PENGEMBANAN HUKUM.1
Oleh: Prof. Dr D.H.M.Meuwisen.
1. Pembentukan Hukum.
Pembentukan hukum adalah penciptaan hukum baru dalam arti umum. Pada umumnya hal
itu berkaitan dengan perumusan aturan-aturan umum, yang dapat berupa penambahan atau
peubahan aturan-aturan yang sudah berlaku. Di samping itu, pembentukan hukum juga dapat
ditimbulkan dari keputusan-keputusan konkret (hukum preseden atau yurisprudensi). Juga
dapat terjadi berkenaan dengan tindakan nyata: dengan suatu tindakan “yang hanya terjadi
sekali saja” (einmalig) yang dilakukan oleh pihak yang berwenang atau organ-organ pusat
berdasarkan konstitusi (pemerintah dan parlemen), misalnya, yang menimbulkan perubahan
fundamental pada hukum tata negara tanpa perubahan undang-undang atau Undang Undang
Dasar. Ini bukan hukum kebiasaan, melainkan lebih merupakan sejenis hukum preseden yang
bukan keputusan hakim (niet rechterlijke-precedentenrecht). Contoh: tindakan Presiden
Soekarno tahun 1945 yang mengangkat Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri yang
bertanggung-jawab pada K.N.I.P. (yang menjalankan fungsi DPR), dan dengan tindakan itu
mengubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer tanpa
mengubah konstitusi (UUD-1945). Namun, perundang-undangan adalah jenis pembentukan
hukum yang paling penting dan juga paling modern. Di dalamnya diciptakan suatu model
perilaku abstrak, yang di kemudian hari diharapkan dapat dipergunakan untuk dapat
menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan konkret. Dengan model-model itu
dimunculkan tipe-tipe konflik tertentu, dan dengan itu orang menstandarisasikan
penyelesaian-penyelesaian tertentu. Semua itu dilakukan dengan merumuskan aturan-aturan
abstrak dan umum bagi sejumlah persoalan. Pada stadium berikutnya diperlukan
1
Disadur dengan perubahan urutan penampilan pokok-pokok pikiran yang tercantum dalam karya D.H.M.
Meuwissen, VIJF STELLINGEN OVER RECHTSFILOSOFIE (terdapat dalam EEN BEELD VAN
RECHT, ARS AEQUI, 1979: 22–32) berupa kumpulan lima dalil yang masing-masing diberi penjelasan
secara tersendiri. Dengan perubahan urutan penampilan dalam saduran ini, maka artikel tersebut berubah
menjadi sebuah esai biasa dengan alur jalan pikiran yang “mengalir”.
2
Perkataan “pengembanan” di sini digunakan dalam arti: memikul atau menyandang tugas dan kewajiban
untuk melaksanakan, menjalankan, mengurus, memelihara, mengolah, dan mengembangkan suatu jenis
kegiatan tertentu, dan secara moral bertanggung-jawab untuk itu.
1
2
2. Penemuan Hukum.
Pada penemuan hukum yang menjadi persoalan adalah hal konkretisasi dari pembentukan
hukum. Penemuan hukum adalah proses kegiatan pengambilan keputusan yuridik konkret
yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi suatu situasi individual (putusan-
putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh notaris, dsb.). Dalam arti tertentu,
penemuan hukum itu adalah pencerminan pembentukan hukum. Jika pada pembentukan
hukum yang terjadi adalah menetapkan hal yang umum yang berdasarkannya pada saatnya
dapat dijabarkan hal yang khusus, maka pada penemuan hukum hal yang khususlah yang
mengemuka (dimunculkan terlebih dahulu), namun pada saat yang bersamaan dapat
dikonstatasi dampak keberlakuan secara umum. Dalam hal yang terakhir kita berbicara
tentang preseden atau pseudo perundang-undangan. Berbeda halnya dengan pembentukan
hukum, kekhasan dari penemuan hukum telah mendapat perhatian (pembahasan) yang luas
dalam teori hukum dan filsafat hukum. Jumlah publikasi tentang metodologi penemuan
2
3
hukum sudah sulit untuk dihitung lagi. Namun, tentang teori penemuan hukum dapat kita
amati adanya perkembngan tertentu. Jika dahulu (yakni dalam abad 19) perhatian terutama
dicurahkan pada keakhlian interpretasi dan menguraikan (menjelaskan), pada masa kini titik
berat lebih banyak diletakkan pada penemuan suatu argumentasi yang rasional
dipertanggung jawabkan. Kita sudah sampai pada pemahaman bahwa penafsiran undang-
undang atau penerapan hukum adalah lebih dari sekadar hanya menerapkan suatu silogisme
secara formal dan benar. Masalahnya terletak pada menemukan dan menyusun premis-
premis dari suatu penalaran. Kini sudah tidak cukup lagi bahwa penalaran dijalankan secara
logikal benar (dan dengan demikian sah), melainkan juga untuk pemilihan premis-premis
harus dijalankan dengan memberikan argumen-argumen yang rasional (sejauh hal itu
dimungkinkan). Dalam hubungan ini maka dibedakan antara heuristika dari suatu keputusan
yuridikal dan legitimasi terhadapnya. Dengan yang pertama dimaksudkan sejarah terjadinya
secara faktual dari keputusan tersebut, dengan yang kedua pertanggungjwaban rasional (jika
dikehendaki: pertanggungjawaban normatif) dari keputusan tersebut. Memisahkan heuristika
dn legitimasi dalam waktu adalah keliru: dua-duanya berjalan saling menutupi, yang berarti
bahwa baik pada tahap sebelum pengambilan keputusan (ex ante) maupun pada tahap
sesudahnya (ex post), faktor-faktor faktual (psikologis dan kemasyarakatan) dan
argumentasi-argumentasi rasional memainkan peranan. Namun titik beratnya terletak, baik
ex ante maupun ex post, pada argumentasi rasional. Sebuah keputusan hukum konkret yang,
di hadapkan forum ilmiah hukum dan di hadapan para pihak yang terkait pada keputusan itu,
tidak mampu mengembangkan argumentasi yang dapat diterima, seyogiannya tidak berlaku
(tidak diberlakukan) sebagai hukum positif. Pemahaman yang demikian itu di dalam ajaran
metode-yuridik dan teori argumentasi telah dikembangkan secara mendasar. Terkait padanya
juga muncul ke permukaan sifat khas dri apa yang dinamakan berpikir yuridik.
Sesungguhnya “berpikir yuridik” itu tidak ada, artinya tidak ada jenis berpikir yang terpisah
(yang lain dari yang lain). Seorang yuris menalar dan berpikir (semoga) sama baik atau
jeleknya seperti yang lain-lain. Hanya struktur dari konteks, yang di dalamnya seorang yuris,
yang terlibat dalam pembentukan hukum, berargumentasi adalah spesifik (khas).
Kespesifikan ini terletak dalam struktur dari pertanggung-jawaban di hadapan forum yang
relevan. Untuk suatu pemahaman tentang kekhasan dari penemuan hukum maka tradisi
hermeneutika yang sudah sangat tua adalah sangat penting. Sebuh keputusan hukum selalu
mengimplikasikan hal penetapan suatu hubungan tertentu antara kaidah dan fakta, yakni
antara momen-momen normatif (dari undang-undang misalnya) dan momen-momen faktual
(dari situasi konkret misalnya). Momen-momen ini saling mempengaruhi, antara keduanya
terdapat semacam hubungan sirkular (lingkaran tak terujung pangkal). Fakta-fakta
dikualifikasi dari sudut kaidah, dan kaidah diseleksi berdasarkan kejadian (fakta-fakta).
Martin Kriele mengatakan: ada suatu “Hin-und Herwandern des Blicks” yang terus
menerus. Kaidah dan fakta mewujudkan pra-pemahaman (Vorverständnis) bagi masing-
masing, yang menentukan pada penafsiran dan penilaian momen yang lain. Sekali lagi kita
melihat bahwa dalam lingkungan pengembanan hukum maka kaidah dan fakta justru tidak
boleh dipisahkan satu dari yang lain.
3. Bantuan Hukum
Tentang bantuan hukum dapat dijelaskan secara singkat. Sebuah uraian yang terkenal
berbunyi: “Hal pemberian pelayanan jasa-jasa secara terorganisasi oleh para akhli dalam
3
4
1. Ilmu-ilmu Hukum.
Hukum adalah gejala kemasyarakatan yang mempunyai berbagai aspek dan dimensi
yang luas dan majemuk. Karena itu, hukum secara ilmiah dapat dipelajari dari beberapa
sudut pandang. Berdasarkan tujuan dan sifatnya, ilmu-ilmu hukum dapat dibedakan ke
dalam dua jenis, yakni Ilmu Hukum Normatif dan Ilmu-ilmu Hukum Empirik. Ilmu hukum
normatif disebut Ilmu Hukum Praktikal atau Ilmu Hukum Dogmatik. Ilmu Hukum Empirik,
yakni yang mempelajari hukum sebagaimana ia tampak sebagai fakta dan tampak dalam
sikap dan perilaku warga masyarakat yang dapat diamati secara empirik, terdiri atas: Sejarah
Hukum, Perbandingan Hukum, Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, dan Psikologi
Hukum.
4
5
putusan hakim. Jenis ilmu hukum ini yang terutama diajarkan pada fakultas hukum.
Pendidikan hukum diarahkan untuk mengajarkan keakhlian hukum kepada para
mahasiswa agar mereka dapat mengemban hukum di dalam praktek secara bertanggung-
jawab. Ilmu hukum praktikal adalah bentuk pengembanan hukum teoretikal yang benar-
benar “praktikal”, artinya relevan untuk pembentukan hukum dan penemuan hukum.
Pandangan-pandangan yang berpengaruh dalam kepustakaan hukum sering secara
langsung menentukan, dalam arti apa hukum diterapkan dalam praktek hukum. “Ajaran
yang berpengaruh” dalam banyak hal dipandang sebagai sumber hukum. Tidaklah tepat –
setidak-tidaknya sejauh yang menyangkut ilmu hukum praktikal – untuk memisahkan
secara tajam antara ilmu dan praktek. Hal memaparkan (het beschrijven) dalam ilmu dan
hal mewajibkan (het voorschrijven) di dalam praktek berjalan saling berimpitan (Paul
Scholten dalam Algemeen Deel).
b. Sejarah Hukum.
Sejarah hukum adalah bentuk ilmu hukum yang mempelajari gejala-gejala hukum dari
masa lampau (artinya hukum positif yang dahulu berlaku). Ia mencoba memaparkan dan
menjelaskan agar dapat dipahami hukum positif yang berlaku di masa lampau itu.
Mengenai objek dan metodenya kurang lebih sama dengan apa yang berlaku dalam ilmu
sejarah pada umumnya. Pertentangan antara penjelasan kausal (dari ilmu-ilmu alam,
Naturwissenschaften) dan pemahaman yang mengindividualisasi (dari
Geisteswissenschaften atau ilmu-ilmu kerokhanian) tentang gejala-gejala, berlaku juga
dalam sejarah hukum. Secara tidak langsung, sejarah hukum penting untuk
“pemahaman” yang lebih baik tentang hukum yang berlaku (sekarang). Dalam arti ini ia
dapat dipandang sebagai termasuk ke dalam ilmu-ilmu bantu untuk ilmu hukum praktikal
atau ilmu hukum dogmatik.
c. Perbandingan Hukum.
Perbandingan hukum mempelajari berbagai sistem hukum positif yang berlaku satu di
samping yang lain pada berbagai negara atau lingkungan hukum. Isi dan bentuk dari
berbagai sistem hukum positif itu saling diperbandingkan. Persamaan-persamaan dan
perbedaan-perbedaan dicari dan dipaparkan. Untuk itu maka perlu sekali bahwa hukum
positif yang akan diperbandingkan itu dipahami terlebih dahulu. Berkenaan dengan
perbedaan kultur (yang mendasari atau melatar-belakangi masing-masing hukum positif
tersebut) yang besar, hal itu kadang-kadang menimbulkan kesulitan. Perbandingan
hukum dengan sendirinya memerlukan bantuan antropologi atau sosiologi. Berdasarkan
keadaan yang nyata ada, perbandingan hukum berupaya menjelaskan perbedaan-
perbedaan yang ada dalam berbagai hukum positif. Dalam hal itu ia dekat pada sosiologi
hukum. Perbandingan hukum adalah ilmu yang baru yang belum berkembang. Ia harus
dibedakan dari (jangan dikacaukan dengan) metode perbandingan, yang merupakan
suatu bentuk penanganan hukum. Perbandingan hukum adalah ilmu bantu untuk ilmu
hukum praktikal.
d. Sosiologi Hukum.
Sosiologi hukum pada saat sekarang sedang berkembang pesat. Ilmu ini terarah untuk
menjelaskan hukum positif yang berlaku (artinya isi dan bentuknya yang berubah-ubah
5
6
menurut waktu dan tempat) dengan bantuan faktor-faktor kemasyarakatan. Kita telah
belajar untuk melihat bahwa hukum bukanlah gejala yang netral, yang semata-mata
merupakan hasil rekaan bebas manusia, tetapi bahwa ia berada dalam jalinan yang sangat
erat dengan masalah-masalah dan perkembangan kemasyarakatan. Hukum dapat dengan
dua cara dihubungkan dengan faktor-faktor kemasyarakatan. Pada satu sisi, hukum itu
sendiri dapat dijelaskan dengan bantuan faktor-faktor kemasyarakatan; pada sisi lain,
gejala-gejala kemasyarakatan dapat dijelaskan dengan bantuan hukum (bandingkan Hans
Albert). Dalam dua hal itu maka hukum dan gejala kemasyarakatan diletakkan pada
suatu tataran yang sama. Dalam sosiologi hukum, yang dimaksud dengan “menjelaskan”
adalah memberikan penjelasan kausal konform dengan pandangan-pandangan yang
berpengaruh dalam ilmu-ilmu empirik. Jadi, menurut sebagian besar sosiolog hukum,
sosiologi hukum itu adalah ilmu empirik, yang setia hanya pada pemaparan fakta-fakta
(J. Griffiths). Sementara itu terdapat juga aliran-aliran lain, misalnya yang berasal dari
lingkungan fenomenologi atau teori kritikal (Frankfurter Schule) mengembangkan
model-model yang lebih bernuansa. Karena itu, dapat diharapkan akan terjadinya
“Methodenstreit” (perdebatan tentang metode) yang hangat dalam lingkungan sosiologi
hukum.
e. Psikologi Hukum.
Psikologi hukum adalah cabang ilmu hukum yang paling muda. Tujuannya adalah untuk
mengerti atau memahami hukum positif dari sudut pandangan psikologi. Psikologi dapat
memberikan sumbangan dalam tiga arti. Pertama dari sudut psikoanalisis (Freud dan
pengikut-pengikutnya). Gejala-gejala hukum dan negara dengan cara ini dapat dengan
cara yang interesan atau menarik diherinterpretasi (Fromm, Marcuse, Ehrenzweig).
Kedua, psikologi humanistik. Dari sudut itu mungkin dapat diperoleh pengertian yang
lebih dalam tentang cara “kesadaran hukum” atau “perasaan hukum” berfungsi pada
manusia. Terakhir, psikologi perilaku (empirik). Di dalamnya perilaku yang diamati
dapat dengan pertolongan model penjelasan kausal dipahami dari sudut konstelasi
tertentu. Model ini dapat diterapkan pada hukum (misalnya perilaku para hakim,
advokat, pembentuk undang-undang). Psikologi hukum di kemudian hari akan berperan
penting. Pada masa kini ia hanya memainkan peranan kecil dalam bidang hukum pidana
(kesalahan, pertanggung-jawaban, kebebasan). Namun, di dalamnya perlahan-lahan
tejadi perubahan.
2. Teori Hukum.
Teori hukum berada pada tataran abstraksi yang lebih tinggi ketimbang ilmu hukum; ia
mewujudkan peralihan ke filsafat hukum. Teori hukum merefleksi objek dan metode dari
berbagai bentuk ilmu hukum. Karena itu, ia dapat dipandang juga sebagai suatu jenis filsafat
ilmu dari ilmu hukum. Ia misalnya mempermasalahkan pertanyaan apakah sosiologi hukum
atau ilmu hukum praktikal harus dipandang sebagai ilmu empirik yang bersifat deskriptif
atau tidak. Uraian pada sub. 1. di atas juga termasuk suatu uraian yang bersifat teori hukum.
Terutama berkenaan dengan sifat khas dari ilmu hukum praktikal dalam teori hukum
terdapat perbedaan pandangan yang besar. Tentang hal itu maka kontribusi pada nomor Ars
Aequi ini memperlihatkan contoh-contohnya (bandingkan Degenkamp–Heijnen, Ter Heide,
De Wild, Vranken). Menurut pandangan saya, momen-momen empirikal, normatif dan
6
7
hermeneutikal dalam ilmu hukum praktikal harus dibedakan secara cermat. Bagi saya
tidaklah tepat, jika disiplin ini dipandang sepihak, apakah hanya sebagai ilmu empirik, atau
apakah hanya sebagai ilmu normatif, atau hanya sebagai suatu bentuk dari hermeneutika.
Ilmu hukum praktikal memperlihatkan dari semua ilmu-ilmu ini beberapa ciri. Teori hukum
modern banyak mengambil hasil-hasil dari filsafat ilmu modern. Itu sebabnya ada
kecenderungan untuk menonjolkan pandangan ilmu empirik. Juga nilai penting yang ia
berikan pada teori sistem dan pada hubungan antara hukum dan logika, harus dipahami
dengan latar belakang ini. Sementara itu, teori hukum juga mempunyai tugas lain; ia juga
merefleksi ciri khas dari pengembanan hukum praktikal. Ia mempelajari makna dan struktur
dari pembentukan hukum dan penemuan hukum. Teori hukum menjadi ajaran metode
yuridik. Sudah sejak lama penemuan hukum dan khususnya seni interpretasi mendapat
perhatian utama para pengemban teori hukum dan ilmu hukum praktikal. Untuk itu lihat
karya-karya standar dari Paul Scholten, Karl Larenz dan Fikentscher. Dalam teori hukum
modern, maka ajaran metode dan seni interpretasi ini telah berkembang menjadi suatu teori
argumentasi yuridik yang penuh. Baik filsafat klasik (Topika dan Retorika dari Aristoteles)
maupun filsafat modern telah memberikan sumbangan pada perkembangan itu. Terutama
pada titik ini, teori hukum modern telah berkembang pesat (Perelman, Visser ’t Hooft, De
Wild).
3. Filsafat Hukum.
Filsafat hukum adalah filsafat. Karena itu, ia merenungkan semua masalah fundamental
dan masalah marginal yang berkaitan dengan gejala hukum. Menurut G.E. Langemeijer,
masalah marginal adalah masalah yang jika dapat dijawab tidak menimbulkan pertanyaan
baru, yang dapat terjadi karena jawaban tersebut memang sudah sepenuhnya tuntas, atau
karena sudah jelas bahwa jawaban yang lebih tuntas tidak mungkin dicapai.
a. Filsafat.
Filsafat adalah refleksi tentang landasan dari kenyataan. Filsafat adalah kegiatan
sistematikal yang hanya dapat merasa puas menerima hasil-hasil yang timbul dari kegiatan
berpikir itu sendiri. Filsafat tidak membatasi diri hanya pada gejala-gejala indrawi, fisikal,
psikhikal atau kerokhanian saja. Ia tidak hanya mempertanyakan “mengapa” dan
“bagaimana”-nya gejala-gejala ini, melainkan juga landasan dari gejala-gejala itu yang lebih
dalam, ciri-ciri khas dan hakikat mereka. Ia berupaya merefleksi hubungan teoretikal, yang
di dalamnya gejala-gejala itu dimengerti atau dipikirkan. Dalam hal itu, maka filsafat tidak
akan terlalu lekas puas dengan suatu jawaban. Setiap dalil filsafat harus terargumentasikan
atau dibuat dapat dipahami secara rasional. Syarat-syarat apa yang harus dipenuhi untuk
memungkinkan bahwa saya, sebagai manusia, mengetahui sesuatu tentang kenyataan?
Bahwa saya dapat menginginkan suatu? bahwa saya dapat melakukan perbuatan? Bagaimana
kita dapat menilai tindakan dan perasaan kita? dari mana kita memperoleh kriteria kita
tentang “baik” dan “buruk”, tentang “adil” dan “tidak adil”? Tentang masalah-masalah
marginal yang demikian itulah filsafat berupaya mengembangkan pemahaman rasional.
Filsafat adalah kegiatan berpikir, artinya dalam suatu hubungan dialogikal dengan yang lain
ia berupaya merumuskan argumen-argumen untuk memperoleh pengkajian. Filsafat menurut
hakikatnya bersifat terbuka dan toleran. Filsafat bukanlah kepercayaan atau dogmatika.
7
8
8
9
Pemikiran Plato, Thomas Aquinas atau Marx sangat berbeda yang satu dari lyang ainnya.
Situasi historikal dapat banyak “menjelaskan” perbedaan-perbedaan itu. Jadi, filsafat itu
menurut hakikatnya bersifat historikal. Pemahaman ini tidak boleh membawa kita ke suatu
historisme atau relativisme, artinya sampai pada kesimpulan bahwa semua pendirian
kefilsafatan adalah “sama”, bahwa filsafat yang satu tidak lebih “berharga” dari yang lainnya,
bahwa kebenaran itu bagaimanapun tidak dapat diketahui, dst. Sebab, jika demikian maka
kita akan lupa bahwa setiap filsafat berpretensi menyatakan dengan salah satu bentuk
keberlakuan secara umum. Ini berlaku juga bagi kaum relativis sendiri. Setiap filsuf memiliki
pretensi bahwa ia telah merumuskan suatu keyakinan (pendirian) yang juga bagi orang lain
meyakinkan, bahwa dengan demikian juga harus diterima oleh orang lain. Justru sehubungan
dengan pretensi itu ia merumuskan argumen-argumen, ia memberikan dasar-dasar dan
alasan-alasan untuk pendiriannya dan ia mengharapkan, dalam suatu diskusi terbuka dengan
orang lain, telah mengungkapkan “kebenaran”. Tanpa pretensi universalitas ini maka
kegiatan berfilsafat tidak memiliki makna; tanpa pretensi itu maka setiap argumentasi
rasional akan kehilangan landasannya. Karena itu, historisitas dari filsafat bukanlah
relativisme. Ia hanya berarti bahwa sejarah filsafat adalah esensial untuk filsafat. Mungkin
saja situasi-situasi historikal (dan motif-motif) berbeda-beda, namun cita-cita universalitas
yang dimaksud bersifat umum, artinya: cita-cita universalitas itu mengatasi
(mentransendensi) waktu; kemampuan refleksi dan berpikir adalah ciri khas pada semua
manusia pada setiap waktu. Itu sebabnya pemikiran Plato dan Aristoteles bagi kita masih
berpengaruh (masih merupakan unsur yang membangun), ia melatih pikiran kita dan
mungkin memberikan kepada kita suatu wawasan (visi) terhadap masalah-masalah
kemanusiaan yang dapat kita olah dalam suatu filsafat modern. Filsafat tanpa sejarah filsafat
tidak dapat dipertanggungjawabkan dan juga arogan (jumawa). Bukankah kita dapat
berpretensi bahwa kita sendiri akan dapat melakukan semuanya itu, tanpa dapat mengetahui
suatu kemungkinan keberlakuan secara umum yang dilihat oleh filsuf lain. Kita juga melihat
bahwa tidak ada filsuf besar yang mengabaikan studi sejarah filsafat secara mendasar.
Filsafat merefleksi berbagai masalah dan persoalan. Dalam perjalanan sejarah, beberapa
tema pokok telah mencapai kristalisasi, misalnya tentang hakikat hal ada (metafisika),
struktur pengetahuan (teori pengetahuan, epistemologi), bentuk-bentuk berpikir yang sah
(logika), penilaian perilaku sebagai baik atau buruk (etika), hakikat keindahan (estetika).
Berbagai bagian dari filsafat yang disebut tadi telah berkembang menjadi kurang-lebih
spesialisasi yang mandiri dalam lingkungan filsafat. Contoh lain adalah filsafat ilmu dan
filsafat hukum. Namun, bahaya dari pemandirian ini adalah bahwa hubungan dengan filsafat
dalam keumumannya dan disiplin-disiplin filsafat lainnya akan dapat terputus. Epistemologi
dan etika tidak dapat diabstraksi (dipisahkan) misalnya dari metafisika dan filsafat hukum.
Pengembanan suatu bagian dari filsafat tanpa melibatkan keterikatannya pada keseluruhan
akan membawa pada kesepihakan dan kecenderungn untuk berlebihan. Kita mengenal
contoh-contoh yang demikian dalam filsafat ilmu dan filsafat hukum. Tiap bagian dan bentuk
dari filsafat tetap merupakan filsafat dan memiliki ciri-ciri dari filsafat sebagai keseluruhan.
Hal ini berlaku juga untuk filsafat hukum. Filsafat hukum adalah bentuk kegiatan berfilsafat
yang khusus memusatkan perhatiannya pada gejala hukum. Sudah dari sejak permulaan,
pemikiran filsafat hukum ini telah berlangsung dalam kerangka suatu orientasi kefilsafatan
umum (Plato, Aristoteles). Ini berarti bahwa keseluruhan kerangka pengertian-pengertian
kefilsafatan dan sejarah filsafat dalam totalitasnya juga relevan untuk filsafat hukum.
9
10
b. Filsafat hukum.
Filsafat hukum dan teori hukum tidaklah sama. Jadi, “Legal Theory” dan “Legal
Science” bukanlah filsafat hukum (beberapa pemikir berpendapat lain). Filsafat hukum
merefleksi semua masalah fundamental yang berkaitan dengan hukum, dan tidak hanya
merefleksi hakikat dan metode dari ilmu hukum atau ajaran metode. Lebih dari itu, filsafat
hukum bersifat kritikal terhadap pengaruh dari filsafat ilmu modern pada teori hukum. Juga
untuk pengaruh ini harus diajukan argumen-argumen. Untuk itu maka perlu secara cermat
diadakan pembedaan antara hakikat pengembanan hukum dan pengembanan ilmu-ilmu
empirik. Hukum sesungguhnya bukanlah gejala empirikal murni, tetapi memperlihatkan juga
ciri-ciri normatif. Dalam suasana hukum maka “Sein”dan “Sollen” justru tidak dapat
dipisahkan secara tajam yang satu dari yang lain! Hukum adalah suasana dari “das Sein”
yang di dalamnya “das Sollen” mendapatkan wujudnya. Fakta dan kaidah di dalam hukum
selalu berjalan saling berimpitan: hukum adalah fakta dan kaidah sekaligus. Dari sini tampak
bahwa filsafat hukum tidak puas dengan kesimpulan-kesimpulan dari teori hukum. Ia
misalnya mempertanyakan apakah ilmu hukum itu? apa arti khusus dari “menjelaskan”
(Erklaeren), “memahami” dan “mengerti”? apa yang dimaksud dengan berargumentasi?
Tetapi filsafat hukum bergerak lebih jauh lagi, dan merefleksi pertanyaan-pertanyaan yang
bagi teori hukum sama sekali tidak relevan lagi, khususnya persoalan keadilan. Hubungan
antara hukum dan etika adalah masalah yang paling pokok dalam filsafat hukum. Sudah
sejak zaman kuno masalah ini oleh sebagian besar para filsut diketengahkan. Filsafat ilmu
modern dan teori hukum dalam lingkungan persoalan ini (tentang masalah keadilan atau
hubungan antara hukum dan etika) tidak dapat memberikan kontribusinya. Di sini kita
menyentuh tema yang paling klasik dari filsafat praktikal, khususnya masalah yang berkaitan
dengan pertanyaan berdasarkan kriteria apa kita menilai perilaku manusiawi? Apakah hal
penentuan isi dari “baik” dan “buruk” itu termasuk persoalan subjektif-irrasional yang murni,
atau apakah isi ini secara kefilsafatan dapat diargumentasi secara rasional? Filsafat hukum
tidak puas hanya dengan kerangka kaku dan penataan yang diberikan oleh teori hukum
modern.
Thema yang paling penting dari filsafat hukum berkenaan dengan hubungan antara
hukum dan etika. Ini berarti bahwa diskusi yang sudah berlangsung sangat lama antara
pengikut aliran-aliran Hukum Kodrat dan Positivisme masih tetap aktual. Hukum dan Etika
dua-duanya merumuskan kriteria untuk penilaian perilaku manusia: namun mereka
melakukan hal ini dari sudut pandangan yang berbeda. Hukum adalah suatu momen dari
etika.
Tentang arti dari pengertian-pengertian Hukum, Etika, Hukum Kodrat, dan Positivisme
terdapat perbedaan pandangan yang besar. Kita bertolak dari Etika dan akan sampai, melalui
hubungan antara Hukum dan Etika, pada Hukum Kodrat dan Positivisme. Berkenaan
dengan etika maka berbagai tataran perlu dibedakan. Etika Normafif adalah yang paling
penting; ia terdiri atas “keseluruhan kriteria, yang berdasarkannya orang-orang dan
tindakan-tindakannya dinilai sebagai baik dan buruk”. (Van Haersolte). Di sini isi kaidah-
kaidah etika dikembangkan dan diberi argumentasi. Etika normatif adalah suatu bagian
klasik dari filsafat; ia juga, berkenaan dengan sifat dan strukturnya, sangat bergantung pada
latar belakang filsafat ini. Etika dari Kant misalnya memiliki sifat formal. Hegel mencoba
mengembangkan isi etika dari sudut realisasi kebebasan di dalam masyarakat. Dalam filsafat
10
11
Max Scheler maka keberlakuan dalam arti substansial dari sejumlah nilai (nilai-nilai
kehidupan, nilai-nilai kesusilaan, nilai-nilai kepribadian) diupayakan agar dapat diterima.
Etika normatif harus dibedakan dari etos dan moralitas positif. Etos adalah penampilan
faktual dari etika normatif (juga disebut “moral kritikal”) sebagaimana ia dalam suatu
masyarakat konkret pada suatu waktu tertentu berlaku. Jadi, dengan etos dimaksudkan
pandangan-pandangan yang faktual ada (berlaku) tentang isi dari etika (normatif). Dengan
perkataan lain: etos adalah etika normatif, sejauh ia secara umum berpengaruh dan dengan
demikian secara empirikal tampil. Jadi, di sini intinya adalah keberlakuan secara faktual.
Pada moralitas positif pokok persoalannya tidak terutama mengenai kaidah-kaidah yang
secara faktual diterima, melainkan tentang perilaku faktual dari orang-orang. Memang
perilaku tidak perse harus sebangun dengan etos. Dapat saja terjadi ideal dari etos yang
berfungsi secara faktual tidak sepenuhnya diwujudkan dalam perilaku praktikal (= moralitas
politik). Tentu saja semua pola-pola kaidah dapat tampak dalam moralitas positif, namun hal
ini tidak perlu (harus) sama sebangun dengan etos. Baik etos maupun moralitas positif dapat
menjadi objek studi apa yang dinamakan etika deskriptif. Disiplin ini dapat sebagai ilmu
empirik memaparkan, menginterpretasi dan eventual menjelaskan pandangan-pandangan dan
perilaku etikal yang faktual berlaku. Yang terakhir ini dapat saja misalnya dilaksanakan
dengan tetap memperhitungkan perkembangan kemasyarakatan, keadaan-keadaan historikal
dan sebagainya. Dengan cara ini maka berlakunya kaidah-kaidah etikal tertentu dapatlah
menjadi dimengerti.
Refleksi-refleksi terhadap gejala-gejala etikal yang disebutkan di atas dapat dicakup
dengan istilah “meta-etika”. Namun, dengan penggunaan istilah itu saja maka arah dan sifat
dari refleksi sama sekali belum ditunjuk (belum diungkapkan secara eksplisit).
Sekali lagi perlu dikemukakan bahwa kita, berkenaan dengan etika, tidak boleh
mengacaukan dimensi isi atau normatif dengan apa yang faktual. Bahwa suatu etos tertentu
atau suatu moralitas positif tertentu secara faktual dapat ditunjukkan, kenyataan itu dari
dirinya sendiri sama sekali tidak mengimplikasikan bahwa kaidah-kaidah etikal yang
berfungsi di dalamnya juga – dari sudut kefilsafatan – dapat diterima. Tidak semua apa yang
secara faktual diterima orang sebagai etikal adalah juga secara etikal benar-benar baik. Hal
baik tidak sama sebangun dengan pandangan-pandangan yang berpengaruh tentang hal baik.
Kaidah-kaidah etikal tidak boleh begitu saja disimpulkan dari fakta-fakta etikal. Sebaliknya,
tidak semua yang secara etikal baik juga secara faktual diakui. Etika dalam perjalanan
sejarah memperlihatkan suatu perkembangan dan secara pribadi saya berpendapat bahwa
perkembangan ini adalah perkembangan yang menuju ke yang baik. Dengan refleksi yang
lebih jauh akan selalu diperoleh pemahaman etikal yang baru. Di sini kita menyentuh
persoalan sulit (sebuah masalah inti dari etika) mengenai cara bagaimana keberlakuan
substansial dari etika (tentang baik dan buruk) dapat diperlihatkan. Kelompok ethici yang
dinamakan non-kognitivis berpendapat bahwa keberlakuan ini tidak pernah dapat
diargumentasi secara rasional. Kaidah-kaidah etika misalnya adalah pernyataan dari suatu
keyakinan subjektif atau emosi yang bebas. Menurut pandangan mereka, kaidah-kaidah etika
tidak pernah menuntut keberlakuan secara umum. Secara kefilsafatan, relativisme nilai ini
telah diargumentasi dengan berbagai cara. Namun, pandangan-pandangan ini bagi kelompok
ethici lain tidak dapat diterima. Kelompok ethici kognitivis berpendapat bahwa keberlakuan
substansial dari kaidah-kaidah etika (atau nilai-nilai) dapat diperlihatkan. Filsafat nilai dari
Max Scheler merupakan suatu percobaan ke arah itu yang mengesankan. Percobaan-
11
12
percobaan modern, kita temukan pada Habermas dan Apel, yang berpendapat bahwa
bertolak dari “data” dari komunikasi intersubjektif terbuka (dan dari bentuk-bentk “praxis’
lain) dapat dijabarkan (diturunkan) kaidah-kaidah etika tertentu. Struktur argumentasi untuk
keberlakuan substansial dari kaidah-kaidah etika kadang-kadang berbeda sedikit dari
struktur argumentasi yang kita temukan pada penemuan hukum. Lebih dari itu, semuanya ini
berarti bahwa etika lebih dari sekedar hanya produk faktual kenyataan-kenyataan
kemasyarakatan, politik dan sejenisnya. Etika adalah artikulasi dari apa yang dianggap orang
esensial berkenaan dengan realisasi adekuat dari kepribadian bebas mereka, ditinjau baik
secara individual maupun dalam kebersamaan dengan sesamanya. Berdasarkan pada suatu
titik tolak personalistik (pandangan yang melihat setiap manusia sebagai subjek yang
memiliki kepribadian) demikian dapatlah dibangun suatu etika.
Wawasan kefilsafatan pada etika juga menentukan hubungan antara etika dan hukum.
Hubungan inilah yang menentukan bagi hubungan antara Hukum Kodrat dan Positivisme.
Uraian (pemaparan batasan pengertian) tentang hukum yang kurang lebih dapat diterima
adalah yang menyatakan bahwa hukum terdiri atas kaidah-kaidah (aturan-aturan dan
keputusan-keputusan) yang berkaitan dengan hubungan-hubungan lahiriah antar-manusia,
juga dalam kaitan dengan kekuasaan menentukan terhadap hal-hal (urusan-urusan) dan
benda-benda. Menurut Kant, hal ini menyebabkan hukum sebagian termasuk dan sebagian
tidak termasuk etika. Termasuk, dalam arti bahwa juga isi hukum harus memenuhi (sesuai
dengan) kaidah etika tertinggi, yakni imperatif kategorik. Itu berarti bahwa kita secara etikal
terikat (berkewajiban) untuk memenuhi kaidah-kaidah hukum semata-mata berdasarkan
penghormatan pada kewajiban etikal. Lebih dari itu, isi dari kaidah hukum itu sendiri harus
memenuhi syarat “dapat diuniversalkan”. Dipandang dari sudut etika, maka hukum adalah
yang legitim (yang sah). Ditinjau dari sudut hukum, maka motif dari tindakan sama sekali
tidak relevan. Hukum merasa dirinya sudah puas dengan fakta kepatuhan (dipenuhinya)
aturan-aturan, dengan legalitas. Demikianlah, menurut Kant, sangat mungkin bahwa orang
bertindak sepenuhnya legal atau sah secara hukum dan pada saat yang sama sekaligus
mewujudkan tindakan yang tidak memenuhi tuntutan etikal. Etika berfungsi normatif
terhadap hukum, tetapi sedemikian bahwa hukum – justru karena sudah puas dengan
perilaku lahiriah! – tetap menempati posisinya. Wawasan kantian tentang hubungan antara
hukum dan etika sangat memberikan kejelasan; ia telah sangat berpengaruh. Kita tidak dapat
mengolah lebih lanjut permasalahan ini di sini. Semua hukum mengenal tegangan polaritatif
antara ide (asas) pada satu sisi dan realisasi dari asas tersebut pada sisi lain. Etika juga
mengenal tegangan yang demikian itu: dalam keterarahan pada asas (yakni kebebasan
sebagai inti dari apa yang dinamakan nilai-nilai kepribadian) maka hukum dan etika adalah
sama. Perbedaan hukum dan etika terletak dalam bentuk perwujudan dari asas tersebut.
Pada etika, perwujudan itu terjadi dengan cara yang sangat pribadi, yang di dalamnya budi-
nurani (conscience) – sebagai “organ inti” dari substansi etikal – memainkan peranan
sentral. Baik berkenaan dengan apa yang termasuk tindakan individual maupun yang
termasuk hidup-dalam-kebersamaan, titik beratnya di sini terletak pada tindakan kemauan
yang bebas dari pribadi dan dengan demikian atas tanggung-jawab individualnya sendiri.
Kebebasan dan pertanggung-jawaban pribadi ini juga terdapat berkenaan dengan hukum.
Karena itu, suatu tindakan yang tepat secara yuridikal dapat secara etikal sangat tercela.
Namun, hukum memiliki suatu kedirian dan otonomi yang vokal atau jelas (tanpa kehilangan
keterkaitannya secara immanen dengan etika!). Bukankah ia berkaitan dengan perilaku
12
13
lahiriah dan penguasaan atas benda-benda. Itulah yang menyebabkan hadirnya bentuk-
bentuk yang bersifat a priori yang di dalamnya hukum merealisasikan diri, yakni aturan,
keputusan, figur dan lembaga. Di dalamnya forum intersubjektif yurdikal menampilkan diri.
Argumentasi dan legitimasi rasonal adalah ciri dari hukum. Namun, pertanggung-jawaban
rasional dari kaidah-kaidah etikal terarah pada keterlibatan individual dari pribadi. Saya
menyadari bahwa apa yang dikemukakan tetap masih terlalu sumir (sederhana). Hubungan
antara hukum dan etika lebih majemuk ketimbang yang kadang-kadang dikira orang. Dengan
pernyataan-pernyataan seperti “hukum dan moral terpisah secara tajam” atau “hukum dan
moral berimpitan”, karena itu, tidak cukup bagi kita.
Dengan latar belakang apa yang telah dikemukakan di atas, dapatlah perbedaan antara
Hukum Kodrat dan Positivisme secara skematikal dikemukakan sebagai berikut. Para
pengikut Ajaran Hukum Kodrat berpendapat bahwa kaidah-kaidah etikal dengan salah satu
cara tertentu relevan bagi isi dan berlakunya hukum positif. Jadi, hukum dan etika tidak
dipisahkan yang satu dari yang lainnya secara tajam. Positivisme pada prinsipnya menerima
pemisahan yang demikian itu. Ia memusatkan seluruh perhatiannya pada isi dan berlakunya
hukum positif. Untuk itu etika dipandang tidak penting. Positivisme paling jauh akan
menerima asas-asas, yang menentukan struktur dari hukum positif itu sendiri, misalnya
keumuman yang abstrak, kepastian hukum, dapat diramalkan (prediktabilitas), tata, damai,
keteraturan (keajegan). Namun, tentang hal memberikan landasan kefilsafatan pada asas-asas
demikian tidak dipersoalkan. Berlakunya hukum positif begitu saja dipostulasikan
(diandaikan). Sebaliknya hal ini tidak berarti bahwa para pengikut Positivisme juga tidak
akan menerima kaidah-kaidah etikal, yang dengan bersaranakannya hukum positif dapat atau
harus dinilai (diuji). Seorang positivis tidak perlu perse seorang non-kognitivis dalam bidang
etika atau seorang relativis nilai-nilai (walaupun kombinasi ini sering terjadi). Juga seorang
positivis dapat berdasarkan pertimbangan etikal mencela hukum positif. Namun, celaan ini
hanya memiliki konsekuensi etikal dan tidak mempunyai konsekuensi yuridikal. Jadi, hakim
harus tetap menerapkan hukum yang demikian itu; jika tidak, maka ia harus mengundurkan
diri. Singkatnya, berlakunya hukum positif menurut para positivis tidak terpengaruh oleh
penilaian etikal terhadap isi hukum positif. Pandangan-pandangan etikal paling jauh akan
memainkan peranan pada pembentukan hukum atau dalam hal penemuan hukum pada kasus-
kasus yang berkenaan dengannya hakim misalnya hingga derajat tertentu diberi “Freies
Ermessen”.
Hubungan antara hukum kodrat dan positivisme sesungguhnya lebih majemuk
ketimbang kesan yang ditimbulkan oleh uraian di atas. Jika orang memandang ke dua istilah
itu dalam arti luas (dan hal demikian sudah biasa), maka orang harus membedakan berbagai
bentuk dari hukum kodrat dan dari positivisme. Demikianlah, ke dalam hukum kodrat dapat
dimasukan: filsafat hukum dari Aristoteles dan dari Stoa Romawi; hukum kodrat Kristiani
atau Skolastik dari Thomas Aquino (dan dari Neo-Thomisme, terutama filsuf-filsuf hukum
Katolik dari masa kemudian); hukum kodrat rasional dari zaman Baru (Hobbes, Locke,
Spinoza, Thomasius, Wolff); pandangan-pandangan idealistik dari Kant dan Hegel, yang
menalar dari asas-asas yang untuk hukum memiliki arti langsung; filsafat nilai-nilai dari
Scheler. Dalam semua hal ini (dalam pandangan-pandangan tersebut tadi), asas-asas
substansial dipandang sangat penting untuk hukum positif, walaupun dengan cara yang
sangat berbeda. Demikianlah, terdapat perbedaan besar tentang pernyataan apa yang harus
berlaku jika hukum positif bertentangan dengan hukum kodrat. Atau tentang pertanyaan
13
14
14
15
mencapai landasan yang mantap. Karena itu, orientasi pada filsafat hukum Hegel jauh lebih
menarik. Di sana dicoba untuk mengembangkan kebebasan sebagai landasan dari hukum
(dan etika). Tentang hal ini terdapat banyak salah paham. Kebebasan tidak diartikan sebagai
kesewenangan yang murni, misalnya lakukan apa yang kau maui. Dalam arti itu hampir tidak
seorang pun yang bebas, berhubung tidak seorang pun yang memiliki pilihan kemungkinan-
kemungkinan tanpa batas dan dapat melakukan apa saja yang ia ingini. Masalahnya bukanlah
berkenaan dengan melakukan apa yang kau ingini, tetapi berkenaan dengan hal mengingnkan
apa yang kau ingini. Hegel membela kemauan bebas (wilsvrijheid, freewill). Tetapi, juga
kemauan bebas itu bukanlah hal kebetulan atau kesewenangan: ia berkaitan erat dengan
keniscayaan (yang tidak dapat dielakkan) kita untuk mewujudkan (melaksanakan) apa yang
dituntut dari kita oleh apa yang menjadi “hakikat” kita (yakni kepribadian kita: kenyataan
bahwa kita adalah suatu pribadi). Jadi, kebebasan adalah tugas (bebas untuk) untuk
mengembangkan kepribadian kita sendiri. Demikianlah, Hegel memperlihatkan bagaimana
berbagai figur hukum (hak milik, kontrak, pelanggaran hukum atau ganti rugi) dan lembaga
hukum (keluarga, Negara) dari sudut ide ini dapat dimengerti: semuanya itu selalu
berkenaan dengan suatu usaha untuk memberikan wujud pada kebebasan dalam struktur dari
masyarakat. Mungkin saja bahwa Hegel keliru dan semuanya itu tidak cocok. Namun tetap
penting adalah bahwa hukum dipahami dalam kaitannya dengan kebebasan dan itu adalah
sesuatu yang juga bagi filsafat hukum modern tetap penting. Bertolak dari situ kita dapat
mengembangkan hubungan antara kebebasan, persamaan, keadilan, kepastian hukum dan
sebagainya dengan lebih baik dan lebih fundamental, ketimbang yang telah dilakukan
misalnya oleh Radbruch. Nilai-nilai hukum bukanlah bidak-bidak yang mudah digeser seenak
kita atau sekedar menuruti dorongan hati kita: sebaliknya, keberadaan mereka berkaitan satu
dengan yang lainnya. Nilai-nilai hukum itu tertutup bagi kesewenangan (seenak sendiri) dan
hal itu berlaku juga untuk hubungan di antara mereka! Orientasi pada ide-hukum dipandang
sebagai kebebasan ini akan kehilangan landasannya, jika dapat ditunjukkan bahwa manusia
bukanlah makhluk bebas. Pada masa kini banyak filsuf dan antropolog yang menyangkal
kebebasan manusia. Jika mereka benar, maka orientasi pada ide-hukum akan menjadi tidak
bermakna dan kita akan lebih baik untuk menyibukkan diri dengan teori hukum empirik atau
ilmu hukum saja. Namun, argumen-argumen yang diajukan tidak meyakinkan. Fakta bahwa
pada beberapa orang (atau banyak?) kemauan bebas itu tidak ada (misalnya karena faktor-
faktor keturunan, pendidikan, lingkungan dan sebagainya) tidak dengan sendirinya berarti
bahwa manusia menurut bakatnya memang tidak “bebas”. Sama seperti adanya penyakit
secara faktual tidak berarti bahwa orang-orang “sesungguhnya” seharusnya tidak sehat.
Dalam arti menurut pandangan kita, maka kebebasan termasuk “hakikat” dari manusia, yang
lambat laun harus dikembangkan. Hingga kini perdebatan tentang kebebasan manusia masih
belum selesai; demikian juga diskusi tentang makna dari ide-hukum.
Tentang arti aturan hukum dan keputusan hukum sudah kita bicarakan di atas. Sekarang
kita bicarakan dua bentuk lainnya. Figur hukum dan lembaga hukum tidak berbeda secara
asasi: dua-duanya berkenaan dengan perangkat-perangkat aturan hukum dan keputusan-
keputusan hukum. Kita baru saja sudah melihat bahwa hak milik, kontrak dan ganti rugi
adalah contoh-contoh dari figur hukum, sedangkan keluarga, perkumpulan, perusahaan,
kotamadya dan negara adalah contoh-contoh dari lembaga-lembaga hukum. Peralihannya
bersinambung dan berkaitan dengan derajat kemajemukan dari hubungan-hubungan itu.
Figur-figur hukum dan lembaga-lembaga hukum memiliki sifat historikal yang hakiki, tidak
15
16
hanya bentuk konkret mereka, tetapi juga kehadiran mereka sebagai demikian dapat
berubah. Ini berlaku untuk hak milik dan kontrak. Tidak dapat dipertahankan bahwa ini
termasuk “hukum kodrat”, artinya bahwa mereka adalah figur-figur yang selalu ada dan
berlaku (dalam arti normatif) di mana pun. Namun, mutlak perlu bahwa ada seperangkat
aturan-aturan hukum dan keputusan-keputusan hukum yang terarah pada perwujudan ide-
hukum dalam suatu konstelasi historikal tertentu. Wujudnya tidak perlu harus berupa hak
milik atau kontrak. Demikianlah, juga negara dalam hakikatnya bersifat historikal. Ia
(negara) adalah gejala dari Zaman Baru dan mungkin di masa mendatang dapat lenyap. Hal
itu tidak berarti bahwa orang-orang tidak akan hidup lagi dalam salah satu bentuk dari
persekutuan (masyarakat) politik. Namun, ia akan tampil dalam suatu struktur lain (yang
sekarang bagi kita belum dikenal). Jadi, figur-figur dan lembaga-lembaga tidak boleh
dimutlakkan. Hal sudah dengan sendirinya, yang hidup dalam kesadaran sebagaian terbesar
dari kita, terutama berkaitan dengan tradisi dan struktur masyarakat barat. Lebih dari itu
sebenarnya tidak ada. Sementara itu, lembaga, dibandingkan dengan figur, terutama
dipolakan oleh hubungan-hubungan kewibawaan (kekuasaan), artinya diferensasi fungsional
antara orang-orang yang memberikan pimpinan (artinya mempengaruhi perilaku orang-orang
lain) dan mereka, yang mematuhi (mengikuti) pimpinan ini. Kewibawaan dan kekuasaan
adalah gejala-gejala esensial dalam setiap masyarakat manusia. Orang-orang akan selalu
membutuhkan lembaga-lembaga untuk menata (menstrukturasi) masyarakat mereka.
Lembaga hukum mengkonkretisasi kekuasaan hukum.
Negara adalah lembaga hukum terpenting. Negara sebagai suatu gejala historikal adalah
sebuah lembaga hukum dengan ciri-ciri khusus. Akan disebutkan beberapa di antaranya.
Negara mewujudkan medan in optima forma yang di dalamnya politik dijalankan. Ia
mencakup sekelompok orang yang hidup pada suatu wilayah tertentu. Negara
melambangkan dan mengkonkretkan struktur kewibawaan yang di dalamnya orang-orang
menjalani kehidupan. Di dalam negara juga aspek normatif memainkan peranan sentral, yang
menampakkan diri dalam dua segi. Di situ pihak dalam kedaulatan dari negara, artinya
kemauan berkuasa dari kewibawaan yang mengambil keputusan. Tanpa kedaulatan tidak ada
kewibawaan. Di lain pihak dalam hubungan timbal balik antara negara dan hukum. Negara
adalah sumber dari hukum, sejauh ia menciptakan hukum dan menjamin penegakan dan
pelaksanaanya. Negara juga terikat pada hukum, sejauh produksi hukum ini tidak sewenang-
wenang. Sebagai lembaga, sesungguhnya negara memiliki tugas in optima forma untuk
mewujudkan ide-hukum. Butir ini perlu kita masuki. Kita telah melihat bahwa institusi
negara Barat berasal dari masa sekitar Revolusi Perancis. Tatanegara Barat untuk sebagian
merupakan konkretisasi filsafat dari Locke, Rousseau dan Kant. Undang Undang Dasar,
parlemen, perundang-undangan, hak-hak asasi, peradilan: semuanya itu bukanlah institusi-
institusi sembarangan saja, tetapi mereka dipandang sebagai jaminan dari kebebasan
manusia. Keyakinan (pemahaman) ini misalnya tampak dalam Statuta Dewan Eropa dan
Konvensi Eropa tentang perlindungan hak asasi manusia yang diterjemahkan ke dalam
hukum positif. Jadi, sama sekali bukan pernyataan yang asing jika kita mengajukan bahwa
negara terarah pada realisasi dari kebebasan. Hal itu sangat dikenal dalam cara berpikir
Barat. Ia juga merupakan inti dari filsafat Rousseau dan Kant: di dalamnya landasan dari
institusi-institusi kenegaraan Barat dipertanggungjawabkan secara filosofikal dan
sedemikian, bahwa dalam institusi-institusi itu suatu masyarakat yang bebas memperoleh
wujudnya. Dengan cara ini juga dapat ditunjukkan bahwa demokrasi adalah bentuk negara in
16
17
optima forma untuk realisasi dari kebebasan. Di sini terletak suatu tugas penting bagi filsafat
hukum dan ilmu negara umum. Pada saat ini, juga di Barat, teori negara Marxistik sedang
berkembang pesat. Tentang perkembangan teori negara yang demokratik hanya sedikit yang
tampak. Pengembanan hukum tata negara di Belanda tampaknya mengabaikan hal ini
(kecuali Couwenberg). Jika hukum tata negara kehilangan isi filsafatnya yang asli, maka
filsafat dari luar harus diperankan kembali. Dari sudut filsafat hukum, suatu ‘teori
demokratik’ – yang sangat dibutuhkan pada saat Barat berada di tengah-tengah krisis
tentang negara dan hukum – dapat distimulasi. Dalam upaya itu, maka hubungan imanen
antara negara dan kebebasan harus selalu menjadi pusat orientasi. Negara tidak boleh
dipandang sebagai suatu gejala politik sembarangan: dalam zaman kita ia kurang-lebih satu-
satunya pegangan untuk menghadirkan sesuatu pada kebebasan. Makna praktikal dari
filsafat hukum pada masa kini terletak dalam mutlak diperlukannya pengembangan suatu
filsafat baru tentang demokrasi!
17
18
PENGEMBANAN HUKUM
PERUNDANG-UNDANGAN: Aturan Umum
PEMBENTUKAN HUKUM PUTUSAN KONKRET: * Ketetapan
* penciptaan hukum positif * Vonis
PRAKTIKAL PENEMUAN HUKUM TINDAKAN NYATA
* distilasi kaidah dari dalam aturan hukum dalam konteks penyelesaian konflik
pergaulan BANTUAN HUKUM: memulihkan keseimbangan kekuatan antar-warga
dengan hu NORMATIF → :ILMU HUKUM: ilmu praktis normologi
kum dalam perspektif internal * interpretasi dan sistematisasi bahan hukum
kehidupan obyek telaah: * menerapkan: Teori Perundang-undangan,
nyata hukum sebagai Penemuan Hukum dan Argumentasi Yuridis
Sollen-Sein
ILMU-ILMU PERBANDINGAN HUKUM
HUKUM SOSIOLOGI HUKUM
obyek telaah: obyek telaah: hukum sebagai Sein-Sollen
PENGEM- tatanan hukum SEJARAH HUKUM
BANAN nasional dan EMPIRIKAL obyek telaah: hukum dalam konteks waktu
HUKUM internasional perspektif ANTROPOLOGI HUKUM
eksternal obyek telaah: hukum dalam konteks kultur
kegiatan ma- PSIKOLOGI HUKUM
nusia berke-
naan dengan AJARAN HUKUM (TEORI HUKUM dalam arti sempit)
adanya dan * analisis pengertian hukum (concept of law)
berlakunya * analisis asas, kaidah, figur dan sistem hukum
hukum * analisis konsep-konsep yuridik (legal concepts)
* hubungan antar-konsep yuridik
* keberlakuan hukum
* klasifikasi kaidah hukum
TEORETIKAL TEORI (ILMU) HUBUNGAN HUKUM DAN LOGIKA
HUKUM * Teori Argumentasi Yuridis
* Disiplin Hukum obyek telaah: * Logika Deontik
* upaya memahami tatanan hukum AJARAN ILMU
dan menguasai hu- positif sebagai * Epistemologi Ilmu Hukum
kum secara intelek- sistem * Metode Penelitian dan Analisis
tual METODOLOGI Hukum
* bermetode, logik- * Struktur Berpikir Yuridik
sistematikal, rasio- AJARAN METODE PRAKTEK
nal, kritikal HUKUM: * Teori Pembentukan
hukum
* Teori Penemuan hukum
- Teori Interpretasi
FILSAFAT HUKUM - Konstruksi Hukum
* bagian dari dan dipengaruhi Filsafat Umum
* meresapi Teori Ilmu Hukum dan Ilmu-ilmu Hukum
* obyek telaah: hukum sebagai demikian (the law as such)
* pokok-kajian: dwitunggal pertanyaan-inti:
- landasan daya-ikat hukum
- landasan penilaian keadilan dari hukum (norma kritik)
18
19
PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
19
20
PENEMUAN HUKUM
20
21
PENGEMBANAN HUKUM
(RECHTSBEOEFENING)
* PEMBENTUKAN HUKUM
* PENEMUAN HUKUM
* BANTUAN HUKUM
PEMBENTUKAN HUKUM :
* PENCIPTAAN HUKUM BARU
* PERUMUSAN ATURAN-ATURAN HUKUM
* PENAMBAHAN ATURAN
* PERUBAHAN ATURAN
21
22
PENEMUAN HUKUM:
* MASALAH KONKRETISASI PRODUK PEMBENTUKAN HUKUM
* PENGAMBILAN PUTUSAN YURIDIS KONKRET
* LANGSUNG MENIMBULKAN AKIBAT HUKUM BAGI SITUASI atau
KEJADIAN KONKRET INDIVIDUAL
* MENCERMINKAN PEMBENTUKAN HUKUM
* HAL KHUSUS YANG KONKRET MENONJOL KE PERMUKAAN
* DAPAT MEMILIKI DAMPAK KEBERLAKUAN SECARA UMUM
- NILAI TAMBAH KEPUTUSAN YURIDIS KONKRET
22
23
23
24
LINGKARAN HERMENEUTIK
BANTUAN HUKUM:
* - PEMBERIAN PELAYANAN JASA TERORGANISASI
- OLEH PARA AHLI (HUKUM)
- DALAM MENGHADAPI SITUASI PROBLEMATIKAL atau
SITUASI KONFLIK
- DAPAT DITANGANI DENGAN PENERAPAN ATURAN HUKUM
- DENGAN/TANPA MEMANFAATKAN PROSEDUR HUKUM:
- MEDIASI/NEGOSIASI
- LITIGASI
* MENDAMPINGI ORANG YANG TERLIBAT KESULITAN HUKUM:
- ADVOKAT
- BIRO KONSULTASI HUKUM
- LEMBAGA BANTUAN HUKUM
* TATA HUKUM MODERN:
- KUANTITAS ATURAN-ATURAN HUKUM MENINGKAT TERUS
- STRUKTURNYA MAJEMUK RUMIT: awam sulit memahami
24
25
25
26
26
27
KAIDAH-KAIDAH HUKUM
* “MENJELASKAN” = ERKLĀREN = MEMPERLIHATKAN HUBUNG-
AN KAUSAL
* PERHATIAN UTAMA:
@ PADA KEBERLAKUAN FAKTUAL
@ BUKAN PADA HUKUM SEBAGAI SISTEM KONSEPTUAL,
TETAPI HUKUM SEBAGAI KENYATAAN SOSIAL (das Sein-Sollen)
* PERANAN HUKUM DALAM MASYARAKAT AKIBAT-AKIBAT
YANG DITIMBULKAN OLEH KAIDAH-KAIDAH HUKUM
TEORI HUKUM:
* PERALIHAN ILMU HUKUM KE FILSAFAT HUKUM
* RUANG LINGKUP STUDI TEORI HUKUM:
1. ANALISIS KAIDAH HUKUM
- PENGERTIAN HUKUM (CONCEPT OF LAW)
- KONSEP-KONSEP HUKUM
- ASAS HUKUM, KAIDAH HUKUM, PRANATA HUKUM,
LEMBAGA HUKUM dan SISTEM HUKUM
- FUNGSI HUKUM
2. AJARAN METODE HUKUM
- METODOLOGI PERUNDANG-UNDANGAN
- METODOLOGI PENERAPAN HUKUM
* INTERPRETASI ATURAN HUKUM
* KEKOSONGAN DALAM HUKUM: KONSTRUKSI
HUKUM
* INTERPRETASI FAKTA
* ARGUMENTASI YURIDIS : LOGIKA HUKUM
3. FILSAFAT ILMU HUKUM
4. KRITIK IDEOLOGI TERHADAP HUKUM
27