Anda di halaman 1dari 25

PANDANGAN ONTOLOGI DAN OBYEK MATERI ILMU

Pengertian Ontologi dan Obyek Materi Ilmu.


Pengetahuan atau ilmu selalu merupakan pengetahuan atau ilmu
tentang sesuatu. Artinya, pengetahuan atau ilmu tersebut berkenaan
dengari satu obyek tertentu yang menjadi materl penyelidikan dan
pembahasannya. Dalam pembicaraari mengeflal obyek, sebenamya
filsafat medekati pembicaraan obyek ilmu dan dua sisi, yaitu (1)
obyek materia dan (2) obyek forma.
Pembicaraan mengenai obyek materi ilmu adalah pembicaraan
mengenai apa yang menjadi obyek penyelidikannya sehingga
melahirkan ilmu mengenai obyek tersebut. Sedangkan pembicaraan
mengenai obyek foona ilmu adalah pembicaraan mengenai
bagaimana pendekatan yang
Pembicaraan mengenai obyek materi ilmu melalui filsafat ilmu
bukanlah pembicaraan yang sederhana dan bersahaja. Ia tidak begitu
saja menycbut suatu obyek materi ilmu menurut kenampakannya
(appearance) secara kasat indera akan tetapi menjelaskan obyck
tersebut menurut hakikatnya, sehingga pembicaraannya masuk
dalam wilayah metafisis. Pembicaraan mengenai hakikat obyek
materi ilrnu itulah sebenarnya yang dikatakan sebagai pembicaraan
ontologi.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa, landasan oritologi
dalam falsafah ilmu pengetahuan adalah cara pandang mengcnai
obyek materi suatu ilmu.
Sebenamya istilah ontologi barn muncul pada pertengahan abad 17,
yang pada waktu itu juga muncul istilah Philosophia Entis atau
filsafat menegani yang ada Tapi sebagai pencarian jawaban
mengenai hakikat asal alam semesta, jauh sebelumnya Ia telah
menjadi pembicaraan dalarn filsafat (filsafat alam) oleh para filsuf
awal Yunani. Paling tidaL Thales, Anaximander Anaximenes
iletus yang tercatat
adalah tiga filsuf Yunam
fi1suf-f1lS’ awal yang berbie’ :ngenai hakikat sega1
melalul usahaflYa menja’’’ SUtT1’ segala sesuatu. Mere acia
geflerasi awal filsuf alam dan Yunani, yang memunk
DemoCtiWS Pembic& tersebut berlanjut hingga i’
Athena yang kemUdian sampai pada Aristoteles. Sebagja
fIIS1f sesudahnya menemPat pembahasan masalah ontologi
sebaga sebagai pembahasan metafisika sebagaimana ia
dibicarak (L Metafisika Aristoteles.
Ontologi, sebagai sebuah istilah, sebenarnya mema berasal
dan bahasa Yunani, yaitu on (ada) dan ontos (berath)
kemudian disenyawakafl dengan kata logos (ilmu atau stu
tentang). Dalam bahasa Inggnis ia diserap menjadi ontology
den2ar pengertian sebagai studi atau ilmu mengenai yang
ada atau berada Pembahasan panjang lebar mengenai
ontologi menurut para fflsui sudah barang tentu tidak
dimungkinkan dalam bab mi mengingai keluasan
masalahnya dalam berbagai pandangan para filsuf. Akan
tetapi, di sini akan dikemukakan bagaimana pandangan
ontologis tersebut melandasi pandangan mengenai hakikat
obyek ilmu dalarn filsafat ilmu.
111.2. Beberapa Pandangan Ontologi
Dalam relevansinya dengan pembicaraan filsafat
pengetahuan, khususnya melaluj filsafat science (Barat)
moderC sebenarnya pembahas masalah ontologis berpusat
pada keing1fl untuk menjawab pertanyaan apa
sesunggulinya yang dimaJ sebagaj kenyataai (reality) ?.
Dalam filsafat, pertanyaan tersebhlt merupak masalah yang
ditemukan beragam jawaban filsafat”3 sesual dengan
keragam “corak” sistem kefilsafatLlll yafl mendasaya Untuk
itu, dengan membatasj di pada CO kefilsafatan (Barat)
moderen dan mana filsafat science mod melandkan din untuk
menemu bentuknya dewasa
44
dikemukakan secara singkat pandangan-pandangannya mengenal
realitas.
I. Naturalisme
Naturalisme adalah sebuah aliran filsafat yang secara harfiah
mengandung arti sebagal faham serba alam. Secara sederhana,
menurut naturalisme, kenyataan pada hakikatnya bersifat alam,
yang kategori pokoknya adalah kejadian-kejadian dalam ruang dan

waktu. Apapun yang bersifat nyata pasti termasuk dalam kategori


alam. Sesuatu yang dikategorikan demikian itu, dapat “dijumpai”
dan dapat dipelajari oleh manusia, dengan cara-cara sebagaimana
yang dikenal dewasa
ini dalam metode ilmiah.
Dengan demikian pandangan ontologis naturalisme
mengenai kenyataan ialah apa saja yang bersifat alam, yakni segala

yang berada dalam ruang dan waktu. Akibat dari pandangan ini
adalah : (1) segata sesuatu yang dianggap ada, namun di luar ruang
dan waktu, tidak mungkin merupakan kenyataan, dan (2) segala
sesuatu yang tidak mungkin dipahami melalui metode-metode yang
digunakan dalam ilmu-ilmu kealaman, tidak mungkin merupakan
kenyataan.
Bagi penganut naturalisme, sesuatu yang bereksistensi bukan
merupakan himpunan bawahan dan kenyataan akan tetapi yang
bereksistensi adalah kenyataan itu sendiri. Dalam pandangan
mereka, sebuah kursi kayu bukan hanya suatu kenyataan yang
kebetulan karena substansi terdalamnya bersifat fisik sehingga Ia
bereksistensi, akan tetapi kursi kayu itu adalah kejadian yang
niscaya karena sejumlah kualitas dan suatu proses yang
berkesinambungan. Sebagai sesuatu yang terdapat dalam ruang dan
waktu, kursi itu bereksistensi dan sebagai akibatnya bersifat nyata.
Menurut penganut naturalisme, faktor-faktor penyusun
kejadian ialah proses, kualitas dan relasi. Sebuah mangga, misalnya,

baik ketika ía masih di pohonnya maupun setelah ia dipetik,


senantiasa akan mengalami proses yang continuum, terdiri atas
kualitas-kualitas tertentu dan senantiasa berhubungan, dengan hal-
hal lain. Dengan kata lain, apa Saja yang merupakan pasti
menggambarkan ketiga hal tersebut. Dengan demikian,
tidak mungkin terdapat sesuatu yang secara mutlak bersifat
(misalnya tidak rusak), atau tanpa kualitas, atau tanpa
hubungan dengan yang lain. Sekarang pertanyaannya ialah,
bagaimana proses kualitas dan hubungan itu dipahami ?
Jawabnya ialah penyelidikan empiris terhadap kejadian-
kejadian yang pemahaman atasnya (kejadian-kejadian itu)
berpulang pada dirinya sendiri sebagaimana adanya, atau
kepada hal lain yang menurut pengaayp menunjukkan bahwa
yang satu memang dapat dipulangkan kepad yang lain tanpa
mengenal hierarki kualitas apakah lebih tinggi atau lebih
rendah. Jika secara ontologis, naturalisme meletakkan
doktrrn mengenai hakikat kenyataan adalah kejadian-
kejadian atau peristiwa-peristiwa dalam ruang dan waktu,
maka secara epistemologis meletakkan doktrin bahwa semua
penjelasan (baca pengetahuan) hams mengacu pada
peristiwa-peristiwa datam kerangka ruang dan waktu.
Dengan corak pandangan filsafati yang demikian itu,
maka dari naturalisme dapat diturunkan sejumlah pandangan
sebagai implikasi lanjutan yaitu:
1. Cenderung pada monisme, karena yang dipandang sebagai
realitas hanya alam satu-satunya. Dalam hal ini alam
dipandang tidak terjadi dan atau tergantung pada sesuatu
yang dialami, supranatural atau sesuatu yang transenden
Namun demikian, dikatakan cenderung pada monisme
karena ternyata bila ditinjau secara lebih mendalam sekaligus
juga berpaham prularistik karena mengakui adanya berbagai
penistiwa atau kejadian dengan berbagai kualitas.
2. Berpandangan scientisme karena rnemutlakkan metode
ilmiah ilmu-ilmu kealaman sebagai
keniscayaan pasti dalam memperoleh kejelasan mengenai
realitas. Sebagai penegasan untuk memahami apa yang
dimaksudkannya dengan metode ilmiah, yaitu metodologi
logis-empiris, lntuisi, iman dan wahyu sama sekali ditolak
dalam rangka pemahaman dan kebenaran pemahaman
mengenai realitas.
3. Dalam memahami manusia berpandangan humanisme
naturalistik dengan menempatkan manusia hanya merupakan
salah-satu wujud dan perwujudan yang bersifat alam. Niiai etik
dan estetika manusiawi dianggap terdapat dasarnya pada alam
dengan melihat gejala-gejalanya. Keteraturan, keseimbangan,
keharmonisan, misalnya, adalah nilai-nilai alami yang dapat
dijadikan manusia sebagal nilai-nilai etis dan estetis dalam
rangka kehidupan bersama yang membahagiakan. Ini berarti
bahwa nilai-nilai adalah buatan manusia yang memiliki
landasannya yang realistik pada alam.
2.Matenalisme
Hakikat kenyataan adalah materi. Demikian doktrin
pandangan filsafat materialisme. Doktrin tersebut didasarkan
pada argumen filosofis bahwa segala sesuatu yang hendak
dikatakan nyata (1) pada hakikatnya berawal dan materi., atau
(2) terjadi karena gejala-gejala yang bersangkutan dengan
materi. Karena itu, materialisme menyatakan bahwa tidak ada
entitas nonmaterial dan kenyataan supra natural. Pikiran dan
aksi mental lain yang oleh kebanyakan orang dianggap tidak
bersubstansi material, pada
dasarnya adalah perwujudan dan gejala-gejala yang bersangkut
paut dengan materi.
Dari penjelasan singkat di atas terlihat bahwa jika
naturalisme mendasarkan ajarannya pada alam sebagai
kenyataan terdalam, maka materialisme mendasarkannya pada
materi. Dengan kata materi, yang dimaksudkannya adalah yang
bersifat material, baik yang bersifat makroskopis maupun
mikroskopis. Karena itulah maka materi dikatakan bersifat abadi,
dalam anti yang abadi adalah sifat material. Berbagai keadaan
yang menunjukkan adanya tingkatan kenyataan pada dasarnya
adalah perkembangan melalui proses evolusi, dimana evolusi
pada hakikatnya pemolaan kembali.
Paham materialisme jelas bersifat monistik karena
baginya hanya ada satu kenyataan terdalam yaitu materi.
Karena materi berada dalam ruang dan waktu, maka
materialism juga berimplikasi pada pandangan bahwa
kenyataan pasti senantiasa bereksistensi.
Sebagaimana penganut naturalisme, materialisme juga
meletakkan implikasi pahamnya secara epistemologis melalui
keniscayaan pemahaman realitas pada penyelidikan atas dasar
metode-metode ilmiah. Kenyataan adalah apa yang oleh ilmu
(science) ditetapkan sebagai kenyataan.
Dalam sejarahnya, materialisme ternyata menunjukkan
perkembangan hingga abad moderen (abad 20) dalam berbagai
varian, seperti materialisme rasional, materialisme mitis atau
biologis, materialisme parsial, materialisme antropologis,
materialisme dialektis dan materialisme historis.
Demikian secara singkat sedikit pengenalan mengenai
materialisme, yang walaupun sesungguhnya membutuhkan
pembahasan yang tidak singkat untuk memahaminya namun
dalam rangka menangkap inti pandangannya mengenai hakikat
kenyataan atau kenyataan terdalam bertitik-tolak dan satu akar
pandangan yang sama, yaitu bahwa kenyataan terdalam adalah
yang bersifat materi. Kenyataan bahwa meterialisme
berkembambang beberapa varian filsafat tidak membuatnya
beranjak dari paham dasarnya, melainkan Iebih pada bagaimana
kenyataan terdalam dipahami.

3.idealisme
Bertolak belakang dengan materialisme dan naturalism,
idealisme merupakan satu corak kefilsafatan yang berpandanga
bahwa hakikat terdalam dan kenyataan tidaklah bersifat materi,
melainkan bersifat rohani atau spiritual (kejiwaan). Karena itu
istilah idealisme terkadang dikenal juga dengan istilah
immaterialisme atau mentalisine.
Penganut idealisme berpandangan bahwa pada hakikatnya
kenyataan terdalam yang dikenal oleh naturalisme sebagai
bersifat alam, atau oleh materialisme sebagai bersifat materi,
sebenarnya bersifat rohani. Jika benar apa yang dikatakan oleh
naturalisme dan materialisme, tentu segala hal dan gejala pasti
dapat diterangkan dengan penjelasan yang bersifat alam atau
materi dan tidak ada misteri. Akan tetapi demikian banyak
terdapat hal atau gejala yang tidak dapat diterangkan dengan
cara itu, seperti nilal, makna, pengalaman spiritual dan lain-lain
sejenisnya. Bahkan adanya nilai, pada hakikanya mengandung
makna adanya jiwa atau roh yang dapat menangkap maknanya.
Istilah roh dalam hal ini dimaknai
sebagai sesuatu dalam diri yang bukan berupa alat-alat
inderawi, yang menangkap dan memberi penghargaan kepada
nilai-nilai. Karena itu, idealisme menempatkan pahamnya pada
sisi ekstrim sebaliknya, yang sebagaimana pendapat G. Watts
Cunningham (dalam Titus et al, 1987) bahwa agar materi atau
tatanan kejadian yang terjadi dalam ruang dan waktu dapat
dipahami hakikatnya yang terdalam maka, harus ada jiwa atau
,

roh yang menyertainya dan yang dalam hubungan tertentu


bersifat mendasari hal-hal tersebut. Dengan pandangan seperti
ini, idealisme menyatakan bahwa seluruh realitas (ontologis)
bersifat spiritual dan materi (yang fisik) pada hakikatnya tidak
ada. Implikasinya pada pengetahuan (epistemologis) ialah
bahwa pengetahuan mengenai realitas hanya
mungkin melalui proses-proses mental.
Seperti halnya materialisme, sejarah idealisme juga
menunjukkan perkembangan ke dalam berbagal varian, namun
tetap bertitik-tolak dan padangan dasar yang sama. Idealisme
subyektif berpandangan bahwa dunia merupakan postulat
subyek yang memutuskan. Idealisme obyektif berpandangan
bahwa alam tidak
lain adalah inteligensi yang kelihatan. Idealisme
transendental au idealisme kritis diperkenalkan oleh
Immanuel Kant dengan pandangan” bahwa pengalaman
langsung bukan “benda” da dirinya sendiri serta ruang
dan waktu adalah forma intuisi manusia sendiri. Terdapat
istilah lain, yaitu idealisme epistemologis yang pada
dasarnya adalah penamaan lebih lanjut dan pandangan
yang menyatakan bahwa kontak manusia dengan alam
adalah kontak ide.
Salah satu perkembangan yang diakui dalam
perkembangan filsafat Barat modern ialah idealisme
Jerman yang muncul sebagai gerakan intelektual yang
meletakkan eksistensi dan ide identik walaupun antara
satu dengan yang lain diantara filsuf faham idealisme
Jerman ini terdapat perbedaan, namun mereka sepakat
pada dua ide dasar, yaitu : (I) keunggulan fikiran, dan (2)
gerakan dialektis. Secara singkat hal itu dapat dijelaskan
bahwa rasio sebagai ide dan segala ide dan basis
primordial mutlak mengendalikan dirinya sendiri, dan
sesudah itu segala sesuatu dalam dirinya sendiri
merupakan momen-momen atau tampakan yang yang
berkembang sendiri Rasio pada hakikatnya merupakan
sumber menjadi, dan jalan yang harus diikutinya untuk itu
diatur oleh gerakan dialektis.
4.Hilomorfisme
Hilomorfisme merupakan istilah yang dalam bahasa
Yunani merupakan bentukan dan dua kata yaitu hyle
(materi) clan morphe (bentuk, rupa). Hilomorfisme
meletakkan pandangannya dengan doktrin bahwa tidak
satupun hal yang bersifat fisis yang bu merupakan
kesatuan dan esensi dan eksistensi. Artinya Ia
memjljki sifat fisis dan hakikat tertentu. Eksistensi dapat
dipersepsi secara inderawi dan esensi dapat dipahami
secara akali. Misalnya, sebuah kursi (sebagai sesuatu yang
bereksistensi). Kursi Itu adalah sesuatu yang ada, berada
dalam kenyataan, dan menampak dalam ruang dan waktu.
Karena itu ia berkesistensi dan potensial dipersepsi
secara inderawi.Apa sesungguhnya
hakikatnya sebagai sesuatu yang bereksistensi?
Tidak lain adalah kursi. Ke”kursi”an adalah
esensi dan kursi itu dan merupakan keapaan (whatness)
kursi yang dapat dipahami secara akali. Dalam hal ini, upaya
memahami keberadaan (isness) kursi yang bereksistensi
tidak dapat dipahami tanpa adanya dirinya dengan keapaan
(whatness) sebagai kursi.
Apa yang dikemukakan diatas adalah keniscayaan
adanya esensi pada setiap hal yang bereksistensi secara fisik.
Pemahaman ini sesungguhnya mengajak untuk bisa memilah
antara eksistensi dan esensi. Oleh karena tidak selalu yang
bereksistensi sebagai berbentuk fisik (fikiran misalnya),
maka doktrin tersebut tidak harus dipahami secara sebaliknya
bahwa segala sesuatu yang beresensi dengan sendirinya
bereksistensi.
Hilomorfisme lebih jauh meletakkan doktrin bahwa
semua benda fisis tersusun dari materi dan berforma. Forma
adalah prinsip aktualitas dan aktivitasnya, sedangkan materi
adalah prinsip potensialitas dan pasitivitasnya. Sebagaimana
halnya doktrin pertama, doktrin ini pada dasarnya adalah
doktrin Neo-Thomisme. Dalam penerapannya pada manusia,
misalnya, maka manusia dapat dipahami secara eksistensial
dan esensial. Esensi manusia adalah apa yang menjadikan
dirinya sebagai manusia. Kendatipun secara
eksistensial diri manusia bisa mengalami perubahan (tua,
invalid, operasi plastik dll) fisik, namun ia tetap manusia.
Esensinya tetap ada dan tidak berubah karena perubahan
lahiriahnya Esensi manusia sebagai manusia adalah tidak
fisis.
Sebagai pandangan yang lebih meluas, hilomorfisme
juga menyatakan bahwa alam semesta tersusun atas materi
dan bentuk dalam satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Ada materi berarti ada bentuk, ada bentuk berarti juga ada
materi. Pandangan ontologis hitomorfisme adalah pandangan
yang didasarkan atas hasil penerapan akal budi terhadap dunia
sekeliling yang berbentuk.

5.Positivisme
Positivisme adalah aliran filsafat yang secara radikal
beranjak dari ketidakpercayaan terhadap pandangan-
pandangan dan
Obyek Materi Ilmu Pengetahuan Menurut Filsafat
Science Moderen
Dengan karakteristik pandangan ontologis sebagaimana
dikemukakan di atas, filsafat science moderen akhirya
memandang bahwa pengetahuan ilmiah (scientific knowledge
atau science atau ilmu) adalah pengetahuan mengenai obyek-
obyek materi yang dapat dijangkau oleh indra lahiriah dan/atau
pemahaman rasional manusia melalui penalaran. Dengan
perkataan lain, segala sesuatu yang tidak masuk dalam
wilayah jangkauan indra dan/atau pemahaman rasional
manusia dianggap di luar wilayah obyek materi ilmu
Bahkan secara sempit, diantara filsuf science dan scientist ada
yang hanya mengakui keberadaan obyek-obyek inderawi
sebagai obyek materi ilmu, dengan implikasi bahwa yang
disebut pengetahuan ilmiah (science) hanyalah pengetahuan
mengenai obyek-obyek tersebut yang telah d iperoleh melalui
metode ilmu-ilmu kealaman. Pandangan demikian itu, terutama
ditunjukkan oleh penganut empirisme, positivisme, naturalisme
dan materialisme.
Dalam menegaskan wilayah obyek materi ilmu Jujun S.
Suriasumantri (1990) menyatakan bahwa yang menjadi
karakteristik obyek ontologis ilmu, yang membedakannya
sebagai pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan lain, ialah
bahwa ilmu memulal penjelajahannya pada pengalaman manusia
dan berhenti di batas pengalaman manusia. Untuk iebih
menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan pernyataan tersebut,
Suriasumantri mengajukan sebuah pertanyaan “apakah ilmu
mempelajari hal ihwal surga dan neraka ?“ yang kemudian
dijawabnya sendiri, idak; sebab kejad Ian itu berada di luar
jangkauan pengalaman kita”
Menurut Suriasumantri (1990) lebih jauh, “ilmu membatasi lingkup
penjelajahannya pada batas pengalaman manusia disebabkan
metode yang dipergunakan dalam menyusun pengetahuan yang
telah teruji kebenarannya secara empiris.

metodologis ? Bukankah hal mimerupakan kontrajjj1


menghilangkan kesahihan metode ilmiah ?“ Jelas sekalj
sini pandangan ontologis Suriasumantri merupaica
empirisme.
Demikian sedikit penjelasan implikasi pandan °flI0kg15
filsafat science moderen mengenai obyek materi ilmu.
secar singkat menurut pandangan tersebut, obyek materi
ilmu ad wilayah empiri dan rasio manusia. Implikasinya
adalaj y disebut ilmu atau pengetahuan ilmiah adalah dW
hanyaja pengetahuan mengenai obyek dalam wilayah
tersebut. Pengeta yang di dalamnya terkandung
pernyataan-pernyataan yal)g berkenaan dengan wilayah
meta-empirik, seperti surga, nerak, malaikat, Tuhan, dan
nilai-nilai moral, tidak dikategorikann sebagai
pengetahuan ilmiah.
111.5. Pandangan Ontologis Berdasarkan Al Quran
SeAbelum kita mengemukakan sejumlah pandangan
ontologis berdasarkan Al Quran, terlebih dahulu
dikemukakan beberapa aya Al Quran sebagai
landasannya, sebagai berikut:
— —

J54*
Artinya:
Dia lah (Allah) Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Dzahir
cia”
Balm. Dan Dia Mengetahui segala sesuatu.
— .ft — .0 ‘. _ft

Artinya:
Allah lah Maha Pencipta segala sesualu dan Dia
sesuatu.

[ 56
Kedua, Allah adalah A I ?tiiq (Yang Maha Mencip) Segala
sesuatu selain Dia adalah ciptaanNya. Segala Wujud laj
dirinya adalah wujud yang diadakanNya
Ketiga, alam semesta yang oleh Al Quran disebut dengan
istilah langit dan bumi (as samaawaat wa al ardh) adalah
salahsatij ciptaanNya dalam dimensi ruang dan waktu.
Dalam penger sebagai wujud, maka kemaujudan alam
semesta adalah bersifat kealaman yang realitasnya” dapat
dipahami menut dimensi-djmensj kealaman fisik. Dimensj-
djmensj kealaman fisik adalah dimensi tetapan Ahab yang
disebut qadar. Selain alam fisik dan dimensi fisiknya, juga
terdapat ciptaan Allah yang berupa alam non-fisik dengan
dimensi yang juga non-fisik. Ia juga merupakan sesuatu yang
maujud dalam pengertian bahwa kemaujudannya tidak
relevan dipahami menurut dimensi fisik.
Keempat, segala sesuatu ciptaan Allah, pada hakikatnya
adalah tanda-tanda (ayat-ayat, atau simbol-simbol) yang
menyata adaNya Allah dengan segala kemahaan sifat-
sifatNya. yang antara lain Maha Pencipta, Maha Berilmu,
dan Maha Kuasa.
Kehima, segala ciptaan Allah tunduk pada hukum-hukum
keberadaan yang ditetapNya yang dalarn Al Quran disebut
taqdir untuk alam fisjk dan sunnapjhlah untuk fenomena
kemanusiaan. Hukumhukm. itu merupa hukum-hukum
universal SCPert1 hukum kesebaban (causality law) dan
berbagai hukurn lain sebagai akibat Yang ditimbulkann seperti
korespondensi sebab-akibat, kelebjhdahuluan dan keserempan
dan keunikan kedirian.
Keenam, Allaj adalah Al Ilaqq dan keseluruhan njlai haqq
hanya bersuinber dari_4. LJflLLk 4I1S yang haqq itu, Dia
1 Qan’,jj petunjuk bagi iianisia.
fl41fl PCfljabari,i I)eflgertian (ii aLas. %chIarnya jika kita P i PL(I \ I
Qurai i b , emikiran ontologis.
t1I1 1’arus menjud I t k lulak k flit ida Lth sadoktrin prirnum
-

Pr Ic ‘I I’. yang k ita I t i t h kan dengan doktrin


I)oktrin (cr%diLjt Lflghdhldaki ag
A

t
62
i
pembicaraan ‘.ntoiogis diletakkan dalam satu perspektif
pandarigan yang “mernancar” dan satu “titik” pandangan
doktrin Khaliq-Makhluq. [lanya Allah yang Al Khaliq (Maha
pencipta) dan segala sesuatu selainNya adalah makhluq atau
ciptaanNya.
Jika bertitik-tolak dan doktrin tersebut, dengan tujuan
membicarakan hakikat realitas dalam arti sehakiki-
hakikinya, maka yang sungguh-sungguh ada, sebenarya
adalah dan hanyalah Al Khaliq (Yang Maha Pencipta)
semata. Dengan perkataan lain, Al Khaliq ialah Yang Ada
Mutlak, sedangkan makhluq (ciptaan) adalah yang hanya
mungkin ada karena ia di “ada”kan oleh Al Khaliq. Secara
singkat, makhluq sebagai “yang ada”, adalah “yang mungkin
ada” karena Ia di “ada”kan oleh Allah sebagai penciptanya.
Yang mutlak “ada” adalah Al Khaliq (Pencipta), sedangkan
mahluk (ciptaan) yang “mungkin ada” (wujud mumkin).
Segala sifat yang lekat pada sesuatu yang dikatakan “ada”
demi untuk memahami hakikat keberadaan sesuatu,
sebagaimana yang dilakukan dalam pembahasan filsafat
selama mi hanyalah akibat niscaya dan kesebaban din yang
“ada” itu sebagai ciptaan Allah. Karena itu, apa yang
dilakukan dalam pembahasan filsafat selama mi untuk
memahami hakikat terdalam mcngenai realitas pada dasamya
ekstnimitas-ekstrimitas pandangan yang dipaksakan, serta
dibangun dengan melepaskan din dan satu titik-tolak
pandangan (kesebaban pandangan) yaitu kesebaban
keterciptaan sesuatu dan kesebaban Allah sebagai pencipta.
Hakikat realitas yang dikatakan keseluruhannya bersifat
kealaman, sebagaimana dianut
4 oleh penganut naturalisme, adalah salah-satu contoh
ekstnimitas pandangan yang dipaksakan, yang kemudian
membawa pada keniscayaan untuk hanya mengakui realitas
adalah segala yang bersifat alam. Kenyataan hanya dipahami
sebagal kejadian-kejadian yang dapat diukur dengan dimensi
ruang dan waktu. Akibatnya, apa yang ingin dipahami
sebagai ekststensi, esensi, substansi, dan berbagal atnibut lain
yang ingin dilekatkan pada sesuatu yang disebut “ada’, pada
akhirnya terjebak pada dimensi-dimensi
63
yang kita pandang sebagai makna yang tepat adalah
ditentukan oleh pandangan Islam tentang realitas dan
kebenaran sebagaimana yang ditampilkan oleh sistern
konseptual Quram.
Untuk memahami hakikat makna realitas dalam kaitannya
dengan pengertian “yang ada” dalam arti sehakiki-hakikinya,
sebenarnya kita hams berawal dan Al Haqq. Al Haqq adalah
salah-satu isim rububiyah dan Al Khaliq itu sendiri.
Menurut Naguib Al Attas (1989) kata haqq yang selama ml
dipahami dengan makna kebenaran, path maknanya yang
dalam juga mengandung makna sebagai realitas. Bath adalab
lawan dan haqq, yang artinya kepalsuan dan bukan realitas.
Haqq adalah suatu kesesuaian dengan syarat-syarat
kebijaksanaan, keadilan, kebenaran, ketepatan, realitas,
kepantasan Untuk memahamj makna realitas secara Iebih
balk dalam hubungannya dengan kata haqq, maka kata yang
tepat untuknya adalah haqiqah sebagai kata yang diturunkan
dan kata haqq itu sendiri. Selanjutnya menurut Naguib Al
Attas, penempatan kata haqq dan haqiqah dalam makna
realitas memiliki perbedaan pada acuan pemahamannya.
Haqq mengacu pada kondisi, sistem atau tatanan ontologis
yang diketahui lewat intuisi, sedangkan haqiqah mengacu
pada struktur ontologis, kepada hakikat, wujud atau din
Sesuatu itu sendiri. Dan sini kita bisa memahmi hubungan
antara real itas (haqiqah) dan kebenaran (haqq), adalah
korespondensi pada tempat yang tepat dan koherensi dengan
sistem konseptual Qurani.
Demikian sekilas pandangan ontologis berdasarkan Al Quran
telah dikemukakan. Dengan pandangan itu, sama sekali tidak
dianut suauj ekstrimitas, misalnya dengan menyatakan
hakikat realitas hanya bersifat alam saja, atau hakikat realitas
hanya bersifat rohani saja. Al Quran mengungkap bahasa
mengenal realitas itu secara sederhana dengan istilah alam
gaib dan alarm syahadah. Terhadap alam gaib dan alam
syahadah tersebut berlaku hukum-hukum yang ditetapkan
oleh penciptanya.
Atas dasar pandangan ontology Qurani sebagaimana telah
dikemukakan di atas, maka obyek ilmu dajam arti untuk
diilmui adalah seluruh realitas, baik alam Syahadah (alam
fisik) maupun alam gaib (alam non fisik). Hanya dalam hal
ini harus diingat bahwa tidak relevan untuk menggeneralisir
pengertian keadaan potensial diilmui berlaku sama untuk
semua tingkatan obyek ilmu. Sebagai implikasinya, kriteria
keilmiahan pengetahuan dan ukuran kebenaran ilmiah
tidak bisa diberlakukan sama secar general Tapi juga
sebaliknya, kebenaran ilmiah antara satu denga lainnya
tidak bisa saling dinegasikan, karena Ia mengacu pada satu
sumber kebenaran yang sama,
Apabila hal tersebut dapat dipahami, maka tidak terdapat
halangan untuk menyatak adanya pengetahuan iImiah baik
mengenal alam syahadah maupun alam gaib.
111.6. Obyek Maten Ilmu Menurut Pandangan Ontologis
Qurani
Dapat dipahami, bahwa memang bisa timbul kebingungan
bagi sernentara kalangan terhadap pandangan ontologis
Qurani yang telah dikemukalc khususnya bagi mereka yang
berpijak pada cara Pandang ontologis filsafat science
moderen dewasa ml.
Betapa mungkm alam gaib juga dinyatakan sebagai obyek
materi ilmu sementara secara epsitemologis atau lebifi
khusus lagi secara metodologis tidak dimungkinkan adanya
suatu alat verifikasi yang dapat digunan secara bersama oleh
semua orang. Misalnya bagaim mengn verjfjkasj untuk
menguji kebenarail pernyata mengenal hal-hal yang bersifat
gait,.
Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi sebab dalam rangka
verifikai, dunja science ‘nodtn sdwi telah mengakul saiah-saw
acE ‘ifik adalah Pcr11yataanpcyataan otoritas. VerifikasI
II
‘ PPcrnYataa,i.pen.yitaan yang herenaan dengan obyek alam

gaib, dapit dilakukan meIL1ILI meliltit vedfikasi rasional


terhadap

pernyataan-pernyataan doktrinal yang berkenaan


dengannya, yang
bersumber dan Allah sebagal Sumber Ilmu itu send fri.
Jawaban, tersebut memang masih dapat menimbulkan
pertanyaan selanjutnya, yaitu bagaimana mungkin itu
dilakukan
oleh mereka yang tidak mengakui adanya Allah ?
Jawabnya adalah,
dengan melihat pada substansi pernyataannya sendiri.
Apakah ia
memenuhi syarat untuk menjadi acuan ? apakah ía dapat
memberi
penjelasan secara konsisten dan dapat diterima secara
rasional?
Demikianlah, sesungguhnya pandangan ontologis Qurani
sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dibuktikan
meniscayakan
lahirnya sebuah proses ilmiah yang konsisten melahirkan
sebuah
pengetahuan ilmiah yang dapat diverifikasi.
Pandangan ontologis tersebut melahirkan pandangan
mengenai obyek materi ilmu dengan pernyataan singkat
sebagai
berikut:
1. Obyek ilmu adalah alam syahadah maupun alam gaib.
2. Membangun pengetahuan ilmiah mengenai alam
tersebut
dilakukan dengan acuan petunjuk Allah.
Bagaimana hal tersebut dipahami lebih jauh ? Betapa
mungkin petunjuk Allah dapat digunakan sebagai acuan
untuk
membangun pengetahuan ilmiab ? Hal mi akan dijawab
dalam bab
rnengenai epistemologi.
J

71 ii

Anda mungkin juga menyukai