Jelaskan apa yang dimaksud polluter pays principle / prinsip pencemar
membayar? 2. Dalam kasus tersebut apakah pelaku / penanggungjawab usaha dapat dikenakan kewajiban pencemar membayar? Berikan dasar hukumnya! 3. Analisislah kaitan antara prinsip pencemar membayar dengan pertanggungjawaban mutlak dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009!
Jawaban
1. Prinsip pencemar membayar adalah salah satu bagian dari prinsip-prinsip
pembangunanan berkelanjutan yang terdiri dari 5 prinsip utama. Pencemaran atau kerusakan lingkungan tidak dianggap sebagai bagian dari proses produksi yang juga harus ditanggung oleh perusahaan atau pemrakarsa. Jadi, kerusakan lingkungan merupakan external cost yang harus ditanggung oleh pelaku kegiatan ekonomi. Contoh dari penerapan prinsip ini : sebuah industry yang berproses produksi, tentu menghasilkan bahan hasil proses produksi yang akan dijual dan menghasilkan keuntungan. Akan tetapi, proses produksi juga akan menghasilkan waste (limbah). Keberadaan limbah bisa menimbulkan dampak pencemaran lingkungan atau kerusakan llingkungan, yang akhirnya merugikan masyarakat. Dalam konsep internalisasi biaya lingkungan maka kerusakan lingkungan atau pencemaran yang akhirnya merugikan masyarakat itu, sebenarnya merupakan bagian proses produksi yang harus dibiayai oleh pemrakarsa usaha. Dalam hal ini berarti pemrakarsa usaha harus menanggung biaya atas kerugian yang ditimbulkan pada masyarakat. 2. Dalam kasus tersebut, pelaku usaha harus wajib bertanggung jawab akan kewajiban pencemar membayar. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menurut UU no 32 tahun 2009 pasal 1 ayat (2) adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. UU disahkan di Jakarta, 3 Oktober 2009 oleh Presiden dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Andi Mattalatta. Dalam UU ini tercantum jelas dalam Bab X bagian 3 pasal 69 mengenai larangan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi larangan melakukan pencemaran, memasukkan benda berbahaya dan beracun (B3), memasukkan limbah ke media lingkungan hidup, melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, dan lain sebagainya. Larangan-larangan tersebut diikuti dengan sanksi yang tegas dan jelas tercantum pada Bab XV tentang ketentuan pidana pasal 97-123. Salah satunya adalah dalam pasal 103 yang berbunyi: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Serta Pasal 104 UU PPLH setiap orang yang melakukan dumpling limbah dan atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana di maksud dalam pasal 60 dengan pidana paling lama 3 tahun dan denda sebanyak 3,000,000,000,00(,tiga milyar rupiah). Dari penjelasan UU tentang Pengelolahan Lingkungan Hidup diatas dapat disimpulkan bahwa pada kasus tersebut pelaku usaha wajib dikenakan kewajiban pencemar membayar karena telah terbukti membuang limbah bahan beracun berbahaya bekas produksi minyak tanah, buktinya adalah limbah yang ditemukan berjenis spent bleaching earth (SBE) dari industry minyak sawit yang berfungsi menjernihkan cairan minyak goreng. 3. Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ialah Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Pasal 88 tersebut berkalanjutan dengan Pasal 97-123 tentang tindak pidana pelaku pencemaran lingkungan. Sehingga kaitan Pasal 88 dengan pencemaran limbah saling berkaitan karena dari Pasal 88 tersebut dapat disimpulkan siapapun pelaku usaha yang melakukan kegiatan menggunakan B3 wajib bertanggung jawab jika menimbulkan pencemaran lingkungan, sehingga prinsip pencemar membayar tersebut dilandaskan oleh UU PPLH Pasal 88 tersebut. Oleh karena itu, prinsip pencemar membayar tidak berdiri sendiri akan tetapi berdasarkan hukum yang berlaku.