Anda di halaman 1dari 17

Penandingan dan Penyajian Pos-Pos Biaya

Penakar yang ideal udalah unit produk karena pendapatan diciptakan dengan
menyerahkan produk (direpresentasi oleh kos produk). Oleh karena itu, idealnya tiap
unit menyerap semua jenis kos operasi (produksi, penjualan, administrasi, dan pengumpulan
piutang). Dengan perioda sebagai penakar, kos objek atau kegiatan sebagai pengukur biaya
yang dimasukkan ke dalam penakar tidak harus jelas dan tegas berkaitan dengan pendapatan
yang masuk dalam penakar (perioda) tersebut. Di bawah ini meringkas konsep penandingan
dan implikasi terhadap klasifikasi biaya sebagai pengurang pendapatan.

Masalah pembebanan kos dan basis asosiasi di atas berlaku untuk semua jenis potensi
jasa. Masalah khusus terjadi dalam hal sediaan dan aset tetap, khususnya fasilitas fisis yaitu
gedung/prabrik dan perlengkapan (plant and equipments). Uraian berikut membahas masalah
teoretis yang menyangkut pos-pos tersebut.

Sediaan

Secara umum masalah teoretis sediaan berkaitan dengan pengukuran kos barang
terjual dalam rangka penandingan dengan pendapatan dan masalah penilaian.

Metoda Asosiasi

Metoda asosiasi menjadi basis untuk menentukan unit fisik terjual dan kos yang melekat
dengan jumlah rupiah penjualan. Dengan demikian metoda asosiasi dapat pula diartikan
sebagai asumsi aliran kos dalam mengikuti aliran fisis barang. Metoda asosiasi atau asumsi
aliran kos yang telah dikenal adalah :

1. Identifikasi khusus (specific identification)


2. Masuk pertama keluar pertama/MPKP (first-in, first-out/FIFO)
3. Rata-rata berbobot (weighted average)
4. Sediaan normal/minimal (normal stock)
5. Masuk terakhir keluar pertama/MTKP (last-in, first-out/LIFO)

Dasar pemilihan metoda sangat tergantung pada tujuan atau kondisi yang dihadapi
perusahaan. Tujuan utama pemilihan metoda biasanya adalah mengasosiasi biaya dan
pendapatan untuk menentukan laba yang tepat. Tujuan lain adalah menentukan nilai sediaan
untuk dicantumkan dalam neraca.

Identifikasi Khusus

Metoda ini adalah yang paling ideal. Bila sistem akuntansi memungkinkan, metoda ini sangat
dianjurkan penerapannya. Untuk jenis barang mahal dan perputarannya rendah, metoda ini
sangat cocok sekali untuk tujuan pengendalian di samping tujuan penandingan yang tepat.
Namun demikian, metoda ini mengandung beberapa kelemahan antara lain:
a. Jarang sekali pendapatan khusus ditandingkan dengan kos khusus karena pendapatan
perusahaan merupakan hasil dari seluruh upaya perusahaan sebagai kesatuan.
b. Untuk jenis barang yang homogen dan harganya relatif murah, metoda ini menjadi
terlalu mahal dan tidak sepadan dengan nilai tambahan informasi yang diperoleh.
c. Kalau fluktuasi harga sangat mencolok, metoda ini dapat digunakan sebagai alat
manipulasi laba atau earnings management.

Masuk Pertama Keluar Pertama (MPKP)

Metoda ini berasumsi bahwa faktor kos mengalir melalui perusahaan secara berurutan seperti
antrean; tidak ada saling mendahului. Dalam banyak kasus, aliran fisis faktor jasa yang
sesungguhnya memang harus mengalir seperti ini terutama kalau bahan, barang, atau produk
harus segera digunakan karena meretia merupakan jenis yang mudah rusak atau usang karena
waktu. Metoda ini sangat logis dalam merefleksi asosiasi sebab-akibat karena sangat
sederhana dan jelas untuk memecah kos ke dalam dua komponen (sediaan dan barang terjual)
atas dasar kos yang benar-benar melekat dalam kedua komponen tersebut.

Jadi, kalau penandingan secara tepat biaya dan pendapatan menjadi tujuan, metoda ini paling
didukung atas dasar argumen berikut:

a. Metoda ini mendekati metoda identifikasi khusus yang menjadi standar pemecahan
kos. Metoda ini sistematik dan konsisten dengan aliran fisis yang sesungguhnya
sehingga penandingan yang ideal dipenuhi.
b. Untung atau rugi karena fluktuasi harga dengan sendirinya terrealisasi dan diakui
bersamaan dengan terjualnya barang walaupun tidak disajikan secara terpisah dan
melekat dalam angka laba.
c. Penyajian sediaan akhir dalam neraca akan menggambarkan kos yang mendekati kos
sekarang atau kos pengganti, Tentu saja hal ini tergantung pada fluktuasi kos setelah
pembelian atau produksi terakhir. Bila fluktuasi harga yang sangat tajam, metoda ini
tidak dapat memisahkan untung atau rugi fluktuasi harga sebagaimana disebut dalam
butir b.

Rata-rata Berbobot

Metoda ini menganggap bahwa dalam proses produksi terjadi peleburan faktor produksi yang
sama selama satu perioda menjadi satu massa yang homogenus. artinya, bahan baku tertentu
yang dibeli berkali-kali atau produk yang dihasilkan dari beberapa angkatan produk dalam
suatu perioda dianggap sebagai satu kesatuan (massa). Barulah kemudian massa tersebut
dipecah menjadi dua bagian yaitu sediaan barang dan barang terjual. Sebagai konsekuensi,
tiap sediaan yang ada pada saat tertentu akan selalu mengandung proporsi tertentu tiap
pembelian yang pernah terjadi. Dengan demikian, metoda rata-rata akan menjadi logis,
obyektif, atau valid. Walaupun demikian, metoda ini tidak sejalan dengan aliran fisik yang
sesungguhnya. Dalam kenyataannya, separti bahan baku yang dikonsumsi pada saat tertentu
jarang sekali terdiri atas semua bahan baku yang diperoleh dari berbagai pembelian secara
proporsional. Jadi kalau pemakaian bahan baku untuk produksi mengikuti pola ini maka akan
terjadi bahwa separtai barang yang berasal dari pembelian tertentu tidak akan pernah habis.

Sediaan Normal

Metoda ini sering disebut dengan metoda sediaan permanen (iron-stock method). Dengan
metoda ini dianggap perusahaan melakukan investasi permanen dalam sediaan. Tujuannya
adalah penandingan pendapatan sekarang dengan kos sekarang sekaligus meniadakan
kebutuhan pelaporan untung atau rugi menahan sediaan atau fluktuasi harga. Metoda ini
menyajikan sediaan di neraca dengan harga satuan yang cukup pasti. Biasanya harga satuan
yang ditentukan untuk sediaan minimal cukup rendah. Karena pendapatan sekarang
ditandingkan dengan kos sekarang, laba yang diperoleh tidak mengandung untung atau rugi
akibat menahan sediaan.

Masuk Terakhir Keluar Pertama (MTKP)

Metoda ini berasumsi bahwa sediaan merupakan aset tetap yang tidak berkaitan dengan aliran
kos. Dengan demikian, begitu sejumlah sediaan tertentu telah tertimbun maka aliran faktor
kos berikutnya dianggap hanya melewati timbunan tersebut dan langsung melekat pada
penjualan (sebagai kos barang terjual). Metoda ini akan menghasilkan laba operasi yang
bebas dari untung atau rugi akibat fluktuasi harga. Asumsi metoda ini adalah bahwa
perusahaan perlu mempertahankan investasi dalam sediaan selama umur perusahaan tersebut.

Keuntungan metoda ini adalah investasi permanen (disebut LIFO layer)  dapat dijaga dan
pekerjaan administrasi pencatatan barang dapat dikurangi. Walaupun cukup menawan secara
teoretis, metoda ini sama sekali tidak dapat menuhi tujuan pelaporan keuangan umum.

Implikasi Motoda Asosiasi Terhadap Laba

Dalam bidang-bidang usaha tertentu yang voluma penjualan dan harga bahan
bakunyaberfluktuasi cukup besar antarperioda, metoda MTKP mendapat dukungan yang kuat
sebagai salah satu cara untuk menstabilkan laba periodik sampai tingkat tertentu. Dalam
suatu sistem perpajakan yang sangat menekankan perhitungan labaperiodik, praktik
penstabilan laba tersebut menjadi konsekuensi logis yang akhirnya banyak dianut. Namun
demikian, laba yang distabilisasi hendak-tidak dilaporkan sebagai laba sebenarnya untuk
tahun tertentu. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, pemecahan yang terbaik untuk
mengatasi fluktuasi harga adalah melengkapi (to supplement) statemen tahunan dengan
beberapa laporan kumulatif dan rata-rata bukan mengembangkan metoda untuk
menghilangkan fluktuasi tahunan yang memang benar-benar atau nyata-nyata terjadi.
Fasilitas Fisis

Dalam hal fasilitas fisik, kos yang terjadi pada saat pemerolehan pada umumnya diakui
sebagai aset dan baru kemudian kos tersebut diakui sebagai biaya sesuai dengan pola
penyerapan manfaat yang direpresentasi dengan kos.

Karakteristik dan Tujuan Pelaporan

Semua aset mempunyai karakteristik umum yaitu merupakan potensi jasa yang dapat
dimanfaatkan oleh perusahaan dalam kegiatan operasinya, Fasilitas fisis mempunyai
karakteristik sebagai berikut:

a. Berwujud fisis dan dikuasai oleh perusahaan untuk mengolah dan memperlancar
kegiatan operasi perusahaan. Oleh karena itu, yang digolongkan dalam kelompok ini
adalah aset yang berkaitan dengan operasi
b. Pada umumnya berumur panjang walaupun terbatas sehingga perlu penggantian.
c. Bernilai bagi perusahaan lantaran kekuasaan atau hak perusahaan untuk
menggunakannya bukan lantaran hak miliknya.
d. Pada umumnya merupakan aset nonmoneter dan manfaat yang dapat diberikan berupa
potensi jasa (service potentials)  bukan daya beli atau
ketertukarannya(exchangeablility).

tujuan pelaporan dan pengukuran fasilitas fisis ini adalah untuk menentukan penggunaan jasa
dalam suatu perioda yang diperkirakan telah menghasilkan pendapatan. Tujuan yang lain
adalah members informasi kepada pemakai laporan tentang kuantitas fisis dan kapasitas atau
daya (potensi jasa) yang masih melekat pada aset fisis tersebut

Implikasi Metoda Asosiasi Terhadap Laba

Dalam bidang-bidang usaha tertentu yang voluma penjualan dan harga bahan bakunya
berfluktuasi cukup besar antarperioda, metoda MTKP mendapat dukungan yang kuat sebagai
salah satu cara untuk menstabilkan laba periodik sampai tingkat tertentu. Dalam suatu sistem
perpajakan yang sangat menekankan perhitungan laba periodik, praktik penstabilan laba
tersebut menjadi konsekuensi logis yang akhirnya banyak dianut. Namun demikian, laba
yang distabilisasi hendaknya tidak dilaporkan sebagai laba sebenarnya untuk tahun tertentu.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, pemecahan yang terbaik untuk mengatasi fluktuasi
harga adalah melengkapi (to supplement) statemen tahunan dengan beberapa laporan
kumulatif dan rata-rata bukan mengembangkan metoda untuk menghilangkan fluktuasi
tahunan yang memang benar-benar atau nyata-nyata terjadi.

            Seandainya metoda yang layak telah ditetapkan, keterandalan kos sediaan akhirnya
sangat bergantung pada sistem penelusuran faktor produksi yang membentuk produk atau
barang. Ketidaktelitian dalam penelusuran ini akhirnya akan menghasilkan pemecahan kos
juga menjadi tidak teliti dan pada gilirannya angka laba yang diperoleh tidak menunjukkan
angka yang ideal. Jadi, jelaslah bahwa dalam kondisi operasi perusahaan modern yang
kompleks, apa yang dapat dicapai dalam penentuan laba periodik sebenarnya tidak dapat
diharapkan lebih daripada pengukuran yang mendekati ideal.

Istilah

Istilah yang digunakan untuk menunjuk aset yang mempunyai karakteristik di atas
tentunya harus cukup deskriptif untuk memudahkan klasifikasi. Banyak istilah yang
digunakan untuk mendeskripsi aset tersebut yaitu : aset tetap (fixed assets), aset tetap
berwujud (fixed tangible assets), aset terwujud (tangible assets), aset operasi (operating
assets), aset jangka panjang (long-lived/long-term assets), tanah, pabrik/bangunan, dan
perlengkapan (property, plant and equipments), dan fasilitas fisis (plant assets).

          Istilah aset tetap sebenarnya tidak cukup deskriptif karena tia mempunyai makna
sebagai pasangan aset lancar. Tia menjadi terlalu luas karena tia mencakupi investasi jangka
panjang, aset tak berwujud, sumber alam, dan aset jangka panjang lainnya. Memang tidak
semua perusahaan mempunyai aset tetap lain kecuali fasilitas fisis sehingga fasilitas fisis
dengan sendirinya menjadi aset tetap.

          Aset tetap berwujud memang lebih deskriptif walaupun belum menggambarkan sifat
sebagai aset yang digunakan dalam operasi. Aset berwujud mempunyai arti yang terlalu luas
dan kurang menggambarkan sifat permanen yang melekat pada aset fisis. Dengan istilah ini,
sediaan barang dagangan akan dapat masuk dalam pengertian ini.

          Aset jangka panjang jelas tidak deskriptif karena istilah ini akan mencakupi pula aset
tak berwujud seperti asuransi dibayar di muka dan pembayaran di muka lainnya. Aset operasi
jelas terlalu luas karena semua aset baik berwujud atau tidak selama aset tersebut diperlukan
dalam operasi dapat disebut sebagai aset operasi.

          Istilah yang paling deskriptif dan digunakan oleh banyak literatur dewasa ini adalah
tanah, pabrik/gedung, dan perlengkapan serta fasilitas fisis. Dapat disebut deskriptif karena
dapat merefleksikan karakteristik-karakteristik yang disebutkan di atas. Dalam hal
perusahaan non pemanufakturan istilah pabrik dan perlengkapan dapat digunakan. Istilah
fasilitas fisis sebenarnya cukup deskriptif untuk menggambarkan karakteristik aset yang
masuk dalam pengertian property, plant, and equipment. Oleh karena itu, istilah ini dipakai
dalam pembahasan di sini walaupun istilah aset tetap atau yang lain kadang-kadang dipakai
juga.

Basis Pembebanan

Fasilitas fisis memberi kontribusi jasa ke operasi berupa kapasitas atau daya
(misalnya dalam bentuk daya giling untuk mesin giling). Oleh karena itu, kos daya atau
kapasitas fasilitas fisis tersebut jelas harus diserap menjadi bagian kos produksi dan akhirnya
menjadi beban pendapatan.
          Masalah unik yang berkaitan dengan penyerapan manfaat fasilitas fisis adalah
penentuan kapasitas taksiran dalam kondisi tertentu dan pola penyerapan manfaat sampai
dapat dikatakan bahwa manfaat tersebut habis. Berbeda dengan sediaan, masalah timbul
karena pada umumnya kapasitas akan habis dalam jangka panjang dan penyerapan manfaat
tidak dapat diobservasi secara langsung atas dasar kelenyapan secara fisis. Di lain pihak,
sediaan dikonsumsi dalam bentuk unit fisis sehingga kos yang terserap dapat dihubungkan
secara objektif dengan konsumsi fisis tersebut.

          Walaupun konsumsi manfaat disertai dengan keausan fisis (deterioration), tidak ada
proses konsumsi secara fisis terhadap fasilitas fisis bersangkutan. Jadi, pembebanan kos
fasilitas fisis untuk suatu perioda tidak dapat ditentukan atas dasar pengukuran fisis yang
objektif tetapi lebih merupakan suatu hasil pertimbangan (judgment) atas dasar taksiran
faktor-faktor penentu (yaitu umur ekonomik, kapasitas ekonomik, dan nilai residual) yang
sering tidak dapat diuji validitasnya secara objektif.

Makna Depresiasi

Kesulitan asosiasi seperti diuraikan di atas tidak menjadi alasan yang kuat untuk
membebankan seluruh kos ke operasi pada saat fasilitas fisis tersebut diperoleh atau
diberhentikan. Tujuan memperoleh fasilitas fisis adalah untuk menghasilkan produk dan
produk bersangkutan adalah seluruh unit produk yang dihasilkan selama umur efektif fasilitas
bersangkutan bukannya selama tahun tertentu. Fasilitas fisis merupakan suatu “sediaan” jasa
(service-capacity) dan jasa tersebut akan tersedia sepanjang umur ekonomik aset tersebut.
Dengan demikian, pembebanan kos secara sistematik selama taksiran umur pemakaian akan
lebih sesuai dengan keadaan objektif dan masuk akal daripada pembebanan langsung seluruh
kos pada saat pembelian atau pada saat pemberhentian. Bagian dari kos yang dibebankan
untuk perioda tertentu disebut depresiasi (amortisasi untuk aset tak berwujud dan deplesi
untuk sumber alam).

            Dari segi akuntansi, depresiasi merupakan suatu proses alokasi kos secara sistematika
dan rasional dan jumlah rupiahnya diukur atas dasar bagian kos potensi jasa yang dianggap
telah dimanfaatkan dalam menciptakan pendapatan. Depresiasi sebagai biaya tidak berbeda
dengan jenis biaya operasi lainnya. Kos fasilitas fisis mempunyai kedudukan yang sama
seperti kos manfaat ekonomik lain yang diperoleh dan dimanfaatkan sekaligus dalam perioda
terjadinya. Depresiasi merupakan biaya yang benar-benar terjadi dan dikeluarkan (out of
pocket costs) seperti biaya lainnya. Memang benar bahwa biaya depresiasi untuk perioda
tertentu tidak menunjukkan pengeluaran pada perioda tersebut. Akan tetapi, biaya depresiasi
tersebut mengukur bagian pengeluaran masa yang lalu yang dipandang layak dibebankan
terhadap kegiatan atau pendapatan perioda berjalan. Jadi dapat dikatakan bahwa kos fasilitas
fisis merupakan suatu bentuk ekstrem biaya dibayar di muka; akuntansi depresiasi merupakan
sarana untuk membebankan biaya dibayar di muka tersebut ke produksi atau perioda berjalan.
Paton dan Littleton (1970) mengemukakan hal ini sebagai berikut :
Plant renders an essential service to production, and its cost is a form of deferred charge
which should be gradually absorbed in the cost of production(hlm. 65)

            Ungkapan gradually absorbed memberi isyarat bahwa harus tersedia metoda


penyerapan atau depresiasi. Metoda depresiasi sendiri bukan merupakan masalah penting
sepanjang tidak bertentangan dengan konsep-konsep: jasa di balik kos, kos melekat, dan
upaya dan hasil. Juga tidak menjadi masalah yang prinsip bagi akuntansi bahwa metoda
depresiasi yang digunakan tidak sejalan dengan proses keausan fisis atau tidak menunjukkan
adanya fluktuasi nilai aset yang serupa. Dengan asas akrual, depresiasi bukan merupakan
proses penilaian dan juga bukan sarana untuk menutup harga pengganti aset tetap dari
konsumen melainkan suatu langkah (prosedur) dalam proses penandingan yang tepat antara
biaya dan pendapatan. Alokasi sistematik merupakan konsekuensi logis dari karakteristik
fasilitas fisis sebagai potensi jasa. Alokasi lebih sesuai dengan kondisi objektif dan empiris
yang melingkupi operasi perusahaan daripada nonalokasi.

            Uraian di atas merupakan argument untuk menyanggah pendapat bahwa depresiasi


merupakan biaya hipotesis dan arbitrer sehingga dapat dikeluarkan dari perhitungan laba.
Uraian tersebut juga menyanggah gagasan Thomas bahwa alokasi tidak dapat dipertahankan.

            Walaupun demikian, untuk tujuan pengembangan pelaporan keuangan, depresiasi


secara teoritis dapat dimaknai selain sebagai prosedur atau alokasi sistematik dalam rangka
penandingan biaya dan pendapatan yang tepat. Berikut dibahas beberapa pemaknaan atau
interpretasi terhadap depresiasi.

Depresiasi Sebagai Proses Akumulasi Dana

Pengertian ini didasari oleh gagasan bahwa untuk dapat mempertahankan kelangsungan
hidup, perusahaan harus dapat mengganti fasilitas fisik yang habis umurnya. Akibatnya,
perusahaan harus menyisihkan dana dari pendapatan yang diperoleh. Dengan mengurangi
pendapatan, laba akan berkurang sebesar depresiasi yang dibebankan. Ini berarti bahwa laba
sejumlah depresiasi tidak dapat dibagi kepada pemegang saham. Bagian inilah yang dianggap
sebagai dana untuk membeli kembali fasilitas fisis di kemudian hari. Dengan demikian,
depresiasi adalah sarana untuk menjaga keutuhan sumber daya. Konsep pemertahanan
sumber daya semacam ini disebut konsep pemertahanan kapital (capital maintenance
concept) yang akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan laba di bab lain.

            Acapkali depresiasi dianggap sebagai sumber dana oleh karena kebiasaan untuk
menghitung sumber dana atau aliran kas masuk (proceeds) dengan cara menambahkan
kembali depresiasi ke laba akuntansi. Hal ini banyak dijumpai dalam literatur manajemen
keuangan yang membahas topik penganggaran kapital (capital budgeting). Cara menghitung
semacam itu sebenarnya hanyalah salah satu teknik penghitungan sumber dana karena data
yang tersedia adalah statemen laba-rugi. Hal ini juga terjadi dalam menghitung aliran kas dari
kegiatan operasi untuk menyusun statemen aliran kas dengan metoda tak langsung. Walaupun
demikian, tidak berarti bahwa depresiasi merupakan suatu sumber dana atau penyisihan dana
untuk penggantian.

            Pengakuan biaya depresiasi tidak mempunyai kaitan langsung dengan masalah


penggantian. Kalau laba periodik akan diukur dengan tepat maka perlu untuk menandingkan
pendapatan dengan semua biaya yang layak termasuk depresiasi dan proses ini akan tetap
dilakukan walaupun tidak ada rencana untuk mengganti fasilitas fisis. Lagipula, tidak ada
dana yang timbul dengan proses pembebanan depresiasi. Kos yang dibebankan diperoleh
kembali melalui aliran pendapatan dari penjualan produk. Aliran pendapatan ini tidak
dipengaruhi oleh besarnya depresiasi. Jadi aliran dana masuk (pendapatan) merupakan aliran
yang berbeda dengan aliran dana keluar (termasuk depresiasi). Bila pendapatan cukup untuk
menutup semua biaya yang bersangkutan dengan pendapatan, aliran masuk dana yang
tertanam dalam perusahaan dalam berbagai bentuknya akan menjadi bertambah dan
sebaliknya. Memang yang diharapkan adalah bahwa pemertahanan kapital dapat dijamin
dengan akuntansi depresiasi yang tepat. Memang benar bahwa kalau semua biaya dapat
ditutup oleh pendapatan maka akan terdapat dana yang cukup untuk mempertahankan seluruh
elemen modal kerja dan untuk menutup bagian kos fasilitas fisis yang telah dikonsumsi. Akan
tetapi, dengan pikiran ini tidak berarti bahwa akuntansi depresiasi merupakan proses
penghimpunan dana atau bahwa depresiasi merupakan sumber dana.

Depresiasi Sebagai Pemulihan Investasi

Konsep pemulihan investasi (investment cost recovery) ini secara konseptual sama
dengan pandangan di atas tetapi dianggap bahwa fasilitas fisis didanai dengan utang. Agar
perusahaan mampu membayar kembali investasinya maka harus dilakukan penyisihan dana
dengan cara mengurangi pendapatan perusahaan sebesar depresiasi. Pandangan ini dapat
disanggah dengan argument yang sama dengan yang dijelaskan di atas.

Depresiasi Sebagai Proses Penilaian

Pendefinisian depresiasi sebagai bagian kos yang dibebankan secara sistematik dan
rasional merupakan pemaknaan depresiasi secara sintaktik. Artinya, depresiasi didefinisi
sebagai penerapan prosedur. Kelemahan pendefinisian ini adalah bahwa alokasi sistematik
dalam banyak hal tidak merepresentasi fenomena atau kegiatan operasi yang sesungguhnya.
Dengan kata lain, alokasi kos hanya merupakan mekanisme yang tidak merepresentasi
realitas ekonomik. Misalnya, dengan metoda garis lurus, depresiasi tetap diperhitungkan
meskipun mungkin dalam suatu perioda kegiatan produksi sedang rendah atau berhenti
sehingga depresiasi tidak merepresentasi realitas yang ada. Oleh karena itu, diperlukan
definisi yang bersifat semantik.

            Salah satu pendefinisian secara semantik adalah depresiasi dipandang sebagai


penurunan potensi jasa (decline in service potential) selama perioda operasi akibat keausan
fisis, konsumsi manfaat, atau keusangan teknologis. Dengan demikian, penurunan potensi
jasa selama perioda dapat dipandang sebagai selisih penilaian antara potensi jasa awal dan
potensi jasa akhir baik secara fisis maupun moneter.

            Bila potensi jasa dipandang sebagai jasa fisis (physical services), depresiasi
merupakan penurunan jasa fisis karena konsumsi manfaat dalam perioda-perioda yang
diantisipasi. Pada umumnya, perusahaan membeli fasilitas fisis dengan memperhitungkan
jasa fisis total atau kapasitas yang melekat pada aset tersebut. Kapasitas fisis dapat
dinyatakan dalam unit produk yang dapat dihasilkan, jam pemakaian, kilometer terpakai
(untuk kendaraan), atau unit lain yang dapat menjadi pengukur konsumsi fisis. Metoda unit
produksi (units of production method) merupakan implementasi makna depresiasi sebagai
penurunan jasa fisis ini. Karena penekanan pada pemakaian jasa fisis, kos historis menjadi
basis pengukuran depresiasi. Dengan kata lain, kos historis merupakan sarana untuk
mempresentasi dan merunut (to trace) aliran fisis potensi jasa. Dengan demikian, fungsi
neraca adalah menunjukkan sisa potensi jasa sehingga dasar penilaiannya adalah kos yang
masih melekat pada sisa jasa fisis tersebut (sering disebut nilai buku). Jadi, sebagai
penurunan potensi jasa fisis, depresiasi untuk suatu perioda adalah konsumsi jasa fisis yang
diukur atas dasar kos historis (kos yang melekat pada aset).

            Bila fasilitas fisis dipandang sebagai suatu kapital (capital), depresiasi merupakan
penurunan nilai kapital bukan hanya karena konsumsi melainkan juga karena keausan,
keusangan, dan faktor ekonomik lainnya. Depresiasi untuk suatu perioda merupakan selisih
penilaian ekonomik antara fasilitas fisis awal dan akhir perioda. Dengan pendekatan ini,
depresiasi bukan lagi merupakan proses alokasi sehingga kos historis tidak harus menjadi
basis pengukuran. Yang menjadi masalah adalah bagaimana menilai fasilitas fisis awal dan
akhir. Berbagai atribut penilaian aset yang telah dibahas di Bab 6 dapat dijadikan basis
penilaian. Penilaian dapat didasarkan atas nilai masukan dan keluaran. Penentuan depresiasi
dapat dilakukan tiap akhir perioda semata-mata atas dasar penilaian aset pada saat itu tanpa
memperhatikan taksiran-taksiran yang pernah dilakukan sebelumnya. Dapat juga depresiasi
ditentukan pada saat aset diperoleh untuk perioda-perioda masa datang yang memperoleh
manfaat. Pada umumnya, pendekatan terakhir ini yang digunakan karena keperluan untuk
menyusun tabel depresiasi. Tentu saja pendekatan ini memerlukan penaksiran faktor-faktor
penentu depresiasi. Berikut ini dibahas beberapa pendekatan penilaian kapital awal dan akhir
perioda untuk menentukan depresiasi sebagai penurunan nilai.

Nilai Setara Tunai (current cash equivalents). Dengan basis ini, penurunan nilai fasilitas
fisis ditentukan dengan cara menghitung selisih nilai setara tunai pada awal dan akhir
perioda. Nilai ini adalah harga pasar aset yang sama dalam kondisi yang sama sebagai barang
bekas. Di sini dianggap bahwa daya beli uang stabil. Kalau tidak, dalam hal tertentu nilai
pasar dapat naik sehingga nilai tidak turun atau bahkan menjadi lebih tinggi. Untuk mengatasi
hal ini kadang-kadang nilai jual ini disesuaikan dengan indeks harga yang berlaku untuk
menghilangkan pengaruh kenaikan harga karena perubahan daya beli uang.
Kontribusi Pendapatan Neto Diskunan (discounted netrevenue contributin). Dengan
penilaian ini, depresiasi ditentukan dengan cara menghitung selisih nilai diskunan aliran
kontribusi pendatan neto pada awal dan akhir perioda. Kontribusi pendapatan neto adalah
tambahan aliran kas masuk (pendapatan) karena adanya investasi fasilitas fisis bersangkutan.
Penilain ini mirip dengan penerimaan kas masa datang diskunan (discounted future cash
receipst) untuk penilaian investasi jangka panjang misalnya obligasi. Bedanya, aliran kas
masuk investasi jangka panjang berasal langsung dari investasi yang jumlah dan saatnya
cukup pasti sedangkan aliran kas masuk dari fasilitas fisis tidak langsung dan harus ditaksir
melalui pendapatan neto (laba tunai) yang dikontribusi oleh penggunaan aset. Penilaian
semacam ini merupakan contoh imputasi pendapatan. Tambahan aliran masuk ini juga dapat
berupa penghematan kos (cost saving).

            Penilaian ini memerlukan informasi tarif diskun yang biasanya didasarkan atas tingkat
kembalian (rate of return) investasi bebas risiko atau tingkat bunga umum yang berlaku.
Penilaian fasilitas fisis pada tiap awal perioda tertentu dapat diformulasi sebagai berikut (nilai
diskunan akhir suatu perioda sama dengan nilai diskunan awal perioda berikutnya):

            Sebagai ilustrasi, dimisalkan suatu fasilitas fisis dapat memberi kontribusi aliran kas
aliran masa datang tahunan selama lima tahun berturut-turut sebagai berikut : Rp. 1.200.000,
Rp. 1.000.000, Rp. 1.500.000, Rp. 900.000, dan Rp. 1.000.000. Nilai residual telah termasuk
dalam aliran kas terakhir. Bila tingkat kembalian diperhitungkan 25%, depresiasi tahunan
atas dasar penurunan nilai disajikan dalam Gambar 9.5 berikut ini.

            Nilai sekarang Rp. 2.552.320 pada awal tahun pertama dapat diinterpretasi sebagai
proksi atau estimator nilai sepakatan pada saat pemerolehan. Seandainya fasilitas fisis
diperoleh dengan kos di bawah atau di atas nilai tersebut, selisihnya harus disebar selama
umur aset secara proporsional dengan kontribusi pendapatan neto atau dengan cara lain.

            Untuk mengatasi adanya selisih, diusulkan metoda yang disebut depresiasi sesuaian-


waktu (time-adjusted depreciation). Metoda ini sama dengan metoda di atas tetapi tarif
diskun ditentukan atas dasar tingkat kembalian internal (internal rate of return) yaitu tingkat
kembalian yang menjadikan nilai sekarang aliran kontribusi pendapatan neto samadengan kos
pemerolehan. Tingkat kembalian ini dikalikan dengan nilai buku pada tiap awal perioda
merupakan estimator laba yang dihasilkan oleh investasi fasilitas fisis dalam perioda tersebut.
Laba ini merepresentasi kontribusi pendapatan neto dikurangi biaya depresiasi. Dengan kata
lain, biaya depresiasi periodik adalah selisih antara kontribusi pendapatan neto dengan
estimator laba tersebut. Dari contoh di atas, seandainya kos pemerolehan adalah Rp.
2.552.320, tingkat kembalian internal adalah 25%. Laba (tingkat kembalian investasi) dan
depresiasi.

            Kelemahan pemaknaan depresiasi seperti di atas adalah depresiasi bersifat


deterministik atau statistik. Artinya, sekali ditetapkan, semua perhitungan tidak akan berubah
selama masa depresiasi. Kelemahan-kelemahan lain melekat pada kelemahan aliran kas masa
datang diskunan (discounted future cash receipts) sebagai dasar penilaian aset.

Depresiasi Sebagai Sarana Penandingan

Kos dengan Kontribusi Pendapatan Neto

Pemaknaan depresiasi ini sebenarnya sama dengan pemaknaan depresiasi secara


konvensional yaitu alokasi kos atas dasar pola penyerapan. Perbedaannya adalah pola
penyerapan tidak langsung didasarkan atas penyerapan jasa tetapi atas dasar pendapatan neto
yang dihasilkan oleh fasilitas fisik bersangkutan. Pendapatan neto di sini adalah pendapatan
yang dihasilkan oleh fasilitas fisik dikurangi biaya pengoperasian fasilitas fisis. Hal ini
didasarkan atas pemikiran bahwa variasi pendapatan merefleksi variasi penyerapan jasa
fasilitas fisik. Dengan kata lain, pola penyerapan sejalan dengan pola kontribusi pendapatan
neto. Dengan pemaknaan ini, kos disebar selama umur aset atas dasar proporsi atau rasio kos
terhadap kontribusi pendapatan neto total sebagai berikut :

            Atas dasar rasio di atas, depresiasi untuk suatu perioda (Dp) dapat ditentukan sebagai
berikut :

Dp = R x Kp

            Dengan contoh kasus sebelumnya dan dengan asumsi fasilitas fisis diperoleh dengan
kos Rp. 2.760.000 tanpa nilai residual, rasio kos terhadap kontribusi adalah sebesar 0,60 atau
60%.

Metoda Alokasi

Bila depresiasi dimaknai sebagai alokasi kos secara sistematik dan rasional bukan sebagai
proses penilaian, metoda manakah yang dapat disebut sistematik dan rasional? Metoda yang
paling rasional adalah metoda yang mendasarkan diri pada aliran penyerapan kapasitas jasa
tersebut. Dengan kata lain, metoda yang paling tepat adalahmetoda unit
produksi (production or output method). Kesulitan utama yang dihadapi metoda ini adalah
penentuan kapasitas total yang dapat dihasilkan selama umur ekonomik aset bersangkutan. Di
samping itu, keausan fisis tidak selalu proporsional dengan intensitas penggunaan dan juga
pengaruh faktor keusangan (obselescence) sama sekali tidak ada hubungannya dengan
fluktuasi produk yang dihasilkan.

            Untuk kebanyakan situasi metoda perhitungan depresiasi tahunan secara garis lurus
merupakan metoda alternatif yang paling banyak digunakan karena kepraktisannya dan juga
karena dalam banyak hal pola penyerapan tiap perioda cukuk seragam. Hal yang perlu
diperhatikan adalah bahwa penggunaan metoda garis lurus tidak menghalangi pengalokasian
depresiasi tahunan ke dalam beberapa perioda interim atas dasar fluktuasi musiman selama
satu tahun tersebut. Keberatan terhadap metoda garis lurus terletak pada sifatnya yang
mengabaikan hubungan antara tingkat kembalian investasi (rate of return) dan sisa nilai
investasi seperti yang dicontohkan sebelum ini.
            Dapat juga depresiasi ditentukan dengan cara melakukan taksiran (appraisal) pada
tiap perioda atas dasar inspeksi fisis untuk mengukur keausan. Metoda ini memberikan hasil
yang sama sekali kurang memuaskan. Biaya depresiasi bukan semata-mata didasarkan atas
hasil pengamatan fisis ada kemungkinan tidak konsisten dari perioda ke perioda. Jadi yang
paling diperlukan adalah suatu kebijakan depresiasi yang sistematik dan logis didasarkan atas
berbagai kemungkinan dan faktor yang melingkupi fasilitas fisis bersangkutan.

Hubungan Depresiasi dan Laba

Telah dibahas sebelum ini bahwa mengaitkan depresiasi dengan kontribusi pendapatan neto
sama saja dengan melakukan imputasi pendapatan. Ini berarti besarnya biaya depresiasi
bergantung pada besarnya pendapatan dalam perioda tertentu. Implikasinya adalah dalam hal
pendapatan cukup kecil, akan terjadi semacam penundaan biaya depresiasi atau “tahun
gemuk menutup tahun kurus.” Sekali depresiasi telah deprogram secara sistematik dan
rasional, depresiasi hendaknya tidak ditunda pembebanannya semata-mata karena
“pendapatan tidak dapat menutup biaya.” Alasannya adalah bahwa proses keausan/kerusakan
tidak akan berhenti karena aset fisis tidak digunakan dan perkembangan teknologi juga tetap
berjalan selama perioda depresiasi.

            Alasan lain adalah bahwa penentuan laba haruslah merupakan akibat suatu upaya
untuk mengungkapkan kenyataan objektif yang ada tanpa memperhatikan berapa akhirnya
laba yang terjadi. Lagi pula, walaupun akuntansi menganut asas himpun (aktual), hal ini tidak
mengisyaratkan bahwa laba periodik harus sama tiap tahunnya. Jadi, meskipun tetap dituntut
untuk menaksir depresiasi tahunan secara saksama, rasional, dan objektif, hendaknya tidak
ada pikiran sama sekali untuk mempengaruhi besarnya laba.

Koreksi Terhadap Kesalahan Taksiran

Mengingat kesulitan dalam meramalkan saat pemberhentian unit fasilitas fisis, program
depresiasi tidak memberikan hasil yang sama persis dengan kenyataannya setelah berjalannya
waktu. Misalnya, fasilitas fisis menjadi usang lebih cepat dari yang diantisipasi sehingga
tahun-tahun yang telah berjalan dibebani terlalu sedikit dengan depresiasi. Sebaliknya,
fasilitas fisik yang seharusnya sudah dihentikan dari pemakaian (dan habis didepresiasi)
ternyata masih berfungsi dengan baik sehingga depresiasi telah dibebankan terlalu tinggi.

            Kalau program depresiasi yang dijalankan tersebut ditentukan secara saksama dan
objektif dengan mempertimbangkan semua faktor yang ada, perbedaan antara taksiran dan
kenyataan merupakan suatu hal yang tak terhindarkan. Perbedaan dapat juga disebabkan oleh
ketaksaksamaan atau kekeliruan. Apapun sebabnya, perbedaan yang akhirnya muncul paling
tidak merupakan suatu indikasi bahwa kesalahan telah terjadi sehingga koreksi taksiran harus
dilakukan.
            Program depresiasi harus direvisi bilamana kenyataan jelas menunjukkan bahwa
revisi tersebut diperlukan. Kalau misalnya ada bukti yang makin kuat tentang kemungkinan
pemberhentian lebih awal sebagai akibat kemajuan teknologi atau faktor lainnya maka
akselerasi depresiasi harus segera dilakukan demikian pula sebaliknya. Yang penting adalah
semua penyesuaian yang berlaku surut harus dilaporkan melalui statemen laba rugi.

            Dalam kasus tertentu, penghapusan fasilitas fisis (write-down) yang cukup besar dapat
dibenarkan sebagai cara untuk menunjukkan adanya rugi yang sebenarnya telah terhimpun
beberapa perioda tetapi belum masuk dalam biaya operasi tiap perioda tersebut karena rugi
ini baru diketahui kemudian. Kalau suatu fasilitas fisis tidak lagi digunakan dan kemungkinan
membangun atau memperbaiki kembali untuk diaktifkan adalah kecil, penghapusan seluruh
sisa nilai buku sekaligus dapat dibenarkan meskipun fasilitas tersebut belum dibongkar.
Penghapusan tersebut harus dilaporkan sebagai rugi dalam statemen laba-rugi tahun berjalan
bukan sebagai penyesuai laba ditahan.

            Bila penghapusan tersebut berkaitan dengan pembelian fasilitas fisis baru,


penghapusan tersebut sering diperlakukan sebagai kos fasilitas fisis baru. Perlakuan ini tidak
layak. Meskipun menaikkan harga barang atau jasa di perioda berikutnya merupakan
pemecahan masalah yang terbaik untuk menutup rugi masa lampau, tidak berarti bahwa nilai
buku fasilitas fisis yang dihentikan dapat dibebankan ke perioda-perioda yang tidak
menikmati jasa fasilitas fisis tersebut.

            Jadi, kalau pemberhentian dari penggunaan sudah pasti terjadi maka kos yang melekat
pada fasilitas tersebut juga harus dihentikan, artinya tidak dapat lagi dibebankan ke produksi
setelah pemberhentian. Mengkapitalisasi rugi pemberhentian sama saja dengan menyangkal
adanya rugi tersebut. Sekali diputuskan untuk dihentikan kos yang belum dikonsumsi akan
hilang selamanya (menjadi rugi). Kos yang harus dibebankan ke operasi selama umur
fasilitas fisis yang baru adalah terbatas pada kos unit baru tersebut. Sisa kapasitas fasilitas
fisis lama tidak menambah daya atau kapasitas fasilitas fisis baru.

Tanah

Apakah tanah perlu didepresiasi atau tidak bergantung pada karakteristik atau fungsi
tanah dalam operasi perusahaan. Sebagai tempat usaha, fungsi untuk ditempati tidak akan
pernah habis. Oleh karenanya, dapat dianggap bahwa kos tanah tidak perlu didepresiasi atau
diamortisasi menjadi biaya operasi. Dengan kata lain, fungsi tanah untuk menyediakan jasa
ditempati tanpa batas waktu (selamanya) cukup menjadi alasan kebijakan untuk
memperlakukan kos tanah sebagai investasi permanen dalam fasilitas produksi. Perlakuan
semacam ini makin didukung untuk tanah hak milik permanen. Karena karakteristik kos
tanah sebagai investasi permanen, tanah tersebut perlu dipisahkan dari fasilitas fisis lain yang
dapat didepresiasi dalam pelaporannya.

Tanah Bukan Hak Milik Permanen


Kos tanah sewaguna (leasehold), tanah hak guna bangunan (HGB), atau bentuk investasi non
permanen lainnya dalam bentuk tanah harus secara sistematik dibebankan ke produksi selama
umur ekonomik atau selama jangka kontrak.

            Dalam kondisi tertentu, tanah pertanian tidak dapat diperlakukan sebagai investasi
permanen. Kesuburan tanah jelas akan dipengaruhi oleh frekuensi panen dan lapisan atas
tanah (topsoil) yang subur mungkin habis akibat erosi sehingga suatu saat tanah tersebut
secara ekonomik tidak dapat ditanami lagi. Dalam keadaan seperti ini, akuntansi yang sehat
menghendaki pemisahan kos tanah menjadi bagian yang dimasukkan sebagai kos sisa tanah
(kalau ada) dan bagian yang menunjukkan kos elemen tanah yang dapat habis jasanya
(potensi jasa tanah untuk ditanami), kemudian ditentukan alokasi kos sistematik yang tepat
untuk bagian kedua tersebut. Jadi, dengan akuntansi seperti di atas, pengeluaran-pengeluaran
untuk mengembalikan kesuburan tanah akan menjadi bagian kos tanah yang pada akhirnya
harus didepresiasi.

Sumber Alam

Sumber alam (natural resources) yang akan habis melalui proses penambangan
(extraction) dan tidak dapat diperbarui atau diganti (renewable) sering disebut dengan “aset
habis pakai” (wasting assets). Tambang mineral (termasuk minyak mentah dan gas) adalah
contoh utama aset habis pakai. Hutan kayu yang biasanya tidak diremajakan lagi oleh
perusahaan pengekstraksi dapat dikategori sebagai aset habis pakai. Kos sumber alam
tersebut (tidak termasuk nilai sisa tanah) harus diserap secara sistematik ke produksi atas
dasar pengambilan atau konsumsi. Kos yang diserap ini disebut deplesi. Seperti juga pada
depresiasi, deplesi sebagai kos atau upaya untuk menghasilkan pendapatan harus ditentukan
secara objektif dan rasional tanpa memperhatikan pengaruhnya terhadap laba bersih.

Aset Tak Berwujud

Yang digolongkan sebagai aset tak berwujud (intangibles) meliputi pos seperti hak
cipta, paten, merek dagang, goodwill, dan kos organisasi. Sama seperti fasilitas fisis, kos aset
tak berwujud harus secara sistematik dibebankan ke operasi dan akhirnya terhadap
pendapatan selama umur yuridisnya. Dalam kasus tertentu dimungkinkan untuk menyerap
kos tersebut dalam waktu yang lebih pendek dari umur yuridisnya. Penghapusan langsung
seluruh kos sebagai rugi harus segera dilakukan kalau kondisi menunjukkan bahwa aset tak
berwujud tersebut tidak lagi mempunyai arti ekonomik yang penting. Karena banyak masalah
teoritis yang timbul, dua jenis aset tak berwujud yaitu goodwill dan kos organisasi dibahas di
bawah ini.
Goodwill

Goodwill timbul apabila suatu perusahaan membeli perusahaan lain yang sudah
berjalan secara keseluruhan. Goodwill adalah selisih lebih jumlah rupiah tunai atau setaranya
yang dibayarkan oleh perusahaan pembeli di atas nilai pasar wajar atau nilai buku kekayaan
fisis perusahaan yang dibeli. Goodwill dapat diinterpretasi sebagai kemampuan lebih dalam
menghasilkan laba dibanding kemampuan normal perusahaan yang kondisi kekayaan fisisnya
sama. Kemampuan lebih tersebut tidak dapat diperoleh secara terpisah dengan jalan membeli
hak monopoli atau cara lainnya. Secara akuntansi, goodwill tidak dapat ditimbulkan sendiri
oleh perusahaan tetapi harus melalui pembelian suatu perusahaan yang sedang berjalan. Kos
kampanye produk baru, misalnya, tidak dapat disebut sebagai goodwill.

            Kos goodwill yang melekat pada harga beli suatu perusahaan yang sudah beroperasi
pada dasarnya merupakan nilai sekarang atau nilai diskunan (present or discounted value)
kelebihan laba yang mampu dihasilkan. Kelebihan laba ini merupakan jumlah rupiah
kelebihan yang diharapkan akan terjadi sehingga akhirnya investasi dengan pembelian
perusahaan di atas nilai buku tersebut menghasilkan suatu tingkat pembelian investasi (rate
of return) yang normal. Dengan demikian goodwill yang dibeli tersebut menunjukkan
pengakuan lebih dahulu sejumlah debit yang mengukur sebagian dari laba yang diharapkan
akan diperoleh kemudian. Jadi, jumlah debit goodwill diharapkan dapat ditutup atau
diperoleh kembali melalui laba lebih perusahaan yang dibeli.

            Dengan demikian, sangat masuk akal kalau kos yang diperhitungkan sebagai goodwill
harus diserap dan dibebankan ke pendapatan selama kurun waktu yang dijadikan dasar dalam
mempertimbangkan kos pemerolehan perusahaan sehingga laba yang tampak dalam statemen
laba-rugi menunjukkan laba bersih normal. Kenyataan menunjukkan bahwa pada kebanyakan
perusahaan, kelebihan kemampuan untuk menghasilkan laba tidak berlangsung selamanya
tetapi hanya berlangsung dalam kurun waktu yang terbatas. Dengan demikian, goodwill
hendaknya diamortisasi sepanjang taksiran masa diperolehnya laba lebih.

            Seandainya tingkat laba lebih tersebut tetap terjadi sesudah kurun waktu yang
diantisipasi, amortisasi kos goodwill tetap dilakukan hanya selama waktu yang diantisipasi
semula atas dasar faktor-faktor yang ada pada saat pengakuan goodwill. Kemampuan
memberi laba lebih sesudah jangka waktu yang diantisipasi mungkin bukan lagi disebabkan
oleh faktor-faktor dan kondisi yang dipertimbangkan pada saat perusahaan bersangkutan
dibeli. Dengan kata lain, kesuksesan yang dicapai perusahaan sesudah goodwill habis besar
kemungkinan disebabkan oleh perkembangan dan faktor baru bukan lagi oleh goodwill
tersebut.

            Selain diinterpretasi sebagai kemampuan melaba lebih (superior earnings atauexcess


earning power) secara keseluruhan, goodwill dapat pula dipandang sebagai pengukur
kelebihan spesifik perusahaan yang dibeli atau pengukur sikap masyarakat yang
menguntungkan terhadap perusahaan (favorable attitudes to word the firm). Sikap atau atribut
yang dilekatkan masyarakat terhadap perusahaan dapat berupa lokasi yang strategik, reputasi
bisnis yang baik, merek yang sudah terkenal, kesetiaan konsumen, pangsa pasar yang besar,
dan faktor spesifik lainnya. Bila harga beli melebihi penjumlahan harga wajar semua aset
secara individual, kelebihan tersebut dianggap melekat pada atribut spesifik tersebut. Ini
berarti bahwa goodwill dapat dikaitkan dengan aset tak berwujud spesifik sehingga dapat
dipisahkan dari berbagai aset lainnya. Lokasi yang strategic dikaitkan dengan harga tanah
yang lebih tinggi dari harga tanah di tempat lain. Pangsa pasar yang besar dianggap sebagai
hak monopoli.

            Interpretasi goodwill seperti di atas disanggah oleh argument bahwa laba perusahaan
dihasilkan oleh interaksi dari seluruh aset perusahaan. Goodwill merupakan kelebihaan
residual yang melekat pada perusahaan secara keseluruhan. Memperlakukan goodwill sebagai
atribut spesifik sama saja dengan melakukan imputasi pendapatan. Di lain pihak, tidak layak
jugauntuk menyebar kos goodwill ke semua aset karena kesulitan untuk mengidentifikasi
atau mengaitkan goodwill dengan aset tertentu. Oleh karena itu, goodwill sebenarnya dapat
diakui dalam satu akun debit dan dimaknai sebaga akun penilaian induk (master valuation
account) terhadap semua aset sebagai satu kesatuan. Fungsi goodwill dianggap sama dengan
fungsi premium investasi dalam obligasi atau cadangan penghapusan piutang. Dengan
perlakuan ini, goodwill bukan lagi merupakan kemampuan melaba lebih melainkan hanya
sebagai jumlah rupiah pengimbang (a plug) yang berfungsi sebagai penilaian. Persoalan
teoritis yang timbul kemudian adalah apakah jumlah debit goodwill dilaporkan sebagai
penambah aset atau pengurang ekuitas pemegang saham.

Kos Organisasi

Pengeluaran-pengeluaran yang terjadi sebelum perusahaan mulai beroperasi biasanya


ditampung dalam satu akun menjadi kos pendirian atau kos organisasi (organization cost).
Pengeluaran tersebut meliputi kos pencetakan saham, tarif akte notaris, pengeluaran untuk
ijin perusahaan, dan kos kegiatan selama proses pendirian. Kos organisasi diperlakukan
sebagai aset tak berwujud karena kos tersebut tidak dapat dikaitkan dengan aset tetap
berwujud yang ada dalam perusahaan. Seperti telah diuraikan dalam pembahasan tanah, kos
organisasi menunjukkan suatu aset permanen (tidak perlu diamortisasi) sepanjang perusahaan
dapat mempertahankan diri sebagai perusahaan yang beroperasi secara penuh dan yang
bertumbuh sebagaimana ditunjukkan oleh kemampuan untuk menghasilkan laba dan posisi
keuangannya. Akan tetapi, kos pendirian tersebut harus mulai diserap atau dihapuskan bila
terjadi penurunan laba dan pengerutan (contraction) kekayaan yang terus menerus akibat
kegagalan usaha atau proses likuidasi. Jadi, kos organisasi tidak semestinya diamortisasi
dalam hal perusahaan berjalan terus dan berkembang tetapi tidak semestinya dipertahankan
tetap utuh dalam hal perusahaan mengalami kemunduran yang terus-menerus. Untuk
perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha eksploitasi sumber alam, penyerapan secara
sistematik kos organisasi selama umur fasilitas fisis (pabrik) adalah perlakuan yang paling
layak. Dengan dasar pikiran yang sama, jumlah rupiah komisi atau berbagai pengeluaran lain
yang berkaitan dengan penerbitan surat-surat berharga harus diserap (dihapuskan) selama sisa
umur surat berharga tersebut.

Penyajian Biaya
Penyajian biaya tidak dapat dilepaskan dari penyajian pendapatan dan sarana untuk itu adalah
statemen laba-rugi. Penyajian elemen pendapatan, untung, biaya, dan rugi bergantung pada
konsep tentang apa saja yang membentuk laba.

Anda mungkin juga menyukai