yang berada dalam ruang dan waktu. Akibat dari pandangan ini
adalah : (1) segata sesuatu yang dianggap ada, namun di luar ruang
dan waktu, tidak mungkin merupakan kenyataan, dan (2) segala
sesuatu yang tidak mungkin dipahami melalui metode-metode yang
digunakan dalam ilmu-ilmu kealaman, tidak mungkin merupakan
kenyataan.
Bagi penganut naturalisme, sesuatu yang bereksistensi bukan
merupakan himpunan bawahan dan kenyataan akan tetapi yang
bereksistensi adalah kenyataan itu sendiri. Dalam pandangan
mereka, sebuah kursi kayu bukan hanya suatu kenyataan yang
kebetulan karena substansi terdalamnya bersifat fisik sehingga Ia
bereksistensi, akan tetapi kursi kayu itu adalah kejadian yang
niscaya karena sejumlah kualitas dan suatu proses yang
berkesinambungan. Sebagai sesuatu yang terdapat dalam ruang dan
waktu, kursi itu bereksistensi dan sebagai akibatnya bersifat nyata.
Menurut penganut naturalisme, faktor-faktor penyusun
kejadian ialah proses, kualitas dan relasi. Sebuah mangga, misalnya,
3.idealisme
Bertolak belakang dengan materialisme dan naturalism,
idealisme merupakan satu corak kefilsafatan yang berpandanga
bahwa hakikat terdalam dan kenyataan tidaklah bersifat materi,
melainkan bersifat rohani atau spiritual (kejiwaan). Karena itu
istilah idealisme terkadang dikenal juga dengan istilah
immaterialisme atau mentalisine.
Penganut idealisme berpandangan bahwa pada hakikatnya
kenyataan terdalam yang dikenal oleh naturalisme sebagai
bersifat alam, atau oleh materialisme sebagai bersifat materi,
sebenarnya bersifat rohani. Jika benar apa yang dikatakan oleh
naturalisme dan materialisme, tentu segala hal dan gejala pasti
dapat diterangkan dengan penjelasan yang bersifat alam atau
materi dan tidak ada misteri. Akan tetapi demikian banyak
terdapat hal atau gejala yang tidak dapat diterangkan dengan
cara itu, seperti nilal, makna, pengalaman spiritual dan lain-lain
sejenisnya. Bahkan adanya nilai, pada hakikanya mengandung
makna adanya jiwa atau roh yang dapat menangkap maknanya.
Istilah roh dalam hal ini dimaknai
sebagai sesuatu dalam diri yang bukan berupa alat-alat
inderawi, yang menangkap dan memberi penghargaan kepada
nilai-nilai. Karena itu, idealisme menempatkan pahamnya pada
sisi ekstrim sebaliknya, yang sebagaimana pendapat G. Watts
Cunningham (dalam Titus et al, 1987) bahwa agar materi atau
tatanan kejadian yang terjadi dalam ruang dan waktu dapat
dipahami hakikatnya yang terdalam maka, harus ada jiwa atau
,
5.Positivisme
Positivisme adalah aliran filsafat yang secara radikal
beranjak dari ketidakpercayaan terhadap pandangan-
pandangan dan
Obyek Materi Ilmu Pengetahuan Menurut Filsafat
Science Moderen
Dengan karakteristik pandangan ontologis sebagaimana
dikemukakan di atas, filsafat science moderen akhirya
memandang bahwa pengetahuan ilmiah (scientific knowledge
atau science atau ilmu) adalah pengetahuan mengenai obyek-
obyek materi yang dapat dijangkau oleh indra lahiriah dan/atau
pemahaman rasional manusia melalui penalaran. Dengan
perkataan lain, segala sesuatu yang tidak masuk dalam
wilayah jangkauan indra dan/atau pemahaman rasional
manusia dianggap di luar wilayah obyek materi ilmu
Bahkan secara sempit, diantara filsuf science dan scientist ada
yang hanya mengakui keberadaan obyek-obyek inderawi
sebagai obyek materi ilmu, dengan implikasi bahwa yang
disebut pengetahuan ilmiah (science) hanyalah pengetahuan
mengenai obyek-obyek tersebut yang telah d iperoleh melalui
metode ilmu-ilmu kealaman. Pandangan demikian itu, terutama
ditunjukkan oleh penganut empirisme, positivisme, naturalisme
dan materialisme.
Dalam menegaskan wilayah obyek materi ilmu Jujun S.
Suriasumantri (1990) menyatakan bahwa yang menjadi
karakteristik obyek ontologis ilmu, yang membedakannya
sebagai pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan lain, ialah
bahwa ilmu memulal penjelajahannya pada pengalaman manusia
dan berhenti di batas pengalaman manusia. Untuk iebih
menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan pernyataan tersebut,
Suriasumantri mengajukan sebuah pertanyaan “apakah ilmu
mempelajari hal ihwal surga dan neraka ?“ yang kemudian
dijawabnya sendiri, idak; sebab kejad Ian itu berada di luar
jangkauan pengalaman kita”
Menurut Suriasumantri (1990) lebih jauh, “ilmu membatasi lingkup
penjelajahannya pada batas pengalaman manusia disebabkan
metode yang dipergunakan dalam menyusun pengetahuan yang
telah teruji kebenarannya secara empiris.
J54*
Artinya:
Dia lah (Allah) Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Dzahir
cia”
Balm. Dan Dia Mengetahui segala sesuatu.
— .ft — .0 ‘. _ft
Artinya:
Allah lah Maha Pencipta segala sesualu dan Dia
sesuatu.
[ 56
Kedua, Allah adalah A I ?tiiq (Yang Maha Mencip) Segala
sesuatu selain Dia adalah ciptaanNya. Segala Wujud laj
dirinya adalah wujud yang diadakanNya
Ketiga, alam semesta yang oleh Al Quran disebut dengan
istilah langit dan bumi (as samaawaat wa al ardh) adalah
salahsatij ciptaanNya dalam dimensi ruang dan waktu.
Dalam penger sebagai wujud, maka kemaujudan alam
semesta adalah bersifat kealaman yang realitasnya” dapat
dipahami menut dimensi-djmensj kealaman fisik. Dimensj-
djmensj kealaman fisik adalah dimensi tetapan Ahab yang
disebut qadar. Selain alam fisik dan dimensi fisiknya, juga
terdapat ciptaan Allah yang berupa alam non-fisik dengan
dimensi yang juga non-fisik. Ia juga merupakan sesuatu yang
maujud dalam pengertian bahwa kemaujudannya tidak
relevan dipahami menurut dimensi fisik.
Keempat, segala sesuatu ciptaan Allah, pada hakikatnya
adalah tanda-tanda (ayat-ayat, atau simbol-simbol) yang
menyata adaNya Allah dengan segala kemahaan sifat-
sifatNya. yang antara lain Maha Pencipta, Maha Berilmu,
dan Maha Kuasa.
Kehima, segala ciptaan Allah tunduk pada hukum-hukum
keberadaan yang ditetapNya yang dalarn Al Quran disebut
taqdir untuk alam fisjk dan sunnapjhlah untuk fenomena
kemanusiaan. Hukumhukm. itu merupa hukum-hukum
universal SCPert1 hukum kesebaban (causality law) dan
berbagai hukurn lain sebagai akibat Yang ditimbulkann seperti
korespondensi sebab-akibat, kelebjhdahuluan dan keserempan
dan keunikan kedirian.
Keenam, Allaj adalah Al Ilaqq dan keseluruhan njlai haqq
hanya bersuinber dari_4. LJflLLk 4I1S yang haqq itu, Dia
1 Qan’,jj petunjuk bagi iianisia.
fl41fl PCfljabari,i I)eflgertian (ii aLas. %chIarnya jika kita P i PL(I \ I
Qurai i b , emikiran ontologis.
t1I1 1’arus menjud I t k lulak k flit ida Lth sadoktrin prirnum
-
t
62
i
pembicaraan ‘.ntoiogis diletakkan dalam satu perspektif
pandarigan yang “mernancar” dan satu “titik” pandangan
doktrin Khaliq-Makhluq. [lanya Allah yang Al Khaliq (Maha
pencipta) dan segala sesuatu selainNya adalah makhluq atau
ciptaanNya.
Jika bertitik-tolak dan doktrin tersebut, dengan tujuan
membicarakan hakikat realitas dalam arti sehakiki-
hakikinya, maka yang sungguh-sungguh ada, sebenarya
adalah dan hanyalah Al Khaliq (Yang Maha Pencipta)
semata. Dengan perkataan lain, Al Khaliq ialah Yang Ada
Mutlak, sedangkan makhluq (ciptaan) adalah yang hanya
mungkin ada karena ia di “ada”kan oleh Al Khaliq. Secara
singkat, makhluq sebagai “yang ada”, adalah “yang mungkin
ada” karena Ia di “ada”kan oleh Allah sebagai penciptanya.
Yang mutlak “ada” adalah Al Khaliq (Pencipta), sedangkan
mahluk (ciptaan) yang “mungkin ada” (wujud mumkin).
Segala sifat yang lekat pada sesuatu yang dikatakan “ada”
demi untuk memahami hakikat keberadaan sesuatu,
sebagaimana yang dilakukan dalam pembahasan filsafat
selama mi hanyalah akibat niscaya dan kesebaban din yang
“ada” itu sebagai ciptaan Allah. Karena itu, apa yang
dilakukan dalam pembahasan filsafat selama mi untuk
memahami hakikat terdalam mcngenai realitas pada dasamya
ekstnimitas-ekstrimitas pandangan yang dipaksakan, serta
dibangun dengan melepaskan din dan satu titik-tolak
pandangan (kesebaban pandangan) yaitu kesebaban
keterciptaan sesuatu dan kesebaban Allah sebagai pencipta.
Hakikat realitas yang dikatakan keseluruhannya bersifat
kealaman, sebagaimana dianut
4 oleh penganut naturalisme, adalah salah-satu contoh
ekstnimitas pandangan yang dipaksakan, yang kemudian
membawa pada keniscayaan untuk hanya mengakui realitas
adalah segala yang bersifat alam. Kenyataan hanya dipahami
sebagal kejadian-kejadian yang dapat diukur dengan dimensi
ruang dan waktu. Akibatnya, apa yang ingin dipahami
sebagai ekststensi, esensi, substansi, dan berbagal atnibut lain
yang ingin dilekatkan pada sesuatu yang disebut “ada’, pada
akhirnya terjebak pada dimensi-dimensi
63
yang kita pandang sebagai makna yang tepat adalah
ditentukan oleh pandangan Islam tentang realitas dan
kebenaran sebagaimana yang ditampilkan oleh sistern
konseptual Quram.
Untuk memahami hakikat makna realitas dalam kaitannya
dengan pengertian “yang ada” dalam arti sehakiki-hakikinya,
sebenarnya kita hams berawal dan Al Haqq. Al Haqq adalah
salah-satu isim rububiyah dan Al Khaliq itu sendiri.
Menurut Naguib Al Attas (1989) kata haqq yang selama ml
dipahami dengan makna kebenaran, path maknanya yang
dalam juga mengandung makna sebagai realitas. Bath adalab
lawan dan haqq, yang artinya kepalsuan dan bukan realitas.
Haqq adalah suatu kesesuaian dengan syarat-syarat
kebijaksanaan, keadilan, kebenaran, ketepatan, realitas,
kepantasan Untuk memahamj makna realitas secara Iebih
balk dalam hubungannya dengan kata haqq, maka kata yang
tepat untuknya adalah haqiqah sebagai kata yang diturunkan
dan kata haqq itu sendiri. Selanjutnya menurut Naguib Al
Attas, penempatan kata haqq dan haqiqah dalam makna
realitas memiliki perbedaan pada acuan pemahamannya.
Haqq mengacu pada kondisi, sistem atau tatanan ontologis
yang diketahui lewat intuisi, sedangkan haqiqah mengacu
pada struktur ontologis, kepada hakikat, wujud atau din
Sesuatu itu sendiri. Dan sini kita bisa memahmi hubungan
antara real itas (haqiqah) dan kebenaran (haqq), adalah
korespondensi pada tempat yang tepat dan koherensi dengan
sistem konseptual Qurani.
Demikian sekilas pandangan ontologis berdasarkan Al Quran
telah dikemukakan. Dengan pandangan itu, sama sekali tidak
dianut suauj ekstrimitas, misalnya dengan menyatakan
hakikat realitas hanya bersifat alam saja, atau hakikat realitas
hanya bersifat rohani saja. Al Quran mengungkap bahasa
mengenal realitas itu secara sederhana dengan istilah alam
gaib dan alarm syahadah. Terhadap alam gaib dan alam
syahadah tersebut berlaku hukum-hukum yang ditetapkan
oleh penciptanya.
Atas dasar pandangan ontology Qurani sebagaimana telah
dikemukakan di atas, maka obyek ilmu dajam arti untuk
diilmui adalah seluruh realitas, baik alam Syahadah (alam
fisik) maupun alam gaib (alam non fisik). Hanya dalam hal
ini harus diingat bahwa tidak relevan untuk menggeneralisir
pengertian keadaan potensial diilmui berlaku sama untuk
semua tingkatan obyek ilmu. Sebagai implikasinya, kriteria
keilmiahan pengetahuan dan ukuran kebenaran ilmiah
tidak bisa diberlakukan sama secar general Tapi juga
sebaliknya, kebenaran ilmiah antara satu denga lainnya
tidak bisa saling dinegasikan, karena Ia mengacu pada satu
sumber kebenaran yang sama,
Apabila hal tersebut dapat dipahami, maka tidak terdapat
halangan untuk menyatak adanya pengetahuan iImiah baik
mengenal alam syahadah maupun alam gaib.
111.6. Obyek Maten Ilmu Menurut Pandangan Ontologis
Qurani
Dapat dipahami, bahwa memang bisa timbul kebingungan
bagi sernentara kalangan terhadap pandangan ontologis
Qurani yang telah dikemukalc khususnya bagi mereka yang
berpijak pada cara Pandang ontologis filsafat science
moderen dewasa ml.
Betapa mungkm alam gaib juga dinyatakan sebagai obyek
materi ilmu sementara secara epsitemologis atau lebifi
khusus lagi secara metodologis tidak dimungkinkan adanya
suatu alat verifikasi yang dapat digunan secara bersama oleh
semua orang. Misalnya bagaim mengn verjfjkasj untuk
menguji kebenarail pernyata mengenal hal-hal yang bersifat
gait,.
Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi sebab dalam rangka
verifikai, dunja science ‘nodtn sdwi telah mengakul saiah-saw
acE ‘ifik adalah Pcr11yataanpcyataan otoritas. VerifikasI
II
‘ PPcrnYataa,i.pen.yitaan yang herenaan dengan obyek alam
‘
71 ii