Anda di halaman 1dari 12

PANDANGAN ONTOLOGI

DALAM
FILSAFAT ILMU ISLAMI

OLEH
ANDI REVANI OKTAVIANI PALLOGE
Pengertian Ontologi
Ontologi sebagai sebuah istilah, berasal dari bahasa
Yunani, yaitu on (ada) dan ontos (berada), yang kemudian
disenyawakan dengan kata logos (ilmu atau studi tentang).
Dalam bahasa Inggris ia diserap menjadi ontology dengan
pengertian sebagai studi atau ilmu mengenai yang ada
atau berada.
 Ontologi: obyek apa yang ditelaah ilmu bagaimana wujud
hakiki obyek tersebut (pengkajian tentang “ada”)
bagaimana hubungan antara obyek itu dengan daya
tangkap manusia.
Beberapa Pandangan Ontologi
1. Naturalisme

Naturalisme adalah sebuah aliran filsafat yang secara harfiah


mengandungarti sebagai faham serba alam. Secara sederhana,
menurut naturalisme, kenyataan pada hakikatnya bersifat alam, yang
kategori pokoknya adalah kejadian-kejadian dalam ruang dan
.
waktu. Apapun yang bersifat nyata pasti termasuk dalam kategori
alam.
Dengan demikian pandangan ontologis naturalisme mengenai
kenyataan ialah apa saja yang bersifat alam, yakni segala yang
berada dalam ruang dan waktu. Akibat dari pandangan ini adalah :
1) segala sesuatu yang dianggap ada, namun di luar ruang dan
waktu, tidak mungkin merupakan kenyataan, dan
2) segala sesuatu yang tidak mungkin dipahami melalui metode-
metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu kealaman, tidak
mungkin merupakan kenyataan.
2. Materialisme
Hakikat kenyataan adalah materi. Demikian doktrin pandangan
filsafat materialisme. Doktrin tersebut didasarkan pada argumen filosofis
bahwa segala sesuatu yang hendak dikatakan nyata (1) pada hakikatnya
berawal dan materi, atau (2) terjadi karena gejala-gejala yang
bersangkutan dengan materi. Karena itu, materialisme menyatakan bahwa
tidak ada entitas nonmaterial dan kenyataan supra natural.

Naturalisme mendasarkan ajarannya pada alam sebagai kenyataan


terdalam, maka materialisme mendasarkannya pada materi. Dengan kata
materi, yang dimaksudkannya adalah yang bersifat material, baik yang
bersifat makroskopis maupun mikroskopis. Karena itulah maka materi
dikatakan bersifat abadi, dalam anti yang abadi adalah sifat material.
3. Idealisme
 

Bertolak belakang dengan materialisme dan naturalisme, idealisme


merupakan satu corak kefilsafatan yang berpandangna bahwa hakikat
terdalam dan kenyataan tidaklah bersifat materi, melainkan bersifat
rohani atau spiritual (kejiwaan). Karena itu istilah idealisme terkadang
dikenal juga dengan istilah immaterialisme atau mentalisme.

Penganut idealisme berpandangan bahwa pada hakikatnya


kenyataan terdalam yang dikenal oleh naturalisme sebagai bersifat alam,
atau oleh materialisme sebagai bersifat materi, sebenarnya bersifat
rohani.
4. Hilomorfisme
Hilomorfisme merupakan istilah yang dalam bahasa Yunani merupakan
bentukan dan dua kata yaitu hyle (materi) clan morphe (bentuk, rupa).
Hilomorfisme meletakkan pandangannya dengan doktrin bahwa tidak
satupun hal yang bersifat fisis yang bukan merupakan kesatuan dari esensi
dan eksistensi. Artinya ia memiliki sifat fisis dan hakikat tertentu. Eksistensi
dapat dipersepsi secara inderawi dan esensi dapat dipahami secara akali. .
Misalnya, sebuah kursi (sebagai sesuatu yang bereksistensi). Kursi itu
adalah sesuatu yang ada, berada dalam kenyataan, dan menampak dalam
ruang dan waktu. Karena itu ia berkesistensi dan potensial dipersepsi secara
inderawi.

Hilomorfisme menyatakan bahwa alam semesta tersusun atas materi


dan bentuk dalam satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan . Ada materi
berarti ada bentuk, ada bentuk berarti juga ada materi.
5. Positivisme
Positivisme adalah aliran filsafat yang secara radikal beranjak dari ketidakpercayaan terhadap
pandangan-pandangan dan pembicaraan-pembicaraan metafisis yang dilakukan oleh aliran-filsafat
sebelumnya. Karena itu, para penganutnya menyatakan bahwa positivisme adalah suatu filsafat non-
metafisik.

Positivisme sebagai sebuah aliran filsafat dipopulerkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang
juga menamai positivisme sebagai Filsafat Positif. Dalam mensistimatisir pandangan positivisme,
Comte bertitik-tolak dari pandangan bahwa perkembangan masyarakat sebenarnya ditunjukkan oleh
perkembangan cara berfikir (cara berpengetahuan) dalam tiga tahap, yaitu dari tahap teologis, tahap
metafisis dan tahap positif.

1) Dalam tahap teologis, perkembangan masyarakat ditandai lagi oleh tiga tahap perkembangan
cara berfikir. Pertama adalah cara berfikir anamis, dimana masyarakat mempercayai bahwa
benda-benda memiliki jiwa. Kedua cara berfikir politeis, dimana masyarakat percaya pada
dewa-dewa yang masing-masing menguasai lapangan tertentu. Ketiga adalah cara berfikir
monoteis dimana masyarakat mempercayai adanya hanya satu dewa atau Tuhan.
2) Dalam tahap metafesis, perkembangan masyarakat ditunjukkan oleh perkembangan pemikiran
yang menunjukkan kemampuan untuk melakukan konseptualisasi metafisis melalui konsep-
konsep dan prinsip-prinsip abstrak, seperti misalnya, substansi terdalam,esensi, causa, dan
sebagainya.
3) Dalam tahap positif,masyarakat telah mencapai tahap tertinggi dalam perkembangannya,
dimana masyarakat dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai realitas berdasarkan
fakta dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan melalui kemampuan verifikasi empirik.
Implikasi Pandangan Ontologis Pada Filsafat
Science Modern
Dalam filsafat science modern cara pandang mengenai obyek materi
ilmu dengan karakteristik :

1) Memandang obyek materi ilmu tidak dalam kerangka pandangan


adanya Pencipta yang memandang segala sesuatu selain Pencipta
adalah ciptaan.
2) Memandang sesuatu sebagai suatu obyek materi ilmu sejauh ia
berada dalam jangkauan indra dan/atau rasio manusia untuk bisa
memahaminya, dan oemahaman atasanya merupakan fungsi dari
indra dan/atau rasio itu.
3) Memandang keberadaan obyek materi ilmu hanya dalam
kerangka ruang dan waktu dunia belaka.
4) Memandang obyek materi ilmu diatur oleh hukum-hukum
keberadaan, namun tidak mempersolkan asal hukum-hukum
keberadaan itu.
Obyek Materi Ilmu Pengetahuan Menurut
Filsafat Science Modern
Dengan karakteristik pandangan ontologis , filsafat secience modern memandang
bahwa penegetahuan ilmiah (scientific knowledge atau science atau ilmu) adalah
pengetahuan mengenai obyek-obyek materi yang dapat dijangkau oleh indra lahiriah
dan/atau pemahaman rasional manusia melalui penalaran.
Dalam menegaskan wilayah obyek materi ilmu Jujun S. Suriasumantri (1990)
menyatakan bahwa yang menjadi karakteristik obyek ontologis ilmu, yang
membedakannya sebagai pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan lain, ialah bahwa ilmu
memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman
manusia.
Menurut Suriasumantri (1990) lebih jauh, “ilmu membatasi lingkup
penjelajahannya pada batas pengalaman manusia disebabkan metode yang dipergunakan
dalam menyusun pengetahuan yang telah teruji kebenarannya secara empiris.
Menurut pandangan tersebut, obyek materi ilmu adalah wilayah empiris dan rasio
manusia. Implikasinya adalah yang disebut ilmu atau pengetahuan ilmiah adalah dan
hanyalah pengetahuan mengenai obyek dalam wilayah tersebut. Pengetahuan yang di
dalamnya terkandung pernyataan-pernyataan yang berkenaan dengan wilayah meta-
empirik, seperti surga, neraka, malaikat, Tuhan, dan nilai-nilai moral, tidak
dikategorikann sebagai pengetahuan ilmiah.
Pandangan Ontologis Berdasarkan Al Quran
Jika kita berpijak pada Al Quran dalam membangun pemikiran
ontologis, maka yang harus menjadi titik-tolak kita adalah satu doktrin
primium principium yang kita istilahkan dengan doktrin
“kekhaliqmakhluqan’’. Doktrin tersebut menghendaki agar pembicaraan
ontologis diletakkan dalam satu perspektif pandangan yang “memancar”
dari satu “titik” pandangan doktrin Khaliq-Makhluq. Hanya Allah yang Al-
Khaliq (maha pencipta) dan segala sesuatu selainNya adalah makhluq atau
ciptaanNya.
Pandangan ontologis berdasarkan Al Quran itu, sama sekali tidak
dianut suatu ekstrimitas, misalnya dengan menyatakan hakikat realitas
hanya bersifat alam saja, atau hakikat realitas hanya bersifat rohani saja.
Al Quran mengungkap bahasa mengenal realitas itu secara sederhana
dengan istilah alam gaib dan alarm syahadah. Terhadap alam gaib dan
alam syahadah tersebut berlaku hukum-hukum yang ditetapkan oleh
penciptanya.
Obyek Materi Ilmu Menurut Pandangan
Ontologis Qurani

Pandangan ontologis Qurani dapat dibuktikan meniscayakan


lahirnya sebuah proses ilmiah yang konsisten melahirkan sebuah
pengetahuan ilmiah yang dapat diverifikasi. Pandangan ontologis
tersebut melahirkan pandangan mengenai obyek materi ilmu dengan
pernyataan singkat sebagai berikut:
1. Obyek ilmu adalah alam syahadah maupun alam gaib.
2. Membangun pengetahuan ilmiah mengenai alam tersebut
dilakukan dengan acuan petunjuk Allah.
TERIMA KASIH
WASSALAM

Anda mungkin juga menyukai