Anda di halaman 1dari 18

MEKANISME EXECUTIVE REVIEW, EXECUTIVE PREVIEW, JUDICIAL

REVIEW TERHADAP PERATURAN DAERAH PROVINSI

Muhammad Ilham Bakhti, Fitriani Ahlan Sjarif

Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus Universitas Indonesia Depok 16424 T.
Indonesia

E-mail: Ilhambakhti06.ib@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini membahas mengenai pengujian Peraturan Daerah melalui mekanisme executive
review, executive preview yang terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2014 dan judicial review. Selain
itu penelitian ini juga membahas mengenai koordinasi pengujian antara executive review dengan
judicial review. Skripsi ini dibuat dengan metode kepustakaan normatif. Hasil penelitian
menemukan bahwa adanya pengujian ganda terhadap Peraturan Daerah dan belum terdapat
koordinasi antara mekanisme executive review dengan judicial review.

Executive Review, Executive Preview, Judicial Review Mecanism for Regional Regulation

Abstract

The focus of this study discusses the testing of local act through the mechanism of executive
review, executive preview based on UU No. 23 Tahun 2014 and judicial review. In addition this
study also discusses the coordination between the executive review from judicial review. This
research prepared by the method of normative literature. The study found that the presence of a
double test against local act and yet there is coordination between the executive review with
judicial review.

Key words: local act, regional regulation, executive review, executive preview, judicial review
Pendahuluan

Republik Indonesia memiliki wilayah yang cukup luas dengan karakteristik wilayah yang
berbeda-beda. Supaya terciptanya kesejahteraan di masing-masing wilayah tersebut dibutuhkan
otonomi daerah, dimana pemerintahan daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus wilayahnya sendiri. Pembagian wilayah Indonesia telah disebutkan dengan jelas dalam
Pasal 18 UUD 1945 ayat (1) bahwa Indonesia terdiri dari provinsi dan tiap-tiap provinsi dibagi
atas kabupaten dan kota1. Masing-masing daerah tersebut diberikan kewenangan oleh Pasal 18
ayat (2) UUD 1945 untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahnya sesuai dengan asas
otonomi daerah dan tugas pembantuan2.

Tujuan diadakan desentralisasi adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas


penyelenggaraan pemerintahan daerah selain itu desentralisasi juga diperlukan untuk
mempercepat tercapainya kesejahteraan daerah3. Desentralisasi juga ditujukan untuk menciptakan
demokrasi diwilayah tersebut sehingga terwujudnya partisipasi masyarakat dalam mengurus
daerahnya sendiri.

Peraturan daerah merupakan instrumen penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah. UUD
1945 memberikan kewenangan atribusi kepada Pemerintah Daerah untuk membentuk peraturan
daerah. Materi muatan dari peraturan daerah adalah:

a. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan


b. Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi4.

1 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 18 ayat (1)

2 Ibid, Ps. 18 ayat (2)

3 Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No, 244 Tahun 2014,
TLN No. 5587, Pertimbangan

4 Ibid, Ps 236 ayat (3)


Selain dari kedua hal tersebut peraturan daerah juga dapat memuat materi lokal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan5.

Otonomi daerah tidak diberikan begitu saja tanpa adanya pengawasan dari Pemerintah Pusat.
Untuk menciptakan keharmonisasian peraturan perundangan Pemerintah Pusat menetapkan
rangkaian pengawasan terhadap peraturan daerah secara ketat. Hal tersebut diatur dalam UU No
23 Tahun 2014. Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat sangat terkai dengan konsep
hak menguji (toetsingsrecht).

Hak menguji (toetsingsrecht) merupakan hak menguji peraturan perundang-undangan


yang diberikan kepada kekuasaan yudikatif, kekuasaan legislatif, maupun kekuasaan eksekutif 6.
Selain hak menguji (review) juga terdapat hak menelaah (preview), hak tersebut juga diberikan
kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif7. Hak menelaah (preview) digunakan kepada
rancangan suatu peraturan perundang-undangan sehingga sebelum peraturan tersebut disahkan
atau ditetapkan maka dilakukan pengujian terlebih dahulu apakah telah sesuai dan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah memberikan baik hak menguji (review) dan
hak menelaah (preview) peraturan daerah kepada Pemerintah Pusat, kedua hak tersebut
dibahasakan oleh UU No 23 Tahun 2014 menjadi pembatalan dan evaluasi. Pembatalan
merupakan hak yang dimiliki oleh Kementerian Dalam Negeri untuk menguji Perda Provinsi dan
Peraturan Gubernur apakah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya dan/atau tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan kesusilaan. Hal ini
diatur dalam Pasal 249-252 UU No 23 Tahun 2014. UU tersebut juga memberikan hak menguji
kepada Gubernur untuk menguji Peraturan Daerah kabupaten/kota. Sedangkan evaluasi
merupakan hak Kementerian untuk memeriksa rancangan Perda mengenai RPJPD, RPJMD,

5 Ibid, Ps 236 ayat (4)

6 Imam Soebechi, Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika,
2014), hlm. 182

7 Ibid
APBD, perubahan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah 8 sebelum
ditetapkannya menjadi Perda. Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum dan kesusilaan dapat dibatalkan oleh Menteri
ditetapkan dengan Keputusan Menteri dan untuk perda kabupaten/kota dibatalkan oleh gubernur
ditetapkan dengan keputusan gubernur9.

Aturan yang terdapat dalam UU No 23 Tahun 2014 belum menciptakan sistem pengujian yang
efektif. Hal ini disebabkan sistem pengujian yang rumit dan makan waktu yang lama. Contoh
setelah dilakukannya evaluasi terhadap Perda yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD
dan perubahannya, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah oleh Menteri, Perda
tersebut belum dijamin tidak akan dibatalkan dalam mekanisme pembatalan. Artinya dapat terjadi
pengujian ganda yang tidak efektif. Selanjutnya Pemerintah Daerah juga dituntut melaporkan
setiap tindakan dalam proses pengesahan dan penetapan perda setelah disetujui oleh DPRD.
Sebelum ditetapkan Pemerintah Daerah harus meminta no register rancangan perda yang telah
disetujui bersama dengan DPRD. Setelah mendapatkan no register tersebut Kepala Daerah dapat
menetapkan dan mengesahkan rancangan tersebut menjadi Perda. Setelah ditetapkan Pemerintah
Daerah harus melaporkan perda tersebut kepada Kementerian. Tanpa adanya no register tersebut
maka Perda belum dapat ditetapkan dan diundangkan. Kenapa pada saat pemberian no register
tidak sekaligus dilakukan evaluasi? Bukan hal tersebut dapat meminimalisir timbulnya Perda
yang telah ditetapkan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dan/atau kepentingan umum dan kesusilaan. Keputusan Menteri sebagai instrumen yang
ditetapkan oleh UU untuk membatalkan Perda juga dapat menimbulkan permasalahan yuridis.

Selanjutnya kewenangan eksekutif review dan preview belum diselaraskan dengan


kewenangan yang dimiliki oleh MA untuk menguji peraturan di bawah UU (judisial review).
Dalam UU No 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah apabila Pemerintah daerah keberatan
dengan pembatalan Perda yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dapat

8 Indonesia, Op,Cit., Ps, 245

9 Ibid, Ps, 251 ayat (4)


mengajukan keberatan kepada MA10. Akan tetapi ketentuan tersebut tidak terdapat lagi dalam UU
No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Keberatan tidak lagi diajukan kepada MA akan
tetapi diajukan kepada Presiden. Berbeda dengan judisial review, eksekutif review tidak
melibatkan partisipasi masyarakat yang terlibat hannyalah Pemerintah Daerah dengan pusat. Hal
ini akan menimbulkan permasalahan apabila keberatan yang diajukan oleh pemerintah daerah
diterima Presiden dan artinya Perda tersebut dapat diberlakukan, oleh masyarakat Perda tersebut
diajukan judisial review ke MA. Apabila MA membatalkan Perda tersebut keputusan mana yang
akan dipakai MA atau Presiden? Timbulnya perbedaan hasil pengujian ini belum ditegaskan
dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu suatu Perda dapat terjadi pengujian berbarengan
oleh MA dan Kementerian. Permasalahan-permasalahan tersebut hanya akan memperlama dan
mempersulit pembentukan Perda dan menghilangkan kepastian hukum.

Penelitian ini berupaya untuk menjelaskan mekanisme pengujian Perda pada kekuasaan executive
yang terdapat pada UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang sangat terkait
dengan proses pembentukan Perda itu sendiri. Adapun pokok permasalahan dari penelitian ini
adalah: a). Bagaimana proses pengujian Perda pada UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah apakah telah sesuai dengan teori norma hukum berjenjang?; b). Bagaimanakah koordinasi
sistem pengujian yang dilakukan Pemerintah Pusat dengan Mahkamah Agung terhadap Perda?;
c). Bagaimanakah model pengujian perda yang efektif dan efisien yang dapat menciptakan
harmonisasi perundang-undangan?. Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan bagaimana
mekanisme pengujian Perda di Kementrian Dalam Negeri serta permasalahan-permasalahannya
dan diharapkan melalui penelitian dapat memberikan solusi untuk mewujudkan pengujian Perda
yang efektif dan efisien.

Tinjauan Teoritis

10 Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004, LN No, 125 Tahun 2004,
TLN No. 4437, pasal 145 ayat (5)
Teori hierarki norma hukum berjenjang merupakan teori yang di gagas oleh Hans Kelsen
seorang juris kelahiran Pragha (Ceko). Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma
yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang
lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis
dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm)11.

Teori hierarki norma dikembangkan lebih lanjut oleh Hans Nawiasky yang merupakan
murid dari Hans Kelsen. Nawiasky mengaitkan teori hierarki norma Kelsen dengan suatu Negara.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di pembahasan sebelumnya bahwa teori hierarki Kelsen
menggambarkan bahwa suatu norma memiliki tingkatan dan bersumber dari norma yang lebih
tinggi dan seterusnya oleh Nawiasky ditambahkan bahwa selain norma hukum itu berjenjang dan
bertingkat norma hukum itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum
dalam negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu:

1. Staatsfudamentalnorm (Norma Fundamental Negara)


2. Staatsgrundgezetz (Aturan Dasar Negara/ Aturan pokok Negara)
3. Formel Gezet (Undang-Undang formal)
4. Verordnung &autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan otonom)12.

Secara hukum positif di Indonesia dasar untuk membentuk suatu peraturan perundang-
undangan terdapat dalam UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Undang-undang ini dibentuk dalam rangka mewujudkan kepastian hukum dan metode
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga dapat mewujudkan peraturan
perundang-undangan yang baik, pasti, baku dan standar13.

11 Maria Farida Indriati S, Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, cet. 5,
(Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 41

12 Ibid, hlm. 45

13 Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan, UU No 12 Tahun 2011,


LN No, 82, Tahun 2011, TLN No, 5234, menimbang
Sistem peraturan perundang-undangan Indonesia menempatkan Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum negara. Dalam kerangka pemikiran Hans Nawiasky, Pancasila
menempati posisi paling tertinggi dalam jenjang norma hukum sebagai staatfundamentalnorm
sedangkan dalam teori stufenbau des recht dari Kelsen sebagai groundnorm. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam perturan
perundang-undangan. Dalam Theorie von Stunfenbau der Rechtsordnung dari Nawiasky sebagai
Staatsgrundgesetz14.

Pasal 7 UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan


menentukan hierarki perundang-undangan di Indonesia adalah:

1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:


a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selain jenis dan susunan peraturan perundang-undangan di atas, sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (4),
jenis peraturan perundang-undangan lainnya, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan,
Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas
perintah dari Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dean
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupat/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat15.

14 Imam Soebechi, Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika,
2014), hlm. 177

15 Indonesia,Op.cit
Sebagai sebuah sistem, hierarki peraturan perundang-undangan menegaskan adanya
kekuatan hukum peraturan perundang-undangan di bawah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai hierarki yang ditentukan dalam Pasal 7
ayat (1) UU No 12 Tahun 2011. Ketentuan pasal tersebut sesuai dengan asas lex superiori
derogate inferiory yaitu suatu peraturan dapat juga dinyatakan tidak berlaku bila nyata-nyata
bertentangan dengan norma aturan yang lebih tinggi. Dalam perspektif teori, asas lex superiori
derogate inferiory dikembangkan oleh Kelsen dan Nawiasky melalui norma hukum berjenjang
dengan demikian terdapat kesamaan konsepsi teori Kelsen dan Nawiasky dengan hierarki
peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 716.

Dalam rangka menjaga sistem hirarki peraturan perundang-undangan maka diberikanlah hak
menguji (toetsingsrecht) kepada lembaga kekuasaan. Pengertian hak menguji (toetsingsrecht)
jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian judicial review. Secara umum hak menguji
(toetsingsrecht) merupakan hak menguji peraturan perundang-undangan yang diberikan baik
kepada kekuasaan yudikatif, kekuasaan legislatif, maupun kekuasaan eksekutif17

Hak menguji tersebut didasarkan kepada organ pengujinya. Hak menguji peraturan
perundang-undangan yang diberikan kepada kekuasaan legislatif disebut legislative review. Hak
menguji yang diberikan kepada kekuasaan eksekutif disebut dengan executive review. Hak
menguji peraturan perundang-undangan yang diberikan kepada kekuasaan yudikatif disebut
judicial review18.

Selain hak pengujian (review) terhadap peraturan perundang-undangan, dikenal juga hak untuk
menelaah (preview) terhadap rancangan peraturan perundang-undangan sebelum diundangkan.

16 Imam Soebechi, Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika,
2014), hlm 179

17 Ibid, hlm. 182

18 Ibid
Seperti halnya pengujian (review) penelaahan (preview) juga dimiliki oleh kekuasaan eksekutif
(executive preview), legastif (legislative preview) dan kekuasaan yudikatif (judicial preview)19.

Tentang judicial preview atau disebut sebagai anticipatory judicial review Mahkamah Agung,
eksekutif, atau organ negara lain yang ditunjuk untuk melakukan preview dapat melakukan
penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan sebelum diundangkan oleh pembuatnya atau
masih dalam bentuk rancangan perundang-undangan. Setelah dalam kurun waktu yang telah
ditetapkan, Mahkamah Agung atau organ negara lain yang ditunjuk tersebut menyatakan
pendapatnya yaitu, jika rancangan undang-undang itu sesuai dengan konstitusi, maka dapat
diundangkan, tetapi jika Mahkamah Agung berpendapat rancangan undang-undang tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang dasar maka rancangan undang-undang tesebut tidak boleh
diundangkan20.

Pengujian Perda merupakan bagian dari sistem pengawasan yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara
kesatuan yang dimana hanya terdapat satu kedaulatan dan satu negara, sehingga Pemerintah Pusat
mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah supaya
tugas dan wewenang yang diserahkan dari pusat ke daerah dilaksanakan dan berjalan dengan
baik.

Kata pengawasan berasal dari kata awas, berarti antara lain penjagaan, istilah pengawasan
dikenal dalam ilmu manajemen dan ilmu administrasi yaitu sebagai salah satu unsur dalam
kegiatan pengelolaan. Goerge R. Terry mendefinisikan istilah pengawasan adalah control is to
determine whati is accomplished, evaluate it, and apply corrective measures, if needed to ensure
result in keeping with the plan21.

19 Ibid

20 Ibid

21 Nimatul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaran Pemerintah Daerah, cet. 1,
(Jakarta: FH UII Press, 2007), hlm. 33
UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menerapkan dua bentuk
pengawasan yaitu pengawasan preventif dan represif. Dalam UU tersebut istilah yang digunakan
untuk mengganti istilah pengawasan preventif dan represif adalah evaluasi dan pembatalan.
Permendagri No 80 Tahun 2015 Tentang Produk Hukum Daerah menjelaskan bahwa evaluasi
adalah pengkajian dan penilaian terhadap Rancangan Perda yang diatur sesuai Undang-Undang di
bidang pemerintahan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya untuk mengetahui
bertentangan dengan kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi22. Sedangkan pembatalan adalah tindakan yang menyatakan tidak berlakunya terhadap
seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, dan/atau lampiran materi muatan
Perda, Perkada, PB KDH dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan
umum, dan/atau kesusilaan, yang berdampak dilakukannya pencabutan atau perubahan23.

Metode Penelitian

Metode penelitian ini disusun berdasar metode penelitian dan penulisan hukum yaitu
bentuk penelitian, tipe penelitian, jenis data, metode analisis data, alat pengumpulan data, analisis
data dan bentuk hasil penelitian. Yang dimaksud dengan bentuk penelitian ialah kepustakaan
normatif, yaitu penelitian yang bersumber dari bahan-bahan pustaka yang bersifat normatif.
Penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.

Menurut sifatnya, penelitian ini memiliki tipe eksplanatoris yaitu menggambarkan dan
menjelaskan lebih dalam mengenai gejala yang ada. Dalam penelitian ini, gejala yang akan
dijelaskan lebih dalam adalah mengenai pengujian Perda Provinsi yang dilakukan oleh
Kementerian Dalam Negeri berdasarkan ketentuan Pembatalan Perda yang terdapat dalam UU
No 23 Tahun 2004 dan pengujian Perda yang dilakukan oleh MA sesuai dengan kewenangan MA
22 Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Peraturan Mentri Dalam Negeri tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah, Permendagri No. 80 Tahun 2015, Psl 1 ayat (25)

23 Ibid, Psl 1 ayat (27).


dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang yang
diberikan oleh UUD dan ditegaskan dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder sebagai aplikasi dari
penelitian kepustakaan. Dimana sumber data yang akan digunakan oleh peneliti dalam penelitian
ini yaitu sumber data kepustakaan berupa buku, artikel, peraturan perundang-undangan dan
sumber data kepustakaan lainnya. Dalam hal ini, peneliti menggunakan sumber data yang telah
tersedia dalam bentuk tertulis yang merupakan hasil dari penelitian yang telah ada sebelumnya
terkait dengan permasalahan yang sama.

Metode yang digunakan dalam menganalisis data penelitian adalah dengan metode kualitatif,
sumber dan tujuan penelitian sudah jelas sejak awal dan analisis penelitian dilakukan setelah
seluruh data yang diperlukan terpenuhi. Pendekatan kualitatif pada dasarnya berarti, penyorotan
terhadap masalah serta usaha pemecahannya, yang dilakukan dengan upaya-upaya yang banyak
didasarkan pada pengukuran yang memecahkan obyek penelitian ke dalam unsur-unsur tertentu,
untuk kemudian ditarik suatu generalisasi yang seluas mungkin ruang lingkupnya.

Alat pengumpulan data yang akan digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah
mengutamakan studi dokumen karena penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan. Buku yang
dibaca antara lain Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Ilmu Perundang-Undangan
jenis, fungsi, dan materi, Untaian Pemikiran Otonomi Daerah Memandu Otonomi Daerah
Menjaga Kesatuan Bangsa, Perihal Undang-Undang dan Kepala Daerah dan Pengawasan Dari
Pusat Namun, tidak tertutup kemungkinan akan diadakan wawancara jika dirasa kurang terhadap
studi dokumen berupa studi kepustakaan yang peneliti lakukan. Wawancara ini terbatas pada
narasumber atau informan yang ahli dalam bidang hukum administrasi negara dan ilmu
perundang-undangan.

Pembahasan
Proses pembuatan Perda dapat digambarkan sebagai berikut:

Perencanaan
Program Pembentukan Perda

Penyusunan
Usulan rancangan Perda dapat
berasal dari Kepala Daerah
maupun DPRD

Pembinaan Rancangan Perda


Pembahasan bersama antara
oleh Kemendagri terhadap
Kepala Daerah dengan
Perda DPRD
yang tidak mendapatkan
evaluasi
15 hari

Evaluasi dan pemberian no


Penetapan oleh Kepala Daerah 3 hari
Register oleh Kemendagri

7 hari no reg

Pembatalan bagi Perda yang


Pengundangan 7 hari bertentangan dengan
peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi
30 hari oleh Kemendagri

UU No. 23 Tahun 2014 membedakan pengujian Rancangan Perda yang mengatur


mengenai APBD, APBD perubahan, RPJPD, RPJMD, tata ruang, pajak dan retribusi daerah
dengan yang tidak mengatur mengenai hal tersebut. Rancangan Perda yang mengatur mengenai
keuangan dan tata ruang daerah setelah disetujui bersama dengan DPRD, Kepala Daerah dalam
hal ini Gubernur menyampaikan Rancangan Perda tersebut kepada Kemendagri untuk dilakukan
evaluasi dalam waktu tiga hari setelah disetujui bersama. Oleh Kemendagri akan dibentuk tim
yang melibatkan Kementrian Keuangan, Agraria dan Tata ruang dan Kementerian Industri yang
akan mengevaluasi Rancangan Perda teresebut. Dalam tim tersebut juga melibatkan Pemerintah
Daearah. Apabila hasil dari evalusi menyatakan bahwa Rancangan Perda bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepetingan umum dan kesusilaan maka
rancangan tersebut dalam waktu 7 hari harus diperbaiki oleh Pemerintah Daerah. Apabila tidak
bertentangan maka Rancangan Perda tersebut disetujui dan diberikan no register.

No register adalah hal wajib dimiliki oleh semua Rancangan Perda pasal 243 ayat (1) UU
No. 23 Tahun 2014 menengaskan bahwa Rancangan Perda yang belum mendapatkan no register
belum dapat ditetapkan dan diundangkan oleh Kepala Daerah. Setelah ditetapkan dan
diundangkan Perda yang telah dievaluasi harus disampaiakan kembali kepada Kemendagri untuk
diuji apakah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
kepentingan umum kesusilaan. Kelemahan dalam mekanisme ini adalah adanya pengujian ganda
yang dilakukan oleh Kemendagri mengingat bahwa batu uji yang digunakan serta lembaga yang
menguji adalah sama dan diterapkan kepada Perda yang sama sehingga hanya akan menambah
waktu dalam pengujian Perda.

Pengujian Perda yang dilakukan oleh Kemendagri menguji mengenai tiga hal yaitu
kewenangan, prosedur, dan subsatasi. Apabila dinyatakan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi maka Perda tersebut dibatalkan dengan menggunakan
Keputusan Menteri Dalam Negeri. Pembatalan Perda menggunakan Keputusan Meteri adalah hal
yang tidak tepat dikarenakan mengacu kepada kententuan yang terdapat dalam UU 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam lampirannya poin 158 maka
Peraturan perundang-undangan hanya bisa dicabut dengan menggunakan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau yang sejenis sedangkan Keputusan Menteri bukanlah termasuk
kedalam jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia. Antara kata mencabut dengan
membatalkan mempunyai kesamaan dalam konteks penggunaan kata karena kedua kata
tersebut bermakna bahwa peratuaran yang dicabut/dibatalkan dinyatakan tidak memiliki daya ikat
umum. Selanjutnya konsekuensi logis dari digunakanya Keputusan Menteri adalah dapat
dijukannya Keputusan Tersebut kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal ini akan
menimbulkan perdebatan dan menghilangkan kepastian hukum.
Apabila Pemerintah Daerah tidak menerima hasil dari Pembatalan tersebut maka dapat
mengajukan keberatan kepada Presiden dan hasilnya akan dituangkan dalam Keptusan Presiden.
Ketentuan ini berbeda dengan yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 dimana keberatan
diajukan kepada MA. Akan tetapi pengaturan lebih lanjut mengenai keberatan ini belum jelas
karena sekali lagi persoalan yang timbul apabila menggunakan Keptutusan adalah apakah
Keputusan tersebut dapat diajukan kepada PTUN? Dalam Permendagri No 80 Tahun 2015
Tentang Pembentukan Produk Hukum di Daerah Pasal 139 ayat (2) menegaskan bahwa
Keputusan Presiden tersebut bersifat final akan tetapi belum ada kepastian dan penjelelasan lebih
lanjut mengenai apakah dengan adanya kata final Keptusan Presiden mengenai keberatan yang
diajukan oleh Pemerintah Daerah tentang pembatalan Perda tidak dapat diajukan kepada PTUN?
Pada akhirnya persoalan tersebut hanya akan menambah panjangnya waktu dalam melakukan
pengujian terhadap suatu Perda.

Selain no register hal yang baru yang ditemui dalam mekanisme pengujian Perda dalam
UU No 23 Tahun 2014 adalah adanya pemberian fasilitasi terhadap Rancangan Perda yang tidak
mengatur mengenai APBD, APBD perubahan, RPJPD, RPJMD, tata ruang, pajak dan retribusi
daerah. Permendagri No 80 Tahun 2015 Pasal 1 ayat (24) memberikan definisi bahwa fasilitasi
adalah tindakan pembinaan berupa pemberian pedoman dan petunjuk teknis, arahan, bimbingan
teknis, supervisi, asistensi dan kerja sama serta monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh
Menteri Dalam Negeri kepada Provinsi serta Menteri Dalam Negeri dan/atau gubernur kepada
Kabupaten/Kota terhadap materi muatan rancangan produk hukum daerah berbentuk peraturan
sebelum ditetapkan guna menghindari dilakukannya pembatalan. Pada prakteknya semua
Rancangan Perda dilakukan pengujian oleh Kemendagri. Pengaturan mengenai fasilitasi ini pun
belum telalu jelas apakah hasil dari fasilitasi harus diterapkan oleh Pemerintah Daerah atau tidak,
apabila Pemerintah Daerah berkeberatan dengan hasil dari fasilitasi tersebut dapat diajukan
keberatan kesiapa dan bagaimana caranya hal belum ada pengaturannya. Secara prakteknya pada
tahap pembahasan bersama Racangan Perda tersebut harus disampaikan kepada Kemendagri
untuk dilakukan pengujian. Selama 15 hari Kemendagri memberikan fasilitasi atau tidak
memberikan fasilitasi, apabila faslitasi tidak diberikan maka Rancangan Perda tersebut dapat
dilanjutkan ke tahap pembentukan selanjutnya.
UU No 23 Tahun 2014 belum meberikan penegaskan mengenai posisi judicial review
dalam mekanisme ini. Artinya belum terdapat kordinasi yang jelas mengenai executive review
dan judicila review oleh karenanya dapat dimungkinan akan terjadi pengujian berbarengan.
Pengujian berbarengan ini akan menimbulkan kondisi-kondisi dimana adanya kesamaan atau
ketidak samaan hasil dalam pengujian. Artinya dalam suatu waktu Pemerintah Pusat dapat
menyatakan suatu Perda tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi sedangkan MA menyatakan betentangan. Hal ini tentu saja membingungkan dan
menambah proses pengujian Perda. Hal ini dapat terjadi karena dalam executive review tidak
melibatkan peran dari masyarakat sehingga apabila masyarakat tidak setuju dengan hasil
executive review satu-satu caranya yang dapat dilakukan adalah mengajukan pengujian kepada
MA.

Undang-undang yang dijadikan batu uji untuk menguji suatu Perda dapat diubah atau
dicabut dan diganti dengan yang baru tentu Perda sebagai peraturan perudangan dibawah
Undang-undang harus tetap menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang diatasnya
oleh karenanya Perda yang awalnya telah dinyatakan tidak bertentangan harus dilakukan
pengujian kembali untuk menyesuaikan dengan perubahan UU tersebut. Sehingga pengujian
Perda dapat dilakukan berulang. Kondisi tersebut sangat amat menggangu proses pelaksanaan
suatu Perda.

Kesimpulan

Dari pembahasan sebelumnya ada beberapa poin yang dapat disimpulkan yaitu:

1. Dalam UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah terdapat 2 jenis pengujian


Perda yaitu executive preview dan executive review. Executive preview merupakan
pengujian yang dilakukan kepada Rancangan Perda yang mengatur mengenai APBD,
APBD perubahan, RPJPD, RPJMD, tata ruang, pajak dan retribusi sebelum ditetapkan
oleh Kepala Daerah. Rancangan Perda harus dilakukan pengujian setelah disetujui dalam
rapat pembahasan antara Kepala Daerah dengan DPRD. Pada prakteknya executive
preview diterapakan kepada semua Rancangan Perda akan tetapi belum diperjelas dalam
aturan yang ada. Setiap Rancangan Perda harus mendapatkan no register tanpa no register
Rancangan tersebut tidak dapat ditetapkan. Executive review adalah pengujian terhadap
Perda apakah bertentangan dengan peraturan perundang-undangna yang lebih tinggi atau
kepentingan umum kesusilaan. Executive review memiliki beberapa persoalan diantaranya
adanya pengawasan ganda, pengujian berbarengan dengan judicial review di MA dan
dapat dilakukan berulang terhadap Perda yang sama dan dalam executive review tidak
melibatkan peran aktif masyarakat. Penggunaan Keputusan Menteri untuk membatalkan
suatu Perda juga minumbulkan permasalahan dalam teori perundang-undangan.
Keputusan tersebut juga akan memunculkan perdebatan apakah PTUN dapat terlibat
dalam mekanisme ini. Keberatan mengenai pembatalan juga menimbulkan permasalah
yang sama karena menggunakan Keputusan Presiden.
2. Belum ada koordinasi yang jelas dalam pelaksanaan executive review di Pemerintah Pusat
dengan judicial review di MA. Akibat dari kondisi tersebut adalah dapat terjadi pengujian
berbarengan yang akan menghilangkan kepastian hukum dalam pengujian Perda.
3. Permasalahan utama dalam mekanisme ini adalah diterapkannya executive review dan
judicila review secara bersamaan terhadap Perda yang sama sehingga waktu pengujian
suatu Perda menjadi sangat lama. Pengujian yang efektif dan efisien akan terwujud
apabila Pemerintah Pusat lebih menggunakan mekanisme executive preview dan
pendekatan preventif. Sehingga diharapkan nantinya semua Rancangan Perda yang telah
ditetapkan tidak ada lagi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, kepentingan umum dan kesusilaan. Selanjutnya Perda-Perda yang telah
ditetapkan pengujiannya dapat diserahkan kepada MA.

Saran

Aturan mengenai mekanisme pengujian Perda dalam UU No 23 Tahun 2014 sebaiknya diubah
dan harus dirumuskan kembali agar mewujudkan pengujian Perda yang efektif dan efisien.
Aturan mengenai evaluasi (executive preview) sebaiknya diterapkan kepada semua Rancangan
Perda Provinsi. Fungsi no register dapat dijadikan sebagai tahap pemeriksaan apakah suatu
Rancangan Perda yang dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undang dan
kepentingan umum kesusilaan telah diperbaiki atau belum. Terhadap pembatalan sebaiknya
Pemerintah Pusat menyerahkan kepada MA dan mendorong partisipasi masyarakat untuk aktif
terlibat dalam pengawasan Perda.

Daftar referensi

Farida Indriati S, Maria. Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Cet. 5.
Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Huda, Nimatul. Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaran Pemerintah


Daerah. cet. 1. Jakarta: FH UII Press, 2007.

Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945

Indonesia. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan. UU No 12 Tahun


2011. LN No. 82. Tahun 2011. TLN No. 5234.

Indonesia. Undang-Undang Pemerintahan Daerah. UU No. 23 Tahun 2014. LN No, 244 Tahun
2014. TLN No. 5587.

Indonesia. Undang-Undang Pemerintahan Daerah. UU No. 32 Tahun 2004. LN No, 125 Tahun
2004. TLN No. 4437.

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. Peraturan Mentri Dalam Negeri tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah. Permendagri No. 80 Tahun 2015.

Soebechi, Imam. Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah. Cet. 2. Jakarta: Sinar
Grafika, 2014.

Anda mungkin juga menyukai