Anda di halaman 1dari 42

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the

original purpose.

MARKETING MANIFESTO 2007

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 1/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

The Future of Branding: Balance Your Brand Internally & Externally


Prepared by: sumardy@marketing-clubbers.com ricky.afrianto@marketing-clubbers.com

Welcome to the era of copycat marketing!!! Ya, tidak heran jika tahun 2006 ini dapat dikatakan sebagai eranya copycat marketing alias saling tiru-meniru. Pemasar seperti kehilangan kreativitasnya, program pesaing ditiru dalam waktu singkat. Tahun 2006 dapat juga dikatakan sebagai tahunnya CGC alias Cash Back, Gimmick & Credit. Di berbagai industri kita melihat bagaimana berbagai merek saling menawarkan harga murah, hadiah dan pembelian dapat dicicil. Lalu, apakah merek masih berpengaruh? Bukankah brand diperlukan untuk menghindari jebakan komoditas dan perang harga? Fakta unik justru menunjukkan banyaknya merek-merek besar yang bahkan menurunkan harga dan terlibat dalam perang CGC tersebut. Secara umum, kita menemukan 3 mantra utama para pemasar di tahun 2006 ini. Pertama, price war. Tidak henti-hentinya kita melihat bagaimana berbagai merek mencoba mencapai target penjualan dengan menawarkan harga yang lebih murah. Termasuk juga menawarkan diskon untuk menghasilkan short-term sales. Dalam elemen marketing mix, memang promosi dan harga merupakan dua elemen yang paling sering dijadikan andalan pemasar untuk meningkatkan penjualannya. Tidak heran jika harga menjadi salah satu favorit pemilik merek untuk memenangkan perang dengan pesaing. Bahkan harga merupakan salah satu elemen dari marketing mix yang paling mudah untuk diubah dibanding elemen lain. Sehingga naik turunnya penjualan biasanya akan ditindaklanjuti dengan perubahan harga. Ini yang menerangkan mengapa banyak sekali baik orang sales bahkan marketing jika harus menaikan penjualan langsung meminta atau melakukan diskon/potongan harga. Kedua, sales promotion is everywhere. Dapat dikatakan hampir sebagian besar industri mencoba menawarkan promosi penjualan secara gencar. Mulai dari industri kredit dengan iming-iming bebas iuran tahunan, cicilan ringan, kerjasama promosi dengan berbagai merchant dan outlet sampai dengan industri ritel dan elektronik yang mencoba menarik para pengunjung dengan berbagai iming-iming hadiah langsung. Tekanan terhadap kinerja para pemasar memang semakin tinggi. Setiap rupiah yang dikeluarkan untuk program pemasaran sepertinya harus dapat dihitung dengan jelas return on marketing investment-nya. Cara yang paling sederhana dan singkat memang dengan memaksakan berbagai program promosi penjualan. Tidak heran di tahun 2006 ini khususnya di semester kedua merupakan masa-masa ditemukannya banyak promosi penjualan. Ketiga, me-too is everywhere. Tekanan terhadap pemasar akhirnya membuat mereka panik untuk mencapai target penjualan yang membuat mereka tidak segan-segan untuk meniru para pesaingnya. Mulai dari program komunikasi sampai dengan promosi penjualan yang terlihat dengan jelas saling meniru dan menyerang satu sama lain. Prinsip yang dianut pemasar tahun 2006 sepertinya hanya dua yaitu to kill or to be killed. Disadari atau tidak, apa yang dilakukan oleh para pemasar tersebut justru sebenarnya bisa mempengaruhi loyalitas konsumen terhadap sebuah merek. Berbagai program promosi dan tiruMarketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 2/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

meniru ini secara tidak langsung mendidik pelanggan untuk menjadikan harga sebagai faktor utama untuk menentukan merek yang dibeli. Lalu, apa penyebab para pemasar hanya mengandalkan ketiga mantra tersebut saja? Hal ini tentu saja dipicu oleh semakin berkurangnya inovasi dari para pemasar yang akhirnya membuat produk yang ditawarkan semakin berkurang nilai tambahnya. Hal ini mengakibatkan pelanggan mempersepsikan sebagian besar merek yang beredar di pasar layaknya komoditas yang sulit dibedakan Dengan kata lain, telah terjadi brand erosion dimana produk yang memiliki brand yang kuat semakin kehilangan kekuatan pasarnya. Is brand still relevant? Sebelum menemukan jawabannya, marilah kita lihat beberapa alasan munculnya copycat marketing ini. Pertama, tidak terbatasnya waktu dan jarak. Bayangkan saja bagaimana saat Microsoft pertama kali meluncurkan Windows XP, di hari yang sama telah tersedia versi palsunya di China. Waktu dan jarak bukan lagi merupakan sebuah keunggulan kompetitif karena produk dapat dengan mudah mengalir dari satu negara ke negara lain. Tidak heran jika ide-ide terbaru dengan mudah ditiru oleh pesaing. Kedua, superpower customer. Kehadiran banyak merek pada saat yang bersamaan dalam satu kategori justru memberikan kekuatan pada pelanggan. Mereka lebih memiliki banyak pilihan. Era over-supply seperti ini tentunya melemahkan daya tawar pemilik merek. Ketiga, tekanan pemegang saham. Dengan persaingan yang semakin ketat, pemegang saham mengharapkan pengembalian investasi yang lebih cepat. Keinginan untuk memperoleh Return on Marketing Investment yang tinggi tentunya memberikan tekanan bagi para pemasar yang akhirnya menggunakan berbagai cara untuk mencapai omset. Keempat, penetrasi pasar modern. Kehadiran pasar modern di Indonesia tentu saja mengurangi daya tawar para pemilik merek khususnya merek-merek yang tidak tergolong pemimpin pasar. Kelima, The AND customer. Satu dekade yang lalu dengan mudahnya sebuah merek dapat memberikan pilihan kepada pelanggan. Produk berkualitas dengan harga mahal atau harga murah dengan kualitas rendah. Saat ini? Pelanggan akan menjawab Kualitas tinggi DAN harga murah! Di era awal 90-an, para pemasar memiliki pola piker more brand more power yang akhirnya membuat banyak perusahaan mengeluarkan beberapa merek di dalam kategori yang sama dengan harapan dapat tetap mempertahankan pelanggan yang senang berganti-ganti merek. Namun, di awal tahun 2000-an yang khususnya dipicu oleh 5 hal di atas mengakibatkan banyak pemasar mulai merasakan bagaimana semakin banyak merek justru semakin menghabiskan banyak anggaran dan sumber daya. Kemudian muncullah pertanyaan Banyak merek tetapi tidak dominan atau satu merek tapi dominan? Lalu, bagaimana dengan masa depan merek? Apa yang harus dilakukan di era perang harga ini. Ada tiga hal paling penting yang harus dilakukan sebuah merek untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Pertama, brand refocusing. Kedua, brand consolidation dan ketiga, internal branding.

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 3/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

I. BRAND REFOCUSING Di awal tahun 90-an saat munculnya branding euphoria, satu merek dengan mudahnya bisa masuk ke berbagai kategori. Dengan kata lain terjadi brand extention di kategori-kategori yang bahkan tidak ada hubungannya dengan kategori dimana merek tersebut pertama kali muncul. Lalu, apa yang terjadi saat sekarang ini dimana masing-masing kategori memiliki satu kompetitor yang kuat. Dengan kata lain akan terjadi perang one brand vs multiple brands. Dulu kita tidak pernah mengira bahwa Biore akan memiliki kompetitor yang berbeda untuk masing-masing functional benefit. Untuk urusan external beauty, Biore harus berhadapan dengan Ponds dari Unilever. Untuk urusan internal beauty, Biore harus berhadapan dengan Dove yang juga dari Unilever. Untuk urusan healthy, Biore harus berhadapan dengan Vaseline yang juga dari Unilever. Beberapa tahun yang lalu Kecap ABC hanya merasakan kekuatan dari Kecap Indofood. Namun saat ini muncul penantang baru Kecap Bango yang juga sangat fokus. Lalu, masihkah kita percaya one brand for several categories? Sudah saatnya bagi para pemasar memikirkan kembali pola brand extention yang dijalankan. Sebelum semuanya terlambat, lakukan brand refocusing dengan cepat dan konsentrasikan semua anggaran pemasaran untuk menjadi pemenang di satu kategori. II. BRAND CONSOLIDATION Coba kita lihat dari pendekatan branding. Era sebelumnya selalu ditandai dengan munculnya merek-merek baru. Dengan kata lain, banyak merek baru tersebut hanya sekedar old wine in the new bottle dan ternyata bisa menghasilkan penjualan. Namun, seiring dengan tumbuhnya pasar modern dan juga tekanan pesaing mengakibatkan manufaktur mulai melakukan brand consolidation. Ternyata more brand more power sudah tidak relevan lagi, yang ada justru less brand, more focus and more power. Dengan keterbatasan dana yang dimiliki, perusahaan mulai mengalokasikan dananya hanya untuk merek-merek yang memang memiliki prospek pertumbuhan industri yang tinggi. Kalau ada lebih dari satu merek di kategori yang sama, kecenderungannya adalah menggabungkan kedua merek tersebut atau hanya fokus melakukan investasi di salah satu merek saja. Lihat saja bagaimana Unilever menggabungkan Clear dan Brisk serta Hazeline dan Citra. Penggabungan ini tentunya membuat anggaran pemasaran yang tersedia dapat lebih difokuskan pada satu merek saja. Selain itu tentunya dapat meningkatkan daya tawar dengan pasar modern. Jika sebuah perusahaan terlanjur mengembangkan beberapa merek dalam satu kategori dan segmen yang sama, sekarang saatnya untuk melakukan pembenahan dan konsolidasi. Hapus pemikiran bahwa banyak merek adalah banyak rejeki. Lakukan brand consolidation dengan cepat! P&G merupakan salah satu company yang berhasil melakukan brand consolidation. Di tahun 2000 mereka memiliki 10 brands yang masing-masing menghasilkan sales di atas US $ 1 milyar. Dan di tahun 2004, P&G memiliki 16 brands yang berhasil menghasilkan US $ 30 milyar dari total sales tahun 2004 yang sebesar 51.4 milyar. III. INTERNAL BRANDING

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 4/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

Bukankah pelanggan pertama adalah karyawan kita sendiri? Hampir semua owner, CEO, marketing director dan sebagainya setuju dengan pernyataan tersebut. Lalu, seberapa banyak program untuk membuktikan kalau memang karyawan adalah pelanggan pertama yang paling berharga? Dapat dihitung dengan jari atau dapat dikatakan tidak ada sama sekali.

Penelitian yang dilakukan oleh Conference Board Survey di tahun 2004 terhadap 700 CEO menemukan fakta bahwa isu utama bagi para CEO adalah bagaimana menciptakan employee engagement ke dalam brand vision,mission dan culture. Hal ini kembali menegaskan pentingnya internal branding di era banyaknya kemunculan merek-merek yang tidak terkendali jumlahnya. Kegagalan McDonald memenuhi brand promise-nya sebagai merek yang memberikan outstanding service, quality, value dan cleanliness menghasilkan pelanggan yang tidak puas dan kerugian. Di tahun 2001, studi yang dilakukan oleh University of Michigan menemukan 11% pelanggan McDonald kecewa dengan kunjungannya dan 70% dari yang kecewa tersebut merasa komplain-nya tidak ditangani dengan baik. Separuh dari pelanggan yang kecewa menghentikan kunjungannya dan menceritakan ke lebih dari 10 orang tentang pengalaman yang tidak puas. Tahukah Anda komplain yang menempati peringkat 1? Bukan kehabisan Happy Meal, pelayanan yang lambat, pesanan yang keliru dan bahkan restoran yang kotor. Komplain nomor wahid adalah karyawan yang berperilaku buruk,. Menurut University or Michigan seperti dikutip oleh Prophet, kesalahan ini mengakibatkan McDonalds harus kehilangan bisnis sebesar US$750 juta per tahun. Mengapa Internal Branding? Hanya ada tiga alasan sederhana kenapa dibutuhkan internal branding. Pertama, karyawan adalah promise-keepers. Karyawan-lah yang akan menjadi pasukan terdepan dalam memenuhi janji-janji yang telah disampaikan oleh sebuah merek dalam berbagai kegiatan promosi. Tahukah Anda kalau ternyata salah satu alasan utama larinya pelanggan karena perilaku karyawan? Survey yang dilakukan IBM menunjukkan 68% pelanggan menghentikan pembelian sebuah merek karena sikap dan perilaku karyawan yang berbeda dengan janji mereknya, sisanya 9% dikarenakan harga dan 14% dikarenakan alasan fungsional. Kedua, karyawan adalah aset pemasaran berharga. Ingainga Karyawan tidak tinggal dan hidup hanya di kantor saja, mereka memiliki rumah, tetangga, hobi dan secara reguler berinteraksi dengan orang di luar kantor dan komunitasnya. Mereka adalah aset utama perusahaan dalam menyampaikan berbagai pesan merek. Jadi, bisa dibayangkan dong betapa berbahayanya kalau karyawan tidak merasa mewakili merek. Ketiga, karyawan menarik minat calon karyawan lain. Bukan hanya pembeli saja yang dicari. Bukankah karyawan juga akan bercuap-cuap ke orang lain dan akan menentukan apakah perusahaan kita layak untuk dijadikan tempat kerja yang idea. Komentari dari karyawan bisa
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 5/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

lebih berpengaruh dibandingkan iklan lowongan. Bahkan survei yang dilakukan terhadap perusahaan yang tergabung dalam Fortune 500 menemukan fakta bahwa internal branding berhasil mempertahankan karyawan (93%), meningkatkan employee engagement (91%), menarik minat pelamar kerja (90%), memotivasi karyawan (79%) dan mempengaruhi kinerja bisnis (71%) Studi yang dilakukan oleh Ernst & Young bahkan menunjukkan pemahaman terhadap merek dan reputasi korporat mempengaruhi 30% dari stock price perusahaan. Im The Brand So tunggu apa lagi? Masih mengabaikan internal branding? Ada tiga tahapan untuk melihat sejauh mana karyawan Anda benar-benar merepresentasikan sebuah merek. Pertama, tahap I Know The Brand. Pada tahap ini, karyawan hanya sekedar mendengar dan memahami merek Anda tanpa merasa ada ikatan emosional apalagi bersedia membela mereknya habis-habisan. Pada tahapan ini, yang cukup diukur adalah sejauh mana tingkat kepuasan pelanggan dan karyawan Kedua, tahap I Love The Brand Pada tahap ini sudah tercipta ikatan emosional antara karyawan dengan merek sehingga memiliki tingkat komitmen yang tinggi dan berusaha untuk bertahan di perusahaan dan melakukan yang terbaik. Pada tahapan ini, ukuran brand equity harus ditambah dengan tingkat retention baik pelanggan maupun karyawan.

Sumber : Sumardy OctoBrand (2005) Tahapan yang paling tinggi adalah Im The Brand Inilah tahapan dimana merek sama dengan karyawan dan karyawan sama dengan merek. Inilah tahapan puncak dari sebuah merek yang

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 6/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

akhirnya akan mempengaruhi karyawan dan pelanggan. Kalau setiap karyawan kita sudah berani mengatakan Im The Brand maka inilah titik dimana akan tercipta virus-virus yang akan menyebarkan kabar baik tentang merek kita. Inilah titik dimana pelanggan akan mempromosikan dan menceritakan merek kita kepada orang lain, hal yang sama juga akan dilakukan karyawan kita dengan menceritakan hal-hal yang baik tentang perusahaan dan bahkan mengajak orang lain untuk bekerja di perusahaan kita. Global International Brand Survey yang mencoba melakukan studi terhadap 300.000 karyawan HSBC dan hubungannya dengan customer metric menghasilkan temuan menarik. Cabang yang memiliki tingkat living the brand yang tinggi secara otomatis menghasilkan kepuasan pelanggan yang tinggi (karena sudah melewati tahap I) dan tingkat pembelian yang lebih tinggi! Kalau selama ini Anda mengukur brand equity hanya melihat faktor eksternal seperti brand awarensss, brand association dan sebagainya, maka mulai sekarang external brand equity tersebut harus dipadukan dengan internal brand equity. Gabungan antara internal dan external brand equity inilah yang akan menjadi the real value of brand equity. Masa depan merek Anda tergantung pada bagaimana kemampuan Anda menggabungkan customer equity dan employee equity yang merupakan gabungan dari customer dan employee satisfaction index, customer dan employee retention index serta customer dan employee advocacy index. Bagaimana Melakukan Internal Branding? Melakukan internal branding juga layaknya menjalankan external branding. Sebuah perusahaan dan atau merek harus mengerti dengan baik siapa yang menjadi target market internal branding dan juga program-programnya. Ada tiga tahapan yang harus dilalui perusahaan dalam menjalankan internal branding.

Source : Sumardy OctoBrand (2005) Tahap pertama, internal brand health-check yang bertujuan untuk mengaudit sampai tingkat manakah merek kita bagi karyawan, apakah sudah sampai tahapan Im The Brand atau masih I Know The Brand. Melalui tahapan ini kita juga dapat men-segmen karyawan kita menjadi empat kategori berdasarkan indicator intellectual commitment dan emotional commitment
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 7/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

Source : Sumardy OctoBrand (2005) Setelah memperoleh empat kelompok segmen karyawan, maka dapat ditentukan skema prioritas yang akan menjadi target market dalam proses internalisasi merek. Termasuk juga pengembangan ukuran keberhasilan internal branding, pemilihan brand ambassador dan pembuatan program internal branding. Di tahapan ketiga merupakan tahapan eksekusi yang dimulai dengan menciptakan sebuah brand momentum yang dapat menjadi titik start untuk menyadarkan karyawan. Dalam proses eksekusinya, akan terus dilakukan pemantauan dan pengukuran keberhasilan internal branding sesuai dengan internal brand metrics yang telah disepakati di tahapan sebelumnya sehingga dapat dilakukan beberapa penyesuaian yang dirasa perlu. Dengan internal branding yang tepat diharapkan dapat juga mempengaruhi pelanggan yang akhirnya mempengaruhi kinerja bisnis dari sebuah merek yang tentu saja harus dipadukan dengan program-program external branding. Di samping itu, internal branding memberikan beberapa manfaat. Pertama, menciptakan tangible reason bagi karyawan untuk mempercayai sebuah merek dan selalu merasa termotivasi dan berkomitmen tinggi. Kedua, memungkinkan karyawan untuk menilai dirinya sendiri apakah cocok dengan brand promise yang telah disampaikan kepada pelanggan. Ketiga, menciptakan sebuah kebanggaan terhadap merek yang dimiliki. Keempat, memudahkan dalam proses rekrutmen dan mempertahankan karyawan. Kelima, menjadi indikator bagi karyawan untuk melihat bagaimana pentingnya hubungan antara karyawan, merek dan pelanggan. Dalam 5 tahun ke depan, pengelolaan merek yang hanya memfokuskan pada pengembangan citra di benak pelanggan eksternal tidak mencukup lagi. Sebuah merek juga harus memfokuskan usahanya untuk membangun citra di internal perusahaan sehingga setiap karyawan dapat menjadi duta merek yang efektif.

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 8/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

BRAND MANIFESTO 1. Dominate, Consolidate or Leave!!! Kalau merek Anda tidak menjadi No 1 atau No 2, coba pikirkan untuk melakukan refocusing atau consolidation. Jika tidak mampu, sebaiknya tinggalkan saja! 2. The Beauty of ABC!!! ABC = Always Be Cannibalized! Di era copycat seperti sekarang ini, pemilik merek harus berani mengkanibalisasi produknya sendiri. Yang harus dipertahankan adalah brand relevance di benak pelanggan. Bila perlu, bunuh fitur produk yang dulunya pernah membuat merek Anda sukses. Lakukan itu jika memang tidak bisa mempertahankan relevansi merek di benak pelanggan 3. Hire Passionate People!!! Meyakinkan pelanggan untuk membeli merek Anda tidak lagi cukup hanya dengan mengandalkan komunikasi yang meyakinkan. Yang juga diperlukan adalah para pengelola merek yang memiliki gairah dan nafsu untuk menjadikan merek yang dijualnya sebagai bagian sehari-hari dari kehidupannya. Lakukan Internal Branding segera!

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 9/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

The Future of Research: The New Era of Consumer Insight Prepared by: sumardy@marketing-clubbers.com handoko.gani@marketing-clubbers.com Berbicara mengenai riset pasti berbicara tentang 'lingkungan pemasaran'/marketing landscape. 'Lingkungan' pemasaran terus berubah dan membentuk new tomorrow people setiap saat. New Tommorow People berarti profil psikografis baru, kebutuhan baru, ekspektasi baru, dan perilaku baru, walaupun belum tentu juga profil demografis baru. SPBU merupakan contoh yang bagus. Rasanya masih beberapa bulan yang lalu, salah satu SPBU baru menggunakan bukti bon resmi sebagai diferensiasi layanannya. Sekarang sudah berapa banyak SPBU yang melakukan hal yang sama? Bahkan, sudah ada SPBU yang menggunakan petugas wanita. Wah, siapa tahu tahun depan mulai ada self-service SPBU dengan segala sesuatu otomatis? Rasanya hingga tahun lalu, customer masih memiliki toleransi tinggi terhadap minuman pembangkit energi berwarna tanpa embel-embel manfaat lainnya. Sekarang mulai bergeser kepada minuman pembangkit energi untuk otak dan otot dan bahkan kelihatannya akan bergeser kepada minuman pengganti keringat dan minuman sehat. Astaga, customer Indonesia mulai bergeser menjadi lebih health-conscious, walau terus terang mereka pun masih bingung perbedaan antara pengganti keringat dan pembuat keringat (pembangkit energi) Rasanya hingga tahun lalu, customer masih menyukai donut dengan variasi tradisional seperti coklat, melon, lemon, dan sejenisnya. Sekarang mengapa mulai bergeser kepada donut lebih 'soft' dengan variasi almond, green tea, dan sejenisnya? Padahal lebih manis lho! Bukannya banyak orang Indonesia tidak menyukai rasa yang lebih manis secara umum? Rasanya baru tahun kemarin, para orang tua masih kuatir bila anak gadisnya menggunakan sepeda motor matic. Takut kecelakaan, takut dirampas, dan sebagainya. Wanita sendiri juga takut dandanannya luntur, rambutnya acak-acakan, jerawatan, kulit menjadi hitam terbakar matahari, bahkan hingga ada isu takut 'kehilangan keperawanan' (maaf). Bagi para pria sendiri, bukankah matic tidak identik dengan ke-macho-annya? Sekarang, banyak wanita yang menggunakan sepeda motor dan lucunya, para pria juga ikutan menggunakan sepeda motor matic tersebut. Lho, bukannya takut jerawatan atau bahkan hitam? Bukannya tidak macho? Bukan pertanyaan mengenai customer kita yang kemudian timbul. Kita tahu customer memang pasti berubah. Kita juga paham betul bahwa customer tidak bisa dipersalahkan karena memang mereka selalu mencari sesuatu yang 'lebih'. Mulai dari lebih baik, lebih enak, lebih berkualitas, lebih murah, lebih dekat, dan sebagainya. Mengapa mesti membayar lebih untuk sesuatu yang sama tapi 'lebih'? Kita juga tidak bisa menuduh customer selalu mengikuti sesuatu yang sedang tren/laris alias tingkat loyalitasnya rendah. Pertanyaan yang justru muncul adalah Ada apa dengan riset kita? Mengapa tidak bisa melihat kecenderungan hidden needs dan ekspektasi customer? Mengapa tidak bisa menangkap kenyataan bahwa terdapat ketidakpuasan customer sekaligus sumber ketidakpuasan mereka?. Ada 7 Deadly Sins marketer menyangkut riset.

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 10/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

Kesalahan pertama adalah pada relationship antara research dengan brand/marketing. Adalah seharusnya bila perencanaan kegiatan research dimasukkan ke dalam marketing/brand plan yang direncanakan setiap tahunnya. Akan tetapi, seringkali yang terjadi adalah kegiatan research mendadak. Baik karena tidak dikomunikasikan/direncanakan bersama ataupun karena competitors' movement, ataupun karena memang mendadak gara-gara competitors movement. Seharusnya, peranan research sangatlah besar dalam setiap fase product/brand lifecycle dan dalam keseluruhan proses pemasaran - perencanaan hingga evaluasi. Bukan juga hanya dituntut untuk menghasilkan produk baru! Salah besar menganaktirikan research. Kesalahan kedua adalah pada tujuan dari riset itu sendiri. Misalnya saja pada riset konsumen, seringkali banyak marketer lupa tujuan utama yang diharapkannya dari sebuah riset konsumen yang direncanakan. Memang benar bahwa riset konsumen bertujuan untuk mengetahui karakter pelanggan, kebutuhan, keinginan, ekspektasi, proses pengambilan keputusan membeli, perilaku pelanggan sehari-hari dalam membeli dan menggunakan produk kita. Akan tetapi, marketer seringkali lupa bahwa tidak semua tujuan dapat dicapai melalui satu saja kegiatan riset. Mungkin dikarenakan budget dan waktu yang terbatas, kesalahan ini muncul. Bayangkan, seringkali FGD diharapkan bisa menjawab pertanyaan mulai dari level kepuasan akan existing product yang digunakan, harapan akan jenis feature produk, awareness, attitude, behavior, bahkan new product concept dan product test dari 2 jenis produk sekaligus. Padahal, setiap panel FGD hanyalah 2 jam. Sekalian! Begitulah alasan marketer. Kesalahan ketiga adalah pada input (data) itu sendiri. Anda tidak perlu terkejut bila banyak perusahaan riset mendapatkan limpahan tanggung jawab dari kliennya bahkan hingga menentukan data-data apakah yang dibutuhkan perusahaan. Ini jelas praktik yang salah. Tidak heran bila selama ini, banyak perusahaan bentrok dengan third partynya dan akhirnya bergilir menyewa third party lainnya. Begitu selesai riset sesuai budget yang Anda siapkan, tahu-tahu hasil temuan yang dipresentasikan biasa-biasa saja, sudah Anda tahu, kurang digali secara detil, ataupun tidak bisa menjawab pertanyaan Anda. Anda sendiri tidak tahu data-data apakah yang Anda butuhkan! Di sisi lain, Anda harus tahu bahwa bila menyewa third party perusahaan riset, Anda akan terbentur dengan budget. Budget akan menentukan scope of work. Scope of work pada akhirnya akan memperlihatkan data-data apa saja yang Anda bisa dapatkan. Pertimbangan biaya murah jelas sudah starting point yang salah! Seharusnya pola pikir Anda adalah dimulai dari data-data apa saja yang Anda butuhkan, metodologi riset apakah yang tepat untuk mendapatkan data-data tersebut, baru berbicara mengenai scope of work, budget, dan akhirnya perusahaan riset apakah yang tepat. Bukan kebalikannya, dengan budget sekian, data-data tertentu harus bisa didapatkan, dan perusahaan riset apakah yang bisa melakukannya. Kalau Anda melakukannya, tidak heran bila perusahaan riset berusaha menyesuaikan budget Anda dengan resources yang digunakan untuk riset - bisa jadi second-grade researcher, kompromi dengan metodologi yang akan digunakan, dengan teknik pencarian data seadanya, atau dengan analisa data seadanya. Apakah ada perusahaan riset yang bersedia rugi atau mendapatkan sedikit margin buat kliennya? Dalam jangka pendek mungkin iya, dalam jangka panjang? Ada uang, ada jasa! Anda sendiri juga jangan mengaduk-aduk isi lautan dalam mencari data. Data tidak mesti hanya bisa didapatkan dari sumber utama seperti end-customer, tetapi juga bisa melalui industry expert. Data mengenai segmentasi dan perilaku konsumen real estate misalnya. Bukankah broker juga bisa menjadi salah satu source yang valid dimana bahkan Anda bisa mendapatkan mindset, consideration factor dalam membeli, karakter dan perilaku customer yang pasti tidak akan didapatkan dari bertanya langsung kepada responden, karena mereka mungkin adalah para Chinese keturunan, salah satu tipikal customer high-class yang sulit diajak ikut serta dalam FGD
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 11/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

karena gengsi, kesibukannya, dan lifestyle low profile yang dianutnya. Ditanya langsung pun dalam face-to-face interview, Anda bisa kesulitan menggali jawaban mereka mengenai ketiga hal tersebut di atas. Kesalahan keempat adalah kesalahan pada resources (human) yang digunakan, baik milik Anda sendiri maupun perusahaan third party. Dalam setahun terakhir, mulai muncul tren researcher/moderator lepas , tren perusahaan riset kecil, dan tren paket riset. Pemicunya sama yakni budget. Researcher dan Moderator lepas (merangkap Data Analyst) biasanya memang bekerja di salah satu perusahaan riset terkenal. Respondennya bisa dicari oleh researcher lepas ini, bisa juga diatur oleh perusahaan bersangkutan. Tidak sulit mencari responden, karena researcher/moderator lepas ini bisa menghubungi field-researcher di kantornya, yang nantinya akan bertindak sebagai pencari responden sekaligus pelaksana riset di lapangan. Sang moderator tinggal datang dan memimpin forum, bila itu jenis FGD. Sedangkan, perusahaan riset kecil biasanya bermain di segmen budget murah - tren yang Anda juga mungkin sering manfaatkan, selain tentunya paket riset yang biasanya dilakukan oleh advertising agency. Bukan berarti kualitas mereka buruk. Tidak semua. Akan tetapi, seperti argumentasi di atas, bila ada bermain dengan budget tanpa melihat jenis data yang dibutuhkan, bersiaplah menuai badai. Khusus mengenai paket riset, berhati-hatilah dengan tren ini. Beberapa tahun belakangan ini, banyak perusahaan yang mulai menyukai satu agency tertentu. Agency ini dilibatkan di dalam semua kegiatan advertising brand tertentu. Bahkan terakhir, agency ini juga diminta untuk melakukan riset berkesinambungan atas brand tersebut. Mulai dari evaluasi kegiatan promosi hingga akhirnya menjadi pemantauan tren di lapangan. Jangan lupa pada competency masingmasing perusahaan. Apakah Agency dalam hal ini kompeten untuk riset? Jangan lupa juga mengenai isu sense of ownership. Anda-lah pemilik brand tersebut, mengapa memindahkan tanggung jawab kepada mereka? Brand performance yang semakin menurun bukankah lebih merugikan Anda? Perlu Anda ketahui bahwa field-researcher yang dimiliki oleh perusahaan third-party banyak yang tidak memiliki ketrampilan questioning dan probing yang baik, ditambah lagi mereka juga dikejar-kejar oleh target. Daripada melakukan probing yang memakan waktu lama terhadap satu orang, lebih baik melakukan questioning biasa saja. Bahkan sekalipun hanya questioning, bila dirasa responden kebingungan menjawab, mereka langsung memberikan 'petunjuk' bantuan. Padahal, jenis data yang dibutuhkan tidak boleh didapatkan dengan cara dibantu, misalnya saja data Top of Mind. Anda tahu akibat dari tidak dilakukannya proses probing yang baik? Bila Anda tanyakan kepada pemilik mobil mewah, termasuk mobil sport, Anda akan mendapatkan alasan mereka membeli mobil tersebut adalah karena teknologinya, ini dan itu. Tahukah Anda bila di-probing dengan hati-hati, jawaban mereka akan mengarah kepada gengsi semata sebagai alasan pembelian? Apakah Anda juga tahu praktik nakal lainnya yang dilakukan para field-researcher? Tahukah Anda bahwa ada sekelompok orang yang memang bekerja sebagai responden profesional sebagai mata pencaharian hidupnya? Lho, mengapa tidak mungkin? Gift untuk sekali FGD adalah kurang lebih sebesar Rp.50.000 dan masih mendapatkan souvenir dan makanan gratis di hotel pula. Tahukah Anda bila responden yang sama yang Anda wawancarai kemarin untuk produk/brand tertentu, bisa jadi juga responden yang sama untuk produk/brand pesaing? Dan, tahukah Anda bila mereka bisa berbicara dengan manis mengenai brand Anda, sama seperti tentang brand pesaing? Tambahan lagi, tahukah Anda bahwa para field-researcher pasti memiliki list/database orang-orang yang bisa menjadi calon responden produk apapun? Dan, bahwa bila
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 12/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

terjepit, responden dengan kriteria apapun bisa dipanggil? Tidak percaya? Saya dengar ada beberapa rekan marketer yang pernah ikut serta dalam FGD produk pesaing. Bayangkan! Kesalahan kelima adalah pada jenis metodologi (tools and process) yang digunakan. Riset kualitatif menggunakan teknik Focus Group Discussions (FGD) ataupun In-depth Interview, serta riset kuantitatif hanyalah dapat memahami karakter pelanggan, kebutuhan, keinginan, ekspektasi, ekspektasi, proses pengambilan keputusan membeli, ataupun perilaku pelanggan sehari-hari dalam membeli dan menggunakan produk kita, berdasarkan apa yang DISEBUTKAN oleh customer. Tahukah Anda bahwa ada banyak hal yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata? Atau, sekalipun diungkapkan dengan kata-kata, Anda akan lebih mengerti bila di-visualisasikan? Di sinilah peranan riset Customer Insight menjadi sedemikian pentingnya. Waktu saya berada di IKEA Singapore, saya melihat sebuah lemari yang langsung bisa merupakan solusi atas ketidakpuasan saya akan produk lemari yang ada di Indonesia. Saya sendiri juga terkejut begitu tahu ketidakpuasan saya itu betul-betul significant, dialami oleh banyak orang, dan ada solusinya. Silakan lihat lemari dan box plastik bersusun yang saya miliki. Anda akan melihat kaos kaki yang digulung-gulung menjadi bulat seperti bola, saputangan, dan dasi yang diletakkan di mana saja di laci atau box dalam lemari atau box plastik bersusun tadi. Seringkali saya membutuhkan waktu 5 menit untuk mencari dimana saputangan yang saya inginkan karena terselip dengan baju-baju yang tersusun di dalam kotak atau laci tersebut. Ternyata ada solusinya. Saya lihat di lemari IKEA ada satu lemari dengan laci persegi panjang dan tinggi kira-kira 10 cm, tapi bersekat-sekat membentuk kotak-kotak kecil. Aha...inilah solusi buat saya. Saya bisa meletakkan gulungan kaos kaki, saputangan saya, dan gulungan dasi saya di kotak-kotak tersebut. Rapi sekali! Saya bebas memakai jenis apapun yang inginkan, tanpa kemungkinan terjadinya pemakaian berulang. Saya pernah malu gara-gara kepergok tanpa sadar memakai dasi yang sama 2 kali dalam satu minggu hectic di kantor. Anda belum tentu menyadari ketidakpuasan ini, karena saya saja tidak menyadarinya dan karena saya lihat semua merek/produk lemari yang tersedia di pasar juga menyebabkan masalah yang sama. Tahukah Anda darimana asalnya ide mengenai produk refrigerator dengan fasilitas freezer/pendingin di bagian atas? Dari pengamatan researcher pada ibu Anda yang sudah cukup berumur dan biasa di rumah, tidak seperti Anda yang selalu sibuk bekerja di luar rumah. Ibu Anda kesulitan membungkuk sekalipun sedikit saja bila mengambil es batu yang mungkin dijualnya iseng-iseng setelah pensiun. Lalu darimana ide produk refrigerator sekarang yangmana fasilitas pendinginnya ada di bawah? Dari pengamatan researcher pada anak Anda yang suka menggunakan bangku untuk mencuri es krim kesukaannya. Hal yang sama juga terjadi pada display di hypermarket. Anak kecil yang datang bersama ibunya akan terpancing untuk membeli bila rak-rak permen atau coklat terjangkau sesuai tinggi badannya. Begitu juga dengan keputusan meletakkan produk-produk permen, coklat, ataupun snacks di sela-sela antara escalator naik dan turun di Carrefour. Anak kecil yang sering bermainmain selama di escalator lebih baik dialihkan perhatiannya untuk merengek meminta produkproduk tersebut. Begitu pula Anda yang mungkin sibuk membeli sejumlah barang dalam daftar belanja Anda. Anda seperti diingatkan untuk sedikit 'lapar mata' dan 'ngemil' begitu lihat produkproduk tersebut. Lumayan lho waktu untuk memutuskannya. Paling tidak 1-2 menit. Buat wanita, selama ini diyakini bahwa topik dan perbincangan mengenai seks adalah tabu. Apakah menurut Anda, kondom umumnya dibeli oleh pria? Belum tentu. Bukankah para pria sibuk bekerja hingga malam dan tentunya tidak ada waktu atau malas ke tempat-tempat seperti supermarket/hypermarket, warung , ataupun toko obat? Pasti sudah terbayang perilaku wanita saat membeli kondom. Apakah terang-terangan? Tidak! Mereka mengambil produk kondom
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 13/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

sambil melihat kiri kanan dan meletakkan tersembunyi di dalam belanjaan mereka, dan dikeluarkan malu-malu di kasir. Oleh karena itu, bukankah tepat bila kondom tersebut dijual di counter khusus ataupun di kasir, agar bisa segera dibeli dan disimpan cepat-cepat dengan bungkus khusus? Untuk dapat memahami customer dan perubahan mereka, Anda harus melebur dalam hidup mereka.Dalam hal inilah, visualisasi/riset berjenis observation seperti customer insight seringkali memang bisa menjawab banyak pertanyaan yang memang sulit diungkapkan konsumen. Akan tetapi, jangan mendewakan customer insight. Lihatlah metodologi riset sebagai satu kesatuan yang jangan-jangan perlu diintegrasikan bila memang dibutuhkan. Kesalahan keenam adalah dalam hal olah data, interpretasi data, dan penggunaaan data (process) Kesalahan inilah yang paling tidak disadari oleh researcher maupun marketer. Begitu tahu sudah terlambat. Customer sudah berhasil direbut oleh pesaing. Memang ada peranan unsur teknikal/kompetensi dalam jenis kesalahan ini, tetapi tahukah Anda bahwa teknik pengolahan data juga ditentukan oleh jenis data yang Anda ingin dapatkan dan metodologi pengambilan datanya? Kalau Anda sendiri tidak tahu jenis data yang Anda perlukan atau metodologinya tidak tepat, apakah bisa mengeluarkan data-data yang Anda inginkan? Feature motor 'khusus untuk perempuan' merupakan isu yang seringkali digampangkan oleh banyak produser. Asal komunikasi saja di media massa dengan design warna yang 'kewanitaan'. Begitu melihat iklan pertama dari Yamaha Mio, tahulah kita consideration factors yang selama ini tidak terekspos oleh banyak produser. Mulai dari orang tua yang takut anak gadisnya terluka atau bahkan cacat karena tindak kejahatan ataupun memang kecelakaan; image pengguna (wanita) bahwa mengendarai sepeda motor itu susah; ketakutan akan dandanan luntur, rambut berantakan, jerawatan, ataupun kulit hitam; isu mengenai ketidaknyamanan berkendaraan karena posisi duduk yang tinggi dan membuat posisi kaki sedikit terbuka (mengangkang - maaf) dan bahkan jangan terkejut, hingga isu mengenai kemungkinan keperawanan karena mengangkang (maaf!). Kemampuan interpretasi data yang hebat dari researcher dan marketer-nya karena bisa menemukan isu-isu tersebut dibandingkan produser-produser lainnya. Bukankah dalam FGD manapun, tidak mungkin para wanita akan mengungkapkan desire mereka akan seks? Lantas, bagaimana mungkin majalah seperti Kosmopolitan bisa laku keras di Indonesia? Dengan pengamatan bahwa banyak wanita Indonesia yang mulai terekspos dengan lingkungan internasional, baik melalui media komunikasi maupun langsung dalam pergaulan. Kesalahan terakhir adalah pada penyimpanan data hasil riset alias Research System.(usage) Anda pasti setuju kalau saya katakan banyak marketer tidak menyimpan dengan baik data-data hasil risetnya. Hasil risetnya itu berceceran di mana-mana. Ada yang terdapat di divisi sales, ada yang terdapat di product management, ada yang terdapat di brand management, frontliners, dan sebagainya. Masing-masing melakukan riset sendiri dan menggunakan temuan riset tersebut untuk kepentingan sendiri. Belum lagi, begitu berbicara mengenai riset-riset terdahulu. Janganjangan Anda tidak pernah lagi meliriknya dan menganggapnya data-data historikal, dimana padahal Anda juga hanya mengingat sebatas presentasi yang dibawakan oleh third party. Jangan memiliki paradigma yang salah. Sekalipun tujuan riset berlainan, entah itu new product test ataupun evaluasi promo, ingatlah bahwa berbicara tentang riset adalah berbicara tentang TREND. Berbicara tentang TREND artinya berbicara tentang continuous monitoring/observing dari segala point of view dan tentunya storing/documenting. Anda harus membangun sebuah sistem Competitive Intelligence ataupun sering disebut sebagai Market Intelligence dengan serangkaian kegiatan yang direncanakan dengan matang dan didokumentasikan dengan rapi.

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 14/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

Perubahan kebutuhan, keinginan, ekspektasi, dan perilaku konsumen bukankah sebetulnya sudah terindikasi? Hanya saja mungkin terindikasi lewat puzzle-puzzle hasil temuan riset dari berbagai divisi. Bukan hanya riset yang berkaitan dengan brand Anda, tetapi juga riset mengenai perubahan sosial budaya, misalnya lifestyle. Apakah di dalam perusahaan Anda ada divisi khusus yang continuously mengamati 'lingkungan pemasaran' secara langsung, khususnya customer? Jangan juga membiasakan paradigma bahwa tugas memantau TREND ini adalah tugas para marketer atau divisi riset, baik third party maupun internal. Menjadikan observasi sebagai kebiasaan sehari-hari akan sangat membantu Anda dalam memantau TREND. Akan tetapi, tentunya setelah Anda juga memiliki sistem yang baik untuk mengatur hal ini. Ketujuh paradigma bisa dijadikan guideline untuk kegiatan riset perusahaan tahun depan, bisa juga menjadi warning bagi perusahaan bila memang terdapat praktik-praktik di atas. Tahun depan diyakini adalah permulaan dari era Integrated Research Methodology. Customer Insights ataupun tipikal observation research lainnya memang akan menjadi tren yang dilakukan banyak perusahaan besar. Akan tetapi, banyak perusahaan juga menyadari bahwa observation research tetap harus dipadukan dengan FGD ataupun riset kuantitatif lainnya. Sesuai dengan kegunaannya, kemungkinan besar observation research akan lebih banyak digunakan untuk pengamatan purchasing dan consuming behavior. Kelihatannya, justru riset kualitatif mulai lebih banyak berperan dimana banyak perusahaan mulai berani mengambil keputusan berdasarkan temuannya tanpa melakukan riset kuantitatif. Alangkah baiknya, bila perusahaan mulai lebih mengatur integrated research system di internalnya. Kegiatan riset hendaknya juga dimasukkan ke dalam agenda brand management. Kegiatan riset yang seringkali mendadak tanpa perencanaan yang matang sebelumnya akan berdampak pada hasil dari riset itu sendiri. Alangkah baiknya, mulai melibatkan research dalam setiap kegiatan pemasaran. Lagipula, apakah ada proses pemasaran yang tidak membutuhkan research di dalamnya? Di sisi lain, perlu adanya me-leverage data-data yang berceceran sedemikian banyaknya dalam setiap divisi, terutama divisi yang terdekat dengan pelanggan. Selain tren di atas, seperti dikemukakan di atas, paket riset, researcher lepas, dan perusahaan riset kecil akan tetap bermunculan untuk memuaskan segmen budget murah. Perhatian perlu diberikan lebih kepada tren paket riset. Brand yang berhasil tahun 2007 menjelang adalah brand yang relevant dan merge dengan kehidupan pelanggan. Melebur sepenuhnya dengan kehidupan customer haruslah menjadi habit dari marketer. Berhentilah memindahkan tanggung jawab kepada perusahaan riset ataupun agency Anda. Marketing berasal dari market untuk kepentingan market. Walau ia dituntut untuk melihat out of the box di luar market tersebut, bukankah langkah tersebut dimulai dari hasil pemahamannya akan market setelah melebur ke dalamnya? Itulah tantangan Anda tahun depan! Bagaimana membuat brand Anda relevant dan merge dengan kehidupan pelanggan?

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 15/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

The Future of Marketing Communication: Its An Activation Era


Prepared by: sumardy@marketing-clubbers.com ricky.afrianto@marketing-clubbers.com

Welcome to the era of communication war!!! Kalau saja kita berniat untuk melakukan communication review di tahun 2006 ini, dapat dikatakan merupakan salah satu sejarah terburuk perang komunikasi pemasaran. Me-too-ism ditemukan di berbagai program komunikasi yang justru menimbulkan masalah bagi para praktisi komunikasi itu sendiri Perang me-too-ism tentunya mendidik pelanggan untuk menyadari bahwa semua produk adalah komoditas dan hampir semua merek menempuh cara yang sama. Sales promotion sepertinya merajalela dan bahkan menguasai hampir sebagian besar isi iklan. Tidak bisa dipungkiri, perkembangan media yang begitu pesat memang merubahh peta komunikasi pemasaran dan tentunya merubah cara sebuah merek berkomunikasi. Ada beberapa faktor yang menyebakan perubahan tersebut. Pertama, semakin meningkatkanya fragmentasi media mulai dari semakin banyaknya media televisi nasional, berkembangnya televisi lokal dan tentunya konsep acara yang selalu meniru satu sama lain. Seperti terlihat pada gambar di bawah bagaimana perkembangan televisi lokal menjadi salah satu alternatif media komunikasi dalam 5 tahun ke depan.
TV NASIONAL
100 99

TV LOKAL
7 6

98

5 4

Audience Share

97

96

95 94

2 1

93

Jun-04 Jul-04 Aug-04 Sep-04 Oct-04 Nov-04

Dec-04 Jan-05 Feb-05 Mar-05

Source: AGB Nielsen Media Research

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Jun-05 Jul-05 Aug-05 Sep-05

Oct-05 Nov-05 Dec-05 Jan-06 Feb-06

Mar-06 Apr-06 May-06 Jun-06 Jul-06 Aug-06

Jan-04 Feb-04 Mar-04 Apr-04 May-04

Apr-05 May-05

Page 16/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

Kedua, berkurangnya daya gebrak acara-acara televisi yang mengakibatkan tersebarnya jumlah pemirsa yang tentunya berakibat pada semakin tingginya biaya per kepala untuk setiap iklan yang ditayangkan. Seperti terlihat pada gambar di bawah dimana rata-rata rating acara tidak mampu melewati angka 20, sangat jauh berbeda dengan 5 tahun yang lalu yang bahkan bisa melewati angka 30. Hal ini tentunya memicu pemikiran para pemasar untuk mengalokasikan biayanya dengan lebih efektif.

25.3 22.2 19 16.3 22 20.4 18 17.9 16.6 17.7 15.2 12.1 10.9 13.6 13.2 11.4 8.1 6.5 5.4 2.8 2.2 1.8 0.2 6.3 6.3 5.9 4.1 2 1.4 0.4 18.6 16.5 13.5 11.5 11.2

11.4 8

11.6 9.5

4.2 2.4 2.1 1.8 1.5 1.1 0.1

4.9 4.7 2.9 2.8 2.1 2 0.2

7.2 6.1 4.8 1.9 1.9 0.3

2002
TVRI1 RCTI

2003
SCTV TPI ANTV

2004
IVM METRO

2005
TRANS JTV TV7

YTD 2006
GTV LATV

YTD 2006 : Jan Aug 2006 Source: AC Nielsen Telescope / Arianna

YTD 2006 : Jan Aug 2006 Source: AC Nielsen Arianna

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 17/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

Source : Adquest Millennium Rp. Million. Excluding PSA & Non Comercial Ads

Ketiga, penurunan pertumbuhan biaya iklan menjadi salah satu indikator bagaimana iklan mendapatkan tantangan media-media baru yang dianggap dapat memberikan proposisi yang unik.. Belum lagi tambahan tantangan akan pertanyaan terhadap efektivitas iklan itu sendiri. Metode pengukuran tradisional dalam komunikasi pemasaran semakin dipertanyakan. Ukuran seperti GRP bahkan mendapat tantangan dari Advertising Research Foundarion (ARF) yang mencoba membedakan seberapa banyak pemirsa yang pernah menonton sebuah iklan dengan seberapa banyak yang benar-benar terlibat (engage) dengan iklan tersebut.Tidak heran jika dalam konferensi tahunannya di 2006 ini, ARF akan mengeluarkan metode pengukuran terbaru yang disebutnya sebagai advertisings effectiveness on engagement (AEE) Tidak heran juga jika kemudian perusahaan otomotif dunia Ford kemudian harus mengundang pihak ketiga untuk mengukur efektivitas agensinya. Ford tahun ini mengumumkan keputusannya menyewa Accenture untuk melakukan media measurement dalam rangka menghasilkan program yang lebih efektif dalam menghabiskan anggaran periklanan dan juga media mix. From Home to Head to Hand Munculnya berbagai media baru tentunya mengubah paradigma dan tujuan para pemasar mengkomunikasikan mereknya. Komunikasi tidak lagi hanya diarahkan untuk mencapai tiap rumah dari pelanggan, tidak lagi hanya memiliki mind share di benak pelanggan tetapi juga bagaimana selalu ada di dekat pelanggan kapanpun dan dimanapun pelanggan tersebut berada. Dengan demikian, dapat dikatakan media menjadi tersegmentasi dalam tiga bagian utama yaitu In-home, In-Situation dan In-Life Media. In-home berarti media yang selama ini banyak digunakan oleh para pemasar yaitu televisi untuk beriklan. In-situation lebih menyasar situasisituasi tertentu dalam kehidupan pelanggan seperti shopping situation. Dengan kemajuan teknologi, sebuah merek seharusnya dapat menyasar pelanggannya dimana saja yang akhirnya akan memunculkan In-life Media yang akan menemani pelanggan anywhere, anytime, any situation! Kemampuan untuk mensinergikan ketiga media tersebut yang akhirnya akan menentukan apakah sebuah merek dapat menjalankan komunikasi pemasaran dengan baik. Idealnya, semua pemasar
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 18/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

berniat menggeber sebanyak mungkin anggarannya ke ketiga media tersebut. Akan tetapi, anggaran pemasaran yang terbatas dengan tuntutan perhitungan return yang akurat memaksa pemasar harus dengan jeli melakukan alokasi yang sinergis. From Attention to Experience to Activation Lalu, apa yang akan terjadi dengan komunikasi pemasaran di masa mendatang. Model di bawah ini dapat memberikan gambaran perubahan paradigma pendekatan komunikasi tersebut.

THE FUTURE MARKETING COMMUNICATION MODEL Slice of Product Era pertama adalah era attention dimana televisi masih berpengaruh kuat sehingga setiap merek berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian dari pelanggan. Nilai ketertarikan dari program komunikasi adalah bagaimana menampilkan sisi keunikan dari sebuah produk. Pelanggan tidak dilibatkan dalam proses komunikasi yang akhirnya membuat pelanggan akan berpikir ini adalah produk nya produsen. Paradigma seperti ini tentunya membutuhkan in-home media dengan harapan untuk membombardir benak pelanggan. Pertanyaannya adalah saat semua produk menawarkan hal yang sama dengan media yang sama, apa yang akan terjadi? Semuanya menjadi komoditas, bukan? Contohnya lihat saja perang antara AMD vs Intel Pada tanggal 29 November dan 6 Desember 2005 yang lalu terdapat iklan satu halaman penuh di The Straits Time, Singapore. Iklan tersebut menampilkan headline "WE CHALLENGE INTEL TO A DUAL-CORE DUEL 6 DECEMBER 2005" dan pemasang iklannya siapa lagi kalau bukan musuh bebuyutan Intel yaitu AMD Iklan dengan headline yang provokatif dengan tampilan visual ring tinju. Inilah tantangan AMD
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 19/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

untuk mengajak Intel melakukan duel di atas ring tinjudi Chihuly Room The Ritz Carlon Millenia, Singapore untuk membuktikan kehebatan Dual-Core AMD Opteron processors yang diluncurkan sejak April 2005 Untuk memprovokasi Intel layaknya Don King yang sedang jualan tinju, tidak cukup hanya dengan iklan, AMD bahkan memasang banner dan iklan di setiap meja di food court S-11 yang letaknya persis dekat dengan kantor Intel di Cuppage Road. AMD bahkan juga nekad mengeluarkan banner yang sama di Asiaone.com dan Asiaone digital Apa yang terjadi? apakah pertarungan di atas ring antara AMD dan Intel berlangsung? jawabannya TIDAK. Ketidak-haidran Intel di atas ring tinju membuat AMD semakin yakin dan mengumumkan ke publik kalau prosesor x86 mereka adalah yang terbaik di Industri dan hal tersebut diketahui oleh kompetitornya sehingga tidak muncul di arena tinju. Itulah sekelumit cerita serangan kedua dari AMD yang selama ini dianggap hanya sebagai challenger brand belaka. Intel yang terkenal dengan intel inside-nya memang dianggap merupakan brand authority di kategori-nya. Tantangan ini tentu saja merupakan pukulan telak yang kedua. Sebelumnya pada tanggal 23 Agustus 2005, AMD secara resmi mengeluarkan tantangan pertama dengan memasang iklan satu halaman penuh di harian New York Times, The Wall Street Journal, San Jose Mercury-News, dan San Francisco Chronicle dengan tema iklan dan tantangan yang sama. Ya hasilnya seperti yang diduga memang Intel tidak hadir di tantangan tersebut. Banyak pihak yang menyebutkan bahwa ketidak-hadiran Intel disebabkan saat itu mereka belum memiliki dual core dan belum 64 bit "murni". Jadi wajar kalau Intel tidak berani menerima tantangan tersebut dan dianggap KO dua kali. Serangan dari AMD menggunakan logika bahwa microprocessor chip merupakan otak dari sebuah personal computer (PC) sementara core merupakan aktivitas yang terjadi di dalam chip. Dengan dual core yang dimiliki oleh AMD maka beban kerja dapat dibagi secara lebih efisien dibandingkan single core sehingga dapat memperoses data dengan lebih cepat. Slice of Situation Hal ini akhirnya memicu era kedua dimana banyak mereka mencoba menawarkan komunikasi dengan unsur experience. Emotional benefit sudah mulai ditawarkan dengan harapan akan ada sesuatu yang menyentuh hati pelanggan. Komunikasi yang ditampilkan sudah mulai banyak menggambarkan situasi pelanggan sehari-hari. Pelanggan merasa bahwa ini merupakan merek yang layak digunakan karena dapat menjadi acuan untuk diterima di sebuah komunitas. So.. merek ini adalah bagian dari situasi penggunaan kita sehari-hari (Its Part of Us) Contoh mutakhir adalah bagaimana Softex menggunakan beberapa situasi kehidupan kita untuk mendekatkan mereknya dengan pelanggan. Peluncuran album terbaru Ada Band Romantic Rhapsody memunculkan fenomena menarik dimana salah satu hit single-nya khusus diciptakan untuk Softex dengan judul Karena Wanita Ingin Dimengerti Judul yang sama dengan tagline Softex yang memang dalam beberapa tahun terakhir ini mencoba merebut kembali tahta-nya sebagai raja dalam perang di industri sanitary napkins. Belum lagi dengan film DGirlz yang juga didukung oleh Softex sebagai tindak lanjut kompetisi pemilihan tiga wanita Alexa, Amanda dan Nicky yang dianggap dapat mewakili Softex. Gebrakan softex yang mencoba mengisi waktu-waktu dalam kehidupan kita sehari-hari menunjukkan bagaimana Softex mencoba menampilkan a slice of situation dengan menggunakan
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 20/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

media-media yang selama ini sudah sering kita gunakan seperti kaset dan film. Contoh lain misalnya Oil of Olay dari P&G yang baru-baru ini mendukung peluncuran album terbaru Audi dimana di salah satu lagunya juga menampilkan duet dengan salah satu penyanyi wanita yang menang dalam kontes pemilihan rekan duet yang juga diadakan oleh Olay. A slice of situation tentunya lebih merupakan usaha untuk memasukkan sesuatu di dalam kegiatan pelanggan sehari-hari. Lalu, apakah itu cukup? Dengan semakin banyak pemasar yang mengikuti, tentunya akan memicu komoditisasi juga. Inilah yang akhirnya memunculkan era baru dalam komunikasi pemasaran Slice of Life Bayangkan situasi ini. Anda sedang duduk di rumah ibadah, mendengarkan khotbah dengan khusyuk,tiba-tiba terdengar pengumuman, khotbah akan dilanjutkan setelah pesan-pesan berikut ini. Lalu di layar-layar raksasa yang dipasang di dinding rumah ibadah, muncul tayangan iklan. Setelah beberapa menit, khotbah dilanjutkan kembali. Anda berusaha keras mengingatingat, apakah Anda benar-benar berada di rumah ibadah, atau Anda sedang menonton tayangan khotbah di televisi? Mungkin Anda akan mengernyitkan dahi sambil berpikir, fenomena apakah yang sedang terjadi? Atau Anda justru tersenyum kagum akan terobosan terbaru di dunia brand communication? Bukan tidak mungkin, suatu saat peristiwa andai-andai diatas akan jadi kenyataan karena tanda-tanda ke arah sana sudah mulai muncul. Tahun lalu, Sermoncentral.com grup yang dimiliki Outreach Media Group dengan klien Disney, Daimler Chrysler dan lainnya mengadakan promo sensasional untuk mempromosikan film terbaru Disney The Chronicle of Narnia dimana para pendeta yang memasukkan judul film tersebut dalam khotbah-nya berkesempatan untuk mendapatkan $1000 plus perjalanan ke London. Daimler Chrysler tidak mau kalah saat mengadakan program Chevrolet Presents : Come Together and Worship. bekerjasama dengan Patti La Belle penyanyi rohani terkemuka dimana disetiap kegiatannya pengunjung dapat melakukan test drive Aspen varian SUV terbaru dari Chevrolet. Atau lihatlah sensasi lain yang dilakukan Wal Mart sebagai ritel terbesar di dunia yang mengeluarkan peraturan tidak akan menghukum pencurian barang di bawah US$25. Dengan menaikkan entry level menjadi US$25, Wal Mart membutuhkan incremental sales sebesar US$500 untuk menutupi kerugian akibat pencurian. Dari perhitungan total sales Wal Mart, diperkirakan mereka akan kehilangan US$ 6 Miliar per tahun dan bisa tertutup jika Wal Mart dapat meningkatkan penjualan sebesar US$130 Miliar per tahun. Peningkatan penjualan ini dari mana lagi kalau bukan dari pesaing!!! Apakah ini tergolong brand communication dari Wal Mart? Masuk ke kategori apa? Iklan? BTL? Nyaris tidak ada dalam terminologi komunikasi. Anda tidak perlu menggunakan media komunikasi untuk menciptakan penjualan! Percaya atau tidak, itulah era pembangunan merek dan penjualan di masa mendatang. Cepat atau lambat! Inilah masa depan komunikasi pemasaran. Brand is part of your life!!! Merek harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, pelanggan akan secara aktif terlibat dalam setiap kegiatan merek ini. Komunikasi pemasaran tidak lagi dibagi atas dasar iklan atau sales promotion semata tetapi bagaimana mencapai tujuan akhir untuk menjadi bagian dari kehidupan manusia. Oleh sebab itu, pemasar akan menggunalan semua In-Life Media alias semua barang berwujud yang ada di dekat pelanggan tersebut yang dapat dimanfaatkan untuk berinteraksi dengan pelanggan Ini yang disebut dengan era-nya activation. Yang menjadi aktif bukan hanya mereknya saja tetapi pelanggan terlibat dalam setiap kegiatan komunikasi merek yang akhirnya membuat pelanggan merasa bahwa merek tersebut adalah bagian dari ritual sehari-hari yang harus
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 21/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

dijalankan. This is the future of communication, be a slice of your consumers life!!

MARKETING COMMUNICATION MANIFESTO 1. Activate Your Consumers!!! Brand activation bukanlah berarti membombardir pelanggan Anda dengan semua pesan merek yang ingin disampaikan. Yang harus dilakukan adalah membuat pelanggan Anda aktif ikut terlibat dalam setiap program komunikasi yang dijalankan 2. Its not The Media, Its About Your Consumers Life!!! Program komunikasi tidak lagi mengacu pada media apa yang tersedia tetapi memahami kehidupan pelanggan dan menggunakan media yang ada atau bahkan menciptakan media baru untuk berinteraksi dan mendekat dengan kehidupan pelanggan Anda. 3. Its Me!!! Jika Anda berhasil membuat komunikasi pemasaran yang membuat pelanggan berkata Ya ini sih gue banget this is the ultimate destination of any marketing communication!

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 22/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

The Future of Sales: Redefining the Roles of Sales in Marketing Strategy


Prepared by: sumardy@marketing-clubbers.com handoko.gani@marketing-clubbers.com

Ketidakharmonisan antara divisi sales dengan divisi marketing adalah cerita klasik yang tetap masih terjadi hingga saat ini. Memang pada dasarnya hubungan antara sales dan marketing adalah TTM! Bisa Teman Tapi Mesra, tetapi bisa juga Teman Tapi Menusuk. Divisi Marketing, terlebih lagi brand management adalah divisi yang berisikan sekumpulan orang intelek dengan latar belakang minimal S1 bahkan hingga MBA lulusan luar negeri, dengan gaya bahasa yang penuh jargon istilah konsep dan kadang muter-muter dalam pola pikir dan gaya berbicara, penampilan keren mengikuti tren mode, fasilitas kantor yang sangat bagus, dan title yang cukup bergengsi. Divisi Sales, di sisi lain, seringkali diterjemahkan sebagai divisi Anak Lapangan atau divisi I am sorry! dengan Happy Losers di dalamnya. Istilah Anak Lapangan ini muncul dikarenakan latar belakang dari para salesman yang bisa jadi jauh di bawah dari divisi lainnya, dimulai dari latar belakang pendidikan yang lebih rendah secara umum, fasilitas kantor yang lebih sedikit, penampilan yang ala kadarnya, gaya bahasa Glodok alias to the point, dan image akan perbedaan scope of work yang cenderung kurang bergengsi. Istilah divisi I am sorry! ini biasanya muncul dikarenakan seringkali para sales terpaksa meminta maaf kepada client mereka dikarenakan ulah marketers atau divisi lainnya, mulai dari pembatalan meeting hingga jadwal pengiriman barang. Istilah Happy Losers ini muncul dalam artikel G.Clotaire Rapaille di Harvard Business Review edisi Juli-Agustus 2006 berjudul Leveraging The Psychology of The Salesperson A Conversation with Psychologist and Anthropologist G Clotaire Rapaille. Menurut G. Clotaire Rapaille, seorang salesman sejati adalah mereka yang tahan, bahkan menikmati penolakan, dan karenanya, mencari pekerjaan yang memberikan mereka kesempatan untuk ditolak. Mereka adalah addicted gamblers dengan filsafat Ngapain mikir ngejelimet! Coba-Coba Aja, Sapa Tau Berhasil!, yang akhirnya membuat mereka berani mencobacoba alternatif apapun untuk mencapai tujuan mereka, walaupun belum tentu berhasil. Akibat dari ketidakharmonisan antara kedua pihak tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata; bukan hanya dapat mempengaruhi pencapaian sales tetapi juga dapat mempengaruhi brand performance, mulai dari brand image, awareness, hingga brand acceptance. Tahun depan, dengan tuntutan untuk semakin meningkatkan profit perusahaan melalui sales, adanya ketidakharmonisan ini jelas merupakan bom waktu yang kapanpun bisa meledak. Sebetulnya, ketidakharmonisan semestinya tidak terjadi, apabila kita melihat fungsi dan tanggung jawab marketing/marketer dan sales/salesman, kita akan jelas melihat keduanya begitu terkait erat. Area tanggung jawab dari Marketing/Marketer dimulai dari pembentukan Customer Awareness hingga Brand Preference di benak target market-nya, sedangkan area tanggung jawab dari Sales/Salesman dimulai dari Purchase Intention hingga Customer Advocacy. Kalau ditelaah lebih detil lagi, sebetulnya area tanggung jawab Sales/Salesman bergantung kepada strategi Customer Awareness hingga Brand Preference dari Marketing/Marketer. Artinya, semakin jelas arahan dan target yang diberikan oleh Marketing/Marketer dalam program-programnya, semakin jelas pula strategi Sales/Salesman dan tactical plans setiap salesman dalam mencapai target penjualan pribadi masing-masing per area penjualan.

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 23/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

THE BUYING FUNNEL*


Customer Awareness

Brand Awareness

Brand Consideration

Brand Preference

MARKETING

Purchase Intention

SALES

Purchase

Customer Loyalty Customer Advocacy *Source: Kotler, Philip; Rackam, Neil; and Krishnaswamy, Suj; Ending The War Between Sales and marketing, Harvard Business Review, July-August 2006

Sebagai konsumen, mungkin banyak dari kita pernah mengalami kejadian tidak enak berhubungan dengan penolakan pengajuan kartu kredit ataupun jenis kredit tertentu, padahal bukan kita yang mengajukan permohonan tersebut. Kita mungkin terbujuk setengah dipaksa oleh rayuan limit kredit yang lebih besar dari sales representative atau mungkin juga gara-gara kita kasihan oleh sales representative tersebut. Akibatnya, bukan hanya kita kesal, bahkan banyak dari kita yang akhirnya antipati dengan brand bank atau kartu kredit tersebut. Mungkin juga kita pernah mengalami kejadian tidak enak gara-gara produk yang sudah kita bayar mahal ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi kita berdasarkan presentasi salesman produk tersebut. Mungkin juga kita mengalami hal-hal di luar kualitas produk yang mengecewakan, misalnya masalah after salesservice yang sangat mengecewakan. Banyak juga dari kita yang mengeluh gara-gara masalah pengiriman barang elektronik atau furniture yang dibeli di hypermarket ternama. Pengalaman kurang menyenangkan tersebut di atas janganlah dinilai sebagai kesalahan satu orang atau divisi tertentu saja. Bukan juga dikarenakan kesalahan sebuah strategi. Sesungguhnya, lebih tepat bila dinilai sebagai kesalahan suatu sistem dan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Mari kita melihat beberapa isu permasalahan ketidakharmonisan tersebut di atas dari proses perencanaan. Strategi marketing dimulai dari penentuan dan pemahaman yang jelas terhadap target market dari produk perusahaan. Tidak sedikit kesalahan marketer dalam proses awal ini. Secara umum, terdapat 2 kesalahan. Pertama, banyak marketer yang cenderung sok mahatahu mengenai market, pesaing, dan target customer-nya. Kedua, banyak marketer yang menyerahkan sepenuhnya proses pemahaman dan penentuan target market kepada research agency atau marketing consultant yang dipilihnya. Imbas negatif dari kesalahan para marketer ini beraneka ragam. Bagi marketer, kesalahan ini berimbas kepada tidak matchingnya kebutuhan dan ekspektasi customer dengan produk yang ditawarkan perusahaan/marketer.
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 24/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

Di tingkat sales, kebingungan ini menghasilkan paling sedikit dua imbas negatif. Pertama, adalah produk yang susah laku dijual karena tidak sesuai kebutuhan dan ekspektasi customer. Yang kedua adalah praktek penjualan asal bidik, mulai dari distributor hingga sales representative demi pencapaian target, baik target pribadi maupun target instansi. Bagi customer, hal ini berakibat kekesalan bahkan citra brand yang jadi buruk. Contohnya adalah kasus kartu kredit atau kredit perbankan di atas. Dalam proses pembuatan marketing plan sendiri, tidak sedikit kesalahan marketer. Terutama yang sering terjadi adalah kesalahan dalam proses pengumpulan data and pentransformasian data tersebut menjadi insight penting dalam proses pembuatan marketing plan. Sebagaimana kita ketahui, banyak data berserakan di lapangan, termasuk di level salesman/sales representative, mulai dari aktifitas promo pesaing hingga kemungkinan masuknya produk atau pesaing baru. Tanpa adanya suatu sistem Competitive Intelligence yang tertata rapi dan berjalan lancar, semua data berserakan tersebut akan tetap pada tempatnya. Kenyataan bahwa hingga sekarang marketing plan hanya sekedar formalitas dan nantinya akan dibuang ikut memperkeruh keadaan. Imbas negatifnya dari marketing-plan yang setengah matang ini adalah ketidaksiapan brand atau perusahaan dari serbuan pesaing, perubahan ekonomi, teknologi, sosial budaya, dan politik, bahkan perubahan dari internal sendiri. Masih mengenai marketing plan, seringkali kesalahan marketer terhadap divisi sales sangatlah besar, mulai dari kurangnya komunikasi/sosialisasi baik target maupun program marketing hingga target dan program marketing yang kurang detil atau bahkan unreasonable tactical plans di lapangan dari sisi sales-nya. Mengenai ketidakacuhan dan ke-egois-an marketer untuk mengkomunikasikan programnya kepada divisi sales justru semakin diperparah oleh sistem penilaian kinerja yang tidak dibuat secara benar dengan memperhatikan keterkaitan tanggung jawab antar keduanya. Dalam hal ini, yang sering menjadi korban adalah divisi sales, terutama para salesman. Mereka banyak dipersalahkan karena tidak tercapainya target sales, sementara indikator keberhasilan marketing/brand performance sudah tercapai. Kebencian divisi sales terhadap divisi marketing makin bertambah bila dikaitkan dengan kebijakan pilih kasih yang tanpa sadar seringkali diterapkan top management, terutama berkaitan dengan budget. Budget sekian milyar dikeluarkan untuk kegiatan marketing/brand dan cenderung meningkat, sementara divisi sales dipaksa untuk terus mencapai target sales yang terus meningkat tersebut dengan budget dan sumber daya yang seadanya. Sebagai contoh adalah masalah over promise yang sering terjadi di level sales. Lepas dari kesalahan perorangan yang memang sifat dasar dari seorang Happy Loser alias sedikit obral janji, seringkali penyebabnya justru adalah kurangnya komunikasi/sosialisasi dari marketing kepada sales. Brand Manager dengan kreatifitasnya membuat iklan dengan tampilan pesan bujukan nan aduhai, sementara sistem supporting atau sistem lainnya belum siap atau bahkan tidak bisa men-deliver sesuai promise tersebut. Akibatnya, para salesman banyak menerima sejumlah komplain akan kualitas produk/jasa yang di-order konsumen. Over promise juga bisa berasal dari strategi positioning dengan diferensiasi komoditas alias tidak unik ataupun strategi marketing communication (marcom) dengan objective, message, atau bahkan media placement yang kurang tepat. Akibat dari strategi positioning dengan diferensiasi komoditas di tingkat sales adalah kebingungan. Kebingungan para salesman untuk menjelaskan kepada calon konsumen tentang alasan dan manfaat membeli produk/brand perusahaan. Di sisi lain, strategi marcom dengan objective, message, atau bahkan media placement yang kurang tepat juga menambah pekerjaan rumah divisi sales dan salesman untuk menjelaskan tentang hal yang sama. Ketimpangan juga terjadi di sini. Menurut brand manager, strategi marcom-nya sudah sukses, menghasilkan buzzing di masyarakat dan dijadikan studi kasus oleh banyak konsultan pemasaran, bahkan berhasil mencapai indikator brand performance yang ditargetkan. Akan tetapi, ternyata di tingkat sales, pencapaian sales hingga 6 bulan setelah eksekusi strategi tersebut tetap tidak seperti yang diharapkan. Divisi sales sekali lagi yang disalahkan. Selain itu, di bagian perencanaan dua komponen Marketing Mix, Price dan Place, biasanya marketer kurang detil dalam penjabaran program promonya. Salah satu kesalahan yang sering dibuat marketer adalah tidak menjabarkan secara detil seputar isu terkait dengan sales. Akibatnya adalah tidak heran apabila strategi branding tidak sinkron dengan strategi sales territory ataupun dengan sales management, secara umumnya. Hal ini semakin diperparah dengan ketidakacuhan marketer akan kesiapan sistem sales management dan resources yang tersedia, serta strategi sales itu sendiri. Beberapa contoh isu yang sering
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 25/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

diacuhkan antara lain level outlet modern hingga tradisional dimana target marketnya biasa berbelanja, tingkat availability produk di tingkat outlet selama program promo berjalan, kemungkinan price war selama program branding, kemungkinan competitor sales program di tingkat retail, dan masih banyak lagi isu lainnya. Kesalahan di upstream sales (strategic sales) juga bisa disebabkan oleh strategic marketing plan yang keliru ataupun tidak jelas. Bagi perusahaan B2B (Business to Business), pengaruh dari kurangnya komunikasi dan koordinasi antara keduanya akan sangat terasa. Strategic Sales yang salah juga mempengaruhi strategi Key Account Management, mulai dari penentuan key account prioritas hingga kepada program-program loyalitas untuk mengikat mereka. Di sisi salesman, sebetulnya ada 7 deadly sins (minus kesalahan dari sisi penampilan/pembawaan diri) dari para salesman dan supervisor/manager mereka. Kesalahan pertama adalah dari sisi visi dan misi, serta cita-cita/tujuan hidup. Banyak salesman yang ternyata tidak memiliki sasaran pribadi jangka panjang atau yang sering dinamakan visi dan misi hidup. Umumnya mereka hanya memiliki sasaran-sasaran jangka pendek dan bangga bila berhasil mencapainya, padahal itu hanyalah kemenangan kecil. Tidak heran mereka seringkali putus asa, pasif, dan bahkan suka mengeluh ataupun merenungi nasib. Celakalah perusahaan bila memiliki mereka, karena setiap tahun bahkan setiap kuartal, mereka akan membutuhkan training motivasi/penyegaran. Kesalahan kedua adalah dari penentuan calon customer potensial alias dari proses filtering. Kesalahannya pun bisa beraneka ragam, mulai dari sembarangan memprospek pelanggan, jumlah sales call yang bisa dihitung dengan jari, hingga intuisi untuk terus membujuk calon prospek. Kesalahan ketiga adalah cara probing yang salah hingga tidak berhasil menggali kebutuhan dan ekspektasi pelanggan hingga membalance ekspektasi tersebut dalam batasan normal serta mempertahankan loyalitasnya (baca: membeli lebih banyak lagi). Kesalahan keempat adalah cara persuasif yang salah dalam menghadapi penolakan calon prospek. Kesalahan kelima adalah cara negosiasi yang cenderung memenuhi apapun permintaan/ekspektasi calon prospek (yang penting, target masuk dulu). Kesalahan keenam adalah cara menghadapi komplain. Kesalahan ketujuh adalah cara mengelola network-nya termasuk network dengan pelanggan setia. Menurut artikel Harvard Business Review edisi Juli-Agustus berjudul Ending the War Between Sales & Marketing yang ditulis oleh Philip Kotler, Neil Rackham, dan Suj Krishnaswamy, ada 4 tipe relationship antara sales dan marketing, yakni Undefined Relationship, Defined Relationship, Aligned Relationhsip, dan Integrated Relationship. Dalam tipe Undefined Relationship, sales dan marketing berdiri sendiri-sendiri dengan kegiatan dan agenda masing-masing, dimana masing-masing grup tidak tahu sama sekali kegiatan grup satunya hingga masalah muncul. Biasanya kondisi ini terjadi pada perusahaan atau business unit yang masih kecil, dimana sales dan marketers menikmati hubungan informal antara keduanya, dimana marketer masih berfungsi u/ mensupport sales. Tipe ini harus diupgrade menjadi tipe Defined apabila mulai timbul konflik antara keduanya dikarenakan perebutan sumber daya yang memang sedikit. Solusi yang mungkin dilakukan adalah dengan cara membuat secara jelas aturan-aturan pekerjaan antara sales dan marketing masing-masing (rules of engagement). Dalam tipe Defined, kedua pihak menetapkan proses dan aturan u/ mencegah perselisihan dengan cara berusaha melakukan bagian tugasnya masing-masing. Tipe defined mulai menyebabkan konflik antara sales dan marketing saat industri mulai berubah cukup signifikan dan muncul banyak variasi produk (customized). Solusinya adalah dengan mengupgrade tipe ini menjadi tipe Aligned, antara lain dengan mendorong kedisiplinan dalam berkomunikasi, membangun joint assignments: rotate jobs, mengangkat perwakilan dari marketing untuk bekerja sama dengan sales force, mendekatkan sales dan marketing, dan memperbaiki feedback system dari sales force. Dalam tipe Aligned, keduanya bekerjasama dengan batasan-batasan yang jelas dan fleksibel mengenai peranan/tugas masing2 dalam perencanaan dan training. Bila situasi market mulai berubah dengan cepat ataupun bertambah kompleks, sangat beralasan apabila hubungan sales dan marketing harus lebih terintegrasi. Solusinya adalah dengan mengupgrade tipe ini menjadi tipe Integrated, yaitu dengan cara menunjuk Chief Revenue/Customer Officer yang bertanggung jawab terhadap kontribusi sales dan
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 26/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

marketing terhadap revenue perusahaan, mendefinisikan langkah-langkah dalam marketing dan sales funnels, membagi marketing menjadi 2 bagian: upstream (strategic) dan downstream (tactical), menentukan target penjualan dan reward system bersama antara marketing dan sales, dan mengintegrasikan sales and marketing metric dalam hal pembagian pekerjaan dan penilaian pekerjaan. Dalam tipe Integrated, batasan peranan keduanya menjadi kabur, dimana mereka telah membagi. struktur, system, dan reward. Sales mulai focus juga kepada isu2 strategik, pemikiran jauh ke depan, dan seringkali akhirnya dibagi menjadi grup upstream (strategic sales) dan downstream (tactical sales). Marketers terlibat dengan key account management. Hidup mati bersama! Dalam mempelajari ke-4 jenis hubungan tersebut di atas, yang perlu diingat adalah tidak berarti semua perusahaan harus dapat menjalin hubungan tipe Integrated. Tipe yang tepat bagi setiap perusahaan bergantung kepada kondisi perusahaan, industrinya, dan berbagai faktor eksternal dan internal lainnya, termasuk faktor customer. Akan tetapi, mencermati beberapa isu tersebut di atas beserta sejumlah contoh kasus lainnya yang terjadi selama tahun 2006 berjalan, tidak pelak lagi banyak yang setuju bila dikatakan tahun 2007 masih dikategorikan sebagai permulaan era Integrated Marketing and Sales Strategy mengikuti tahun 2006. Sebagai akibat dari permulaan era Integrated Marketing and Sales Strategy, ada 2 tren era yang juga ikutan muncul tahun depan. Pertama, yang bisa juga ditebak dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, tahun 2007 menjelang diyakini juga adalah permulaan dari era Intelligent Salesman. Terdapat beberapa perbedaan antara Intelligent Salesman dengan salesman lainnya. Dari sisi hard skill, perbedaan antara intelligent salesman dengan salesman lainnya adalah dalam hal level pemahamannya terhadap strategi marketing/brand sesuai posisinya. Dari sisi soft skill, intelligent salesman ini memiliki kemampuan berpikir analisa holistik yang lebih dibandingkan salesman lainnya, yang biasanya justru lebih mengandalkan intuisi, motivasi dan semangat juangnya, network, dan karakternya yang luwes/supel. Hal ini bukan berarti semua orang yang bekerja di bidang sales/penjualan tidak intelligent. Sebetulnya, semakin tinggi posisi seseorang dalam struktur organisasi penjualan, seharusnya adalah semakin melek orang tersebut akan pemasaran dan brand management. Tahun depan adalah permulaan era dimana orangorang tersebut akan semakin banyak dan merata hingga ke level-level di bawahnya.Buat sales supervisor ke atas yang mungkin sudah memahami pemasaran dan brand management, mulai tahun depan, diyakini juga bahwa tuntutan terhadap meningkatnya level pemahaman salesman akan marketing akan semakin tinggi. Akan tetapi, bukan berarti juga bahwa nantinya organisasi sales akan terdiri dari orang-orang analitikal, penuh pertimbangan, dan akhirnya risk-averser. Bukankah marketer atau brand manager sendiri juga bukanlah sekumpulan orang serius, penuh pertimbangan dengan sejumlah angka bertebaran dalam setiap proses pengambilan keputusan, kaku, kurang inovatif, dan risk-averser? Lantas, untuk menghadapi tahun 2007 menjelang, bagaimanakah caranya menciptakan atau membentuk para salesman menjadi Intelligent Salesman? Banyak perusahaan (baca: HRD) yang menggunakan training sebagai solusi atas masalah pemasaran dan penjualan, padahal training tidaklah dapat menyelesaikan semua permasalahan. Banyak juga yang mengatakan bahwa saat zaman susah jualan, saat itulah waktu yang tepat buat para marketer/brand manager dan salesman masuk kandang untuk di-training. Tidak heran bila sepanjang tahun 2006, kita banyak melihat munculnya banyak training di bidang marketing, brand, dan sales, baik tipikal public training maupun in-house training. Khusus training di bidang sales, berbagai topik dengan objective hard-selling - secepat dan atau sebanyak mungkin dan untuk periode selama mungkin pun muncul sepanjang tahun 2006, baik hard-skill (SPIN Selling, Spiritual Selling, Negotiation Skill, hingga Hypnoselling) maupun soft-skill, termasuk di antaranya training Motivation. Berbagai trainer ternama pun muncul sesuai bidang spesialisasinya masing-masing. Selling approach para trainer ke setiap calon targetnya juga berbeda-beda. Ada yang hanya mengklaim
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 27/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

sanggup meningkatkan penjualan sekian persen (bahkan hingga di atas 100%), bahkan ada pula yang meminta share tertentu bila berhasil mencapai peningkatan penjualan sesuai kesepakatan. Luar biasa! Tahun 2007 menjelang, training masih tetap akan ramai. Ada kecenderungan yang terbanyak adalah training hard skill. Walau mungkin beberapa perusahaan tahun depan mulai terombang-ombang antara perlunya memberikan training berupa penyegaran semangat/motivasi atau tidak. Argumentasinya adalah sebagai berikut: memang benar ciri khas seorang salesman yang baik adalah memiliki visi dan misi yang jelas dalam hidupnya, self motivation/tekad semangat pantang menyerah, fokus, kerelaan berkorban, dan semangat belajar yang tinggi. Kesemua ciri di atas, khususnya motivasi/tekad semangat menyerah diyakini sudah seharusnya merupakan persyaratan minimal yang harus dimiliki oleh seorang salesman. Lepas dari semua itu, tahun depan, khusus untuk training soft skill, training bertopik Motivation masih menjadi pilihan favorit untuk menggenjot penjualan. Akan tetapi, terlihat mulai ada beberapa bertopik terkait dengan Integrated Sales and Marketing, baik yang hanya diselipkan di salah satu slide materi presentasi ataupun yang betul-betul berupa satu topik utuh. Kedua, tahun 2007 menjelang diyakini adalah tetap era Integrated Knowledge Management (IKM), khususnya Competitive Intelligence Management (CIM) dan Customer Database Management (CDM), serta Relationship Management (RM) khususnya Total Value Chain Relationship Management (VRM), dan Customer Relationship Management (CRM). Memang benar, era IKM dan RM diyakini sudah dimulai paling tidak 2 tahun yang lalu. Akan tetapi, fakta juga tidak bisa dipungkiri bahwa hingga saat ini di Indonesia, penggunaan IKM dan pemanfaatan RM masih belum maksimal, serta ditambah lagi kenyataan bahwa tidak sedikit dana yang dibutuhkan untuk mempraktekkan keempat hal tersebut. Tahun depan diyakini peranan IKM dan RM akan semakin meningkat. Salah satu penyebabnya diyakini adalah karena semakin banyaknya barang/jasa yang mulai memasuki fase komoditas. Fase komoditas adalah fase dimana semua barang/jasa yang tersedia di pasar mirip satu sama lainnya alias tidak ada diferensiasi yang sedemikian uniknya untuk jangka panjang. Diferensiasi yang ada bersifat jangka pendek dimana tak lama kemudian kompetitor akan menirunya bahkan membuatnya menjadi lebih baik. Artinya, fase komoditas ini juga akan menyebabkan persaingan semakin ketat. Pemain pasar yang menguasai knowledge mengenai situasi pasar, persaingan, dan tren ke depan, dapat membuat strategi marketing yang melampaui pemain lainnya. Dalam level eksekusi pemasaran sendiri (marketing mix), pemain pasar yang menguasai value chain-nya, termasuk channel dan supplier, agency (research dan advertising agency), dan sumber dana-nya, akan dapat menggerakkan pasar ke arah yang diinginkan. Di level sales, fase komoditas juga akan menyebabkan para salesman putus asa meyakinkan calon pembeli untuk membeli produknya. Tidak ada jalan lain bagi para salesman untuk tetap perform selain menguasai dan mengelola relationship-nya dengan pelanggan. Akhir kata, berbicara tentang redefining sales to marketing strategy adalah berbicara mengenai keharmonisan relationship antara keduanya. Berbicara mengenai cara membentuk keharmonisan mereka adalah berbicara mengenai job description bersama, sistem penilaian (reward dan punishment) bersama, database untuk mendukung mereka berdua baik dalam proses perencanaan, eksekusi, maupun evaluasi, serta penajaman knowledge dan skill untuk dapat menciptakan integrasi antara keduanya.

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 28/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

SALES MANIFESTO 1. The Era of Intelligent Salesman!!! Terdapat beberapa perbedaan antara Intelligent Salesman dengan salesman lainnya. Dari sisi hard skill, perbedaan antara intelligent salesman dengan salesman lainnya adalah dalam hal level pemahamannya terhadap strategi marketing/brand sesuai posisinya. Dari sisi soft skill, intelligent salesman ini memiliki kemampuan berpikir analisa holistik yang lebih dibandingkan salesman lainnya, yang biasanya justru lebih mengandalkan intuisi, motivasi dan semangat juangnya, network, dan karakternya yang luwes/supel. 2. Salesman is Brand Builder, not only Sales Builder!!! Jajaran tim penjual tidak lagi hanya bertugas melakukan eksekusi program pemasaran dalam rangka mencapai omset penjualan tertentu tetapi kedekatan mereka dengan trade channel dan pelanggan menjadikannya sebagai faktor penentu untuk mencari brand insight dan sebagai brand builder. 3. Hire Passionate Salesman!!! Meyakinkan pelanggan untuk membeli merek Anda tidak lagi cukup hanya dengan mengandalkan komunikasi yang meyakinkan. Yang juga diperlukan adalah para penjual yang memiliki gairah dan nafsu untuk menjadikan merek yang dijualnya sebagai bagian sehari-hari dari kehidupannya.

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 29/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

The Future of Service: People! People! People!


Prepared by: sumardy@marketing-clubbers.com handoko.gani@marketing-clubbers.com Sebelum berbicara panjang lebar mengenai service, ada baiknya menyamakan dulu persepsi tentang service company itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bersama, ada layanan jasa/service yang memang merupakan bisnis inti perusahaan seperti industri hiburan, pendidikan, rumah sakit, restoran, ataupun hotel, ada juga layanan jasa/service yang hanya merupakan tambahan kegiatan saja setelah penjualan atau lebih beken dengan after-sales service seperti misalnya industri otomotif atau penjualan produk secara umumnya, dan ada juga perusahaan yang sebetulnya memiliki bisnis inti layanan jasa tetapi juga menjual barang/physical goods, contohnya adalah bank dengan produk kartu kreditnya. Salah satu perbedaan antara ketiganya terletak pada banyaknya interaksi langsung antara perusahaan dengan konsumen yg melibatkan penggunaan barang/jasa yg dibeli konsumen, sistem, dan servicespace serta resources yang terlibat di dalamnya. Beberapa tahun belakangan, kita melihat makin banyak perusahaan yang sebetulnya backbone-nya bukanlah jasa menjalankan service yang hanyalah bersifat after-sales service ataupun bagian dari customer retention program perusahaan. Industri yang mulai bergerak ke fase komoditas memaksa mereka untuk menjadikan service sebagai nilai tambah kepada customer ataupun sebagai diferensiasi brand perusahaan. Memang beberapa industri telah menjadikan service sebagai diferensiasi maupun competitive advantage, antara lain industri otomotif, seperti jaringan otomotif Astra International, yang memang after-sales service nya merupakan diferensiasi bahkan competitive advantage yang sulit dilawan. Bajaj yang baru saja ikut meramaikan dunia sepeda motor diyakini akan kesulitan dalam menghadapi kekuatan jaringan sparepart dan bengkel dari pemain besar seperti Honda dan Yamaha. Pemain hypermarket asing yang bisa dikatakan baru menjadi tren 2 tahun terakhir ini juga perlahan-tapi pasti mulai menjadikan service sebagai nilai jual dan bukan hanya sekedar layanan ekstra saja, khususnya untuk layanan penjualan elektronik dan furniture-nya. Walau masih dari skala memuaskan, service tidak pelak lagi menjadi sebuah nilai diferensiasi perusahaan. Lamanya pengiriman barang yang telah dibeli dan keengganan pemasangan mulai membuat customer kecewa dan akhirnya menetapkan faktor pengiriman barang dan pemasangan sebagai sebuah standar berbelanja di hypermarket. Bukan hanya sekedar harga yang lebih murah ataupun diskon besar-besaran seperti yang dilakukan Citibank beberapa waktu lalu bersama Carrefour. Perlahan-lahan tapi pasti, service mulai menjadi standar layanan baru untuk hypermarket sesudah harga yang harus selalu lebih murah. Paradigma pertama yang perlu ditekankan ketika berbicara tentang service adalah berbicara tentang keseluruhan service Chain yang ada di dalamnya! Lebih detil lagi, berbicara mengenai service Chain artinya berbicara mengenai bagaimana memuaskan pelanggan (customer satisfaction management) dalam setiap titik pertemuan pelanggan dengan perusahaan dan karyawan yang terlibat di dalamnya (moment of truth) . service Chain dalam pelayanan rumah sakit adalah mengenai layanan UGD, layanan foto rontgen, layanan pusat terapi, layanan poliklinik, layanan apotik, kasir, bahkan hingga layanan kantin. Untuk lebih detil lagi, sebagai contoh, berbicara tentang layanan UGD adalah berbicara mengenai layanan customer service yang mengangkat telepon kita, layanan access jalan menuju rumah sakit tsb dan tepatnya lokasi UGD, layanan ambulans bila ada, hingga layanan pembayaran. Bukan hanya berbicara mengenai kualitas dokter dan suster jaga, atau tenaga bantuan lainnya. Berbicara tentang kualitas unit rawat inap, bukan hanya berbicara tentang kualitas dokter dan suster saja, tetapi juga berbicara mengenai kualitas makanan buat pasien Berbicara mengenai kenyamanan rumah sakit, jangan lupa berbicara mengenai layanan taxi yang tersedia di area tersebut, apalagi bilamana banyak pasien dan pengantarnya tidak memiliki mobil pribadi. Dimana moment of truth dalam sebuah service chain layanan UGD? Jawabannya adalah mulai dari pencarian informasi, pendaftaran, pengiriman ambulans, lapangan parkir, dalam ruang UGD itu sendiri, fasilitas ATM yang tersedia, loket telepon, loket pembayaran, bahkan hingga layanan untuk pengantar pasien.

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 30/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

Akan lebih sulit bila kita berbicara tentang pengertian service chain untuk perusahaan yang backbonse-nya bukanlah service. service chain perusahaan tersebut telah bercampur dengan physical goods chain yang ada. Pengiriman furniture dari hypermarket tidaklah bisa dipisahkan dari stock management hypermarket tersebut dan tentunya akan juga terkait dengan stock management dari principal pemilik furniture tersebut. Pemasangan elektronik seperti AC pun tidak bisa dilepaskan dari service chain hypermarket. Kualitas pemasangan AC yang buruk dimana AC seringkali harus bolak balik di-service bisa-bisa dianggap garagara kualitas produknya yang buruk atau bisa-bisa dianggap hypermarket tersebut menjual produk yang second-grade quality dibandingkan jaringan tradisional seperti di Glodok Jakarta. Hati-hati dengan integrated (service) chain Anda! Paradigma kedua yang perlu ditekankan ketika berbicara tentang service adalah berbicara tentang upstream dan downstream service. Bukan hanya frontliners! (downstream service) Seringkali marketer/para pelaku bisnis di bidang jasa/service maupun trainer/konsultan service hanya memperhatikan sisi downstream service (tactical frontliner plan) dan kurang memperhatikan sisi upstream service (strategic service plan). Padahal kesalahan pada proses pembuatan maupun eksekusi tactical frontliner plan bisa jadi dikarenakan oleh kesalahan pada proses pembuatan strategic service plan. Belum tentu kurang puasnya pelanggan akan penjelasan seorang customer service officer (CSO) pada sebuah bank tertentu tentang produk tabungan sekaligus investasi adalah dikarenakan kurangnya kemampuan persuasif CSO tersebut ataupun dikarenakan keengganan CSO tersebut dalam mempelajari penjelasan produk tersebut. Bisa jadi hal ini dikarenakan keputusan Segmentasi-Targeting-Positioningservices marketing Mix yang keliru, yang akhirnya merembet ke keputusan rekrutmen CSO yang tepat untuk melayani target customer dengan kriteria tertentu, merembet ke keputusan pembuatan layout dan design bank tersebut/servicescape, strategi branding produk tersebut, hingga kepada service script yang digunakan oleh setiap CSO. Banyak salah persepsi terjadi mengenai strategi pemasaran untuk service (upstream strategy). Yang jelas, jangan lupa, marketing mix untuk service tidaklah sama. Bukan 4P (Product, Price, Place, dan Promotion), tetapi 7P, yaitu Product, Price, Place, Promotion, People, Physical Evidences, dan Process. Ke-3P yang terakhir seringkali dilupakan oleh para marketer service. Di sisi lain, begitu berbicara mengenai service, banyak perusahaan yang mendewakan frontliners, khususnya customer service/complaint department adalah solusi dari segala masalah. Tidak heran banyak training terus diberikan kepada frontliners, bahkan hingga dilombakan; mulai dari handling customer complaints melalui telepon atau face-to-face, teamwork, grooming, dsbnya. Customer service/Complaint Department seringkali hanya dibentuk untuk berfungsi sebagai penampung complaint saja, bukan pemberi solusi. Padahal, jumlah complaint yang terus berkurang (Lesser Complaint) bahkan hingga Zero Complaint tidak bisa dijadikan indikator keberhasilan pelayanan yang akurat karena patut diingat bahwa pelanggan loyal bukan berarti adalah pelanggan puas. Mungkin saja mereka menyimpan ketidakpuasan karena memang tidak ada pilihan lain untuk produk sejenis. Sebetulnya beberapa tahun terakhir, banyak perusahaan mulai memperbaiki diri. Mereka tidak secara sembarang menentukan service SOP bagi para frontliners-nya. Mereka bahkan juga tidak sembarangan dalam membuat servicespace outlet-oulet mereka. Banyak perusahaan juga mulai menggunakan research company untuk membantu mereka mengetahui pelanggan mereka (profil, karakter, kebutuhan, keinginan, ekspektasi, dan perilaku), menentukan etos kerja/corporate culture yang tepat, menentukan moment of truth points, dan akhirnya membuat service blueprint, termasuk service SOP untuk setiap point. service SOP itulah yang akhirnya menjadi dasar dalam pelatihan frontliners. Untuk after-sales service sendiri, banyak perusahaan juga telah melakukan serangkaian riset untuk mengetahui jenis layanan tambahan apakah yang diperlukan dan bagaimana seharusnya melayani pelanggan dalam fase after-sales service tersebut. Akan tetapi, masalahnya adalah mereka melupakan satu hal penting saat pembuatan service blueprint dan SOP tersebut. Kita tidak bisa memuaskan semua orang yang datang ke outlet kita. Kita harus menentukan focused target customer. Singkatnya, kita harus mengkategori lagi target pelanggan kita menjadi beberapa tingkat berdasarkan kontribusinya terhadap perusahaan. Jumlah pelanggan yang memberikan kontribusi terbesar untuk perusahaan kita bisa jadi hanya 5% dari total pelanggan kita. Sisanya, bisa dikategorikan
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 31/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

sebagai pelanggan medium, kecil, seasonal, dan sebutan-sebutan lainnya terserah perusahaan. Setelah dikategorikan, marilah kita memahami lebih dalam profil, karakter, kebutuhan, keinginan, ekspektasi, dan perilaku masing-masing segmen, dan berusaha membuat services marketing mix yang tepat untuk mendekatkan mereka dengan perusahaan dalam jangka panjang. Jangan dianggap hal ini hanya berlaku pada perusahaan besar saja. Industri jaringan modern market seperti Indomaret ataupun Alfamart juga dapat memanfaatkan hal ini disesuaikan dengan skala bisnisnya. Percayalah! Walaupun memang terkesan akan muncul praktik 'ketidakadilan', ingatlah bahwa kita tidak mungkin memuaskan semua pelanggan kita. Tidak ada jalan lain selain mesti 'tega' dan rela kehilangan segelintir pelanggan seasonal, daripada pelanggan top. Satu hal yang patut diingat bahwa pada beberapa industri, tidak ada yang namanya absolute customer loyalty. Anda tidak hanya memiliki satu buah kartu kredit atau rekening bank saja, bukan? Anda juga mungkin tidak hanya memiliki satu buah merek mobil saja, bukan? Bisa jadi rekening Anda di BCA hanya di batas bawah limit persyaratan rekening, padahal rekening Anda di Mandiri membuat Anda menjadi nasabah prioritas. Anda bisa saja tidak memiliki satu pun jenis kartu kredit Citibank seumur hidup anda (karena selalu ditolak dan ditolak), padahal limit kartu kredit (silver) HSBC Anda sudah hampir Rp. 15 juta dan selama bertahun-tahun tidak ada masalah keterlambatan pembayaran. Oleh karena itu, cobalah Anda menganalisa lebih dalam lagi definisi customer Anda. Janganlah Anda melihat customer Anda berdasarkan kacamata sendiri, misalnya jumlah saldonya di bank Anda. Cobalah lihat dari keseluruhan kemampuan keuangannya. Anda bisa terkejut menemukan segmentasi yang baru! Bagi perusahaan yang backbone-nya bukan service atau katakanlah perusahaan physical goods/barang, kita sendiri melihat kenyataan bahwa banyak produk juga mulai bergeser ke arah fase komoditas. Memiliki suatu competitive advantage dalam jangka panjang juga merupakan hal yang sulit; walaupun mereka terus melakukan inovasi, tak lama kompetitor mengikuti mereka, bahkan membuat produk yang lebih baik. After-sales service akhirnya menjadi pilihan mumpuni, khususnya ditargetkan kepada top customers perusahaan. Sayangnya pada beberapa perusahaan, praktik after-sales service ini masih bersifat personal service-based selling, dimana inisiatif berasal dari para salesman di lapangan, di-maintain oleh mereka, dan merupakan rahasia mereka. Sedikit sekali perusahaan yang memahami karakter unik setiap top pelanggan dari para salesman-nya. Hanya salesman bersangkutan yang tahu dan bisa meng-handle pelanggannya. Akibat dari ketergantungan ini adalah bila sang salesman pindah ke 'tetangga', seluruh order akan ikut berpindah, dan perusahaan butuh waktu cukup lama untuk bisa merebutnya kembali. Celakanya lagi, dalam proses mencoba lebih memahami pelanggan-pelanggan tersebut, kedua jenis perusahaan cenderung menyerahkan sepenuhnya kepada pihak ketiga, biasanya perusahaan riset. Berbicara mengenai service, sebagaimana nanti akan dijelaskan di point ke-4, adalah berbicara mengenai manusia. Patut diingat bahwa ada hal-hal tertentu yang sulit sekali dijelaskan oleh kata-kata, misalnya perasaan manusia, alasan/latar belakang mood-nya, bahkan hingga perilaku manusia pada saat menggunakan produk kita. Seringkali, semua informasi mengenai hal ini hanya bisa di'jelaskan' lewat pengamatan dan pengamatan. Inilah hal yang sulit dikerjakan dalam suatu riset, walau bukan berarti mustahil. Focus Group Discussions ataupun in-depth interview seringkali gagal dalam mendapatkan kesemua informasi tersebut. Tahukah Anda bahwa sebetulnya informasi tersebut telah diketahui, berceceran, dan tidak ada yang peduli, dan tidak ada yang memanfaatkannya, padahal begitu mudah? Informasi tersebut ada pada para salesman di atas, para frontliners di atas, para telemarketers, dan para frontliners lainnya. Hanya saja Anda lupa untuk mencantumkan kotak suara hati karyawan ataupun Anda tidak tahu mengenai cara men'download' informasi tersebut ke dalam proses strategi perusahaan. Paradigma ketiga yang perlu ditekankan ketika berbicara tentang service adalah berbicara tentang spirit service itu sendiri. Tanpa spirit service, sia-sia kita bicara panjang lebar mengenai memuaskan pelanggan. Spirit service sendiri seringkali dipersepsikan sama dengan corporate culture, padahal sebetulnya tidaklah sama. Corporate culture adalah salah satu elemen pembentuk spirit service karyawan. Adanya spirit service inilah, semua karyawan di setiap lini akan memiliki sense of ownership yang kuat terhadap perusahaan. Sense of ownership yang kuat akan membuat karyawan menjelma menjadi internal brand advocacy yang mumpuni. Mungkin pembicaraan mengenai spirit service atau corporate culture adalah hal yg membosankan karena terlalu sering dibicarakan. Memang benar bahwa service seharusnya sudah menjadi bagian dari spirit baik upstream maupun downstream service organization. Akan tetapi, untuk membentuk internal organization
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 32/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

yang memiliki spirit service tidaklah mudah. Banyak perusahaan keliru bila berpikir culture perusahaan akan bisa dibentuk melalui serangkaian training refreshment terus menerus setiap tahun. Culture perusahaan merupakan perpaduan antara nilai-nilai perusahaan dengan nilai-nilai kelompok/orang-orang yang bekerja di perusahaan itu, dan lebih detil lagi juga merupakan perpaduan dengan nilai departemen tertentu hingga kepada sekelompok jaringan relationship terkecil dalam departemen tersebut. Sebagai contoh, nilai-nilai budaya sekelompok jaringan relationship terkecil antara business development manager muda dengan stafnya yang tidak berbeda jauh usianya mungkin terpengaruh oleh tipikal budaya dominant yang mana selalu berkeinginan untuk terlibat dalam segala sesuatu dan memperbaiki segala sesuatu yang kurang benar. Sementara tanpa sadar, divisi sales yang terdiri dari sekumpulan salesman generasi umur tertentu merupakan divisi yang lebih steady atau lebih resistant terhadap perubahan. Bisa terbayang begitu susahnya membentuk culture yang diinginkan perusahaan. Terlebih lagi membentuk budaya service di dalam perusahaan (internal service). Akan tetapi, tidak adanya corporate culture yang tertanam kuat akan berakibat fatal pada perusahaan. Mulai dari upstream level, mereka yang tidak memiliki spirit service perusahaan mungkin akan membuat strategi service yang tidak memperhitungkan sisi human dari pihak eksternal (customer) dan internal (provider layanan). Yang ada serangkaian Standard Operating Procedure (SOP) dimana kedua pihak di atas seakan diberlakukan seperti robot yang hanya menunggu perintah SOP dan menjalankannya, ataupun menerima hasil dari sebuah SOP. Padahal dalihnya, SOP tersebut sudah dibuat berdasarkan Assurance, Empathy, Reliability, Responsiveness, dan Tangibles (Zeithaml, Valarie A., service Quality, 2004, Marketing Science Institute, USA). Di downstream level, jelas bila sulit lagi dikontrol karena bisa jadi strategi dari upstream level (service blueprint) saja sudah keliru. Khusus mengenai spirit service ataupun corporate culture, hanya satu yang perlu diingat selalu bagi top management, baik perusahaan yang backbone-nya adalah service maupun tidak alias sekedar after-sales service. Karyawan di level apapun yang suka memprotes keadaan perusahaan, sistem atau prosedur kerja yang ada, kebijakan perusahaan, ataupun gaya kepemimpinan atasan, janganlah langsung dicap sebagai musuh perusahaan. Salah besar! Memang perlu ada juga karyawan yang sekedar protes atau mengeluh saja dan akhirnya menjadi menyusahkan perusahaan. Akan tetapi, jangan salah! Ada karyawan yang justru mencintai perusahaan dan protes/keluhan mereka justru bermaksud untuk memperbaiki perusahaan ke arah yang lebih baik. Justru jangan-jangan selama ini top management hanya berisikan sekelompok politikus perusahaan yang saling melindungi kesalahan masing-masing, menutupi kondisi perusahaan yang sesungguhnya, ABS (asal bapak senang) dan asalkan karir dan 'dapur'nya tetap ngebul. Bila kotak keluhan pelanggan selalu tersedia 24 jam, mengapa kotak suara hati karyawan justru tidak pernah ada? Kalaupun ada, mereka yang protes/mengeluh justru dikucilkan dan akhirnya dikeluarkan, baik secara halus maupun pemecatan langsung. Salah satu perbedaan utama antara pemasaran barang/physical goods dengan service yang patut diingat adalah bahwa pada efek dari ketiadaan spirit service terhadap brand dan customer. Tidak seperti pada physical goods, dimana pengaruh negatif dari karyawan yang tidak percaya kepada brand perusahaan dan tidak menjadikan brand perusahaan menjadi brand preference mereka, mungkin tidak akan besar pengaruh dari badmouthing-nya terhadap brand dan customer. Dalam industri layanan jasa, pengaruh negatif karyawan yang seperti itu akan sangat besar. Mulai dari attitude yang tidak bisa dikontrol (ogah-ogahan bahkan galak kepada customer) hingga kepada curhat alias badmouthing kepada customer. Bisa dibayangkan bila Anda sebagai customer mendapatkan curhat negatif dari karyawan langsung yang menjual produk selama bertahun-tahun (misalnya salesman) ataupun yang setia melayani Anda selama ini (frontliners). Apakah Anda masih mempercayai brand dan perusahaan tersebut? Paradigma terakhir yang perlu ditekankan ketika berbicara tentang service adalah berbicara mengenai personal (people) experiential management. Artinya, berbicara mengenai manusia dengan latar belakang sosial budaya, ekonomi, dan pendidikan yang berbeda. Artinya, berbicara mengenai manusia pria dan wanita dengan pola pikirnya masing-masing yang terbentuk dari latar belakang lingkungan tempatnya living. Artinya, berbicara mengenai manusia pria dan wanita dengan mood yang sering berubah serta karakter masing-masing yang unik. Menyadari bahwa 'customer juga manusia' akan membuka mata kita mengenai kemungkinan pergeseran kebutuhan, keinginan, dan ekspektasi customer kita, baik mendadak maupun secara gradual. Customer yang sama yang beberapa bulan lalu menyukai standar layanan perusahaan mulai rewel dan
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 33/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

meminta peningkatan standar layanan perusahaan. Sampai dengan akhir tahun 2005, kebutuhan dan ekspektasi pelanggan akan standar layanan sebuah SPBU hanya berupa sebuah SPBU yang dilayani oleh pria dengan seragam sedikit kumal, gaya bahasa yang cuek dan kadang galak, pembayaran dengan angka pembulatan ke atas ataupun volume bensin yang tidak dibohongi, dan masih banyak lagi image negatif lainnya. Sekarang, lihat SPBU pemerintah dan SPBU swasta yang bermunculan! Gara-gara beberapa SPBU pioner menerapkan sistem bukti bon, yang lain mengikuti. Bukti bon mulai bergerak menjadi standar layanan minimum. Gara-gara beberapa SPBU mulai menerapkan standar kebersihan, design modern, petugas yang ramah bahkan wanita, ministore dan WC bersih, customer mulai merengek minta kesemua hal itu menjadi standar. Jangan-jangan tahun 2007, SPBU akan memiliki standar layanan seperti demikian dan SPBU lainnya yang belum mengikuti standar layanan ini akan mulai ditinggalkan pelanggannya. Tak lama kemudian, bila semua SPBU telah melakukan standar layanan yang sama, standar tersebut telah menjadi komoditas, dan perlu adanya terobosan inovasi standar layanan yang baru. Upstream strategy perlu memperhitungkan inovasi sebagai suatu elemen penting dalam 7P. Customer yang sama yang saat kedatangan sebelumnya puas dengan servicespace dan pelayanan bisa saja kesal, memarahi CSO, atau bahkan menulis surat protes di koran/majalah. Padahal servicespace tetap sama dan CSO tetap melakukan prosedur yang sama dan memang sesuai dengan peraturan perusahaan. Hal yang sama berlaku pada internal sang provider layanan, misalnya saja CSO kita. Pagi hari ia masuk kerja dengan tersenyum dan beberapa menit kemudian, ia menerima telepon customer dengan galak. Begitu juga dengan para pembuat strategi pemasaran untuk service. Tahun 2007 menjelang, paradigma keempat atau People Experiential Management inilah yang akan mendrive ketiga hal lainnya dan akan semakin berkembang pesat. People, People, dan People Management adalah kunci sukses perusahaan tahun depan. Sengaja ditekankan 3 kali, karena memang berbeda. People yang pertama bicara tentang people inside company alias karyawan, khususnya karyawan frontliners/downstream level. People yang kedua bicara tentang people inside company alias karyawan, khususnya karyawan upstream level. People yang terakhir bicara tentang people yang merupakan pelanggan kita, khususnya top customer kita. Brand yang berhasil di masa depan adalah brand yang relevant dan bisa merge/masuk dalam kehidupan penggunanya. Berbicara mengenai people dalam konsep PEM adalah berbicara mengenai bagaimana caranya membuat pelanggan bisa merasakan dan mengalami keterikatan emosional dengan brand melalui keseluruhan lima panca inderanya. Untuk dapat membuat brand yang sedemikian relevant dan merge dengan kehidupan pelanggan adalah berbicara mengenai proses pemahaman target customer, proses formulasi program services marketing mix dan eksekusi dari program tersebut hingga di level frontliners terbawah, dan proses evaluasi dari kondisi dan situasi yang terjadi di market dan respon market akan promo tersebut, baik respon dari eksternal maupun internal (pelaksana promo). Dua tahun terakhir banyak perusahaan sudah memahami konsep Experiential Management, tapi justru mungkin baru beberapa perusahaan yang memantau terus isu ini dan mendokumentasikannya tersendiri. Selebihnya hanya mengandalkan perusahaan riset ataupun advertising agency, yang bahkan seringkali juga diganti-ganti, dan itupun tidak didokumentasikan. Jangan-jangan tahun depan, mulai ada memiliki divisi khusus yang bertanggung jawab terhadap Experiential Management. Dua tahun terakhir juga banyak perusahaan yang memahami dengan konsep Customer Database Management (CDM) dan Customer Relationship Management (CRM), akan tetapi hingga sekarang masih terus menghitung budget pembuatan sistem tersebut. Beberapa perusahaan mengakui telah memiliki CDM dan CRM, akan tetapi begitu diaudit, informasi yang tersedia hanya informasi mengenai demografi pelanggan saja. Memang tidak mudah membangun sistem CDM dan CRM. Selain dana yang terbatas, competency dari IT/database analyst perusahaan juga mungkin belum cukup untuk membangun sistem yang terintegrasi dengan baik. Apalagi, bila perusahaan tersebut juga memiliki jaringan anak perusahaan dengan bidang usaha yang berbeda-beda. Perusahaan yang memiliki divisi banyak saja sulit menggabungkan sistem hingga terbentuk integrated system untuk CDM dan CRM-nya. Tahun depan, pasti CDM dan CRM masih merupakan topik hangat.

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 34/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

Tambahan lagi di tahun 2007 menjelang, perusahaan yang bisa memanfaatkan trend tumbuhnya komunitas akan menuai sukses. Bila benar Community Marketing akan menjadi tren tahun depan, bukankah artinya marketer harus siap dengan CDM dan CRM nya? Apakah Anda siap? Jangan-jangan informasi berharga mengenai customer dan competitor justru masih tercecer di tangan para salesman Anda atau di tangan frontliner Anda. Experiential customer perlu didokumentasikan lho! Apakah Anda memiliki divisi riset internal yang bukan hanya mengkoordinasi kegiatan riset baik yang dilakukan sendiri maupun bersama perusahaan riset third party, tetapi juga mendokumentasikannya dan akhirnya membuat sistem Competitive Intelligence dan menerapkan praktek riset sebagai budaya perusahaan - everyone is observer? Setahun terakhir, seperti yang saya katakan di atas, physical goods chain dan service chain akan melebur menjadi satu bagian tidak terpisahkan integrated (service) chain. Tahun depan, dengan semakin banyaknya perusahaan yang memasuki fase komoditas, integrated service chain akan tetap menjadi tren.Perusahaan yang masih saja acuh dan memindahkan tanggung jawab after-sales service nya kepada pihak ketiga akan menanam benih ketidakpuasan dan bisa menjelma menjadi bom waktu - tahu-tahu customer Anda sudah switching ke perusahaan tetangga. Dua tahun terakhir, kita juga melihat pertumbuhan lembaga penyedia training. Wait! Jangan dikira semua pengajarnya adalah akademisi yang tidak pernah terjun di lapangan. Banyak juga trainer lepas yang justru adalah praktisi handal dengan jabatan manager di perusahaan ternama. Dengan sejumlah dalih mulai dari canvassing hingga retail survey selalu menjadi alasan mereka, padahal mereka sedang memberikan training di perusahaan lain. Training untuk service pun sudah mulai bertebaran di mana-mana, khususnya downstream service, mulai dari grooming yang tepat, people reading' skill, telephone courtesy, hingga kepada handling customer complaint. Lucunya, ada tren juga dimana service frontliners di-training mengenai selling dalam kapasitas mereka, misalnya teleselling ataupun basic selling skill seperti cara questioning hingga closing. Masih sangat jarang training provider yang memberikan training services marketing untuk upstream service. Mungkin dikarenakan trainer dengan spesikasi khusus seperti ini sulit sekali didapat. Akhirnya, mereka yang mengajarkan service adalah trainer dari industri FMCG ataupun Food & Beverage, yang belum tentu memiliki spirit service. Mudah-mudahan, tahun depan, training jenis ini mulai menjamur. Seperti yang dibahas di atas, perbaikan di level downstream belum tentu merupakan solusi, karena bisa jadi kesalahannya justru di level upstream. Inilah tantangan tahun depan! Bagaimana membuat brand Anda relevant dan merge dengan kehidupan pelanggan?

SERVICE MANIFESTO 1. People!!!


People yang pertama bicara tentang people inside company alias karyawan, khususnya karyawan frontliners/downstream level. Pelayanan yang baik akan dimulai dari kemampuan melayani pihak internal dengan baik.

2. People!!!
People yang kedua bicara tentang people inside company alias karyawan, khususnya karyawan upstream level. Pelayanan yang baik tidak lagi cukup berbicara tentang kemampuan

frontliners saja tetapi juga penciptaan service plan yang bagus sebagai bagian dari marketing plan tahunan, 3. People!!!
People yang terakhir bicara tentang people yang merupakan pelanggan kita, khususnya top customer kita. Pelayanan yang sempurna biasanya justru ditentukan oleh kemampuan perusahaan untuk fokus pada sebagian pelanggan yang memberikan kontribusi besar. Bukankah pelayanan berkaitan dengan unsur manusia yang mengakibatkan pelayanan tersebut tidak bisa memuaskan semua pihak?

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 35/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

The Future of Retail: Partner of Enemy?


Prepared by: sumardy@marketing-clubbers.com ricky.afrianto@marketing-clubbers.com

Welcome to the era of Retailization!!! Ya, inilah era emasnya para peritel. Perkembangan pasar ritel khususnya pasar modern memang memberikan manfaat besar bagi manufaktur. Dengan segala modernitas yang dimiliki, manufaktur lebih mudah menjangkau dan mempelajati pelanggan. Di sisi lain, kehadiran tersebut juga dapat menjadi bumerang bagi para manufaktur karena menurunkan daya tawar mereka. Sebelum kita menganalisa lebih lanjut sejauh mana peranan para peritel dan apakah mereka akan menjadi teman atau musuh. Mari kita simak beberapa data menarik. Gambar di bawah menunjukkan bagaimana perkembangan hipermarket dan mini market yang semakin signifikan dalam lima tahun mendatang.

2005 juga ditandai dengan semakin meningkatnya kontribusi penjualan yang dihasilkan dari pasar
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 36/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

modern khususnya peningkatakan peranan minimarket. Kondisi ini tentunya memberikan implikasi bagi para manufaktur khususnya di Indonesia yang selama ini tergantung pada pasar tradisional.

Source : Asia Pacific Retail and Shopper Trend (2006) AC Nielsen

Lalu, bagaimana potret struktur ritel Indonesia di masa depan? PlanetRetail memberikan gambaran bahwa di tahun 2010, minimarket akan menguasai pasar ritel di Indonesia. Hal ini dapat dimengerti karena tingkat investasi yang dibutuhkan lebih reasonable dan juga faktor accessibility dan kedekatan dengan pelanggan.

Beberapa alasan perlunya manufaktur mengamati perkembangan pasar ritel dengan hati-hati. Pertama, squeezed by retailers. Merajalelanya pasar modern mengakibatkan peningkatan bargaining power pengecer yang akhirnya akan membuat merek pengecer semakin dikenal dan
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 37/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

dipercaya oleh pelanggan. Tingkat accessibility, familiarity dan trust dari pelanggan memberikan peluang bagi pengecer untuk menawarkan berbagai produk kompetitif. Selain itu, pasar modern semakin diminati karena dipicu oleh munculnya Super Save Shoppers (SSS) yaitu segmen pelanggan yang semakin sadar harga dan kualitas. 10 tahun yang lalu, para pemasar bisa menggertak pelanggan dengan pilihan kualitas ATAU harga. Sekarang ini, pelanggan meminta kedua-duanya, produk berkualitas DAN harga semurah mungkin. Kedua, squeezed by private label. Beberapa keunggulan Private Label Brand (PLB) seperti dimuat dalam Indonesia Brand Journal Vol 2 (2006) antara lain memiliki keunggulan biaya 32% lebih murah dari NB. Hal ini dimungkinkan karena PLB tidak membutuhkan biaya riset, biaya promosi, biaya tenaga penjual dan sebagainya. Keunggulan dari segi biaya ini tentu menjadi insentif berharga bagi para pelanggan untuk menempatkan PLB sebagai salah merek pilihan.

Bahkan Carrefour menciptakan organisasi baru yang diberi nama Direction de la Marque yang fungsi utamanya adalah mengelola dan mengembangkan merek yang dimiliki Carrefour. Pengembangan organisasi baru ini sebagai bagian dari restrukturisasi perusahaan untuk menghasilan unit bisnis yang memiliki otonomi tersendiri. Unit bisnis Carrefour yaitu Hypermatket, Supermarkets, Cash & Carry Discount akan menjadi unit bisnis otonomi yang akan mengembangkan strateginya sendiri. Kondisi ini tentu memberikan peluang semakin berkembangnya private label brand (PLB)

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 38/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

Source : Asia Pacific Retail and Shopper Trend (2006) AC Nielsen

Jangan lupa, meskipun para pelanggan membeli merek nasional, sebenarnya para peritel yang justru lebih memahami pelanggan. Para peritel mengetahui jumlah dan pola pembelajaan pelanggan. Belum lagi dengan mulainya para peritel mengumpulkan database pelanggan. Hal ini membuat para peritel memiliki kemampuan untuk menganalisa kebutuhan, kesukaan dan kebiasaan para pelanggan. Shoppers database ini dapat memberikan manfaat tambahan bagi peritel untuk menjalankan cross-selling maupun up-selling khususnya menjual produk yang menggunakan merek peritel. Pengecer juga menguasai shelf space dan mereka-lah yang menentukan merek apa yang harus diletakkan di sebelah mana. Selain itu, pasar modern di Indonesia telah berubah dari sebuah tempat belanja menjadi sebuah tempat rekreasi. Hal ini mengakibatkan dalam setiap proses pembelanjaan pasti akan melibatkan beberapa orang dari satu keluarga. Pemandangan yang paling sering kita temui di pasar modern adalah seorang Ibu yang mengajak beberapa anaknya yang dijaga oleh beberapa baby sitter. Semakin banyak shopping partners yang ikut, semakin mudah juga terciptanya impulse buying. Proses impulse buying tercipta karena adanya in-store (sales) promotion yang dilakukan oleh si peritel yang memungkinkannya mendahulukan PLB. Bagaimana Menang Bersama Peritel? Apa yang harus dilakukan dengan berkembangnya kekuatan peritel? Pertama, REthink! Kedua, REimagine! Ketiga, Restructure!

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 39/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

Arena Competitive Context The Shopper Product Impacting Retail Impacting Creating Communication Organizational Enhancement
Sumber : Thomassen et al. Retailization : Brand Survival in The Age of Retailer Power

REthink!

REimagine!

REstructure!

Step 1 : The Arena : Dealing with where we create sale(s) Sebelum mulai bermain, kita harus memahami dulu area dimana kita akan bermain arena kita. Setiap arena memiliki serangkaian peluang sekaligus tantangan yang unik yang akan mempengaruhi strategi dan tindakan kita. Biasanya, arena didominasi oleh retailer skala besar dan ini menjadi tantangan tersendiri bagi sebagian besar brand. Oleh karena itu brand harus dapat menguasai arena permainan. Melawan retailer sama saja dengan bunuh diri, sebaliknya brand harus fokus untuk menciptakan distribusi proprietary (ekslusif dan hanya menjual brand yang bersangkutan), melakukan inovasi terhadap arena yang ada atau melakukan coopetition (cooperative competition) Step 2 : Competitive Context : Who are we stealing sale(s) from? Setiap arena memiliki kompetitor tersendiri. Karena itu kita harus fokus pada brand lain yang bersaing di shelf yang sama. Karena banyaknya pilihan brand yang beredar, mau tidak mau brand harus bisa mencuri sales dari brand lain. Konteks kompetitif ini memberikan peluang bagi brand kita. Kita dapat membangun bisnis dengan belajar dari dengan belajar dari kesalahan brand lain. Kita harus bisa melakukan inovasi yang lebih unggul dari kompetitor untuk memperoleh relevansi dan performa optimal. Dan brand kita harus menjadi alternatif baru yang berbeda dari yang pernah ada. Step 3 : The Shopper : Who is driving sale(s)? Belanja adalah aktivitas santai paling top di seluruh dunia dan jika anda bisa klik dengan para shoppers, anda bisa meraih kembali margin anda. Dengan memahami shopper berarti anda memahami konsumen di momen yang paling kritis : pada saat mereka membeli brand. Bisnis anda harus mengutamakan orang (people-first) dan anda harus berusaha untuk menciptakan wants, bukan sekedar needs. Dan anda harus memahami bahwa tindakan kustomer anda
Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 40/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

sangat dipengaruhi oleh situasi, jadi kustomer bukan lagi sekumpulan individual tetapi lebih merupakan situiduals. Step 4 : Product Concepting : What is creating our sale(s)? Dibalik setiap brand yang hebat, terdapat produk yang lebih hebat. Dengan menciptakan produk inovatif, kita dapat menciptakan demand. Kita harus berupaya untuk menciptakan revolusi, bukan sekadar evolusi terhadap produk. Step 5 : Retail impacting : Dealing with how we create our sale(s) Produk yang baik sangat penting, tapi pengalaman saat berbelanja produk juga sama pentingnya. Para shoppers biasanya hanya loyal pada shopping experience yang sangat menyenangkan mereka. Karena itu anda harus selalu menciptakan ide-ide baru untuk meningkatkan shopping experience dari customer. Ada dua moment of truth dalam berbelanja, yang pertama: pada saat konsumen membeli (buy) produk, yang kedua: pada saat mereka mencoba (try) produk tersebut. Kita harus bisa menciptakan pengalaman yang menggabungkan kedua momen ini. Hal ini juga bertujuan untuk menciptakan clarity dan involvement konsumen. Step 6 : Creating Communication : How do we make communication work for our sale(s)? Biasanya komunikasi dilakukan berdasarkan brand proposition, tapi sekarang komunikasi harus berdasarkan pada dua momen of truth yang sudah disebutkan sebelumnya. Komunikasi harus bisa menciptakan hype dan excitement untuk brand kita. Tidak ada satu formula sukses untuk semua situasi, tetapi ada beberapa tehnik menarik yang bisa ditelaah lebih lanjut untuk menciptakan excitement bagi kosumen yaitu Tryvertising (dengan trial), Burzz (dengan retail buzz), Sub-culturization (dengan sub kultur yang sudah ada) dan Communitizing (dengan membangun komunitas) Step 7 : Organizational enhancement : Empowering your organization to think sale(s) Pastikan bahwa perusahaan anda dapat melaksanakan rencana retailisasi. Retailisasi harus menjadi prioritas dan menjadi inti dalam seluruh pemikiran bisnis. Perusahaan anda harus komit untuk berubah dan komitmen harus dimulai dari level yang paling atas. Get retailizing, get curious, get creative, get producting. Libatkan semua orang dan mulailah bergerak.

So.. lets retailize!!!

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 41/41

This article is under copy right of marketing-club and therefore, permission is needed for any use beyond the original purpose.

RETAIL MANIFESTO 4. Get Retailizing!!! Retail bukan lagi hanya sebagai kepanjangan tangan manufaktur dalam menyalurkan produknya ke pelanggan tetapi merupakan strategic partner untuk mencapai win-win solution. 5. Branding From The Shelf!!! From branding to the shelf to branding from the shelf. Shelf-space bukan lagi sebagai tempat terakhir untuk melakukan branding tetapi merupakan ide awal untuk memahami shopper dalam program branding. 6. From Consumer Insight to Shopper Insight!!! Consumer insight saja tidak cukup karena keputusan pembelian terjadi di ritel, Pahami perilaku pembeli Anda dengan shopper insight yang tepat.

Marketing-Club is #1 marketing community with more than 6500 members. Join us by sending an email to marketing-clubsubscribe@yahoogroups.com. For further information, go to http://groups.yahoo.com/group/marketing-club

Page 42/41

Anda mungkin juga menyukai