Anda di halaman 1dari 5

RESUME BUKU

“Sosiologi Hukum:Kajian Empiris Terhadap Pengadilan” Dan


“Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis)”

Disajikan sebagai tugas kuliah Sosiologi Hukum Pada Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
(Dosen : Prof. Dr. Musakkir, S.H., M.H)

Oleh:
Andi Hafid Aj (B012211017)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PASCASARJANA UNIVERSITAS


HASANUDDIN MAKASSAR
2021
Resume Buku Pertama Halaman 7-12
Judul : Sosiologi Hukum:Kajian Empiris Terhadap Pengadilan
Pengarang : Prof. Dr. Achmad Ali , S.H, M.H.
: Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H.
B. Tiga Pendekatan dalam Ilmu hukum
Terdapat perbedaan karakteristik antara kajian empiris dalam hukum,
khususnya kajian sosiologi hukum dengan kajian ilmu hukum normatif. Untuk
lebih memahami hal ini, penulis utamanya mengemukakan adanya tiga jenis kajian
dalam ilmu hukum, yaitu:
1. Beggriffenwissenschaft: ilmu tentang asas-asas yang fundamental di bidang
hukum. Termasuk di dalamnya mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum.Filsafat
Hukum, Logika Hukum, dan Teori Hukum (untuk pasca sarjana).
2. Normwissenschaft: ilmu tentang norma. Termasuk di dalamnya sebagian
besar mata kuliah yang diajarkan fakultas hukum Indonesia, seperti:Hukum
Pidana, Hukum Perdata, Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usah Negara,
dan Hukum Internasional.
3. Tatsachenwissenschaft: ilmu tentang kenyataan. Termasuk di dalamnya
Sosiologi Hukum, Hukum dan Masyarakat, Antropologi Hukum, Psikologi
Hukum, dan lain-lain
Klasifikasi lain tentang pendekatan terhadap hukum dikemukakan oleh
Gerald Turkel (1996: 10) bahwa:
1. Pendekatan Moral terhadap hukum
2. Suatu pendekatan dari sudut ilmu hukum
3. Suatu pendekatan sosiologis terhadap hukum
Juga dapat dikatakan bahwa secara garis besar ada tiga pendekatan ilmu hukum,
yaitu:
a. ius constituendum: the law as wahat ought to be, atau filsafat hukum
b. ius constitutum: the law as what it is in the book(s) atau hukum positif
c. ius operatum: the law as what it is in society atau sosiologi hukum dan
kajian empiris lain
Ketika kalangan filosofis memandang hukum sebagai sesuatu yang
seharusnya ada dan kalangan sosiologis memandang hukum sebagai apa yang
bekerja di dalam kenyataan masyarakat, maka tentu saja kaum positivis enggan
untuk menerima keduanya, karena mereka lebih memandang hukum seperti yang
ada dalam perundang-undangan. Seperti yang pernah dikemukakan oleh salah satu
eksponen positivisme. John Austin:
“studi tentang sifat hukum seharusnya merupakan studi tentang hukum yang benar-
benar terdapat dalam sistem hukum, dan bukan hukum yang seharusnya ada dalam
norma-norma moral”
Selaras dengan itu Lawrence M. Friedman 919975: vii) mengemukakan
bahwa hukum yang normatif adalah cara pandang pengacara yang memandang
hukum dari dalam sistem hukum itu sendiri.
Sedangkan Harry C. Bredemeier (Vilhem Aubert, 1975: 52-68) lebih
memerinci kajian sosiologi itu dengan masih membedakan antara apa yang ia
namakan sosiology of the law dengan apa yang ia namakan sebagai sociology in
the law. Bagi Bredemeier penting untuk membedakan antara dua jenis usaha yang
menghubungkan antara sosiologi dan hukum yang pertama adalah yang
ditunjukkan melalui istilah sosiologi tentang hukum sedang lainnya dengan istilah
sosiologi di dalam hukum.

Resume Buku Kedua Halaman 18-21

Judul : Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis)

Pengarang : Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H.

A. KESULITAN PENDEFENISIAN HUKUM

1. Kesulitan dari Sifat Intern Hukum


Pandangan yang dikemukakan oleh Radcliff-Brown yang menyatakan in this
sense some simple sicieties have no law merupakan sesuatu yang tidak dapat kita
terima. Adapun pandangan Prof. van Apeldoorn lebid dapat kita terima, seperti
dinyatakan berikut ini:
“Hukum terdapat di seluruh dunia, di mana terdapat suatu masyarakat manusia”
Juga pandangan Logemann yang menyatakan:
“Pandangan umum telah menyepakati bahwa bagaimanapun hukum itu ada
hubungannya dengan masyarakat”Namun kemudian menimbulkan pertanuaan
baru, yaitu hukum itu apa ?
Mr. Dr. I Kisch mengemukakan:
“Karena hukum tidak dapat ditangkap oleh pancaindra, maka sulit untuk membuat
suatu defenisi tentang hukum yang dapat memuaskan orang pada umumnya”
Oleh karena itu ,ucapan Emmanuel Kant beberapa abad silam masih
dianggap relevan. Ia menyatakan:Noch suchen die juristen eine definition zu ihrem
begriffe vont recht. (Tidak ada seorang yuris pun yang mampu membuat satu
defenisi hukum yang tepat) Selain itu Lloyd (Curzon, 1979: 24-28) menyatakan:
“Meskipun telah banyak tinta para yuris yang habis digunakan di dalam usaha
untuk membuat suatu defenisi hukum yang dapat diterima di seluruh dunia, tetapi
hingga kini, hanya jejak kecil dari niat itu yang dapat dicapai”
2. Kesulitan dari Segi kata-kata
Terlepas dari penyebab intern, yaitu keabstrakan hukum dan keinginan
hukum untuk mengatur hampir seluruh kehidupan manusia, kesulitan
pendefenisian juga bisa timbul dari faktor ekstern hukum, yaitu faktor bahas itu
sendiri. Jangankan hukum yang memang bersifat abstrak, sesuatu yang konkret
pun sulit untuk didefinisikan dengan hanya satu defenisi. Hal ini telah
dikemukakan oleh Paton (195:51) terlihat jelas bahwa persoalan pendefenisian
tidaklah sesederhana seperti apa yang biasa dipikirkan orang. Secara logis, terlebih
dahulu harus dicari genus dari persoalan yang ingin didefenisikan dan dicari pada
genus yang mana res itu termasuk.
Akhirnya Paton menuliskan bahwa pengujian yang sesungguhnya terhadap
suatu defenisi adalah apakah defenisi tersebut bermanfaat bagi tujuan-tujuan
tertentu yang ada dalam pikiran penulisnya. L.B Curzon (1979:24-28)
mengemukakan pendapat yang melihat kesulitan pendefenisian hukum terletak
pada segi kata-kata, yaitu sebagai berikut.
Curzon tampaknya melihat kesukaran-kesukaran yang timbul akibat
beberapa sifat spesifik kata-kata yang ingin didefenisikan di bisang hukum.
Beberapa sifat khusus yang menyulitkan pendefenisian menurut Curzon di atas
ialah sebagai berikut.
a. Penggunaan kata-kata yang sangat dibatasi.
b. Penggunaan kata-kata dalam konteks yang sangat spesifik.
c. Kecenderungan setiap orang untuk memberi arti yang berbeda terhadap
suatu hal. Sebagai contoh, adanya perbedaan arti suatu istilah yang
digunakan dalam “ilmu hukum” dengan arti kata atau istilah yang digunakan
dalam pergaulan sehari-hari di luar dunia ilmu hukum.
d. Sejarah perubahan di dalam konteks hukum sendiri. Sebagai contoh, Curzon
mengemukakan adanya perbedaan arti tentang istilah “burglary”(pencurian
dengan membongkar) sebelum dan sesudah diundangkan peraturan tentang
pencurian tahun 1968.

Anda mungkin juga menyukai