Anda di halaman 1dari 25

Hak Asasi Manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib

dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.Penegakan HAM yang
kuat terjadi ketika bangsa ini memperjuangkan hak asasinya, yaitu: “kemerdekaan”, yang
telah berabad-abad dirampas oleh penjajah.
Para pendiri negeri ini telah merasakan sendiri bagaimana penderitaan yang dialami
karena hak azasinya diinjak-injak oleh penjajah. Oleh karena itu, tidak mengherankan setelah
berhasil mencapai kemerdekaan, para pendiri negeri ini mencantumkan prinsip-prinsip HAM
dalam Konstitusi RI (Undang-undang Dasar 1945 dan Pembukaannya) sebagai pedoman dan
cita-cita yang harus dilaksanakan dan dicapai. Sejak memasuki era reformasi, Indonesia telah
melakukan upaya pemajuan HAM, termasuk menciptakan hukum positif. Kasus pelanggaran
HAM di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan dan tuntas sehingga
diharapkan perkembangan dunia HAM di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik.
Salah satu tokoh HAM di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara
saat menuju Belanda dari Indonesia. Oleh karena itu sebagai warga negara yang baik kita
seharusnya menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status,
golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Makalah ini akan memperdalam
pengetahuan kita tentang HAM dan kaitan antara HAM dan Negara Hukum.

1. Apa yang di maksut Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia?


2. Apa hubungan Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia?
3. Apa dasar hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia?
4. Bagaimana pelaksanaan dan penegakan hak asasi manusia di indonesia?
5. Apa saja permasalahan yang di hadapi dalam penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia?
6. Bagai mana upaya pemerintah dalam penegakan Hak Asasi Manusia?

Negara Hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya


didasarkan atas hukum. Di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga lain dalam
melaksanakan tindakan apa pun harus dilandasi oleh hukum dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan
pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk
menyelenggarakan ketertiban hukum (Mustafa Kamal Pasha, 2003)
Negara berdasar atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme)
sehingga ada istilah supremasi hukum. Supremasi hukum harus tidak boleh mengabaikan tiga
ide dasar hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian (Achmad Ali,2002). Apabila
Negara berdasar atas hukum, pemerintahan Negara itu juga harus berdasar atas suatu
konstitusi atau undang-undang dasar sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan.
Konstitusi dalam negara hukum adalah konstitusi yang bercirikan gagasan kostitusionalisme
yaitu adanya pembatasan atas kekuasaan dan jaminan hak dasar warga negara.
Unsur-unsur Negara Hukum:
a. Hak asasi manusia dihargai sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia
b. Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu.
c. Pemerintahan dijalankan berdasarkan peraturan perundang-undangan
d. Adanya peradilan administrasi dalam perselisihan antara rakyat dengan pemerintahannya
Ciri-ciri Negara Hukum
a. Kekuasaan dijalankan sesuai dengan hukum positif yang berlaku.Kegiatan negara berada
dibawah kontrol kekuasaan kehakiman yang efektif
c. Berdasarkan sebuah undang-undang yang menjamin HAM
d. Menuntut pembagian kekuasaan

b. Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)


Istilah Hak Asasi Manusia dalam beberapa bahasa asing dikenal dengan sebutan droit
de l’home (perancis), yang berarti hak manusia, Human Rights (Inggris) atau mensen rechten
(Belanda) yang dalam bahasa Indonesia disalin menjadi hak-hak kemanusian atau hak-hak
asasi manusia.
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara
kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Hak-hak seperti hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak untuk mengembangkan diri, hak
keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan
merupakan hak yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun, seperti yang
tercantum pada rumusan hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Piagam
Hak Asasi Manusia vide Tap MPR No. XVII/MPR/1998.
Hak asasi manusia (HAM) pada hakekatnya merupakan hak kodrati yang secara
inheren melekat dalam setiap diri manusia sejak dilahirkan. Pengertian ini mnengandung arti
bahwa HAM merupakan karunia dari yang maha kuasa kepada
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia, dan
tanpa hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia. Hak asasi manusia
adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan
kelahirannya, atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Hak Asasi bersifat umum
(universal), karena diyakini beberapa hak dimiliki tanpa perbedaan atas bangsa, ras, agama,
atau jenis kelamin. Dasar dari hak asasi, bahwa manusia harus memperoleh kesempatan
untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya. Hak Asasi manusia bersifat
supralegal, artinya tidak bergantung kepada adanya suatu Negara atau undang-undang dasar,
maupun kekuasaan pemerintah, bahkan memiliki kewenangan lebih tinggi, karena hak asasi
manusia dimiliki manusia bukan karena kemurahan atau pemberian pemerintah, melainkan
Karena berasal dari sumber yang lebih tinggi. Disebut HAM karena melekat pada eksistensi
manusia, yang bersifat universal, merata dan tidak dapat dialihkan.
Karena HAM itu bersifat kodrati, sebenarnya ia tidak memrlukan legitimasi yuridis
untuk pemberlakuannya dalam suatu system hukum nasional maupun Internasional.
Sekalipun tidak ada perlindungan dan jaminan konstitusional terhadap HAM , hak itu tetap
eksis dalam setiap diri manusia. Gagasan HAM yang bersifat teistik ini diakui kebenarannya
sebagai nilai yang paling hakiki dalam diri manusia. Namun karena sebagian besar tata
kehidupan manusia bersifat sekuler dan positivistic, maka eksistensi HAM memerlukan
landasan yuridis untuk diberlakukan dalam mengatur kehidupan manusia.
Perjuangan dan perkembangan hak-hak asasi manusia di setiap negara mempunyai
latar belakang sejarah sendiri-sendiri sesuai dengan perjalanan hidup bangsanya, meskipun
demikian sifat dan hakikat HAM di mana-mana pada dasarnya sama juga.
Atas dasar itulah maka tidak ada orang atau badan manapun yang dapat mencabut hak
itu dari tangan pemiliknya. Demikian pula tidak ada seorangpun diperkenankan untuk
merampasnya, serta tidak ada kekuasaan apapun untuk membelenggungnya.

B. Hubungan Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia


Negara Hukum haruslah memiliki ciri atau syarat mutlak bahwa negara itu
melindungi dan menjamin Hak Asasi Manusia setiap warganya. Dengan demikian jelas sudah
keterkaitan antara Negara hukum dan Hak Asasi Manusia, dimana Negara Hukum wajib
menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia setiap warganya.
Perumusan ciri-ciri Negara Hukum yang dilakukan oleh F.J. Stahl, yang kemudian
ditinjau ulang oleh International Commision of Jurist pada Konferensi yang diselenggarakan
di Bangkok tahun 1965, yang memberikan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu konstitusi harus pula
menentukan cara procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
b. Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
c. Pemilihan Umum yang bebas.
d. Kebebasan menyatakan pendapat.
e. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
f. Pendidikan Kewarganegaraan.
Yang II

2.1Pengertian Negara Hukum


Pengertian negara hukum secara sederhana adalah negara yang penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan
menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan
untuk menjalankan ketertiban hukum (Mustafa Kamal Pasha, dalam Dwi Winarno, 2006).
Dengan demikian dalam negara hukum, kekuasaan negara berdasar atas hukum, bukan
kekuasaan belaka serta pemerintahan negara berdasar pada konstitusi yang berpaham
konstitusionalisme, tanpa hal tersebut sulit disebut sebagai negara hukum. Supremasi hukum
harus mencakup tiga ide dasar hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Oleh
karena itu di negara hukum, hukum harus tidak boleh mengabaikan “rasa keadilan
masyarakat”.
Negara-negara komunis atau negara otoriter memiliki konstitusi tetapi menolak
gagasan tentang konstitusionalisme sehingga tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum
dalam arti sesungguhnya. Jimly Asshiddiqie (dalam Dwi Winarno, 2006) menyatakan bahwa
negara hukum adalah unik, sebab negara hendak dipahami sebagai suatu konsep hukum.
Dikatakan sebagai konsep yang unik karena tidak ada konsep lain. Dalam negara hukum
nantinya akan terdapat satu kesatuan sistem hukum yang berpuncak pada konstitusi atau
undang-undang dasar.
Negara tidak campur tangan secara banyak terhadap urusan dan kepentingan warga
negara. Namun seiring perkembangan zaman, negara hukum formil berkembang menjadi
negara hukum materiil yang berarti
negara yang pemerintahannya memiliki keleluasaan untuk turut campur tangan dalam urusan
warga dengan dasar bahwa pemerintah ikut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
rakyat. Negara bersifat aktif dan
3
mandiri dalam upaya membangun kesejahteraan rakyat.

2.2Ciri-Ciri Negara Hukum


1) Fredrich Julius stahl dari kalangan ahli hukum eropa continental memberikan cirri-ciri
rechtsstaat sebagai berikut.
a) Hak asasi manusia
b) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asai manusia yang biasa dikenal
sebagai trias politika.
c) Pemerintahan berdasarkan peraturan –peraturan.
d) Peradilan administrasi dalam perselisihan
2) Adapun AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon member ciri-ciri Rule of law
sebagai berikut :
a) Supremasi hukum ,dalam arti tidak boleh ada kesewenwng-wenangan,sehingga seseorang
hanya boleh dihukum jika melanggar hukum
b) Kedudukan yang sama di depan hukum,baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat
c) Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan.
3) Prof.Sudargo Gautama mengemukakan ada 3(tiga) ciri atau unsur dari negara hukum, yakni
sebagai berikut :
a) Terdapat pembatasan kekuasaan Negara terhadap perorangan, maksudnya Negara tidak dapat
bertindak sewenang-wenang . Tindakan Negara dibatasi oleh hukum, individual mempunyai
hak terhadap Negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.
b) Asas legalitas
Setiap tindakan Negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu
yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
4
c) Pemisahan kekuasaan
Agar hak-hak asasi itu betul-betul terlindungi , diadakan pemisahan kekuasaan yaitu
badan yang membuat peraturan peundang-undangan, melaksanakan dan badan yang
mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu Negara.
4) Franz Magins Suseno (1997) mengemukakan adanya 5 (lima) cirri negara hukum sebagai
salah satu ciri hakiki Negara demokrasi. Kelima ciri Negara hukum tersebut adalah sebagai
berikut:
a) Fungsi kenegaraan dijalankan oleh lembaga yang bersangkutan sesuai dengan ketetapan
sebuah undang-undang dasar.
b) Undang-undang dasar menjamin hak asasi manusia yang paling penting.Karena tanpa
jaminan tersebut , hukum akan menjadi sarana penindasan. Jaminan hak asasi manusia
memastikan bahwa pemerintah tidak dapat menyalahgunakan hukum untuk tindakan yang
tidak adil atau tercela.
c) Badan-badan Negara menjalankan kekuasaan masing-masing selalu dan hanya taat pada
dasar hukum yang berlaku.
d) Terhadap tindakan badan Negara, masyarakat dapat mengadu ke pengadilan dan putusan
pengadilan dilaksanakan oleh badan Negara.
e) Badan kehakiman bebas dan tidak memihak.
5) Mustafa Kamal Pasha (2003) menyatakan adanya tiga ciri khas
Negara hukum, yaitu :
a) Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia
b) Peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain dan tidak memihak
5
c) Legalitas dalam arti hukum dalam segala betuknya
6) Prinsip-Prinsip Negara Hukum (menurut Jimly Assiddiqie) :
a. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
b. Asas Legalitas (Due Process of Law)
c. Pembatasan kekuasaan
d. Organ-Organ pemerintahan yang independen
e. Peradilan bebas dan tidak memihak
f. Peradilan Tata Usaha Negara
g. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court)
h. Perlindungan HAM
i. Bersifat demokratis
j. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan Negara
k. Tranfaransi dan control social

2.3 Tipe Negara Hukum


Ada tiga tipe Negara Hukum, yaitu :
1. Tipe Negara Hukum Liberal
Tipe Negara hukum libral ini menghendaki supaya Negara berstatus pasif artinya
bahwa Negara harus tunduk pada peraturan-peraturan Negara. Penguasa dalam bertindak
sesuai dengan hukum. Disini kaum liberal menghendaki agar agar penguasa dan yang
dikuasai ada suatu persetujuan dalam bentuk hukum, serta persetujuan yang menjadi
penguasa.
2. Tipe Negara Hukum Formil atau Division of Power
Negara hukum formil yaitu Negara hukum yang mendapat pengesahan dari rakyat,
segala tindakan penguasa memerlukan bentuk hukum tertentu, harus berdasarkan UU. Negara
hukum formil ini disebut juga Negara demokratis yang berlandaskan Negara hukum.
3. Tipe Negara Hukum Materiil atau Sparation of Power
6
Negara hukum materiil sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari negara hukum
formil; tindakan penguasa harus berlandaskan UU atau berlaku asas legalitas yaitu dalam
negara hukum mteriil tindakan penguasa dalam hal mendesak demi kepentingan warga
negara dibenarkan bertindak menyimpang dari UU atau berlaku asas Opportunitas

2.4 Indonesia Sebagai Negara Hukum


Dasar pijakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum tertuang pada Pasal 1
ayat 3 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Dimasukkannya ketentuan ini ke dalam bagian pasal UUD 1945
menunjukkan semakin kuatnya dasar hukum serta menjadi amanat negara, bahwa negara
Indonesia adalah dan harus merupakan negara hukum. Sebelumnya, landasan negara hukum
Indonesia ditemukan dalam bagian Penjelasan Umum UUD 1945 tentang Sistem
Pemerintahan Negara, yaitu sebagai berikut. 1) Indonesia adalah negara yang berdasar atas
hukum (Rechsstaat). Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechsstaat), tidak berdasar atas
kekuasaan belaka (Machtsstaat). 2) Sistem Konstitusional. Pemerintah berdasar atas sistem
konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Berdasarkan perumusan di atas, negara Indonesia memakai sistem Rechsstaat yang
kemungkinan dipengaruhi oleh konsep hukum Belanda yang termasuk dalam wilayah Eropa
Kontinental. Konsepsi negara hukum Indonesia dapat dimasukkan negara hukum materiil,
yang dapat dilihat pada Pembukaan UUD 1945 Alenia IV. Dasar lain yang dapat dijadikan
landasan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yakni pada Bab XIV tentang.
Perekonomian Nagara dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33 dan 34 UUD 1945, yang
menegaskan bahwa negara turut aktif dan bertanggung
7
jawab atas perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat. Negara Hukum Indonesia
menurut UUD 1945 mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Norma hukumnya bersumber pada Pancasila sebagai hukum dasar nasional;
2. Sistem yang digunakan adalah Sistem Konstitusi;
3. Kedaulatan rakyat atau Prinsip Demokrasi;
4. Prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 (1) UUD 1945);
5. Adanya organ pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR);
6. Sistem pemerintahannya adalah Presidensiil;
7. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari kekuasaan lain (eksekutif);
8. Hukum bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
9. seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial;
10. Adanya jaminan akan hak asasi dan kewajiban dasar manusia (Pasal 28 A-J UUD 1945).

2.5 Pengertian HAM (Hak Asasi Manusia)


Hak Asasi Manusia atau sering kita sebut sebagai HAM adalah terjemahan dari istilah
human rights atau the right of human. Secara terminologi istilah ini artinya adalah Hak-Hak
Manusia. Namun dalam beberapa literatur pemakaian istilah Hak Asasi Manusia (HAM)
lebih sering digunakan dari pada pemakaian Hak-hak Manusia. Di Indonesia hak-hak
manusia pada umumnya lebih dikenal dengan istilah “hak asasi” sebagai terjemahan
dari basic rights (Inggris) dangrondrechten (Belanda), atau bisa juga disebut hak-hak
fundamental (civil rights). Istilah hak-hak asasi secara monumental lahir sejak keberhasilan
Revolusi Perancis tahun
8
1789 dalam “Declaration des Droits de L’homme et du Citoyen” (hak-hak asasi manusia dan
warga negara Perancis), dengan semboyan Liberte, Egalite, Fraternite. Istilah HAM
berkembang sesual dengan perkembangan zaman. Perkembangan zaman dalam arti
perubahan peradaban manusia dari masa ke masa. Pada mulanya dikenal dengan sebutan
natural rights (hak-hak alam), yang berpedoman kepada teori hukum alam bahwa; segala
sesuatu berasal dari alam termasuk HAM.
Istilah ini kemudian diganti dengan the rights of man, tetapi akhirnya tidak diterima,
karena tidaak mewakili hak-hak wanita. Setelah PD II dan terbentuknya PBB, maka muncul
istilah baru yang lebih populer sekarang yaitu human rights Di Amerika Serikat dikenal
dengan sebutan Civil Rights. Perancis menyebutnya: Droit de L’ Homme; Belanda:
Menselijke Rechten. Namun dibalik beragamnya sebutan untuk Hak Asasi Manusia,
secara pengertian masih memiliki makna yang sama. Secara umum Hak Asasi Manusia dapat
diartikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang,
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

2.6 Macam-Macam HAM


 Hak Asasi Pribadi (Perseonal Rights)
Hak Asasi Pribadi adalah hak yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat,
kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, kebabasan dalam untuk aktif setiap
organisasi atau perkumpulan dan sebagainya.
Contohnya :
a) Hak Kebebasan dalam mengutarakan atau menyampaikan pendapat.
b) Hak Kebebasan dalam menjalankan kepercayaan dan
9
c) memeluk atau memilih agama.
d) Hak Kebabasan dalam berpergian, berkunjung, dan berpindah-pindah tempat.
e) Hak Kebabasan dalam memilih, menentukan organisasi dan aktif dalam organisasi tersebut.
 Hak Asasi Ekonomi (Property Rights)
Hak Asasi Ekonomi adalah Hak untuk memiliki, membeli
dan menjual, serta memanfaatkan sesuatu.
Contohnya :
a) Hak Asasi Ekonomi tentang kebebasan dalam membeli.
b) Hak Asasi Ekonomi tentang kebebasan dalam mengadakan dan melakukan perjanjian
Kontrak
c) Hak Asasi Ekonomi tentang kebebasan dalam memiliki
sesuatu
d) Hak Asasi Ekonomi tentang kebabasan dalam memiliki pekerjaan yang layak.
e) Hak Asasi Ekonomi tentang kebabasan dalam melakukan transaksi
f) Hak Asasi Ekonomi dalam bekerja
 Hak Asasi Politik (Politik Rights)
Hak Asasi Politik adalah hak ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih maksunya hak
untuk dipilih contohnya : mencalonkan sebagai Bupati , dan memilih dalam suatu pemilu
contohnya memilih Bupati atau Presiden), hak untuk mendirikan parpol, dan sebagainya.
Contohnya :
a) Hak Asasi Politik dalam memilih dalam suatu pemilihan contohnya pemilihan presiden dan
kepala daerah
b) Hak Asasi Politik dalam Dipilih dalam pemilihan contohnya pemilihan bupati atau presiden
10
c) Hak Asasi Politik tentang kebebasan ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
d) Hak Asasi Politik dalam mendirikan partai politik
e) Hak Asasi Politik dalam membuat organisasi-organisasi pada bidang politik
f) Hak Asasi Politik dalam memberikan usulan-usulan atau
g) pendapat yang berupa usulan petisi.

 Hak Asasi Hukum (Rights Of Legal Equality)


Hak Asasi Hukum adalah hak untuk mendapatkan perlakukan yang sama dalam
hukum dan pemerintahan.
Contohnya :
a) Hak dalam mendapatkan layanan dan perlindungan hukum
b) Hak dalam mendapatkan dan memiliki pembelaan hukum pada peradilan.
c) Hak yang sama dalam proses hukum
d) Hak dalam perlakuan yang adil atau sama dalam hukum
 Hak Asasi Sosial dan Budaya (Social and Culture Rights)
Hak Asasi Sosial dan Budaya adalah hak yang menyangkut dalam masyarkat yakni
untuk memilih pendidikan, hak untuk mengembangkan kebudayaan dan sebagainya.
Contohnya :
a) Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak
b) Hak untuk mendapat pelajaran
c) Hak untuk memilih, menentukan pendidikan
d) Hak untuk mengembangkan bakat dan minat
e) Hak untuk mengembangkan Hobi
f) Hak untuk berkreasi
 Hak Asasi Peradilan (Procedural Rights)
Hak Asasi Peradilan adalah hak untuk mendapatkan
11
perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights), misalnya peraturan dalam
hal penahanan, penangkapan dan penggeledahan.
Contohnya :
a) Hak mendapatkan perlakukan yang adil dalam hukum
b) Hak mendapatkan pembelaan dalam hukum
c) Hak untuk mendapatkan hal yang sama dalam berlangsungnya proses hukum baik itu
penyelidikan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan

2.7 Dasar hukum HAM di Indonesia


Dasar hukum yang dijadikan landasan dalam pemajuan dan perlindungan HAM di
Indonesia terdapat dalam perundang-undangan. Pengaturan HAM dengan menggunakan
peraturan perundang-undangan masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Kelebihan pengaturan HAM dalam UUD/konstitusi memberikan jaminan kepastian hukum
yang sangat kuat, karena perubahan dan/atau penghapusan pasal-pasal dalam konstitusi
seperti dalam ketatanegaraan di Indonesia dilakukan melalui proses amandemen dan
referendum. Sedangkan kelemahannya dalam konstitusi hanya memuat aturan yang bersifat
global, seperti ketentuan tentang HAM dalam konstitusi Republik Indonesia. Selain itu,
dalam pelaksanaannya dimungkinkan seringnya mengalami perubahan Sementara itu,
pengaturan HAM melalui Tap MPR, mempunyai kelemahan tidak dapat memberikan sanksi
hukum bagi pelanggarnya.
1. Pengaturan HAM dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen)
Jaminan atas pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia menurut UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai berikut:
a. Kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, tercantum pada Alinea
12
b. Pertama Pembukaan UUD 1945.
c. Hak asasi manusia sebagai hak warga negara, tercantum dalam batang tubuh UUD 1945
Pasal 27, 28, 28D Ayat (3), 30, dan 31.
d. Hak asasi manusia sebagai tiap-tiap penduduk, tercantum dalam
batang tubuh UUD 1945 Pasal 29 Ayat (2).
e. Hak asasi manusia sebagai hak perorangan/individu, tercantum dalam batang tubuh UUD
1945 Pasal 28A-28J.
2. Pengaturan HAM dalam Ketetapan MPR
Pengaturan HAM dalam ketetapan MPR dapat dilihat dalam TAP MPR Nomor XVII
Tahun 1998 tentang Pelaksanaan dan Sikap
Bangsa Indonesia terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional.
3. Pengaturan HAM dalam Undang-Undang
Selain diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Tap MPR,
HAM juga diatur dalam undang-undang. Adapun undang-undang pengaturan HAM yang
pernah dikeluarkan oleh pemerintah, sebagai berikut:
a. UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan atau
Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat.
b. UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat.
c. UU Nomor 11 Tahun 1998 tentang Amandemen terhadap UU Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Hubungan Perburuhan.
d. UU Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen.
e. UU Nomor 19 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 105 tentang
Penghapusan Pekerja secara Paksa.
f. UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia
Minimum Bagi Pekerja.
g. UU Nomor 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO
h. Nomor 11 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan.
13
i. UU Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU Nomor 11 Tahun 1993 tentang Tindak
Pidana Subversi.
j. UU Nomor 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi.
k. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
l. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
m. UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
n. UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
4. Pengaturan HAM dalam Peraturan Pemerintah dan Keputusan
Presiden
Adapun pengaturan HAM dalam peraturan pemerintah dan keputusan presiden,
sebagai berikut:
a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1999 tentang
Pengadilan HAM.
b. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 181 Tahun 1998 tentang Pendirian Komisi Nasional
Penghapusan Kekerasan Terhadap Wanita.
c. Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia Tahun 1998-2003, yang memuat rencana ratifikasi berbagai instrumen hak asasi
manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta tindak lanjutnya.
d. Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi
Manusia pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan
Negeri Makassar.
e. Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi
Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diubah dengan Keputusan
Presiden Nomor 96 Tahun 2001.
f. Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi
14
g. Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
h. Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM.

2.8 Hubungan Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia


Pertanyaan mendasar yang dikemukakan pada bagian ini adalah; apa hubungan Negara
hukum dengan hak asasi manusia?. Jawaban atas pertanyaan ini sudah barang tentu, tidak
begitu sulit mengkajinya dari sudut ilmu hukum, sebab antara negara hukum dan hak asasi
manusia, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Argumentasi hukum yang dapat diajukan
tentang hal ini, ditunjukan dengan ciri negara hukum itu sendiri, bahwa salah satu
diantranya adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam negara hukum hak asasi
manusia terlindungi, jika dalam suatu negara hak asasi manusia tidak dilindungi, negara
tersebut bukan negara hukum akan tetapi negara dictator dengan pemerintahan yang sangat
otoriter. Perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam negara hukum terwujud dalam
bentuk penormaan hak tersebut dalam konstitusi dan undang-undang dan untuk selanjutnya
penegakannya melalui badan-badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang bebas dan merdeka artinya terlepas
dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam
undang-undang. Konstitusi melarang campur tangan pihak eksekutif atatupun legislative
terhadap kekuasaan kehakiman, bahkan pihak atasan langsung dari hakim yang
bersangkutanpun, tidak mempunyai kewenangan untuk mepengaruhi atau mendiktekan
kehendaknya kepada hakim bawahan. Pada hakekatnya, kebebasan peradilan ini merupakan
sifat bawaan dari setiap peradilan hanya saja batas dan isi kebebasannya dipengaruhi oleh
sistem pemerintahan, politik, ekonomi, dan sebagainya.
Asas perlindungan dalam negara hukum tampak antara lain dalam

15
Declaration of Independent, deklarasi tersebut mengandung asas bahwa orang yang hidup di
dunia ini, sebenarnya telah diciptakan merdeka oleh Tuhan, dengan dikaruniai beberapa hak
yang tidak dirampas atau
dimusnahkan, hak tersebut mendapat perlindungan secara tegas dalam negara hukum.
Peradilan tidak semata-mata melindungi hak asasi perorangan, melainkan fungsinya adalah
untuk mengayomi masyarakat sebagai totalitas agar supaya cita-cita luhur bangsa tercapai
dan terpelihara.
Mengenai asas perlindungan , dalam setiap konstitusi dimuat ketentuan yang
menjamin hak-hak asasi manusia. Ketentuan tersebut antara lain:
a. Kebebasan berserikat dan berkumpul;
b. Kebebasan mengeluarkan pikiran baik lisan dan tulisan;
c. Hak bekerja dan penghidupan yang layak;
d. Kebebasan beragama;
e. Hak untuk ikut mempertahankan negara;
f. Hak lain-lain dalam pasal-pasal tentang hak asasi manusia.
Setiap orang dapat menuntut atau mengajukan gugatan kepada negara, bila negara
melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatigadaad), bahwa seorang
dapat melakukan gugatan terhadap penguasa, jika putusan pejabat yang berwenang dirasa
tidak adil. Banyak peraturan-peraturan yang member jaminan kepada para warga negara,
untuk menggunakan hak-haknya mengajukan tuntutan-tuntutan di muka pengadilan, bila hak-
hak dasarnya atau kebebasannya dilanggar.
Dalam pengkajian indonesia, penekanan negara hukum akan diletakan pada pemikiran
bahwa kekuasaan kehakiman indonesia juga tunduk pada hukum. Pemikiran demikian angat
penting untuk mengantarkan persepsi, bahwa tunduknya kekuasaan kehakiman pada hukum
menyebabkan munculnya pemahaman akanadanya batas-batas kebebasan kekuasaan
kehakiman, dalam memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Sehingga dari apa
yang diuraikan diatas
16
sangat jelas hubungan antara negara hukum dengan hak asasi manusia. Perlindungan terhadap
hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan
penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, sebagai ciri yang penting
suatu negara hukum yang demokratis. Terbentuknya negara dan demikian pula
penyelenggaraan kekuasaan suatu negara, tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan
dan hak-hak asasi kemanusiaan itu, oleh karena itu adanya perlindungan dan penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara
yang disebut sebagai negara hukum. Jika dalam suatu negara hak asasi manusia
terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat
diatasi secara adil, negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai negara huku dalam
arti sesungguhnya.
Untuk melihat lebih lanjut hubungan negara hukum dengan hak asasi manusia, dapat
dikaji dari sudut pandang demokrasi, sebab hak asasi manusia dan demokrasi merupakan
konsepsi kemanusiaan dan relasi social yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia
diseluruh penjuru dunia. Hak asasi manusia dan demokrasi juga dapat dimakna sebagai hasil
perjuangan manusia, untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab
hingga saat ini hanya konsepsi hak asasi manusia dan demokrasi yang terbuktipaling
mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.
Sebagaimana telah dirumuskan dalam naskah perubahan kedua UUD Tahun 1945,
ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang
sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi UUD ini sebenarnya berasal
dari rumusan Undang-Undang yang telah disahkan sebelumnya, yaitu Undang-Undang No.39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan
konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia sangat penting dan bahkan dianggap
merupakan salah satu
17
ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara.
Bangsa indonesia memahami bahwa The Universal Declaraton of Human Rights yang
dicetuskan pada tahun 1948, merupakan pernyataan
umat manusia yang mengandung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan
dengan itu, bangsa indonesia juga memandang bahwa The Universal Declaration of Human
Responsibility yang dicetuskan oleh Inter Action Council pada tahun 1997 juga mengandung
nilai universal yang wajib dijunjung tinggi untuk melengkapi The Universal Declaraton of
Human Rights tersebut.
Kesadaran umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia
itu menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi indonesia, oleh karena itu perlu
diadopsikan kedalam rumusan Undang-Undang Dasar atas pengertian-pengertian dasar yang
dikembangkan sendiri oleh bangsa indonesia. Sehingga dengan demikian perumusannya
dalam Undang-Undang Dasar ini mencakup warisan-warisan pemikiran yang masih terus
akan berkembang dimasa-masa yang akan datang.
Dari uraian diatas terlihat jelas hubungan antara negara hukum dan hak asasi manusia,
hubungan mana bukan hanya dalam bentuk formal semata-mata, dalam arti bahwa
perlindungan hak asasi manusia merupakan cirri utama konsep negara hukum, tapi juga
hubungan tersebut dilihat secara materil. Hubungan secara materil ini dilukiskan atau
digambarkan dengan setiap sikap tindak penyelenggara negara harus bertumpuh pada aturan
hukum sebagai asas legalitas. Konstruksi yang demikian ini menunjukan pada hakekatnya
semua kebijakan dan sikap tindak penguasa bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia.
Pada sisi lain, kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, tanpa dipengaruhi oleh
kekuasaan manapun, merupakan wujud perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia dalam negara hukum.
Yang III

1. A. Pengertian Hak Asasi Manusia

Menurut ketentuan UU. No. 39/1999 tindakan kejahatan, yaitu: ‘Satu tindakan yang dilakukan oleh seseorang
atau lebih yang bersifat melukai atau merusak masyarakat dan telah dilarang oleh hukum domestik negara. HAM
Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat
negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hak hukum,
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok
orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapat, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku

1. B. Tindakan Yang Dianggap Melanggar Hak Asasi Manusia


Yang dianggap melanggar hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hak hukum,
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang
yang dijamin oleh Undang-Undang, dan tidak mendapat, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Namun menurut
Mastricht Guidelines yang mengelaborasikan prinsip-prinsip untuk mengarahkan implemantasi The International
Covenant on social and cultural rights, telah membantu mengentalkan lebih lanjut konsep pelanggaran hak asasi
bagi baik pelaku negara maupun pelaku non-negara, meski tetap dengan penekanan pada peran negara.
Arahan Mastricht ini menyediakan dasar utama bagi identifikasi pelanggaran hak asasi manusia. Arahan ini
menyatakan juga bahwa pelanggaran terjadi lewat acts of commission ( tindakan untuk melakukan), oleh pihak
negara atau pihak lain yang tidak diatur secara memadai oleh negara, atau lewat acts of ommission (tindakan
untuk tidak melakukan tindakan apapun) oleh negara. Pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak negara, baik
berupa acts of commission maupun acts of ommission, dapat dilihat dalam hal kegagalannya untuk memenuhi
tiga jenis kewajiban yang berbeda, yaitu: Mastricht Guidelines dihasilkan dalam satu pertemuan dari lebih dari 30
ahli yang diselenggarakan di Mastricht 22-26 Januari 1997. Tujuan pertemuan itu adalah untuk mengelaborasi
prinsip-prinsip Limburg tentang implementasi Kovenan internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya yang dilihat sebagai sifat dan lingkup pelanggaran hak hak, ekonomi, social dan budaya dan tanggapan
dan pemulihan yang tepat. Pertemuan Mastricht diorganisasikan oleh Internasional Commission of Jurists, the
Urban Morgan Institute on Human Rights and the Centre for Human Rights of the Faculty of Law of Mastricht
University. Prinsip-prinsip Limburg dan arahan Mastricht telah diterbitkan di dalam berbagai dokumen. Termasuk
internasional Comission of Jurists Economic,Social and Cultural Rights: A Compilation of Essential Document.
Chatelaine/Geneve: International Comission of Jurists, 1997.

1. kewajiban untuk menghormati: kewajiban menghargai ini menuntut negara, dan semua organ dan agen (aparat)-nya,
untuk tidak bertindak apapun yang melanggar integritas individu atau kelompok atau pelanggaran pada kebebasan
mereka. Contoh dari jenis ini adalah tindakan seperti:
1. pembunuhan di luar hukum [dalam pelanggaran atas kewajiban
menghormati hak-hak individu untuk hidup

1. Penahanan serampangan [dalam pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati hak-hak individu untuk bebas
2. Pelarangan serikat buruh [dalam pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati kebebasan kelompok untuk berserikat
3. Pembatasan atas praktek dari satu agama tertentu [dalam pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati hak-hak
kebebasan beragama individu
4. kewajiban untuk melindungi: kewajiban untuk melindungi menuntut negara dan agen (aparat)-nya melakukan tindakan
yang memadai guna melindungi warga individu dari pelanggaran hak-hak individu atau kelompok, termasuk pencegahan
atau pelanggaran atas penikmat kebebasan mereka, contoh dari jenis pelanggaran ini adalah acts of ommission sepert
1. Kegagalan untuk bertindak, ketika satu kelompok tertentu, seperti
satu kelompok etnis, menyerang kelompok, liyan

1. Kegagalan untuk memaksa perusahaan untuk membayar upah yang tepat.


2. Kewajiban untuk memenuhi: kewajiban untuk memenuhi ini menuntut negara melakukan tindakan yang memadai untuk
menjamin setiap orang di dalam peluang yurisdiksinya untuk memberikan kepuasan kepada Pelanggaran HAM di
Indonesia billah Komnas HAM mereka yang memerlukan yang telah dikenal di dalam instrumen hak asasi dan tidak
dapat dipenuhi oleh upaya pribadi. Contoh dari jenis ini adalah acts of ommission seperti:
3. Kegagalan untuk memenuhi sistem perawatan kesehatan dasar.
4. Kegagalan untuk mengimplementasikan satu sistem pendidikan gratis pada tingkat primer. Satuan-satuan bukan-
pemerintah dapat juga terlibat sebagai pelaku kejahatan pelanggaran hak asasi, sebagaimana yang dilakukan oleh negara
atau agenagennya, yang bertentangan dengan kewajiban untuk menghormati kebebasan individual atau kelompok.
Contoh dari tindakan seperti itu oleh satuan bukan negara adalah:
5. Pembunuhan penduduk sipil oleh tentara pemberontakan.
1. Pengusiran komunitas yang dilakukan oleh perusahaan trans nasional.
2. Serangan bersenjata oleh salah satu pihak melawan pihak yang lain; Serangan fisikal mendadak oleh pengawal
pribadi melawan para pemrotes. Beberapa tindakan pelanggaran oleh agen bukan-negara dalam wilayah hakhak
ekonomi, sosial dan budaya, antara lain adalah,
1. Merancang tingkat upah yang lebih rendah daripada yyang dinyatakan di dalam perundang-undangan.
2. Kebijakan yang bersifat diskriminatori di dalam pengangkatan buruh/ pekerja/ karyawan.
3. Pembuangan zat pencemar Pelanggaran HAM di Indonesia billah Komnas HAM
1. C. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat .

Dalam undang – undang No. 26/2000 tidak memberikan penjelasan yang rinci tentang takrif pelanggaran berat
HAM, meskipun pasal 7 menyatakan : pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi

1. Kejahatan genosida.
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sedangkan penjelasan pasal demi pasal hanya menyebutkan pengertian kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan ‘Rome Statue of The International Criminal Court.
Pelanggaran berat HAM mengandung unsure kesengajaaan dan sikap membiarkan suatu perbuatan yang
seharusnya dicegah (act of ommission), unsur sistematis yang menimbulkan akibat meluas dan rasa takut luar
biasa, dan unsur serangan terhadap penduduk sipil. Kejahatan genosida sejauh ini belum ada contoh peristiwa
praktek pelanggaran genosida di Indonesia yang mengandung semua unsur yang disebutkan di dalam Statuta
Roma. Pasal 1 butir 2 hanya menyatakan bahwa:’ pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah
pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam undan-undang.

De Guzman Menyebutkan Tiga Ciri Penting Dari Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Pertama, Adanya Serangan
Yang Sistematik Dan Meluas; Kedua, Ditujukan Kepada Kelompok Sipil. Ketiga, Tindakan Yang Road From
Rome: The Developing Law Of Crimes Against Humanity, Human Rights Quarterly, May 22 Nd, 2000, P.339)
Lihat Juga; Fowler, Jerry, Kata Pengantar Statuta Roma Tetang Mahkamah Pidana Internasional; Keadilan Bagi
Generasi Mendatang, Dalam Kasim, Ifdal (Ed), Statuta Roma; Mahkamah Pidana Internasional Mengadili:
Kejahatan Genosida, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang, Kejahatan Agresi, Jakarta, ELSAM.
Pasal 6 statuta roma memberi takrif ‘genosida’ sebagai setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan dengan
tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau untuk sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras dan
keagaan, seperti misalnya:

1. membunuh anggota kelompok tersebut.


2. menimbulkan luka atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok tersebut,.
3. secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan
kehancuran fisik secara keseluruhan atau untuk sebagian.
4. memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut
memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok

BAB III

PEMBAHASAN

1. A. Bagaimana HAM dilanggar

Mastricht Guidelines yang mengelaborasikan prinsip-prinsip untuk mengarahkan implemantasi The International
Covenant on social and cultural rights, telah membantu mengentalkan lebih lanjut konsep pelanggaran hak asasi
bagi baik pelaku negara maupun pelaku non-negara, meski tetap dengan penekanan pada peran negara.
Arahan Mastricht ini menyediakan dasar utama bagi identifikasi pelanggaran hak asasi manusia. Arahan ini
menyatakan juga bahwa pelanggaran terjadi lewat acts of commission ( tindakan untuk melakukan), oleh pihak
negara atau pihak lain yang tidak diatur secara memadai oleh negara, atau lewat acts of ommission (tindakan
untuk tidak melakukan tindakan apapun) oleh negara. Pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak negara, baik
berupa acts of commission maupun acts of ommission, dapat dilihat dalam hal kegagalannya untuk memenuhi
tiga jenis kewajiban yang berbeda, yaitu: Mastricht Guidelines dihasilkan dalam satu pertemuan dari lebih dari 30
ahli yang diselenggarakan di Mastricht 22-26 Januari 1997. Tujuan pertemuan itu adalah untuk mengelaborasi
prinsip-prinsip Limburg tentang implementasi Kovenan internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya yang dilihat sebagai sifat dan lingkup pelanggaran hak hak, ekonomi, social dan budaya dan tanggapan
dan pemulihan yang tepat.

Pertemuan Mastricht diorganisasikan oleh Internasional Commission of Jurists, the Urban Morgan Institute on
Human Rights and the Centre for Human Rights of the Faculty of Law of Mastricht University. Prinsip-prinsip
Limburg dan arahan Mastricht telah diterbitkan di dalam berbagai dokumen. Termasuk internasional Comission
of Jurists Economic,Social and Cultural Rights: A Compilation of Essential Document. Chatelaine/Geneve:
International Comission of Jurists, 1997. kewajiban untuk menghormati: kewajiban menghargai ini menuntut
negara, dan semua organ dan agen (aparat)-nya, untuk tidak bertindak apapun yang melanggar integritas
individu atau kelompok atau pelanggaran pada kebebasan mereka. Contoh dari jenis ini adalah tindakan seperti:

1. pembunuhan di luar hukum [dalam pelanggaran atas kewajiban menghormati hak-hak individu untuk hidup
2. Penahanan serampangan [dalam pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati hak-hak individu untuk bebas
3. Pelarangan serikat buruh [dalam pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati kebebasan kelompok untuk berserikat
4. Pembatasan atas praktek dari satu agama tertentu [dalam pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati hak-hak
kebebasan beragama individu
5. kewajiban untuk melindungi: kewajiban untuk melindungi menuntut negara dan agen (aparat)-nya melakukan tindakan
yang memadai guna melindungi warga individu dari pelanggaran hak-hak individu atau kelompok, termasuk pencegahan
atau pelanggaran atas penikmat kebebasan mereka, contoh dari jenis pelanggaran ini adalah acts of ommission sepert
1. Kegagalan untuk bertindak, ketika satu kelompok tertentu, seperti satu kelompok etnis, menyerang kelompok, liyan
2. Kegagalan untuk memaksa perusahaan untuk membayar upah yang tepat.
3. Kewajiban untuk memenuhi: kewajiban untuk memenuhi ini menuntut negara melakukan tindakan yang memadai
untuk menjamin setiap orang di dalam peluang yurisdiksinya untuk memberikan kepuasan kepada Pelanggaran
HAM di Indonesia billah Komnas HAM mereka yang memerlukan yang telah dikenal di dalam instrumen hak asasi
dan tidak dapat dipenuhi oleh upaya pribadi. Contoh dari jenis ini adalah acts of ommission seperti:
1. Kegagalan untuk memenuhi sistem perawatan kesehatan dasar.
2. Kegagalan untuk mengimplementasikan satu sistem pendidikan gratis pada tingkat primer. Satuan-satuan
bukan-pemerintah dapat juga terlibat sebagai pelaku kejahatan pelanggaran hak asasi, sebagaimana yang
dilakukan oleh negara atau agenagennya, yang bertentangan dengan kewajiban untuk menghormati kebebasan
individual atau kelompok. Contoh dari tindakan seperti itu oleh satuan bukan negara adalah:
3. Pembunuhan penduduk sipil oleh tentara pemberontakan.
4. Pengusiran komunitas yang dilakukan oleh perusahaan trans nasional.
5. Serangan bersenjata oleh salah satu pihak melawan pihak yang lain; Serangan fisikal mendadak oleh pengawal
pribadi melawan para pemrotes. Beberapa tindakan pelanggaran oleh agen bukan-negara dalam wilayah hakhak
ekonomi, sosial dan budaya, antara lain adalah,
1. Merancang tingkat upah yang lebih rendah daripada yyang dinyatakan di dalam perundang-undangan.
2. Kebijakan yang bersifat diskriminatori di dalam pengangkatan buruh/ pekerja/ karyawan.
1. Pembuangan zat pencemar
Tidak dapat disangkal bahwa tindakan oleh pelaku bukan-pemerintah seperti itu mengarah ke pelanggaran atas
hak-hak asasi. Meskipun demikian masih tetap ada perbedaan dan perdebatan. Diantara mereka yang tetap
berpendapat bahwa pelanggaran hak asasi harus dilekatkan hanya pada pemerintah, karena pada akhirnya
tindakan-tindakan pelaku bukan-pemerintah dilihat sebagai tanggung-jawab negara yang dianggap gagal
mencegah atau melawan tindakan-tindakan itu. Di pihak lain, ada yang melihat tindakan oleh satuan bukan-
pemerintah sebagai pelanggran, seperti pelanggaran terhadap hak-hak perempuan. Peristiwa dan Tindakan.
Satu peristiwa adalah sesuatu yang terjadi sejak awalan peristiwa itu dan kelanjutannya hingga berakhir dengan
akhiran peristiwa yang bersangkutan. Peristiwa itu bisa jadi merupakan satu tindakan tunggal yang berdiri
sendiri, satu rangkaian tindakan yang saling berkaitan, atau satu kombinasi dari tindakan yang saling berkaitan
yang terjadi secara bersama. Bilamana satu peristiwa dijadikan sasaran pemantauan hak asasi manusia, maka
paling tidak, ada satu tindakan yang isinya dapat dikualifikasikan sebagai satu pelanggaran hak asasi (misalnya
penangkapan legal/secara hukum). Sedangkan tindakan adalah satu bagian dari gerakan atau tindakan yang
biasanya menggunakan kekuatan. Satu tindakan dilakukan oleh seseorang (satu individu atau kelompok),
dianggap dan diperlakukan sebagai satu act of commission. Tetapi tindakan dapat juga berarti bukan-tindakan
(nonperformance) dari satu gerakan atau tindakan yang diharapkan atau dituntut, dan tindakan seperti ini disebut
sebagai act of ommission. Satu peristiwa dapat merupakan salah satu dari yang berikut ini :

1. peristiwa satu-tindakan (one-act event): kebanyakan peristiwa dari jenis ini terdiri dari tindakan yang biasanya segera
selesai, seperti pembunuhan pemimpin buruh atau pemboman satu kantor. Kebanyakan tindakan melibatkan pengaturan
(legislation) atau pembuatan kebijakan (policy making) dapat juga diperlakukan sebagai peristiwa satu-tindakan (one-act
event).
2. Peristiwa banyak-tindakan ( multiple–act event), yaitu banyak tindakan di dalam satu peristiwa dapat terjadi sebagai
berikut:
3. Satu rangkaian tindakan yang berkaitan :
1. seseorang biasanya dapat melihat pada pola pelanggaran yang terjadi di bawah rezim penidasan (repressif) sebagai
berikut: ‘penangkapan (arrest) penyiksaan (torture) pemenjaraan (imprisonment) atau pengawasan (surveilence)
pengambilan secara paksa (abduction) pembunuhan diluar hukum (extra judicial execution)
2. Tindakan serentak (simultanious acts): contoh dari peristiwa dengan tindakan serentak adalah pembunuhan massal
atau pemukulan atas berbagai demonstran selama satu tindakan protes)
3. Satu kombinasi dari tindakan yang berurutan dan serentak (a combinion of sequential and simultanious acts): satu
contoh dari tindakan ini adalah penangkapan dari beberapa buruh yang berasal dari serikat (organisasi) yang sama.
Penangkapan dapat menjadi serentak, tetapi tindakan yang mengikuti terhadap masing-masing bisa, berbeda
sebagAaimana beberapa diantaranya dibebaskan segera sementara yang lain dapat ditahan. semua

peristiwa akan mengandung tindakan. Satu pengecualian terjadi ketika penyelidikan sedang akan dilaksanakan
dan apa yang tersedia hanyalah

informasi umum dan belum terinci, misalnya seseorang bisa jadi mendengar tentang satu pemboman di desa
pelosok, akan tetapi belum

diketahui jumlah korban yang mungkin jatuh atau kerusakan materiel yang

mungkin terjadi. Hal itu berarti peristiwa telah jelas terjadi akan tetapi jumlah dan identitas korban belum
diketahui dan masih tetap perlu memastikannya. Kemungkinan lain terjadi jika satu peristiwa besar/luas yang
melingkupi sejumlah peristiwa yang lebih kecil. Korban dan Pelaku

Berbagai individu atau kelompok (seperti keluarga, komunitas, organisasi, kasta/klas atau kelompok, atau orang
pada umumnya) dapat terlibat di dalam satu peristiwa atau dalam hubungan dengan satu peristiwa. Istilah
khusus digunakan untuk mengacu pada satu individu atau kelompok, tergantung pada peran yang mereka
pegang. Peran adalah tingkah-laku yang diharapkan yang berkaitan dengan satu posisi sosial ,sehingga peran.
seseorang tergantung pada satu konteks tertentu, dan dengan demikian dapat ditarik peran secara sosiologis
cukup beragam, lebih rinci lihat: Theodorson & Theodorson. A Modern Dictionary Of Sociology, New York,
Thomas Y.Crowell Company, 1969, Pp.352-357,Abercrombie, Hill, Turner, Dictionary Of Sociology, London,
Penguins Book, 1984,Pp, Pp.209- 211; Mitche, G Duncan (Ed), A New Dictionary Of Sociology, London,
Routledge, 1999, Pp,159-161; Adam Kuper And Jessicakuper (Eds), The Social Science Encyclopedia, London
New York, Routledge & Keagean Paul, 1985,Pp 714-6; Biddle, B,J (1979), Role Theory, Expectations, Identities
And Behaviour, London; Banton,M,(1965), Roles; An Introduction To The Study Of Social Behavior, London;
Goffman, E, (1959) The Presentation Of Self In Everyday Life, New York; M, Banton, Roles, 1965;W.J Goode, A
Theory of Role Strain,American Sociological Review, XXV,4,1960; B.Biddle And E.J Thomas (Eds). Role
Theory,Concept And Research, 1966; R.Dahrendorf, On The History, Significance And Limits Of Category Of
Social Role In Essays In The Theory Of Society, 1968. Lihat Consensus, Reference Group, Salf, Social
Structure.
Berubah dari satu setting (latar) ke latar yang lainnya. Misalnya, seseorang tertentu bisa jadi menjadi korban di
dalam satu peristiwa dan menjadi satu pihak yang menerobos masuk ke dalam peristiwa lain. Peran yang paling
berarti adalah korban dan pelaku kejahatan (perpetrator). Korban adalah orang (individu atau kelompok) yang
merupakan obyek dari satu tindakan. Sedangkan pelaku kejahatan adalah orang (individu atau kelompok) yang
melakukan tindakan pelanggaran. Pelaku kejahatan dapat merupakan satu satuan negara atau bukan negara.
Alat yang dipergunakan dapat berupa senjata yang sesungguhnya seperti senapan, atau proses yang lebih
niskala seperti pembuatan hukum (undang-undang, peraturan).

Praktek Pelanggaran HAM di Indonesia Dari perspektif tipologi pelaku dan korban.

1. Pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh negara lewat, acts of


commission maupun act of ommision yang terjadi di Indonesia di lihat dari kegagalan negara dan/atau
pemerintah memenuhi kewajibannya sebagaimana yang disebutkan di dalam undang-undang.14Sebagaimana
telah dikemukakan negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia
warganya. Pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia dapat diketegorikan ke dalam pelanggaran negara
terhadap kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia.
1. Pelanggaran terhadap kewajiban untuk menghomati hak asasi manusia berupa tindakan (aparat) negara dalam hal:
Pembunuhan diluar hukum sebagai pelanggran atas kewajiban menghormati hak untuk hidup.
Pelanggaran yang telah terjadi adalah: pembunuhan di luar hukum sejumlah besar orang yang dituduh PKI pada
tahun-tahun awal Orde Baru, baik yang secara langsung dilakukan oleh aparat negara (acts of commission)
Pasal 8 UU No. 39/1999 menyebutkan: perlindungan, pemajuan, penegakan, danpemenuhan hak asasi
manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah (cetak miring dan garis bawah oleh MMB). Lihat juga
pasal 71: “pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukanhak
asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini dan pasal 72:” kewajiban dan tangungjawab pemerintah
meliputi langkah implementasi yang efektif di bidang hukum, politik, ekonomi, social, budaya, pertahanan
keamanan negara, dan bidang lain. Lihat Pasal 8, Pasal 71 UU. No.39/1999 Lihat Pasal 4; hak untuk hidup..dst.
adalah hak asasi manusia yang tidak dikurangi dalam keadaan apapun,’ dan Pasal 9 ayat (1) UU. 39/1999;
‘setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Pasal 33 (1)
setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan nyawa. maupun yang dilakukan oleh pelaku bukan-negara,
tetapi (aparat) negara tidak mencegahnya (act of ommission); pembunuhan diluar hukum sejumlah orang yang
dituduh pelaku kejahatan pada parohan pertama tahun 1980-an, yang dikenal sebagai ‘petrus’ (penembakan
misterius); pembunuhan di luar hukum terhadap massa dalam peristiwa tanjung priok pada paruhan pertama
tahun 1980-an (termasuk peristiwa Talangsari) dalam konteks penerapan paksa “asas tunggal Pancasila”,
pembunuhan yang terjadi dalam operasi militer ‘tak resmi’ (dikenal dengan pembunuhan terhadap rakyat sipil
dalam masa “DOM”) di Aceh dan Papua sejak awal tahun 1990-an; pembunuhan sejumlah orang yang dituduh
“tukang santet” di beberapa wilayah di Jawa yang terjadi pada parohan kedua tahun 1990-an’ pembunuhan yang
terjadi dalam “peristiwa Trisakti dan Semanggi” pada parohan terakhir tahun 1990-an. Penghilangan secara
paksa (enforced disappearence) atau penculikan (pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati hak hidup)
sejumlah aktivitas mahasiswa demokrasi oleh apa yang disebut sebagai “team Mawar Kopassus” pada parohan
keduatahun 1990-an.Penyiksaan dan penganiayaan (pelanggaran atas hak untuk tidak disiksa) yang dilakukan
oleh (aparat) negara. Pasal 33 ayat (2) UU.No. 39/1999. ‘setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan
paksa dan penghilangan nyawa. hak untuk tidak disiksa dst, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apaun dan oleh siapapun, setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan,
penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat
kemanusiaannya,’dan pasal 34 UU. No.39/1999; ‘setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan,
diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang. polisi/Brimob) terhadap sejumlah aktivis mahasiswa dalam
kasus penculikan oleh Team Mawar Kopassus; penganiayaan oleh aparat negara terhadap sejumlah aktivis
mahasiswa IAIN Ar Raniry di Banda Aceh; penyiksaan dan penganiayaan terhadap rakyat sipil oleh satuan
militer di Meunasah, Aceh. iv. Penangkapan dan penahanan di luar hukum (melanggar kewajiban untuk
menghormati hak kebebasan individu ) oleh aparat negara (polisi/Brimob) terhadap aktivis OMOP “Koalisi NGO
HAM Aceh” pada masa Darurat Militer di Aceh. v. Pelarangan organisasi dan kegiatan organisasi (pelanggaran
atas kewajiban untuk menghormati kebebasan berpendapat dan berserikat) oleh aparat negara (Penguasa
Darurat Militer) terhadap Kontras Banda Aceh pada bulan Juni 2003; Maklumat PDMD tentang pembatasan
dan/atau pelarangan NGOs HAM dan kegiatannya. vi. Pelarangan atas dan pembatasan terhadap keyakinan
ideology (keyakinan politik) dan/atau agama (pelanggaran atas kewajiiban menghormati hak kebebasan
berkeyakinan dan beragama individu)23 dalam kasus ketetapan MPRS XXV /196, lihat pasal 34 UU.No. 39/1999
lihat pasal 24 (1) UU, No.39/1999: ‘setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-
maksud damai,’ pasal 101; ‘setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran
hak asasi manusia. lihat pasal 23 UU. No.39/1999: ‘setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan
politiknya, lihat pasal 22 (1) UU.No. 39/1999: ‘setiap orang berhak memeluk agamanya masing-masing dan
berhak untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.’ Pasal 22 (2); ‘negara menjamin
kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.’ pelarangan Jemaat Ahmadiyah (di Pancor, Lombok Timur), serta pelarangan pentas teater
buruh dan teater lainnya. Pelanggaran terhadap kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia berupa tindakan
negara atau melakukan tindakan yang memadai guna melindungi individu atau kelompok dari pelanggaran hak
individu atau kelompok termasuk pencegahan atau pelanggaran penikmatan kebebasan individu
atau kelompok.24 Pelanggaran by act of omission antara lain:
1. Kegagalan aparat negara (polisi) untuk mencegah penyerangan terhadap kantor Kontras Jakarta di Jl. Mendut oleh
‘kelompok tak dikenal’ dan Jl. Cisadane oleh kelompok PPM beberapa waktu yang lalu; kegagalan aparat negara (polisi)
mencegah penyerangan dan perusakan rumah dan masjid Jemaat Ahmadiyah di Pancor Lombok Timur akhir tahun 2002
yang lalu; kegagalan aparat negara (polisi dan militer) mencegah pembakaran lebih dari 500 gedung sekolah di Aceh
pada bulan Pertama Darurat Militer di Aceh.
2. Kegagalan aparat negara (polisi) mencegah pembunuhan sejumlah orang yang dituduh “tukang santet” diberbagai
tempat di Jawa pada akhir daswarsa yang lalu; kegagalan aparat negara (polisi) mencegah pembunuhan sejumlah orang
yang dituduh elaku tindak kejahatan dalam kasus “petrus” awal tahun 1980an.
iii. Kegagalan aparat negara (birokrasi pemerintah) untuk membayar ganti rugi tanah yang sesuai dengan harga
pasar (memadai) dalam kasus waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah tahun 1980an; 24 Lihat pasal 8 dan pasal
71 UU. No.39/1999 kegagalan aparat negara (birokrasi pemerintah) untuk memaksa perusahaan pencemar
lingkungan mengganti kerugian pada warga masyarakat setempat dalam kasus Newmont di Minahasa, kasus IIU
di Porsea.
iv. Kegagalan aparat negara (pemerintah daerah) untuk memaksa perusahaan membayar upah buruh yang tepat
berbagai kota di Indonesia.

Pelanggaran terhadap kewajiban untuk memenuhi hak asasi manusia dalam hal melakukan tindakan yang
memadai untuk memenuhi penikmat atas pelayanan publik25 lewat acts of ommision, seperti :

1. Kegagalan untuk memenuhi sistem perawatan kesehatan dasar dari para pengungsi berbagai peristiwa: pengungsi kasus
konflik horisontal di Kalimantan Barat’, pengungsi kasus konflik horisontal’ “Ambon”; pengungsi kasus “Aceh”
2. Kegagalan untuk mengimplementasikan satu sistem pendidikangratis pada tingkat SD.
Pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang dilakukan oleh pelaku bukan negara.

1. Pembunuhan penduduk sipil26 oleh tentara pemberontak: pembunuhan penduduk sipil Aceh Oleh GAM.
2. Pengusiran komunitas27 : pengusiran dan penolakan untuk kembali ke pemukiman semula terhadap etnis Madura dalam
kasus ‘konfli lihat pasal 8 dan pasal 71 UU, No. 39/1999 Lihat pasal 9 UU. No.39/1999 ihat pasal 27 (1) UU. No.
39/1999: “ setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam
wilayah negara Republik Indonesia’. horisontal di Kalimantan Barat; pengusiran penduduk sipil etnis Aceh oleh milisi
sipil bukan etnis-Aceh yang didukung oleh TNI di wilayah Aceh Tengah.
3. Serangan bersenjata oleh satu pihak melawan pihak yang lain:
serangan etnis yang satu terhadap etnis yang lain dalam kasus konflik horisontal di Ambon dan di Kalimantan
Barat; serangan kelompok PDI Suryadi yang dibantu aparat keamanan atas kantor PDI-P di Jl. Diponegoro
Jakarta; serangan milisi-sipil terhadap penduduk sipil etnis Aceh di Aceh Tengah.Serangan kelompok yang
menamakan diri FPI terhadap gedung dan bangunan tempat usaha di berbagai tempat; serangan kelompok yang
menamakan diri ‘anak buah Tommy Winata’ terhadap anggota Dewan Redaksi Tempo dan perusakan pagar
gedung majalah Tempo.

1. Serangan fisikal mendadak oleh pengawal melawan para pemrotes, serangan polisi anti huru-hara (dan PHH) terhadap
mahasiswa (kasus Trisakti dan Semanggi), buruh, dan para demonstran (kasus pembredelan Editor, Detik, dan Tempo),
dalam berbagai kasus demonstrasi di berbagai wilayah di Indonesia.
2. Serangan fisikal kelompok yang menamakan diri ‘Banteng Muda’ terhadap mahasiswa demonstran di Malang.
3. Pelanggaran oleh agen bukan-negara dalam wilayah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
4. Tingkat upah yang lebih rendah daripada yang dinyatakan di dalam
perundang-undangan: kasus pelanggaran atas ketetapan upah minimum regional di berbagai kota.

1. Kebijakan yang bersifat diskriminatori28 di dalam pengangkatan buruh/pekerjaan/ karyawan: kasus ‘ET’ (eks-tahanan
politik). Kasus anak-anak dari orang tua yang dituduh PKI.
2. Perusakan tempat usaha oleh kelompok yang menamakan diri FPI.
3. Pembuangan zat pencemar: kasus “Tapak semarang” kasus “Teluk Jakarta”, kasus ‘IIU’ di Porsea, Kasus “Newmont” di
Minahasa, Peristiwa Pelanggaran. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa peristiwa pelanggaran hak asasi manusia
dapat terjadi dalam beberapa bentuk, yaitu: peristiwa satu-tindakan, peristiwa banyak-tindakan, dan peristiwa tanpa
tindakan.
Berbagai bentuk peristiwa yang terjadi dalam praktek pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia adalah:

1. Peristiwa satu-tindakan: kasus pembunuhan buruh Marsinah; kasus peledakan bom di gedung WTC, gereja di berbagai
tempat, rumah Dubes Filipina.
2. Peristiwa banyak tindakan:
1. rangkaian tindakan yang berkaitan: kasus penyiksaan Pengurus BEM IAIN Ar Raniry Banda Aceh, dilanjutkan
pengambilan secara paksa, penangkapan, pemenjaraan, pangawasan oleh satuan polisi dan Brimob Banda Aceh;
kasus pemeriksaan tanpa surat, dilanjutkan dengan penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap guru Ngaji
(ustadz) Muzakir Abdullah (disangka Muzakir Manaf Panglima GAM)oleh satuan militer di Nisam, Aceh Utara;
kasus penangkapan secara 28 Melanggar pasal 4 UU. No.39/1999: ‘hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan
di hadapan hukum…adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
paksa, dilanjutkan dengan pemerkosaan, penganiayaan, terhadap perempuan di Aceh oleh satuan Brimob dan TNI;
kasus penggrebegan, dilanjutkan dengan penggledahan tanpa surat, pemeriksaan, penangkapan beberapa personel
NGO koalisi HAM di Banda Aceh oleh satuan-satuan polisi.
2. Tindakan serentak: kasus pembunuhan tujuh orang (termasuk anakanak dan remaja) penjaga tambak di Aceh; kasus
pemukulan dan penendangan para demonstran yang melakukan protes.
3. Kombinasi tindakan berurutan dan serentak; kasus penangkapan di luar hukum dan pemeriksaan berbagai aktivis
HAM di Banda Aceh Pelanggaran HAM bukan-berat Pelanggaran HAM bukan-berat-yang seringkali dimasukkan
dalam kategori kejahatan biasa (ordinary crime)-berbeda dengan pelanggaran HAM berat-yang dikategorikan
sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime)- dalam hal pelakunya, modus operansi, tujuan dan proses
pertanggung-jawabannya. Wilayah yang dapat dilanggar oleh kejahatan biasa ini, dalam perspektif hak asasi
manusia, bisa menjangkau baik wilayah hak asasi manusia yang non derogable maupun yang derogable.
1. Pelanggaran hak asasi manusia yang bersifat non derogable. Pasal 4 UU. No. 39 /1999 menyebutkan hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun adalah:
1. hak untuk hidup.
2. Hak untuk tidak disiksa.
3. hak kebebasan pribadi, pikiran hati nurani.
4. Hak Thontowi, Jawir, pelanggran Hak asasi Manusia Berat dalam Perspektif Hukum Internasional dan
hukum Nasional, makalah untuk dengar pendapat tentang persepsi masyarakat terhadap pengertian tidak
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, universitas Jenmdral Soedirman, Purwokerto, 17 Mei 2003.
Beragama.
5. hak untuk tidak diperbudak.
6. hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum.
7. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Penjelasan undang-undang ini selanjutnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan apapun’
termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat, sedangkan yang dimaksud
“siapapun” adalah negara, pemerintah dan atau anggota masyarakat. Dibawah ini hanya disebutkan beberapa
contoh praktek pelanggaran atas hak asasi manusia yang non derogable:

1. Pelanggaran atas hak untuk hidup (pasal 9 UU. No.39/1999): kasus pembunuhan atas Marsinah (buruh), Syarifudin/Udin
(wartawan); dan kasus pembunuhan hakim, serta kasus pembunuhan lainnya.
2. Pelanggaran atas hak untuk tidak disiksa (pasal 33 (1) UU.No.39/1999): penyiksaan atas Yudi Astono (kasus Marsinah),
dan kasus penyiksaan tahanan dan narapidana yang lainnya.
3. Pelanggaran atas hak kebebasan pribadi (pasal 15 UU. No. 39/1999), pikiran (pasal 23UU.No.39/1999), dan hati nurani
pasal 23 UU. No.39/1999): pelarangan pementasan teater (Rendra, Ratna Sarumpaet dll.), dan teater buruh (kasus TBI)
4. Pelanggaran hak beragama (pasal 22 UU.No,39/1999): pelarangan jemaat Ahmadiyah di Pancor Lombok Timur.
5. Pelanggaran hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum (pasal 17 dan pasal 29
UU,No.39/1999): peristiwa pengadilan massa atas mereka yang dituduh pencopet atau Penjelasan pasal ini menyatakan
bahwa hak untuk dituntut atas dasar hokum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap
hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. perampok di satu pihak, dan pemberian
ijin/kelonggaran pelaku tindak pidana korupsi yang tidak segera dieksekusi (misalnya kasus Akbar Tanjung).
6. Pelanggaran hak asasi manusia yang deregoble:
1. pelanggaran atas untuk berkumpul, berapat, dan berserikat (pasal 24)pelarangan pertemuan “Paguyuban Korban
Orde Baru” di solo.
2. Pelanggaran hak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum, hak untuk mogok (pasal 25): penerapan kembali
“pasal karet”.
3. Pelanggaran hak untuk bebas bergerak dan bertempat tinggal dalam wilayah negara RI (pasal 17,40): kasus “cegah-
tangkal” (cekal).
4. Pelanggaran hak atas rasa aman (pasal 30, 35): sweeping KTP orang Aceh di Jakarta.
5. Pelanggaran atas hak reproduksi perempuan (pasal 49): pelarangan atas hak cuti karena haid, pelecehan seksual
(penggeledahan buruh perempuan pabrik)
6. Pelanggaran atas hak anak (pasal 58, 63, 66): perdagangan anak, pelacuran anak, perekruitan anak sebagai ‘cantoi.
7. Pelanggaran atas hak partisipasi dalam pemajuan, penegakan HAM (pasal 101): Maklumat PDMD yang melarang
NGOs asing dan NGOs nasional bergiat di Aceh.
1. B. Pelanggaran HAM yang berat
Dalam ketentuan undang-undang , No. 26/2000 tidak memberikan penjelasan yang rinci tentang takrif
pelanggaran berat HAM, meskipun pasal 7 menyatakan : pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi

1. Kejahatan genosida.
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sedangkan penjelasan pasal demi pasal hanya menyebutkan pengertian kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan ‘Rome Statue of The International Criminal Court.
Pelanggaran berat HAM mengandung unsure kesengajaaan dan sikap membiarkan suatu perbuatan yang
seharusnya dicegah (act of ommission), unsur sistematis yang menimbulkan akibat meluas dan rasa takut luar
biasa, dan unsur serangan terhadap penduduk sipil. Kejahatan genosida sejauh ini belum ada contoh peristiwa
praktek pelanggaran genosida di Indonesia yang mengandung semua unsur yang disebutkan di dalam Statuta
Roma. Pasal 1 butir 2 hanya menyatakan bahwa:’ pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah
pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang.

De Guzman Menyebutkan Tiga Ciri Penting Dari Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Pertama, Adanya Serangan
Yang Sistematik Dan Meluas; Kedua, Ditujukan Kepada Kelompok Sipil. Ketiga, Tindakan Yang Road From
Rome: The Developing Law Of Crimes Against Humanity, Human Rights Quarterly, May 22 Nd, 2000, P.339)
Lihat Juga; Fowler, Jerry, Kata Pengantar Statuta Roma Tetang Mahkamah Pidana Internasional; Keadilan Bagi
Generasi Mendatang, Dalam Kasim, Ifdal (Ed), Statuta Roma; Mahkamah Pidana Internasional Mengadili:
Kejahatan Genosida, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang, Kejahatan Agresi, Jakarta, ELSAM.
Pasal 6 statuta roma memberi takrif ‘genosida’ sebagai setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan dengan
tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau untuk sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras dan
keagaan, seperti misalnya:

1. membunuh anggota kelompok tersebut.


2. menimbulkan luka atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok tersebut,.
3. secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan
kehancuran fisik secara keseluruhan atau untuk sebagian.
4. memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut
5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok lain
Statuta Roam ; mahkamah pidana internasional mengadili; kejahatan genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan kejahatan terhadap kemanusiaan Pengadilan HAM yang telah dan sedang digelar
Terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat terjadi di Timur Loro Sae, memperoleh kritik dan dikecam oleh
para pegiat HAM sebagai yang tidak memenuhi standar internasional. Pengadilan atas ‘kasus Trisakti dan
Semanggi’ diganjal oleh keputusan Pansus DPR yang menyatakan bahwa tidak terjadi pelanggaran berat HAM
dalam kasus itu, meskipun hasil penyelidikan Komnas HAM menyatakan sebaliknya yaitu telah telah terjadi
pelanggaran berat HAM. Pengadilan ‘kasus Tanjung Priok” sedang dalam proses, meski menuai protes oleh
kerana dalam berkas tuntutan jaksa tidak dicantumkan nama para petinggi militer yang bisa diduga
bertanggungjawab dalam peristiwa itu, berbagai peristiwa yang dapat dicurigai sebagai memenuhi unsur
kejahatan terhadap kemanusiaan, antara lain adalah:

1. Pembunuhan terhadap ratusan ribu orang yang dituduh sebagai PKI pada tahun 1965/66; pembunuhan sejumlah (orang
yang dituduh) “preman” lewat: penembakan misterius (“Petrus”); pembunuhan Amir Biki (pimpinan kelompok kasus
Tanjung priok) yang terjadi dalam peristiwa Tanjung priok, pembunuhan dalam kasus Talangsari- Lampung;
pembunuhan yang terjadi di Aceh selama masa DOM; perang, kejahatan agresi, Jakarta, ELSAM, 2000, p,5; bandingkan
dengan pasal 8 UU No.26/2000 Pasal 9 UU. No.26/2000 Menyebutkan bahwa ‘kejahatan terhadap kemanusiaan adalah
salah satu sebagian dari serangan meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
1. Pembunuhan.
2. Pemusnahan.
3. Perbudakan.
4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (Asas-
Asas) ketentuan pokok hukum internasional.
6. Penyiksaan.
7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan hamil, pemandulan atau sterilisasi secara paksa
atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari telah diakui secara universal
sebagai hal yang dilarang menurut hukum Internasional.
9. penghilangan orang secara paksa.
10. kejahatan apartheid (banding: Pasal 7 Statuta Roma Dalam Kasim, Ifdal (Ed) 2000, P,5. Bandingkan Dengan Pasal 8
UU No.26/2000) pembunuhan Muzakir Abdullah (guru ngaji), pembunuhan anas (anakanak sekolah dalam kasus
extra judicial execution di tambak).
1. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa35 etnis Madura dari Kalimantan Barat dalam peristiwa konflik
horisontal di wilayah itu; pengusiran penduduk asli etnis Aceh oleh milisi-sipil penduduk tidak asli (Pujakesuma) yang
didukung militer di Aceh Tengah.
2. Penyiksaan36 para aktivis, mahasiswa yang diculik oleh Kopassus dalam kasus ‘Penculikan Aktivis’; penyiksaan atas
aktivis mahasiswa demokrasi (dalam kasus penculikan aktivis), penyiksaan atas penduduk sipil di Aceh.
3. Perkosaan yang terjadi dalam peristiwa kasus “kerusuhan Mei 1998; dan terjadi dalam peristiwa Aceh selama konflik
dan konflik internal bersenjata.
4. Penghilangan orang secara paksa 38 terhadap para aktifis mahasiswa dan terhadap penduduk sipil di Aceh selama
konflik. penjelasan pasal 9 UU, No. 26/2000 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengusiran atau pemindahan
penduduk secara paksa adalah pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan
yang lain dari daerah di mana mereka bertempat itnggal secara sah, tanpa didasari alas an yang diizinkan oleh hukum.
penjelasan pasal 9 UU, No. 26/2000 menyatakan bahwa “yang dimaksud penyiksaan dalam ketentuan ini adalah
sengaja dan melawan hokum menimbulkan kesakkitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental,
terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada di bawah pengawasan di dalam kedua kasus ini masih
diperdebatkan apakah tindakan perkosaan itu memenuhi unsure sistematis sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 9 UU. No.26/2000 Yang dimaksud dengan penghilangan orang secara paksa’ yakni penangkapan,
penahanan atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau
kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut atau utuk
memberikan informasi tentang nsib atau keberadaan orang tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari
perlindungan hokum dalam jangka waktu yang lama

Anda mungkin juga menyukai