Anda di halaman 1dari 4

Restorasi hutan diupayakan untuk memulihkan kembali fungsi dan struktur ekosistem hutan ke keadaan

awal sebelum degradasi. Oleh karena itu, restorasi hutan sebagai langkah dalam mitigasi perubahan
iklim dan selaras dengan upaya peningkatan ketahanan pangan, melindungi keanekaragaman hayati
serta ekosistemnya, dan menjaga neraca air. Sidang Majelis Umum PBB mendeklarasikan the UN decade
on ecosystem restoration dalam rangka menyinergikan upaya restorasi ekosistem secara masif pada
ekosistem yang rusak dan terganggu pada periode 2021-2030. Dengan perkataan lain, upaya tersebut
untuk mencegah menghentikan, dan membalikkan degradasi ekosistem di seluruh dunia.

The UN decade on ecosystem restoration sangat sejalan dengan semangat dan langkah-langkah
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam restorasi hutan
Indonesia dengan menggunakan 3 (tiga) pendekatan:

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KASUS PENCEMARAN MINAMATA DAN BANDINGKAN


DENGAN KONDISI

PENEGAKAN HUKUM SAAT INI

Setelah mengetahui secara pasti bahwa penyebab penyakit minimata di Teluk Minimata disebabkan
oleh buangan limbah industri yang mengandung senyawa metil merkuri dari pabrik kimia perusahaan
Nippon Nitrogen Vertilaser, cikal bakal Chisso Co. Ltd., masyarakat marah dan mendatangi perusahaan
tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dan uang ganti rugi atas kerugian yang dialami penduduk
karena ikan yang mereka tangkap tidak laku dijual setelah dinyatakan secara medis bahwa ikan dan jenis
kerang-kerangan di Teluk Minamata telah tercemar zat kimia beracun. Selain itu, sebagian besar
penderita penyakit tersebut meninggal dunia dan sebagian lagi mengalami penderitaan seumur hidup.
Reaksi yang ditunjukkan oleh pihak perusahaan yang tidak merasa harus bertanggung jawab,
menimbulkan amarah yang sangat besar dari penduduk. Karena tuntutan penduduk tidak ditanggapi
oleh pihak Chisso Co. Ltd., akhirnya mereka membawa kasus ini ke pengadilan. Melalui pengadilan
akhirnya diputuskan bahwa perusahaan tersebut harus membayar uang ganti rugi secukupnya.
Pemerintah Jepang mengakui lebih 2000 orang yang menderita akibat penyakit tersebut telah menerima
ganti rugi.

Pengadilan Distrik Kumamoto sebelah selatan Jepang mengusulkan penyelesaian di luar pengadilan
terhadap kasus tersebut. Pemerintah menolak penyelesaian demikian dengan pertimbangan bahwa
pengadilan belum mencapai keputusan akhir mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas
musibah itu. Para tergugat seluruhnya mengaku sebagai korban Minamata yang disebabkan senyawa
metil merkuri yang masuk ke tubuh mereka setelah memakan ikan yang telah terkontaminasi. Dokter
setempat mengatakan senyawa itu dapat mengacaukan sistem syarat dan menyebabkan berbagai
kerusakan pada organ-organ tubuh. Akhirnya, Pengadilan Distrik Kumamoto tahun 1987 memutuskan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah Kumamoto telah lalai dan memerintahkan untuk membayar
647 juta Yen (US $ 4,9 juta) kepada 110 warga. Hingga Juni 1990, 2234 orang telah dinyatakan sebagai
korban Minamata. Berdasarkan Undang-undang Khusus, mereka yang dinyatakan korban dapat
menerima pengobatan Cuma-Cuma dan kompensasi antara 16 juta Yen hingga 18 juta Yen (US $ 123.000
sampai dengan US $ 138.000).

Dengan demikian, penegakan hukum terhadap kasus pencemaran di Teluk Minamata merupakan
penegakan hukum yang berkeadilan karena telah memberikan perlindungan hukum terhadap penderita-
penderita penyakit minamata sekaligus kesejahteraan sosial bagi mereka karena menerima biaya/ganti
rugi dalam jumlah yang sangat besar. Oleh karena itu, penderita penyakit tersebut dapat meningkatkan
taraf kualitas hidupnya.

Selanjutnya, jika dibandingkan dengan penegakan hukum saat ini di Indonesia dengan mendasarkan
pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UU 32 Tahun 2009) bahwa penegakan hukum lingkungan dilaksanakan dengan menggunakan
instrumen: hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana.

A. Perspektif Hukum Administrasi

Fungsi utama penegakan hukum lingkungan perspektif hukum administrasi adalah fungsi pencegahan
yang dilakukan melalui pengawasan. Ketentuan tentang sanksi-sanksi administrasi pengaturannya ada
dalam Pasal 76 hingga Pasal 83 UU 32 Tahun 2009. Sanksi-sanksi tersebut sebagai berikut:

1. Teguran

2. Paksaan pemerintah berupa:

a. Penghentian sementara kegiatan produksi;

b. Pemindahan sarana produksi;

c. Penutupan saluran pembuangan air limbah;

d. Pembongkaran;

e. Penyitaan;

f. Penghentian sementara seluruh kegiatan;

g. Tindakan lain untuk menghentikan pelanggaran;

3. Pembekuan izin

4. Pencabutan izin

B. Perspektif Hukum Perdata

Pengaturan penegakan hukum lingkungan dengan instrumen hukum perdata dicantumkan dalam Pasal
84 hingga Pasal 120 UU 32 Tahun 2009. Penegakan hukum lingkungan dengan instrumen hukum perdata
berfungsi untuk mewujudkan ganti rugi dan pemulihan lingkungan akibat adanya pencemaran dan
kerusakan lingkungan.
C. Perspektif Hukum Pidana

Penegakan hukum lingkungan dengan instumen hukum pidana diatur dalam Pasal 83 hingga Pasal 93 UU
32 Tahun 2009. Fungsi utama penegakan hukum lingkungan dengan instrumen hukum pidana adalah
untuk menimbulkan efek jera dan efek derita. Menurut UU 32 Tahun 2009, tindak pidana lingkungan
adalah kejahatan. Di dalam penegakan hukum lingkungan, penggunaan hukum lingkungan bersifat dua:

1. Hukum pidana sebagai ultimum remidium

Hukum pidana sebagai upaya terakhir, misalnya tindakan sudah dilakukan berkali-kali, tidak mentaati
sanksi-sanksi administrasi. Jadi, disini hukum pidana sebagai upaya terakhir karena sanksi-sanksi
administrasi tidak dilaksanakan.

2. Hukum pidana sebagai premum remidium

Hukum pidana sebagai upaya memberikan efek derita sejak awal apabila terdapat perbuatan melawan
aturan Pasal 69 ayat (1) UU 32 Tahun 2009, setiap orang dilarang:

a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;

b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah


Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke
media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

e. membuang limbah ke media lingkungan hidup;

f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;

g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;

h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;

i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau

j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau


memberikan keterangan yang tidak benar.

Dengan demikian, penegakan hukum di Indonesia terhadap pembuangan merkuri ke media lingkungan
hidup sehingga lingkungan tersebut tercemar, maka hal ini terkait dengan Pasal 69 ayat (1) huruf f UU
32 Tahun 2009. Ini masuk dalam perspektif hukum pidana.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku/Jurnal

Adji Samekto, Hukum Lingkungan, Cetakan Kedua, Universitas Terbuka, Tangerang Selatan, 2017.

Yusnida Eka Putri, Tragedi Minamata: Tinjauan Dampak Industrialisasi Jepang Pasca Perang Dunia II,
Jurnal Bahasa Asing, Volume 13 Nomor 13, Desember 2017.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Anda mungkin juga menyukai