Anda di halaman 1dari 7

RESUME – Antara Ilmu Hukum dan Sosiologi Hukum

Introduction
Dalam bab ini, dibahas beberapa pendekatan yang bukan fokus utama pada
yurisprudensi atau sosiologi hukum, tetapi berperan sebagai perantara. Pertama, kita melihat
yurisprudensi sosiologis dan aliran hukum realis hukum, yang merupakan kombinasi antara
yurisprudensi dan sosiologi. Kemudian, kita berbicara tentang Gerakan Studi Hukum Kritis
yang muncul pada tahun 1977, yang merupakan hasil dari pendekatan sebelumnya dan
mengevaluasi netralitas aparat hukum.

Kemudian, mengenai yurisprudensi feminis sebagai pendekatan yang menjadi


dominan dalam pemikiran hukum kritis. Ada juga dorongan untuk mendengarkan perspektif
lain seperti Hispanik, Afrika-Amerika, dan penduduk asli Amerika Indian. Namun, fokusnya
terutama pada perempuan kulit putih.

Selanjutnya, terkait semiotika hukum, dengan fokus pada pendekatan Peircean dan
Greimasian di Dunia Barat. Meskipun tidak menjadi fokus utama dalam sosiologi hukum,
semiotika hukum dapat berperan sebagai perantara atau bahkan sebagai kekuatan ketiga.

Yurisprudensi Sosiologis dan Realisme Hukum

A. Roscoe Pond: Yurisprudensi Sosiologis


Roscoe Pound adalah tokoh yang dianggap sebagai bapak yurisprudensi sosiologis.
Dia mempengaruhi gerakan hukum pada awal abad ke-20 dengan pandangannya tentang
kontrol sosial. Pound mengambil inspirasi dari sosiolog Edward Ross dan filsuf pragmatis
William James. Bagi Pound, hukum adalah bentuk khusus dari kontrol sosial yang dijalankan
sesuai dengan aturan yang berwenang dan diterapkan melalui proses peradilan.

Pound menekankan peran hukum dalam mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan


menggeser fokus dari analisis doktrin hukum ke analisis dampak sosialnya. Dia
mengadvokasi penggunaan metode ilmu sosial dan praktik dalam menganalisis hukum.
Pound juga menentang penerapan mekanis hukum dan menekankan pentingnya memberikan
keleluasaan kepada hakim dalam menentukan keadilan.

Pound mengembangkan teori tentang kepentingan dalam hukum, yang bisa bersifat
individu, sosial, atau publik. Konflik dalam masyarakat terjadi karena persaingan antara
kepentingan-kepentingan ini. Hukum, menurutnya, harus bertindak untuk menjamin
pemenuhan maksimum kepentingan dalam masyarakat dengan meminimalkan pengorbanan
yang tidak masuk akal.

Selain itu, Pound menciptakan prinsip etika yang mengatur hukum dalam masyarakat
beradab. Prinsip-prinsip etika ini mencakup harapan bahwa orang lain tidak akan dengan
sengaja menimbulkan kerugian, bahwa seseorang dapat mengontrol hasil pekerjaan yang sah,
bahwa pihak lain akan bertindak dengan hati-hati, dan lainnya. Pound juga melihat evolusi
hukum dari bentuk primitif menuju "sosialisasi" hukum yang bertujuan untuk pemenuhan
maksimum kepentingan.

Secara keseluruhan, Pound memiliki pengaruh besar dalam mengubah cara pandang
tentang hukum dan menekankan pentingnya memahami dampak sosialnya dalam masyarakat.
Pendekatannya yang pragmatis dan fokus pada kontrol sosial menjadi landasan bagi
perkembangan yurisprudensi sosiologis dan gerakan hukum realis.

B. Realisme Hukum: Yurisprudensi Realistis


Perkembangan Realisme Hukum, terutama dalam konteks Amerika Serikat antara
tahun 1920 hingga 1940. Realisme Hukum adalah gerakan dalam yurisprudensi yang
dipengaruhi oleh yurisprudensi sosiologis. Ini bukan hanya perspektif atau aliran, tetapi juga
sebuah gerakan yang memiliki berbagai posisi politik, mulai dari yang lebih sentral hingga
yang lebih liberal.

Gerakan Realisme Hukum muncul sebagai respons terhadap kompleksitas sosial dan
meningkatnya intervensi negara, terutama selama Depresi pada tahun 1930-an. Gerakan ini
didorong oleh kebutuhan untuk perubahan dan penyelesaian konflik yang lebih efektif dalam
masyarakat yang semakin kompleks.

Kaum Realis mengkritik pandangan klasik bahwa hukum adalah ilmu pasti dan bahwa
hakim hanya perlu menerapkan aturan secara mekanis pada fakta kasus. Mereka menganggap
bahwa pengambilan keputusan pengadilan didasarkan pada banyak faktor, termasuk faktor
ekstralegal seperti perasaan dan intuisi hakim. Mereka juga meragukan ketepatan dan
ketidakpastian "fakta" dalam proses pengambilan keputusan.

Kaum Realis, khususnya Jerome Frank, mengusulkan pendekatan yang lebih fleksibel
terhadap hukum, di mana hakim harus lebih peduli dengan memberikan keadilan yang adil
daripada menerapkan aturan secara ketat. Mereka juga menyoroti pentingnya perubahan
dalam sistem peradilan, termasuk pendidikan hukum yang lebih praktis, pengembangan
metode uji coba demi juri, dan peninjauan kembali kasus oleh hakim pengadilan.

Selain itu, terdapat perbedaan pendekatan antara tokoh Realisme Hukum seperti Karl
Llewellyn dan Jerome Frank. Llewellyn lebih menekankan kepastian dan prediktabilitas
dalam hukum, sementara Frank menganggap bahwa hal tersebut hanyalah ilusi. Inti dari
gerakan Realisme Hukum adalah meragukan ketepatan hukum formal dan mengakui peran
faktor ekstralegal dalam pengambilan keputusan hukum. Gerakan ini mencoba merespons
tantangan sosial dan ekonomi yang dihadapi masyarakat Amerika Serikat pada masa itu.

Kesimpulannya, Realisme Hukum adalah gerakan dalam yurisprudensi yang muncul


dalam konteks sejarah tertentu, yang mengkritik pandangan klasik tentang hukum dan
mencoba menghadapi kompleksitas sosial dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan
realistis terhadap pengambilan keputusan hukum.
Studi Hukum Kritis / Critical Legal Study (CLS)

Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies, CLS) adalah gerakan dalam ilmu hukum
yang muncul sebagai reaksi terhadap formalisme hukum dan keyakinan bahwa hukum adalah
sistem netral dan objektif yang terpisah dari politik dan realitas sosial. Gerakan ini
berkembang pesat setelah tahun 1970-an dan terus mempertanyakan prinsip-prinsip dasar
hukum, menyoroti berbagai aspek yang dianggap memihak dominasi elit kekuasaan. Dalam
perkembangannya, CLS mengkaji bagaimana hukum digunakan untuk melegitimasi hierarki
sosial dan ekonomi serta berfokus pada konsep legitimasi dan hegemoni.

Para ahli teori CLS skeptis terhadap ide bahwa hukum adalah alat netral dan adil.
Mereka meyakini bahwa hukum sebenarnya merupakan alat politik yang digunakan untuk
mempertahankan kepentingan elit. Mereka menolak perbedaan antara hukum dan politik, dan
bahkan menganggap hukum sebagai penentu utama dalam pengambilan keputusan politik.
Mereka juga menyoroti bagaimana hukum digunakan untuk memlegitimasi dominasi dan
menciptakan sistem kepercayaan yang mempengaruhi kesadaran masyarakat.

Dalam kritik terhadap metode pengajaran hukum yang dianut di sekolah hukum, para
pemikir CLS menyatakan bahwa pendidikan hukum mempersiapkan pengacara untuk
mendukung hierarki sosial. Mereka mengklaim bahwa siswa dihajar dengan doktrin
formalisme hukum yang membatasi pemikiran mereka dan menjauhkannya dari realitas sosial
yang lebih luas.

CLS juga memeriksa sejumlah isu substansial dalam hukum, termasuk hukum
kontrak, hukum pidana, dan hukum perburuhan. Mereka menunjukkan bagaimana hukum
kontrak, misalnya, mencerminkan struktur ekonomi kapitalis dan sering kali tidak memihak
pekerja. Hukum pidana juga menjadi sasaran kritik, karena para ahli teori CLS
menganggapnya sebagai alat untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat, terutama
kelompok marginal. Dalam banyak hal, mereka menegaskan bahwa hukum sering kali
menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, bukan menyelesaikannya.

Dalam konteks kesetaraan gender, CLS juga menyoroti bagaimana hukum telah
memainkan peran dalam subordinasi perempuan. Mereka membahas bagaimana hukum
memisahkan pekerjaan laki-laki dan perempuan serta bagaimana perempuan sering kali
kesulitan dalam mendapatkan kompensasi yang setara dengan kerugian yang mereka alami.

Pada akhirnya, CLS adalah gerakan yang terus mengajukan pertanyaan kritis tentang
sistem hukum dan perannya dalam masyarakat. Ini menekankan pentingnya melihat hukum
bukan hanya sebagai seperangkat peraturan formal, tetapi juga sebagai alat politik yang
memengaruhi kekuasaan, hierarki, dan keadilan dalam masyarakat.

CLS dan Dekontruksi


Hubungan antara Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies, CLS) dan dekonstruksi
berkaitan dengan pandangan Roberto Unger tentang rekonstruksi dalam konteks gerakan
CLS. Gerakan CLS adalah gerakan dalam ilmu hukum yang muncul untuk mengkritik
keyakinan tentang netralitas hukum dan mengungkapkan bagaimana hukum dapat digunakan
untuk mempertahankan dominasi elit. Gerakan ini terinspirasi oleh gagasan dekonstruksi
yang diperkenalkan oleh Jacques Derrida.

Dalam pandangan gerakan CLS, dekonstruksi digunakan untuk kritik mendalam


terhadap doktrin hukum, mengungkap bagaimana argumen hukum menyembunyikan posisi
ideologis. Hal ini juga memperkenalkan metode penafsiran teks hukum yang baru.

Dalam dekonstruksi, ada dua praktik khusus: pembalikan hierarki dan pembebasan
teks hukum dari penulis aslinya. Pembalikan hierarki mengacu pada pengubahan hierarki
yang ada dalam bahasa dan teks untuk mengungkap ketergantungan antara istilah-istilah yang
berlawanan. Pembebasan teks hukum dari penulis aslinya berarti melihat teks hukum sebagai
entitas independen yang memiliki makna yang berkembang seiring waktu.

Roberto Unger, seorang anggota terkemuka gerakan CLS, mengusulkan agenda


rekonstruksi. Ia menciptakan konsep "demokrasi liberal" dan "politik komunikatif" sebagai
cara untuk membawa perubahan sosial yang positif. Dia menawarkan empat hak inti dalam
agenda ini: hak imunitas, hak destabilitasi, hak pasar, dan hak solidaritas.

Yurisprudensi Feminis

Yurisprudensi feminis, atau teori hukum feminis, adalah sebuah gerakan yang berkem
bang pada akhir 1980-an di Amerika Serikat sebagai tanggapan kritis terhadap gerakan Studi
Hukum Kritis. Gerakan ini secara fundamental menantang asumsi-asumsi utama dalam studi
hukum konvensional. Yurisprudensi feminis sangat dipengaruhi oleh berbagai disiplin ilmu, t
ermasuk filsafat, psikoanalisis, semiotika, sejarah, antropologi, dan kritik sastra.

Gerakan hak-hak perempuan di Amerika Serikat dapat dibedakan menjadi empat taha
p yang tumpang tindih. Ini mencakup upaya untuk memperoleh hak suara, akses terhadap pro
perti pribadi dalam pernikahan, hak-hak hukum untuk kontrol kelahiran, masuknya lebih ban
yak perempuan ke sekolah hukum dan praktik hukum, fokus pada pekerjaan, hukum keluarga
dan definisi hukum pemerkosaan, serta kemunduran pada tahap awal seperti kekalahan dari
Amandemen Kesetaraan Hak.

Dalam konteks yurisprudensi feminis, ada pertentangan antara teori kesetaraan dan pe
rbedaan seksual. Pertanyaan mendasar adalah apakah perempuan harus dianggap sama denga
n laki-laki dalam hukum atau apakah ada perbedaan yang "esensial" antara mereka. Pertanyaa
n ini memiliki implikasi dalam kasus-kasus hukum seperti program aksi afirmatif. Beberapa f
eminis mengkritik konsep esensialisme dan menekankan pendekatan "post-esensialis" yang m
engakui bahwa perbedaan selalu relasional dan bukan inheren.
Metode hukum feminis melibatkan "bertanya kepada wanita," mengidentifikasi impli
kasi gender dari aturan hukum, dan meningkatkan kesadaran individu dan kolektif. Ini meliba
tkan integrasi pengalaman konkret dari yang tertindas, refleksi diri, dan teori dalam proses hu
kum. Pendekatan ini bertujuan untuk dekonstruksi dan rekonstruksi aturan hukum yang mem
ajukan emansipasi perempuan.

Yurisprudensi feminis telah menjadi bagian penting dari perjuangan hak-hak perempu
an dan memainkan peran dalam mengungkapkan cara-cara di mana hukum dapat memperkua
t atau membatasi hak-hak perempuan. Ini adalah bidang yang terus berkembang dan berubah
seiring perkembangan pemikiran feminis dan perubahan sosial.

Semiotika Hukum
A. Semiotika Hukum Peircean
Semiotika hukum adalah studi tentang penggunaan prinsip semiotika dalam memaha
mi hukum, yang mulai berkembang sejak tahun 1980-an. Semiotika hukum Ini menggabungk
an pemikiran dari dua tradisi utama, yaitu Eropa dan Amerika, yang menekankan hal-hal berb
eda:

Tradisi Eropa:
1. Analisis Struktural dan Semantik: Menekankan analisis struktur dan makna bahasa hukum,
dengan fokus pada koordinasi makna melalui sumbu paradigmatik dan sintagmatik.
2. Sifat Dualistik Tanda: Mengakui bahwa tanda terdiri dari dua komponen, yaitu signifikan
(gambaran akustik) dan signifikasi (konsep atau gambaran mental).
3. Non-Referensialitas: Menekankan bahwa makna bersifat internal dalam sistem bahasa yan
g merujuk pada sistem bahasa lainnya.
Tokoh-tokoh utama yang terkait dengan tradisi Eropa termasuk Ferdinand de Saussure
R. Jakobson, Algirdas Greimas, Bernard Jackson, dan Eric Landowski

Tradisi Amerika:
1. Pragmatisme: Menekankan sifat kontekstual makna, dengan fokus pada aspek praktis dan p
engalaman bahasa.
2. Teori Referensial Makna: Mengusulkan bahwa tanda pada akhirnya merujuk pada sesuatu
di luar diri mereka untuk mendapatkan makna.
3. Sifat Triadik Makna: Memperkenalkan struktur tiga komponen dalam tanda, yaitu tanda itu
sendiri, interpretan (atau referen), dan objek.
Charles Peirce adalah tokoh kunci dalam tradisi Amerika, dan pendekatannya meneka
nkan pentingnya abduksi, yaitu proses kreatif dalam merumuskan hipotesis untuk menjelaska
n masalah.

Dalam semiotika Peircean, subjek dianggap sebagai "diri semiotik" yang hidup dalam
dunia tanda. Semua pemikiran dan pemahaman diri dimediasi oleh sistem tanda, yang menant
ang pandangan tradisional tentang individu yang terpusat dan sadar diri.
Semiotika Peirce dapat dihubungkan dengan tiga kategori dasar: pertamakali (data ind
rawi yang murni), keduaan (interaksi antara elemen), dan ketigakali (pertimbangan kualitatif
dan etika/moral).

Abduksi dalah konsep penting dalam semiotika Peircean, yang melibatkan proses krea
tif dalam mengembangkan hipotesis penjelasan untuk mengatasi masalah. Ini juga terkait den
gan ide "Pure Play," di mana batasan-batasan ditembus dan koneksi alternatif dipertimbangka
n.

Aplikasi semiotika hukum Peircean mencakup berbagai aspek hukum, termasuk kontr
ak dan properti, komunitas, penalaran hukum, hukum tort, skema klasifikasi hukum, ekspresi
perasaan dalam hukum, keadilan ekonomi, uang, dan estetika kebebasan. Secara singkat, sem
iotika hukum, terutama pendekatan Peircean, memberikan sudut pandang unik dalam memah
ami hukum dengan mengeksplorasi peran tanda, abduksi, dan sifat dinamis makna dalam kon
teks hukum.

Tradisi Eropa dan Amerika memiliki perbedaan dalam kajian semiotika hukum. Berik
ut adalah perbedaan antara kedua tradisi tersebut dalam semiotika hukum:
Tradisi Eropa
- Komunikasi masih lebih dominan dipengaruhi oleh Marxis dan lebih kepada metode kritikal
- Kajian dalam tradisi Eropa lebih banyak membahas mengenai teori tanda dan makna
- Semiotika hukum merupakan kajian baru dalam sosiologi hukum yang perkembangannya di
pengaruhi oleh tradisi semiotika Eropa

Tradisi Amerika
- Tradisi semiotika Amerika lebih banyak membahas mengenai tanda dan makna dalam konte
ks sosial
- Semiotika hukum merupakan kajian baru dalam sosiologi hukum yang perkembangannya di
pengaruhi oleh tradisi semiotika Amerika.

Dapat disimpulkan bahwa perbedaan utama antara tradisi Eropa dan Amerika dalam s
emiotika hukum adalah fokus kajian. Tradisi Eropa lebih banyak membahas mengenai teori ta
nda dan makna, sedangkan tradisi Amerika lebih banyak membahas mengenai tanda dan mak
na dalam konteks sosial. Namun, kedua tradisi tersebut memiliki pengaruh yang sama dalam
perkembangan semiotika hukum

B. Semiotika Hukum Greimasian


Semiotika hukum Greimasian adalah pendekatan yang berfokus pada karya Algirdas
Greimas dan telah dikembangkan oleh para peneliti seperti Bernard Jackson dan Eric Landow
ski. Pendekatan ini berakar dalam tradisi strukturalis dan memusatkan perhatian pada bagaim
ana makna dihasilkan dari struktur yang tersembunyi dalam bahasa.

Salah satu konsep sentral dalam semiotika hukum Greimasian adalah "persegi semioti
ka." Persegi semiotika adalah alat yang digunakan untuk mengungkapkan makna kata-kata m
elalui oposisi biner. Dalam persegi semiotika, terdapat empat sudut yang mewakili istilah-istil
ah yang saling berhubungan dalam sebuah oposisi. Misalnya, dalam oposisi "hitam" versus "p
utih," sudut pertama akan mewakili "hitam," sudut kedua "putih," sudut ketiga "tidak-hitam,"
dan sudut keempat "tidak-putih." Diagonal persegi ini mewakili ketegangan antara dua istilah
utama dan dapat menghasilkan konsep baru.

Penerapan semiotika Greimasian dalam studi hukum telah mengungkapkan bagaiman


a makna dalam hukum dibangun melalui narasi dan struktur berpikir. Model koherensi narasi
oleh Bernard Jackson adalah salah satu contoh penerapan semiotika Greimasian dalam studi h
ukum. Model ini menjelaskan bagaimana pengambilan keputusan dalam hukum tidak selalu
mengikuti logika silogistik murni, tetapi lebih bergantung pada struktur narasi yang tersembu
nyi.

Dalam konteks hukum, semiotika Greimasian membantu dalam memahami bagaiman


a keputusan juri dipengaruhi oleh narasi yang diajukan dalam persidangan dan bagaimana nar
asi tersebut berhubungan dengan pengetahuan sosial konvensional yang dimiliki oleh juri. Ko
herensi narasi menjadi penting dalam menjelaskan disposisi kasus oleh juri, dan narasi yang b
ertentangan dengan pengetahuan konvensional lebih mungkin dipandang sebagai tersangka.

Kesimpulannya, semiotika hukum Greimasian adalah pendekatan yang membantu dal


am menganalisis bagaimana makna dihasilkan dalam hukum melalui struktur narasi dan peng
ambilan keputusan. Pendekatan ini melibatkan konsep seperti persegi semiotika dan model ko
herensi narasi untuk memahami bagaimana hukum beroperasi dalam konteks bahasa dan mak
na.

Anda mungkin juga menyukai