Anda di halaman 1dari 2

Nama : Caecilia Kartika Marulita

NPM : 1906362925
Program : Reguler
Legal Realism

Pada tahun-tahun awal abad ke dua puluh, laissez-faire adalah kredo yang dominan di
Amerika, yang diasosiasikan dalam lingkup intelektual dengan keterikatan tertentu pada apa
yang disebut “formalism”. Hal ini ditandai dengan penghormatan terhadap peran logika dan
matematika yang diterapkan pada filosofi, ekonomi, dan yurisprudensi, dan sedikit
menghubungkannya dengan fakta kehidupan. Di Amerika pergerakan realism di lakukan oleh
tokoh-tokoh seperti William James and Dewey dalam hal filsafat dan logika, Veblen pada
bidang ekonomi, Beard dan Robinson pada bidang sejarah dan Mr. Justice Holmes dalam
jurisprudence. Mereka berempat adalah penganut mazhab positivisme, anti metafisik, dan
tidak cukup empiris, karena mereka dikaitkan dengan penalaran apriori yang tidak didasarkan
pada studi fakta yang sebenarnya, seperti logika formal Mill dan ketergantungan pada abstrak
"manusia ekonomi," kalkulus hedonis tentang kesenangan dan penderitaan Bentham, dan
pendekatan analitis terhadap jurisprudence yang diturunkan dari Austin. Justice Holmes
melihat bahwa pada faktanya hukum bersifat empiris seperti logika. Ia menekankan pada apa
yang pengadilan dapat putuskan, daripada pada deduksi logis abstrak dari aturan umum, dan
pada premis ideologis yang tidak jelas yang mungkin mendasari keputusan pengadilan,
memusatkan perhatian pada faktor empiris yang mendasari sistem hukum. Pandangan Holmes
tersebut sebenarnya adalah suatu pandangan yang lebih bersifat praktis daripada bersifat
ilmiah, seorang juris dilatih untuk mengerti ekonomi dan statistik, tetapi dia tidak secara jernih
mengindikasikan seberapa objektifnya suatu kebijakan yang dibuat. Ia tidak membuat suatu
logika yang abstrak mengenai suatu kesimpulan dari peraturan umum (general rules).
Frank menegaskan adanya dua kelompok realis, rule-skeptics, demikian dia
menyebutnya, yang menganggap ketidakpastian hukum berada pada prinsipnya dalam aturan
hukum tertulis dan yang berusaha menemukan keseragaman dalam perilaku peradilan yang
sebenarnya, dan fact-skeptics, yang berpendapat bahwa keputusan pengadilan yang tidak dapat
diprediksi terletak terutama pada fakta yang sulit dipahami. Kelompok rule-skeptics,
menurutnya, membuat kesalahan dengan berkonsentrasi pada pengadilan banding, padahal
kegiatan pengadilan persidanganlah yang paling membutuhkan perhatian. Tidak diragukan lagi
ada kekuatan dalam pertikaian ini, karena sudah cukup lazim untuk menemukan bahwa poin-
poin hukum yang bagus sering kali larut sebelum keputusan “berdasarkan fakta,” terlepas dari
fakta bahwa sebagian besar kasus tidak melibatkan hukum sama sekali.
Di dalam sistem common law pada praktiknya pengadilan mempunyai dua
kecenderungan yaitu yang bernama The Grand Style dan The Formal Style. The Grand Style
menyatakan bahwa dalam membuat suatu putusan hakim tidak perlu mengikuti putusan hakim
yang terdahulu, pada prinsip ini menyatakan bahwa preseden bukanlah suatu alat verbal akan
tetapi merupakan suatu generalisasi. Sementara itu, The Formal Style pada suatu pihak
menyatakan bahwa suatu peraturan hukum menentukan kasus, kebijakan itu hanya untuk pihak
legislatif dan bukan untuk pengadilan, The Formal Style tidak mempedulikan fakta sosial.
Aliran realisme ini cukup dikritik karena dianggap mengacuhkan sifat normatif dari peraturan
dan mencari suatu pembenaran dengan pendapat yang bersifat ilmiah. Namun, pandangan
realism mengenai hal tersebut akan dibantah dengan penganut teori Kelsen yang pastinya
mengatakan bahwa hal tersebut adalah diluar ruang lingkup kajian ilmu hukum. Pengikut
Kelsen berkonsentrasi pada kajian tentang norma, sedangkan kaum realis berkonsentrasi pada
kenyataan hukum pada masyarakat.
Singer menyatakan bahwa realisme hukum telah secara fundamental mengubah
konsepsi tentang penalaran hukum dan hubungan antara hukum dan masyarakat. Singer
melihat semua mazhab pemikiran jurisprudence utama saat ini sebagai "produk" dari realisme
hukum. Horwitz mengatakan bahwa jasa realism yang sangat berarti bagi ilmu hukum adalah
menantang pandangan-pandangan lama yang menyatakan bahwa hukum haruslah dipisahkan
dan harus berdiri sendiri dari moral dan politik. Scandinavian realism berusaha
mengesampingkan hukum dari hal-hal yang bersifat metafisik, sebab Scandinavian realism
banyak mengkaji hukum dari sudut pandang psikologi. Bagi pengikut Scandinavian realism,
hukum hanya dapat dijelaskan dalam kerangka fakta-fakta yang dapat diamati, dan studi
tentang fakta-fakta tersebut, yang merupakan ilmu hukum, oleh karena itu, merupakan ilmu
sejati seperti ilmu lainnya yang berkaitan dengan fakta dan peristiwa di alam kausalitas.
Teori Ross menekankan karakter normatif proposisi hukum tetapi lebih memilih istilah
"arahan" atau perintah semu daripada "perintah independen" Olivecrona. Tetapi Ross
menunjukkan bahwa perbedaan harus ditarik antara dua jenis pengetahuan hukum, yaitu
hukum yang sebenarnya berlaku (misalnya, aturan yang terkandung dalam undang-undang),
dan kalimat dalam buku teks di mana hukum yang berlaku dinyatakan. Hanya yang pertama
yang bersifat preskriptif, yang terakhir, sejauh mereka ingin memberikan pengetahuan tentang
apa sebenarnya hukum itu, terdiri dari asersi atau deskripsi, yaitu proposisi bukan tentang
hukum, tetapi tentang hukum.

Anda mungkin juga menyukai