https://yogapermanawijaya.wordpress.com
Pada dasarnya manusia dalam kehidupannya tidak bisa hidup dengan seenaknya sendiri, karena
dalam kehidupan masyarakat terdapat berbagai aturan, dimana aturan-aturan tersebut sesuai
dengan norma-norma dan nilai-nilai yang sesuai dengan kaidah yang berlaku di masyarakat.
Sehingga manusia atau individu yang memiliki moral baik, dapat bertindak dan berperilaku sesuai
dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Pentingnya mengetahui dan menerapkan secara nyata norma, nilai, dan kaidah-kaidah moral
dalam bersosialisasi di kehidupan masyarakat mempunyai alasan pokok, yaitu salah satunya untuk
kepentingan dirinya sendiri sebagai individu. Apabila individu tidak dapat menyesuaikan diri
dengan tingkah lakunya yang tidak sesuai dengan norma, nilai dan kaidah sosial yang terdapat
dalam masyarakat, maka dimanapun ia hidup, ia tidak dapat diterima oleh masyarakat.
Kita berharap bahwa individu yang mempunyai moral baik kemungkinan dapat mempengaruhi
karakter moral masyarakat secara keseluruhan. Hanya manusialah yang dapat menghayati norma-
norma, serta nilai-nilai dalam kehidupannya sehingga manusia dapat menetapkan tingkah laku
yang baik dan bersifat susila.
A. Nilai
Pengertian Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai ada pada suatu benda untuk
memuaskan manusia. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada
suatu obyek. Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik
kenyataan-kenyataan lainnya. Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk
menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil
keputusan.
Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan
perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping
sistem sosial dan karya. Alport mengidentifikasikan 6 nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat, yaitu: nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan nilai religi.
Hierarki nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu sampai dengan
masyarakat terhadap suatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi
adalah nilai material.
Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan luhurnya.
Menurutnya nilai-nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu:
Nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indera yang memunculkan rasa
senang, menderita atau tidak enak;
Nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni: jasmani, kesehatan serta
kesejahteraan umum;
Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan
pengetahuan murni;
Nilai kerohanian yaitu nilai yang berkaitan dengan tingkatan modalitas dari yang suci.
Ciri-ciri nilai antara lain sebagai berikut:
Nilai sosial merupakan konstruksi abstrak dalam pikiran orang yang tercipta melalui interaksi
sosial;
Nilai sosial bukan bawaan lahir, melainkan dipelajari melalui proses sosialisasi, dijadikan
milik diri melalui internalisasi dan akan mempengaruhi tindakan-tindakan penganutnya dalam
kehidupan sehari-hari baik disadari atau tanpa disadari lagi (enkulturasi);
Nilai sosial memberikan kepuasan kepada penganutnya;
Nilai sosial bersifat relative;
Nilai sosial berkaitan satu dengan yang lain membentuk sistem nilai;
Sistem nilai bervariasi antara satu kebudayaan dengan yang lain;
Setiap nilai memiliki efek yang berbeda terhadap perorangan atau kelompok;
Nilai sosial melibatkan unsur emosi dan kejiwaan; dan
Nilai sosial mempengaruhi perkembangan pribadi.
Nilai Sosial dapat berfungsi:
Sebagai faktor pendorong, hal ini berkaitan dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan cita-
cita atau harapan;
Sebagai petunjuk arah mengenai cara berfikir dan bertindak, panduan menentukan pilihan;
Sarana untuk menimbang penghargaan sosial, pengumpulan orang dalam suatu unit sosial;
Sebagai benteng perlindungan atau menjaga stabilitas budaya.
Antara masyarakat yang satu dengan yang lain dimungkinkan memiliki nilai yang sama atau pun
berbeda. Cobalah ingat pepatah lama dalam Bahasa Indonesia: “Lain ladang lain belalang, lain
lubuk lain ikannya”, atau pepatah dalam bahasa Jawa: “desa mawa cara, negara mawa tata”.
Pepatah-pepatah ini menunjukan kepada kita tentang adanya perbedaan nilai di antara masyarakat
atau kelompok yang satu dengan yang lainnya. Mengetahui sistem nilai yang dianut oleh
sekelompok orang atau suatu masyarakat tidaklah mudah, karena nilai merupakan konsep asbtrak
yang hidup di alam pikiran para warga masyarakat atau kelompok. Namun lima kerangka nilai
dari Cluckhohn yang di Indonesia banyak dipublikasikan oleh antropolog Koentjaraningrat
berikut ini dapat dijadikan acuan untuk mengenali nilai macam apa yang dianut oleh suatu
kelompok atau masyarakat. Lima kerangka nilai yang dimaksud adalah:
Tanggapan mengenai hakekat hidup, variasinya: ada individu, kelompok atau masyarakat yang
memiliki pandangan bahwa “hidup itu baik” atau “hidup itu buruk”;
Tanggapan mengenai hakikat karya, variasinya: ada orang yang menganggap karya itu sebagai
status, tetapi ada juga yang menganggap karya itu sebagai fungsi;
Tanggapan mengenai hakikat waktu, variasinya: ada kelompok yang berorientasi ke masa lalu,
sekarang atau masa depan;
Tanggapan mengenai hakikat alam, Variasinya: masyarakat Industri memiliki pandangan
bahwa manusia itu berada diatas alam, sedangkan masyarakat agraris memiliki pandangan
bahwa manusia merupakan bagian dari alam. Dengan pandangannya terhadap alam tersebut,
masyarakat industri memiliki pandangan bahwa manusia harus menguasai alam untuk
kepentingan hidupnya, sedangkan masyarakat agraris berupaya untuk selalu menyerasikan
kehidupannya dengan alam;
Tanggapan mengenai hakikat manusia, variasi: masyarakat tradisional atau feodal memandang
orang lain secara vertikal, sehingga dalam masyarakat tradisional terdapat perbedaan harga
diri (prestige) yang tajam antara para pemimpin (bangsawan) dengan rakyat jelata. Sedangkan
masyarakat industrial memandang manusia yang satu dengan yang lain secara horizontal
(sejajar).
Nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia
berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang
bersumber pada berbagai sistem nilai.
B. Moral
Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral
adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan
manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku
dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral.
Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam
perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji dan
mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Norma tersebut adalah perwujudan martabat manusia
sebagai makhluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap
luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi.
Helden (1977) dan Richard (1971) merumuskan pengertian moral sebagai kepekaan dalam
pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan lain yang tidak hanya berupa
kepekaan terhadap prinsip dan aturan. Selanjutnya, Atkinson (1969) mengemukakan moral atau
moralitas merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan
tidak dapat dilakukan. Selain itu, moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu
masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang seharusnya dilakukan
manusia.
Moralitas mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, tetapi kata moralitas
mengandung makna segala hal yang berkaitan dengan moral. Moralitas adalah sistem nilai
tentang bagaimana seseorang seharusnya hidup secara baik sebagai manusia. Moralitas ini
terkandung dalam aturan hidup bermasyarakat dalam bentuk petuah, wejangan, nasihat, peraturan,
perintah, dan semacamnya yang diwariskan secara turun-temurun melalui agama atau kebudayaan
tertentu. Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam
perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang benar, baik terpuji dan
mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
C. Norma Sosial
Dikatakan bahwa nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia.
Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan
kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai. Nilai bersumber pada budi yang
berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Wujud nyata dari
hubungan antara nilai dan moral tercerminkan pada norma sosial.
Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok
masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-
kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma
menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya.
Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar
bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar
hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang
diharapkan.
Norma tidak boleh dilanggar. Siapa pun yang melanggar norma atau tidak bertingkah laku sesuai
dengan ketentuan yang tercantum dalam norma itu, akan memperoleh hukuman. Misalnya, bagi
siswa yang terlambat dihukum tidak boleh masuk kelas, bagi siswa yang mencontek pada saat
ulangan tidak boleh meneruskan ulangan.
Norma merupakan hasil buatan manusia sebagai makhluk sosial. Pada awalnya, aturan ini
dibentuk secara tidak sengaja. Lama-kelamaan norma-norma itu disusun atau dibentuk secara
sadar. Norma dalam masyarakat berisis tata tertib, aturan, dan petunjuk standar perilaku yang
pantas atau wajar.
1. Cara (usage).
Cara adalah suatu bentuk perbuatan tertentu yang dilakukan individu dalam suatu masyarakat
tetapi tidak secara terus-menerus. Contoh: cara makan yang wajar dan baik apabila tidak
mengeluarkan suara seperti hewan.
2. Kebiasaan (Folkways)
Kebiasaan merupakan suatu bentuk perbuatan berulang-ulang dengan bentuk yang sama yang
dilakukan secara sadar dan mempunyai tujuan-tujuan jelas dan dianggap baik dan benar. Contoh:
Memberi hadiah kepada orang-orang yang berprestasi dalam suatu kegiatan atau kedudukan,
memakai baju yang bagus pada waktu pesta.
Tata kelakuan adalah sekumpulan perbuatan yang mencerminkan sifat-sifat hidup dari
sekelompok manusia yang dilakukan secara sadar guna melaksanakan pengawasan oleh
sekelompok masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Dalam tata kelakuan terdapat unsur
memaksa atau melarang suatu perbuatan. Fungsi mores adalah sebagai alat agar para anggota
masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut. Contoh:
Melarang pembunuhan, pemerkosaan, atau menikahi saudara kandung.
Adat istiadat adalah kumpulan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat
kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya. Adat istiadat adalah
kebudayaan abstrak atau sistem nilai. Pelanggaran terhadap adat istiadat akan menerima sanksi
yang keras baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya orang yang melanggar hukum adat
akan dibuang dan diasingkan ke daerah lain.
1. Norma agama
Norma agama adalah peraturan sosial yang sifatnya mutlak sebagaimana penafsirannya dan tidak
dapat ditawar-tawar atau diubah ukurannya karena berasal dari Tuhan. Biasanya norma agama
tersebut berasal dari ajaran agama dan kepercayaan-kepercayaan lainnya (religi). Pelanggaran
terhadap norma ini dinamakan dosa. Contoh: Melakukan sembahyang kepada Tuhan, tidak
berbohong, tidak boleh mencuri, dan lain sebagainya.
2. Norma kesusilaan
Norma kesusilaan adalah peraturan sosial yang berasal dari hati nurani yang menghasilkan
akhlak, sehingga seseorang dapat membedakan apa yang dianggap baik dan apa pula yang
dianggap buruk. Pelanggaran terhadap norma ini berakibat sanksi pengucilan secara fisik
(dipenjara, diusir) ataupun batin (dijauhi). Contoh: melecehkan wanita atau laki-laki didepan
orang.
5. Kode etik
Kode etik adalah tatanan etika yang disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Contoh:
kode etik jurnalistik, kode etik perwira, kode etik kedokteran. Kode etik umumnya termasuk
dalam norma sosial, namun bila ada kode etik yang memiliki sangsi yang agak berat, maka masuk
dalam kategori norma hukum.
Norma agama dan norma kesusilaan berlaku secara luas di setiap kelompok masyarakat
bagaimanapun tingkat peradabannya. Sedangkan norma kesopanan dan norma kebiasaan biasanya
hanya dipelihara atau dijaga oleh sekelompok kecil individu saja, sedangkan kelompok
masyarakat lainnya akan mempunyai norma kesopanan dan kebiasaan yang tersendiri pula.
Di dalam masyarakat yang terus berkembang, nilai senantiasa ikut berubah. Pergeseran nilai
dalam banyak hal juga akan mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan ataupun tata kelakuan yang
berlaku dalam masyarakat. Di wilayah pedesaan, sejak berbagai siaran dan tayangan televisi
swasta mulai dikenal, perlahan-lahan terlihat bahwa di dalam masyarakat itu mulai terjadi
pergesaran nilai, misalnya tentang kesopanan. Tayangan-tayangan yang didominasi oleh sinetron-
sinetron mutakhir yang acapkali memperlihatkan artis-artis yang berpakaian relatif terbuka,
sedikit banyak menyebabkan batas-batas toleransi masyarakat menjadi semakin longgar.
Berbagai kalangan semakin permisif terhadap kaum remaja yang pada mulanya berpakaian
normal, menjadi ikut latah berpakaian minim dan terkesan makin berani. Model rambut panjang
kehitaman yang dulu menjadi kebanggaan gadis-gadis desa, mungkin sekarang telah dianggap
sebagai simbol ketertinggalan. Sebagai gantinya, yang sekarang dianggap trendy dan sesuai
dengan konteks zaman sekarang (modern) adalah model rambut pendek dengan warna pirang atau
kocoklat-coklatan. Jadi berubahnya nilai akan berpengaruh terhadap norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat.
1. penanaman nilai moral dalam dunia pendidikan formal umumnya masih berupa
seperangkat teori mentah, terlepas dari realitas hidup masyarakat. Kurang digali akar
karena terjadinya diskoneksitas antara penanaman nilai moral dan praksis hidup moral
dalam masyarakat.
2. sebagai lembaga formal yang menyiapkan peserta didik untuk bertindak dan
mentransformasi diri sesuai nilai-nilai moral, ternyata sekolah belum memiliki jaringan
kerja sama yang erat dengan keluarga asal peserta didik, lembaga pemerintah,
nonpemerintah, dan seluruh masyarakat.
3. adanya kesenjangan pandangan hidup antara mereka yang menjunjung tinggi dan
melecehkan pesan moral dalam hidup sosial sehari-hari. Masih tumbuh subur kelompok
sosial yang menghalalkan dan merestui segala cara dan jalan mencapai sasaran yang
digariskan.
Program dalam dunia pendidikan formal akan “berhasil” jika didukung unsur-unsur sosial dalam
masyarakat. Tanpa kerja sama dan dukungan antara sosial terkait, sosialisasi nilai-nilai moral
sering mendapat kendala. Lembaga apa pun di masyarakat, entah milik pemerintah atau
nonpemerintah, perlu mendukung perwujudan nilai-nilai moral yang disemai melalui dunia
pendidikan formal. Perilaku yang korup, tak bertanggung jawab, dan manipulatif dengan
sendirinya mengkhianati kaidah moral yang ingin diperkenalkan dunia pendidikan formal.
Nilai-nilai moral yang perlu disosialisasikan dan diterapkan di masyarakat kita dewasa ini
umumnya mencakup:
1. kebebasan dan otoritas: kebebasan memiliki makna majemuk dalam proses pendidikan
formal, nonformal, dan informal. Selama hayat dikandung badan, tak seorang pun
memiliki kebebasan mutlak. Manusia perlu berani untuk hidup dan tampil berbeda dari
yang lain tanpa melupakan prinsip hidup dalam kebersamaan. Kebebasan manusia pada
hakikatnya bukan kebebasan liar, tetapi kebebasan terkontrol. Kebebasan tanpa tanggung
jawab mengundang pemegang roda pemerintahan dalam republik ini untuk
menyelewengkan kuasa mereka demi kepentingan terselubung mereka. Kekuasaan yang
seharusnya diterapkan adalah kekuasaan nutritif yang menyejahterakan hidup rakyat
banyak;
2. kedisiplinan merupakan salah satu masalah akbar dalam proses membangun negara ini;
Kedisiplinan rendah seperti Sampah bertebaran; para pemegang kuasa menunjukkan posisi
mereka dengan menggunakan “jam karet”; aturan lalu lintas tak pernah sungguh-sungguh
ditaati, tidak sedikit polantas hanya duduk-duduk di bawah pondok di sudut dan mengintai
pelanggar lalu lintas; kedisiplinan mengatur lalu lintas memprihatinkan; banyak oknum
disiplin dalam tindak kejahatan, seperti korupsi; kedisiplinan dalam penegakan hukum
positif terasa lemah sehingga kerusuhan sosial sering terulang di beberapa tempat.
3. nurani yang benar, baik, jujur, dan tak sesat berperan penting dalam proses sosialisasi nilai
moral dalam negara kita. Hati nurani perlu mendapat pembinaan terus-menerus supaya tak
sesat, buta, dan bahkan mati. Para pemegang roda pemerintahan negara kita, para pendidik,
peserta didik, dan seluruh masyarakat seharusnya memiliki hati nurani yang terbina baik
dan bukan hati nurani “liar” dan sesat. Keadaan sosial negara kita kini adalah cermin hati
nurani anak-anak bangsa. Penggelapan dan permainan uang oleh pegawai-pegawai pajak,
“pembobolan” uang di bank menunjukkan nurani manusia yang kian korup.
Ternyata bukan tanpa halangan untuk menjalankan pendidikan nilai-nilai moral di tengah
kurikulum pendidikan formal yang terasa “mencekik”. Seorang pendidik bisa menanamkan nilai
moral dalam sebuah kurikulum dengan beberapa kemungkinan sebagai berikut:
1. terbuka peluang bagi pendidik untuk menggali dan menanamkan nilai-nilai moral di
bidang pelajaran yang dipegang selama ini.
2. pendidik bisa menyisipkan ajaran tentang nilai moral melalui mitos-mitos rakyat.
3. kejelian/kreativitas pendidik menggali identitas nilai moral.
Jelas, penanaman nilai-nilai moral dalam dunia pendidikan formal sama sekali tak bersifat
otonom, tetapi selalu terkait dunia lain di luar lingkaran dunia pendidikan formal. Lingkungan
keluarga, pengusaha, RT, lurah, camat, bupati, wali kota, gubernur, penagih pajak, imigrasi, polisi,
tentara, jaksa, pengadilan (negeri, tinggi), Mahkamah Agung, kabinet, dan presiden seharusnya
memiliki dan menghidupi perilaku yang benar-benar mendukung proses penanaman, penerapan,
dan sosialisasi nilai-nilai moral yang digalakkan para pendidik. Pemerintah dan masyarakat
diharapkan menjadi sekolah yang dapat mensosialisasikan (terutama dalam arti menghidupi)
pendidikan nilai-nilai moral.
Asas pandangan bahwa manusia sebagai mahluk susila bersumber pada kepercayaan bahwa budi
nurani manusia secara apriori adalah sadar nilai dan mengabdi norma-norma. Pendirian ini sesuai
pula bila kita lihat pada analisis ilmu jiwa dalam tentang struktur jiwa (das Ich dan das Uber Ich).
Struktur jiwa yang disebut das Uber Ich yang sadar nilai-nilai esensi manusia sebagai mahluk
susila. Kesadaran susila (sense of morality) tak dapat dipisahkan realitas sosial sebab justru
adanya nilai-nilai. Efektifitas nilai-nilai, berfungsinya nilai-nilai, hanyalah dalam kehidupan
sosial.
Tiap-tiap hubungan sosial mengandung moral. Atau dengan kata lain “Tiada hubungan sosial
tanpa hubungan susila, dan tiada hubungan susila tanpa hubungan sosial”. Hubungan sosial harus
dimaknai dalam makna luas dan hakiki. Yakni hubungan sosial horizontal ialah hubungan sesama
antar manusia. Dan hubungan sosial-vertikal yaitu hubungan pribadi dengan Tuhan. Hubungan
sosial vertikal bersifat transendental sering disebut hubungan rohaniah pribadi. Akan tetapi antara
hubungan sosial tersebut sama-sama riil di dalam kehidupan manusia, keduanya pasti dialami
semua manusia.
Hubungan sosial vertikal sering disebut hubungan religius yang dianggap hubungan pribadi dan
bersifat perseorangan dan bukan masalah sosial. Hubungan sosial horisontal ialah hubungan sosial
dalam arti biasa. Semua nilai-nilai itu, atau prinsip pembinaan kesadaran asas normatif itu
menjadi kewajiban utama pendidikan. Asas kesadaran nilai, asas moralitas adalah dasar
fundamental yang membedakan hidup manusia dari hidup mahluk-mahluk alamiah yang lain.
Rasio dan budi nurani menjadi dasar adanya kesadaran moral. Dan bila moralitas ditafsirkan
meliputi nilai-nilai religius, maka rasio budi nurani akan dilengkapi pula dengan kesadaran-
kesadaran supernatural yang super rasional. Esensi tersebut di atas dikatakan sebagai satu
kesatuan integritas adalah kodrat hakekat manusia secara potensial. Artinya oleh kondisi-kondisi
lingkungan hidup manusia, potensi-potensi tersebut dapat berkembang menjadi realita
(aktualisasi) atau sebaliknya tidak terlaksana. Inilah sebabnya ada kriteria di dalam masyrakat
antara pribadi yang baik, yang ideal, dengan pribadi yang di anggap buruk atau asusila, dengan
tingkah laku yang kurang dikehendaki.
Hanya manusialah yang dapat menghayati norma-norma dalam kehidupannya sehingga manusia
dapat menetapkan tingkah laku yang baik dan bersifat susila dan tingkah laku mana yang tidak
baik dan bersifat tidak susila. Setiap masyarakat dan bangsa mempunyai norma-norma, dan nilai-
nilainya. Tidak dapat dibayangkan bagaimana jadinya seandainya dalam kehidupan manusia tidak
terdapat norma-norma dan nilai-nilai tersebut. Sudah tentu kehidupan manusia akan kacau balau.
Hukum rimba, sudah pasti akan berlaku dan menjalar diseluruh penjuru dunia.
Melalui pendidikan kita harus mampu menciptakan manusia susila dan harus mengusahakan
anak-anak didik kita menjadi manusia pendukung norma, kaidah dan nilai-nilai susila dan sosial
yang di junjung tinggi oleh masyarakatnya. Norma, nilai dan kaidah tersebut harus menjadi milik
dan selalu di personifikasikan dalam setiap sepak terjang, dan tingkah laku tiap pribadi manusia.
Penghayatan personifikasi atas norma, nilai, kaidah-kaidah sosial ini amat penting dalam
mewujudkan ketertiban dan stabilitas kehidupan masyarakat.
Sebenarnya aspek susila kehidupan manusia sangat berhubungan erat dengan aspek kehidupan
sosial. Karena penghayatan atas norma, nilai dan kaidah sosial serta pelaksanaannya dalam
tindakan dan tingkah laku yang nyata dilakukan oleh individu dalam hubungannya dengan atau
kehadirannya bersama orang lain. Aspek susila ini tidak saja memerlukan pengetahuan atas
norma, nilai, dan kaidah-kaidah yang terdapat dalam masyarakat, akan tetapi juga menuntut
dilaksanakannya secara konkret apa yang telah diketahuinya tersebut dalam tingkah laku yang
nyata dalam masyarakat.
Pentingnya mengetahui dan menerapkan secara nyata norma, nilai, dan kaidah-kaidah masyarakat
dalam kehidupannya mempunyai dua alasan pokok, yaitu:
1. untuk kepentingan dirinya sendiri sebagai individu. Apabila individu tidak dapat
menyesuaikan diri dan tingkah lakunya tidak sesuai dengan norma, nilai dan kaidah sosial
yang terdapat dalam masyarakat maka dimanapun ia hidup tidak dapat diterima oleh
masyarakat. Dengan terkucilnya oleh anggota masyarakat yang lain, pribadi tersebut tidak
akan merasa aman. Akibatnya dia tidak merasa betah tinggal di masyarakat , padahal setiap
individu membutuhkan rasa aman dimana pun dia berada. Akibatnya dia tidak merasa
betah tinggal di masyarakat yang tidak menerimanya itu dengan demikian, selanjutnya dia
tidak dapat survive tinggal dimasyarakat tersebut sehingga ia harus mencari masyarakat
lain yang kiranya dapat menerimanya sebagai anggota dalam masyarakat yang baru.
Namun untuk itu, ia juga akan dihadapkan pada tuntutan dan masyarakat yang sama seperti
yang dia alami dalam masyarakat terdahulu dimana dia pernah tinggal yaitu kemampuan
untuk hidup dan bertingkah laku menurut norma, nilai dan kaidah masyarakat yang berlaku
pada masyarakat yang baru. Karena setiap masyarakat masing-masing mempunyai norma,
nilai dan kaidah yang harus diikuti oleh anggotannya.
2. untuk kepentingan stabilitas kehidupan masyarakat itu sendiri. Masyarakat tidak saja
merupakan kumpulan individu, tetapi lebih dari itu, kebersamaan individu tinggal disuatu
tempat yang kita sebut masyarakat telah menghasilkan dalam perkembangannya aturan-
aturan main yang kita sebut norma, nilai, dan kaidah-kaidah sosial yang harus diikuti oleh
anggotanya. Norma, nilai dan kaidah-kaidah tersebut merupakan hasil persetujuan bersama
untuk dilaksanakan dalam kehidupan bersama, demi untuk mencapai tujuan mereka
bersama. Dengan demikian, kelangsungan kehidupan masyarakat tersebut sangat
tergantung pada dapat tidaknya dipertahankan norma, nilai dan kaidah masyarakat yang
bersangkutan. Suatu masyarakat dapat dikatakan telah berakhir riwayatnya, apabila tata
aturan yang berupa nilai, norma, dan kaidah kehidupan masyarakatnya telah digantikan
seluruhnya dengan tata kehidupan yang lain yang diambil dari masyarakat lain, dalam
hubungan ini kita semua telah menyadari bahwa betapa pentingnya kewaspadaan terhadap
infiltrasi kebudayaan asing yang akan membawa norma, nilai dan kaidah kehidupan yang
asing bagi kehidupan kita. Kewaspadaan tersebut sangat penting bagi kehidupan kita agar
kita bersama dapat mempertahankan eksistensi masyarakat dan bangsa Indonesia yang
telah memiliki norma, nilai dan kaidah sendiri sebagai warisan yang tidak ternilai dari
nenek moyang kita.
F. Kesimpulan
Nilai adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya. Menilai
berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang
lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi
mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem
merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan karya.
Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok
masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-
kesepakatan sosial masyarakatnya.
Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan
perbuatan manusia.
Dilihat dari uraian diatas bahwa pada dasarnya nilai, norma dan moral saling berhubungan.
Dimana seorang manusia dalam bersosialisasi didalam kehidupan masyarakat bertindak atau
berperilaku sesuai dengan nilai, norma yang ada dan yang berlaku di masyarakat maka perilaku
manusia tersebut sudah di anggap bermoral.
Referensi
Buddy. (2010). Hakikat Nilai dan Moral serta Sosialisasinya dalam kehidupan masyarakat.
Tersedia: http://buddybubhu.blogspot.com/2010/09/hakikat-nilai-dan-moral-serta.html. [2
Maret 2011].
Effendi, Ridwan. (2007). Panduan kuliah Pendidikan Lingkungan Sosial, Budaya, dan
Teknologi. Bandung: CV. Maulana Media Grafika.
Fikri. (2010). Pengertian nilai sosial dan norma sosial.
Tersedia : http://www.karyafikri.tk/2010/08/pengertian-nilai-sosial-dan-norma.html. [5Maret
2011].
Sjarkawi. (2006). Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: Bumi Aksara.
Sudirjo, E., Istianti T., dan Abidin, Y. (2010). Implementasi PAKEM di Sekolah Dasar dan
PAUD. Bandung: Rizqi Press.
Sumarsono, S. Dkk. (2001). Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Elly M. Setiadi, dkk (2006). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media
Makhluk Sosial
A. Pengertian
Manusia adalah makhluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya.
Manusia tidak dapat mencapai apa yang diinginkan dengan dirinya sendiri.
Karena manusia menjalankan peranannya dengan menggunakan simbol untuk
mengkomunikasikan pemikiran dan perasaanya. Manusia tidak dapat menyadari
individualitas, kecuali melalui medium kehidupan sosial.
Esensi manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya adalah kesadaran
manusia tentang status dan posisi dirinya adalah kehidupan bersama, serta
bagaimana tanggungjawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan.
H. Kesimpulan
1. Manusia sebagai mahluk individu artinya manusia merupakan satu kesatuan
antara jasmani dan rohani. Seseorang dikatakan sebagai individu apabila
kedua unsur tersebut menyatu dalam dirinya.
2. Selain sebagai makhluk individu juga, manusia adalah makhluk sosial. Salah
satunya dikarenakan pada diri manusia ada dorongan untuk berhubungan
atau berinteraksi dengan orang lain yang satu sama lain saling
membutuhkan. Untuk menjadi pribadi yang bermakhluk sosial setiap
individu dihadapkan dengan sosialisasi, yaitu suatu proses dimana
seseorang belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam
masyarakat.
3. Adapun yang dimaksud masyarakat setempat atau komunitas berbeda dengan
masyarakat. Masyarakat sifatnya lebih umum dan lebih luas, sedang
masyarakat setempat lebih terbatas dan juga dibatasi oleh kawasan tertentu.
Namun ditinjau dari aktivitas hubungannya dan persatuannya lebih erat pada
masyarakat setempat dibandingkan dengan masyrakat.
4. Manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial selalu dihadapkan
oleh dua kepentingan yaitu kepentingan individu dan sosial. Persoalan
pengutamaan kepentingan individu atau masyarakat ini memunculkan dua
pandangan yang berkembang yaitu pandangan individualisme dan
pandangan sosialisme. Sebetulnya kedua kepentingan tersebut tidak dapat
dipisahkan dan bukanlah pilihan.