Anda di halaman 1dari 16

MODUL PENGANTAR ILMU HUKUM

(LAW 101)

MODUL 12
TUJUAN & ESSENSIALIA KAIDAH HUKUM

DISUSUN OLEH
NIN YASMINE LISASIH S.H., M.H.

UNIVERSITAS ESA UNGGUL


2020

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
0 / 16
TUJUAN & ESSENSIALIA KAIDAH HUKUM

A. Kemampuan Akhir Yang Diharapkan


Setelah mempelajari modul ini, diharapkan mahasiswa mampu :
1. Mahasiswa mampu menjelaskanTugas Kaedah Hukum & Essensialia
Kaedah Hukum
2. Mampu menjelaskan hubungan antara Tujuan dan Tugas Kaedah serta
sifat Essensialia Kaedah Hukum

B. Uraian dan Contoh

Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Dan dalam


fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum mempunyai
tujuan. Tujuan hukum merupakan arah atau sasaran yang hendak
diwujudkan dengan memakai hukum sebagai alat dalam mewujudkan
tujuan tersebut dengan mengatur tatanan dan prilaku masyarakat.

Begitu banyak teori tentang tujuan hukum, namun paling tidak, ada
beberapa teori yang dapat di golongkan sebagai grand theory tentang
tujuan hukum, sebagaimana dikemukakan Acmad Ali dalam bukunya.1
Achmad Ali membagi grand theory tentang tujuan hukum ke dalam
beberapa teori yakni teori barat, teori timur, dan teori hukum islam yakni
sebagai berikut:

1
“Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Toeri Peradilan (judicialprudence) termasuk
interpretasi Undang-Undang (legisprudence)” merupakan salah satau dari sebelas Volume
karangan buku Profesor Dr. Acmad Ali, S.H.,M.H, (Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Hasanudin)

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
1 / 16
1. Teori Barat,
menempatkan teori tujuan hukumnya yang mencakup kepastian hukum,
keadilan dan kemanfaatan.2 Yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam
tabel yang terdiri atas teori klasik dan teori modern.
Perilah “teori barat” lebih jelasnya ia (Achmad Ali) memasukan
dan menjelaskanya ke dalam skema sebagai berikut:

2. Teori Timur,
berberda dengan teori barat, bangsa-banga timur masih menggunkan
kultur hukum asli mereka, yang hanya menekankan maka teori tentang
tujuan hukumnya hanya menekankan “keadilan adalah
keharmonisasian, dan keharmonisasian aalah kedamaian”.3

2
Acmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Toeri Peradilan (judicialprudence)
termasuk interpretasi Undang-Undang (legisprudence), Kencana Perdana Media Group, Cetakan
Ke-I Agustus, Jakarta, Hal. 212
3
Ibid, hlm. 212-213

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
2 / 16
3. Teori hukum islam.
Teori tujuan hukum islam, pada prinsipnya bagaimana mewujudkan
“kemanfaatan” kepada seluruh umat manusia, yang mencakup
“kemanfaatan” dalam kehidupan dunia maupun diakhirat. Tujuan
mewujudkan kemafaatan ini sesuai dengan prinsip umum Al-Qur’an:
a. Al-Asl fi al-manafi al-hall wa fi almudar al man’u (segala yang
bermanfaat dibolehkan, dan segala yang mudarat dilarang).
b. La darara wa la dirar (jangan menimbulkan kemudaratan dan
jangan menjadi korban kemudaratan).
c. Ad-darar yuzal (bahaya harus dihilangkan).4

Selaras dengan tujuan hukum barat, Indonesia mengunakan


hukum formal barat yang konsep tujuan hukumnya adalah keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum, namun Indonesia juga menganut
sistem eropa kontinental secara dominan dalam sistem hukumnya,
sehingga corak pemikirannya sangat legalistik. Hal itu disebabkan oleh
keadaan dan sejarah perkembangan indonesia sebagaimana dikemukakan
oleh Ahmad Ali.

Dan bagi negara-negara berkembang (salah satunya Indonesia)


pada umumnya hukum di negara-negara berkembang secara historis
terbentuk oleh empat lapisan. Lapisan terdalam terdiri dari aturan aturan
kebiasaan yang diakui (sebagai hukum oleh masyarakat yang
bersangkutan), di atasnya ialah lapisan aturan-aturan keagamaan yang
diakui, kemudian aturan-aturan hukum dari negara kolonial dan lapisan
paling atas ialah hukum nasional modern yang terus berkembang. Sejak
beberapa puluh tahun ke belakang kemudian ditambahkan lapisan kelima,
yaitu hukum internasional.5

4
Ibid, hlm. 216-217
5
Jan Michiel Otto, 2012, Kepastian Hukum Yang Nyata di Negara Berkembang, dalam Jan
Michiel Otto (et.all), Kajian sosio-legal: Seri Unsur-Unsur Penyusun Bangunan Negara Hukum,
Denpasar Bali: Penerbit Pustaka Larasan, Edisi Pertama, Hal. 119

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
3 / 16
Soebekti, berpendapat bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan
negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan keabahagiaan para rakyat.
Dalam mengabdi kepada tujuan negara dengen menyelenggarakan
keadilan dan ketertiban. Menurut hukum positif yang tercantum dalam
alienea ke 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar, menyatakan bahwa
tujuan hukum positif kita adalah untuk membentuk suatu pemerintahan
negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh
tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdasakan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.

Menurut Teori Campuran, Mochtar Kusuatmadja mengemukakan


tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan akan
ketertiban adalah syarat pokok bagi adanya masyarakat manusia yang
teratur. Disamping itu, tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan
yang berbeda isi dan ukuranya menurut masyarakat dan zamanya. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa Indonesia merupakan negara yang
menggunakan konsep umum tujuan hukum yang sama dengan negara-
negara barat yang menggunakan sistem hukum civil law dan living law
yakni keadilan, kemanafaatan dan kepastian.

Namun yang lebih dominan bercorak legalistik yang


menekankan pada aspek hukum tertulis yang berorientasi pada kepastian.
Dengan demikian, pada hakikatnya suatu hukum harus memiliki tujuan
yang didalamnya mengandung unsur keadilan, kemanfaatan dan kepastian.
Ketiga-ketiganya merupakan syarat imperatif yang tidak boleh hanya satu
unsur dan atau dua unsur lainya yang terpenuhi.

Teori Tujuan Hukum dalam Aspek Kepastian Kepastian hukum


merupakan teori yang lahir atas perkembangan paham positivisme hukum
yang berkembang pada abad ke 19. Kepastian hukum sangat erat kaitanya

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
4 / 16
dengan hukum positif yakni suatu hukum yang berlaku dalam suatu
wilayah Negara dan atau kedaan tertentu yang berbentuk tertulis
(Peraturan Perundang-Undangan). Aturan tersebut pada prinsipnya
mengatur atau berisi tentang ketentuan-ketenatuan umum yang menjadi
pedoman bertingkah laku bagi setiap individu masyarakat. Bahwa adanya
aturan hukum semacam itu dan pelaksanaan aturan tersebut akan
menimbulkan kepastian hukum, yang dalam pandangan Peter Mahmud
sebagai berikut:

“Kepastian hukum mengandung dua pengertian yaitu pertama,


adanya aturan yang bersifat umum membuat individu dapat mengetahui
apa saja yang boleh atau tidak boleh dilakukan; dan kedua, berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena
dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui
apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap
individu.”6

Sejalan dengan itu, Satjipto Raharjo mengemuka-kan pandangan


mengenai hukum subtantif dan hukum proesdural yang dikeluarkan oleh
pembuat hukum. Peraturan subtantif adalah peraturan yang berisi tentang
perbuatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Sedangkan
peraturan prosedural adalah peraturan yang isinya mengatur tentang tata
cara dan tata tertib untuk melaksanakan peraturan subtantif tersebut yang
bersifat prosedural.7

Kepastian undang-undang lahir dari aliran yuridis


dogmatiknormatif-legalistik-positivistis yang bersumber dari pemikiran
kaum legal positivisim di dunia hukum. penganut aliran ini, tujuan hukum

6
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum edisi revisi, Kencana Prenada Media
Group, Hlm. 136
7
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan Ke-V,
Hlm.. 77

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
5 / 16
hanya semata-mata untuk mewujudkan legal certainty (kepastian hukum)
yang dipresepsikan sekedera “kepastian undang-undang”.

Kepastian hukum menurut pandangan kaum legalistik, sifanya


hanya sekedar membuat produk perundang-undangan, dan menerapkan
dengan sekedar menggunakan “kacamata kuda” yang sempit.8 Lebih lanjut,
penganut legalistik menyatakan, meskipun aturan hukum atau penerapan
hukum terasa tidak adil, dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi
mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal, asalkan kepastian
hukum legal certainty dapat terwujud.56 Secara sosio-historis, masalah
kepastian hukum muncul bersamaan dengan sistem produksi ekonomi
kapitalis.

Berbeda dengan sistem produksi sebelumnya maka yang terkahir


ini mendasarkan pada perhitungan efisiensi. Semua harus bisa dihitung
dengan jelas dan pasti, berapa barang yang dihasilkan, berapa ongkos yang
dikeluarkan, dan berapa harga jual.9 Hukum modern itu mengikuti
perkembangan zaman yang sangat mendukung kebutuhan sistem ekonomi
baru yang kapitalistik. Karena tertulis dan diumumkan secara publik, maka
segala sesuatu bisa diramalkan dan dimasukan ke dalam komponen
produksi.

Sehingga ilmu hukum juga terpanggil untuk memberi legitimasi


teori terhadap perkembangan tersebut. disinilah munculnya positivisme
dan berfikir positivistik.10 Dengan demikian penulis menarik kesimpulan
dan menegaskan sekali lagi, bahwa sejatinya hukum positif negara kita
yang bersifat legalistik yang selalu mengangungkan kepastian hukum pada
dasarnya berpihak dan mengikuti perkembangan ekonomi kapitalisme
dalam sistem produksi dan industrialisasi.

8
Acmad Ali, Op.cit. Hlm.284
9
Ibid, hlm. 290
10
Ibid, hlm. 291

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
6 / 16
Redbruch, dalam tesisnya yang membicarakan tentang cita hukum
(idea des recht) yang termaktub dalam tiga nilai dasar (Grundwerten) yaitu
keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zwekmaeszigkeit), dan kepastian
hukum (rechtssichherkeit).11 Ketiga nilai dasar tersebut tidak selalu berada
dalam hubungan yang serasi (harmonis) satu sama lain, melainkan saling
berhadapan, bertentangan satu sama lain.

Berdasarkan ajaran prioritas baku, Gustav Rebruch mengemukakan


kembali, yang awalnya bahwa ide dasar hukum itu merupakan tujuan
hukum secara bersama-sama, namun setelah berkembang, bahwa (ia
mengajarkan) kita harus menggunakan asas prioritas, dimana prioritas
pertama adalah keadilan, kedua kemanfaatan, dan terkahir adalah
kepastian hukum. kepastian dan kemanfaatn hukum tidak boleh bertentang
dengan keadilan, juga kepastina hukum tidak boleh bertentangan dengan
kemanfaatan.12

Selanjutnya, tentang “kepastian hukum” Fuller yang dikutip


Satjipto Raharjo dalam bukunya Hukum dalam Jagat Ketertiban
menjelaskan bahwa, “Fuller mengajukan delapan asas yang harus dipenuhi
oleh hukum dan apabila itu tidak terpenuhi, maka gagalah hukum disebut
sebagai hukum. kedepalan asas tersebut sebagai berikut :13
1. Suatu sistem hukum terdiri dari peraturan-peraturan, tidak
berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu (ad hoc);
2. Peraturan tersebut di umumkan kepada publik;
3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem.
4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa
dilakukan;

11
Redbruch, dalam Acmad Ali, Ibid. Hlm.292
12
Ibid, hlm. 288
13
Fuller yang dikutip oleh Satjipto Raharjo, 2006, Hukum dalam jagat ketertiban, dalam Acmad
Ali, Ibid. Hal. 294

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
7 / 16
7. Tidak boleh sering diubah-ubah;
8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan seharI-hari;

Sejalan dengan itu, Jan Micheil Otto memberikan suatu


definisi “kepastian hukum” yang tidak sekedar kepastian yuridis.
Kepastian hukum nyata sesungguhnya mencakup pengertian kepastian
hukum yuridis, namun sekaligus lebih dari itu. Saya (Jan)
mendefinisikannya sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi
tertentu:14
1. tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan mudah
diperoleh (accessible), diterbitkan oleh atau diakui karena
(kekuasaan) negara.
2. bahwa instansi-instansi pemerintah menerapkan aturan-aturan
hukum itu secara konsisten dan juga tunduk dan taat terhadapnya.
3. bahwa pada prinsipnya bagian terbesar atau mayoritas dari
warganegara menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan
perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut.
4. bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak
(independent and impartial judges) menerapkan aturan-aturan
hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan
sengketa hukum yang dibawa kehadapan mereka.
5. bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan. Dengan
demikian, pada dasarnya kepastian hukum akan memberikan suatu
dasar, apa yang boleh dan tidak boleh diperbuat oleh masyarakat,
serta perlindungan bagi setiap individu masyrakat dari tindakan
otoriter negara.

Namun yang tak kalah penting adalah bahwa nilai kepastian


hukum tidak hanya berbentuk pasal-pasal dalam peraturan
perundangudangan, melainkan adanya korelasi antara aturan hukum
yang satu dengan aturan hukum yang lain baik secara hierarkis

14
Jan Michiel Otto, Op.cit. Hlm. 122

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
8 / 16
maupun secara subtansif. Artinya suatu aturan hukum yang satu
dengan yang lain tidak boleh tumpang tindih dan bertentangan antara
yang umum dengan khusus baik secara hierarkis maupun subtansi
dalam aturan tersebut, sehingga dapat menimbulkan suatu kepastian
hukum dalam implementasinya.

C. Hubungan antara Tugas dan Tujuan Kaedah Hukum

Tujuan kaidah hukum adalah kedamaian. Yang dimaksud


kedamaian adalah suatu keadaan dimana terdapat keserasian antara (nilai)
ketertiban ekstren antar pribadi dengan nilai ketentraman/ ketenangan
intern pribadi.

Sedangkan tugas kaidah hukum adalah untuk mencapai keadilan.


Yang dimaksud keadilan adalah keserasian antara(nilai) kepastian hukum
dengan (nilai) kesebandingan hukum.

Hubungan antara tugas dan tujuan hukum adalah bahwa pemberian


nilai kepastian hokum akan mengarah kepada ketertiban ekstren pribadi
sedangkan pemberian kesebandingan hukum akan mengarah kepada
ketentraman/ketenangan intern pribadi.

D. Esensialia Kaedah Hukum


Esensialia kaidah hukum adalah membatasi atau mematoki bukan
memaksa, sebab hukum sebagai kaidah merupakan pedoman atau patokan
tentang bagaimana seharusnya manusia bersikap tindak atau berperilaku
dalam hukum. Selain itu, sebenarnya merupakan konsepsi yang serba
abstrak.
Esensialia kaidah hukum adalah membatasi atau mematoki bukan
memaksa, sebab hukum itu sendiri dapat dilanggar dan tidak dapat
melakukan paksaan. Yang mengadakan paksaan itu adalah diri sendiri

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
9 / 16
( karena adanya kesadaran hukum) dan orang lain ( petugas hukum). Tidak
ada kaidah hukum yang memaksa. Melainkan kaidah hukum tersebut
dapat menimbulkan adanya paksaan, dengan kata lain sifat memaksa
bukan esensil dari kaidah hukum.

Dengan demikian, sebenarnya secara konkret, perumusan nilai-


nilai dilanggar dan tidak dapat melakukan paksaan secara alami.
Dalam kenyataannya yang dapat mengadakan paksaan itu, menurut
Purnadi Purbacaraka, dan Soerjono Soekanto adalah:
1. Diri sendiri, hal ini kebanyakan tidak disadari oleh pribadi yang
bersangkutan. Bagaimanakah hal itu mungkin terjadi? Kita
semuanya ingat akan hasrat manusia untuk hidup pantas atau
seyogianya, mungkinkah hal itu tercapai atau terpenuhi tanpa
patokan atau pedoman? Kecuali di samping itu, manusia
merupakan makhluk yang mempunyai hasrat untuk hidup
bersama dengan manusia lainnya (gregariousness), sehingga
ada semacam paksaan diri (kalau perlu) dalam hidup bersama
tersebut.
2. Pihak lain karena kaidah hukum diberi peranan untuk
melakukan paksaan, misalnya, polisi, jaksa, hakim, dan
seterusnya. Tidak ada kaidah hukum yang memaksa, melainkan
dapat menimbulkan adanya paksaan. Oleh karena itu, sifat
memaksa dari kaidah hukum bukanlah esensial, tetapi
membatasi atau mematoki dari kaidah hukum adalah esensial.

E. Keberlakuan Kaidah Hukum

Di dalam teori hukum, biasanya dibedakan antara tiga hal


berlakunya kaidah hukum. Hal berlakunya kaidah hukum tersebut
biasanya disebut geltung (bahasa Jerman), atau gelding (bahasa Belanda).
Tentang landasan keberlakuan kaidah hukum untuk menentukan sahnya
suatu kaidah hukum terdapat tiga landasan berikut

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
10 / 16
1. Landasan yuridis

2. Landasan sosiologis;

3. Landasan filosofis.

1. Landasan yuridis,

Landasan yuridis yang menjadikan suatu kaidah hukum itu sah,


karena:
a. proses penentuannya memadai, baik karena sesuai prosedur
yang berlaku atau menurut cara yang telah ditetapkan (W.
Sevenbergen),

b. sesuai dengan pertingkatan hukum atau kaidah hukum yang


lebih tinggi (Hans Kelsen),

c. didasarkan kepada sistem atau tertib hukum secara keseluruhan


(Gustav Radbruch), atau

d. didasarkan kepada adanya ikatan yang memaksa untuk bersikap


tindak atau berperilaku pantas berdasarkan hubungan kondisi
dan akibatnya (Logemann).

2. Landasan sosiologis, yaitu berdasarkan kepada penerimaan masyarakat


terhadap suatu kaidah hukum, yang dapat dibedakan atas dua teori,
yaitu:

a. teori pengakuan,

yang pada pokoknya beranggapan bahwa keberlakuan kaidah


hukum didasarkan kepada adanya pengakuan dan penerimaan oleh
masyarakat,
b. teori paksaan,

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
11 / 16
yang menekankan kepada adanya unsur paksaan dari penguasa atau
pejabat hukum agar kaidah hukum dipatuhi oleh masyarakat.

3. Landasan filosofis, yaitu sesuai dengan cita-cita hukum (rechts idee)


sebagai nilai yang dianut dalam pergaulan hidup masyarakat dengan
orientasi kepada kedamaian dan keadilan

Adapun rincian lingkup keberlakuan kaidah hukum menurut


Soerjono Soekanto, R. Otje Salman adalah sebagai berikut.
a. Lingkup laku wilayah yang menunjuk pada batas daratan, perairan,
dan angkasa di mana kaidah hukum itu mengikat.

b. Lingkup laku pribadi, yang menunjukkan aneka subjek hukum


yang menjadi sasaran kaidah hukum.

c. Lingkup laku masa yang menunjukkan jangka waktu berlakunya


kaidah hukum.

d. Lingkup laku ihwal yang berkaitan dengan peristiwa hukum apa


saja yang dikuasai kaidah hukum.15

Essensial : yang bersifat mendasar. Hukum essensial : hukum yang


bersifat mematoki, jadi bukanya memaksa karena hukum itu sendiri tidak
dapat memaksa dan ia dapat dilanggar. Yang menyebabkan terjadinya
paksaan adalah diri sendiri maupun orang lain (Negara)

Hukum merupakan gabungan dari :


1. das sein ( kenyataan/ fakta)

2. das sollen( cita-cita)

Soerjono Soekanto, R. Otje Salman, 1998, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, (Bahan Bacaan
15

Awal), Jakarta: Rajawali Press, hlm. 13–14.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
12 / 16
hukum yang baik adalah hukum yang menggambarkan keinginan-
keinginan masyarakatnya.

Menurut ZEVEN BARGEN: Berlakunya kaidah hukum secara


yuridis apabila kaidah hukum itu terbentuk sesuai dengan tata cara atau
prosedur yang berlaku.

Menurut LOGEMANN : Berpendapat suatu kaidah hukum itu


berlaku secara yuridis apabila didalam kaidah hukum tersebut terdapat
hubungan sebab-akibat atau kondisi dan konsekwensi.

Menurut GUSTAF RADERUCH : Berpendapat di dalam mencari


dasar dari keberlakuan hendaklah dilihat dari kewenangan-kewenangan
pembentuk undang-undang.

Berlakunya kaidah hukum secara filosofis apabila kaidah hukum


tersebut dipandang sesuai dengan cita-cita masyarakat. Suatu kaidah
hukum sebaiknya mengandung 3 aspek tersebut, yaitu jika kaidah hukum
berlaku secara yuridis saja maka hanya merupakan hukum mati sedang
apabila hanya berlaku dari aspek sosiologis saja dalam artian paksaan
maka kaidah hukum tersebut tidak lebih dari sekedar alat pemaksa.
Apabila kaidah hukum hanya memenuhi syarat filososfis saja, maka
kaidah hukum tersebut tidak lebih dari kaidah hukum yang dicita-citakan.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
13 / 16
Berdasarkan pada uraian di atas, keberlakuan kaidah hukum dapat
dilihat pada bagan seperti pada Gambar berikut:

F. LATIHAN TRUE OR FALSE


1. Teori barat merupakan salah satu grand theory
2. Teori yang menempatkan teori tujuan hukumnya yang mencakup
kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan adalah teori timur
3. Teori kuno termasuk teori barat

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
14 / 16
4. teori tentang tujuan hukumnya hanya menekankan “keadilan adalah
keharmonisasian, dan keharmonisasian aalah kedamaian,
merupakan teori islam
5. tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban, merupakan
teori hukum positif

G. KUNCI JAWABAN
1. T
2. F
3. F
4. F
5. F

H. DAFTAR PUSTAKA

Acmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Toeri
Peradilan (judicialprudence) termasuk interpretasi Undang-
Undang (legisprudence), Jakarta: Kencana Perdana Media
Group, Cetakan Ke-I Agustus

Jan Michiel Otto, 2012, Kepastian Hukum Yang Nyata di Negara


Berkembang, dalam Jan Michiel Otto (et.all), Kajian sosio-
legal: Seri Unsur-Unsur Penyusun Bangunan Negara Hukum,
Bali: Penerbit Pustaka Larasan, Edisi Pertama

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum edisi revisi,


Kencana Prenada Media Group

Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit PT. Citra


Aditya Bakti, Cetakan Ke-V

Soerjono Soekanto, R. Otje Salman, 1998, Disiplin Hukum dan


Disiplin Sosial, (Bahan Bacaan Awal), Jakarta: Rajawali
Press

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
15 / 16

Anda mungkin juga menyukai