanakan
kebebasan di lautLepas. Disamping mengatur hak–hak kebebasan–
kebebasan di Laut Lepas. Konvensi ini juga mengatur masalah konservasi
dan pengelolaansumber kekayaan hayati di laut lepas yang dahulu diatur
dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Perikanan dan konservasi sumber
kekayaan hayati dilaut lepas.
6. Rejim Pulau
Rejim pulau diatur dalam Bab tersendiri dalam konvensi ini yang
dihubungkan dengan masalah Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan
75
75

Landas Kontinen. Konvensi menentukan bahwa pulau / karang mempunyai


Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen dengan
ketentuan bahwa pulau/ karang yang tidak dapat mendukung habitat
manusia atau kehidupan ekonominya sendiri, tidak mempunyai Zona
Ekonomi Eksklusif atau Landas KOntinen sendiri dan hanya berhak
mempunyai Laut Teritorial saja.
7. Rejim Laut tertutup / setengah tertutup.
Penetapan lebar laut Teritorial maksimal 12 mil laut dan Zona Ekonomi
Eksklusif yang lebarnya tidak melebih 200 mil diukur dari garis laut territorial,
mengakibatkan bahwa perairan Laut Tertutup/ setengah yang dahulunya
merupakan laut Lepas menjadi lautTeritorial atau Zona Ekonomi Eksklusif
negara–negara disekitar atau berbatasan dengan laut tertutup/ setengah
tertutup tersebut. Rejim laut tertutup/ setengah tertutup diatur dalam satu
bab tersendiri dalam konvensi ini. Menganjurkan antara lain agar negara
negara yang berbatasan dengan Laut Tertutup/setengah tertutup
mengadakan kerjasama mengenai pengelolaan, konservasi sumber
kekayaan alam hayati dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut
tersebut.
8. Rejim akses Negara tidak berpantai ked an dari laut serta kebebasan transit
Jika dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas masalah hak akses
negara tanpai pantai diatur dalam salah satu pasal, Konvensi ini menngatur
masalah rejim akses negara tanpa pantai ked an dari laut serta kebebasan
transit melalui negara transit secara lebih terperinci dalam satu bab
tersendiri. Rejim ini berkaitan dengan hak negara–negara tersebut untuk
ikut memanfaatkan sumber kekayaan alam yang terkandung dalam Zona
Ekonomi Eksklusif dan Kawasan dasar laut internasional. Sesuai ketentuan–
ketentuan dalam konvensi, pelaksnaan hak akses Negara tidak berpantai
serta kebebasan transit melalui wilayah Negara transit dan di Zona Ekonomi
Eksklusif perlu diatur dengan perjanjian bilateral subregional dan regional.
9. Kawasan Dasar laut Internasional
Kawasan Laut Internasional adalah dasar laut/samudra yang terletak di luar
landas Kontinen dan berada di bawah Laut Lepas. Konvensi menetapkan
bahwa kawasan Dasar Laut Internasional dan kekayaan alam yang
76
76

terkandung di dasar laut dan tanah di bawahnya merupakan warisan


bersama umat manusia. Tidak ada satu negarapun boleh menuntut atau
melaksanakan kedaulatan atau hak berdaulat atas bagian dar kawasan
Dasar laut Internasional atau kekayaan alam yang terdapat didalamnya.
Demikian pula tidak satu negarapun atau badan hukum atau orang boleh
melaksanakan pemilikan atas salah bagian dari kawasan tersebut semua
kegiatan di kawasan Dasar Laut Internasional dilaksanakan untuk
kepentingan umat manusia secara keseluruhan, maka pengelolaannya
dilaksanakan oleh suatu badan internasional, yaitu Otorita Dasar Laut
Internasional (International Seabed Authority). Adapun pengelolaannya di
dasarkan pada suatu sistem, yaitu sistem parallel, yakni selama Perusahaan
(Enterprises) sebagai wahana otorita belum dapat beroperasi secara penuh,
negara–negara peserta Konvensi termasuk perusahaan negara dan
swastanya dapat melakukan penambangan dikawasan Dasar Laut
Internasional tersebut berdasarkan suatu hubungan keraj atau asosiasi
dengan otorita. Konvensi PBB tentang hukum Laut ketiga dengan suatu
revolusi I, menetapkan pula pembentukan Komisi Persiapan (Preparatory
Commission) yang tugasnya adalah untuk mempersiapkan antara lain
pembentukan otorita Dasar Laut Internasional dan Pengadilan Internasional
untuk hukum laut.
10. Perlindungan dan pemeliharaan lingkunga laut.
Walaupun perlahan–lahan akan tetapi pada akhirnya tumbuh kesadaran
bahwa, sekalipun laut itu sangat luas tetapi sumber–sumber kekayaan yang
terkandung didalamnya tidak tanpa batas kelestarian. Penangkapan hidup
jenis ikan selalu mengandung suatu resiko bahwa kelangsungan hidup jenis
ikan tersebut dapat terancam dengan kepunahan.
Pengembangan teknologi dibidang perikanan, yang memungkinkan
penangkapan ikan dalam skala besar, dapat mengakibatkan tidak hanya
kepunahan jenis–jenis ikan akan tetapi juga kemunduran besar bagi
perusahaa-perusahaan yang tergantung dari penangkapan jenis – jenis ikan
tersebut.
Disamping itu tumbuh kesadaran mengenai kelestarian lingkungan hidup,
yang pada akhirnya menggerakkan PBB untuk meyelenggarakan konferensi
77
77

mengenai lingkungan hidup di Stockholm dalam tahun1972; Pembuangan


limbah secara tidak terkendali ke dalam lautan membawa akbat kerusakan
yang parah pada lingkungan laut.
Demikian pula, pencemaran yang diakibatkan oleh kecelakaan tangker –
tangker raksasa, seperti Torrey Canyon dalam tahun 1967 dan Amoco
Cadits dalam tahun 1978, membawa kerusakan yang sangat parah pada
lingkungan hidup. Berdasarkan kenyataan–kenyataan sebagaimana tersebut
di atas, konvensi menentukan bahwa setiap negara mempunyai hak
berdaulat untuk memanfaatkan sumber–sumber kekayaan alamnya sesuai
dengan kewajibannya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.
11. Penelitian ilmiah kelautan
Konvensi menentukan bahwa kedaulatan negara pantai mencakup pula
pengaturan penelitian ilmiah kelautan di Laut territorial atau perairan
kepulauan. Hal tersebut berarti bahwa setiap penelitian ilmiah kelautan yang
dilaksanak dalam laut teritorial/perairan kepulauan hanya dapat
dilaksanakan dengan seizin negara pantai. Konvensi menetapkan pula
bahwa negara pantai mempunyai yurisdiksi untuk penelitian ilmiah oleh
kelautan ZEE dan Landas Kontinen.
Penelitian ilmiah oleh negara asing atau organisasi internasinal sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan–ketentuan sebagaiman diatur dalam
konvensi supaya diizinkan oleh negara pantai. Untuk penelitian ilmiah
kelautan yang dilakukan di Laut Lapas berlaku kebebasan penelitian dengan
ketentuan bahwa penelitian ilmiah yang dilakuakan di Landas Kontinen
tunduk pada rejim penelitian Landas Kontinen. Demikian juga bagi penelitin
ilmiah di Kawasan Dasr laut International berlaku prinsip kebebasan
penelitian ilmiah yang tunduk pada rejim Kawasan Dasr Laut Internasional.
12. Pengembangan dan Alih Teknologi
a. Negara-negara secara langsung atau melalui organisasi internasional
yang berwenang, harus mengadakan kerjasama sesuai dengan
kemampuan masing–masing untuk secara aktif memajukan
pengembangan dan pengalihan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan;
b. semua negara wajib memajukan pengembangan kemampuan ilmiah dann
teknologi kelautan negara–negara yang memerlukan bantuan teknik
78
78

dalam bidang tersebut, khususnya negara–negara berkembang,,


termasuk negara–negara tanpai pantai dan yang secara geogarfis tidak
beruntung, yang memerlukan bantuan di bidang eksplorasi dan
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumbe –sumber kekayaan laut,
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, penelitian ilmiah kelautan,
dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan sosial dan ekonomi
negara–negara berkembang.
13. Penyelesaian Sengketa
Konvensi menentukan bahwa setiap negara peserta Konvensi harus
menyelesaikan suatu sengketa mengenai penafsiran dan penerapan
Konvensi melalui jalan damai sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat 3
Piagam PBB. Konvensi ini mengatur sistem penyelesaian sengketa,
dimana Negara – Negara peserta berkewajiban untuk tunduk pada salah
satu daripada lembaga penyelesaian sengketa sebagai berikut: Mahkamah
Internasional (I.C.J), Pengadilan Internasional untuk hukum Laut, Arbitrasi
Umum atau Rbutrasi khusus.
Konvensi 1982 ini membentuk pengadilan internasional untuk hukum laut
sebagai mahkamah tetap (standing tribunal) dan Arbitrasi umum serta
arbitrasi khusus sebagai mahkamah ad hoc (ad hoc Tribunal). Setiap
sengketa mengenai penafsiran dan penerapan Konvensi dapat diajukan
untuk diselesaikan oleh salah satu dari ke empat macam lembaga
penyelesaian sengekta tersebut diatas, kecuali sengketa mengenai
penafsiran dan penerapan BabXI konvensi mengenai Kawasan Dasar laut
internasional beserta lampiran- lampiran Konvensi yang bertalian dengan
masalah Kawasan dasar laut Internasional, yang merupakan yurisdiksi
mutlak kamar sengketa dasar laut. Sejalan dengan masalah persaiapan
pembentukan organ–organ otorita dasar laut international, maka
pembentukan pengadilan–internasional untuk hukum laut beserta kamar
kamar di dalamnya harus dipersiapkan pula oleh Komisi persiapan sesuai
dengan ketentuan Resolusi I yang diambil oleh konperensi PBB tentang
hukum laut ketiga, agar dapat segera berfungsi setelah Konvensi mulai
berlaku.
14. Ketentuan Penutup
79
79

Sebagaimana lazimnya, konvensi memuat ketentuan–ketentuan penutup


yang mengatur masalah–masalah prosedural seperti penandatanganan,
pengesahan dan konfirmasi formal, aksesia dan berlakunya konvensi,
amandemen depositori dan lain–lainnya. Beberapa ketentuan penutup
yang penting yang terdapat konvensi ini antara lain adalah :
a. Konvensi dimulai berlaku 12 bulan setelah tercapai pengesahan oleh
60 negara.
b. Konvensi ini menggantikan (prevail) konvensi – konvensi Jenewa 1958
mengenai hukum laut bagi para pihaknya.
c. Konvensi ini tidak membenarkan negara–negara mengadakan
pensyaratan (reservation) terhadap ketentuan–ketentuan dalam
konvensi pada eaktu mengesahkan karena seluruh ketentuan konvensi
ini merupakan satu piket yang ketentuan– etentuannya sangat serta
hubungannnya satu dengan yang lain, dan oleh keran itu hanya dapat
dipisahkan sebagai satu kebulatan yang utuh.

C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
materi pembelajaran ke 3 dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhir
perkuliahan yang dikemas dalam beberapa pertanyaang seperti :
1. Mengapa asas Negara kepulauan harus diimplementasikan dalam
berbagai peraturan perundang Republik Indonesia ?
2. Mengapa pengumuman pemerintah mengenai suatu obyek hukum
selalu diikuti dengan undang–undang ?
3. Apa implikasi dari ratifikasi Indonesia terhadapa konverensi hukum laut
PBB 1982 ?
80
80

Daftar Bacaan :
I. Wayan Parthiana, Landas Kontinen Dalam Hukum Laut Indonesia,
Bandung: Mandar Maju, 2005.
Made Pasek Diantha, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Bandung:
Mandar Maju, 2005
------------------, Analisis Negara Kepulauan dan Landas Kontinen Dalam
Perspektif Kepentingan Indonesia, Denpasar, CV. Karya
MasAgung, 1993.
Syahmin, AK, Beberapa Perkembangan dan Masalah Hukum Laut
International, Bandung: Bina Cipta, 1988.
UU No. 6 / 1996 tentang Wilayah Perairan Indonesia.
UU No. 17 / 1985 tentang Pengelolaan Konvensi Hukum Laut 1982.
UU No. 5/ 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
UU No. 1 /1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.
PP No. 8 / 1992 tentang Lalu lintas Damai Kendaraan air asing.
81
81

BAB 5
BAHAN PEMBELAJARAN 4

A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu IV bahwa
“Mahasiswa dapat menjelaskan berbaga jalur-jalur laut pada wilayah perairan
Indonesia sebagai negara nusantara”. Sasaran pembelajaran dimaksud
hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa discovery
learning melalui small group work, kuliah interaktif, dan diskusi.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta
didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait jalur-jalur laut.;Partisipasi
dalam diskusi; Kerjasama tim; Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan
dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang
diberikan pada peserta didik.

B. Uraian:
Jalur-jalur laut Indonesia sebagai negara nusantara atau negara
kepulauan:
1. Perairan Kepulauan
Dalam pasal 3 ayat 3 undang-undang perairan Indonesia disebutkan
bahwa, “Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang
terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa
memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.” Karena Konvensi
Hukum Laut Internasional (UNCLOS III) sudah mengakui konsep negara
kepulauan (archpelagic state), maka perairan kepulauan Indonesia juga
masuk kedalam perlindungan hukum laut internasional sebagaimana
halnya negara-negara kepulauan lainnya.

2. Perairan Pedalaman
Dalam pasal 8 ayat (1) United Nations Conventions on the Law of
the Sea (UNCLOS 1982) disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan
Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial.
Pasal tersebut selengkapnya berbunyi, “perairan pada sisi darat garis
82
82

pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara


tersebut”.13 Sedangkan dalam pasal 3 (4) UU No. 6 Tahun 1996 Tentang
Perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Perairan Pedalaman Indonesia
adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah
dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari
perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. Perairan Pedalaman Indonesia
terdiri atas: laut pedalaman, dan perairan darat.
Selanjutnya, laut pedalaman menurut pengertian undang-undang ini
adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada
sisi laut dan gari air rendah. Sedangkan Perairan Darat adalah segala
perairan yang terletak pada sisa darat dari garis air rendah, kecuali pada
mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi
darat dari garis penutup mulut sungai.
Perincian dari Perairan Indonesia berdasarkan ketentuan-ketentuan
dari UU No. 4/Prp tahun 1960 (sekarang UU No. 6 Tahun 1996),14 hukum
laut secara tradisional mengadakan pembagian laut atas laut lepas, laut
wilayah dan perairan pedalaman. Di laut lepas, terdapat rezim kebebasan
berlayar bagi semua kapal, dilaut wilayah berlaku rezim lintas damai bagi
kapal-kapal asing dan diperairan pedalaman hak lintas damai ini tidak ada.
Sedangkan bagi Indonesia, karena adanya bagian-bagian laut lepas atau
laut wilayah yang menjadi laut pedalaman karena penarikan garis dasar
lurus dari ujung ke ujung, pembagian perairan Indonesai agak sedikit
berbeda dengan negara-negara lain. Sesuai dengan UU No. 4 /Perp Tahun
1960 tersebut, perairan Indonesia terdiri dari laut wilayah dan perairan
Pedalaman. Perairan pedalaman ini dibagi pula atas laut pedalaman dan
perairan daratan.
Mengenai hak lintas damai di laut wilayah, tidak ada persoalan
karena telah merupakan suatu ketentuan yang telah diterima dan dijamin
oleh hukum internasional. Dilaut wilayah perairan Indonesia, kapal semua
negara baik berpantai atau tidak berpantai, menikmati hak lintas damai
13
Pasal 8 (1) UNCLOS 1982
14
Sekarang tidak berlaku lagi karena sudah diganti dengan UU No1/1974 tentang Landas Kontinen
Indonesia, UU No 5/1983 tentang ZEEI dan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia
83
83

melalui laut teritorial (pasal 17 konvensi). Selanjutnya, Indonesia


membedakan perairan pedalaman (perairan kepulauan atas dua golongan),
yaitu:
1. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya Undang-Undang No.
4/Prp Tahun 1960 merupakan laut wilayah atau laut bebas. Perairan
pedalaman ini disebut laut pedalaman atau internal seas.
2. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya UU No. 4/Prp Tahun 1960
ini merupakan laut pedalaman yang dahulu, selanjutnya dinamakan
perairan daratan atau coastal waters.
Di laut pedalaman ini, pemerintah Indonesia menjamin hak lintas
damai kapal-kapal asing. Sebagaimana kita ketahui, laut pedalaman ini
dulunya adalah bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah dan sudah
sewajarnya kita berikan hak lintas damai kepada kapal-kapal asing.
Ketentuan yang juga dinyatakan oleh Konvensi Jenewa, dan yang
ditegaskan pula oleh pasal 8 Konvensi 1982. Di perairan daratan tidak ada
hak lintas damai. Ini adalah suatu hal yang wajar karena kedekatannya
dengan pantai seperti anak-anak laut, muara-muara sungai, teluk-teluk
yang mulutnya kurang dari 24 mil, pelabuhan-pelabuhan, dan lain-lainnya.15
Sebagai tambahan, pemerintah Indonesia pada tahun 1985 telah
meratifikasi UNCLOS III/1982 ini dengan mengeluarkan UU No 17 Tahun
1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the
Sea yang ketiga.
Sebagai bahan perbandingan dalam mempelajari perkembangan
wacana hukum laut, khususnya yang membahas tentang laut teritorial dan
jalur tambahan dalam era yang berbeda, berikut ini kita akan mengkaji
perbedaan antara Konvensi Jenewa 1957 dengan United Nations
Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS III 1982) yang khusus
membahas tentang Laut Territorial dan Jalur Tambahan ;
Konvensi Jenewa 1957 yang membahas tentang Laut Territorial dan
Jalur Tambahan meneguhkan beberapa azas tentang laut territorial yang
telah berkembang sejak lahirnya hukum laut internasional dan memperoleh

15
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, (Bandung: PT Alumni, 2005), hlm. 383-384.
84
84

perumusannya yang jelas dalam konferensi kodifikasi Den Haag tahun


1930.
Dalam beberapa hal, Konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan
yang merupakan perkembangan baru dalam hukum laut internasional
publik. Yang terpenting diantaranya adalah ketentuan-ketentuan dalam
pasal 3, 4, dan 5 mengenai penarikan garis pangkal.
Pasal 1: menyatakan bahwa laut teritorial yang merupakan suatu jalur yang
terletak disepanjang pantai suatu negara berada dibawah
kedaulatan negara.
Pasal 2: menyatakan bahwa kedaulatan negara atas laut teritorial hanya
meliputi juga ruang udara diatasnya dan dasar laut serta tanah
dibawah dasar laut.
Pasal 3: memuat ketentuan mengenai garis pasang surut (low water mark)
sebagai garis pangkal biasa (“normal” base-line)
Pasal 4: mengatur garis pangkal lurus dari ujung ke ujung (straight base-
lines) sebagai cara penarikan garis pangkal yang dapat dilakukan
dalam keadaan-keadaan tertentu.. Dalam penjabarannya, ayat (1)
menetapkan dalam hal-hal mana dapat dipergunakan sistem
penarikan garis pangkal lurus, yakni:
1. Ditempat-tempat dimana pantai banyak liku-liku tajam atau laut
masuk jauh kedalam.
2. Apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak jauh dari
pantai.
Ayat selanjutnya (2, 3, dan 5) memuat syarat-syarat yang harus
diperhatikan di dalam menggunakan penarikan garis pangkal menurut
sistem garis pangkal lurus dari ujung ke ujung.
Syarat pertama adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh
menyimpang terlalu banyak dari arah umum daripada pantai dan bahwa
bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi darat) garis-garis demikian
harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat diatur oleh rezim
perairan pedalaman, (ayat 2).
Syarat kedua adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh diantara
dua pulau atau bagian daratan yang hanya timbul diatas permukaan air
85
85

diwaktu pasang surut (low-tide elevations) kecuali apabila diatasnya telah


didirikan mercusuar-mercusuar atau instalasi-instalasi serupayang setiap
waktu ada diatas permukaan air (ayat 3).
Syarat ketiga adalah bahwa penarikan garis pangkal tidak boleh
dilakukan sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan laut wilayah
negara lain dengan laut lepas. (ayat 5).
Ayat 4 dapat dianggap sebagai tambahan pada ketentuan ayat 1
mengenai penetapan garis lurus sebagai garis pangkal. Ayat ini
menetapkan bahwa dalam menetapkan garis pangkal lurus demikian dapat
diperhatikan kebutuhan-kebutuhan istimewa yang bersifat ekonomis
daripada suatu daerah yang dapat dibuktikan dengan kebiasaan-kebiasaan
dan kebutuhan yang telah berlangsung lama.
Ketentuan dalam ayat 1 yang menyatakan”......., ditempat-tempat
dimana, dan seterusnya....,” menunjukan bahwa sistem garis pangkal lurus
adalah cara penarikan garis pangkal istimewa yang dapat dipergunakan
oleh suatu negara. Sifat istimewa daripada garis pangkal lurus tampak
dengan lebih jelas apabila kita hubungkan ayat (1) ini dengan pasal 3 yang
menyatakan garis pasang surut sebagai garis pangkal biasa (normal base-
line). Ketentuan ini berarti suatu negara dapat emnggunakannya disebagian
pantainya yang memenuhi syarat-syarat ayat (1).
Sebagaimana diketahui keputusan-keputusan Konvensi I mengenai
garis pangkal lurus ini didasarkan atas keputusan Mahkamah Internasional
tanggal 28 Desember 1951 dalam perkara Sengketa Perikanan antara
Inggeris dan Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case).
Dengan dimuatnya ketentuan mengenai penarikan garis pangkal
lurus ini dalam konvensi mengenai “Laut Territorial dan Zona Tambahan”,
maka isi keputusan Mahkamah Internasional tersebut yang berdasarkan
pada pasal 59”............, tidak mengikat kecuali terhadap pihak-pihak yang
bersengketa dan berkenaan dengan perkara yang bersangkutan”, kini telah
diakui menjadi suatu cara penarikan garis pangkal yang – dengan syarat-
syarat tertentu – berlaku umum.16

16
Mochtar Kusumaatmadj, Hukum Laut Internasional, (Bandung: Binacipta, 1978), hlm 129-
133. Konferensi Internasional Hukum Laut III, Tanggal 10 Desember 1982 (UNCLOS 1982) belum
86
86

Sedangkan ketentuan mengenai laut teritorial yang tercantum dalam


UNCLOS IIII/1982 menjelaskan bahwa, kedaulatan negara pantai selain
diwilayah daratan dan perairan pedalamannya, perairan kepulauannya,
juga meliputi laut teritorial, ruang udara diatasnya dan dasar laut serta
lapisan tanah dibawahnya.
Batas laut teritorial tidak melebihi batas 12 mil laut diukur dari garis
pangkal normal. Untuk negara-negara kepulauan yang mempunyai karang-
karang disekitarnya, garis pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi
karang ke arah laut. Bagian ini juga membahas tentang perairan kepulauan,
mulut sungai, teluk, instalasi pelabuhan, penetapan garis batas laut teritorial
antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan
serta lintas damai.
Mengenai zona tambahan, menentukan bahwa negara pantai dalam
zona tersebut bisa melaksanakan pengawasan yang diperlukan guna
mencegah pelanggaran undang-undang menyangkut bea cukai, fiskal,
imigrasi, dan saniter dalam wilayahnya, namun tidak boleh lebih dari 24 mil
laut. Artinya, untuk zona tambahan, jaraknya diperluas selebar 12 mil laut
diukur dari batas laut teritorial.
Sebagaimana pernah disebutkan diatas, suatu negara mempunyai
kedaulatan yang penuh dalam perairan teritorialnya dan dapat
menyelenggarakan serta menjalankan tindakan-tindakan seperlunya untuk
menjamin antara lain:
a. Pertahanan keselamatan negara terhadap gangguan/ serangan dari
luar;
b. Pengawasan atas keluar masuknya orang asing (imigrasi);
c. Penyelenggaraan peraturan fiskal (bea dan cukai);
d. Pekerjaan dilapangan kesehatan (karantina);
e. Kepentingan perikanan
f. Pertambangan dan hasil-hasil alam lainnya.
Oleh karena itu, penentuan lebar laut 3 mil yang tercantum dalam
“Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie tahun 1939” yang dalam

dilaksanakan. Tetapi kurang lebih sebagai perbandingan dalam menganalisa dinamika perkembangan antara
Konvensi Jenewa tahun 1958 dengan UNCLOS 1982 yang juga saling berkaitan. Baca juga hasil-hasil
Konvensi Hukum Laut Jenewa 1957.
87
87

pasal 1 ayat 1 a.l. menyatakan bahwa “laut territorial Indonesia itu lebarnya
3 mil diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) daripada pulau-pulau dan
bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebied)
dari Indonesia...........” dirasakan tidak sesuai lagi dengan keadaan
sekarang dan dirasakan sudah tidak cukup lagi untuk menjamin dengan
sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan negara Indonesia yang biasanya
diselenggarakan dalam batas lautan territorial suatu negara. Oleh karena
itu, pada tahun 1996 pemerintah RI mengeluarkan UU No 6 Tahun 1996
Tentang Perairan Indonesia sebagai tindak lanjut dari kesepakatan
UNCLOS III/1982 yang menetapkan batas laut teritorial seluas 12 mil laut.
Menurut ICNT, yang dimaksud dengan ”Jalur Tambahan” adalah
suatu daerah laut yang berdekatan dengan laut wilayah, yang lebarnya
tidak lebih dari 24 mil laut dihitung dari garis dasar, dari mana lebar laut
wilayah diukur. Dengan adanya lebar perairan yang kurang dari 24 mil laut
yang membatasi wilayah RI dengan Malaysia, dengan Singapura serta
dengan Philipina, maka dengan perairan-perairan tertentu negara kita tidak
memiliki ”Jalur Tambahan”.
Pada jalur tambahan tersebut, NKRI mempunyai kewenangan-
kewenangan tertentu untuk:
1. Mencegah pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tentang ke-
Bea-an, perpajakan (fiskal), imirasi, maupun ”sanitary”, yang berlaku di
wilayah atau laut wilayah RI.
2. Menindak pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tersebut
17
diatas yang dilakukan di wilayah atau laut wilayah RI.

3. Laut teritorial
Dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang perairan Indonesia disebutkan
bahwa, “Laut Teritorial adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang
diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 5”.
Pasal 5 yang dimaksud adalah tentang ketentuan dan tata cara penarikan garis
pangkal kepulauan Indonesia. Definisi laut teritorial yang terdapat dalam UU No.

17
S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam UUD 1945 Serta
Pembangunan Nasional, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1985), hlm. 84-85.
88
88

6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia ini adalah mengikuti ketentuan yang
tercantum dalam UNCLOS 1982.
Dalam ketentuan ini (UNCLOS III), batas laut teritorial tidak melebihi batas
12 mil laut diukur dari garis pangkal normal. Untuk negara-negara kepulauan
yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis pangkalnya adalah garis
pasang surut dari sisi karang ke arah laut. Bagian ini juga membahas tentang
perairan kepulauan, mulut sungai, teluk, instalasi pelabuhan, penetapan garis
batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan serta lintas damai.

4. Laut Tambahan
Zona tambahan didalam pasal 24 (1) UNCLOS III dinyatakan bahwa
suatu zona dalam laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara
pantai tersebut dapat melaksanakan pengawasannya yang dibutuhkan untuk:
1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang
berkenaan dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal),
keimigrasian (imigration), dan kesehatan atau saniter.
2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan perundang-
undangannya tersebut di atas.
Didalam ayat 2 ditegaskan tentang lebar maksimum dari zona tambahan
tidak boleh melampaui dari 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal ini berarti
bahwa zona tambahan itu hanya mempunyai arti bagi negara-negara yang
mempunyai lebar laut teritorial kurang dari 12 mil laut (ini menurut konvensi
Hukum Laut Jenewa 1958), dan sudah tidak berlaku lagi setelah adanya
ketentuan baru dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pasal 33 ayat 2
Konvensi Hukum Laut 1982, zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut,
dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial itu diukur. Berikut ini beberapa
hal guna memperjelas tentang letak zona tambahan itu:
Pertama, Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu harus diukur,
tempat atau garis itu adalah garis pangkal.
Kedua, Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur dari
garis pangkal.
89
89

Ketiga, Oleh karena zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal
adalah merupakan laut teritorial, maka secara praktis lebar zona
tambahan itu adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu diukur dari garis atau
batas luar laut territorial, dengan kata lain zona tambahan selalu
terletak diluar dan berbatasan dengan laut teritorial.
Keempat, Pada zona tambahan, negara pantai hanya memiliki yurisdiksi yang
terbats seperti yang ditegaskan dalam pasal 33 ayat 1 Konvensi
Hukla 1982. Hal ini tentu saja berbeda dengan laut teritorial dimana
negara pantai di laut teritorial memiliki kedaulatan sepenuhnya dan
hanya dibatasi oleh hak lintas damai.

5. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)


Indonesia berhak dan telah menetapkan ZEE-nya selebar 200 mil dari
garis-garis pangkal nusantara (Pasal 48 dan 57). Dalam ZEE, Indonesia
mempunyai:
1. Sovereign rights atas seluruh kekayaan alam yang terdapat di dalamnya;
2. Yurisdiksi untuk: (a) Mendirikan, mengatur dan menggunakan pulau-
pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya (Pasal
56 dan 60); (b) Mengatur penyelidikan ilmiah kelautan; (c) Perlindungan
dan pelestarian lingkungan laut;
3. Hak dan kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan dalam konvensi.
Di ZEE, negara-negara lain mempunyai: (1) Kebebasan berlayar dan
terbang; (2) Hak meletakkan kabel dan pipa-pipa, instalasi-instalasi dan
bangunan-bangunan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum laut tentang
Landas Kontinen dan ZEE; (3) Kebebasan-kebebasan laut lepas yang disebut
dalam pasal 88 sampai 115, yang mencakup berbagai bidang yang ada
hubungannya dengan kapal dan pelayaran; (4) Akses terhadap. surplus
perikanan yang tidak dimanfaatkan oleh negara pantai.
Tindakan-tindakan yang diperlukan adalah:
1. Menetapkan batas terluar ZEE Indonesia dalam suatu peta yang disertai
koordinat dan titik-titiknya;
2. Menetapkan dalam persetujuan-persetujuan dengan negara tetangga
tentang batas-batas dan ZEE Indonesia yang mungkin tumpang tindih
90
90

dengan ZEE negara tetangga. Batas-batas landas kontinen yang telah


ditetapkan dengan negara-negara tetangga dalam berbagai persetujuan
belum tentu dapat dianggap sama dengan batas ZEE, karena kedua
konsepsi mi (ZEE dan landas kontinen) adalah 2 konsepsi yang berbeda
dan masing-masing merupakan konsep yang sui generis.
3. Mengumumkan dan mendepositkan copy dan peta-peta atau daftar
koordinat-koordinat tersebut pada Sekjen PBB (Pasal 75);
4. Mengumumkan secara wajar pembangunan dan letak pulau-pulau buatan,
instalasi dan bangunan-bangunan lainnya, serta safety zonenya dan
membongkarnya kalau tidak dipakai lagi (Pasal 60 mengatur soal ini secara
terperinci);
5. Indonesia harus menetapkan allowable catch dan sumber-sumber
perikanan ZEE-nya (Pasal 61). Indonesia sebagai negara pantai juga
berkewajiban memelihara, berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang ada, agar
sumber-sumber perikanannya tidak over-exploited demi untuk menjaga
maximum sustainable yield. Untuk maksud-maksud ini, Indonesia dirasa
perlu bekerja sama dengan negara-negara lain yang berkepentingan dan
dengan organisasi-organisasi internasional yang kompeten;
6. Untuk mencapai optimum utilization dan kekayaan alam tersebut, Indonesia
harus menetapkan its capacity to harvest dan memberikan kesernpatan
kepada negara lain di kawasannya, terutama negara-negara tidak berpantai
dan negara-negara yang secara geografis kurang beruntung, untuk
memanfaatkan the surplus of the allowable catch yang tidak dimanfaatkan
oleh Indonesia (Pasal 62, 69, 70, 71, dan 72 mengatur soal pemanfaatan
surplus);
7. Untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di ZEE, Indonesia perlu
mengeluarkan peraturan-peraturan perikanan yang diperkenankan oleh
konvensi (Pasal 62 ayat 4), misalnya tentang izin penangkapan ikan,
penentuan jenis ikan yang boleh ditangkap, pembagian musim dan daerah
penangkapan ikan, penentuan umur dan ukuran ikan yang boleh ditangkap
dan lain-lain;
8. Mengatur dengan negara-negara yang bersangkutan atau dengan
organisasi-organisasi regional/internasional yang wajar tentang
91
91

pemeliharaan dan pengembangan sumber-sumber perikanan yang terdapat


di ZEE 2 negara atau Iebih (shared stocks), highly migratory species dan
memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang marine mammals,
anadromous dan catadromous species dan sedentary species.

6. Landas Kontinen
Negara pantai termasuk Indonesia berhak mempunyai landas kontinen
di luar laut wilayahnya throughout the natural prolongation of its land territory to
the outer edge of the continental margin atau sampai 200 mil dan garis-garis
pantai (Pasal 76 ayat 1). Negara pantai harus menctapkan batas terluar dan
continental marginnya jika continental margin tersebut berada di luar batas 200
mil.
Batas terluar dan landas kontinen di continental margin yang terletak di
luar 200 mil ditetapkan maksimum 350 mil dan garis pangkal atau 100 mill dan
kedalaman air 2500 meter. Batas itu harus ditetapkan dengan garis-garis lurus
yang masing-masing panjangnya tidak boleh lebih dari 60 mil. Batas itu dapat
diperiksa oleh suatu Commission on the Limit of the Continental Shelf yang
akan didirikan dan harus diumumkan dan didepositkan pada Sekjen PBB
(Pasal 76 ayat 9).
Berlainan dengan hak negara pantai atas ZEE (yang memungkinkan
surplus perikanan diambil oleh negara lain) hak-hak berdaulat negara pantai
atas kekayaan alam, landas kontinennya adalah exclusive dan tidak perlu
dibagi-bagi dengan negara lain, kecuali seperti tersebut di bawah, walaupun
negara-negara yang bersangkutan belum memanfaatkannya.
Selanjunya dijelaskan, negara pantai harus menyumbangkan sebagian
dan hasil kekayaan alam landas kontinen yang diambilnya di luar batas 20 mil
kepada Badan Otorita Internasional yang akan didirikan. Besarnya sumbangan
itu adalah 1 persen dan produksi mulai tahun ke-6 produksi dan kemudian
setiap tahun naik dengan 1 persen sehingga kontribusi tersebut maksimum
menjadi 7 persen mulai tahun produksi ke-12.
Tindakan-tindakan lanjutan yang perlu dilakukan oleh pemerintah RI
adalah:
92
92

1. Indonesia harus menyelidiki apakah secara geologis Indonesia mempunyai


continental margin di luar batas 200 mil. Jika ada, maka kita harus
menetapkan batas tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi
dan mendepositkan peta disertai koordinat batas-batasnya pada Sekjen
PBB dan International Authority (Pasal 84) yang pembentukannya pada
waktu ini sedang dirundingkan;
2. Indonesia masih harus menyelesaikan batas landas kontinennya dengan
negara-negara tetangga, terutama dengan Vietnam, Australia, Philipina dan
Malaysia di Kalimantan Timur;
3. Juga UU Landas Kontinen Indonesia No. 7/1973 kiranya harus diperbaharui
untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan baru landas kontinen mi;
4. Perlu ditata kembali UU/ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan
penyelidikan ilniah, pemeliharaan lingkungan, pengamanan instalasi-
instalasi, eksploitasi dan explorasi di landas kontinen serta penentuan
jurisdiksi imigrasi, bea cukai, masalah-rnasalah perdata dan pidana di
landas kontinen Indonesia.

C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
materi pembelajaran keempat dilakukan dalam bentuk kuis diakhir perkuliahan
yang dikemas dalam beberapa pertanyaaan, seperti:
1. Jelaskan jalur-jalur laut Indonesia sebagai negara Kepulauan?
2. Dalam hal apakah ZEEI dapat dieksplorasi dan eksploitasi semaksimal
mungkin oleh Indonesia?

Daftar bacaan
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi
dalam Era Dinamika Global, Bandung: PT Alumni, 2005.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bandung:
Binacipta, 1978.
S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam
UUD 1945 Serta Pembangunan Nasional, Jakarta: PT Bina Aksara, 1985.
93
93

BAB 6
BAHAN PEMBELAJARAN 5

A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu IV bahwa
“Mahasiswa dapat menjelaskan berbagai macam garis pangkal yang dapat
diterapkan oleh Indonesia sebagai negara kepulauan.”. Sasaran pembelajaran
dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa
discovery learning melalui small group work, kuliah interaktif, dan diskusi.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta
didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait berbagai macam garis
pangkal pada umumnya.;Partisipasi dalam diskusi; Kerjasama tim;
Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit
dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan pada peserta didik.

B. Uraian:
Ada bermacam-macam garis pangkal, yaitu18:
1. Garis pangkal biasa, yaitu garis air rendah di sepanjang pantai. Dalam hal ini
garis air rendah dan fringing reefs (batu-batu karang) yang terluar juga dapat
dipergunakan. Garis air rendah dan fringing reefs tersebut harus di perlihatkan
dalam peta-peta yang diakui secara resmi oleh negara bersangkutan. (Pasal 5
dan 6);
2. Garis pangkal lurus, yaitu garis lurus yang ditarik untuk menutup pantai-
pantai yang terlalu melekuk, delta, low-tide elevations, mulut sungai, teluk,
bangunan-bangunan pelabuhan. Dalam hal:-hal mi, garis dasar dapat ditarik,
secara lurus tanpa mengikuti garis air rendah di pantai. Roadsteds (tempat
kapal-kapal buang jangkar di laut di depan pelabuhan) dianggap termasuk
dalam laut wilayah.
Dalam hal-hal negara berdampingan atau berhadapan, laut wilayah
masing-masing perlu ditetapkan dengan perjanjian antara negara-negara
tersebut (Pasal 15). Di luar laut wilayah, negara pantai diperkenankan
18
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, (Bandung: Binacipta, 1978). Lihat Juga
Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), Makassar: Fakultas Hukum
Unhas, 2007, hlm. 46-54.
94
94

mempunyai Lajur Tambahan (Contiguous Zone) sebesar 24 mil (12 mil di luar
laut wilayah), yang diukur dan garis pangkal yang dipergunakan untuk
mengukur laut wilayah.
Oleh karena itu, guna mendukung ketentuan tersebut, maka tindakan-
tindakan yang perlu dilakukan adalah:
- Meninjau kembali garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia dan
menyesuaikannya dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi, baik
dengan ketentuan-ketentuan dalam laut wilayah maupun ketentuan
ketentuan dalam negara-negara Nusantara;
- Merundingkan penyelesaian batas laut wilayah Indonesia dengan negara-
negara tetangga khususnya: (a) Garis batas segitiga RI-Malaysia-
Singapura di selat Singapura; (b) Garis batas laut wilayah RI-Malaysia di
pantai timur Kalimantan; (c) Garis batas laut wilayah RI-Philipina;
- Mendepositkan peta-peta dan koordinat-koordinat dan garis batas tersebut
pada Sekjen PBB sesuai dengan Pasal 16 ayat 2;
- Mendirikan/mengumumkan zone tambahan Indonesia untuk keperluan-
keperluan pengawasan pabean, keuangan, imigrasi dan kesehatan sesuai
dengan Pasal 33.
- Innocent Passage melalui Laut Wilayah.
Kapal semua negara menikmati hak untuk lewat secara damai (innocent
passage) melalui laut wilayah (Pasal 17) selama tidak membahayakan
perdamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai. Pasal 19 memperinci
tindakan-tindakan kapal yang lewat yang dapat dianggap membahayakan
perdamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai tersebut.
Pasal 21 memperkenankan negara pantai untuk membuat undang-
undang/ketentuan-ketentuan tentang lintasan laut damai tersebut, tetapi
terbatas kepada hal-hal yang terperinci dalam pasal 21 tersebut yaitu:
- Keselamatan pelayaran dan lalu lintas laut;
- Perlindungan sarana bantu pelayaran dan fasilitas atau instalasi lainnya;
- Perlindungan kabel-kabel dan pipa-pipa di dasar laut;
- Pelestarian kekayaan hayati laut;
- Pencegahan pelanggaran ketentuan-ketentuan perikanan;
- Pemeliharaan lingkungan dan pencegahan polusi;
95
95

- Penyelidikan ilmiah dan survey hydrografis; dan


- Pencegahan pelanggaran aturan-aturan pabean, keuangan, imigrasi dan
kesehatan.
- Untuk keselamatan pelayaran, negara pantai juga boleh menetapkan
sealanes dan traffic separation scheme (TSS) melalui laut wilayah dan
mewajibkan kapal-kapal tertentu seperti tanker dan kapal yang digerakkan
dengan tenaga nuklir atau membawa muatan nuklir untuk hanya lewat
melalui sealanes tersebut. Pasal 22 dan 23 mengatur cara-cara penetapan
sealanes dan TSS melalui wilayah laut tersebut.
Tindakan-tindakan yang diperlukan diantaranya adalah:
- Menata kembali dan mengembangkan perundang-undangan Indonesia
tentang innocent passage terutama tentang 8 hal tersebut di atas;
- Mengumumkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan tentang halhal
tersebut;
- Di mana perlu menetapkan sealanes dan TSS dan mengumumkan
sealanes dan TSS yang telah ditetapkan melalui laut wilayah tersebut.
Khusus bagi Indonesia sealanes dan TSS dalarn laut wilayah haruslah
sinkron dengan sealanes dan TSS melalui perairan Nusantara;
- Mengumumkan dangers to navigation yang diketahui yang ada di laut
wilayah;
Jika perlu RI boleh menangguhkan hak lalu lintas laut damai melalui laut
wilayah tersebut pada waktu-waktu dan di bagian-bagian tertentu untuk
keperluan keamanan, misalnya jika ada weapons exercises. Penangguhan mi
baru berlaku setelah diumumkan (Pasal 25 ayat 3). Perlu dicatat bahwa
innocent passage melalui selat yang dipakai bagi pelayaran internasional tidak
boleh ditangguhkan (Pasal 45 ayat 2).
3. Garis Pangkal Lurus Kepulauan
Negara nusantara boleh menarik garis pangkal lurus nusantara yang
menghubungkan titik-titik terluar dan pulau-pulau dan batu-batu karang yang
terluar dan kepulauan tersebut dengan ketentuan-ketentuan seperti tersebut
dalam Pasal 46 dan 4719. Laut wilayah, zone tambahan, landas kontinen dan

19
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Rights Over Natural Resources: The Indonesian
Experience, (Bandung: Alumni, 2002), P. 196-197.
96
96

ZEE Indonesia diukur ke laut dan garis pangkal lurus nusantara (GPLN)
tersebut (Pasal 48). Perairan di sebelah dalarn dan GPLN yang mengelilingi
kepulauan nusantara tersebut dinamakan perairan nusantara di mana pada
umumnya berlaku ketentuan pelayaran innocent passage seperti dalam laut
wilayah (Pasal 52 ayat 1), dengan ketentuan bahwa hak innocent passage
tersebut dapat ditangguhkan untuk sementara waktu di bagian-bagian tertentu
karena alasan-alasan keamanan (suspendable innocent passage).
Dalam perairan nusantara itu, negara nusantara seperti Indonesia
rnasih diperkenankan menetapkan perairan pedalaman (internal waters) di
mana hak innocent passage tidak diakui misalnya pada perairan-perairan
mulut sungai, teluk dan pelabuhan (Pasal 50).
Seperti telah dipaparkan di muka, bahwa di perairan nusantara
negara-negara lain juga mempunyai hak-hak seperti:
1. Indonesia harus menghormati existing agreements dengan negara-negara
lain;
2. Indonesia harus mengakui traditional fishing rights dan “kegiatan-kegiatan
lainnya yang sah” dari negara tetangga yang langsung berdekatan di
bagian-bagian tertentu dan perairan nusantara;
3. Indonesia harus menghormati kabel-kabel laut yang sudah ada yang
diletakkan oleh negara lain dan harus mengizinkan
pemeliharaan/penggantian kabel-kabel tersebut;
4. Kapal-kapal semua negara mempunyai hak innocent passage untu1
melewati perairan nusantara;
5. Semua kapal dan kapal terbang menikmati hak archipelagic sealane
passage melalui archipelagic sea lanes dan air rutes di atas seaIane
tersebut. Hak archipelagic sealanes passage adalah lebih longgar dari hak
innocent passage dan kira-kira sama bebasnya dengan hak trantti passage
melalui selat yang dipakai untuk pelayaran internasional. Jadi negara-
negara nusantara dapat menetapkan sealanes dan TSS melalui perairan
nusantara tersebut. Pasal 53 mengatur tentang cara-cara penentuan
sealanes dan TSS di perairan nusantara. Axis dan sea/tines dan TSS
tersebut harus diumumkan secara terbuka. Selama sealanes dan air routes
belum ditetapkan maka hak lintas nusantara (archipelagic sealanes
97
97

passage) dapat dilaksanakan through the routes normally used for


international navigation (Pasal 53 ayat 12).
Tindakan-tindakanyang diperlukan untuk mendukung hal ini adalah:
1. Memeriksa kembali titik-titik terluar dan pulau-pulau atau batu-batu
karang kering Indonesia yang terluar apakah sudah cocok dengan
ketentuan-ketentuan Konvensi sebagai titik-titik tenluar dan garis-ganis
pangkal Indonesia dan menggambarkan titik-titik ganis pangkal tensebut
dalam peta yang wajar atau membuat daftar koordinatnya,
mengumumkan peta-peta/koordinat tersebut dan mendepositkan
copynya pada Sekjen PBB sesuai dengan Pasal 47;
2. Untuk kewenangan Indonesia yang lebih kuat di perairan nusantara,
kiranya Indonesia perlu merumuskan dan menetapkan perairan-perairan
pedalaman (internal waters) dalam perairan nusantara tersebut sesuai
dengan Pasal 50;
3. Untuk lebih meluaskan pengawasan dan pengamanan laut Indonesia
maka sea/tines dan TSS dalam perairan nusantara dan laut wilayah
perlu disiapkan, ditetapkan, dan diumumkan sesuai dengan ketentuan
Pasal 53 Konvensi;
4. Semua hal-hal di atas memerlukan review dan re-adjustment dan UU
No. 4 Prp 1960 dan PP No. 8/1962 tentang innocent passage melalui
perairan Indonesia;
5. Walaupun Indonesia mempunyai kedaulatan atas perairan nusantara
dan semua kekayaan alam yang terdapat di dalamnya, namun negara-
negara tetangga mempunyai hak-hak tertentu di perairan Indonesia
seperti traditional fishing rights dan other legitimate activities (Pasal 51
ayat 1). Sampai sekarang hal-hal ini baru diselesaikan dengan Malaysia.
Dengan negara-negara tetangga yang lain, khususnya Singapura, hal ini
masih harus dirundingkan dan diatur;
6. Karena Indonesia berwenang penuh atas perairan nusantara, maka
untuk pembangunan Indonesia perlu diatur dan diambil tindakan-
tindakan yang terkoordinir dan efektif dalam:
a) Usaha-usaha untuk memanfaatkan kekayaan alam di laut, baik
perikanan maupun pertambangan;
98
98

b) Usaha-usaha peningkatan penegakan hukum dan kedaulatan di laut;


c) Usaha-usaha dan izin untuk melaksanakan penyelidikan ilmiah,
penyelidikan oceanologis dan hydrografis;
d) Usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan
keselamatan pelayaran;
e) Usaha-usaha pemeliharaan lingkungan laut Indonesia;
f) Usaha-usaha untuk mengatur dan membagi yuridiksi pengadilan
atas wilayah laut Indonesia;
g) Usaha-usaha untuk menata kembali dan melengkapkan perundang-
undangan Indonesia di bidang kelautan.
4. Garis Penutup
Dalam konteks garis pangkal kepulauan dilakukan dengan
menggunakan garis penutup, yang dibedakan kedalam garis penutup teluk;
garis penutup muara sungai, terusan dan kuala; dan garis penutup pada
pelabuhan.
a. Garis Penutup Teluk
Pada lekukan pantai yang berbentuk teluk, garis pangkal untuk
20
mengukur lebar laut territorial adalah garis penutup teluk. Garis penutup
teluk yang dimaksud adalah garis lurus yang ditarik antara titik titk teluar
pada garis air rendah yang paling menonjol dan berseberangan pada
muara teluk. Dalam hal ini, garis penutup teluk tersebut adalah seluas atau
lebih luas dari pada luas ½ lingkaran tengahnya adalah garis penutup yang
ditarik pad muara teluk. Apabila pada teluk terdapat pulau-pulau yang
membentuk lebih dari satu muara teluk, maka jumlah panjang garis penutup
teluk dari berbagai mulut teluk maksimum 24 mil laut.
b. Garis Penutup Muara Sungai, Terusan, dan Kuala
Pada muara sungai atau terusan, garis pangkal untuk mengukur
lebar laut territorial adalah garis penutup muara sungai atau terusan. garis
penutup muara sungai atau terusan dimaksud ditarik antara titik terluar
pada garis air rendah yang menonjol dan berseberangan. Dalam hal garis

20
Lihat Pasal 6 PP Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia telah diubah dengan PP No. 37 tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Titik-
titik garis pangkal kepulauan Indonesia (Maore masuk dalam titik 35 dan 36 sedangkan Miangas dalam titik
38 dan 39).
99
99

lurus tidak dapat diterapkan karena adanya kuala pada muara sungai,
sebagai garis penutup kuala dipergunakan garis-garis lurus yang
menghubungkan antara titik-titik kuala dengan titik-titik terluar pada air garis
rendah tepian muara sungai.21
c. Garis Penutup Pelabuhan
Pada daerah pelabuhan, garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial
adalah garis-garis lurus sebagai penutup daerah pelabuhan, yang meliputi
bangunan permanen terluar yang merupakan bagian integral sistem
pelabuhan sebagai bagian dari pantai. Garis lurus dimaksud ditarik antara
titik-titik terluar pada garis air rendah pantai dan titik-titik terluar bangunan
permanen terluar yang merupakan bagian integral system pelabuhan.22
C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
materi pembelajaran kelima dilakukan dalam bentuk makalah dengan
merumuskan beberapa judul/topik, seperti:
1. Praktek Indonesia dalam penerapan Garis Pangkal Lurus Kepulauan.
2. Kontroversi penerapan Garis pangkal normal dan garis pangkal lurus
kepulauan dalam praktek negara-negara.

Daftar Bacaan
Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar),
Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bandung: Binacipta,
1978.
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Rights Over Natural Resources:
The Indonesian Experience, Bandung: Alumni, 2002.

21
Lihat Pasal 7 PP Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia telah diubah dengan PP No. 37 tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Titik-
titik garis pangkal kepulauan Indonesia (Maore masuk dalam titik 35 dan 36 sedangkan Miangas dalam titik
38 dan 39).
22
Lihat Pasal 8 PP Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia telah diubah dengan PP No. 37 tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Titik-
titik garis pangkal kepulauan Indonesia (Maore masuk dalam titik 35 dan 36 sedangkan Miangas dalam titik
38 dan 39).
100
100
100

BAB 7
BAHAN PEMBELAJARAN 6

A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke 6 bahwa
mahasiswa dapat menjelaskan pengaturan hukum tentang lintas pelayaran
internasional di wilayah perairan Indonesia. Sasaran pembelajaran hendak dicapai
dengan strategi pembelaran berupa kuliah interaktif, studi kasus dan diskusi kelas.
Kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik yaitu
kemampuan mengemukakan dan menjelaskan fakta mengenai lintas pelayaran,
ketepatan menggunakan teori dalam menganalisis fakta terkait lintas pelayaran
serta partisipasi individual dalam diskusi kelas.
Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit dengan media
modul sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta didik:
1. Hak lintas damai;
2. Hak lintas transit; dan
3. Hak lintas alur laut kepulauan.

B. Uraian
Untuk itu uraian selanjutnya akan memberi gambaran tentang bagaimana
ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur ketiga jenis hak lintas
bagi kapal-kapal asing tersebut secara umum. Selanjutnya, mengidentifikasi ketiga
jenis pengaturan tersebut dengan selat-selat yang berada dalam perairan
Indonesia.

1. HAK LINTAS DAMAI


Perluasan jurisdiksi nasional atas laut dan tantangan yang timbul terhadap
hal tersebut dari negara–negara maritim yang ingin mempertahankan prinsip
keebebasan dilautan, merupakan pokok sengketa yang fundamental dalam
masalah penggunaan laut, zaman dahulu dapat dikatakan hanya ada satu pola
pandangan terhadapa kegunaan laut sebagai alat transportasi dan komunikasi,
kehadiran kapal-kapal asing pada jalur-jalur perairan sepanjang pantai
menimbulkan suatu akibat yang menganggu kedudukan negara pantai sebagai
101
101
101

suatu negara yang berdaulat. Kebijakan umum yang berkembang kemudian


adalah untuk sedapat mungkin untuk mengadakan pembatasan terhadap
kehadiran atau kapal-kapal asing pada wilayah laut yang terletak berdampingan
dengan pantai suatu negara.
Kompromi yang dihasilkan dari adanya pertentangan diantara dua
kepentingan yang sama kuatnya ini akhirnya melahirkan suatu doktrin baru yang
lahir dalam bentuk konsepsi lintas damai, yaitu pemberian suatu hak kepada
kapal-kapal asing untuk melintasi wilayah laut yang berada dalam juridiksi (dan
dengan demikian kedaulatan) suatu negara dengan pembatasan–pembatasan
tertentu.
Pada KHL I di Jenewa tahun 1958, dua kepentingan yang berada tersebut
akhirnya dicoba untuk diselesaikan melalui rumusan pasal–pasal 14 s/d 23 dari
KHL I tentang Laut Teritorial dan jalur tambahan (untuk selanjutnya disebut
sebagai Konvensi Laut Teritorial 1958), dalam bentuk aturan umum tentang hak-
hak kapal asing. Ketentuan tersebut juga merumuskan wewenang yang diberikan
kepada negara pantai untuk mengatur pelaksanaannya.
Konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan 1958 telah
memperkuat kedaulatan negara pantai atas laut territorialnya, termasuk ruang
udara diatasnya, serta dasar laut dan tanah dibawahnya. Namun, kedaulatan
Negara pantai ini masih dibatasi oleh ketentuan–ketentuan Konvensi itu sendiri
maupun ketentuan-ketentuan hukum Internasional lainnya.
Salah satu kelemahan atau kegagalan KHL I ini adalah bahwa rejim hak
lintas damai yang dihasilkannya dianggap tidak memadai untuk dipakai mengatur
pelayaran didunia dewasa ini, terutama karena konfrensi tidak berhasil
merumuskan ketentuan-ketentuan tentang lintas oleh kapal perang.
Sebetulnya masalah lintas bagi kapal perang melalui laut terrtorial suatu
negara telah menjadi bahan pembicaraan pada konferensi Kodifikasi Deg Haag
tahun 1930. Rancangan Pasal-pasal yang dihasilkan oleh Konperensi ini
kemudian dipakai oleh panitia Hukum Internasional sebagia rancangan pasal-
pasal untuk disampaikan pada Konprensi laut hukum Jenewa 1958 . Sayangnya,
Rancangan Pasal 24 tentang lintas bagi kapal perang ini ditolak, karena gagal
mencapai dukungan mayoritas suara yang diperlukan. Oleh karenanya hak lintas
damai bagi kapal perang tidak akan dapat ditemui dalam naskah konvensi.
102
102
102

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, naskah Pasal 24 ini sebenarnya berisi


ketentuan yang menetapkan bahwa kapal perang asing yang hendak lewat di laut
territorial, terlebih dahulu memerlukan izin Negara pantai, atau sedikit-dikitnya
harus terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada negara pantai.
Akibatnya Konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan 1958 ini
tidak memuat satu ketentuan apapun tentang lintas damai bagi kapal perang.
Satu-satunya ketentuan mengenai
Hak lintas damai bagi kapal–kapal asing melalui selat yang digunakan
untuk pelayaran Internasional secara umum diatur dalam pasal 45, yang
menetapkan bahwa kertentuan-ketentuan tentang hak lintas damai di laut
territorial (seksi 3, Bagian II) juga berlaku pada selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional. Menurut kententuan Pasal 45 selanjutnya, hak lintas
damai ini hanya dapat diterapkan pada:
(1).Selat yang dikecualikan dari ketentuan Pasal 37, yaitu selat yang terletak
antara suatu pulau dan daratan utama Nnegara yang berbatasan dengan selat,
yang apabila pada sisi kearah laut pulau itu terdapat suatu rute melalui laut
lepas atau melalui suatu zona ekonomi ekslusif yang sama fungsinya bertalian
denga sifat-sifat navigasi dan hidrografis (untuk selanjutnya akan disebut
sebagai “selat dengan kategori Pasal 38 ayat 1)”;
2. Selat –selat yang terletak antara bagian laut lepas atau zona ekonomi ekslusif
dan laut territorial suatu Negara asing (untuk selanjutnya akan disebut sebagai
“selat dengan kategori Pasal 45 ayat 1(b)”).
Ketentuan diatas menetapkan juga bahwa hak lintas damai dapat
diterapkan pada selat-selat dimana lintas transit tidak berlaku. Ketentuan–
ketentuan tentang hak lintas damai dalam Konvensi Hukum Laut 1982 tetap
mempertahankan bentuk yang sama seperti dalam Konvensi Jenewa tentang Laut
Teritorial dan Jalur Tambahan 1958, dengan membedakan pengaturan bagi kapal-
kapal asing ke dalam tiga kategori :
(1) Semua jenis kapal (pasal 17 – 26);
(2) Kapal-kapal dagang dan kapal-kapal pemerintah yang dioperasikan untuk
tujuan komersil (pasal 27 – 28); dan
(3) kapal–kapal perang dan kapal–kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan
untuk tujuan non-komersial (pasal 29-32).
103
103
103

a. Arti dan Maksudnya


Dalam konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan 1958,
kriteria damai bagi suatu lintasan ditetapkan sebagai so long as it not prejudicial to
the peace, good order or security of the coastal state. Konsepsi yang sama masih
dapat ditemukan dalam pasal 19 dari Konvensi Hukum Laut 1982. Perbedaanya
baru dapat ditemukan dalam bagian berikutnya yang merinci tentang kegiatan
kegiatan yang dianggap tidak damai.
Menurut pasal 19 ayat 2, lintasan dianggap membahayakan perdamaian,
ketertiban dan keamanan Negara pantai, adalah sebagai berikut:
(1). Setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan,
keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai, atau
dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum
internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB;
(2). Setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun;
(3). Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi
pertahanan dan keamanan negara pantai;
(4). Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi
pertahanan dan keamanan Negara pantai;
(5). Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara
diatas kapal;
(6). Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan
perlengkapan militer;
(7). Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, bea cukai,
fiskal, imigrasi atau saniter Negara pantai;
(8). Setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah yang
bertentangan dengan ketentuan Konvensi ini;
(9). Setiap kegiatan perikanan;
(10). Kegiatan riset atau survey;
(11). Setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap system
komunikasi atau setiap fasilitas atau instalasi lainnya Negara pantai;
104
104
104

(12). Setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan


lintasan.

Kegiatan-kegiatan yang dilarang tersebut diatas ditujukan untuk mencegah


kegiatan–kegiatan yang berbau militer. Meskipun usaha untuk lebih memantapkan
ketentuan-ketentuan tentang lintas damai ini ditujukan untuk mendapatkan
pengaturan yang lebih objektif, ketentuan yang paling akhir (Pasal 19 ayat 2(1)),
dapat menimbulkan tafsiran yang subjektif.
Pasal 14 konvensi jenewa tentang Laut territorial dan Jalur Tambahan
1958, memberikan suatu formula tentang sifat damai dari suatu lintasan sebagai
tidak Prejudical to the peace, good order or security of the coastal state. Formula
ini mengehendaki suatu pembuktian oleh Negara pantai bahwa lintasan yang akan
dilakukan dapat merugikan Negara pantai. Formula ini menurut Burke memerlukan
perubahan yang more precise and less susceptible to the discretionary power of
the coastal state.
Dibandingkan dengan ketentuan pasal 14 tersebut diatas, Pasal 19 ayat 2
ini lebih menegaskan hubungan antara kegiatan-kegiatan tersebut dengan Negara
pantai, melalui suatu pedoman dalam bentuk daftar kegiatan yang dapat dipakai
oleh Negara pantai untuk menentukan tentang sifat damai dari suatu lintasan oleh
kapal asing. Disamping itu, Konvensi Hukum laut 1982 juga menjamin hak lintas
damai bagi semua jenis kapal.
Pasal 24 membebani Negara pantai dengan suatu kewajiban untuk tidak
menolak dan menghalangi lintas damai, kecuali sesuai dengan ketentuan tentang
kekecualian ini, Negara pantai tidak dibenarkan untuk :
(1). Menetapkan persyaratan-persyaratan bagi kapal asing yang secara praktis
akan mengakibatkan penolakan atau paengurangan atas hak lintas damai;
atau
(2). Mengadakan diskriminasi formal atau diskriminasi nyata terhadap kapal
yang mengankut muatan ke, dari atau atas nama negara mana pun. Hal
yang terakhir ini dapat dilakukan pada selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional.
Dengan demikian satu-satunya wewenang yang tinggal pada negara pantai
dalam hal ini adalah untuk mengambil langkah langkah yang diperlukan untuk
105
105
105

mencegah lintasan yang tidak damai. Konvensi sendiri tidak memberikan suatu
batasan atau pedoman pelaksanaan bagi ketentuan tersebut. Seperti telah
diuraikan di atas adalah kurang tepat untuk menganggap penangguhan sebagai
salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh negara pantai. Pada selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional jelas hal itu tidak diperkenankan. Lalu,
apa saja yang dapat dilakukan oleh negara pantai?
b. Hak dan kewajiban Negara Pantai
Pasal 21 memberi wewenang kepada negara pantai untuk menyusun
peraturan perundang-undangannya, mengenai:
(1). Keselamatan pelayaran dan pengaturan lalu-lintas maritim;
(2). Perlindungan atas sarana bantu navigasi dan fasilitas navigasi serta
fasilitas – fasilitas dan instalasi lainnya;
(3). Perlindungan kabel dan pipa laut;
(4). Konservasi kekayaan hayati laut;
(5). Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan
negara pantai;
(6). Pelestarian lingkungan negara pantai, dan pencegahan pengurangan dan
pengendalian pencemaran;
(7). Penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi;
(8). Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan Negara pantai
dibidang bea cukai, fiskal, imigrasi dan saniter.
Wewenang yang diberikan kepada Negara pantai tersebut dibatasi dalam
beberapa hal yaitu :
(1). Peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh mengatur
tentang desain, kontruksi, pengawakan atau peralatan kapal-kapal
asing, kecuali kalau hal tersebut dilakukan sebagai pelaksanaan dari
suatu peraturan atau standar internasional yang diterima secara
umum. Ketentuan ini ditujukan utnuk mencegah agar Negara pantai
tidak menetapkan suatu standar bagi bentuk atau jenis kapal dan
tidak memaksakan suatu persyaratan bagi pengawakannya;
(2). Kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam padal 24.
Menurut Pasal 22 negara pantai juga diberi wewenang untuk menetapkan
alur-alur laut dan skema pemisah lalu-lintas. Juga bagi tanker-tanker dan kapal-
106
106
106

kapal yang mengangkut bahan-bahan nuklir, atau bahan-bahan yang berbahaya


lainnya, dapat mewajibkan untuk menggunakan alur-alur laut yang ditetapkan
khusus untuk itu.
Dalam hal penetapan alur laut dan skema pemisah lalu lintas untuk
pelaksanaan hak lintas damai ini, ada satu hal yang cukup menarik, yaitu bahwa
Negara pantai diminta untuk memperhatikan;
(1). Rekomendasi yang diberikan oleh organisasi internasional yang
berwenang;
(2). Setiap alur yang biasa digunakan untuk pelayaran internasional;
(3) sifat-sifat khusus dari kapal-kapal dan alur-alur terterntu;dan
(4) Kepadatan lalu lintas.
Disamping hal-hal tersebut diatas, Negara pantai juga dibebani dengan
kewajiban untuk menjaga agar pelaksanaan hak lintas damai oleh kapal-kapal
asing tersebut tidak dikurangi atau dihalangi oleh peraturan perundang–undangan
atau persyaratan–persyaratan yang ditetapkan oleh negara pantai. Negara pantai
juga tidak dibenar–benarkan untuk membeda-bedakan kapal-kapal asing satu
sama lainnya negara pantai diwajibkan untuk mengumumkan secara tepat segala
hal yang diketahuinya akan membahayakan pelayaran.
c. Kewajiban kapal pada waktu melakukan lintasan
Pada garis besarnya kewajiban kapal pada waktu melakukan lintasan
sudah tercakup dalam pengertian lintasan damai yang diberikan oleh pasal 19
ayat 1, yang kemudian secara rinci digambarkan dalam bentuk kegiatan–kegiatan
yang terlarang, seperti tercantum pada ayat–ayatnya. Di samping itu setiap kapal
yang sedang melakukan lintasan wajib untuk mematuhi peraturan perundang-
undangan Negara pantai yang ditetapkan untuk melaksanakan hak lintas damai
tersebut. Peraturan perundang-undangan tersebut meliputi antara lain pengaturan
tentang keselamatan pelayaran, pencemaran, alur-alur laut dan skema pemisah
lalu-lintas.
Apabila suatu kapal melakukan perbuatan yang apabila dihubungkan
dengan pengertian lintas damai tersebut diatas merupakan suatu pelaggaran
terhadap ketentuan tersebut, Negara pantai dapat mencegah pelaksanaan lintas
tadi. Akan tetapi apabila perbuatan yang dianggap suatu pelanggaran tersebut
tidak ada kaitannya dengan ketentuan tentang pengertian lintas damai, jadi bukan
107
107
107

merupakan hal yang dilarang oleh ketentuan pasal 19 ayat 2, Negara pantai tidak
mempunyai hak untuk mencegahnya.
Meskipun kapal–kapal perang mempunyai imunitas yang dijamin oleh
konvensi ini, namun tidak lepas dari kewajiban untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan Negara pantai tentang pelaksanaan hak lintas damai.
Meskipun telah diberi peringatan terlebih dahulu, apabila terbukti suatu kapal
perang melakukan pelanggaran terhadap peraturan tersebut, Negara mantai
mempunyai wewenang untuk memerintahkan kapal tersebut untu meninggalkan
laut teritorialnya (yang dalam hal ini selat). Selain dari itu, Negara bendera dari
kapal perang atau kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan yang non
komersial, bertanggung jawab atas segala kerugian atau kerusakan yang diderita
oleh negara pantai. Yang diakibatkan oleh tidak dipatuhinya peraturan perundang–
undangan tersebut, ketentuan–ketentuan konvensi itu sendiri, maupun ketentuan–
ketentuan hukum internasional lainnya.
Berbeda dengan konvensi Jenewa tentang laut territorial dan jalur
tambahan 1958, Konvensi Hukum laut 1982 memberikan perhatian yang cukup
untuk membicarakan masalah hak lintas bagi kapal perang. Disamping itu, apabila
pada tahun 1958 Konperensi Hukum Laut I masih ragu–ragu untuk membicarakan
masalah itu, maka keragu-raguan tersebut berhasil dihapuskan dalam konperensi
Hukum Laut III. Konvensi Hukum Laut 1982 menjamin hak lintas damai bagi
semua jenis kapal asalakan kapal yang melakukan lintasan tersebut tidak
melakukan salah satu perbuatan yang dilarang oleh pasal 19 ayat 2 (b),
khususnya mengenai latihan atau praktek dengan menggunakan senjata macam
apapun. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut khususnya, maupun terhadap
peraturan perundang-undangan negara pantai pada umumnya, dapat
mengakibatkan penggusiran kapal tersebut dari laut territorial atau selatnya.
Kapal selam serta alat-alat angkut dibawah air lainnya diharuskan untuk
berlayar dipermukaan air, dan mengibarkan benderanya. Kapal – kapal bertenga
nuklir dan kapal-kapal yang mengangkut bahan–bahan nuklir maupun bahan–
bahan lainnya dapat diminta untuk berlayar melalui alur laut yang ditetapkan
khusus untuk itu. Ketentuan tersebut tampaknya disediakan untuk
mengakomodasikan kekhawatiran Negara pantai akan bahaya yang dapat
ditimbulkan oleh kapal–kapal jenis demikian.
108
108
108

Konvensi hukum laut 1982 ini dengan demikian telah berhasil menetapkan
sesuatu pengaturan yang lebih jelas tentang pelaksanaan hak lintas damai, dan
negara pantai tidak dibenarkan untuk mengurangi atau menghalangi pelaksanaan
hak tersebut. Satu hal yang masih belum jelas dalam hal ini adalah cara
pelaksanaan hak tersebut dengan memperhatikan hak serta peraturan perundang–
undangan negara pantai. Sebagai contoh misalnya, menurut pasal 22 apabila
dianggap perlu Negara pantai dapat menetapkan alur laut khusus bagi lintasan
oleh kapal nuklir dengan alasan untuk menjamin keselamatan pelayaran. Namun
dalam hal ini, negara pantai tidak dapat mencegah kapal tersebut untuk melaukan
lintasan.

d. Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri utama dari
hak lintas damai bagi kapal asing pada selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional adalah:
(1). Lintasan oleh kapal asing dianggap sebagai lintas damai selama tidak
melakukan kegiatan–kegiatan yang dicantumkan dalam pasal 19 ayat 2;
(2). Negara pantai mempunyai wewenang terbatas untuk mengatur lintas
damai;
(3). Negara pantai mempunyai hak untuk mencegah lintasan yang tidak damai
(4). Tidak ada penangguhan terhadap pelakasanaan hak lintas damai pada
selat yang digunakan untuk pelayaran internasional;
(5). Kapal selam harus berlayar dipermukaan air;
(6). Negara pantai dapat meminta kapal perang untuk meniggalkan selat
apabila terbukti melakukan pelanggaran, meskipun telah diberi peringatan.

2. HAK LINTAS TRANSIT


Hak lintas transit bagi kapal-kapal melalui selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional diatur dalam seksi 2 dari bagian III (pasal 37-44).
Berlainan dengan hak lintas damai yang diatur oleh Bagian lain tentang lintas
melalui laut territorial, hak lintas transit hanya diatur oleh Seksi 2 ini saja.
109
109
109
a. Ruang Lingkupnya
Perbedaan antara hak lintas transit dan hak lintas damai akan segera
terlihat dengan jelas dalam ketentuan–ketentuan Seksi 2, khususnya Pasal 37
yang menetapkan bahwa: “This Section applies to straits which are used for
international navigation between one part of the high seas or an exlusive economic
zone and another part of the high seas or an exlusive economic zone.”
Pemisahan pengaturan tentang lintas transit ini juga tampak dalam
ketentuan pasal 34 yang menggambarkan dengan jelas perbedaan antara lintas
damai dan lintas transit, disamping juga pasal 39 yang menetapkan bahwa kapal
dan pesawat udara harus mematuihi ketentuan–ketentuan dari bagian ini. Pasal
34 mengakui bahwa selat yang digunakan untuk pelayaran internasional berada di
bawah kedaulatan penuh dari Negara pantai, meskipun demikian lintasan
melalui wilayah perairan tersebut harus tunduk pada ketentuan-ketentuan bagian
ini, ruang lingkup berlakunya ketentuan-ketentuan ini dikecualikan bagi :
(1). Selat–selat yang termasuk dalam kategori Pasal 38 ayat 1; dan
(2). Selat-selat yang termasuk dalam kategori Pasal 45 ayat 1(b).
Adalah kurang tepat untuk memberlakukan lintas transit bagi selat yang
termasuk ke dalam kategori pasal 38 ayat 1, yaitu bahwa pada selat yang :
“….Formed by an island of a State bordering the strait and its mainland, transit
passage shall not apply if there exist seaward of the island a route through an
exclusive economic zone of similar convenience with respect to navigantional
and hydrographical characteristics”.

Terlebih-lebih karena pada arah laut tersedia rute yang sama fungsinya dilihat dari
segi navigasi dan hidrografis. Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksudkan
dengan convenience disini adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
sifat-sifat navigasi dan hidrografis. Jadi apabila tidak tepat apabila ada Negara
pemakai selat yang mengkehendaki diberlakukannya lintas transit karena alasan-
alasan militer, strategis maupun ekonomis. Bagi selat demikian, maupun bagi selat
dengan kategori kedua, yaitu yang terletak diatara laut lepas atau zona ekonomi
ekslusif denga laut territorial suatu negara, berlaku hak lintas damai.

b. Arti dan maksudnya


Pasal 38 ayat 2 memberi pengertian tentang lintas transit sebagai
pelaksanaan dari kebebasan pelayaran dan penerbangan berdasarkan bagian ini,
110
110
110
semata-mata untuk tujuan transit yang terus-menerus, langsung dan secepat
mungkin, pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional yang
menghubungkan dua wilayah laut sebagaimana yang digambarkan dalam pasal
37. Persyaratan tersebut tidak menutup kemungkinan bagi kapal–kapal atau
pesawat udara asing yang mempunyai maksud untuk memasuki, meninggalkan
atau kembali dari suatu negara yang berbatasan dengan selat tersebut, dan harus
mematuhi ketentuan-ketentuan untuk memasuki negara tersebut.
Dengan demikian lintas transit hanya berlaku untuk :
(1). Lintasan melalui selat tanpa berhenti dari kedua arah;
(2). Lintasan melalui sebagaian dari selat untuk memasuki atau meninggakkan
Negara pantai; dan
(3). Lintasan dari Negara pantai melalui sebagian dari selat menuju ke laut
lepas atau zona ekonomi ekslusif.
Perlu diperhatikan bahwa untuk dapat disebut sebagai suatu lintas transit,
faktor utama yang menentukan adalah kedudukan selat sebagai perairan yang
menghubungkan satu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif dengan
bagian dari lain dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif. Oleh karena itu untuk
dapat dianggap sebagai lintas transit, suaut lintasan harus dimulai dan/atau
berakhir pada satu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif. Akan tetapi
hal ini tidak berarti bahwa pada selat demikian hanya berlaku rejim lintas transit
saja, karena masih dimungkinkan juga berlakunya rejim lintas damai selama
lintasan tersebut bukan merupakan salah satu dari ketiga bentuk lintasan tersebut
diatas.
Berbeda dengan lintas damai, untuk lintas transit tidak ada perbedaan
pengaturan berdasarkan jenis kapal. Demikian juga, tidak terdapat persyaratan–
persyaratan untuk pelaksanaan lintas itu sendiri, maupun kewajiban untuk
meminta izin maupun memberitahukan terlebih dahulu. Disamping itu, pasal 38
ayat 1 menjamin lintas perbedaan berdasarkan jenis ataupun kategori. Dengan
demikian lintas transit berlaku juga bagi kapal-kapal perang maupun pesawat
udara militer. Meskipun demikian, dalam lintas transit tidak ada keharusan untuk
meminta izin maupun memberitahukan terlebih dahulu.
111
111
111
c. Hak dan kewajiban Negara Pantai
Sesuai dengan ketentuan padal 44, konvensi membebani negara pantai
yang berbatasan dengan selat (Negara tepi selat) suautu kewajiban untuk tidak
menghambat lintas transit. Disamping itu negara pantai juga harus mengumumkan
dengan tepat setiap adanya bahaya bagi pelayaran maupun penerbangan yang
diketahuinya. Karena hak lintas transit ini merupakan pelaksanaan dari kebebasan
pelayaran, negara pantai tidak diperkenankan untuk menangguhkan
pelaksanaannya.
Ketentuan–ketentuan pokok tentang hak negara pantai untuk menetapkan
peraturan perundang-undangan tentang lintas transit tercantum dalam pasal 42,
yang terbatas hanya pada hal–hal sebagai berikut :
(1). Keselamatan pelayaran dan pengaturan lalu-lintas dilaut
sebagaimana ditentukan oleh pasal 41;
(2). Pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran dengan
melaksanakan peraturan internasional yang berlaku tentang
pembuangan minyak, limbah berminyak dan bahan beracun lainnya
di selat;
(3). Bagi kepala penangkap ikan, pencegahan penangkapan ikan
termasuk cara penyimpanan alat penangkap ikan;
(4). Meneaikkan keatas kapal atau menurunkan dari kapal setiap
komoditi, mata uang atau orang, yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan dari Negara tepi selat tentang bea
cukai, fiskal imigrasi atau seniter.
Di samping pembatasan-pembatasan tersebut diatas, Negara pantai juga
dikenakan persyaratan untuk tidak melakukan diskriminasi secara formal maupun
nyata diatara kapal–kapal asing, yang dalam pelaksanaannya akan member akbit
praktis sebagai penolakan, penghambatan atau pengurangan pelaksanaan hak
lintas transit.
Wewenang lain yang diberikan kepada Negara pantai adalah untuk
menetapkan alur-alur laut dan skema pemisah lalu-lintas pada selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional, dengan persyaratan–persyaratan
sebagai berikut :
112
112
112

(1). Harus sesuai dengan peraturan internasional yang diterima secara


umum;
(2). Setiap penentuan atau pergantian alur laut dan skema pemisah lalu-
lintas harus berdasarkan penerimaan oleh organisasi internasional
yang berwenang dan disepakati bersama dengannya;
(3). Harus mencantumkannya secara jelas pada peta yang diumumkan
sebagai mestinya.
Khususnya mengenai tindakan-tindakan pencegahan pada selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional, yang meskipun tidak termasuk ke dalam
seksi 2 dari bagian III ini, adalah ketentuan Pasal 233. Pasal ini merupakan hasil
usaha dari Malaysia yang didukung oleh Indonesia da Singapura, yang
disampaikan pada sidang keenam Konperensi sebelum dikeluarkannya naskah
ICNT pada tahun 1977.
Pasala 233 ini pada pokoknya memberikan wewenang pada negara pantai
yang berbatasan dengan selat yang digunakana utntuk pelayaran internasional,
untuk memaksakana penataan oleh kapal-kapal asing terhadap peraturan
perundang-undangan negara pantai mengenai keselamatan pelayaran dan
pencegahan serta pengawasan pencemaran yang dibuat sesuai dengn
ketentuan Pasal 42 ayat 1 (a) dan (b).
Usul ini diaujukan oleh Malaysia mengingat pentingnya pengaturan seperti
itu bagi Selat Malaka – Singapura, terutama setelah ketiga negara tepi selat
tersebut berhasil mencapai persetujuan bersama untuk mengatur lalu-lintas
pelayaran pada wilyah tersebut, antara lain dengan menetapkan UKC (Under Keel
Clearance) setinggi 3,5 meter bagi kapal–kapal yang akan melintasi selat tersebut.
Pada sidang Konperensi Hukum Laut III yang ke 11 tahun 1982, ketiga
negara menegaskan lagi pentingnya hal tersebut yang kemudian juga
mendapatkan dukungan dari beberapa Negara maritim. Sesuai dengan ketentuan
pasal 236, ketentuan pasal 233 tersebut tidak berlaku bagi kapal perang. Pasal
236 memberikan jaminan hak kekebalan (imunitas) bagi kapal-kapal perang dan
kapal-kapal lainnya serta pesawat udara pemenrintah yang dioperasikan untuk
tujuan yang non komersial, dan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 tentang
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
113
113
113

Pasal 236 ini disusun dengan beberapa alasan. Adalah tidak tepat untuk
menerapkan peraturan-peraturan internasional, kepada kapal-kapal perayng yang
mempunyai konfigurasi dan misi tertentu. Selain dari itu dikhawatirkan bahwa
apabila ketentuan tersebut diterapkan kepada kapal-kapal perang, akan
mengakibatkan dampak timbulnya wewenang Negara pantai untuk melakukan
pemeriksaan. Hal ini sudah barang tentu merupakan suatu hal yang tidak
dikehendaki untuk terjadi pada kapal-kapal perang. Disamping itu kapal-kapal
perang juga dianggap bukan merupakan jenis kapal yang dapat membahayakan
lingkungan laut.

d. Kewajiban kapal pada waktu melakukan lintasan


Kewajiban kapal-kapal dan pesawat udara pada waktu melaksanakan lintas
transit diatur oleh Pasal 39 dan 40 Pasal 39 ,menguraikan secara rinci rangkaian
kewajiban yang harus dipenuhi tersebut, sebagai berikut :
(a). proceed without delay through or over the sraits;
(b). refrain from any thereat or use of force against the sovereignty,
territorial integrity or political independence of states bordering the
strait, or in any other manner in violation of the principles of
international of law embodied in the charter of the united Nations;
(c). refrain from any activities other than those incident to their normal
modes of continous and expeditious transit unless rendered
necessary by force majeure or by distress;
(d). comply with other relevant provisions of this part.

Ketentuan–ketentuan tersebut di atas adalah ketentuan-ketentuan yang


berlaku umum baik bagi kapal-kapal maupun pesawat udara. Pokok utama dari
kewajiban tersebut adalah bahwa dalam melakukan lintasan harus berjalan tampa
terhambat (delay), misalnya saja berlayar mondar mandir tidak diperkenankan.
Pokok kedua menetapkan kewajiban bagi kapal-kapal dan pesawat udara
untuk mengihindarkan diri dari penggunaan ancaman kekerasan atau kekerasan
dalam bentuk apapun dalam bentuk kedaulatan, keutuhan wilayah, atau
kemerdekaan politik dari negara pada tepi selat. Disamping itu juga tidak
114
114
114

diperkenankan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan asas-asas


hukum internasional sebagaiman yang tercantum dalam piagam PBB.
Pokok yang ketiga dari pengaturan ini menunjuk kepada kewajiban kepal-
kapal dan pesawat udara selama transit, untuk memusatkan kegiatan, hanya
kepada cara yang normal untuk melakukan lintasan yang langsung, terus-
menerus, dan secepat mungkin, dan secepat mungkin. Keadaan force mejure atau
apabila sedang dalam kesulitan. Sedangkan pokok yang terakhir menunjuk
kepada kewajiban untuk mematuhi ketentuan-ketentuan lain dari bagian ini.
Pasal 39 juga menetapkan ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi
kapal, yaitu untuk :
(a). Comply with generally accepted international regulations, procedures
and practices for safety at sea, including the intenational regulation
for preventing collisions at sea;
(b). comply with generally accepted international regulations, procedures
and practices for the prevention, reduction and control of pollution
form ships,”
Sedangkan bagi pesawat udara, kewajiban-kewajiban khusus itu berupa:
(a) observes the rules of air established by the international civil aviation
organization as they apply to civil aircraft; state aircraft will normally
comply with such safety measures and will at all time operate with
due regard for the safety of navigation;
(b) at all times monitor the radio frequency assigned by the competent
intenationally designet air traffic control authority or the apporiete
international distress radio frequency.
Kewajiban-kewajiban khusus baik bagi kapal-kapal maupun pesawat udara
tersebut diatas menunjuk kepada ketentuan-ketentuan atau standard yang telah
diterima secara international bagi keselamatan pelayaran maupun
penerbagangan.
Pasal 40 mengatur tentang kapal-kapal yang digunakan untuk penelitian
ilmiah atau survey hidrografis, yang tidak diperkenankan untuk melakukan
kegiatan-kegiatan penelitian tanpa mendapat izin terlebih dahuludari Negara
pantai. Berbeda dengan ketentuan Pasal 19 tentang kegiatan-kegiatan yang dapat
menyebabkan suatu lintasan menjadi tidak damai, padal 39 dan 40 ini tidak
115
115
115

menetapkan jenis atau bentuk kegiatan yang akan menyebabkan suatu lintasan
tidak merupakan lintasan transit.
Masalahanya kemudian adalah apakah suatu pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan pasal 39 dan 40 tersebut diatas dapat menyebabkan suatu
lintasan menjadi bukan lintas transit, atau apakah Negara pantai dapat melakukan
tindakan-tindakan pencegahan? Kalau lintas damai memakai sebagi ukuruan
adalah kegiatan kapal sewaktu melakukan lintasan , pengertian lintas transit
menurut konvensi adalah pelaksanaan dari kebebasan pelayaran yang langsung,
terus menerus dan secepat mungkin. Pasal 39 tidak memberikan penjabaran
seperti pasal 19, karena ke dalam pengertiannya tercakup kebebasan pelayaran
dan penerbangan, meskipun dikaitkan dengan suatu tujuan khusus untuk “transit
secara terus menerus dan langsung” tersebut, apabila kapal yang sedang
melakukan lintasan bermaksud untuk memasuki, atau meninggalkan, atau kembali
kewilayah Negara tepi selat.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 39 dan 40 tersebut diatas, dengan
demikian tidak dapat dianggap sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan
ketentuan pasal 38 ayat 2, dan lintasan nya tetap akan dianggap sebagai lintas
transit. Apabila hal yang serupa terjadi dalam pelaksanaan hak lintas damai. Akan
tetapi apakah keadaan demikian tidak menutup kemungkinan bagi Negara pantai
untuk bertindak?
Tolak ukur yang dapat dipakai oleh negara pantai untuk menentukan
apakah suatu lintasan tersebut dapat dianggap seabagai suatu lintas transit
adalah : apakah lintasan tersebut dapat dianggap sebagai suatu lintasan “terus
menerus dan langsung”, yang digambarkan pada pasal 39 ayat 1 sebagai “lewat
dengan cepat” (proceed without delay). Lintasan oleh sebuah kapal yang tidak
cepat dan terputus-putus dapat dianggap sebagai tidak continous, jadi bukan
merupakan lintas transit. Dalam keadaan demikian, apakah Negara pantai dapat
melakukan suatu tindakan untuk mencegah atau menghalanginya?
Kalau dihubungkan dengan ketentuan pasal 44, Negara pantai tidak
mempunyai hak untuk menghalangi lintas transit yang dilakukan oleh kapal asing.
Sebaliknya, pasal 25 ayat 1 justru secara pasti memberikan wewenang kepada
Negara pantai untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk
mencegah lintas yang tidak damai. Karena ketentuan serupa tidak ada dalam
116
116
116

pelaksanaan hak lintas transit, negara pantai tampaknya tidak mempunyai


wewenang apapun untuk mencegah lintasan yang tidak memenuhi persyaratan
Pasal 38 tersebut di atas.

e. Masalah Kapal Selam


Suatu hal yang menarik dalam pengaturan tentang lintas transit ini adalah
tidak adanya keharusan bagi kapal selam layar untuk berlayar dipermukaan air.hal
ini jelas berbeda dengan ketentuan pasal 20 tentang lintas damai uang
pelaksanaannya juga berlaku bagi lintas damai melalui selat. Kewajiban seperti itu
tidak ada dalam bagian 2 ini. Masalah ini menimbulkan suautu perdebatan
akademis yang cukup menarik diatanra pada ahli hukum laut, masing-masing
dengan interpretasinya sendiri.
Ada dua cara penafsiran yang dilakukan para ahli tersebut. Di satu pihak
ada yang berpendapat bahawa dalam pelaksanaan lintas transit sifat lintasan
tersebut adalah lintasan bebas, maka bagi kapal selam tidak ada keharusan untuk
berlayar dipermukaan air.
Disamping itu diberikan alasana lain bahwa salah satu kewajiban kapal
selam adalah untuk “…..refrain from any activities other than those incident to their
normal modes of continous and expeditious transit….”
Mengenai hal ini menarik untuk kita ikuti perbedaan penafsiran yang
dilakukan oleh Jhon Norton MOORE dan Michael REISMAN, kedua-duanya dari
Amerika Serikat Resiman mengajukan suatu masalah seperti berikut :
“Do the word ‘normal modes of continous and expedettious transit’ in article
39 (1) (c) amount to a non suspandable license to traverse straits
submerged? In order to reach this result ‘normal mode must be construed
as non contextual’ non normative, and permanently vessel specific. But in
the text and in general, this interpretation is forced and unreal. Modeles of
transit of different vessels is, in part, a factual question, but it also has
normative and contextual, including the legal environtment. ”

Keragu-raguan REISMAN tersebut dijawab oleh MOORE dengan


mengemukakan cara lain untuk melakukan penafsiran, yang dalam perjalanan
Konperensi Hukum Laut III mengambil bentuk baru yang sangat berlainan dengan
Konperensi Hukum Laut Jenewa 1985. Dikemukakan oleh MOORE bahwa :
“Taken alone as a textual issue without benefit of a textual setting or the
negotiating context, this provision, ‘in the normal mode’ would seem an
117
117
117

unsatisfactory basis on which to rely for a right of submerged transit, the


most important textual bases for such a right, however, are not rooted in
this provision, which only an incidental indication of its exsistence.”

Oleh karena itu dalam penafsiran demikian, MOORE mengajukan agar “recourse
may be had to the negotiating context, which I believe makes abundantly clear that
this pharase includes submerged transit”.
Di lain pihak seorang sarjana lain KL KOH menganalisa masalah ini secara
berbeda. Menurut pendapatnya yang menjadi pokok masalah dalam hal lintas oleh
kapal sealam adalah kenayataan dalam pengaturan lintas damai ada keharusan
bagi kapal selam untuk berlayar dipermukaan air kedalam ketentuan-ketentuan
bagi lintas damai; dan kemudian mengeluarkannya, atau tapatnya tidak
mencantumkannya dalam ketentuan-ketentuan tentang lintas transit. Lebih lanjut
menurut KOH “The argument of inclusion and exelsio cannot ipso facto suffice to
lend the interpretation that submerged passage was clearly contemplated by the
drafters.”
Oleh karena itu perlu diperhatikan konteks dari ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam pasal-pasal lain. Seperti juga halnya MOORE dan REISMAN, KOH
pun memakai ketentuan Pasal 39 ayat 1 (c) dan pasal 87 untuk memperkuat
kesimpulannya bahwa konfensi hukum laut 1982 tidak mengenal adanya
kewajiban bagi kapal selam untuk berlayar dipermukaan air pada waktu
melaksanakan hak lintas transit, akan tetapi Koh juga tidak menyangkal suatu
kemungkinan bahwa pada wilayah perairan tertentu, walaupun tidak ada
keharusan untuk itu, demi keselamatan pelayaran kapal selam akan “terpaksa”
berlayar dipermukaan air.
Argumentasi tentang ada atau tidaknya keharusan untuk berlayar
dipermukaan air ini dapat juga dilihat dari sudut lain. Pasal 39 ayat 1(b)
mewajibkan kapal untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang menimbulkan
ancaman atau menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun dalam Negara
pantai. Alasan demikian dapat dipakai oleh Negara pantai untuk berargumentasi
bahwa dalam memantau apakah pada waktu melaksanakan lintasannya suatu
kapal selam tidak menimbulkan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap
Negara pantai, tidak mungkin dilakukan apabila kapal selam tersebut berlayar
dibawah permukaan air. Dengan menggunakan alasan ini, mungkin dapat ditarik
118
118
118

kesimpulan bahwa ada keahrusan bagi kapal selam untuk berlayar dipermukaan
air. Akan tetapi, seperti kemukakan oleh MORE, pasa 39 ayat 1 ini merupakan
ketentuan yang berisi kewajiban bagi kapal-kapal selama melakukan lintas transit.
Selanjutnya menurut MORE, ketentuan tersebut tidak dengan begitu saja
menimbulkan hak bagi Negara pantai untuk meminta agar kapal selam berlayar
diatas permukaan air, agar memudahkannya untuk memantau lintasan oleh kapal
selam tersebut.

f. Kesimpulan
Pada akhirnya dapat disimpulkan disini bahwa pokok-pokok utama
pengaturan tentang hak lintas transit bagi kapal asing melalui selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional adalah sebagai berikut :
(1) tidak terdapat persyatatan – persyaratan dalam bentuk kegiatan-kegiatan
tertentu bagi kapal-kapal yang melakukan lintasan;
(2). Tidak ada keharusan bagi kapal selam untuk berlayar dipermukaan air;
(3). Hak lintas penerbangan bagi pesawat-pesawat udara diakui;
(4). Berdasarkan imunits kapal perang, ketentuan-ketentuan tentang
pencegahan pencemaran dan pelestarian lingkungan laut tidak berlaku bagi
kapal-kapal perang;
(5). Tidak ada keharusan untuk meminta izin atau memeberitahukan terlebih
dahulu;
(6). Tidak ada penangguhan terhadap hak lintas transit;
(7). Negara pantai tidak berhak untuk menghalangi atau mencegah lintasan
yang dilakukan oleh kapal-kapal asing;
(8). Negara bendera kapal atau tempat terdaftarnya suatu pesawat udara,
bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh
pelaksanaan lintas transit pada Negara pantai;
(9). Kapal perang diwajibkan untuk mematuhi peraturan perundang-undangan
Negara pantai mengenai hak lintas transit.

3. HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN


Konsepsi perairan kepualuan (archipelagic waters) merupakan konsepsi
baru yang dimuat dalam konvensi hukum laut 1982. Sebelumnya wilayah-wilayah
119
119
119

perairan dimana Negara pantai harus memberikan akomodasi dalam bentuk hak
untuk melakukan lintasan bagi kapal-kapal asing, hanya terbatas pada laut
territorial dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.
Konvensi hukum Laut 1982 menyebutkan bahwa kedaulatan dari suatu
Negara kepulauan (archipelagic baselines) yang ditarik pada ketentuan pasal 47,
dan disebut perairan kepualaun ini kapal-kapal asing selain mempunyai hak untuk
melakukan lintas damai juga berhak untuk melaksanakan hak lintas alur laut
=kepulauan (archipelagic sealanes passages).

a. arti dan maksudnya


Jika dibandingkan dengan ketentuan tentang hak lintas damai yang
memeberikan batasan dalam bentuk larangan untuk melakukan kegiatan–kegiatan
tertentu, dan ketentuan tentang hak lintas transit yang memberikan wewenang
terbatas kepada Negara pantai untuk menaturnya; maka Pasal 53 ayat 3 Konvensi
Hukum Laut 1982 memberikan pengertian bagi hak lintas alur laut kepualauan,
seabgai berikut :
“Archipelagic sealens pessage means the exescise in accordance with this
Convention of the rights of navigations and overflight in the normal mode
solely for the purpose of continous, expeditious and unobstructed transit
between one part of the high seas or an exlusive economic zone and
another part of the high seas or an exlusive economic zone. ”

Jadi pokok utama dari pengaturan tentang hak lintas alur laut kepualauan
adalah bahwa lintasan ini selain dalam bentuk lintas pelayaran juga mencakup
lintas penerbagan, yang dilakukan dalam cara normal. Kedua, pasal ini
menyebutkan adanya keharusan bahwa lintas pelayaran atau penerbangan
tersebut hanya dimaksudkan untuk suatu lintasan yang terus menerus, langsung,
secepat mungkin dan tidak terhalang. Pokok ketiganya menetapkan bahwa
lintasan tersebut harus dilakaukan antara satu bagian dari laut lepas atau zona
ekonomi ekslusif dengan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif
dengan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif.
Kalau diperhatikan pengertian ini lebih mendekati pengertian yang diberikan
oleh Konvensi terhadap hak lintas Transit. Perbedaannya tampak pada
pembebanan persyaratan-persyaratan bagi pelaksanaan kedua macam lintasan
bagi kapal asing tersebut.
120
120
120

Dalam pelaksanaan hak lintas transit, kapal-kapal asing dibebani


persyaratan “transit yang terus menerus dan langsung”. Dilain pihak ketentuan
tentang hak lintas alur laut kepulauan ini meletakkan beban persyaratan baik
kepada kapal-kapal yang melakukan lintasan maupun kepada Negara kepaulauan
itu sendiri. Kapal-kapal diwajibkan melakukan lintasan-lintasan yang mempunyai
tujuan yang serupa dengan hak lintas transit, yaitu terus menerus dan langsung
untuk memungkinkan kapal-kapal melakukan haknya tersebut, Negara kepulauan
dibebani kewajiban untuk menjamin bahwa lintasan tersebut “tidak terhalang”.
Disini terlihat bahwa pada dasarnya ketentuan-ketentuan tentang hak lintas bagi
kapal-kapal yang dirumuskan kedalam Konvensi Hukum laut 1982 ini merupakan
suatu usaha kompromi.
Ironisnya, disatu pihak Negara pantai, dalam hal ini Negara kepulauan,
diwajibkan untuk tidak menghalangi pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan
kerena ini merupakan bagian dari pelayaran internasional, dan merupakan
kepentiangan bersama masyarakat internasional. Dilain pihak pasal pasal 49 ayat
4 memeberikan jaminan bahwa hak lintas alur laut kepualauan ini tidak akan
mempengaruhi pelaksanaan kedaulatan Negara kepualauan untuk mencegah
pelaksanaan hak lintas alur laut kepualauan merupakan hal yang membawa akibat
bagi kedaulatan Negara kepualauan itu sediri?
Perbedaan lain yang tampak adalah pada pengertian tentang lintasan.
Disatu pihak, hak lintas transit diartikan sebagai pelaksananaan dari kebebasan
pelayaran, sedangkan dilain pihak, lintas alur laut kepualauan diartikan sebagai
hak pelayaran (berlayar)
Kalau kita tinjau sejarah penyusunan Konvensi Hukum Laut 1982 sama
dengan proses perumusan hak lintas transit, hak lintas alur laut kepualauan lahir
sebagai suatu kompromi (trade off) antara Negara sedang berkembang dengan
Negara-negara maritim. Masalah lintas melalui selat uang digunakan untuk
pelayaran internasional dan lintas melalui perairan kepulauan mempunyai latar
belakang yang sama. Konsepsi Negara kepulauan (archipelagic state) menurut
Hasjim Djalal, serung dituduh bertentangan dengan kepentingan umat manusia.
Konsensepsi tersebut dianggap “mengambil” sebagai besar dar wilayah laut yang
tadinya merupakan bagian dari laut lepas. Oleh karena itu perluasan yurisdiksi
121
121
121

nasional yang dilakukan oleh Negara sedang berkembang ini dianggap telah
“menggerogoti”prinsip kebebasan dilautan (freedom of the seas).
Argumentasi yang muncul kemudian dari negara-negara maritim adalah
bahwa konsepsi Negara kepulauan ini akan menganggu (kelancaran) pelayaran
internasional. Kekhawatiran ini terletak pada masasalah status hukum dari
perairan yang sekarang tertutup oleh garis pangkal, yang dinamakan perairan
kepulauan tersebut.
Pada Konvensi Hukum Laut III perundingan tentang Negara kepulauan
dimulai dengan munculnya usul dari negara-negara kepulauan agar pada perairan
kepualauan tersebut berlaku rejim hak lintas damai bagi kapal-kapal asing seperti
pada laut territorial. Usul ini kemudian berkembang menjadi suatu gabungan
antara pengaturan dilaut territorial dan perairan pedalaman, dengan pengertian
bahwa hak lintas damai akan dijamin pada alur-alur laut yang akan ditetapkan oleh
Negara.
Usul tersebut dengan segera menimbulkan reaksi dari negara–negara
maritim. Pada akhirnya kelompok negara-negara kepulauan mengusulkan agar
pengaturan yang diterapkan adalah dalam bentuk pengaturan yang bersifat
dualistis. Seperti pengaturan pada selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional, hak lintas damai dijamin pada perairan kepualauan, kecuali pada
alur-alur khusus dimana berlaku hak lintas laut kepualauan.
Usul tersebut dengan segera menimbulkan reaksi dari negara-negara
maritim. Pada lahirnya kelompok negara-negara kepulauan mengusulkan agar
pengaturan yang diterapkan adalah dalam bentuk pengaturan pada selat yang
digunakan untuk pelayaran inernasional, hak lintas damai dijamin pada perairan
kepulauan, kecuali pada alur-alur khusus di mana akan berlaku hak lintas alur laut
kepualauan.
Sudah dapat diduga bahwa negara-negara maritim tetap berusaha untuk
mempertahankan hak lintas bebas bagi kapal-kapalnya dalam perkembangannya
kemudian, sikap Negara-negara maritim pu berkembang dan bergerak sehingga
mencapai pandangan yang hampir mendekati pandangan Negara-negara
kepulaauan, yaitu berupa pembentukan suatu rejim yang dualistis juga.
Perbedaannya adalah bahwa negara-negara maritim mengusulkan agar rejim
lintas yang berlaku pada alur-alur laut khusus tersebut bukannya hak lintas alur
122
122
122

laut kepualauan melainkan hak lintas bebas. Pada akhirnya hasil yang dicapai
tidak jauh bebeda dengan perundingan tentang rejim pelayaran melaui selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional, yaitu melainkan ketentuan-ketentuan
tentang hak lintas damai Pasal 52 dan hak lintas alur laut kepulauan pasal 53

b. Hak dan kewajiban Negara kepulauan


Seperti halnya dalam pengaturan tentang hal lintas transit melalui selat
yang digunakan untuk pelayaran internasional, ketentuan Pasal 44 tentang
kewajiban negara pantai berlaku juga bagi Negara kepualauan menurut ketentuan
ini Negara Kepualauan mempunyai tiga kewajiban pokok, yaitu :
(1). Tidak menghambat pelaksanaan lintas alur laut kepulaan ;
(2). Harus mengumumkan secara tepat setiap adanya bahaya bagi pelayaran
maupun penerbangan yang diketahuinya; dan
(3). Tidak diperkenankan untuk melakukan penangguhan pelaksanaan hak
lintas alur laut kepulauan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 54 itu pula Negara kepulaan dapat
menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mengatur pelaksanaan hak
lintas alur laut kepulauan oleh kapal-kapal maupun pesawat udara asing.
Wewenang Negara pantai ini terbatas hanya pada :
(a). the safety of navigation and regulation of maritim traffic, as provided
in article 41;
(b). the prevention, reduction and control of pollution, by giving the effect
to applicable international regulations regarding the discharge of oil,
oily wates and other noxious substance in the strait;
(c) with respect to fishing vessels, the prevention of fishing, including the
stowage of fishing gear;
(d) the loading and unloading of any commodity, currency or person in
contravention of the customs, fiscal, immigration or sanitary laws and
regulations of States bordering straits.
Ketentuan di atas membatasi wewenang Negara kepulauan hanya pada
pengaturan empat masalah utama, yaitu pelayaran, pencegahan dan
pengendalian pencemaran, pencegahan penangkapan ikan, serta beacukai,
imigrasi dan saniter. Dalam menetapkan peraturan perundang-undangan ini,
123
123
123

Negara kepulauan tidak diperkenankan untuk bersikap diskriminatif dengan


membeda-bedakan pengaturan dari kapal-kapal dan pesawat udara asing antara
satu dengan yang lainnya, apabila dengan prakteknya hal tersebut akan
mengakibatkan dengan yang lainnya, apabila dalam prakteknya hal tersebut akan
mengakibatkan penolakan, penghambatan, atau pengurangan terhadap
pelaksanaan hak lintas alur laut kepualauan.
Seperti juga dalam pelaksanaan hak lintas transit melalui selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional, Negara kepualauan diberi wewenang
untuk menetapkan alur-alur laut dan rute penerbangan demukian harus memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
(1). Harus melalui perairan kepualauab dan laut territorial yang
berbatasan dengannya;
(2). Merupakan rute-rute lintasan yang biasa digunakan untuk pelayaran
dan penerbangan internasional;
(3). Mencakup semua alur navigasi yang biasa digunakan oleh kapal-
kapal, sepanjang tidak mengakibatkan duplikasi bagi alur keluar dan
masuk untuk satu arah yang sama;
(4). Ditetapkan melalui suatu rangkaian garis poros (garis sumbu) yang
bersambungan dan membentang mulai dari titik-titik keluar rute
lintasan tersebut.
Disamping itu Negara Kepulauan juga diberi wewenang untuk menetapkan
skema pemisah lalu-lintas bagi keselamatan lintasan oleh kapal-kapal asing pada
bagian-bagian yang sempit dari alur-alur tersebut. Apabila diperlukan Negara
Keperluan dapat mengubah atau mengganti alur-alur laut maupun skema pemisah
lalulintas yang telah ditetapkannya. Perubahan atau pergantian tersebut harus
terlebih dahulu diumumkan sebagaimana mestinya.
Dalam penetapan alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas tersebut,
Negara kepulauan harus memenuhi persyaratan-persyaratan seperti dibawah ini:
(1). Harus sesuai dengan aturan internasional yang diterima secara
umum;
(2). Setiap penetapan atau penggantian tersebut harus berdasarkan
kepada penerimaan oleh organisasi internasional yang berwenang
dan disepakati bersama dengan Negara Kepulauan;
124
124
124

(3). Harus mencantumkan secara jelas sumbu dari alur-alur laut dan
skema pemisah lalu-lintas yang telah ditetapkannya tersebut pada
peta-peta yang harus diumumkan sebagaimana mestinya.

Ketentuan–ketentuan tersebut di atas dibatasi lagi dengan satu ketentuan


khusus dimana apabila Negara kepulauan tidak penetapkan alur-alur laut atau rute
penerbangan bagi pelaksanaan hak lintas alur laut kepualauan ini, maka
pelaksanaan hak tersebut dapat dilakukan melalui rute-rute yang biasa digunakan
untuk pelayaran maupun penerbangan internasional.

c. Hak dan kewajiban kapal yang melakukan lintasan


Sesuai dengan ketentuan pasal 54, hak dan kewajiban bagi kapal-kapal
yang melakukan lintasan juga tunduk pada pengaturan yang sama seperti dalam
pelaksanaan hak lintas transit. Pokok utama dari pengaturan ini adalah bahwa
semua kapal dan pesawat udara dapat melakukan hak lintas alur laut kepualauan
melaului alur-alur laut dan rute penerbangan yang telah ditetapkan. Dengan
demikian hak ini juga dapat dinikmati oleh kapal-kapal perang maupun pesawat-
pesawat militer. Mengenai hal ini, ketentuan yang dapat dipakai adalah ketentuan-
ketetuan dari padal 39 dan 40. Dengan sendirinya setiap referensi terhadap “selat”
harus diubah menjadi perairan tersebut.
Pasal 39 memberikan perincian tentang rangkaian kewajiban-kewajiban
yang harus dipenuhi oleh kapal-kapal dan pesawat udara, yang dibedakan antara :
(1). Kewajiban-kewajiban yang berlaku umum baik bagi kapal-kapal maupun
pesawat udara;
(2). Kewajiban-kewajiban yang berlaku bagi kapal-kapal dan
(3). Kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh pesawat udara.
Pada waktu melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan, setiap kapal
maupun pesawat udara diwajibkan untuk:
(1). Lewat dengan cepat melalui atau diatas selat :
(2). Menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun
terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara
keterbatasan dengan selat, atau dengan cara lain apa pun yang melanggar
125
125
125

asas-asas hukum internasional seperti tercantum dalam Piagam


Perserikatan Bangsa-bangsa;
(3). Menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain dari transit secara terus-
menerus, langsung dan secepat mungkin dalam cara normal, kecuali
karena force majeure atau karena kesulitan;
(4). Memenuhi ketentuan lain dari Bagian ini yang relevan.

Khusus bagi kapal-kapal, pada waktu melakukan hak lintas alur laut
kepulauan, ketentuan-ketentuan dibawah ini harus dipatuhi, yaitu :
(1). Memenuhi aturan hukum internasional yang diterima secara umum,
prosedur praktek tentang keselamatan dilaut termasuk Peraturan
Internasional tentang pencegahan Tubrukan dilaut;
(2). Memenuhi peraturan internasional yang diterima secara umum, prosedur
dan praktek tentang pencegahan, pengurangan dan pengendalian
pencemaran yang berasal dari kapal.
Bagi pesawat udara dikenakan ketentuan yang berbeda yaitu pada waktu
melakukan hak lintas penerbangan di atas perairan kepulauan, diharuskan untuk :
(1). Menaati Peraturan Udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan
Internasional (internasional Civil Aviation Organization) sepanjang berlaku
bagi pesawat udara sipil; pesawat udara pemerintah biasanya memenuhi
tindakan keselematan demikian dan setiap waktu beroperasi dengan
mengindahkan keselamatan penerbangan sebagaimana mestinya;
(2). Setiap waktu memantau frekuensi radio yang ditunjuk oleh Otorita
Pengawas Lalu Lintas Udara (Air Traffic Controller) yang berwenang yang
ditetapkan secara internasional atau oleh frekuensi radio darurat
internasional yang tepat.
Pokok-pokok utama dari pengaturan yang dapat dirinci oleh ketentuan-
ketentuan tersebut diatas dapat digambarkan dalam bentuk kewajiban-kewajiban
yang harus dipatuhi baik oleh kapal-kapal maupun pesawat udara, yaitu untuk:
(1). Melakukan lintasan yang cepat;
(2). Mencegah timbulnya ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap
Negara kepulaun;
126
126
126

(3). Tidak melakukan tindakan – tindakan yang bertentangan dengan asas-asas


umum hukum internasional seperti yang tercantum dalam Piagam
Perserikatan bangsa-bangsa;
(4). Memusatkan kegiatan selama melakukan lintasan hanya kepada maksud
untuk melakukan lintasan yang langsung, terus menerus dan secepat
mungkin; dan
(5). Mematuhi peraturan maupun standar internasional yang telah diterima
secara umum tentang keselamatan pelayaran atau penerbangan serta
tentang pencegahan pencemaran.
Bagi kapal-kapal yang digunakan untuk penelitian ilmiah dan survey
hidrografis, untuk dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan penelitian dan
surveinya, Pasal 40 mensyaratkan adanya izin terlebih dahulu dari Negara
kepulauan.
Kewajiban–kewajiban lain yang harus dipatuhi oleh kapal-kapal maupun
pesawat udara adalah bahwa dalam melaksanakan haknya ini kapal-kapal dan
pesawat udara tersebut hanya dapat berlayar pada alur laut dan rute penerbangan
yang telah ditetapkan oleh Negara Kepulauan. Selama melakukan lintasan tidak
diperkenankan untuk menyimpang lebih dari 25 mil laut ke arah dua sisi dari garis
sumbu alur-alur tadi. Disamping itu kapal-kapal tidak diperkenankan untuk
berlayar mendekati pantai pada jarak kurang dari 10% dari jarak antara titik-titik
terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur-alur laut tersebut.

d. Masalah Kapal Selam


Seperti telah diuraikan pada bagian tentang hak lintas transit, kewajiban-
kewajiban yang dibebankan kepada kapal dan pesawat udara asing ini tidak
secara otomatis melahirkan hak-hak bagi Negara kepulauan. Dengan demikian
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Pasal 39 dan 40 ini tidak dapat
dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan pasal 53 ayat
3. Seperti juga halnya dengan hak lintas transit, hak Negara Kepulauan untuk
mengatur pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan melalui perairan
kepulauannya terbatas hanya kepada hal-hal yang tercantum dalam pasal 42 ayat
1.
127
127
127

Dibandingkan dengan ketentuan pasal 21 yang memberikan wewenang


yang luas kepada negara pantai dalam mengatur pelaksanaan hak lintas damai,
wewenang Negara pantai untuk mengatur hak lintas transit dengan wewenang
Negara kepualauan untuk mengatur hak lintas damai, Negara pantai dapat
mencegah suatu lintasan dengan berpedoman kepada serangkaian kegiatan–
kegiatan yang tidak dianggap “damai” seperti yang tercantum pada pasal 19 ayat
2. Dengan demikian setiap pelanggaran terhadap ketentuan pasal 53 ayat 3, tidak
dapat dipakai sebagai alasan oleh Negara-negara kepualauan untuk mencegah
suatu lintasan melalui alur-alur laut pada perairan kepulauannya.
Disamping itu Negara kepulauan mempunyai kewajiban untuk tidak
menghalangi pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan karena lintas tersebut
harus unobstructed. Jadi pada hakekatnya hak lintas alur laut kepulauan,
meskipun mempunyai pengertian berbeda, tidak ada bedanya dengan hak lintas
transit melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.
Dilain pihak, jika dibandingkan dengan hak lintas transit, dalam
penerapannya hak lintas alur laut kepulauan dapat menimbulkan interpretasi yang
berbeda. Tampaknya para ahli hukum lautpun mempunyai pendapat yang
beraneka ragam, meskipun tidak dapat tidak dapat dikatakana bertentangan sama
sekali. Pokok utama dari perbedaan ini terletak pada batasan pengertian yang
diberikan oleh konvensi meskipun tidak dapat dikatan bertentangan sama sekali.
Pokok utama dari perbedaan ini terletak pada batasan pengertian yang diberikan
oleh Konvensi seperti tercantum dalam pasal 53 ayat 3 tersebut diatas. Dalam
pelaksanaannya hak lintas alur laut kepulauan tunduk pada pengaturan yang
sama dengan hak lintas transit, terutama mengenai hak dan kewajiban bagi kapal,
pesawat udara maupun bagi Negara kepulauan itu sendiri. Meskipun demikian,
kalau dihubungkan dengan pengertian tersebut diatas, dapat melahrikan tafsiran
yang berbeda-beda, terutama apabila hal tersebut dikaitkan dengan hak kapal
selam untuk berlayar dibawah permukaan air.
Perbedaan yang dapat segera dilihat adalah bahwa Konvensi memberikan
pengertian untuk hak lintas transit sebagai pelaksanaan dari “kebebasan
pelayaran dan penerbangan.” Sedangkan hak lintas alur laut kepualauan diartikan
sebagai pelaksanaan dari “hak pelayaran dan penerbangan dalam cara normal.”
128
128
128

Memang ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa perbedaan ini tidak
akan menimbulkan pelaksanaan yang berbeda dalam praktek, karena pada
dasarnya rejim yang dimaksudkan adalah unimpeded passage. Akan tetapi
apabila dilihat perbedaan wilayah perairan yang sempit sedangkan yang satunya
lagi cukup luas, pelaksanaannya dalam praktek tentu akan menimbulkan
perbedaan.
Jhon Norton MOORE misalnya, mengemukakan argumentasi yang berbeda
dengan menyatakan bahwa pada garis besarnya kedua konsepsi tentang hak
lintas itu adalah sama, termasuk juga hak untuk melakukan lintas penerbagan,
dan hak bagi kapal selam untuk berlayar dibawah permukaan air. MOORE
menyimpulkan bahwa naskah ICNT yang telah disetujui pada waktu itu merupakan
suatu pencerminan dari apa yang telah terjadi dalam perundingan tentang Negara
kepualauan tersebut. Ketentuan – ketentuan tentang Negara kepulauan sepertu
yang tercantum dalam ICNT menunjukkan bahwa Konperensi Hukum Laut III tidak
akan begitu saja menerima konsepsi mid-ocean archipelago yang kemudian
melahirkan konsepsi Negara kepulauan, tanpa adanya jaminan hak istimewa bagi
kapal selam.
Seorang penulis lain, morris F.MADURO, memberikan penafsiran yang
berbeda dan menganggap bahwa kalau disatu pihak hak lintas transit
mengandung pengertian yang mencakup pelayaran (lintasan) dibawah permukaan
air, hak lintas alur laut kepulauan yang menggunakan istilah in the normal mode,
dapat diinterpretasikan sebagai hanya memperkenankan lintasan diatas
permukaan air. Terlebih – lebih dengan adanya hak Negara kepulauan untuk
menetapkan pengaturan tentang keselamtan pelayaran.
Akan tetapi tampaknya akan lebih banyak penulis yang berpendapat bahwa
hak lintas alur laut kepulauan mempunyai derajat yang sama dengan hak lintas
transit, oleh karena hak lintas transit mengadung unsur kebebasan pelayaran, dan
dengan demikian meluangkan hak kapal selam untuk berlayar dibawah
permukaan air, maka hal yang samapun dapat dibenarkan pada pelaksanaan hak
lintas alur laut kepulauan. Hal tersebut lebih ditegaskan lagi oleh penulis-penulis
yang menggaris bawahi istilah in the normal mode dan menyimpulkannya bahwa
kapal selam secara normal berlayar dibawah permukaan air.
129
129
129
e. Kesimpulan
Oleh karena adanya persamaan pengaturan dalam pelaksanaan kedua hak
lintas tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa keduanya mengandung pokok
pengaturan yang berbeda, sehingga hak lintas alur lau kepulauan tidak selalu
identik dengan hak lintas transit, seperti tampak dalam pokok-pokok pengaturan
tentang hak lintas alur laut kepulauan dibawah ini:
(1). Tidak ada persyaratan untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan tertentu;
(2). Tidak terdapat ketentuan yang secara eksplisit mengharuskan kapal selam
untuk berlayar dipermukaan air;
(3). Hak lintas penerbangan bagi pesawat udara diakui;
(4). Kapal-kapal perang mempunyai imunitas terhadap ketentuan-ketentuan
konvensi tentang pencegahan pencemaran dan pelestarian lingkungan laut;
(5). Tidak ada keharusan untuk meminta izin atau memberitahukan terlebih
dahulu;
(6). Tidak ada penangguhan terhadap hak lintas alur laut kepualaun;
(7). Negara pantai tidak mempunyai hak untuk mencegah atau menghalangi
lintasan oleh kapal-kapal asing;
(8). Negara bendera kapal atau Negara tempat pesawat undara terdaftar
bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh
pelaksanaan hak lintas alur laut kepualauan;
(9). Kapal-kapal diwajibkan untuk mematuhi peraturan perundang-undangan
Negara kepulauan tentang hak lintas alur laut kepualauan.
(10). Hak lintas alur laut kepulauan hanya dapat dilaksanakan pada laur-alur laut
yang ditetapkan oleh Negara kepulauan untuk itu. Setiap penyimpangan
(deviasi) dari garis sumbu pada alur-alur laut tersebut dikenakan
persyaratan-persyaratan teknis.

c. Penutup
evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
pembelajaran ke 6 dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhir perkuliahan
yang dikemas dalam beberapa pertanyaan seperti :
1. Apa perbedaan antara ke tiga lintas pelayaran yang berlaku di Indonesia
2. Apa saja persyaratan untuk melakukan lintas akan laut kepulauan?
130
130
130

3. Selat mana saja di Indonesia yang dapat dilayari dengan lintas transit
4. Apa latar belakang munculnya lintas transit?

Daftar Bacaan
Etty. R. Agoes, Konvensi Hukum Laut 1982, Masalah Pengaturan Hak Lintas
Kapal Asing, Abardin 1991.
Mochtar Kusumaatmadj, Hukum Laut Internasional, Bandung: Bina cipta, 1986.
131
131
131

BAB 8
BAHAN PEMBELAJARAN 7

A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembeljaran yang hendak di capai pada minggu ke 9 bahwa
“mahasiswa dapat menjelaskan pengaturan hukum keselamatan pelayaran
(safety of navigation).” Sasaran pembelajaran demi aktual hendak dicapai
dengan menggunakan afrategi pembelajaran berupa kuliah interaktif dan
diskusi kelas serta studi kasus (case study).
Kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik
adalah kemampuan mengemukakan dan menjelaskan fakta mengenai
keselamatan pelayaran, ketetapan menggunakan teori dalam menganalisis
fakta terkait dengan ISPS dan penerapannya, serta partisipasi individual
dalam diskusi kelas. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit
dengan media modul sebagai pengamatan yang diberikan bagi peserta didik.

B. Uraian
Pelayaran merupakan salah satu penggunaan laut yang paling tua dan
tetap menjadi salah satu unsure yang penting. Kebutuhan akan pengaturan
dibidang pelayaran meliputi aspek kelayakan kapal untuk berlayar; standard
penempakan awak; sarana bantuan pelayaran; dan pencegahan tubrukan
dan trayek kapal.

Kelayakan Kapal
Standar kelayakan merupakan aspek, yang pasti karena fakta bahwa
laut dan angin (bahaya laut) dapat mengerahkan pasukan tak terpikirkan.
Tapi, secara umum dipahami sebagai suatu keterampilan kekuatan, daya
tahan dan teknik merupakan bagian dari konstruksi kapal dan pemeliharaan
melanjutkan, bersama dengan awak kapal yang kompeten, yang memiliki
kemampuan untuk berdiri bahaya unsur-unsur yang dapat cukup ditemui atau
diharapkan selama pelayaran tanpa kehilangan atau kerusakan pada kargo
132
132
132

tertentu dari sebuah kapal. Sebuah kapal yang laik laut tidak berarti bahwa
23
kapal tersebut tidak memiliki kemungkinan untuk tidak tenggelam.
Oleh karena itu, hal terpenting yang harus dikedepankan mengenai
suatu kapal yaitu kelayakan kapal tersebut untuk berlayar. Beberapa hal yang
harus diperhatikan sehubungan dengan kelayakan dimaksud, seperti:
a. keselamatan kapal;
b. pencegahan pencemaran dari kapal;
c. pengawakan kapal;
d. garis muat kapal dan pemuatan;
e. kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang;
f. status hukum kapal;
g. manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal; dan
h. manajemen keamanan kapal.
Pemenuhan setiap persyaratan kelaiklautan kapal sebagaimana dimaksud di
atas harus dibuktikan dengan sertifikat dan surat kapal.24
Telah dibentuk International safety management (ISM Code) dalam
kaitannya dengan pengoperasian kapal yang telah menyebabkan keraguan
dan kecemasan di antara pemilik kapal, operator dan manajer. Dalam konteks
ini, efek hukum ISM Code dan tindakan yang diperlukan pemilik kapal lokal
untuk mematuhi Kode Etik. ISM Code dimaksudkan untuk memastikan
keselamatan di laut, mencegah cedera manusia atau hilangnya nyawa, dan
menghindari kerusakan lingkungan, khususnya lingkungan laut, dan properti.
Kode ini telah ditambahkan sebagai Bab IX dari Konvensi Internasional untuk
Keselamatan Jiwa di Laut (SOLAS) 1974, dan memiliki akibat hukum di tanah,
sebagai Negara Pihak pada Konvensi. Kode ini ditujukan untuk mewujudkan

23
R. R. Churchill & A.V. Lowe, The Law of the Sea, (Manchester: Manchester University Press,
1999), p. 255-256.
24
Sertifikat kapal tidak berlaku apabila:
a. masa berlaku sudah berakhir;
b. tidak melaksanakan pengukuhan sertifikat (endorsement);
c. kapal rusak dan dinyatakan tidak memenuhi persyaratan keselamatan kapal;
d. kapal berubah nama;
e. kapal berganti bendera;
f. kapal tidak sesuai lagi dengan data teknis dalam sertifikat keselamatan kapal;
g. kapal mengalami perombakan yang mengakibatkan perubahan konstruksi kapal,
perubahan ukuran utama kapal, perubahan fungsi atau jenis kapal;
h. kapal tenggelam atau hilang; atau
i. kapal ditutuh (scrapping).
133
133
133

suatu standar internasional untuk pengelolaan yang aman dan pengoperasian


kapal dan untuk pencegahan polusi. Setiap pemilik kapal atau organisasi yang
telah mengambil tanggung jawab atas pengoperasian kapal dari pemilik kapal
diperlukan untuk menetapkan aturan untuk pencegahan keselamatan dan
polusi dan menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan (SMS) oleh:
 Mendirikan praktek yang aman dalam operasi kapal dan menyediakan
lingkungan kerja yang aman;
 Membangun perlindungan terhadap semua risiko yang teridentifikasi, dan
 Terus meningkatkan keterampilan manajemen keselamatan personil darat

dan kapal kapal, termasuk kesiapan untuk keadaan darurat baik tentang
perlindungan keselamatan dan lingkungan.
Secara garis besarnya, dapat dikatakan bahwa dalam konteks kelayakan
kapal untuk berlayar, International Maritime Organization (IMO), Desember
2002, telah menerapkan International Ships and Port Facility Security (ISPS)
Code atau Kode Internasional yang mengatur tentang keamanan kapal dan
fasilitas pelabuhan. ISPS inilah yang menjadi rambu dalam mengatur tentang
keselamatan kapal.
Disamping beberapa prasyarat yang harus terpenuhi sebagaimana
disebutkan di atas, hal lain yang tidak dapat diabaikan dalam praktek adalah
nasionalitas kapal. Nasionalitas kapal memainkan peranan yang vital dalam
pelayaran karena menyoal tentang jurisdiksi negara mana yang berlaku atas
kapal tersebut, termasuk didalamnya negara mana yang bertanggung jawab
atas kapal apabila terjadi kasus dimana tindakan yang dilakukan di atau oleh
kapal tersebut merupakan atribusi negara, dan perlindungan diplomatic atas
nama kapal dimaksud.25
Negara biasanya menjamin nasionalitas kapal dengan cara
mendaftarkannya dan mengotorisasi kapal tersebut dengan cara
mengibarkan bendera di atas kapal (bendera kapal). Dalam hal ini, negara
pendaftar atau bendera kapal memiliki kesamaan bagi negara dimana
nasionalitas kapal berlaku, termasuk apakah hukum internasional atau aturan
lainnya berlaku untuk keadaan di mana suatu negara menjamin nasionalitas
kapal dimaksud. Pasal 5 Konvensi mengenai Laut Lepas 1958 menyebutkan

25
R. Pinto, Flag of Convenience, 87 Journal du Droit International, 344-69 (1960).
134
134
134

bahwa “harus terdapat hubungan yang murni antara negara dankapal;


khususnya suatu negara harus secara efektif memberlakukan jurisdiksinya
dan mengkontrol administrasi, teknik, dan persoalan-persoalan lain atas
kapal dimana bendera dikibarkan”.

Crew Kapal
Salah satu komponen pelayaran yang sangat berarti penting yaitu awak
kapal. Para kru harus menjadi awak yang efisien dan kompeten. Kondisi ini
menjadi salah satu faktor prinsip dalam menentukan kelayakan kapal. Hal itu
terlihat dalam kasus Hong Kong Shipping Co Ltd Fir v. Kawasaki Kisen
Kaisha Ltd. Dalam kasus ini terlihat bahwa mesin diesel kapal bersama
dengan mesin lain dalam rangka cukup baik. Namun karena alasan usia
mereka, mesin harus dipertahankan oleh staf, berpengalaman kompeten,
mesin-mati dan memadai kamar. Bahkan staf ruang mesin tidak kompeten,
dengan mesin kepala kecanduan minuman keras, sehingga kapal dinyatakan
layak
Menurut Konvensi ILO No. 147 tahun 1976 tentang Standar Minimum
Awak Kapal disebutkan bahwa “setiap negara naggota Konvensi harus
menjamin bahwa awak kapal yang dipekerjakan atas kapal yang terdaftar
dalam wilayahnya memiliki kualifikasi atau keahlian atas pekerjaan yang
menjadi tanggung jawabnya.26 Hal yang sama juga disebutkan pada Pasal 94
ayat 4 Konvensi Hukum Laut yang menyebutkan bahwa negara bendera
harus menjamin bahwa setiap kapalnya memiliki nahkoda dan awak kapal
yang berkualitas (appropriate qualifications). Dalam ranah yang dimaksud,
telah dibuat suatu Konvensi yang membidangi standar pelatihan yang disebut
dengan Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping
for Seafarers (the STCW Convention). STCW Convention meletakkan syarat-
syarat wajib minimum yang mesti dipunyai oleh nahkoda dan awak kapal
dalam melaksanakan dan mengawasi pelayaran.

Sarana Bantu Pelayaran

26
R. R. Churchill & A.V. Lowe, op.cit, p. 269.
135
135
135

Keselamatan pelayaran juga menyoal persoalan bantuan navigasi


seperti:
a. material;
b. konstruksi;
c. bangunan;
d. permesinan dan perlistrikan;
e. stabilitas;
f. tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan
radio; dan
g. elektronika kapal.
Sarana bantuan navigasi sebagaimana disebutkan diatur dalam
Konvensi SOLAS yang mengatur negara-negara anggota untuk mengatur
pemeliharaan dan pengadaan bantuan-bantuan navigasi, termasuk
didalamnya menyediakan informasi yang berhubungan dengan bantuan
navigasi yang dibutuhkan. Hal tersebut juga disebutkan dalam Konvensi
Hukum Laut dan Laut Teritorial dimana negara pantai memiliki kewajiban
untuk memberikan informasi yang cukup atas bahaya yang dihadapi dalam
pelayaran. Secara detail dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 24
ayat (2) dari Konvensi Hukum Laut dan Laut Teritorial.

Pencegahan Tubrukan dan Trayek Kapal


Dibutuhkan suatu pengaturan yang jelas untuk mencegah terjadinya
tabrakan di laut. Aturan hukum internasional yang membidangi masalah
dimaksud yaitu the Convention on the International Regulations for
Preventing Collisions at Sea of 1972. Konvensi ini pada prinsipnya mengatur
bahwa suatu kapal berkewajiban untuk menghindari tabrakan dengan kapal
lainnya, khususnya ketika jarak pandang di laut sangat buruk sehingga
diperlukan standar yang berlaku umum dalam konteks pengadaan suara dan
tanda lampu.

C. Penutup
136
136
136

Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas


materi pembelajaran ketujuh dilakukan dalam bentuk makalah dengan
merumuskan beberapa judul/topik, seperti:
1. Sebutkan beberapa contoh kasus terkait dengan keselamatan pelayaran?
2. Jelaskan arti penting nasionalitas kapal?

Daftar Bacaan
R. R. Churchill & A.V. Lowe, The Law of the Sea, Manchester: Manchester
University Press, 1999.
R. Pinto, Flag of Convenience, 87 Journal du Droit International, 344-69
(1960).
137
137
137

BAB 9
BAHAN PEMBELAJARAN 8

A. Sasaran Pembelajaran
Ujian tengah Semester
B. Uraian:
Pelaksanaan ujian tengah semester dilaksanakan dengan memberikan
tugas berupa makalah individu yang dipilih dari materi hukum laut yang telah
dipelajari. Adapaun criteria penilaian berupa Isi Makalah; Organisasi makalah;
Kesesuaian antara teori dan kasus serta analisis; dan Ketepatan waktu.
C. Penutup
Kriteria evaluasi adalah makalah individu.
138
138
138

BAB 10
BAHAN PEMBELAJARAN 9

A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembeljaran yang hendak di capai pada minggu ke 9
bahwa “mahasiswa dapat menjelaskan keselamatan atau keamanan kapal
maupun pelabuhan (international ship and port facilities security code).”
Sasaran pembelajaran demi actual hendak dicapai dengan menggunakan
afrategi pembelajaran berupa kuliah interaktif dan diskusi kelas serta studi
kasus (case study).
Kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik
adalah kemampuan mengemukakan dan menjelaskan fakta mengenai standar
keamanan kapal dan pelabuhan, ketetapan menggunakan teori dalam
menganalisis fakta terkait dengan ISPS dan penerapannya, serta partisipasi
individual dalam diskusi kelas. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama
100 menit dengan media modul sebagai pengamatan yang diberikan bagi
peserta didik.

B. Uraian
Pasca serangan bom di WTC New York pada tanggal 11 september
2001, Negara maju terutama Amerika Serikat gencar melaksanakan
kampanye untuk memerangi tindakan teroris dan segala aspeknya. Hal ini pun
dilakukan dibidang maritime. Kejahatan lintas Negara yang memiliki delapan
kategori, lima diantaranya terjadi dan dilaksanakan melalui laut seperti
peredaran obat terlarang, penyelundupan/ perdagangan manusia,
perompakan, penyeludupan senjata dan terorisme. Obat terlarang,
penyelundupan/perdagangan manusia, perompakan, penyelundupan senjata
dan terorisme.
International Maritime Organization (IMO), Desember 2002, telah
menerapkan International Ships and Port Facility Security ( ISPS ) Code atau
Kode Internasional yang mengatur tentang keamanan kapal dan fasilitas
pelabuhan. Peraturan baru ini bertujuan mendeteksi ancaman keamanan,
sekaligus mencegah insiden kemanan dilaut dan pelabuhan.
139
139
139

Ketentuan Internasional tersebut telah disepakati oleh 62 negara


anggota IMO, termasuk Indonesia. Indonesia sendiri telah meratifikasinya dan
Kementerian Perhubungan selaku administrator harus mengumumkan
pelaksanaan ISPS Code secara Nasional. Juklaknya sendiri telah dikeluarkan
sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. 33 tahun 2003 tanggal
14 Agustus 2003 tentang pemberlakukan Amandemen SOLAS 1974 tentang
Pengamanan kapal dan Fasilitas Pelabuhan (International Ships and Port
Facility Security/ ISPS Code) di wilayah Indonesia.

Mengenai ISPS Code


Menurut IMO (International Maritime Organization), perusahaan
pelayaran mempunyai kewajiban untuk menyiapkan sertifikat keamanan dari
badan khusus yang ditunjuk pemerintah. Perusahaan pelayaran juga harus
segera menetapkan p[ejabat yang bertanggung jwabsoal keamanan di
perusahaan (Company Security Officer/CSO) lalu membuat rencana
pengamanan kapal (Ship Security Assement/SSA), dan selanjutnya menunjuk
seorang perwira yang bertanggung jawab atas kemanan di atas kapal ( Ship
Security Officer/SSo ).
Kapal, harus mendapat sertifikat kemanan internasional ( Internasional
Ship Security Certificate/ISSC) dari IMO.selain itu, kapal juga harus dilengkapi
dengan sistem identifikasi otomatis (Automatic Identification System/AIS), dan
sistem sinyal pengamanan (Ship Security Alert System/SSAS). AIS
merupakan peralatan modern di kapal yang harganya sangat mahal. Alat ini
dalam keadaan bahaya tertentuakan terhubung dengan sentral stasiun
pemancar yang ada di pelabuhan internasional, sehingga aparat kemanan
segera datang member bentuan.
Sedangkan bagi pelabuhan, harus mempunyai sistem pengaman yang
bagus, disertai dengan perencanaan dan petugas keamanan yang handal.
Pelabuhan–pelabuhan yang dipersiapkan adalah Tanjung Priok, Jambi, Teluk
Bayur, Palembang, Pontianak, Cirebon Banten, JICT, Tanjung Perak, dan PT.
Terminal Peti Kemas Surabaya.
Secara ringkas, persiapan untuk ISPS Code adalah sebagai berikut :
Bagi perusahaan pelyaran, harus melakukan :
140
140
140

1. Company Security Officer ( CSO )


2. Ship Security Assement ( SSA )
3. Ship Security Plan ( SSP )
4. Training.

Kelengkapan kapal :
1. International Ship Security ( ISSC ).
2. Automatic Identification System ( AIS ).
3. Ship Security Alert System ( SSAS ) .
4. Declaration of Security ( DOS ).

Persiapan Pelabuhan :
1. Port Facility Security Assessement ( PPSA ).
2. Port Facility Security Officer( PFCO ).
3. Port Facility Security Plan ( PFSP ).
4. Operational and Physical Security Measures.
5. Training.
6. Declaration of Security.

Konsekuensi Pelaksanaan ISPS Code bagi Pemerintah


Koneskuensi dar pelaksanaan peraturan ini cukup besar bagi pemerintah
harus menambah anggaran biaya negara dalam mempersiapkan
pelabuhan/terminal dan kapal memberikan pelayanan dalam perdagangan
internasional dan mempersiapkan peralatan minimum sebagaimana
dipersyaratkan dalam ISPS Code 2002, untuk pemeriksaan orang, barang dan
muatan/ Kontainer.
Mengenai lingkup dan tanggung jawab dari penerapan ISPS Code,
pemerintah harus menetapkan Designated Authority dan menunjuk Recognized
Security Organization (RSo), menetapkan Security Level, Port State Control
Additional Control Measures, Port Facility Security Assesment, Apporoval Ship
Security Plant, Communication of Information, Verfication and Certification for
Ship, InternationalShip Security Certificate dan Statement of Compliance of port
Facility.
141
141
141

Adalah tugas berat bagi Pemerintah dengan berbagai kewenangan sektoral


yang ada untuk melakukan pembenahan berkenaan dengan pemberlakukan
peraturan ini. Denganterus dilakukannya upaya – upaya pembenahan, diharapkan
di masa mendatang, pengelolaan keamanan di pelabuhan dapat menumbuhkan
kondisi pelabuhan yang lebuh kondusif dan tidak menimbulkan ekonomi biaya
tinggi.

Tujuan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code


 Menyusun kerangka kerja sama internasional menyangkut kerja sama antara
Contracting government, government agencies, local administration, dan
shipping serta port industries untuk mendeteksi adanya ancaman keamanan
dan mengambil tindakan – tindakan preventif terhadap insiden yang
melibatkan kapal atau fasilitas pelbuhan yang digunakan dalam international
trade.
 Membentuk peran dan tanggung jawab antara Contracting government,
government agencies, local administration dan shipping serta port industries
pada tingkat nasional dan internasional untuk menjamin keamanan maritim.
 Menciptakan sistem pengumpulan data dan informasi yang cepat danefisien
serta pertukaran informasi berkaitan dengan kemanan.
 Menyiapkan metode untuk melakukan penyelidikan awal tentang kemanan
agar dapat disusun rencana dan prosedur yang tepat unutk menanggulangi
setiap perubahan situasi kemanan.
 Untuk memastikan bahwa tindakan – tindakan maritime security yang diambil
sudah tepat dan proporsional.

Sanksi
Bila pelabuhan–pelabuhan Indonesia ( dan kapal–kapal berbendera Indonesia )
tidak menerapkan ISPS Code, maka sanksi internasional yang akan dijatuhkan
sangat berat, yakni pelabuhan tersebut tidak akan disinggahi kapal dari luar negeri
dan kapal–kapal ( berbendera Indonesia ) tidak akan diperkenankan masuk
pelabuhan diluar negeri.
142
142
142
Penerapan ISPS Code di Pelabuhan Tanjun Priok
Berkenaan dengan implementasi ISPS Code dimaksud, Manajemen PT
(Persero) pelabuhan Indonesia II, telah menunjuk PT. Berau Veritas Indonesia
sebagai Recognized Security Organization (RSO) untuk melakukan Assement
terhadap Pengamanan fasilitas Pelbuhan (PSFA) dan membuat Rancangan
Pengamanan Fasilitas Pelabuhan PFSP) untuk diserahkan dan disetujui oleh
Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Kementerian Perhubungan sebagai
Designated Authoruty (DA ). Dari aspek kesisteman manajemen, CabangTanjung
Priok sedang melakukan Inventarisasi pendataan dan penataan ulang terhadap
seluruh kapal – kapal domestic ( dalam negeri ) dan ocean going ( International ).
Berdasarkan hasil Assement Pengamanan Fasilitas Pelbuhan, Pelabuhan
Tanjung Priok di bagi menjadi 7 wilayah pengamanan yang terdiri atas terminal
Konvensional Pelabuhan Tanjung Priok, PT. JICT, PT TPK Koja, PT. Pertamina
Unit Pemsaran III, PT. Indofod Sukses Makmur Bogasari Flour Mills, PT. DOK dan
Perkapalan Kodja dan PT. Dharma Karya Perdana.
Hasil Assessment Pengamanan Fasilitas Pelbuhan ( PFSA ) di Terminal
Konvensional Pelabuhan Tanjung Priok, pada tahap awal dititikberatkan di area
Pelbuhan Nusantara, Pelabuhan I, Pelabuhan II dan gedung PT ( persero )
Pelbuhan Indonesia II yang kemudian akan diperluas ke area Lini II dengan sistem
dan prosedur pengamanan yang sama dengan area Lini I.
Ketentuan yang diatur di dalam Rancangan Pengamanan Fasilitas
Pelabuhan (PFSP) antara lain memuat sistem dan prosedur pengamanan yang
meliputi prosedur pengamanan masuk Lini II, prosedur masuk Lini I, Prosedur
pengiriman kebutuhan barang kapal, prosedur pengawasan keamanan fasilitas
pelabuhan dan prosedur masuk gedung PT. ( Persero ) Pelabuhan Indonesia II.
Untuk penerapan Rancangan Pengaman Fasilitas Pelabuhan ( PFSP )
dimaksud, manajemen Tanjung Priok telah melakukan pembenahan pos–pos dan
pagar area ( dilakukan pemagaran area dengan ketinggian minimal 2,5 meter,
sesuai persyaratan dalam ISPS Code ) yang panjangnya 3 km lebih ( catatan
sementara pagar yang ada saat ini ketinggiannya baru sekitar 2 meter ) Lini I
maupun Lini II, pemberian rambu warna merah ( sebagai tanda restricted area )
dipagar area Lini I, pemasangan tanda peringatan”area terbatas” diseluruh pintu
masuk area Lini I, pengadaan pass orang (berupa pass tamu sebanyak 500 buah),
143
143
143

perlengkapan pengamanan (berupa metal detector, handheld search mirror, ropmi


petugas pengamanan), serta alat komunikasi (handly talky, mega phone dan
transmitter radio VHF).
Sesuai persyaratan ISPS Code, kondisi pengaman di Pelabuhan Tanjung
Priok terbagi dalam 3 (tiga) tingkatan keamanan yakni Level I keadaan normal,
Level II ada ancaman keamanan dan Level III kondisi keamanan menjadi
kewenangan DA (pemerintah).

Prosedur Akses Masuk


Prosedur akses masuk ke fasilitas pelbuhan di derah Lini I mengatur
tentang lalu lintas barang, kendaraan dan orang. Petugas pengamanan akan
memriksa berang, kendaraan, dan orang yang memasuki wilayah kerja pelabuhan
sesuai dengan tingkatan keamanan, sehingga lalu lintas barang, kendaraan, dan
orang akan dapt teridentifikasi dengan jelas terkendali.
Bagi orang yang memasuki area LiniI ( restricted area ) harus memilki pass
pelabuhan yang masih berlaku, sedangkan tidak memiliki pass pelabuhan, yang
bersangkutan akan di catat jati dirinya (nama, alamat, nomor identitas
(KTP/SIM/Passport)), nama perusahaan, tujuan kunjungan, waktu masuk dan
keluarnya serta meninggalkan kartu identitas dan kepadanya diberikan pass tamu
( pass visitor ).
Untuk kendaraan truk yang masuk, harus dilengkapi dengan dokumen
pendukung barang, anatara lain : surat jalan, delivery order dan SP2/PEB/PE
identitas pengemudi dan pembantu pengemudi. Bagi para pengemudi dan
pembantu pengemudi yang tidak dilengkapi dengan pss pelabuhan akan di catat
jati dirinya (nama, nomor identitas(KTP/SIM)), nomor kendaraan, tujuan serta
waktu tiba dan keluar serta meninggalkan kartu identitas dan kepadanya diberikan
pass tamu (pass visitor).
Disamping pengawasan dan pengamanan, di area Lini I juga dilakukan
patrol rutin kemananan baik daerah area daratan (sisi darat) dan perairan (sisi
laut), serta fasilitas penting (vital) yang berada di area pelabuhan tanjung Priok
dan unsure keamanan terkait di pelabuhan. Guna menunjang kelancaran
penerapan ISPS Code , manajemen Pelbuhan Tanjung Priok telah menyiapkan
144
144
144

saluran hotline service sementara di nomor 4301080 ext 2020 atau fax 439222
untuk melayani apabila terjadi kendala/hambatan atas pelaksanaan ISPS Code ini.

Alat Bantu Pengamanan


Disamping pengawasan keamanan yang dilaksanakan secara rutin oleh
petugas keamanan pelabuhan, manajemen juga menyiapkan peralatan bantu
pengawasan berupa CCTV (Circuit Close Television) dan VTIS (Vessel Traffic
Informatio ). CCTV digunakan untuk memonitor kegiatan bongkar muat dermaga,
gudang dan lapangan penumpukan sedangkan VTIS di gunakan untuk memonitor
lalu lintas kapal diperairan pelabuhan.
Penempatan 26 unit CCTV (bantuan dari Jepang) tersebut rencananya
akan dipasang di pos – pos pintu masuk ( pos 1,3,8 dan 9 ) 5 pos pintu masuk pos
LIni I sepanjang dermaga kolam Pelbuhan I, II, dan III serta Dermaga 009 dan
lapangan penumpukan. Kamera–kamera ini dilengkapi dengan infra merah yang
mempunyai kemampuan memonitor diwaktu malam.
CCTV tersebut memiliki keunggulan dari pada monitor biasa yang telah
ada antara lain, pergerakan atau manuvernya bisa berputar hingga 340 derajat.
Selain itu, juga dilengkapi dengan sinar’ Infra red”. Sehingga tetap dapat
memonitor dalam suasana gelap sekalipun. (catatan: saat ini, fasilitas monitor
yang dimiliki Pelabuhan Tanjung Priok baru 9 unit, dengan kemampuan putar
hanya 180 derajat ).
ISPS Code diberlakukan secara penuh pada 1 juli 2004 terhadap kapal
penumpang termasuk kapal berkecepatan tinggi (high–speed craft) yang
melakukan pelayaran internasional. Begitu juga terhadap kapal barang diatas GT
500 yang melakukan pelayaran internasional, mobile offshore drilling unit, fasilitas
pelabuhan –pelabuhan yang melayani kapal – kapal yang melakukan pelyaran
internasional.

Peranan Pelabuhan Secara Ekonomis


Peranan pelabuhan tidak saja sebagai terminal point kegiatan perdagangan
tetapi telah meningkat dan berfungsi sebagai sentra–sentra produksi, area
pelayanan transportasi dan sentra kegiatan ekonomi. Pelabuhan ( menurut
Undang – undang No. 21 tahun 1992 joPeraturan PemrintahNo. 69 tahun 2001
145
145
145

tentang kepelabuhanan) adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan
sekitarnya, dengan batas–batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintah dan
kegaiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh,
naiuk turun penumpang dan atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatn pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai
tempat perpindahan intra danantar moda transportasi.
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulakan (meskipun sementara) bahwa
merupakan suatu pekerjaan yang besar untuk dapat mewujudkan diterapkannya
ISPS Code (dipelabuhan), terutama di bidang dana (yang sangat tidak sedikit)
untuk membeli sarana–sarana dan peralatan yang canggih, belum lagi harus
menyiapkan petugas–petugas pengamanan yang terlatih. Sebagai informasi
honorarium FSO/ Konsultan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya adalah Rp. 1
M. meskipun Tanjung Priok yang menjadi pelabuhan terdepan di Negara ini,
namun masih mempunyai banyak sekali kelemahan – kelemahan yang harus
ditiadakan bila mematuhi ketentuan internasional mengenai ISPS Code.

C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
meteri pembelajaran ke 9 dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhiri
perkuliahan yang dikumas dalam beberapa pertanyaan seperti :
1. Mengapa ISPS Code dibutuhkan padahal menyangkut
keselamatan,bagi kapal dagang dan penumpang di seluruh dunia telah
diatas dalam Internasional Safety af Live at Sea ( SOLAS ) 1974?
2. Apa sanksi bila pelabuhan Indonesia dan kapal – kapal berbendara
Indonesia tidak menerapkan ISPS Code ?
3. Apa konsekuensi pelaksanaan ISPS code bagi pemerintah ?

Daftar Bacaan
Chandra Motik yusuf Djemaah, ISPS Code Diterapkan Di Pelabuhan
Perikanan Samudra Jakarta, Mungkinkah? Jurnal Hukum
Internasional, vol 2 No. 3 April 2005.
SOLAS Convention 1974
Kompas 22 Juni 2004, Halaman 15.
146
146
146

BAB 11
BAHAN PEMBELAJARAN 10

A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu X bahwa
“Mahasiswa dapat menjelaskan prinsip-prinsip dasar mengenai perlindungan
dan pelestarian lingkungan laut”. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak
dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa discovery learning
dengan small group work, kuliah interaktif, dan diskusi.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta
didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut; Partisipasi dalam diskusi; Kerjasama tim;
Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit
dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan pada peserta didik.

B. Uraian:
Perlindungan dan pelestarian lingkungan diatur dalam pasal 145
UNCLOS 1982.27 Ketentuan ini memuat peraturan-peraturan pelestarian
lingkungan laut dan pencegahan pencemaran lingkungan laut. Konvensi ini
menyebutkan bahwa negara-negara berkewajiban untuk melindungi dan
memelihara lingkungan laut (pasal 192), disamping hak negara-negara
tersebut untuk mengeksplosit kekayaan alam mereka (pasal 193).
Negara-negara berkewajiban untuk mengambil segala tindakan guna
mencegah, mengurangi dan mengawasi pencemaran lingkungan laut {Pasal
194 (ayat 1)} dan harus mengambil segala tindakan yang perlu agar
perbuatan-perbuatan yang dilakukan di bawah yurisdiksinya tidak
menimbulkan polusi terhadap negara lain atau terhadap daerah di luar
yurisdiksinya {Pasal 194 (ayat 2)}.
Negara-negara harus berkewajiban secara global atau regional untuk
merumuskan aturan-aturan, standar dan praktek yang direkomendasikan
untuk melindungi lingkungan laut (Pasal 197). Negara-negara harus
27
D.J. Harris, Cases nd Materials on International Law, (London: Sweet & Maxwell, 1998), p.
419-455.
147
147
147

mengembangkan contingency plans untuk mengatasi bahaya polusi (Pasal


199) dan harus berkerjasama untuk mengembangkan penyelidikan laut untuk
dapat menilai hakikat yang sebenarnya dan polusi (Pasal 200).28
Setiap negara berkewajiban untuk membuat UU/aturan-aturan untuk
mencegah, mengurangi dan mengawasi polusi lingkungan laut dan sumber-
sumber yang berasal dan darat (Pasal 207 {ayat 1}), dan usaha-usaha
kegiatan-kegiatan di dasar laut di bawah yurisdiksinya (Pasal 208 {ayat 1}),
dan kapal-kapal atau instalasi-instalasinya yang beroperasi di dasar laut
internasional (Pasal 209), serta kejahatan dumping (Pasal 210), atau polusi
yang berasal dan kapal yang berlayar di bawah benderanya (Pasal 211).
Negara-negara juga dapat membuat aturan-aturan anti-polusi terhadap
kapal-kapal yang berlayar di laut wilayah atau ZEE-nya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Pasal 211. Aturan-aturan juga perlu dibuat untuk
menanggulangi polusi yang berasal dan atmosphere (Pasal 212). Negara-
negara juga berkewajiban agar kapal-kapal mematuhi ketentuan-ketentuan
antipolusi internasional dan aturan-aturan yang telah dibuatnya sesuai dengan
Konvensi Hukum Laut ini.
Beberapa gambaran apabila lingkungan yang tidak dijaga dan atau
dilestarikan, misalnya:

Banjir Floods

Sumber: Patricia Parkinson, Perubahan Iklim dan Hukum Lingkungan Internasional, 2007.

28
Komar Kantaatmadja, Bunga Rampai Hukum Lingkungan Laut Internasional, (Bandung:
Alumni, 1982), hlm. 13-27.
148
148
148

• Melambatnya “Aliran Teluk”


•Slow down of the Gulf Stream

Sumber: Patricia Parkinson, Perubahan Iklim dan Hukum Lingkungan Internasional, 2007.

Ketentuan-ketentuan pelestarian lingkungan laut yang telah dirumuskan


dalam KHL 1982 kemudian harus ditindaklanjuti dalam konteks pemeliharaan
dan atau konservasi laut dengan cara merumuskan kawasan konservasi laut.
Konservasi sumberdaya hayati laut merupakan salah satu implementasi
pengelolaan ekosistem sumberdaya laut dan kerusakan akibat aktivitas
manusia. Kawasan konservasi ini biasanya dilindungi oleh hukum, sehingga
sering disebut pula sebagai kawasan lindung. Kawasan konservasi laut
mempunyai peranan penting dalam program konservasi sumberdaya alam di
wilayah laut. Walaupun kawasan ini cenderung lebih baru ditetapkan
dibandingkan dengan kawasan konservasi di daerah daratan, namun
dibutuhkan keahlian tertentu untuk mengidentifikasi, mendirikan, dan
mengelolanya. Hal ini karena banyaknya cabang ilmu atau departemen yang
terkait dalam pengelolaanya, dan itu harus dilakukan secara terpadu.
Mengenai keterkaitan disiplin ilmu dan konsep keterpaduan pengelolaan
tersebut dapat dilihat dan definisi kawasan konservasi laut. Definisi kawasan
konservasi laut pernah dikembangkan pada acara the 4th World Wilderness
149
149
149

Congress dan diadopsi oleh IUCN pada 1 7th general Assembly pada tahun
1988, yaitu sebagai berikut:
Suatu kawasan laut atau paparan subtidal, termasuk perairan yang
menutupinya,flora,fauna, sisi sejarah dan budaya, yang terkait di
dalamnya,dan telah dilindungi oleh hukum atau peraturan lainnya
untuk melindungi sebagian atau seluruhnya lingkungan tersebut.

Pemanfaatan sumberdaya alam di lingkungan konservasi laut biasanya


diatur melalui zona-zona, yang telah ditetapkan kegiatan-kegiatan yang boleh
dan tidak boleh dilakukan, misalnya pelarangan kegiatan seperti
penambangan minyak dan gas bumi, penangkapan ikan dan biota laut lain
dengan alat yang merusak lingkungan, serta perusakan lingkungannya untuk
menjamin perlindungan yang lebih baik. Kegiatan penangkap ikan dan biota
laut tersebut termasuk pula penangkapan yang berlebih, yaitu upaya
penangkapan ikan yang melebihi stok alami ikan. Berdasarkan Keppres No.
32 tahun 1990, kawasan konservasi terdiri atas: (i) kawasan yang
memberikan perlindungan kawasan bawah (hutan lindung, bergambut,
resapan air); (ii) kawasan per-lindungan setempat (sempadan pantai, sungai,
sekitar danau atau waduk, mata air); dan (iii) kawasan suaka alam dan cagar
budaya (suaka alam, hutan bakau, taman nasional, cagar budaya dan ilmu
pengetahuan).
Berkaitan dengan kawasan konservasi, ada beberapa istilah yang
selama digunakan untuk menamakan kawasan konservasi laut, di antaranya
adalah reserve, sanctuaries, park, dan lainnya. Namun yang jelas kesemua
nama atau istilah tersebut mempunyai tujuan yang sama yaitu penyelamatan
ekosistem sumberdaya laut. Menurut IUCN ada beberapa tujuan kawasan
konservasi atau konservasi laut, yaitu:29
1. Melindungi dan mengelola sistem laut dan estuaria supaya dapat
dimanfaatkan secara terus menerus dalam jangka panjang dan
mempertahankan keanekaragaman genetik;
2. Untuk melindungi penurunan, tekanan, populasi dan species langka,
terutama pengawetan habitat untuk kelangsungan hidup mereka;

29
Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), Makassar: Fakultas
Hukum Unhas, 2007, hlm. 203-205.. Lihat juga Patricia W. Birnie & Alan E. Boyle, International Law and
the Environment, (Oxford: Clarendon, 1995), p. 490.
150
150
150

3. Melindungi dan mengelola kawasan yang secara nyata merupakan siklus


hidup spesis ekonomis penting;
4. Mencegah aktivitas luar yang memungkinkan kerusakan kawasan
konservasi laut;
5. Memberikan kesejahteraan yang terus menerus kepada masyarakat
dengan menciptakan kawasan konservasi laut; menyelamatkan,
melindungi, dan mengelola daerah-daerah mulut sungai dan estuaria yang
mempunyai nilai sejarah dan budaya, serta nilai-nilai estetika alam, untuk
generasi sekarang dan masa yang akan datang;
6. Mempermudah dalam menginterpretasikan sistem laut dan estuaria untuk
tujuan konservasi, pendidikan, dan pariwisata;
7. Menyediakan pengelolaan yang sesuai, yang mempunyai spektrum luas
bagi aktivitas manusia dengan tujuan utamanya adalah penataan laut dan
estuaria;
8. Menyediakan sarana untuk penelitian dan pelatihan, dan untuk pemantauan
pengaruh aktivitas manusia terhadap lingkungan, termasuk pengaruh
langsung dan tidak langsung daripada pembangunan dan pemanfaatan
lahan di daratan.
Apabila disimak dengan cermat, maka terlihat bahwa tujuan konservasi
laut itu sangat beranekaragam. Untuk mengklarifikasi tujuan konservasi yang
beraneka ragam tersebut, maka IUCN melalui Commission on National Parks
and Protected Areas, kemudian menyusun suatu daftar pengelolaan kawasan
konservasi sesuai dengan peruntukannya, yang pada akhirnya mencerminkan
ciri atau tipe dan kawasan konservasi tersebut, yaitu:
I. Kawasan Cagar Alam, untuk tujuan perlindungan yang ketat (strict
protection).
II. Taman Nasional, untuk tujuan konservasi ekosistem dan rekreasi.
III. Monumen Alam, untuk tujuan konservasi keistimewaan alam.
IV. Kawasan Pengelolaan Habitat/Species, untuk tujuan konservasi melalui
pengelolaan yang aktif.
V. Perlindungan Bentang Alam atau Bentang Laut, untuk tujuan konsetvasi
beritang lahan/bentang laut dan rekreasi.
151
151
151

VI. Kawasan Konservasi Sumberdaya Alam yang Terkelola, untuk tujuan


pengelolaan ekosistem alam dengan pemanfaatan yang cocok.
Keberhasilan program konservasi pada kawasan konservasi laut
terhadap penyelamatan keanekaragaman hayati laut sangat menentukan
kelangsungan pengembangan kawasan konservasi laut pada masa-masa
mendatang, sekaligus menjaga keseimbangan lingkungan atau ekosistem.30
Bank Dunia melalui the Global Environmental Facility menyediakan dana
penelitian untuk mengetahui sejauh mana peran MPA (Kawasan Konservasi
Laut) dalam konservasi keanekaragaman hayati laut secara global. Apabila
program MPA cukup efektif dalam penyelamatan keanekaragaman hayati laut,
maka jumlah MPA tersebut akan dikembangkan pada masa mendatang,
namun sebaliknya mungkin program mi akan ditutup bila MPA gagal dalam
menyelamatkan keanekaragaman hayati laut di sekitarnya. Karenanya untuk
pendirian suatu MPA diperlukan rencana matang, mulai dan pemilihan lokasi,
peraturan perundangan yang berlaku, peran serta masyarakat, rencana
pengelolaan lebih lanjut, dan manfaat dan MPA tersebut, terutama ditinjau
dan aspek ekonomisnya.
Di Indonesia, sampai saat ini ada sekitar 37 kawasan konservasi laut
yang telah beroperasi. Menurut statusnya kawasan konservasi laut tersebut
dibedakan atas dua macam, yaitu (a) Suaka Alam Laut dan (b) Pelestarian
Alam Laut. Suaka alam laut terdiri atas Cagar Alam (10 lokasi) dan Suaka
Margasatwa (4 lokasi). Sedangkan Pelestarian Alam Laut terdiri atas Taman
Nasional Laut (7 lokasi), Taman Hutan Raya/Taman Wisata Alam Pantai (9
lokasi) dan Taman Wisata Alam Laut (7 lokasi). Kawasan konservasi tersebut
tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia, dengan total area
5.805.753,85 ha. Jumlah ini direncanakan akan dikembangkan sampai 30 juta
ha. Saat ini ada 14 kawasan konservasi laut lainnya yang sedang dikaji
kelayakannya. Untuk penyelamatan kawasan konservasi, khususnya
ekosistem terumbu karang, telah dilakukan pengelolaan melalui program
CORMAP (Coral Reef Management Program) dengan bantuan dana dan luar,
antara lain World Bank, Asian Development Bank. Program tersebut

30
Ibid, hlm. 208-210.
152
152
152

rencananya dikerjakan selama 15 tahun, yang dilakukan di 10 propinsi, yaitu


Jakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua, Nusa
Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat,
Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Untuk tiga tahun
pertama, ujicoba pengelolaan dikembangkan di kawasan konservasi,
Kepulauan Taka Bone Rate (Propinsi Sulawesi Selatan) dan Kepulauan
Padaido (Propinsi Irian Jaya). Aktivitas CORMAP di kedua lokasi tersebut,
baru dalam taraf mencari alternatif kemungkinan upaya penanggulangan
perusakan terumbu karang. Hasil dan studi mi diharapkan dapat
dikembangkan di kawasan konservasi lainnya di Indonesia, khususnya di
kedelapan lokasi atau kawasan wilayah studi CORMAP.

C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
materi pembelajaran kesepuluh dilakukan dalam bentuk makalah dengan
menganalisis beberapa kasus seperti:
1. Kasus Showa Maru, 1975.
2. Kasus tumpahan minyak di perairan Natuna, 2000.

Daftar Bacaan
Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar),
Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007.
D.J. Harris, Cases nd Materials on International Law, London: Sweet &
Maxwell, 1998.
Komar Kantaatmadja, Bunga Rampai Hukum Lingkungan Laut
Internasional, Bandung: Alumni, 1982.
Patricia W. Birnie & Alan E. Boyle, International Law and the Environment,
Oxford: Clarendon, 1995.
153
153
153

BAB 12
BAHAN PEMBELAJARAN 11

A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu X bahwa
“Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian dan sumber-sumber pencemaran
laut”. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan
strategi pembelajaran berupa discovery learning dengan small group work,
kuliah interaktif, dan diskusi.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta
didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut; Partisipasi dalam diskusi; Kerjasama tim;
Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit
dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan pada peserta didik.

B. Uraian:
1. Pengertian dan Sumber Pencemaran Laut
Sebelum menjelaskan tentang pengertian pencemaran secara detail,
hal menarik yang penting untuk diuraikan terlebih dahulu yaitu istilah
pencemaran pertama kali digunakan dalam studi literatur Indonesia yakni
pada seminar Biologi II di Ciawi Bogor pada tahun 1970,31 yang merupakan
terjemahan atas istilah asing “pollution”. Secara resmi, istilah pencemaran
ini digunakan dalam pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 16 Agustus 1972 di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.32
Pencemaran memiliki banyak dimensi yang melingkupinya.
Pencemaran tidak hanya diartikan dalam arti yang sempit, akan tetapi ia
memiliki makna yang luas. Secara garis besar pencemaran dalam konteks
hukum lingkungan dapat dibedakan atas pencemaran lingkungan;
pencemaran daratan, pencemaran air; pencemaran laut; pencemaran

31
Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan : Sistem Hukum Pencemaran, (Bandung: Bina
Cipta, 1986), hlm. 30
32
Ibid.
154
154
154

udara; dan pencemaran angkasa. Dalam konteks ini yang menjadi fokus
pembelajaran disini yaitu pencemaran laut.
Menurut Komar Kantaatmadja33, pencemaran laut adalah masuknya ke
laut zat zat pencemaran dari lautan sendiri dan yang dibawa dan berasal
dari darat. Dalam hal ini, pencemaran laut yang bersumber dari
pencemaran laut sendiri dapat berasal dari dari:34
a. Kapal berupa pembuangan minyak yang merupakan pembuangan rutin;
berasal dari pembersihan tangki kapal; kebocoran kapal; kecelakaan
kapal yang berakibat kapal menjadi pecah, kapal menjadi kandas, dan
atau tabarakan kapal.
b. Instalasi minyak di lautan yang mungkin mengalami kebocoran atau
rusak.
Adapun pencemaran laut yang berasal dari darat dapat berupa:
a. Pencemaran melalui udara;
b. Pembuangan sampah ke laut (dumping);
c. Pembuangan air buangan sungai; dan
d. Pembuangan air buangan industri.
Pemahaman mengenai efek yang ditimbulkan dari pencemaran laut
sangatlah penting untuk diketahui oleh seluruh stakeholders. Stakeholders
pada dasarnya merupakan subyek pencemaran laut yang dalam hal ini
sebagai pelaku pencemaran laut yang secara hukum dapat dikenai dan
dimintai pertanggungjawaban dari akibat-akibat pencemaran laut.
Pemahaman tentang pengertian pencemaran laut juga penting untuk
diselaraskan. Bukan hanya memahami gambaran sumber-sumber
pencemaran laut sebagaimana telah dijelaskan di atas, tetapi lebih dari itu
pelaku pencemaran laut memahami dampak hukum yang timbul akibat
aktifitas pencemaran yang dilakukannya.35
Pencemaran laut yang dimaksudkan disini yaitu terjadinya peruban
pada lingkungan laut yang terjadi sebagai akibat dimasukkannya oleh

33
Komar Kantaatmadja, Ganti Rugi Internasional Pencemaran Minyak di Laut, (Bandung:
Alumni, 1981), hlm. 14.
34
Ibid. lihat juga Alma Manuputty, State Cooperation In Combating Transboundary Air Pollution,
Jurnal Hukum Internasional “Jurisdictionary”, Vol. V No. 1 Juni 2009, hlm. 24.
35
Ibid, hlm. 16.
155
155
155

manusia secara langsung atau tidak langsung bahan-bahan atau energi ke


dalam lingkungan laut (termasuk muara sungai) yang menghasilkan akibat
yang demikian buruknya sehingga merupakan kerugian bagi kekayaan
hayati, bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan
di laut termasuk perikanan dan lain-lain, penggunaan laut yang wajar,
pemburukan daripada kualitas air laut dan menurunnya kualitas tempat
pemukiman dan rekreasi.36
Pengertian di atas tentunya menimbulkan perdebatan panjang
khususnya menyoal tentang pelaku pencemaran laut yang hanya
difokuskan pada aktifitas manusia. Padahal faktanya, pencemaran laut
dapat saja disebabkan oleh aktifitas alam itu sendiri, misalnya kebocoran
alami yang sering terjadi dari lapisan bumi sendiri baik dalam bentuk
minyak bumi maupun dalam bentuk mineral-mineral lain yang secara terus
menerus mengalir ke lautan (baik bersumber dari daratan maupun dari
lautan itu sendiri.37
3. Beberapa kasus yang relevan.
Kasus Newmont dan kasus Tumpahan minyak di Kepulauan Natuna
diberikan dalam bentuk powerpoint yang diekstraksi dari data yang
bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan power point dari Prof.
Daud Silalahi yang menggambarkan bagaimana kedua kasus ini terjadi
dan akibat yang timbulkannya.

C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
materi pembelajaran kesebelas dilakukan dalam bentuk makalah dengan
menganalisis beberapa kasus Newmont dan Kasus tumpahan minyak di
perairan Natuna,. Dalam hal ini analisisnya diletakkan pada upaya eksaminasi
atas putusan kedua kasus yang telah mendapat memperoleh kekuatan hukum
yang tetap (incraht).

36
Mochtar Kusumaatmadja, Pencemaran Laut dan Pengaturan Hukumnya, (Bandung:
Universitas Padjajaran, 1977), hlm. 5.
37
Komar Kantaatmadja, op.cit., hlm. 18.
156
156
156

Daftar Bacaan
Alma Manuputty, State Cooperation In Combating Transboundary Air Pollution,
Jurnal Hukum Internasional “Jurisdictionary”, Vol. V No. 1 Juni 2009
: 24.
Komar Kantaatmadja, Ganti Rugi Internasional Pencemaran Minyak di
Laut, Bandung: Alumni, 1981.
Mochtar Kusumaatmadja, Pencemaran Laut dan Pengaturan Hukumnya,
Bandung: Universitas Padjajaran, 1977.
Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan : Sistem Hukum Pencemaran,
Bandung: Bina Cipta, 1986.
157
157
157

BAB 13
BAHAN PEMBELAJARAN 12 dan 13

A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke 12 dan 13
adalah mahasiswa dapat menjelaskan pengertian harta karena serta berbagai
istilah terkait serta pengaturannya baik pengaturan internasional maupun nasional.
Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi
pembelajaran berupa kuliah interaktif, studi kasus dan diskusi kelas.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik
yaitu partisipasi dalam diskusi, kejelasan dalam mengungkapkan pendapat dan
ketepatan dalam menguraikan teori pembelajaran akan dilaksanakan selama 100
menit untuk masing – masing pembelajaran dengan media modul bagi masing–
masing pembelajaran sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta didik.

B. Uraian
Peraturan perundang–undangan yang ada kaitannya dengan pengangkatan
dan pemanfaatan benda–benda berharga di dasar laut perairan Indonesia.
Peraturan perundan –undangan yang ada kaitannya dengan penangkatan dan
pemanfaatan benda–benda berharga di dasar laut perairan Indonesia yaitu
Monument Ordonnantie STb.238 tahun 1931 dengan berbagai implementasinya
berupa instruksi–instruksi pimpinan–pimpinan kita ketahui bahwa dalam
KEPPRES Nomor 43 tahun 1981 pasal 1 yang dimaksudkan dengan benda
berharga adalah benda yang mempunyai nilai sejarah, budaya, ekonomi dan
lainnya. Dari pengertian tersebut jelas dapat kita kaitkan dengan apa yang menjadi
kriteria dalam pasal 1 ayat (1a ) Monument Ordonnantie Stb. 238 tahun 1931
sebagaiman kami kutip di bawah ini.
“ Onder monument worden in deze ordonnantie verstaan :
a. Door menschenhand tot stand gekomen ontroerende of roerrende
zaken, deelen of groepen van zaken, dan wel overblif selen daarvan,
die in hoofdzaakkourder zijn dan 50 jaar of tot een ten minste 50 jaar
oude stijil – periode behooren en voor de praehistorie, gescheidenis
of kunst van groot belang worden geacht”;

(terjemahan bebas)
158
158
158

“ Yang dimaksud sebagai monumen dalam ordonnantie ini :


a. Benda–benda bergerak maupun tidak bergerak yang dibuat oleh
tangan manusia, bagian atau kelompok benda–benda dan juga sisa
sisanya yang sedikit–sedikitnya berumur 50 tahun dan dianggap
mempunyai nilai penting bagi presejarah, sejarah atau kesenian.
Apa yang dimaksud dengan monumen dalam pengertian MO tersebut di
atas biasanya ada persamaan dengan pengertian cultural heritage atau cultural
property dalam berbagai International Convention dan Recommendation misalnya
dalam “Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural
Heritage” tahun 1972, Convention on the means of Probibiting nada Preventing
the Illicit Import, Export dan Transfer of Cultural Property, Unesco, 14 Nov.1970
dan lain- lainnya. Sebagai contoh kami kutip pengertian cultural property dari
Covention yang disebut belakangan yaitu sebagai berikut :
“The term cultural property menas property which, on religious or secular
ground, is specially designated by each State as being of importance for
archaeology, prehistory, history, literature,art or science and wich belongs to
the following categories: …….”

Pengertian – pengertian seperti monument, cultural property, cultural


heritage, peniggalan sejarah dan purbakala, kami mecoba menyebutnya juga
Cagar Budaya atau lebih tepatnya Benda Cagar Budaya. Sebutan Benda Cagar
Buadaya disesuaikan dengan apa yang dicantumkan pada pasal 14 undang–
undang Republik Indonesia nomor 4 tahun 1982 tentang “ ketentuan–pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup” yang antara lain menyatakan bahwa : “ Ketentuan
tentang perlindungan cagar budaya ditetapkan dengan Undang–undang”.
Jika kita simak apa yang dimaksud benda berharga seperti kemukakan
dalam KEPPRES Nomor 43 tahun 1989 tersebut di atas dengan pengetian dari
sudut Monumenten Ordonantie Stb. 238 tahun 1931 tau konvensi–konvensi
internasioanl UNESCO, maka jelaslah bagi kita bahwa hubungan atau kaitannya
amat erat, sekali, sekali pun dalam KEPPRES tersebut ada makna yang
dikandung mempunyai nilai ekonomi. Karena sesungguhnya jika benda–benda
yang mempunyai nilai penting bagi prasejarah dan kesenian seperti dinyatakan
dalam MO, juga dinilai dengan uang jelas akan mempunyai nilai ekonomis yang
relative tinggi. Namun jika yang dimaksud berupa benda–benda logam yang tidak
mengandung nilai seni sama sekali misalnya emas balokan mungkin benda–
benda tersebut dapat dianggap hanya mempunyai nilai ekeonomi.
159
159
159

Jika benda–benda seperti keramik jumlahnya ribuan dan jenisnya sama


apalagi kualitasnya kurang baik mungkin contoh yang disimpan dimuseum
beberapa saja, maka sisa yang jumlahnya ribuan tersebut dapat dianggap
mempunyai nilai ekonomis bila dijual. Oleh karena itu yang penting dalam masalah
ini penilaian seksama apa yang dimaksud dengan nilai penting bagi prasejarah,
sejarah atau kesenian. Masalah ini baiklah kita bicarakan kemudian.

Permasalahan Hingga Terbit Kepres Nomor 43 Tahun 1989


Dari sejumlah pasal–pasal dan ayat–ayat dalam Monument Ordonantie
memang tidak ada satupun yang secara eksplisit dihubungkan dengan benda–
benda atau monumen yang dikaitkan dengan masalah underwater Archaeology.
Hal itu dimungkinkan bahwa apad tahun–tahun tiga puluhan belumlah ada suatu
undang–undang keterbukaan di hampir seluruh dunia mengkaitkan atau
mencantumkan masalah underwater archaeloyi atau arkeologi bawah air.
Berkembangnya underwater archaelogi baru–baru saja kira–kira tahun 1960 an.
Suatu contoh di London baru sejak tahun 1964 dibentuk suatu Committee for
Nautical Archaeology yang bertujuan mengkoordinasikan penyelam–penyelam
dengan ahli ahli purbakala daratan (land Archaeologist).
Sejak itu maka ternyata penyelam–penyelam mempunyai sumbangan yang
penting bagi dunia Arkeologi. Pada waktu itu tidak ada bandingnya badan atau
komite tersebut di Inggris, komite tersebut seringkali didengar dengan singkatan
CAN. Dibawah spronsor CAN dilaksanakan juga penyelenggaraan pendidikan
berupa kursus–kursus tentang under water archaeology di School for Nautical
Archaeology di Plymouth (SNAP) di bawah pimpinan Lt – Cmdr Alam Bax dan Mr.
Jim Gill.
Kemudian tumbuh berkembang perhatian terhadap underwater archaeology
di beberapa Negara yang sudah maju, seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang
dan Prancis dan lain–lainnya. Kelompok yang disebut GRASP yaitu Groupe de
Recherche Archaeologique Sous Marine Post Medievale, telah melakukan
penelitian–penelitian dan penggalian–penggalian kapal–kapal dari abad 16 dan
awal abad 19 dengan maksud mendapatkan dokumen sejarah ekspansi bangsa
Eropa dilautan, termasuk eksploitasi perdagangan melalui sisa–sisa kapal–kapal
yang hilang : penelitian mengenai lambung–lambung kapal, alat–alat perang,
160
160
160

perabotannya, navigasi dan peralatan lainnya, barang–barang yang d ipakai


sehari hari dan muatannya. Kegiatan GRASP tersebut sejak tahun 1967 dan dapat
bantuan dari perusahaan COMEX di Marseille, dibawah Presiden Direktur
Jenderal yaitu Mr. Henry G. Delauze. GRASP telah berhasil mengangkut kapal–
kapal dagang dan kapal perang seperti Wedela, Danish Asiatic Company
tenggelam di Feltar (Shetland) 1937. Lastdrager, VOC, hilang di Yeil ( Sheland )
1653, Slotter Hooge. VOC hilang di Porto Santo ( Madeira Archipelogi )1724, Witte
Leeuw, VOC, hilang di Pulau St. Helena (South Atlantic Ocean) 1613 dan masih
banyak kapal lagi yang tidak perlu disebutkan disini.
Sementara tetap kita sebagai bangsa perlu mengembangkan ilmu
purbakala bawah air, karena tanah air kita jelas memerlukan untuk diteliti benda–
benda bersejarah apa dan kapal – kapal apa yang tenggelam dilautan kita itu, Ilmu
purbakala bahwa air amat perlu bagi mengungkapkan peristiwa–peristiwa sejarah:
pelayaran, perdagangan dan lain sebagainya yang perlu untuk melengkapi
kegelapan–kegelapan sejarah tersebut. Bahkan sejarah teknologi pembuatan
kapal–kapal pada masa kerajaan–kerajaan kita di masa lampau seperti Sriwijaya,
Majapahit, Mataram, Benten, Aceh, Goa dan lainnya akan memberikan bukti
tentang kebaharian bangsa kita.
Di samping itu pula berbicara tentang peraturan perundang–undangan yang
ada seperti Monumenten Ordonantie atau undang–undang lainnya belum secara
khusus mengatur perlindungan benda–benda berharga bawah air. Dari segi MO
yang dapat diakibatkan secara tidak langsung ada beberapa pasal misalnya pasal
6 ayat (1) dan (2) tentang pembawaan, pemindahan, pengambilan benda cagar
budaya atau monument menurut pengertian MO sedang pasal 9 hanya
menyatakan masalah penggalian yang mungkin dikaitkan apabila terjadi
penggalian didasar laut. Pasal–pasal tersebut biasanya diterapkan benda–benda
dar daratan. Demikian pula tentang penemuan benda–benda di dasar lautan
biasanya dikaitkan dengan pasal–pasal tersebut di atas.
Dengan kejadian–kejadian pencurian seperti pernah dilakukan oleh orang–
orang yang tidak bertanggung jawab, maka pemerintah merasa perlu membentuk
Panitia Nasional untuk mengurusi masalah–masalah pengangkatan benda–benda
berharga di dasar laut perairan Indonesia. Pada tanggal 14 agustus 1989 Presiden
Republik Indonesia melalui KEPRES Nomor 43 tahun 1989 menetapkan
161
161
161

pembentukan Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfataan benda Berharga


Asal Muatan Kapal Yang Tenggelam.
Beberapa Kepmen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan butir 1.2 “
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengenai benda–benda bersejarah
yang mempunyai nilai budaya; dan pada butir (1.4) Departemen Perdagangan,
mengenai ijin ekspor dan penjualan / pelelangan benda berharga dengan
rekomendasi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Butir–butir tersebut
diatas sesuai dengan peraturan perundang–undangan yaitu dengan Monumenten
Ordonantie St. 238 tahun 1931 pasal–pasal 1 ayat (1) a, masalah criteria nilai
sejarah dan pasal 6 ayat (1) tentang keharusan ada ijin atau rekomnedasi dari
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk membawa benda – benda cagar
buadaya atau “monument” keluar Indonesia sebagaimana dapat kami kutip di
bawah ini :
“ He is verboden zonder vergunning van het hootd van den oud heidkundige
dienst uit Nederlandsch- Indie uit to voeren : voor werpe, welke voorlooping
of difinitief in het openbaar central monumentenregister zijn geschreven of
ingevolve artikel 8 lid (2), geacht worden daarin voorlooping te zijn
ingeschreven, zoo mede voorwerpen, dateernde uit den voor
Mohammadens chen tijd, ook al zijnzij niet in genoemd register
ingeschreven”.

(Terjemahan bebas)
“ Dilarang mengeksport dari Hindia Belanda (Kini Republik Indonesia) tanpa
ijin Kepala Dinas Purbakala (kini direktur Perlindungan dan Pembinaan
Peninggalan sejarah Purbakala) benda–benda yang dicacat sementara atau
tetap di dalam daftar monument umum pusat atau yang sesuai dengan pasal
8 ayat (2) dianggap di catat sementara maupun benda – benda yang berasal
dar jaman sebelum Islam, meskipun tidak tercatat pada daftar tersebut.

Mengenai perijinan pembawaan keluar negeri tersbut juga diingatkan oleh


SKB Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Central Nomor
: 27 a/ Kpb/II/1970; Nomor Kep. 62/MK/III/2/1970:Nomor : KEP.3/GBI/1970
tentang pembawaan/ pengiriaman b arang – barang keluar daerah pabean secara
bebas dari ketentuan – ketentuan Devias, terutama penegasan pasal 7. Dalam
hubungan ini sudah jelas ada kaitan erat antara Deparatemen Pendidikan dan
Kebudayaan dengan Departemen Perdagangan dan Departemen Keuangan.
Dalam hubungan dengan KEPRES No. 34 serta JUKLAK – nya maka setiap
Departemen dan Instansi masing – masing yang mempunyai peraturan
162
162
162

perundang–undangan yang sudah ada tetap berlaku. Karen itu terkoordinasi maka
untuk pelaksanaan JUKLAK Ketua Panitia Nasional, masing–masing Departemen
atau Instansi di haruskan membuat keputusan tentang cara pelaksanaan di
bidangnya masing–masing tetapi yang jelas harusbersifat koordinatif dan
interagtif.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam hubungan ini telah
menerbitkan surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No.
9834/O/1989 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengangkatan Benda–benda
Berharga khususnya yang berhubungan dengan Benda Cagar Budaya di Wilayah
Perairan Indonesia. Dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
tersebut tentang penelitian Arkeologi bawah air ditegaskan bahwa ijin penelitian
arkeologi bawah air ditujukan kepada Panitia nasional tetapi dengan rekomendasi
dar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kecuali untuk penelitian terhadap benda
hasil pengangkatan benda berharga dilakukan oleh suatu Tim Penilaian Benda
Cagar Budaya. Hal ini dicantumkan pada surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Bab IV, Pasal 4. Dengan demikian di harapakan kepentingan dunia
pengetahuan dan sejarah, arkeologi bawah air akan lebih diperhatikan.
Dengan adanya KEPRES No. 43 tahun 1989 agaknya lebih
terkoordinasikan hal–hal atau masalah–masalah benda–benda berharga
koordinasikan hal–hal atau masalah–masalah benda–benda berharga termasuk
benda–benda historis atau arkeologis itu. Namun demikian tentu masih ada
beberapa hal yang masih merupakan masalah karena dalam KEPRES No. 43
tersebut terutama bagi dunia arkeologi bawah air dan kaitannya juga dengan
peraturan perundang –undangan lainnya belum mantap betu. Suatu contoh dalam
KEPRES Pasal 1 butir b disebutkan kapal yang tenggelam adalah kapal VOC,
Portugis, Spanyol, yang tenggelam, dan kapal lain waktu perang Dunia II
tenggelam di dasar laut di Wilayah Perairan Indonesia.
Dari alinea itu masih dapat menimbulkan pertanyaan: bagaiman dengan
kapal–kapal diluar yang disebut, misalnya kapal–kapal zaman sriwijaya,
Majapahit, Mataram dan lain sebagainya ? bahkan bagaiman dengan kapal Cina
dari masa dinasti T’ang, Yuang, Ming, Ching dan sebagainya. Bagaimanakah jika
kerangka kapal–kapal yang ditetapkan tersebut tidak boleh diangkat? Padahal
untuk penelitian arkeologi bawah air bentuk–bentuk kapal diperlukan untuk
163
163
163

meneliti sejauh mana teknologi pembuatan perkapalan itu. Jika ditemukan sebuah
kapal dan muatannya dari zaman Sailendra atau Sriwijaya maka penting diketahui
bagaimana sebenarnya bentuk dan teknik pembuatnnya? Apakah sama dengan
apa yang terdapat pada gambaran atau relief kapal di Candi Borobudur ? hal–hal
itu semuanya kita perlukan untuk mengadakan terus menerus penelitian, dan
kesempatan adalah pada underwater archeology.
Kita sadar bahwa Wawasan Nusantara yang tidak terlepas dari masalah
kemaritiman, kelautan memerlukan penerapannya dalam bentuk atau cara antar
lain mengadakan penelitian kandungan dasar lautan kita terutama dari segi marine
archeology. Kemanfaatan yang besar bukan hanya metrinya tetapi juga dari segi
keilmuwan yang dapat menjadi dan membntuk Wawasan Kebaharian yang kuat
pada bangsa sesuai apa yang pernah dihimbau oleh Mochtar Kusumaatmadja
dalam ceramahnya “Bahan ceramah Menteri Luar negeri: Dalam
Pengimplemantasian Wawasan Nusantara” pada rapat Rektor Universitas / Instuti
Negri seluruh Indonesia tanggal 28 Februari s.d 2 Maret 1979 di Jakarta, Beliau
berkata dalam kesimpulannya:
“ Bahwa segala unsure bagi diwujudkannya Wawasan Kesatuan Bangsa dan
Negara itu kini telah tersedia yakni : (1) Unsur kesatuan wilayah,(2) Unsur
Komunikasi,dan (3) Unsur Perencanaan. Yang harus dilakukan kini adalah
penjbaran dan pemanfataannya dari pad aide pembinaan bangsa – bangsa
berdasarkan konsepsi kesatuan di setiap bidang kehidupan Nasional.”
Apa yang dinyatakan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja 11 tahun yang lalu
sampai dimana sudah dimplementasikan oleh kita semuanya? persoalan lain dari
segi hokum kelautan khususnya mengenai benda berharga dalam hal ini benda–
benda bersejarah belum diimplementasikan dalam bentuk perundang–undangan.
Masalah lainnya ialah bagaiman mengatur benda – benda arkeologis yang
terdapat diperairan diluar territorial kita, Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun
1982, sudah sejauh mana pelaksanannya khususnya mengenai pasal 149 benda
– benda purbakala dan bersejarah yang berbunyi :
“ semua benda – benda purbakala dan yang mempunyai nilai sejarah yang
ditemukan di kawasan harus dipelihara atau digunakan untuk memanfaatkan
umat manusia sebagai suatu keseluruhan, dengan memperhatikan secara
khusus hak – hak yang didahulukan dari negar asal kepurbakalan”.
164
164
164

Pasal 303, benda–benda purbakal dan benda–benda bersejarah yang


ditemukan di laut :
1. Negara –negara berkewajiban untuk melindungi benda–benda purbakala
dan bersejarah yang ditemukan dilaut dan harus bekerjasama untuk tujuan
ini.
2. Untuk mengendalikan peredaran benda–benda demikian negara pantai
dapat, dalam menerapkan pasal 33, menaggap bahwa diambilnya benda -
benda tersebut dari dasar laut dalam daerah yang dimaksudkan dalam
pasal yaitu, tanpa persetujuan Negara pantai bersangkutan merupakan
suatu pelanggran dalam wilayah atau laut teritorialnya, terhadap hokum dan
peraturan-peraturan perundang- undangan yang dimaksudkan dalam pasal
tersebut.
3. Tiada satupun dalam pasal ini mempengaruhi hak- hak para pemilik yang
dapat dikenal, hokum pengangkatan kerangka kendaraan air atau lain -lain
peraturan tentang pelayaran atau hukum dan praktek yang berkenaan
dengan pertukaran kebudayaan.
4. Pasal ini tidak mengurangi arti daripada perjanjian - perjanjian internasional
dan peraturan hukum internasional lainnya perihal perundang - undangan
benda - benda purbakala dan benda - benda bersejarah.”

Kecuali sampai sejauh mana pelaksanaannya maka sampai sejauh man pula akan
dikaitkan dengan hukum – hukum laut nasional kita. Dari uraian di atas maka
semuanya kita dapat mengambil kesimpulan pokok bahwa masalah benda– benda
berharga, baik pengambilan, penelitian, pemanfataannya terutama hubungannya
dengan perkembangan dunia arkeologi bawah air, belumlah mantap secara
tercantumkan pada perundang–undangan. Misalnya apabila masalah tersebut
dicantumkan pada stu perundang–undangan maka jelas diperlukan cantumkan
kaitannya dengan hukum–hukum yang berlaku bagi kelautan, termasuk masalah
kewenangan security. Saran kami tentunya yang utama bagaimana mengatur
tersebut dalam suatu undang – undang dan kaitannya dengan Undang – undang
lain.
Perdagangan rempah–rempah terjadi antara Nusantara dengan Eropah
yang tadinya melalui perantara pedagang Timur Tengah tidak dapat berlangsung
seperti sediakala, kerna berkecamuknya perang Salib di kawasan itu. Semenjak
165
165
165

itu 5 abad yang lalu para pedagang Eropah dengan Armada lautnya mengirim mis
misi dagang langsung ke sumber asalnya rempah-rempah di Nusantara. Armada
dagang yang berlayar kemabli menuju Eropah bermuatan tidak hanya rempah-
rempah, tetapi juga benda budaya dan seni dari Timur seperti hiasan emas
permata, piring dan mangkok serta jembatan terbuat dari tembikar dan porselin,
sutera dan sebagainya. Diantara armada dagang yang melaksanakan misinya itu
tidak sedikit yang terdampar dan tenggelam dan tenggelam karena ganasnya laut.
Lokasi dan penemuan kembali kapal – kapal yang tenggelam di Nusantara
ini kini hampir dapat ditentukan. Hal ini tidak lain karena hasil riset di arsip-arsip
pelbagai Negara yang juga menggunakan peralatan canggih seperti komputer.
Demikian pula halnya falan survey dan eksplorasi di laut peralatan mutakhir dan
canggih dipergunakan. Terungkaplah posisi Flor de la Mar yang tenggelam diselat
Malaka dengan barang-barang berharga di antaranya emas permata dan harta
benda lainnya dari kerajaan Malaka, salah satu hasil jarahan Portugis di kawasan
ini semasa jayanya di masa silam. Demikian pula halnya dengan peristiwa
penemuan kapal De Geldermalsen yang pemberitannya dimuat dalam waktu yang
cukup lama. Michael Hatcher sebelum mengangkat, mengambil dan menjual
benda – benda berharga dari kapal Geldermalsen telah bekerja belasan tahun
dimulai tahun 1972 di antaranya menyelenggarakan riset dimuseum dan
perpustakaan negeri Belanda.
Permasalahannya timbul setelah diketahui dan disadari potensi kekayaan
benda–benda yang terpendam di dasar laut dan di perairan Indonesia yang
tenggelam bersama kapal dagang VOC,Portugis dan Spanyol di masa silam,
jumlahnya tidak kecil. Ratusan kapal bermuatan benda–benda berharga yang
tenggelam tergelatak di dasar laut di Nusantara kita ini dan sekitarnya. Persoalan
pertama yang harus dipecahkan ialah benda – benda berharga yang dilihat dari
nilai historis, budaya, arkeologinya dan nilai ekonominya itu milik siapa.
Selanjutnya untuk dapat melakukan pengangkatannya dari dasar laut siapa yang
berwenang mengeluarkan ijin. Dan setelah diangkat, dan dijual manfaatnya untuk
siapa. Dengan demikian maka persoalan pokoknya adalah bagaimana status
hukum benda–benda berharga di dasar laut dan perairan Indonesia, dan juga
bagaiman tata cara penangkatannya.
166
166
166

Persoalan–persoalan tersebut tidaklah mudah di samping saling terkait juga


karena menyangkut pelbagai kepentingan baik politik, ekonomi, sosial budaya
maupun Hankam yang kaitannya tidak hanya nasional tetapi juga regional dan
internasional. Karena itu pendekatan masalahnya menggunakan pendekatan
Ketahanan Nasional dan Wawasan Nusantara, yang di dalamnya mengandung
asas persatuan kesatuan nasional, asas keterpaduan, asas kepentingan nasional
dan asas integritas wilayah nasional.
Beberapa pengertian :
a. Pengangkatan adalah kegiatan yang meliputi penelitian, survey pengangkatan
benda berharga asal muatan kapal tenggelam selama dan sebelu perang
dunia kedua serta kegeiatan lainnya sebelum pemenfaatan.
b. Pemanfaatan adalah kegiatan yang meliputi penjualan dan pemanfaatan lain
seperti penyimpanan di Museum.
c. Benda berharga adalah benda yang mempunyai nilai sejarah, budaya,
arkeologi, ekonomi, dan lainnya.
d. Laut adalah perairan yang berada dalam yurisdiksi nasional Indonesia yaitu
perairan Indonesia Indonesia, Zona Tambahan Indonesia, Zona ekonomi
Eksklusif Indonesia dan Landas Kontinen Indonesia.

Status hukum benda–benda berharga yang terdampar di dasar laut dalam


perairan Indonesia menyangkut masalah pemilikan yang terkait pula dengan lokasi
dimana benda–benda berharga tersebut dapat dilihat dar ketentuan–ketentuan
dan asas–asas hukum internasional Indonesia, dan hokum perdata Indonesia.
Demikian pula hanya dengan pemilikan kapal yang mengangkut dan kemudian
tenggelam bersama muatannya, seyogyanya ditinjau dari ketentuan–ketentuan
dan asas hukum tersebut.

Konvensi Hukum Laut Tahun 1982


Konvensi Hukum laut Tahun 1982 yang telah diratifikasi Indonesia dengan
undang – undang Nomor 17 Tahun 1985 (selanjutnya disingkat KHL 1982
menentukan bahwa kedaulatan suatu Negara kepulauan, seperti halnya dengan
Indonesia, meliputi perairan kepulauan dan laut wilayah serta dasar laut dan tanah
di bawahnya, juga udara di atasnya ( video pasal 2 dan pasal 49 KHL 1982 ). Hal
ini berarti Indonesia mempunyai wewenang yang mutlak atas benda–benda
167
167
167

berharga yang terpendam di dasar lautnya. Pengangkatan dan pemanfaatan


benda–benda tersebut haruslah seijin dan kerja sama dengan Indonesia.
Pernyataan mengenai status hukum benda–benda berharga yang berada di
perairan Indonesia sebagai milik Indonesia merupakan tindakan sebagai Negara
yang berdaulat terhadap sumber alam dan kekayaan lainnya yang ada di situ.
Pernyataan yang demikian, bukan hanya merupakan perwujudan pelaksanaan
kedaulatannya, tetapi juga didukung oleh ketentuan–ketentuan dan asas hukum
lainnya diuraikan di bawah nanti. Walaupun saat ini Indonesia belum secara resmi
mengumumkan adanya Zona Tambahan berupa lajur laut selebar 12 mil di luar
dan berdekatan dengan laut wilayahnya, namun dengan diratifikasinya KHL 1982
maka Zona tambahan Indonesia dianggap telah ada. Sedangkatan pengangkatan
dan pemanfataan benda–benda berharga di Zona Tambahan, seiring dengan
ketentuan Pasal 303 ayat 2 jo Pasal 33 KHL 1982, harus dengan ijin dan kerja
sama dengan Pemerintah Indonesia.
Pengangkatan benda–benda berharga tersebut dari dasar laut tanpa
persetujuan Indonesia akan merupakan pelanggaran peraturan perundang –
undangan beacukai, fiskal, imigrasi ataupun saniter di dalam wilayah ataupun laut
wilayahnya. Di Zona Tambahan Indonesia, kita mempunyai yurisdiksi eksklusif
guna melindungi kepentingan nasional dalam kebecukaian, fiskal, keimigrasian,
dan saniter. Eksplorasi dan aksploitasi dalam rangka pengangkatan dan
pemanfataan benda – benda berharga di Zona Tambahan tersebut karenanya
haruslah seijin Pemerintah RI. Kemudian dari pada itu bagaimana perlaukan
ataupun status hokum benda benda berharga di dasar laut di ZEE Indonesia
ataupun di Landas Kontinen. Bahwa benda berharga letaknya berada di dasar
laut, maka dalam kaitan ini sebaiknya rejim Landas Kontinen yang di utamakan,
bukan rejim ZEE- nya.
Di ZEE hak berdaulat Negara di pantai ditujukan guna kepentingan
eksplorasi, eksploaitasi, konservasi dan manajemen terhadap sumber daya
alamsaja, tetapi juga untuk mengeksplorasi landas kontinennya itu sendiri yang
dikaitkan dengan “ sumber daya alam” ataupun untuk kepreluan lain. Lagi pula jika
Negara pantai tidak mengeksplorasi dan tidak mengeksplotasinya, maka tidak
pihak atau seorang pun juga boleh melakukan kegiatan dimaksud di Landas
Kontinen. Sumber daya alam yang terkait dengan rejim Landas Kontinen tidak
168
168
168

hanya terbatas pada mineral saja tetapi meliputi sumber daya non hayati lainnya
pada dasar laut (Other non living resources of the sea bed and subsoil ) dan tanah
di bawahnya ( vide Pasal 77 KHL 1982 ).
Dalam hubungan dengan “resource” ini termasuk dalamnya pengertian
archaeological and historical objects, kata sementara penulis. Dengan demikian
termasuk benda–benda berharga di dasar laut yang diatasnya Negara pantai
mempunyai hak berdaulat. Dengan demikian pengangkatan benda–benda
berharga di Landas Kontinen Indonesia haruslah dengan persetujuan dan setidak–
tidaknya kerjasama dengan Pemerintah Indonesia. Semua Negara berkewajiban
untuk melindungi benda–benda arkeologi dan sejarah yang ditemukan di laut di
manapun di temukan dan semua Negara berkewajiban untuk melindungi benda-
benda arkeologi dan sejarah yang ditemukan di laut di manapun ditemukan dan
semua Negara harus bekerja sama untuk maksud tersebut (vide pasal 303 ayat 1
KHL).
Indonesia sebagai negara yang sangat berkepentingan dalam hal ini
berkewajiban untuk mengaturnya, paling tidak dengan maksud untuk melindungi
benda – benda berharga di Landas Kontinennya. Sehubungan dengan hal ini patut
dikemukakan selama Konperensi Hukum Laut PBB – III, (Kemudian menghasilkan
KHL 1982) ialah “residual power” Negara pantai atas ZEE. Siapa yang
berwewenang mengatur hal–hal yang tidak jelas diatur dalam konvensi. Pasal 59
KHL 1982 sebagai hasil ‘Castaneda Formula”menyatakan bahwa dalam hal–hal
Konvensi Hukum Laut tidak jelas menentukan hak–hak atau yurisdiksi kepada
Warga Negara pantai atau kepada Negara lain di ZEE, maka jika kelak timbul
sengketa itu harus diselesaikan berdasrkan keadilan dan dengan pertimbangan
segala keadaan yang relevan, dengan memeprhatikan masing masing keutamaan
kepentingan pihak–pihak yang terlibat maupun masyarakat internasional
keseluruhannya. Karena ZEE dan Landas Kontinen bukan lagi merupakan bagian
dari laut yang mempunyai ketentuan – ketentuan tersendiri, maka Negara pantai
dapat menentukan ketentuan–ketentuan mengenai benda- benda berharga di ZEE
dan Landas Kontinen. Dan jika nanti ada yang mempermasalakn sah atau
tidaknya ketentuan yang ditetapkan itu, maka penyelesainnya akan dilakukan
yang ditetapkan sesuai ketentuan pasal 59.
169
169
169

Dengan demikian tidak ada kelirunya kita memikirkan pengaturan benda–


benda berharga di ZEE dan di Landas Kontinen sesuai dengan arah KHL 1982
(vide pasal 303 KHL 1982), minimal untuk melindunginya.

Hukum Perdata International


Hukum perdata International dalam menentukan hukum apa yang berlaku
terhadap suatu benda telah mengalami perubahan. Di masa yang lalu factor
menentukan hukum kebendaan manakah yang berlaku adalah hukum dari
letaknya benda tersebut berada (lex, situs, lexrel sitae) hanya berlaku untuk
benda bergerak (movaebles) yang berlaku adalah adagium ”mbilia personam
sequenter” (benda bergerak mengikuti status dar orang).
Namun kini sudah umum diterima baik oleh para penulis maupun praktek
hokum, bahwa kaidah “lex rei sitae” juga berlaku baik terhadap benda bergerak
maupun tak bergerak, terhadap kedua jenis benda dimaksud (movables and
Immobales) berlaku hukum kebendaan dimana benda tersebut terletak.
Hukum perdata Internasional Indonesia kini juga mengikuti asas ini,
meskipun ketentuan Pasal 17 A.B hanya memperlakukan untuk benda tak
bergerak saja. Dalam lalu lintas hukum internasional kini dan di masa datang
ketentuan seperti yang termuat dalam pasal 17 A.B telah lama ditinggalkan. Pakar
hokum Indonesia dalam hal ini menegaskan’. Diwaktu sekarang asas inipun
dipergunakan untuk benda – benda yang tak bergerak. Juga hak – hak kebendaan
(zakelyke rechten) atas benda – benda bergerak tunduk kepada hukum dimana
benda–benda itu berada’. Pemikiran kepentingan nasional dengan memperhatikan
perkembangan internasional kiranya mau tidak mau membawa kita kea rah
pemikiran dan tindakan yang demikian.
Oleh karena itu terhadap benda – benda berharga yang berada di dasar
laut dalam perairan Indonesia berlakukalah hukum kebendaan dimana benda
berharga tersebut terletak yaitu hukum Indonesia yang disesuaikan dengan rejim
hukum.

Hukum Agraria Nasional


Bahwa kewenagan mutlak Indonesia terhadap benda harga yang berada di
laut dalam perairannya diperkuat pula filsofi Hukum Agraria Nasional kita yang
170
170
170

dalam Penjelasan UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok–pokok


Agraria antara lain menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan
kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia.dan seluruh bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya, merupakan kekayaan nasional.
Karena itu pemilikan terhadap benda–benda, apabila dilihat dari ketentuan–
ketentuan perundang –undangan perairan nasional kita yang ada saat ini belum
secara resmi dinyatakan sebagai milik Indonesia; maka undang–undang perairan
Indonesia yang akan datang kiranya penuangnya perlu mendapat perhatian yang
sungguh – sungguh.

Hukum Perdata
Pemilikan ataupun penguasaan benda–benda berharga dasar laut dan
perairan Indonesia oleh Pemerintah Indonesia cukup pula kuatnya dasarnya.
Ketentuan–ketentuan tentang Daluwarsa dalam Bab ke Tujuh KUH Perdata
memuat ketentuan yang dapat digunakan untuk menguatkan dasar kepemilikan
Negara RI. Penguasaannya dari dahulu kala, terus–menerus dan dengan itikad
baik, setidak–tidaknya Indonesia telah menguasai benda–benda berharga di dasar
laut dan perairannya lebih dari 30 tahun. Penguasaannya dapat ditunjuk dengan
penguasaan perairan Indonesia. Dengan menggunakan TZMKO 1939. Dan jik
perairan Indonesia cukup pula kuat dasarnta. Ketentuan–ketentuan tentang
Daluwarsa dalam Bab ketujuh KUH Perdata memuat ketentuan yang dapat
digunakan untuk menguatkan dasar kepemilikan Negara RI. Penguasaannya dar
dahulu kala, terus menerus dan dengan itikad baik, setidak–tidaknya Indonesia
telah mengusai benda–benda berharga di dasar laut dan perairannya lebih dari 30
tahun. Penguasannya dapat ditunjuk dengan penguasaan perairan di Indonesia
dengan menggunakan TZMKO 1939. Dan jika perairan Indonesia dimaksud kini
sudah jauh berbeda dengan perairan pada saat lahirnya TZMKO, dihitung sejak
lahirnya Deklarasi Djuanda 1957 juga cukup alasan untuk itu.

Pemilikan Dan Penguasaan Kapal Yang Tenggelam


Demikian pula pemilikan dan penguasaan kapal yang tenggelamdi masa
silam itu atasnya berlaku pula ketentuan – ketentuan dan asas – asas yang
171
171
171

diuraikan dalm butir – butir 7,8,9 dan 10 diatas. Juga apabila dilihat dari segi
pewarisan penguasa di negeri ini ataupun ada pihak yang merasa mengaku
berhak atasnya, maka alasannya untuk itu adalah alasan yang mengada – ada.

Mekanisme Pengangkutan dan Pemanfaatan Benda – Benda Berharga.


Mekanisme bagaiman tata cara yang harus ditempuh guna mengangkat
dan memanfaatkan benda–benda berharga di dasar laut dalam perairan Indonesia
sudah terutang di dalam Keputusan Presiden RI Nomor 43 tahun 1989 tentang
Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal MUtan
Kapal Tenggelam, kemudian diikuti Keputusan Panitia Nasional Pengangkatan
dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam Nomor :
Kep–4 / PN/BMKT/12/1989 tentang Cara Pemberian Izin/ Security Clearance
Dalam Rangka Kegiatan Pengambilan Dan Pemanfaatan Benda – Benda
Berharga Yang Merupakan Muatan Kapal–Kapal Yang Tenggelam Dalam
Perairan Indonesia.
Bila kita simak ketentuan–ketentuan yang ada tentang tata cara
pengangkatan dan pemenfaatan benda–benda berharga dimaksud diatas berulah
benda–benda berharga di maksud di atas barula meliputi benda–benda tenggelam
di masa silam dan yang merupakan muatan kapal–kapal VOC, Spanyol, Portugal
dan dari kapal–kapal ex Perang Dunia ke II, yang telah tenggelam dalam perairan
Indonesia. Namun suatu hal yang perlu menjadi catatan bahwa keputusan–
keputusan dimaksud di atas jika kita pelajari dengan seksama bagaiman caranya
menangani masalah pengangkatan dan pemanfataan benda–benda berharga
tersebut telah melakukan pendekatan dengan menganut asas perbuatan kesatuan
nasional, asas keterpaduan, asas kepentingan nasional dan asas integritas
wilayah nasional.
Bagaimana sikap kita terhadap benda–benda berharga di Zona tambahan
Indonesia, di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia/Landas Kontinen Indonesia
belumlah ada. Dari uraian di atas tadi cukup alasan bagi pemerintah RI untuk
menetapkan pengaturan pengangkatan dan pemanfaatannya, setidak – tidaknya
dalam upaya melindungi benda – benda berharga tersebut baik untuk kepentingan
Indonesia sendiri maupun kepentingan umat manusia seleuruhnya. Di Zona
tambahan jelas sudah, bahwa pengangkatan dan pengangkutan benda–benda
172
172
172

tersebut minimal harus seijin dan kerja sama dengan Pemerintah RI karena
pengankatan dan tentunya nanti juga pengangkutannya berada dalam yurisdiksi
RI berkaitan dengan imigrasi, fiscal, bea cukai dan sanietr sedangkan bagi benda–
benda berharga di Zona Ekonomi Eksklusif setidak–tidaknya akan menyangkut
masalah izin mengadakan riset dan survey dikawasan itu dalam upaya
eksplorasinya atau mengeksploitasnya maka tidak seorang pun dapat melakukan
kegiatan dimaksud tanpa persetujuan yang jelas tegas dari pemerintah RI ( vide
pasal 77 ayat 2 KHL 1982 ).
Pemilikan ataupun penguasaan benda–benda berharga yang terdapat di
dasar laut dalam perairan Indonesia adalah sepenuhnya di tangan Pemerintah RI
sebagai wakil Negara dan bangsa Indonesia tidak dapat dipungkiri. Tata cara
pengangkatan dan pemanfaatannya telah cukup diatur dalam Keppres RI No. 13
Tahun 1989. Keputusan Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda
Berharga Asal Muatan Kapal yang tenggelam Nomor : Kep – 4 / PN/BMKT/12
1989 dan Keputusan Menhankam RI Nomor : Kep/12/VI/1989 tentang tata cara
Pemberian ijin/Security Clearance Dalam Rangka Kegiatan Pengambilam dan
Pemanfaatan benda – benda berharga di Zona Tambahan dan di Landas Kontinen
belumlah ada dan pemikirankita tidak ada kelirunya diarahkan bagi terwujudnya
pengaturan yang demikian. Pengangkatandan pemanfaatan benda – benda
berharga di Zona Tambahan harus seijin dan kerjasama dengan pemerintah RI,
yurisdiksi nasional Indonesia di Zona tambahan terkait dengan ketentuan imigrasi,
fiskal, bea cukai dan saniter. Di ZEE Indonesia/ landas Kontinen Indonesia
pengangkatan dan pemanfaatannya harus dengan ijin dan kerja sama pemerintah
RI minimal untuk perlindungannya bagi kepentingan Indonesia dan umat manusia
seluruhnya memerlukan pengaturan.

C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
meteri pembelajaran 12 dan 13 dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhir
perkuliahan yang dikemas dalam beberapa pertanyaan, seperti :
1. Sampai sejauh mana hak Negara Republik Indonesia atas benda –
benda tersebut ?
2. Benda – benda itu milik siapa ?
173
173
173

3. Siapa yang berwenang mengeluarkan izin untuk melakukan


pengangkatan dari dasar laut ?
4. Manfaatnya untuk siapa ?

Daftar Bacaan
Bill ST John Wilkes, Nautical Archaelogy A Handbook. New Ton Abbot:
David & Charles, 1971.
C.L van der pijl–Ketel (editor), The Ceramic Load of the Witte Leeuw (1613),
Amsterdam: Rijkmuseum Amsterdam., Tanpa tahun.
George F. Bass, Archaelogy Beneat The Sea. Harper Colophon Books.
New York, London, 1975.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Sejarah Perkembangan Hukum Laut
dan Kaitannya dengan Hukum Internasional.
Mochtar Kusumaatmadja, Bahan ceramah Menteri Luar Negeri Dalam
Pengimplementasian Wawasan Nusantara”. Pada rapat kerja
Rektor Universitas /Institut Negeri Seluruh Indonesia, tanggal 28
Februari s.d 2 Maret 1979 di Jakarta.
Safri Burhanuddin, Kewenangan Derah dan Eksploitasi Sumber Daya Non
Hayati ( Paper )
Uka Tjandrasasmita, Peangkatan dan Pemanfaatan Benda – Benda
Purbakala di Dasar Laut Perairan Indonesia (Paper).
Uka Tjandrasasmita, Perlindungan Benda Cagar Budaya Nasional (Protection
Of National Vultural Heritage), Makalah untuk peserta Kursus
Perundang–undangan Lingkungan Hidup di Puncak,1985.
Konvensi Hukum laut PBB 1982
Keppres RI N0. 43 tahun 1989 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan
Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam
Beserta Implementasinya.
KEPPRES No. 43 Tahun 1989 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan
Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam.
174
174
174

BAB 14
BAHAN PEMBELAJARAN 14 dan 15

A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu XIV dan XV
bahwa “Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian, prinsip-prinsip pengelolaan
perikanan Indonesia”. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai
dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa discovery learning dengan
small group work, kuliah interaktif, dan diskusi.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta
didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut; Partisipasi dalam diskusi; Kerjasama tim;
Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 200 menit
(2 kali tatap muka) dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan
pada peserta didik.

B. Uraian
1. Desentralisasi Kelautan: Evaluasi dan Proteksi

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22/1999 (sebelum


diganti dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemda), ada dua koor yang
sangat kontras. Pertama, yang menolak pasal 3 dan pasal 10 yang mengatur
kewenangan daerah dalam pengelolaan laut. Kelompok ini dimotori HNSI,
beberapa ahli hukum laut, dan pemerintah propinsi. Argumentasi yang
mengemuka tidak jauh dari beberapa isu, khususnya seputar property right,
rezim pengelolaan sumberdaya, dan konflik nelayan. Cukup kuat anggapan
bahwa laut adalah milik negara (state property), sehingga siapapun boleh
menangkap ikan dimana saja. Tidak ada istilah laut daerah. Menurut
kelompok ini, Otonomi Daerah (Otoda) hanya akan merusak ciri laut yang
bersifat open access tersebut, serta mengganggu konsep keutuhan bangsa.
Laut adalah pemersatu dan bukan pemisah. Argumentasi lainnya, bahwa
Otda hanya membuka ruang bagi nelayan untuk mengkavling wilayahnya, dan
lalu nelayan pun punya hak untuk “mengusir” nelayan lain (exclusion rights).
Padahal, lanjut kelompok ini, ikan tidak punya “KTP”. Sehingga, anggapan
175
175
175

bahwa otoda hanya menyebabkan konflik nelayan pun berkembang.


Kelompok ini lalu diperkuat oleh Departemen Dalam Negeri, yang telah
menyiapkan konsep revisi UU tersebut. Isi revisinya mengakomodasi suara-
suara yang anti desentralisasi kelautan. Sementara itu, kalangan pengusaha
sebagian anti desentralisasi karena berkaitan dengan iklim investasi yang
tidak kondusif.38
Kedua, pada saat desentralisasi dihujat habis-habisan di Indonesia, di
jurnal-jurnal dan forum internasional konsep demokrasi kelautan justeru
disanjung-sanjung.Umumnya mereka berangkat dari fakta rusaknya
sumberdaya akibat sentralisasi manajemen sumberdaya kelautan.
Sentralisasi telah mengurangi sense of stewardship para nelayan dan
pemerimntah daerah terhadap lautnya. Di sisi lain, enforcement cost
pengelolaan oleh negara sangatlah tinggi, dan ternyata negara pun tak
mampu menanggung beban itu. Sementara itu, desentralisasi dianggap
memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
sumberdaya. Sehingga, mendorong masyarakat untuk turut bertanggung
jawab terhadap keberlanjutan sumberdaya kelautan. Konsep community
based management (CBM) dan co-management merupakan turunan dari
konsep desentralisasi tersebut. Beberapa kalangan akademisi berada
dibelakang konsep ini. Sementara kalangan bupati yang juga mendukung
desentralisasi lebih disebabkan adanya “hadiah” kewenangan baru yang
cukup besar dalam pengelolaan sumberdaya laut, dan belum sampai pada
sebuah kesadaran bahwa desentralisasi adalah jembatan bagi terwujudnya
keberlanjutan sumberdaya (resources sustainability). Hal ini terlihat dari
adanya kecenderungan sebagian bupati hanya mengejar pendapatan asli
daerah (PAD) dari sumberdaya laut, yang seringkali berseberangan dengan
perjuangan nelayan kecil.
Bagaimana sesungguhnya sejarah lahirnya keinginan terwujudnya
desentralisasi kelautan ini? Secara historis, sentralisasi itu memang
merupakan kecenderungan negara-negara di dunia pasca perang dunia II.
Jadi, pasca-kolonialisme banyak negara di dunai memiliki semangat baru

38
Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), Makassar: Fakultas
Hukum Unhas, 2007, hlm. 239-250.
176
176
176

sebagai bangsa yang merdeka yang menganggap perlu segera


menasionalisasi banyak hal, termasuk sumberdaya lautnya. Kemudian proyek
nasionalisasi ini kemudian dimanfaatkan dunia barat untuk menyukseskan
proyek modernisme,yang tidak memberikan kesempatan bagi hal-hal yang
berbau tradisional untuk berkembang. Kombinasi nasionalisasi dan
modernisasi semakin mengukuhkan peran pemerintah pusat dalam mengelola
laut, sementara masyarakat lokal dianggap tidak bisa mengelola sumberdaya
karena orang lokal dianggap tidak punya ilmu untuk itu. Ternyata ilmu
manajemen sumberdaya pun dimonopoli pusat. Jadi, kalangan yang pro
sentralisasi kelautan secara ideologis masih terperangkap ideologi
modernisme yang memang tumbuh subur selama Orde Baru.

2. Pengaturan Pengelolaan Sumber Daya Alam Perikanan39

1. Ruang Lingkup Hukum Nasional

a. Aspek pemanfaatan.
Norma hukum tentang pemanfaatan sumber daya alam perikanan,
pertama-tama harus dicari dalam UUD 1945 sebagai sumber hukum yang
berkedudukan di puncak piramida hirearki perundang-undangan,
sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang
Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundang-
undangan. Dalam Ketetapan MPRS ini, ditentukan bentuk-bentuk dan tata
urutan perundang-undangan, sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR).
3. Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(UU/Perpu).
4. Peraturan Pemerintah (PP).
5. Keputusan Presiden (Keppres).

39
Sudirman Saad, Politik Hukum Perikanan Indonesia. (Jakarta: Dian Pratama Printing, 2003).
Hlm. 67-83.
177
177
177

6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti Peraturan Menteri dan


Instruksi Menteri.
Di dalam UUD 1945 Pasal 33, ditentukan kerangka normatif tentang
bagaimana seharusnya sumber daya alam (termasuk di dalamnya sumber
daya alam perikanan) dimanfaatkan. Terdapat tiga norma hukum yang
ditetapkan. Pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas asas kekeluargaan. Kedua, cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasiai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh negara. Ketiga, negara memiliki hak menguasai atats segenap sumber
daya alam, dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ketiga norma hukum tersebut, dalam penjelasan resminya diterngkan
bahwa pasal 33 mengandung dasar demokrasi ekonomi, yaitu produksi
dikerjakan oleh semua dan untuk semua di bawah pimpinan anggota-anggota
perseorangan. Karena itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan. Bentuk perusahaan yang sesuai dengan
karakteristik demokrasi ekonomi ini ialah koperasi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, koperasi dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 orang dengan
akta pendirian yang memuat anggaran dasar. Agar koperasi tersebut
memperoleh status badan hukum, maka akta pendiriannya harus
mendapatkan pengesahan dari pemerintah. Pengesahan akta pendirian ini
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Koperasi sebagai badan hukum dapat melakukan berbagai usaha yang
berkaitan langsung dengan kepentingan anggota. Selain itu, koperasi juga
dapat melaksanakan kegiatan usaha simpan pinjam, sebagaimana halnya
lembaga keuangan. Namun, kegiatan simpan pinjam ini hanya terbatas dalam
lingkungan anggota.
Dalam menjalankan kegiatan, prinsip koperasi dijalankan sebagai berikut :
1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka;
2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis;
3. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan
besarnya jasa usaha masing-masing anggota;
4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal;
178
178
178

5. Kemandirian.
Diterangkan lebih jauh dalam penjelasan resmi pasal 33 UUD 1945
bahwa demi mengamankan demokrasi ekonomi yang bertujuan mewujudkan
kemakmuran bagi semua orang, maka cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai
oleh negara. Dengan cara demikian, diharapkan tampuk produksi tidak jatuh
ke tangan orang seorang yang berkuasa, dan rakyat yang banyak ditindasnya.
Hanya, sektor-sektor yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh
ada di tangan orang-seorang
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah
sumber-sumber kemakmuran rakyat. Karena itu, segenap sumber daya alam
tersebut harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, UUD 1945 juga
mengatur mengenai sistem pemerintahan daerah (pasal 18). Dalam
penjelasannya disebutkan bahwa didalam wilayah Negara Indonesia terdapat
lebih kurang 250 zelfbestuterende landschappen dan volksgemeenschappen,
seperti desa di Jawa dan Bali, Negeri di Minangkabau, dusun serta marga di
Palembang. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daereah-
daerah istimewa tersbut, dan segala peraturan negara mengenai daerah-
daerah istimewa tersebut, dan segala peraturan negara mengenai daerah-
daerah itu akan memperhatikan hak-hak asal-usul daerah yang bersangkutan.
Ketentuan sistam pemerintahan tersebut di atas, memiliki arti penting
manakala dihubungkan dengan UUPA, terutama mengenai hak ulayat. Pasal
tiga UUPA menyebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa
itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi.
Penjelasan umum UUPA (II-3), menerangkan bahwa pengakuan hak
ulayat didasarkan pada dua pangkal pikiran. Pertama, keberadaan hak ulayat
diakui dalam hukum agraria nasional. Pengakuan ini dilatarbelakangi oleh
179
179
179

pengalaman masa penjajahan, yang ketika itu, meski hak ulayat nyata-nyata
ada, berlaku, dan diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim,
tetapi tidak satupun peraturan perundang-undangan mengakuinya secara
resmi. Konsekuensinya, dalam pelaksanaan hukum, hak ulayat lebih sering
diabaikan.
Pengakuan secara resmi hak ulayat dalam UUPA, mengandung makna
bahwa kepentingan masyarakat hukum yang menjadi pendukung hak ulayat
itu, akan diperhatikan. Misalnya ketika akan diberikan HGU kepada suatu
badan usaha, maka masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan
didengarkan pendapatnya dan akan diberikan recognitie sebagai tanda
pengakuan dan perlindungan hukum bagi masyarakat pendukung hak ulayat.
Pangkal pikiran kedua yang melatarbelakangi pengakuan hak ulayat
dalam UUPA adalah kenyataan yang berkenaan dengan pembangunan
daerah. Selama ini (sebelum tahun 1960), pembangunan di daerah-daerah
sering terhambat karena mendapat kesukaran dari masyarakat hak ulayat.
Oleh karena itu, dengan pengaturan hak ulayat dalam UUPA, maka
masyarakat hukum adat yang menjadi pendukung hak ulayat tidak dibenarkan
menghalang-halangi pelaksanaan pembangunan sektoral, seperti pemberian
HGU. Kepentingan masyarakat hukum adat harus tunduk pada kepentingan
nasional dan negara. Namun tidak berarti kepentingan masyarakat adat
terabaikan sama sekali. Selain ketentuan hak ulayat, dalam UUPA juga masih
dijumpai beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber
daya perikanan. Pertama-tama mengenai pengertian istilah air, yang
mencakup baik perairan pedalaman maupun wilayah laut (pasal 1 ayat 5).
Kemudian diatur lebih lanjut bhwa bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Wewenang yang
bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut digunakan untuk
mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum
Indonesia. Hak menguasai dari negara ini, pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sesuai keperluan
(pasal 2 UUPA).
180
180
180

Hukum agraria berlaku di atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia, serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-
undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu
dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama
(pasal 5 UUPA). Ketentuan ini mencerminkan politik hukum agraria nasional
yang meskipun bertujuan untuk menciptakan suatu kesatuan dan
kesederhanaan hukum, tetapi tetap memberi ruang hidup bagi hukum adat
yang pada kenyataannya sanga majemuk.
Karakteristik politik hukum agraria tersebut, tercermin pula dalam
berbagai pasal lainnya, seperti pasal 16 dan penjelasan umum UUPA. Di
dalam penjelasan umum (III-1), dinyatakan bahwa hukum agraria harus
sesuai dengan kesadaran hukum rakyat, dan karena rakyat sebagian besar
tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria tersebut harus didasarkan
pada hukum adat sebagai hukum asli. Namun demikian, hukum adat harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan masyarakat dalam
negara modern dan dalam hubungan negara Internasional. Hal yang terakhir
ini, penting karena hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas dari
pengaruh politik karena hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas
dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan
masyarakat swapraja yang feodal.
Penjelasannya pasal 16, antara lain, menegaskan bahwa sesuai asas
yang diletakkan dalam pasal 5, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air
didasarkan pula atas sistematika hukum adat. Permasalahannya kemudian
adalah hukum adat manakah yang sesuai dengan politik hukum agraria
nasional tersebut. Untuk pernyataan ini, Seminar Hukum Adat dan
Pembangunan Hukum Nasional tahun 1975 di Yogyakarta menyimpulkan :
Maka tidak ada alasan meragukan bahwa yang dimaksudkan UUPA dengan hukum
adat itu adalah : hukum aslinya golongan rakyat pribumi, yang merupakan hukum yang
hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional asli, yaitu sifat
kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh
suasana keagamaan.

Ikhwal defenisi hukum adat tersebut, perlu diberikan catatan bahwa di


berbagai daerah dijumpai hukum adat yang tertulis dalam aksara-aksara
181
181
181

daerah. Sebagai contoh dapat disebutkan hukum pelayaran dan perniagaan


Ammanagappa yang berlaku dikalangan saudagar dan pelaut Bugis di
Sulawesi Selatan.40
Segala usaha bersama di sektor agraria didasarkan pada kepentingan
bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau
bentuk-bentuk gotong royong lainnya. Negara dapat bersama-sama dengan
pihak lain menyelenggarakan usaha-usaha di sektor agraria (pasal 12 UUPA).
Secara khusus, bahwa UUPA menyebutkan suatu bentuk hak yang
berkaitan langsung dengan masalah perikanan, yaitu HPPI (pasal 16 ayat 2b
dan pasal 47 ayat 2). Sementara itu, di dalam UU Perikanan, aspek
pemanfaatan sumber daya alam perikanan sudah lebih teknis. Beberapa
istilah akan dikemukakan sebagai berikut (pasal 1):
1. Perkanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya ikan.
2. Pengelolaan sumber daya ikan adalah semua upaya yang bertujuan agar
sumber daya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung
terus menerus.
3. Pemanfaatan sumber daya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan dan /
atau pembudidayaan ikan.
4. Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum
untuk menangkap atau membudidayakan ikan, termasuk kegiatan
menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial.
5. Penangkapan ikan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan
di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara
apapun, termasuk kegiatanyang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah, atau
mengawetkannya.
6. Alat penangkap ikan adalah sarana dan perlengkapan atau benda-benda
lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan.

40
Ph.D.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amana Gappa, Makassar: Yayasan
Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1961.
182
182
182

7. Kapal perikanan adalah kapal atau perahu atau alat apung lainnya yang
dipergunakan untuk mrlakukan penangkapan ikan, termasuk untuk
melakukan survai atau eksplorasi perikanan.
8. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan
ikan.
Wilayah perikanan Indonesia meliputi (1) perarian Indonesia, (2)
sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya di dalam wilayah
Republik Indonesia, dan (3) zona ekonomi ekslusif (pasal 2 UU perikanan).
Sementara wilayah perairan Indonesia, menurut Undang-Undang Nomor. 6
Tahun 1996 tentang perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan
kepulauan, dan perairan pedalaman. Laut teritorial (territorial sea) Indonesia
adalah jalur laut selebar 12 mil yang diukur dari garis pangkal kepulauan
Indonesia. Perairan kepulauan (archipelagic waters) Indonesia adalah semua
perairan yang terletak pada sisi garis pangkal lurus kepulauan tanpa
memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Perairan pedalaman
(internal waters) Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi
darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk didalamnya
semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis
penutup (pasal 3). Ketentuan-ketentuan tersebut, bersesuaian dengan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa dalam Hukum Laut.
Selanjutnya, pengertian sungai, danau, dan waduk diatur dalam PP
Nomor 35 Tahun 1991 tentang sungai. Dalam PP ini, sungai didefenisikan
sebagai tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan air mulai dari mata
air sampai muara dibatasi kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh
garis sempadan (pasal 1 ayat 1). Adapun danau didefenisikan sebagai bagian
dari sungai yang dalam dan kedalamannya secara alamiah jauh melebihi
ruas-ruas lain sungai yang bersangkutan (pasal 1 ayat 2). Waduk
didefenisikan sebagai wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya
bangunan sungai, dalam hal ini bangunan bendungan, dan berbentuk
pelebaran alur/badan/palung/sungai (pasal 1 ayat 3).
Rawa, sebagaimana diatur dalam PP No. 27 Tahun 1991 tentang rawa,
adalah lahan genangan air secara alamiah secara terus menerus atau
183
183
183

musiman akibat drainase alamiah yang trerhambat serta mempunyai ciri-ciri


khusus secara fisik, kimiawi, dan biologis (pasal ayat 1).
Zona ekonomi ekslusif Indonesia (ZEEI) diatur secara khusus dalam
undang-undang No.5 Tahun 1983 tentang ZEEI. Dalam undang-undang ini,
disebutkan bahwa ZEEI adalah jalur diluar dan berbatasan dengan laut
wilayah Indonesia, yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air
diatasnya dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut
wilayah Indonesia (pasal 2).
Setiap usaha perikanan di wilayah perikanan Indonesia, hanya boleh
dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum
Indonesia. Pengecualian terhadap ketentuan ini hanya dapat diberikan dalam
bidang penangkapan ikan, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban
negara Republik Indonesia berdasarkan ketentuan persetujuan internasional
atau hukum internasional yang berlaku (pasal 9 UU Perikanan).
Masih berkaitan dengan aspek pemanfaatan sumber daya alam
perikanan, dalam undang-undang Penataan Ruang, terdapat beberapa
ketentuan yang relevan. Diantaranya, mengenai pembagian kawasan, yang
segi fungsi utamanya dibagi menjadi kawasan lindung dan kawasan budi
daya.
Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup, yang mencakup sumber daya
alam dan sumber daya buatan (pasal 1 ayat 7), sedangkan kawasan budidaya
adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan
atas dasar kondisi atau potensi sumber daya alam, sumber daya manusia,
sumber daya buatan (pasal 1 ayat 8).
Pemanfaatan ruang harus selalu mengikuti rencana tata ruangyang
telah ditetapkan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
(Pasal 15; Pasal 19-23). Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang, dinyatakan batal oleh instansi yang memberikan izin
tersebut. Apabila izin itu diperoleh dengan itikad baik, maka terhadap kerugian
yang timbul akibat pembatalan izin tersebut, dapat dimintakan penggantian
yang layak (Pasal 26).
184
184
184

Khusus wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai, maka kewenangan
eksplorasi dan eksploitasi berada di tangan pemerintah daerah. Pada tingkat
daerah, kewenangan itu dibagi lagi, yakni sepertiga dari luas wilayah menjadi
kewenangan daerah kabupaten atau daerah kota dan duapertiga sisanya
merupakan kewenangan daerah provinsi (Pasal 10 UU Pemerintahan
Daerah). Bahkan, di dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 telah diatur secara lebih
spesifik bahwa kewenangan pemerintah pusat terbatas pada aspek-aspek
kelautan diluar 12 mil (Pasal 2 ayat (3) butir 2).
Untuk tidak mengulangi kesalahan pelaksanaan otonomi daerah masa
lalu, yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka dalam UU
Pemerintahan Daerah ini, pemberian otonomi kepada daerah kabupaten dan
daerah kota didasarkan pada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi
yang luas, nyata, dan bertanggung jawab (Penjelasan Umum 1 butir h).
Dijelaskan pula bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, maka
kewenangan keuangan yang melekat pada setiap kewenangan pemerintah
pusat menjadi kewenangan daerah (Penjelasan Umum 8 butir 2). Penjelasan
ini memiliki implikasi bagi pelaksanaan perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah.
Di dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, disebutkan bahwa sumber-sumber
penerimaan daerah dalam pepelaksanaan desentralisasi adalah :
1. Pendapatan asli daerah;
2. Dana perimbangan;
3. Pinjaman daerah;
4. Lain-lain penerimaan yang sah (Pasal 3).
Berkaitan dengan pengelolaan laut sejauh 12 mil, maka dapat
ditafsirkan bahwa seluruh penerimaan keuangan dari sumber daya alam
tersebut merupakan pendapatan asli daerah. Sementara itu, penerimaan
negara yang bersumber dari pengelolaan laut di luar 12 mil, sejauh
menyangkut sektor perikanan, dibagi dengan imbangan 20 % untuk
pemerintah pusat dan 80 % untuk daerah (Pasal 6 ayat 5). Dijelaskan lebih
lanjut bahwa 80 % dari pungutan pengusahaan perikanan dan pungutan hasil
185
185
185

perikanan dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota di


Indonesia (Penjelasan Pasal 6 ayat (5) butir c).

b. Aspek konservasi.
Ketentuan-ketentuan umum mengenai konservasi sumber daya
alam, termasuk sumber daya alam perikanan, dapat ditemukan dalam
Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan perlindungan
Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UUPPLH). Di dalam UUPLH ini,
diatur kerangka dan arah kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, yang
penjabarannya masih memerlukan peraturan perundang-undangan lebih
rendah. Sesuai dengan keperluan, maka beberapa aspek yang diatur dalam
UUPPLH tersebut, seperti konsep-konsep yang digunakan, kelembagaan dan
kewenangannya serta mekanisme penyelesaian sengketa yang muncul, akan
diberi perhatian khusus. Pertama-tama diawali dengan penjelasan beberapa
konsep yang relevan, sebagai berikut :
1. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup, yang meliputi kebijaksanaan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (Pasal 1 angka 2).
2. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan
hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk
menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi
masa kini dan generasi masa depan (Pasal 1 angka 3).
3. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan
kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan
hidup (Pasal 1 angka 4).
4. Sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas
sumber daya manusia, sumber daya alam, baik hayati maupun
nonhayati, dan sumber daya buatan (Pasal 1 angka 10).
5. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau
dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain
186
186
186

ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga


kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu, yang menyebabkan
lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukannya (Pasal 1 angka 12).
6. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau
hayatinya, yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi
dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (Pasal 1 angka 14).
7. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya
alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara
bijaksana, serta sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin
kesinambungan ketersediaannya, dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya (Pasal1
angka 15).
8. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka
16).
9. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terbentuk
atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, yang
tujuan dan kegiatannya di bidang lingkungan hidup (Pasal 1 angka
22).
Ikhwal kelembagaan dan kewenangannya dalam pengelolaan
lingkungan hidup, dalam UUPPLH ditentukan bahwa segenap sumber daya
yang merupakan unsur lingkungan hidup dikelola oleh pemerintah sebagai
institusi yang mewakili negara. Untuk melaksanakan ketentuan ini, pemerintah
menetapkan kebijaksanaan yang berhubungan dengan pengelolaan
lingkungan hidup. Di dalam pasal 8 ayat (2) dirinci kebijaksanaan yang dapat
diambil pemerintah, sebagai berikut.
1. Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup.
2. Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan
lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam,
termasuk sumber daya genetika.
187
187
187

3. Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang


dan/atau subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap
sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya
genetika.
4. Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial.
5. Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi
lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Segenap kebijaksanaan yang akan ditetapkan pemerintah, harus
memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat. Pelaksanaan kebijaksanaan yang sudah ditetapkan, pada
tingkat nasional di-koordinasikan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan
melibatkan instansi pemerintah terkait, masyarakat, serta pelaku
pembangunan lainnya (Pasal 9 ayat 1 dan 2).
Kewenangan pemerintah pusat tersebut, dapat dilimpahakan-sesuai
dengan keperluannya-kepada perangkat pemerintahan di bawahnya. Dapat
juga mengikutsertakan peran pemerintah daerah untuk membantu pemerintah
pusat dalam melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 12). Selain
itu, pemerintah pusat dimungkinkan pula menyerahkan sebagian urusan
pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup kepada pemerintah daerah (Pasal
13).
Untuk menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup, maka setiap
usaha atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup (Pasal 14). Bahkan, bagi usaha dan kegiatan
yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting bagi lingkungan
hidup (Pasal 15). Demikian juga, setiap penanggung jawab usaha atau
kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah, bahan berbahaya, atau
beracun hasil dari usaha atau kegiatannya (Pasal 16 dan 17).
Efektifitas kewajiban dan tanggung jawab tersebut di atas, diupayakan
melalui lekanisme perizinan, pengawasan, penjatuhan sanksi dan audit
lingkungan hidup (Pasal 18-29). Apabila terjadi sengketa lingkungan hidup,
penyelesaiannya dapat dilakukan di luar pengadilan dan melalui pengadilan
(Pasal 30).
188
188
188

UUPLH kemudian dijabarkan lebih lanjut, antara lain melalui Keputusan


Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Meskipun Keppres ini semula dimaksudkan sebagai pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup-yang dibatalkan berdasarkan Pasal 51
UUPLH-tetapi melalui ketentuan penutup (Pasal 50) UUPLH, Keppres ini
secara yuridis tetap berlaku.
Di dalam Keppres tersebut di atas, diatur kriteria tertantu sehingga
suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan lindung, yaitu kawasan yang
ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup.
Berkaitan dengan sumber daya alam perikanan, terdapat beberapa jenis
kawasan lindung yang ditentukan dalam Keppres ini, diantaranya, sempadan
pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan suaka
alam laut dan perairan lainnya, serta kawasan pantai berhutan bakau (Pasal 5
dan 6).
Perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi
wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai.
Adapun kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang
lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai minimal 100 meter
dari titik pasang tertinggi ke arah darat (Pasal 13 dan 14).
Dengan fungsi yang sama, ditetapkan pula dua kriteria sempadan
sungai, yakni (Pasal 16):
1. sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50
meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar permukiman;
2. untuk sungai yang berada di kawasan permukiman, sempadan
sungai diperkirakan antara 10-15 meter.
Untuk kawasan sekitar danau/waduk, kawasan lindungnya ditentukan
antara 50-100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat (Pasal 18).
Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya didasarkan pada kriteria
keunikan kawasan tersebut berupa keragaman dan/atau keunikan
ekosistemnya (Pasal 25).
Mengenai penyelesaian sengketa lingkungan, di dalam UUPPLH
diambil pendekatan lain, yaitu dibuka kesempatan menyelesaikan sengketa
189
189
189

lingkungan di luar pengadilan. Pendekatan baru ini dilatarbelakangi oleh


kenyataan, betapa sulitnya penyelesaian sengketa lingkungan melalui
prosedur yang dimungkinkan khususnya sebagaimana dicantumkan di dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982, yaitu upaya mencapai kata sepakat
antara pihak penderita, pencemar, dan pihak pemerintah (tripihak).
Penjelasan Pasal 32 UUPPLH, menyatakan bahwa untuk
memperlancar jalannya perundingan di luar pengadilan, para pihak yang
berkepentingan dapat meminta jasa pihak ketiga netral dengan dua bentuk
pilihan, yakni pihak ketiga netral yang berwenang mengambil keputusan dan
pihak ketiga netral yang tidak berwenang mengambil keputusan. Upaya
penyelesaian sengketa lingkungan hidup, yang disebut mediasi ini, mulai
dikembangkan di Amerika Serikat pada permulaan tahun 1970-an.
Selanjutnya, mengenai konservasi sumber daya alam hayati, telah
diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Konservasi sumber daya alam
hayati diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam hayati yang
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya. Sementara itu, ekosistem sumber daya alam
hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik
hayati maupun nonhayati, yang saling tergantung dan tergantung dan
pengaruh mempengaruhinya (Pasal 1).
Untuk kepentingan konservasi sumber daya alam perikanan,
khususnya perikanan laut, pada tahun 1985, pemerintah mengeluarkan
kebijaksanaan tentang total allowance catch (TAC) yaitu total sumber daya
ikan yang diperbolehkan untuk dieksploitasi. Melalui Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 473a/1985, pemerintah menetapkan TAC di ZEE Indonesia.
Selain itu, pada tahun 1997 Menteri Negara Lingkungan Hidup menerbitkan
dokumen Agenda 21 Indonesia, yang di dalamnya termuat MSY sebagai
acuan bagi kegiatan masyarakat. Tabel 6 memberikan gambaran
perbandingan antara MSY dan TAC yang berlaku di ZEE Indonesia.
Tabel 1. Perbandingan antara MSY dan TAC di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia

Jenis MSY TAC


190
190
190
Ikan (ton/tahun) (ton/tahun)
Tuna 87.123 75.915
Cakalang 100.225 88.884
1.115.73
Pelagis kecil 1.462.000 1
Demersal 653.432 582.731
Udang 21000
1.863.26
Total 2.323.780 1

Sumber: Data MSY bersumber dari Agenda 21 Indonesia; data TAC dari SK Mentari No. 473a/1985.

Untuk kepentingan pemanfaatan sumber daya laut yang


berkesinambungan, maka di dalam agenda 21 Indonesia diusulkan rencana
kegiatan periode 1998-2003 dan periode 2003-2020. Pada periode 1998-
2003, antara lain, diagendakan untuk mengkaji ulang MSY ikan tuna,
cakalang, ikan demersal, dan udang di wilayah pesisir dan lautan dalam
wilayah ZEE di Laut Cina Selatan, Samudera Hindia, Laut Banda, Laut
Sulawesi, Laut Timor, dan Laut Arafura. Pada periode 2003-2020, penelitian
diperluas untuk menetapkan MSY di wilayah pesisir dan lautan di seluruh
Indonesia bagian Barat dan Timur, terutama bagi ikan tuna, cakalang, ikan
demersal, udang, dan spesies-spesies lain yang secara lokal penting.

4. Konsep Hukum Perikanan


Pada saat ini pengelolaan sumber daya ikan tunduk pada domain
Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan (selanjutnya
disingkat UUP), yag merupakan acuan bagian peraturan teknis perikanan.
Salahsatu pertimbangan disusunnya UUP bahwa pengelolaan sumber daya
ikan perlu dilakukan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan dan pemerataan
dalam pemanfaatannya dengan mengutamakan perluasan kesempatan kerja
dan peningkatan hidup nelayan, pembudidayaan ikan, dan/atau pihak-pihak
yang terkait dengan kegiatan perikanan dan bahwa kelestarian sumber daya
41
ikan dan lingkungan perlu dibina. Pertimbangan yang melatarbelakangi UUP
dibuat sebagaimana disebutkan di atas, tentunya tetap mendasarkan
argumentasi pada fakta sosiologis bahwa wilayah hukum perikanan Indonesia

41
Marhaeni Ria Siombo, Hukum Perikanan Nasional dan Internasional, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2010), hlm. 23-24.
191
191
191

meliputi perairan nasional, mulai dari laut tertorial, laut, pedalaman, laut
42
kepulauan, sampai wilayah laut ZEEI.
Dalam konteks UUP, pemanfaatan sumber daya ikan merupakan hak-
hak tiap warga negara, sebagaimana diamantkan dalam Pasal 27 UUD 1945
yang menyatakan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Oleh karena itu, pemanfaatan
sumber daya ikan dapat dilakukan oleh siapa saja sepanjang ia tunduk dan
mematuhi norma dan atau kaidah sebagaimana disebutkan dalam Konstitusi
Republik Indonesia dan UUP.43
Seorang nelayan dapat menggunakan haknya untuk menangkap ikan
sebagai mata pencahariannya, akan tetapi dalam melaksanakan haknya,
nelayan tersebut wajib memperhatikan aspek-aspek kelestarian dari sumber
daya ikan yaitu melakukan penangkapan ikan yang tidak merusak lingkungan
abiotik dan biotik lainnya. Apabila kewajibannya dilanggar maka nelayan akan
mendapatkan sanksi hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang
mengatur.44
Dalam konteks yang lebih umum kemudian, Pasal UUP menyatakan
bahwa “pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan
pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan
lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat”. Pasal ini dimaksudkan
untuk memberian guideline kepada pemerintah sebagai penyelenggara
pemerintahan agar dalam pengelolaan, manajemen, dan regulasi, keberadaan
masyarakat lokal dengan kearifannya tentap mendapat pengakuan.45

5. Hak Penggunaan Wilayah untuk Perikanan


1. Peluang dan Tantangan
Situasi terkuncinya sumber daya alam perikanan, khususnya di
daerah perikanan tropis, telah dibahas oleh Smith (1979), Troadec (1981),
dan Panayotou (1982). Semuanya mengusulkan jalan keluar berupa
kontrol atas akses dan penggunaan sumber daya. Hak penggunaan
42
Sudirman Saad, loc.cit.
43
Marhaeni Ria Siombo, op.cit, hlm. 28.
44
Ibid, hlm. 29.
45
Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), (Makassar: Fakultas
Hukum Unhas, 2007), hlm. 242.
192
192
192

wilayah untuk perikanan (HPWP)- yang merupakan terjemahan dari


territorial use rights in fisheries (TURFs)-adalah solusi konkret yang
disarankan oleh kalangan ahli perikanan, sesudah pengelolaan sumber
daya alam perikanan di bawah rezim ”milik bersama” atau ”keterbukaan
akses” terbukti, mengalami berbagai kegagalan. Setidaknya, saran yang
demikian itu tercermin dalam tulisan-tulisan Christy (1982), Smith dan
Panayotou (1984), serta Delmendo (1993).
Paling sedikit, terdapat empat akibat nyata yang timbul dari situasi
”milik bersama”.46 Pertama, keadaan ”milik bersama” telah merangsang
bangkitnya naluri serakah para nelayan sehingga tidak seorang pun di
antara mereka bersedia membatasi hasil tangkapannya demi tujuan-tujuan
yang lebih besar, seperti untuk kelestarian sumber daya alam. Dalam
benak mereka, berapa pun yang disisakannya hari ini dalam rangka
tujuan-tujuan jangka panjang tersebut, akan ditangkap oleh nelayan lain
pada hari itu juga. Persediaan sumer daya alam perikanan, dengan
demikian, cenderung untuk digunakan hingga melampaui titik hasil lestari
maksimum (MSY). Bahkan, kerapkali melampaui titik keseimbangan akses
terbuka (open-access equilibrium).
Kedua, akibat tidak ada pembatasan keikutsertaan (modal dan
tenaga kerja) dalam sistem pengelolaan di bawah rezim ”milik bersama”,
maka pemborosan dalam artiekonomis tak terhindarkan. Di berbagai
tempat terjadi kecenderungan investasi yang lebih besar daripada yang
sesungguhnya dibutuhkan. Jumlah ikan yang sama atau bahkan lebih
banyak sebenarnya dapat ditangkap dengan investasi yang lebih kecil
daripada yang telah ditanam secara nyata. Dalam bahasa manajemen
dikatakan, upaya yang dilakukan telah melampaui titik hasil ekonomi
maksimal (MEY).
Ketiga, dampak dari pemborosan investasi telah menyebabkan
pendapatan rata-rata nelayan kecil berada pada atau di sekitar titik
terendah. Kemiskinan nelayan ini, memang tidak semata-mata sebagai
akibat dari manajemen sumber daya alam perikanan berbasis ”milik

46
Christy dalam Abdul Rasal Rauf, hlm. 265.
43. ibid.
193
193
193

bersama”. Ada faktor lain yang juga memberi kontribusi terhadap keadaan
tersebut, seperti faktor sosial dan kultural. Namun, sekiranya ke-
ikutsertaan dalam perikanan itu dibatasi dengan menghilangkan keadaan
”milik bersama”, maka akan diperoleh suatu bunga ekonomi (economic
rent) atau bunga sumber daya (resource rent). Bunga ekonomi ini-yang
merupakan selisih antara penerimaan total (total revenues) dan biaya total
(total costs)-akan dibagi di antara nelayan sehingga pendapatan mereka
meningkat.
Keempat, rezim ”milik bersama” juga telah menyebabkan pertikaian
di antara nelayan. Pertikaian itu berwujud dalam berbagai bentuk, yaitu (1)
antara nelayan yang menangkap jenis ikan yang sama dan menggunakan
alat tangkap yang sama pula, (2) antara nelayan yang menangkap jenis
ikan yang tidak sama, tetapi menggunakan alat tangkap yang sama,
seperti antara nelayan kecil dengan nelayan besar, dan (3) anatara
nelayan yang menangkap jenis ikan dan menggunakan alat tangkap yang
tidak sama, tetapi melakukan kegiatan penangkapan di daerah yang sama,
seperti antara nelayan pukat harimau yang bergerak (mobile trawlers)
dengan nelayan jaring menetap (fixed nets) atau perangkap (pots).47
Satu-satunya akibat positif dari manajemen perikanan yang berbasis
”milik bersama”, adalah dapat menyediakan kesempatan kerja ketika
alternatif pekerjaan di sektor lain sudah tertutup sama sekali. Namun,
keuntungan ini hanya bersifat jangka pendek sebab begitu kesempatan
kerja di sektor lain terbuka kembali, mereka akan meninggalkan sektor
perikanan.
Keadaan buruk yang ditimbulkan manajemen perikanan berbasis
”milik bersama” inilah yang merupakan latar belakang ditawarkannya
HPWP sebagai solusi yang patut dipertimbangkan dengan sunguh-
sungguh. Perdebatan yang kemudian mengemuka di kalangan ahli
perikanan, ialah bagaimana HPWP itu dilembagakan dalam perundang-
undangan yang akan mengikat semua orang. Dalam konteks ini, sedikitnya
dua persoalan hukum sangat relevan, yakni siapa subjek dan bagaimana
bentuk-bentuk haknya.

47
Ibid. hlm. 266.
194
194
194

Sepanjang penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan, belum


satupun ahli hukum yang menaruh perhatian serius berkaitan dengan
persoalan tersebut di atas. Gagasan-gagasan yang berkembang saat ini,
umumnya, datang dari para ahli sosial ekonomi perikanan sehingga
penggunaan terminologi hukum yang ditawarkan, sering kurang cermat
dan tidak konsisten. Hal ini secara terus terang diakui oleh mereka, seperti
tercermin dalam kutipan berikut :
This discussion of the rights distinguishes TURFs from common
property proceeds from an economic point of view. That is, the rights
that are mentioned are those that are considered necessary to
achieve economic efficiency. The author is fully aware that the
discussion maybe legally faulty and has deficiencies but hopes that
the faults and deficiencies will provoke legal scholars to address the
problem of providing property rights to the users of marine fisheries.48

Penjelasan-penjelasan selanjutnya, akan menunjukkan bahwa


intervensi ahli hukum dalam upaya merumuskan aspek hukum dan
kelembagaan dari sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
alam perikanan, kini tidak dapat ditunda lagi. Keterlibatan ahli hukum
diharapkan bermakna jamak. Di satu pihak, formulasi hukum yang akan
dirumuskan tentu lebih komprehensif sehingga besar kemungkinan akan
memberikan kepastian hukum bagi pelaku dan pengguna sumber daya
alam perikanan. Di pihak lain, dengan aturan yang pasti, ekonomi
perikanan akan semakin bergairah, terutama karena arus investasi dan
modal akan meningkat serta menyebar secara adil kepada segenap
pelaku dan pengguna sumber daya alam perikanan.
Namun demikian, penegakan HPWP bukannya tanpa kesukaran,
baik dari segi ekonomi maupun dari segi karakteristik biologis sumber daya
alam perikanan. Secara umum terdapat tiga faktor yang menjadi hambatan
dalam upaya penegakan sistem HPWP.
Pertama, dari segi ekonomi umumnya dikatakan bahwa kesukaran
untuk memberlakukan HPWP karena biaya (costs) untuk memperoleh dan
mempertahankannya lebih besar daripada kegunaan (benefits) yang
diperoleh. Keadaan ini berlaku, jika biaya dan kegunaan semata-mata

48
Ibid. hlm. 268
195
195
195

didekati secara ekonomi. Keadaannya mungkin akan lain sama sekali


apabila aspek sosial, politik, dan kultural dapat diperhitungkan. Sistem
konsesi penangkapan bibit ikan (milkfish) yang diterapkan di beberapa
profinsi di Filipina, telah terbukti menaikkan tingkat efisiensi ekonomi
penggunaan sumber daya sekaligus memberikan kontribusi berarti
terhadap peningkatan pendapatan daerah setempat.
Kedua, dari sisi karakter sumber daya alam perikanan yang
berpindah-pindah (fugitive resources). Tidak ada suatu negara, kelompok
masyarakat, dan perorangan yang mampu mencegah orang untuk
menggunakan persediaan suatu kelompok ikan yang berenang sejauh
beribu-ribu mil, seperti beberapa jenis ikan tuna. Tentu saja, faktor ini
hanya berlaku terhadap sumber daya alam perikanan yang bergerak
sehingga peluang penerapan HPWP masih tetap terbuka bagi sumber
daya alam perikanan yang relatif menetap, seperti beberapa jenis ikan
karang atau rumput laut.
Ketiga, faktor kepentingan negara Atlantik Utara untuk
mempertahankan konsep ”milik bersama”. Secara historis, konsep ”milik
bersama” merupakan tradisi yang tumbuh dari kebudayaan Atlantik Utara.
Dalam doktrin masyarakat Atlantik Utara, siapa pun mempunyai hak-
kerapkali bahkan diklaim sebagai hak asasi-untuk menangkap ikan di
mana saja yang disukainya, dan karena itu tidak boleh dibatalkan dengan
cara pengaturan, seperti pembatasan keikutsertaan atau kuota nelayan.
Tradisi ini, niscaya mempengaruhi para penasihat perikanan dari negara-
negara Atlantik Utara untuk memberi dorongan supaya mengabaikan
sistem hak-hak khusus yang mereka ketahui ada di negara-negara
berkembang.
Sementara itu, dari sisi hukum, hambatan penegakan HPWP
diperkirakan bersumber dari persepsi masyarakat, khususnya pihak-pihak
yang memiliki otoritas dalam proses produksi hukum, yang masih dominan
melihat sumber daya laut sebagai aset ”milik bersama”. Hambatan yang
lain, bersumber dari prosedur produksi dan subtansi hukum. Prosedur
perancangan dan pembahasan produk hukum, khususnya UU dan PP,
belum membuka peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Demikian
196
196
196

pula, hingga kini belum ada satu produk hukum pun yang mengatur
mengenai HPWP, baik secara implisit maupun eksplisit.

2. Ruang lingkup HPWP


HPWP hingga tahap tertentu menghilangkan keadaan ”milik
bersama”. Namun, HPWP tidaklah menyangkut pemilikan sumber daya
alam (ownership of the resource), melainkan pemilikan suatu haka
penggunaan (ownership of a right of use).
Merumuskan ruang lingkup HPWP, bukan pekerjaan mudah karena
sifat laut yang bermatra tiga dan cairnya perantara dan sumber dayanya.
Juga terdapat kesukaran membuat generalisasi, mengingat tanggapan
budaya yang berbeda-beda mengenai pemilika pada masyarakat yang
berlainan. Akan tetapi, pada tarap permulaan, beberapa jenis hak tertentu
perlu diberlakukan agar HPWP berhasil guna.
Hak-hak tertentu tersebut adalah hak untuk menghalangi atau
mengawasi keikutsertaan orang lain dalam wilayah HPWP. Hak lainnya
ialah kewenangan menetapkan banyaknya dan jenis penggunaan sumber
daya alam dalam wilayah HPWP. Hak yang lainnya lagi ialah hak untuk
mengambil kegunaan (benefits) dari pemanfaatan sumber daya alam
dalam wilayah HPWP. Kegunaan tersebut, dapat diambil melalui penarikan
pungutan dari pengguna sumber daya alam, atau melalui persewaan atau
penjualan hak-hak itu.
Wilayah yang tercakup dalam suatu HPWP, dapat mengenai
permukaan, dasar, atau seluruh lajur air pada suatu daerah tertentu. Luas
wilayah berbeda menurut jenis sumber daya alam yang dimanfaatkan dan
sifat-sifat geografisnya. Sumber daya alam itu harus cukup besar sehingga
penggunaan di luar wilayah itu tidak mengurangi secara nyata nilai
penggunaan di dalam wilayah HPWP. Wilayah itu hendaknya dengan
mudah dapat dipertahankan dan dilindungi oleh hukum serta kelembagaan
negara. Oleh karena itu, batas-batas wilayah HPWP harus diberi tanda
yang jelas dan mudah dikenali.
Elemen HPWP tersebut, tidak perlu berarti bahwa wilayah itu harus
mencakup seluruh persediaan ikan sepanjang gerakan migrasinya. Suatu
197
197
197

HPWP bersifat khusus untuk tempatnya. Misalnya, suatu wilayah yang


ditempati memasang alat pengumpul ikan, dapat menjadi dasar HPWP
yang berhasil guna, walaupun wilayah itu hanya meliputi beberapa mil
persegi saja untuk persediaan ikan yangberenang dalam daerah ribuan
mil. Demikian pula, hak menggunakan jaring pantai dapat merupakan
dasar bagi HPWP yang berhasil guna, walaupun jaring tersebut dipakai
untuk menangkap persediaan ikan pelagis yang bermigrasi sepanjang
pesisir. Unsur penting disini bukanlah tingkat wilayah cakupan dari
persediaan sumber daya alam perikanan (the degree of conslure of the
stock), tetapi tingkat terdapatnya nilai yang berkaitan di wilayah itu (the
degree to which there is a value associated with the territory).
Terdapat sejumlah keadaan penting yang berkaitan erat dengan
upaya pembentukan dan pemeliharaan HPWP, yaitu sifat sumber daya
alam, penentuan batas-batas, teknologi yang digunakan, faktor
kebudayaan, distribusi kekayaan, serta sistem pemerintahan dan institusi
hukum.
Pertama, sifat sumber daya alam perikanan. Ada beberapa sifat
sumber daya alam yang mempunyai pengaruh terhadap efektifitas
potensial dan nyata dari HPWP. Jenis ikan yang menetap dapat dengan
mudah dijadikan pokok pembentukan HPWP. Demikian pula, terhadap
jenis ikan yang dapat dipelihara pada tempat tertutup, seperti kurungan
ikan dan keramba. Jenis ikan lainnya yang memudahkan pembentukan
dan pemeliharaan HPWP ialah jenis ikan yang tertarik pada sarana buatan
dan berkumpul di sekitarnya, serta jenis ikan yang memijah ke hulu sungai
(anadromous) dan ke hilir (catadromous), seperti ikan salem dan sidat
yang bermigrasi ke air tawar.
Pembentukan dan pemeliharaan HPWP memang akan mengalami
kesulitan terhadap jenis-jenis ikan lainnya, tetapi kemungkinannya belum
tertutup sama sekali. Dengan sistem pengawasan melalui suatu kerjasama
di antara pemilik-pemilik HPWP yang bertetangga, peluang itu menjadi
mungkin. Umpamanya, jenis ikan yang bermigrasi sepanjang suatu garis
pantai dapat menjadi dasar pembentukan dan pemeliharaan HPWP,
melalui cara kerja sama di antara mereka untuk membatasi dan mengatur
198
198
198

dengan pengawasan bersama mengenai jumlah alat tangkap atau hasil


tangkap masing-masing.
Kedua, penentuan batas-batas HPWP. Keadaan wilayah perairan
memang akan menyulitkan penentuan batas-batas HPWP. Namun,
tersedia berbagai cara untuk menandai batas-batas tersebut. Batas-batas
dapat dihubungkan dengan sebuah pulau kecil atau terumbu karang,
muara sungai, atau keistimewaan geografis yang rrelatif kecil dan jelas.
Dapat juga batas-batas itu ditentukan sepanjang garis pantai, kemudian
diproyeksikan ke arah laut sejauh jarak tertentu. Atau ditentukan dengan
menggunakan tanda yang berhubungan dengan alat tangkap buatan yang
ditempatkan secara menetap di laut, Seperti alat penghimpun ikan.
Ketiga, teknologi penangkapan ikan. Cara-cara penangkapan dan
peralatan yang berbeda juga mempunyai akibat penting terhadap
pembentukan dan pemeliharaan HPWP. Berbagai jenis alat tangkap yang
terpancang di dasar laut, seperti bubu (pots), perangkap (traps), jaring
tetap (set nets), dan pancing ulur (trot lines), dapat menjadi avuan
pembentukan HPWP. Lokasi untuk menempatkan jenis-jenis alat atngkap
ini dapat menjadi dasar untuk menentukan wilayah HPWP. Tentu saja,
teknik penangkapan yang memerlukan operasi di laut yang luas, seperti
pukat harimau (trawls) atau pukat pancing (purse seines), tidak dapat
diberikan HPWP.
Keempat, faktor kebudayaan. Tanggapan kebudayaan berbagai
masyarakat terhadap pembentukan HPWP sangat bervariasi. Akan tetapi,
hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar kebudayaan masyarakat
menerima pemberian hak (secara pribadi atau kelompok) atas sumber
daya berupa tanah. Besar kemungkinan sebagian besar kebudayaan
mengizinkanperluasan hak-hak itu ke laut, seperti ditandai oleh meluasnya
sistem penguasaan laut tradisional. Satu hal yang jelas dari keadaan ini
adalah perlunya perhatian dicurahkan pada keadaan kebudayaan sebelum
dimulai usaha menetapkan suatu sistem HPWP.
Kelima, distribusi kekayaan. Pembagian HPWP jelas mempunyai
akibat terhadap distribusi kekayaan. HPWP itu memberikan nilai kepada
pemiliknya tetapi mengurangi nilai penangkapan mereka yang bukan
199
199
199

pemilik. Ketimpangan ini mungkin dapat diatasi dengan intervensi


pemerintah melalui mekanisme pembagian kembali hasil yang dipungut
pemerintah dari pemberian dan pengelolaan HPWP. Karena itu, proses
pembentukan dan pemeliharaan HPWP pada dasarnya bersifat politis.
Keenam, sistem pemerintahan dan institusi hukum. Merujuk pada
kondisi di atas, maka pemerintah harus mempunyai wewenang penuh
untuk dapat membuat keputusan tentang distribusi dan melaksanakannya.
Selain itu, harus pula ada peraturan dan lembaga yang mengizinkan
pemerintah untuk melaksanakan wewenang yang diperlukan dan yang
mendukung perlindungan dan pemeliharaan HPWP.

3. Bentuk dan Subjek HPWP


Bentuk yang dimaksudkan sebagai penjelmaan kongkret berupa
jenis-jenis hak, sedangkan subyek adalah kepada siapa hak-hak itu
diberikan. Beberapa versi dapat dijumpai, tetapi seperti sudah
dikemukakan sebelumnya, tidak satu pun versi itu berasal dari ahli hukum
sehingga penggunaan terminologi hak, selain kurang komprehensif dari
perspektif hukum, juga sering tidak konsisten.
Merujuk pada pengalaman budaya dan sejarah Filipina, Anonuevo
(1993) berpendapat bahwa secara teoritis dan hukum, subyek yang dapat
mempunyai hak milik (property rights)atas sumber daya adalah negara,
individu (swasta), atau suatu masyarakat.
Sumber daya pantai sebagai kekayaan nasional merupakan hak
milik negara. Namun, status kepemilikan tersebut saat ini tidak efektif
karena negara tidak mampu mengelola dan menegakkan hukum yang
mengatur masalah perikanan. Konsekuensinya kemudian adalah sumber
daya alam perikanan pantai kembali menjadi terbuka bagi setiap orang
(open-accsees). Pemberian hak milik pada negara (property rights to the
state) tetap menimbulkan perdebatan. Di bawah rezim kepemilikan negara
(state property rezimes), negara beerhak atas seluruh bunga sumber daya
(resources rent). Akan tetapi, yang terjadi sesungguhnya bunga sumber
daya itu hanya dinikmati oleh beberapa orang yang berkuasa dari
golongan atau kelompok tertentu sehingga apa yang disebut bunga
200
200
200
sumber daya itu tidak lebih dari sekadar bunga oligarkis (oligarchic rent).
Bahkan, sering penguasa oligarkis mengatasnamakan negara untuk
menyingkirkan kepentingan sosial atau ekologi.
Dalam konteks hak milik negara atas sumber daya perikanan pantai,
kekuasaan negara berbeda sekali dengan kekuasaan rakyat. Padahal,
secara teoretis-normatif, seharusnya kekuasaan negara merupakan
penjelmaan dari kekuasaan rakyat. Dengan demikian, mengukuhkan hak
milik negara atas sumber daya perikanan pantai bertentangan dengan nilai
demokrasi yang dianut masyarakat modern secara universal.
Kelemahan rezim kepemilikan negara hanya dapat direduksi dengan
memperkuat masyarakat madani (civil society). Masyarakat madani yang
kokoh dan kuat akan berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang
(counterbalance) terhadap kekuasaan negara. Pemberian hak milik atas
sumber daya perikanan pantai kepada pribadi atau swasta dapat menjadi
bagian dari upaya memperkuat masyarakat madani.
Idealnya, pemberian hak milik kepada swasta atau pribadi atas
sumber daya perikanan pantai, selain akan memperkuat masyarakat
madani juga sebagai pengejawantahan kebebasan berusaha (free
enterprise) dan doktrin ”tangan tersembunyi” (invisible hand) memainkan
peran penting. Banyak pendapat menilai bahwa ini merupakan pilihan
paling rasional karena akan mendorong optimalisasi sumber daya melalui
mekanisme hukum ekonomi.
Namun, pengalaman sejarah panjang swastanisasi dan privatisasi di
negara berkembang, khususnya Filipina, membalikkan optimisme terhadap
efektifitas hukum ekonomi dalam mengontrol perilaku usaha swasta dan
perorangan. Kenyataannya, jurang kesenjangan antara orang kaya dan
orang miskin semakin lebar karena berhimitnya kepentingan ekonomi dan
politik. Bahkan di daerah daratan tinggi telah terjadi pemusatan pemilikan
sumber daya di tangan beberapa orang, dan telah mengakibatkan
kerusakan sumber daya yang sangat parah serta semakin
menyengsarakan rakyat.
Pilihan berikutnya adalah pemberian hak milik atas sumber daya
kepada masyarakat yang langsung tergantung kehidupannya pada sumber
201
201
201

daya alam perikanan tersebut. Jika tujuan pembangunan untuk


pemberdayaan rakyat dan keadilan bagi generasi sekarang dan yang akan
datang, maka satu-satunya pilihan ialah pemberian hak milik kapada
masyarakat (community property rights). Di bawah rezim pemilikan
masyarakat, sistem pengelolaan sumber daya berbasis kerakyatan
(CBCRM) akan berkembang dengan baik.
Pendapat kedua tentang bentuk dan subyek HPWP datang dari
Bromley dan Cernea.49 Mereka sesungguhnya tidak berbicara khusus
tentang sumber daya alam perikanan, tetapi jalan pikiran yang
dikemukakannya, pada derajat tertentu, dapat diproyeksikan pula ke dalam
sistem pengelolaan sumber daya alam perikanan.
Kedua ahli ekonomi tersebut termasuk pembela-pembela konsep
”milik bersama”. Merujuk pada hasil penelitian Jodha di India, mereka
berpendapat bahwa privatisasi terhadap sumber daya ”milik bersama”,
justru merupakan awal malapetaka bagi penduduk pribumi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa di 21 daerah tropis India, antara 84 sampai 100
persen penduduk miskin pribumi menggantungkan hidupnya secara
subsistensi pada lahan ”milik bersama”. Pada saat yang sama, 10 sampai
24 persen dari keluarga kaya menggunakan lahan tersebut untuk kolam
pengendapan dari perkayuan. Akibatnya, selama 30 tahun terakhir 26
sampai 63 persen lahan ”milik bersama” beralih menjadi lahan perorangan,
yang berarti kehilangan besar bagi penduduk pribumi. Skenario yang sama
juga terjadi ketika lahan ”milik bersama” dikonversi menjadi milik negara,
seperti nasionalisasi hutan di Nepal.
Meski demikian, Bromley dan Cernea mengajukan empat rezim
(rezimz) yang dapat dijadikan dasar pengelolaan sumber daya alam.
Keempat rezim itu adalah sebagai berikut :
1. Rezim milik negara (state own property rezims).
2. Rezim milik swasta (private own property rezims).
3. Rezim milik bersama (common own property rezims).
4. Rezim tanpa milik (non-property rezims atau open accsess).

49
Ibid. hlm. 271.
202
202
202

Di bawah rezim milik negara, pemilikan dan kontrol atas sumber


daya berada di tangan negara. Individu dan kelompok boleh menggunakan
sumber daya alam, tetapi hak kepemilikannya tetap pada negara.
Perubahan dari rezim milik negara ke rezim lain atau sebaliknya, dapat
saja terjadi. Nasionalisasi hutan desa di Nepal pada tahun 1957 oleh
pemerintah, merupakan contoh perubahan dari rezim milik bersama ke
rezim milik negara. Negara bisa langsung mengelolan sumber daya alam
melalui lembaga pemerintah. Bisa juga disewakan kepada kelomok
masyarakat atau perorangan untuk jangka waktu tertentu.
Ada pula contoh menarik mengenai mekanisme pengelolaan sumber
daya alam yang diserahkan oleh negara kepada kelompok masyarakat
tertantu, seperti yang terjadi di Bengala Barat (India) dalam bentuk tree
growing associations. Melalui sistem ini, sekelompok petani tak bertanah
atau marginal diberikan petak-petak tanah untuk perkebunan. Meskipun
tanah berada di bawah kekuasaan petani, tidak berarti hak milik atas tanah
juga beralih kepadanya. Hak milik atas tanah tetap pada negara. Petani
hanya mempunyai hak garap atau hak milik atas hasil dari tanah tersebut.
Selanjutnya mengenai rezim milik swasta. Secara umum, sudah
diakui bahwa hak milik swasta (private property) merupakan rezim yang
paling jelas di antara rrezim-rezim lainnya. Termasuk dalam rezim milik
swasta adalah hak milik individu (individual property) dan hak milik
perusahaan (corporate property).
Secara yuridis dan sosiologis, hak milik swasta memungkinkan
pemiliknya untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan tidak
melibatkan orang lain. Bahkan, dalam upaya pemanfaatan tersebut, subjek
hak milik swasta dapat mengusir orang lain.
Terdapat pandangan bahwa hak milik swasta sangat memadai untuk
saat ini. Namun, menurut Bromley dan Cernea, terdapat dua fenomena
yang harus dijawab oleh penganut pandangan tersebut. Pertama, banyak
perampasan tanah terjadi di berbagai bagian dunia bukan sebagai akibat
kelangkaan persediaan tanah secara fisik, tetapi karena terjadinya
konsentrasi pemilikan tanah di tangan keluarga-keluarga kuat. Bahkan,
203
203
203

fenomena seperti ini terjadi di sebagian beasr negara-negara Amerika


Latin.
Kedua, hak milik swasta seringkali mengarah pada apa yang disebut
highest and best use of land. Fenomena Amerika Latin-sebagian besar
tanah subur menjadi padang penggembalaan, sementara tanaman pangan
berada di tanah kurus-merupakan contoh mengenai hal ini. Dengan latar
belakang ini pula, tanah terbaik telah diswastakan, sedangkan tanah yang
terburuk dibiarkan menjadi public domain. Dalam pandangan Bromley dan
Cernea, yang termasuk kategori public domain adalah state property,
common property (res communis), dan open-accsess (res nullius).
Berlainan dengan para ahli lainnya, sebagaimana telah diuraikan
pada bagian terdahulu, Bromley dan Cernea membedakan antara common
property dan open-accsess. Common property, menurut mereka esensinya
adalah hak milik swasta dalam kelompok dan kelompoklah yang
menentukan siapa yang tidak diperkenankan mengambil manfaat dari
sumber daya alam ”milik bersama”. Sementara itu, open-accsess diartikan
sebagai suatu situasi tanpa hak milik. Situasi ini muncul umumnya karena
tidak adanya atau gagalnya sistem pengolahan dan wewenang yang
bertujuan menerapkan norma tingkah laku yang berhubungan dengan
sumber daya alam. Dengan kata lain, rezim tanpa milik muncul akibat
gagaglnya ketiga rezim sebelumnya.
Pendapat ketiga tentang bentuk dan subyek HPWP, dikemukakan
oleh Christy.50 Bahkan, dapat dikatakan bahwa Christy lah yang pertama
kali memperkenalkan terminologi territorial use rights in fisheries (TURFs)
disertai penjelasan yang relatif komprehensif. Menurutnya, sebagai
langkah awal diperlukan sedikitnya tiga macam hak yang bersifat spesifik,
yakni sebagai berikut:
1. Hak untuk menghalangi orang lain (the rights of exclusion), yaitu hak
untuk membatasi atau menghalangi keikutsertaan dalam wilayah
tertentu yang telah dijadikan objek hak.
2. Hak untuk menetapkan jenis dan jumlah penggunaan sumber daya
alam dalam wilayah tersebut.

50
Ibid. hlm. 275
204
204
204

3. Hak untuk mengambil derma (the rights of extract benefits). Derma


dapat diperoleh antara lain, melalui penarikan pungutan dari pemakai
sumber daya alam. Bisa juga melalui penarikan pajak atau sewa
maupun penjual-an dari hak-hak itu.
Mengenai subyek HPWP, Christy berpendapat bahwa HPWP dapat
diberikan kepada perorangan, perusahaan swasta, koperasi, atau
masyarakat. Selain itu, HPWP dapat pula diberikan kepada cabang-
cabang politik, seperti suatu kota atau propinsi, pemerintah suatu negara,
atau kepada perusahaan multinasional. Adapun tentang jangka waktu
HPWP, relatif sukar untuk ditetapkan secara pasti. Namun, setidaknya
harus cukup lama agar memungkinkan pemilik hak memperoleh
pendapatan yang memuaskan atas setiap modal yang ditanamkan.
Khusus HPWP yang subjeknya masyarakat, jangka waktunya mungkin
tidak dibatasi.

C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas
materi pembelajaran keempatbelas dan kelimabelas dilakukan dalam
bentuk kuis, yakni mengangakt beberapa pertanyaan yang dilengkapi
dengan penjelasan dan dilakukan pada tatap muka kelimabelas. Beberapa
pertanyaan yang dikemukakan, seperti:
1. Sebutkan UU yang terkait dengan pengelolaan perikanan disertai
dengan penjelasannya?
2. Sebutkan ruang lingkup Hak Penggunaan Wilayah Untuk Perikanan
(HPWP)?
3. Sebutkan bentuk dan subjek HPWP?

Daftar Bacaan
Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar),
Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007.
Marhaeni Ria Siombo, Hukum Perikanan Nasional dan Internasional,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.
205
205
205
Ph.D.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amana Gappa,
Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara,
1961.
Sudirman Saad, Politik Hukum Perikanan Indonesia, Jakarta: Dian
Pratama Printing, 2003.
206
206
206

BAB 16
BAHAN PEMBELAJARAN 16

A. Sasaran Pembelajaran
Ujian Akhir Semester
B. Uraian:
Pelaksanaan ujian akhir semester dilaksanakan dengan memberikan
pilihan pada mahasiswa untuk mengikuti ujian akhir yang diberikan dapat
bentuk makalah atau ujian tertulis. Pilihan makalah atau ujian tertulis oleh
peserta didik akan bersifat individu yang dipilih dan atau diberikan dari materi
hukum laut yang telah dipelajari. Adapun kriteria penilaian makalah berupa Isi
Makalah; Organisasi makalah; Kesesuaian antara teori dan kasus serta
analisis; dan Ketepatan waktu. Sedangkan ujian tertulis didasarkan pada
kemampuan peserta didik menjelaskan materi yang dipertanyakan dilengkapi
dengan analisis dan contoh.
C. Penutup
Kriteria evaluasi adalah makalah individu dan ujian tertulis.

Anda mungkin juga menyukai