Anda di halaman 1dari 11

1

ILMU HUKUM YANG ILMIAH


Komentar terhadap prasaran dari Carel Smith
tentang “Karakter normatif ilmu hukum”
oleh : Arend Soeteman

1. Pengantar.
Carel Smith telah menulis sebuah prasaran yang bagus. Banyak hal yang ditulis di
dalamnya dapat disetujui sepenuh hati. Tetapi tidak semuanya. Saya akan memulai
dengan sejumlah catatan tentang permasalahan “is – ought”. Smith mencurahkan
bagian terbesar dari prasarannya itu pada dalil bahwa ilmu hukum itu normatif. Saya
berpendapat bahwa ia dalam hal itu benar. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah
apakah ini justru tidak menghalangi keilmuan dari disiplin ilmiah itu. Saya
berpendapat bahwa pada masukan hermeneutik ke dalam pengetahuan hukum dalam
arti sebagaimana yang diberikan oleh Smith kepadanya memang hal itu sungguh-
sungguh demikian keadaannya. Ia bermuatan, setidaknya dalam kejadian-kejadian
yang sulit (hard cases), bahwa makna yang benar atau tepat pada teks-teks yang
otoritatif itu tidak ada.
Saya sendiri akan memberikan isi yang berbeda pada hermeneutik itu, yang
menyebabkan konsekuensi (yang tidak dimaksudkan oleh Smith) bahwa ilmu hukum
itu sesungguhnya tidak dapat ilmiah, setidaknya bahwa ia dalam kejadian-kejadian
yang sulit tidak dapat memberikan putusan yang benar atau tepat, akan hilang. Satu
butir yang berkaitan, yang dalam paragraf-paragraf terakhir dari prasaran Smith
dicurahkan perhatian terhadapnya dan yang sekaligus menempatkan keilmiahan dari
ilmu hukum hingga derajat tertentu dalam keraguan, adalah bahwa para ilmuwan
hukum selalu berbeda pendapat, tanpa secara definitif dapat menentukan siapa yang
benar atau yang tidak benar. Saya berpendapat bahwa reaksi Smith terhadap masalah
ini tidak memadai. Tetapi itu juga berkaitan dengan isi yang diberikannya pada
hermeneutik ilmiah ilmu hukum.

2. “Is” dan “ought”.


Ilmu-ilmu empirik bagi kebanyakan mempunyai aura dari ilmu yang sesungguhnya.
Karena itu dapat dimengerti bahwa selalu ada yuris-yuris yang berupaya dengan salah
satu cara memaparkan pengetahuan hukum dengan mencontoh gambaran dari ilmu-
ilmu yang lebih keras. Sebuah contoh mutakhir adalah Hendrik Gommer, yang dalam
NJB membela pendapat bahwa kaidah-kaidah hukum adalah hasil dari seleksi
alamiah: Darwin sudah memperlihatkan semuanya itu.1 Beberapa nomor dari NJB
yang sama kemudian menampilkan seorang Hendrik yang lain, Hendrik Kaptein,
yang menulis untuk menjelaskan bahwa Hendrik yang pertama telah sepenuhnya
salah.2 Namun bagi ilmuwan hukum bukanlah pertanyaan penting apakah Hendrik
yang pertama benar atau salah. Sebab apapun jawaban terhadapnya, ihwalnya di sini

1
Hendrik Gommer, “Normen als uitkomst van natuurlijke selectie” (Kaidah-kaidah sebagai produk seleksi
alamiah), Nederlands Juristen Blad (2009/21): 1327 dst.
2
Hendrik Kaptein, “Gommers natuurrechtsleer: no new fable of the bees” (Ajaran hukum kodrat Gommer:
tidak ada fabel baru tentang lebah), NJB (2009/27): 1734 dst., dengan komentar dari Gommers pada
1736 dst.

1
2

berkenaan dengan “leunstoelfilosofie” (armchairphilosophy, filsafat menara gading)


yang bagi ilmu hukum adalah tidak relevan. Ilmuwan hukum itu menghadapi
pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana ia harus menyelesaikan kasus bayi Kelly
(lihat sesudah ini) yang ditampilkan oleh Smith. Pertanyaannya bukanlah: bagaimana
kita dapat menjelaskan kaidah-kaidah kita? Pertanyaannya adalah: apa yang harus
kita lakukan? Bahkan jika kaidah-kaidah hukum kita sepenuhnya memang ditentukan
oleh seleksi alamiah, ilmu tersebut tidak menolong ilmuwan hukum kita pada
penjawaban terhadap pertanyaan ini.
Ihwalnya menjadi kurang onschuldig (innocent) jika kita di sini mencampurkan “is”
(das Sein) dan “ought” (das Sollen). Darwinisme dapat mengembangkan diri menjadi
suatu filsafat normatif: demikianlah hal itu terjadi, tetapi demikianlah seharusnya juga
hal itu terjadi. Apakah Gommer dalam hal ini telah melakukan kesalahan adalah sama
sekali tidak jelas, namun ia kadang-kadang mengesankan demikian.3
Smith memberikan perhatian seperlunya kepada De Geest, yang berpendapat bahwa
juga para hakim dan ilmuwan hukum telah melakukan kesalahan mencampurkan “is”
dan “ought”. Hukum yang baru mereka kamuflase sebagai hukum yang sudah ada.4
De Geest tidak mendasari dalilnya itu secara empirik, kata Smith, tetapi saya
berpendapat meskipun demikian bahwa ia melihat hal ini secara tajam dan tepat.
Hanya saja di sini saya tidak sependapat dengan kualifikasi negatifnya.
Para ilmuwan hukum sesungguhnya, jika ia benar, tidak sungguh-sungguh bersalah
telah melakukan pada apa yang dikenal sebagai “naturalistic fallacy” (kerancuan
naturalistik): menderivasi “ought” dari “is”.5
Apa yang memang mereka lakukan adalah: menginterpretasi sebaik mungkin sumber-
sumber otoritatif (teks-teks undang-undang, arrest-arrest, dan lain sebagainya). Di
dalamnya terdapat unsur faktual: apa yang ada di dalam sumber-sumber itu? Namun
di dalamnya juga terdapat suatu unsur interpretatif atau konstruktif: makna apa harus
kita berikan pada apa yang ada di dalam sumber-sumber itu?

3. Kesalahan-kesalahan yang dipelajari. (Pelajaran dari kesalahan)


Ini dapat menjadi salah (meleset). Ia menjadi salah jika orang melupakan sisi
interpretatif dan berpikir bahwa dari hurufnya atau dari sejarah undang-undang atau
dari faktualitas apapun secara langsung dapat diderivasi apa yang menjadi makna
normatif dari teks yang harus diinterpretasi. Sebuah contoh mutakhir tentang hal itu
telah saya bahas dalam kuliah perpisahan saya6: HR 10 Maret 2009. Ihwalnya di sini
berkenaan dengan seorang laki-laki dari Valkenswaard yang dalam bulan November
2009, setelah pembunuhan terhadap Theo van Gogh, telah memasang sebuah poster
yang antara lain bertulisan: “Hentikan pertumbuhan (het gezwel) apa yang bernama
Islam.” Hoge Raad dalam arrest ini memberikan suatu penafsiran yang terbatas
(sempit) terhadap apa yang dalam Pasal 137c Wetboek van Strafrecht (Sr.) dapat

3
Lihat misalnya NJB (2009/21): 1331: “Via onze genen (…) waarderen we het doden van een
groepsgenoot als ‘slecht’. Deze morele waardering is daarmee in feite een biologische waardering (…)”
(Melalui gen kita (…) kita menilai hal membunuh sesama anggota kelompok adalah “jelek”. Penilaian
moral ini dengan demikian sesungguhnya adalah suatu penilaian biologikal.)
4
G. de Geest, “Hoe maken we van rechtswetenschap een volwaardige wetenschap?”, NJB (2004/2): 65.
5
Istilah dan pengertian berasal dari G.E. Moore, Principia Ethica (Cambridge University Press, 1903).
6
A. Soeteman, Rechtsgeleerde waarheid (Kebenaran ilmu hukum) (Amsterdam: Vrije Universiteit, 2009),
16-19. Juga dalam <www.rechten.vu.nl/nl/Images/Rechtsgeleerdde%20waarheid_tcm22-84651.pdf>.

2
3

dihukum pidana orang yang menyatakan ucapan yang menghina (melecehkan)


“terhadap sekelompok orang karena keyakinan keagamaan mereka”. Hal
mengungkapkan pernyataan yang menghina (melecehkan) tentang suatu keyakinan
keagamaan dalam kasus ini tidak termasuk ke bawahnya, juga tidak jika hal ini
dilakukan dengan suatu cara sedemikian rupa sehingga perasaan keagamaan para
pengikut keyakinan keagamaan terkait oleh tindakan itu merasa sangat tersinggung.
Dengan itu Hoge Raad membuat suatu perbedaan bahwa beberapa bulan sebelumnya
oleh Hof Amsterdam, ketika kantor penuntut umum memutuskan untuk menuntut
Wilders antara lain berdasarkan pelanggaran terhadap Pasal 137c Sr yang sama,
dikesampingkan sebagai “dibuat-buat” (Hof Amsterdam 21 Januari 2009). Saya
berpendapat bahwa di sini Hoge Raad tepat7, tetapi ketepatan ini di dalam arrest
hanya didukung dengan suatu rujukan pada sejarah undang-undang dari Pasal 137c
Sr. Mengapa sejarah undang-undang (sebuah “is”) di sini dapat membawa pada
kaidah ini (sebuah “ought”) tidak dijelaskan. Jika suatu kaidah yang diakui itu
memang ada: Maksud dari pembentuk undang-undang sebagaimana ia tampak
(ternyata) dari sejarah undang-undang oleh hakim harus selalu diikuti, maka di sini
akan tidak ada masalah Namun kaidah yang demikian itu tidak ada. Tiap yuris
mengetahui bahwa sejarah undang-undang itu memang dapat memiliki kewibawaan
(gezag), namun bahwa kewibawaan ini tidak selalu menentukan. Dengan demikian
maka Hoge Raad akan harus menjelaskan mengapa dalam kejadian ini sejarah
undang-undang seyogianya harus mempunyai akibat. Baru dengan demikian maka
suatu ought timbul dari (suatu is dan) suatu ought yang lain.
Para yuris memang sekali-sekali melakukan kesalahan yang demikian itu. Hal itu
dapat mempunyai berbagai penyebab. Kebodohan dan pengertian yang buruk atau
yang salah tentang hukum dapat menjadi penyebabnya (tetapi pasti tidak pada Hoge
Raad). Ketidak mampuan untuk saling bersepakat tentang suatu penalaran yang lebih
baik adalah suatu penyebab lain yang mungkin.8

4. Hermeneutik.
De Geest berpendapat bahwa para hakim dan para ilmuwan hukum harus lebih baik
memisahkan kaidah-kaidah dan fakta-fakta yang satu dari yang lainnya. Para
ilmuwan hukum dan juga para hakim seyogianya harus secara jelas membedakan
antara pengirim makna atau pemberi makna (zenderbetekenis) dari suatu teks dan visi
mereka sendiri pada hukum yang optimal. Ia berpendapat bahwa tidak ada yang salah
dengan pembentukan hukum oleh hakim (rechterlijke rechtsvorming), tetapi para
hakim harus tidak melakukan seolah-olah pembentukan baru mereka sudah ada
tercantum dalam undang-undang yang sudah ada.9
Ini mengandaikan bahwa pengirim makna ini (sering) memastikan diri tidak
bermakna ganda. Tetapi kejadiannya tidaklah demikian. Anda tidak perlu dengan
segala cara bertindak sejauh seperti Ronald Dworkin, yang dalam Law’s Empire
7
Lihat juga kritik dari Hans Nieuwenhuis terhadap penetapan itu dari Hof Amsterdam dalam Hans
Nieuwenhuis, Brief aan een jonge academisch gevormde vrouw (Surat kepada seorang perempuan muda
yang terdidik secara akademik), (Zutphen: Paris, 2009), 126-128.
8
Dalam kuliah perpisahan saya, saya telah memperjuangkan untuk menerapkan (mengadopsi) sistem
dissenting opinions: diskusi publik (wacana secara terbuka) di antara para hakim agung akan
memperkecil kemungkinan terbentuknya motivering yang jelek dalam putusan.
9
De Geest, “Hoe maken we van rechtswetenschap een volwaardige wetenschap?”, 62-63.

3
4

mengatakan bahwa interpretasi konstruktif “is a matter of imposing purpose on an


object or practice in order to make of it the best possible example of the form or
genre to which it is taken to belong”.10 Juga jika pembaca mengakui kewibawaan dari
suatu teks dan mencoba untuk menghormati maksud (apapun yang diartikan dengan
perkataan itu) dari teks itu, hal itu tidak meniadakan bahwa ia membaca teks tersebut
dengan pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Smith dengan cara yang jernih membuat
jelas bahwa ihwalnya adalah mustahil untuk mengenali suatu pengirim makna yang
kurang lebih tegas (jelas), yang di dalamnya pertanyaan-pertanyaan dari pembaca
teks tersebut dan harapan-harapan yang dimilikinya11 berkenaan dengan itu tidak
memainkan peranan (lihat contoh dalam par. 3 tentang larangan dari tukang daging
untuk membawa masuk anjing-anjing ke dalam tokonya). Betapapun bagusnya hal itu
dari sudut suatu “ilmu yang keras” (harde wetenschap), perspektif hermeneutikal
tidak dapat dikesampingkan begitu saja.

5. Ilmu hukum yang normatif.


Para ilmuwan hukum tidak hanya menetapkan, penetapan-penetapan mereka adalah
juga sekaligus putusan-putusan normatif: sebagaimana mereka menginterpretasi
hukum, menurut mereka memang demikianlah seharusnya interpretasi itu dilakukan.
Akibatnya seorang filsuf dapat saja menyatakan bahwa ini secara ilmiah adalah tidak
masuk akal (bodoh), tetapi hal itu adalah sama seperti mengatakan kepada para
pemain sepakbola bahwa adalah bodoh bahwa mereka tidak menggunakan tangan
mereka: filsuf ini memainkan suatu permainan yang lain. Permainan sarjana hukum
tidak memenuhi ukuran-ukuran empirikal. Tetapi itu tidak berarti bahwa hal itu tidak
akan dapat membawa pada suatu hasil yang masuk akal. Orang yang walaupun
demikian tetap menempatkan ilmu hukum pada procrustesbed (posisi tidak enak
yang mendegradasi) dari ukuran-ukuran ilmu-ilmu empirik, ia telah menempatkan
dirinya sendiri – untuk tetap berbicara dalam peristilahan sepak bola – di luar
permainan (buitenspel).
Jika kita mengatakan bahwa ilmu hukum itu adalah normatif, kita dapat sekurang-
kurangnya memaksudkan tiga hal yang berbeda: 1.) aktivitas ilmuwan ilmu hukum
adalah bermuatan normatif, artinya dalam menetapkan kaidah-kaidah hukum maka
baik pemaparan maupun penilaian memainkan peranan (lihat paragraf yang lalu)12;
2.) ilmuwan hukum berupaya untuk memberikan interpretasi yang paling tepat
terhadap hukum yang ada (yang juga akan harus diakui oleh orang-orang lain); 3.)
objek dari ilmu hukum itu sendiri terdiri atas kaidah-kaidah yang termasuk ke dalam
hukum yang berlaku.
Butir ketiga adalah tidak dapat dibantah. Berkaitan dengan butir pertama Smith dan
para “hermeneutici” yang lain (ke dalamnya termasuk saya sendiri) berbeda pendapat

10
Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge: Harvard University Press, 1986), 52.
11
Dan apa lebih jauh dapat termasuk ke dalam “Vorverständnis”: lihat Josef Esser, Vorverständnis und
Methodenwahl in der Rechtsfindung (Prapemahaman dan pilihan metode dalam penemuan hukum)
(Frankfurt am Main: Athenäum Verlag, 1970).
12
Saya di sini menggunakan istilah “normatif” dalam arti luas, yang di dalamnya juga penilaian hukum
evaluatif adalah normatif. Kaidah-kaidah lain (nilai-nilai, prinsip-prinsip) ketimbang kaidah-kaidah
hukum yang harus diinterpretasi maka digunakan untuk membantu menetapkan apa makna dari kaidah
hukum itu. Sebagaimana sudah dikenal, dalam teori hukum sudah menjadi pokok diskusi persoalan
tentang sejauh mana kaidah-kaidah moral relevan untuk interpretasi kaidah-kaidah hukum.

4
5

dengan para yuris yang menerima dan menggunakan model ilmu empirik sebagai
ukuran untuk ilmu hukum dan dari para positivis hukum klasik (seperti Kelsen, Hart,
Raz, dan di kita Brouwer), yang berpendapat bahwa penetapan makna dari kaidah-
kaidah hukum positif dalam prinsipnya adalah kegiatan yang bebas-nilai dan bahwa
jika suatu makna yang dapat dikonstatasi dari kaidah-kaidah hukum ini tidak ada
maka hakim harus menggunakan kewenangan diskresionalnya untuk membentuk
hukum.13 Juga para “hermeneutici” ini berpendapat bahwa jika para ilmuwan hukum
mau menetapkan bagaimana bunyi hukum yang berlaku, maka mereka memulai
dengan sejumlah teks berwibawa: mereka mebaca undang-undang, mereka menggali
pengetahuan dari vonis-vonis yang relevan, mereka menggali pengetahuan dari
komentar-komentar ilmuwan hukum yang lain, dan seterusnya di sini saya akan
mengabaikan bahwa tidak setiap teks secara formal mempunyai makna yang sama.14
Tetapi mereka berpendapat bahwa menginterpretasi adalah lebih ketimbang sekedar
membaca teks-teks berwibawa.
Butir kedua memerlukan suatu penuansaan. Pertama-tama para ilmuwan hukum,
berbeda dari para hakim dan lebih berbeda lagi dari para pembentuk undang-undang,
tidak memiliki kewibawaan formal: mereka harus menunggu apakah yang mereka
presentasikan sebagai hukum yang berlaku juga di dalam praktik akan dipahami
dengan cara yang sama. Kedua, para ilmuwan hukum juga sekali-sekali masih
melakukan sesuatu yang lain selain menginterpretasi hukum yang berlaku. Mereka
misalnya dapat mengusulkan pengembangan untuk hukum yang baru, yang berkenaan
dengan hal itu jelas bahwa batas-batas antara interpretasi terbaik terhadap hukum
yang ada dan hukum baru yang masih harus dibentuk adalah tidak selalu jelas.
Khususnya dalam arti 1 dan arti 2 dari “normatif”, keilmiahan dari ilmu hukum
hingga derajat tertentu diragukan. Dalam arti 1 karena ilmu hukum itu bermuatan
normatif, yang berarti bahwa putusan-putusan nilai (waardeoordelen) dari ilmuwan
yang selalu dapat dibantah dan sulit untuk diverifikasi ikut bermain dalam apa yang
ditetapkan sebagai hukum yang berlaku. Hal itu menyebabkan kerusakan pada
objektivitas yang sering dipandang sebagai kaidah keilmuan. Dalam arti 2 karena
ilmu dipandang mencari tentang kenyataan: ilmu mencari bagaimana ihwalnya
(kenyataannya), tidak bagaimana hal itu seharusnya.Apa yang berkaitan dengan ilmu
hukum, ini akan berarti bahwa suatu ilmu hukum yang sungguh-sungguh ilmiah
memaparkan kaidah-kaidah hukum apa yang ada atau berlaku, bukan kaidah-kaidh
hukum apa yang menurut para ilmuwan seharusnya berlaku atau arti apa yang
menurut mereka seharusnya diberikan pada kaidah-kaidah. Hans Kelsen misalnya

13
Di sini bukanlah tempatnya untuk menelusuri hal ini, tetapi tampaknya bagi saya jelas bahwa kaum
positivis hukum tidak selalu dibimbing oleh ideal ilmu empirik.
14
Dalam suatu publikasi akhir-akhir ini di RM Themis, Smith telah mengatakan bahwa saya menganggap
interpretasi gramatikal tidak penting untuk legitimasi penilaian yuridik: lihat C.E. Smith, “Het woord als
grenswachter: functies van taalkundige interpretatie voor rechtsvinding” (Perkataan sebagai penjaga
batas: fungsi interpretasi kebahasaan atau gramatikal untuk penemuan hukum), RM Themis 170 (2009/2)
61. Itu adalah sebuah kesalahan paham. Dalam menyustifikasi putusan-putusan yuridik maka pemakaian
kata-kata dari teks-tkes berwibawa selalu memainkan peranan. Apa yang pernah saya katakan, adalah
bahwa jika makna perkataan-perkataan tidak jelas atau jika timbul pertanyaan apakah nilai-nilai dan asas-
asas yang ada di belakangnya menyustifikasi suatu penyimpangan terhadap makna gramatikal, jadi dalam
apa yang dikenal sebagai kejadian-kejadian yang sulit (hard cases), suatu rujukan pada kata-kata secara
harafiah tidak akan mencapai sasaran atau akan menarik kesimpulan terlalu cepat. Lihat di depan par. 3.

5
6

berpendapat bahwa ilmu kita seharusnya membatasi diri pada pemaparan sebab jika
tidak mereka secara keliru akan bermain-main dengan panji-panji keilmuan. Di dalam
praktik ilmu hukum tidak pernah mempedulikan aturan semacam itu.15

6. Jawaban yuridik yang tepat?


Sekarang saya mulai dengan keberatan kedua. Ilmu, demikian orang sering
mengatakan, mencari kebenaran. Ini tentu saja, sebaliknya, tidak mau mengatakan
bahwa orang yang mencari kebenaran adalah ilmuwan: tidak setiap penyelidik akan
menamakan dirinya ilmuwan. Tetapi sesuatu seperti mencari kebenaran tampaknya
memang merupakan suatu syarat mutlak dari ilmu.
Dikonfrontasi dengan suatu dalil yang demikian maka para ilmuwan hukum yang
berkeinginan untuk mempertahankan keilmuan dari bidang studi mereka dapat
memberikan reaksi dengan dua cara, yang lagipula pada akhirnya dua-duanya jatuh
pada hal yang sama. Mereka dapat mengemukakan bahwa mereka juga mencari
kebenaran-kebenaran, walaupun pada mereka tidak berkaitan dengan kebenaran-
kebenaran empirikal. Atau mereka dapat mencoba untuk meliberalisasi klaim
kebenaran dari ilmu-ilmu. Ihwalnya berkenaan dengan penyelesaian masalah secara
rasional, demikianlah misalnya saya sendiri bersama-sama Doede Nauta sekitar
tigapuluh tahun yang lalu telah mempertahankan pendapat yang demikian.16
Pada saat ini saya lebih cenderung untuk memilih jalan yang pertama.17 Tetapi jalan
manapun yang orang pilih, adalah terutama suatu masalah peristilahan dan karena itu
tidak perlu amat dipermasalahkan. Namun satu hal adalah memang penting: orang
memang mencari jawaban yang secara rasional yang dipertahankan terhadap
pertanyaan-pertanyaan tertentu.
Pertanyaan itu misalnya apa yang secara hukum menjadi jawaban yang tepat terhadap
pertanyaan yang dihadapkan kepada Hoge Raad atas nama bayi bernama Kelly dalam
Wrongful Life-arrest: apakah bayi Kelly yang cacat berat mempunyai hak atas ganti
rugi karena kelahirannya adalah akibat dari suatu kesalahan medik? Perhatikan: jika
kesalahan medik itu diandaikan telah tidak dilakukan, maka bayi Kelly diaborsi
(teraborsi) pada stadium dini dan dengan demikian ia sama sekali tidak akan pernah
ada.
Sekarang Smith memberitahukan bahwa menurut Stolker terdapat sembilan jawaban
yang berbeda terhadap pertanyaan ini (lihat par. 6, noot 73). Dengan demikian yang
menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kita dari semua jawaban-jawaban
itu dapat memilih jawaban yang terbaik. Tentang hal itu telah terjadi perdebatan di
antara para ilmuwan hukum. Beberapa berpendapat bahwa klaim bayi Kelly harus
ditolak, karena kehidupan manusia tidak dapat menjadi pos rugi (schadepost). Yang
lain membela bahwa kita kerugian yang untuknya dokter itu bertanggung-jawab,

15
Itu tentu saja dapat terjadi karena ilmuwan hukum terlalu bodoh untuk dapat mengerti bahwa mereka
sibuk dengan menggantang asap (gebakken lucht bezig) atau karena mereka melakukan penipuan secara
masal atau kebohongan publik (pia fraus). Namun selama di sini tidak diajukan argumen-argumen untuk
mendukungnya, tampaknya pengandaian-pengandaian yang demikian tidak terlalu plausibel.
16
D. Nauta dan A. Soeteman, “Logica in de juridische opleiding”, NJB (1982): 723-733.
17
Namun di sini sama sekali dapat tidak berkenaan dengan pengertian kebenaran Thomistik seperti
“adaequatio intellectus et rei” (kesamaan antara pengerttian dan benda). Kebenaran yuridik adalah
konstruktivistik. Namun ihwalnya tidak berkenaan dengan konstruksi yang mungkin: ihwalnya
berkenaan dengan konstruksi yang paling mungkin. Lihat kelanjutan dari teks saya.

6
7

dapat diperhitungkan dengan membandingkan bayi Kelly dengan bayi yang sehat.
Yang lain lagi berpendapat bahwa bahwa ini tidak dapat demikian, karena jika
kesalahan itu tidak dibuat maka seorang Kelly yang sehat akan tidak dilahirkan, sama
sekali tidak Kelly. Mereka berpendapat bahwa nilai negatif dari kehidupan Kelly
adalah kerugian itu.
Di sini bukanlah tempatnya untuk menganalisis secara luas kasus ini.18 Yang menjadi
masalah bagi saya, adalah bahwa pilihan dari berbagai jawaban yang mungkin selalu
didukung dengan argumen-argumen. Memang demiukian seharusnya. Jika tidak maka
hukum akan mejadi sebuah lotere saja. Hal itu mungkin saja memang sudah ada
dalam keyakinan pada sejumlah yustisiabel dan yuris, tetapi hal itu tidak ingin kita
dorong: para yuris hendaknya mendukung titik-titik berdiri (pendirian) mereka.
Di satu sisi saya tidak nenpunyai dugaan bahwa Smith di sini mempunyai pokiran
yang berbeda. Tetapi di sisi lain di sini memang terdapat suatu masalah. Sebagai
sudah dikatakan, Smith mengelompokkan mereka yang menolak bahwa model dari
ilmu-ilmu empirik berlaku untuk semua ilmu di bawah nama hermeneutici. Ia
melanjutkan: “Pandangan bahwa undang-undang “mempunyai” satu makna yang oleh
para yuris dapat “ditetapkan”, oleh mereka ditolak (…) Mereka membantah bahwa
kita dapat berbicara tentang satu makna yang tepat atau benar dari teks-teks (undang-
undang)” (par. 2, sesudah noot 10). Dengan kata lain, para hermeneutici melepaskan
klaim tentang kebenaran (atau ketepatan). Dengan demikian yang sesungguhnya
menjadi pertanyaan atau yang menjadi sisa adalah ungkapan pendapat-pendapat
subjektif: pendapat yang satu adalah sama baiknya dengan yang lain, tentang selera
tidak dapat diperdebatkan.19
Sekarang pemberitahuan dari Smith itu secara factual adalah tidak tepat. Ronald
Dworkin misalnya, tidak diragukan adalah seorang hermeneutici menurut definisi dari
Smith, sudah menjadi terkenal karena “one right answer-thesis”-nya: dalil bahwa
untuk setiap masalah yuridik selalu terdapat satu jawaban yang tepat.20
Dalil Dworkin ini telah dibantah. Tetapi pertanyaan apakah ia tepat, harus didahului
dengan pertanyaan apa yang harus diartikan dengan itu. Biarkan saya menjelaskan
apa yang saya maksudkan dengan itu. Saya berpikir bahwa uraian saya sama dengan

18
Untuk ini lihat disertasi dari Britta van Beers, Persoon en lichaam in het recht. Menselijke waardigheid
en zelfbeschikking in het tijdperk van de medische biotechnologie (Orang dan tubuh dalam hukum.
Martabat kemanusiaan dan penentuan nasib sendiri dalam kurun waktu bioteknologi medikal) (diss. Vrije
Universiteit) (Den Haag: Boom Juridische Uitgevers, 2009), 289 dst.
19
Adalah mungkin bahwa Smith menginterpretasi “satu makna yang tepat atau yang benar” dengan cara
yang berbeda ketimbang yang saya lakukan. Interpretasi saya ada dalam teks. Namun ia misalnya dapat
saja berpendapat bahwa suatu makna yang tepat atau yang benar adalah suatu makna yang dalam semua
keadaan adalah sama dan yang juga oleh semua yuris yang berpikirnya masuk akal akan digaris-bawahi
(di sini saya memang mereka-reka saja sesuatu: Saya sendiri tidak dapat membayangkan interpretasi lain
yang masuk akal). Pada interpretasi yang demikian saya akan sepakat dengannya bahwa tidak ada suatu
“makna yang tepat atau yang benar”. Perbedaan pendapat di antara kita hanyalah bersifat verbal saja.
Tetapi Smith tidak menjelaskan ke mana penilaian hukum itu mengarah, jika ia tidak menunjuk pada
ketepatan atau kebenaran. Selama ia membiarkan hal ini, maka penilaian-penilaian yuridik akan tetap
mengawang-awang di langit, dan demikian akan terdapat suatu lubang di dalam teorinya dan karena itu
terdapat lembih banyak hal ketimbang sekadar apa yang secara peristilahan mencari-cari.
20
Dalil itu oleh keseluruhan karya dari Dworkin dapat ditemukan, seringkali secara implisit, tetapi kadang-
kadang secara eksplisit. Misalnya dalam artikel “No Right Answer?”, dalam Law, Morality and Society.
Essays in honour of H.L.A. Hart, eds. P.M.S. Hacker & J. Raz (Oxford: Clarendon Press, 1977), 58 dst.

7
8

apa yang dimaksud oleh Dworkin sendiri, tetapi ihwalnya bagi saya tidak berkenaan
dengan interpretasi tentang Dworkin, melainkan berkaitan dengan masalahnya itu
sendiri. Sebuah jawaban adalah tepat, saya berpendapat, jika ia adalah jawaban yang
paling dapat dipertahankan di antara berbagai alternatif yang dapat dipikirkan. Itu
adalah semuanya, tidak lebih. Jawaban yang tepat sangat dapat diperdebatkan.
Pertentangan adalah selalu dimungkinkan. Tiap pemahaman dalam suatu jawaban
yang tepat dapat oleh orang lain dipandang sebagai suatu kekeliruan. Bahkan juga
saya dapat memahami bahwa saya kemarin telah keliru dan telah mempresentasikan
suatu jawaban yang keliru sebagai tepat. Jika saya membela/mendukung sebuah dalil
tentang suatu jawaban yang tepat, maka hal itu juga tidak mengimplikasikan klaim-
klaim ontologikal.21 Bahkan hal itu tidak mengimplikasikan klaim-klaim tentang
kriteria yang dianut bersana. Hal itu memang mengimplikasikan bahwa terdapat
kriteria yang menurut saya akan harus dianut oleh orang-orang lain. Dan ia
mengimplikasikan bahwa setiap yuris yang berupaya untuk menemukan suatu
jawaban terhadap suatu masalah yuridik akan mencari jawaban yang, berdasarkan
semua argumen-argumen yang relevan, menurut pandangannya paling dapat diterima
atau paling akseptabel. Lagipula: pencarian itu dapat berhasil.
Ketepatan dari suatu jawaban adalah selalu terikat pada konteks, selalu bersifat
kontekstual. Dalam keadaan-keadaan lain dapat ada argumen-argumen lain yang
relevan yang dapat membawa pada kesimpulan yang berbeda. Namun hal itu tidak
meniadakan bahwa dalam pandangan saya, berbeda ketimbang dari pandangan Smith,
undang-undang mempunyai suatu makna yang andal (solid) yang dapat ditetapkan
oleh para yuris. Lebih kuat: hal menetapkan makna tersebut adalah tugas paling
utama dari para yuris. Dalil tentang satu-satunya jawaban yang tepat adalah penting
dalam kerangka dari pokok telaah kita: keilmiahan dari ilmu hukum. Jika para yuris
melepaskan dalil tersebut (sebagaimana mereka dalam kenyataan tidak pernah
melakukannya, namun terjadi dalam sejumlah teori), maka ini berarti bahwa mereka
berpendapat berbagai jawaban yang berbeda-beda sama dapat dipertahankan atau
bagaimana pun bahwa dalam kasus-kasus yang sulit tidak dapat ditentukan yang
mana di antara jawaban-jawaban ini yang tepat. Dengan itu jawaban-jawaban
terhadap pertanyaan yuridik yang diajukan ini kehilangan legitimitas mereka. Sejauh
Stolker menganggap semdilan penyelesaian terhadap masalah wrongful-life semua
sama-sama dapat dipertahankan, maka mereka semua adalah sama baik atau sama
jeleknya. Dalil tentang jawaban yang tepat terhadap hal ini mengandung arti bahwa
kita berdasarkan argumen-argumen pada salah satu dari penyelesaian-penyelesaian itu
berpendapat bahwa kita harus memberikan pengutamaan

21
Wibren van der Burg berpendapat bahwa saya kadang-kadang, khususnya dalam buku saya Machtig
recht (Alpeh aan den Rijn: H.D. Tjeenk Willink, 1986), telah menyalahkan saya telah melakukan klaim-
klaim ontologikal yang demikian itu. Saya di sana khususnya mengatakan bahwa jawaban yang tepat itu
ada (kursivering dari Wibren van der Burg). Ia menempatkan ini berhadapan dengan metode
konstruktivistik dari Dworkin, yang saya ikuti dalam publikasi-publikasi lain, khususnya dalam orasi
saya Praktische rechtsfilosofie yang juga berasal dari tahun 1986 (Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1986).
Mungkin saja dalam publikasi yang disebut pertama saya telah tidak begitu baik mengungkapkannya,
tetapi saya selalu memaksudkan suatu interpretasi konstruktivistik. Lihat tulisan Wibren van der Burg
yang untuk selebihnya sangat bagus, “Debatten rond neutraliteit”, dalam De grenzen van het goede
leven, Rechtsgeleerde opstellen aangeboden aan prof. mr. A. Soeteman, red. O. Tans, W. Veraart, A.J.
Wolthuis en J. Zwart, (Nijmegen: Ars Aequi, 2009), 102, nr. 18.

8
9

Secara umum berlaku bahwa setiap diskusi di antara orang-orang mengimplikasikan


bahwa para peserta diskusi tersebut berpendapat bahwa ada satu jawaban yang tepat.
Sejauh mereka melepaskan hipotesis-kerja ini, maka tidak ada diskusi lagi, paling
jauh suatu pertukaran penilaian-penilaian secara acak.22
Kesimpulan dari sini adalah, bahwa Smith akan melakukan yang lebih baik jika dalil
tentang satu-satunya jawaban yang tepat tidak ditempatkan dalam rongsokan
timbunan besi tua: penolakan terhadap dalil itu akan mewlemahkan klaimnya tentang
keilmiahan dari ilmu hukum.

7. Muatan normatif dari penilaian-penilaian ilmiah hukum.


Sebagaimana sudah dikatakan, dalil tentang satu-satunya jawaban yang tepat tidak
menutup perbedaan pendapat yang fundamental di antara para yuris yang kapabel.
Hal itu menimbulkan suatu masalah baru bagi keilmiahan dari ilmu hukum:
kesimpulan-kesimpulan yang ditarik para yuris, tidak dapat dikontrol secara obyektif:
dua yuris, tiga pendapat. Tentang kriteria-kriteria tertentu para pihak yang
bersangkutan sering kurang lebih sepakat. Tetapi dalam kejadian-kejadian yang sulit,
kreiteria-kriteria tersebut tidak cukup untuk sampai pada suatu hasil yang sama. Tidak
ada criteria yang diterima oleh semua orang untuk menetapkan pendapat yang mana
yang tepat. Saya sudah pernah mengemukakan hal itu tentang muatan normatif dari
penilaian-penilaian ilmiah hukum. Saya sepenuhnya sependapat dengan Smith bahwa
adalah “genit dan dangkal” (par. 2) untuk membandingkan kekurangan pada dapat
diujinya ini dengan muatan teoritikal dari pengamatan-pengamatan empirikal dalam
ilmu-ilmu alam atau dengan teorema ketidak-pastian dari Heisenberg. Dalam ilmu
hukum masalah perbedaan-perbedaan pendapat yang dengan salah satu batu-ujian
tidak dapat diputuskan mempunyai suatu sebab yang lain: hal itu disebabkan (untuk
lebih berhati-hati: turut disebabkan) oleh hal bahwa dalam penetapan penilaian-
penilaian ilmiah hukum maka pengandaian-pengandaian normatif dan asumsi-asumsi
memainkan suatu peranan. Apakah ini menghalangi keilmiahan dari ilmu hukum?
Smith mengatakan bahwa ihwalnya tidaklah demikian. Itu saya sependapat
dengannya, tetapi argumentasinya tidak saya sukai. Ia mengatakan bahwa
sesungguhnya perbedaan-perbedaan pendapat itu hanya mungkin atas dasar dar suatu
kesamaan pendapat yang besar di kalangan para yuris tentang berbagai ukuran dan
nilai-nilai yang relevan untuk hukum. Dalam kasus-kasus yang sulit hanya dipikirkan
secara berbeda tentang pertimbangan di antara mereka.
Kesamaan pendapat yang memaqng dapat dikonstatasi ini (walaupun sulit untuk
secara persis dipaparkan substansinya) tampaknya bagi saya tidak cukup untuk
menyelamatkan keilmiahan dari ilmu hukum. Dalam astrologi mungkin terdapat
kesepakatan tentang makna konstelasi bintang-bintang, matahari bulan dan planet-
planet pada saat seseorang lahir mempunyai pengaruh terhadap karakternya23, tetapi
kita rasanya akan sependapat bahwa hal ini tidak cukup untuk mengangkat astrologi

22
Itu sama sekali tidak berarti bahwa para mitra-percakapan (gesprekpartners) selalu tenang bahwa
mereka tentang satu-satunya jawaban yang tepat ini akan bersepakat. Dapat terjadi bahwa mereka
menerapkan berbagai kriteria penilaian atau bahwa mereka menimbang kriteria yang sama dengan cara
yang agak berbeda dan dengan itu mereka sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang berbeda-beda.
23
Itu pada pokoknya adalah yang disugestikan dalam roman dari Kees ‘t Hart, De keizer en de astrologie
(Kaisar dab astrologi) (Amsterdam/ Antwerpen: Querido, 2008).

9
10

menjadi ilmu. Yang kurang adalah bahwa penilaian yang berkenaan dengannya kita
bersepakat, bertumpu pada suatu basis yang kurang-lebih solid.
Basis tersebut di dalam hukum memang ada: perundang-undangan dan yurisprudensi
tidak dapat diabaikan. Sejauh penilaian-penilaian ilmiah hukum ditentukan oleh basis
tersebut, maka tidak ada masalah. Tetapi Smith telah secara hermeneutical dan tepat
sekali menetapkan bahwa pada interpretasi selalu memunculkan lebih banyak hal.
Halnya yang demikian sudah terjadi dalam kejadian-kejadian yang mudah. Kejadian-
kejadian itu adalah mudah hanya selama dan sejauh kita bersepakat tentang
penyelesaian-penyelesaian terhadap kasus-kasus itu. Segera muncul seseorang yang
dengan argument-argumen yang masuk akal membela suatu penyelesaian yang
berbeda, maka sebuah kejadian yang mudah menjadi kejadian yang sulit. Dalam
kejadian-kejadian yang sulit maka sumber-sumbernya tampak kurang tegas (minder
eenduidig) dan terdapat perbedaan pendapat tentang makna mereka.
Keilmiahan dari ilmu hukum, kata Smith dalam alinea sebelum yang terakhir, terletak
di dalam perdebatan yang presis dan bermakna penuh yang dapat dilaksanakan karena
pernyataan-pernyataan tentang hukum yang berlaku.
Tentang yang terakhir ini saya sepakat dengan Smith, tetapi di sini dalil terdahulunya
tentang penolakan terhadap satu makna yang benar atau tepat menghambatnya:
bagaimana debat tersebut dapat bermakna penuh jika tidak berkenaan dengan
pertanyaan apa penyelesaian yang tepat terhadap suatu masalah yuridik. Jadi bila
ihwalnya tidak berkenaan dengan suatu pencarian kebenaran yuridik (atau
ketepatan).Dan itulah adalah justru apa yang menurut Smith tidak dilakukan oleh para
hermeneutici.
Ihwalnya mungkin saja bahwa dalam pencampur-adukan antara dua perspektif telah
membingungkan Smith. Orang yang memandang tidak sebagai partisipan melainkan
dari luar memandang suatu praktik hukum, melihat bahwa dalam kejadian-kejadian
yang sulit berbagai jawaban dipresentasikan sebagai tepat, semuanya terdukung,
tetapi tanpa memutuskan terhadapnya secara definitif (berbeda ketimbang oleh suatu
machtswoord) jawaban yang mana yang sungguh-sungguh tepat. Dari sudut
perspektif eksternal ini orang dapat mengatakan bahwa tidak terdapat jawaban yang
tepat, setidaknya dalam kejadian-kejadian yang tampaknya sulit. Tetapi perspektif
eksternal ini adalah bukan perspektif dari ilmuwan hukum. Ilmuwan hukum adalah
(biasanya) partisipan, mencari penyelesaian-penyelesaian yang benar (tepat) dan
perdebatannya berkenaan dengan pihak-pihak yang mempertahankan penyelesaian-
penyelesaian yang lain sebagai benar (tepat).
Dalam perdebatan itu nilai-nilai memainkan suatu peranan. Beberapa orang mungkin
saja kurang menghargai hal itu, tetapi ihwalnya tidak dapat lain. Apa yang saya ingin
ajukan atau saya bela adalah bahwa nilai-nilai itu dibuat seeksplisit mungkin. Suatu
rujukan pada sejarah undang-undang atau pada huruf-huruf dari undang-undang dapat
berfungsi untuk menyelubungi penilaian-penilaian yang melandasinya. Kita
seyogianya menata hukum kita sedemikian rupa sehingga kita dapat sebanyak
mungkin mencegah penyelubungan itu.
Tentang apakah ilmu hukum masih dapat disebut ilmiah, adalah suatu persoalan
tentang kualifikasi. Pokoknya adalah penting bahwa tidak ada kartu disembunyikan
dalam lengan baju dan bahwa dalam tiap titik berdiri (pendirian) dipertahankan
sepenuh mungkin secara rasional dapat dikontrol. Hal dapat dikontrol secara rasional

10
11

menciptakan suatu komunitas para yuris (terdidik) yang dapat satu terhadap yahg
lainnya menjalankan suatu perdebatan yang masuk akal, misalnya tentang pertanyaan
apakah baby Kelly seharusnya memperoleh ganti rugi untuk fakta bahwa
keberadaannya yang tidak beruntung disebabkan oleh suatu kesalahan medik, atau
tentang pertanyaan apakah Wilders telah melanggar Pasal 137c Sr.

8. Kesimpulan.
Kebenaran yuridik adalah selalu konstruktivistik, hanya dapat bertumpu pada
argumen-argumen dan hanya dapat berlaku sejauh dan selama argumen-argumen
tersebut tidak terbantah oleh argumen-argumen yang lebih baik yang mendukung
suatu pendirian yang lain. Dengan itu maka tiap kebenaran yuridik adalah dapat
dibantah dan semua pengetahuan yuridik adalah bersifat sementara. Namun hal itu
tidak berarti bahwa tidak terdapat kebenaran yuridik. Pertanyaan apakah ilmu hukum
itu adalah ilmu, tergantung pada uraian pengertian (definisi) dari ilmu. Jauh lebih
penting adalah bahwa ilmu hukum itu adalah suatu perjalanan pencarian pada
kebenaran (ketepatan) yang rasional dan dapat dikontrol.

Abstrak
Artikel ini (dimuat dalam Rechtsfilosofie & Rechtstheorie, No. 3 tahun 2009: 226-
235) adalah adalah sebuah komentar terhadap makalah yang ditulis oleh Carel
Smith yang berjudul “Karakter normatif ilmu hukum”. Smith secara tepat
mengemukakan bahwa studi ilmiah terhadap hukum mempunyai sebuah karakter
hermeneutik. Tetapi interpretasi Smith tentang hermeneutika hukum mencakup thesis
bahwa dalam kasus-kasus yang sulit (hard cases) tidak ada putusan hukum yang
tepat atau yang benar. Ini tampaknya mempunyai implikasi-implikasi negatif bagi
karakter keilmiahan dari studi ilmiah terhadap hukum (ilmu hukum): dalam kasus-
kasus yang sulit penyelesaian apa pun adalah sah (in hard cases any solution goes).
Artikel ini berpendirian, berlawanan dengan Smith, bahwa studi ilmiah tentang
hukum membela thesis jawaban-jawaban yang tepat (right answers thesis) untuk
kasus-kasus yang sulit. Ia juga adalah normatif dalam arti lain: jawaban-jawaban
yuridik, dalam kasus-kasus yang mudah maupun dalam kasus-kasus yang sulit, selalu
mengandaikan suatu interpretasi normatif terhadap sumber-sumber hukum. Ini yang
menyebabkan perbedaan-perbedaan pandangan di kalangan para ahli hukum. Tetapi
hal itu bukanlah halangan terhadap karakter keilmiahan dari ilmu hukum, selama
perdebatan rasional tentang jawaban-jawaban yuridik ini dan nilai-nilai dan asas-
asas yang melandasinya tetap dimungkinkan. Namun, penolakan Smith terhadap
thesis jawaban yang tepat mencegah kemungkinan dari perdebatan rasional yang
demikian itu.
Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dikerjakan oleh B. Arief Sidharta.

Tentang penulis:
Arend Soeteman adalah gurubesar Teori Hukum dan Sejarah Hukum pada Fakultas
Hukum, Vrije Universiteit Amsterdam. Pensiun sejak 2009.

11

Anda mungkin juga menyukai