Anda di halaman 1dari 31

BAB 4

ANALISIS HUKUM

4.1 Executive Review dan Executive Preview Dalam UU No 23 Tahun 2014


Dalam teori norma berjenjang yang digagas oleh Hans Kelsen keabsahan suatu
norma ditentukan dari bagaimana norma tersebut diciptakan. Suatu norma harus
bersumber dari norma yang lebih tinggi artinya prosedur untuk menciptakan suatu
norma tergantung dari norma yang tinggi atau yang paling tinggi dari norma yang
diciptakan tersebut. Apabila prosedur tersebut telah dilakukan maka suatu norma dapat
dikatakan sah dan mempunyai daya ikat. Akan tetapi masih besar kemungkinan materi
yang diatur oleh suatu norma bertentangan dengan norma yang lebih tinggi. Norma
tersebut tetap dinyatakan sah karena pembentukannya sesuai dengan yang tertulis di
dalam norma yang lebih tinggi. Untuk mengatakan bahwa suatu norma dinyatakan sah
atau tidak diperlukan suatu prosedur yang ditentukan oleh suatu norma.

Prosedur tersebutlah yang disebut dengan hak menguji yang diberikan kepada
lembaga-lembaga kekuasaan negara untuk menguji apakah suatu peraturan perundang-
undangan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di atas
atau tidak. Lembaga-lembaga tersebut diberi kewenangan untuk menguji baik secara
formil atau materil suatu peraturan perundang-undangan. Selama belum ada keputusan
dari lembaga tersebut maka suatu peraturan perundangan dinyatakan sah dan tetap
berlaku.

UU No 12 Tahun 2011 menyebutkan hierarki dalam sistem perundang-undangan


yang ada di Indonesia adalah1:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

1
Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan, UU No 12
Tahun 2011, LN No, 82, Tahun 2011, TLN No, 5234, Psl 7
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selanjutnya UU No 12 Tahun 2011 dalam Pasal 9 menegaskan bahwa apabila terdapat


undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 maka pengujiannya dilakukan
oleh Mahkamah Konstitusi sedangkan pengujian terhadap peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dilakukan oleh
Mahkamah Agung. Berdasarkan ketentuan dari UU No 12 Tahun 2011 yang
berwenang untuk menyatakan absah suatu undang-undang adalah Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung berdasarkan kewenangan masing-masing.

Kewenangan yang dimiliki oleh MA dan MK disebut juga dengan judicial review
yaitu pengujian suatu norma oleh kekuasaan kehakiman. Oleh Kelsen disebut bahwa
pengujian oleh MA dan MK merupakan pengujian luar biasa karena pengujian
dilakukan oleh lembaga luar dari pembentuk norma tersebut. Kementerian Dalam
Negeri dan Gubernur juga memiliki kewenangan untuk membatalkan suatu peraturan
perundang-undangan yakni Perda, hal ini terdapat dalam pasal 251 UU No 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan daerah. Selain itu Kementerian dan Gubernur dapat
menguji atau memeriksa Rancangan Perda sebelum diudangkannya atau ditetapkannya
Perda tersebut. Kewenangan yang dimiliki oleh Kementrian dan Gubernur disebut
dengan executive preview dan executive review.

Pengujian yang dilakukan oleh Kemendagri dan Gubernur merupakan pengujian


dalam konteks pengawasan. Peraturan Daerah merupakan peraturan perundang-
undangan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kesatuan sistem peraturan
perundang-undangan secara nasional. Hal ini berarti, pembuatan suatu Peraturan
Daerah bukan sekedar dikaitkan dengan kompetensi formal sebagai daerah otonom
atau semata-mata hanya melihat dan didasarkan pada kesatuan penyelenggaraan
kepentingan daerah yang bersangkutan, tetapi lebih jauh harus didasarkan pada
kesatuan penyelenggaraan pemerintahan dan kepentingan nasional secara
keseluruhan2. Prinsip normatif secara vertikal harus tetap dijaga di tengah
keanekaragaman materi muatan suatu Perda.

Pengawasan yang terlalu ketat hanya akan memberikan dampak buruk terhadap
Perda. Pengawasan akan mempersempit ruang lingkup kewenangan daerah untuk
mengatur wilayahnya. Daerah tidak bisa membentuk Perda dengan waktu relatif lebih
cepat karena harus menunggu persetujuan dari Pemerintah Pusat. Biaya untuk
pembuatan Perda juga menjadi lebih mahal karena harus melakukan perbaikan-
perbaikan yang diakibatkan koreksi dari pemerintahan pusat. Oleh karena itu sangat
penting mewujudkan prosedur pengujian oleh Pemerintah Pusat kepada peraturan
daerah yang tidak mempersulit Pemerintah Daerah dan mewujudkan keharmonisan
peraturan perundang-undangan.

UU No 23 Tahun 2014 telah memberikan kewenangan kepada Kementerian


Dalam Negeri untuk menguji Perda baik sebelum ditetapkan maupun setelah
ditetapkan oleh Kepala Daerah. Pengujian sebelum ditetapkan disebut dengan evaluasi
sedangkan setelah ditetapkan hanya disebut pembatalan. Pada UU 32 Tahun 2004
terdapat istilah klarifikasi yaitu pengujian Perda setelah adanya penetapan oleh Kepala
Daerah. Istilah tersebut tidak ditemukan lagi dalam UU No 23 Tahun 2014. Pengujian
tersebut merupakan bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat
terhadap daerah. Pemerintah Pusat beranggapan bahwa Pemerintah Daerah merupakan
bagian dari Pemerintah Pusat sehingga Pemerintah Pusat berhak untuk melakukan
koreksi apabila ada kebijakan tersebut tidak sesuai3.

Pengujian Perda tersebut tidak hanya dilihat secara kesatuan administratif antara
Pemerintah Pusat dengan daerah akan tetapi juga dilihat dalam hal penerapan teori

2
Zaenal Arifin Hoesein, Judcial Review Di Mahkamah Agung Republik Indonesia: Tiga
Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, ed.1, cet.1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm.
56
3
Hasil wawancara yang dilakuakan tgl 19 mei 2016 waktu 14.00 wib di Kementrian Dalam
Negeri Republik Indonesia dengan kepala sub bagian fasilitas kebijakan daerah wil. II Biro Hukum,
setjen Kementrian Dalam Negeri Belly Isnaeni, S.H, M.H.
hierarki norma yang telah ditetapkan dengan jelas dalam UU No 12 Tahun 2011.
Mewujudkan Perda yang harmonis dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi merupakan suatu keharusan akan tetapi kewenangan lembaga mana yang
menguji juga harus dinyatakan secara tegas agar tidak terjadi tumpang tindih
pengujian.

Perda dapat diuji pada tahap sebelum dan sesudah ditetapkan oleh kepala daerah.
Secara kelembagaan Perda dapat diuji oleh dua lembaga yaitu MA dan Kementerian
Dalam Negeri. Pengujian yang dilakukan oleh MA dan Kementerian memiliki
karakteristik yang berbeda akan tetapi batasan antara pengujian yang dilakukan oleh
kedua lembaga tersebut belum ada, artinya belum terdapat koordinasi yang jelas antara
lembaga tersebut dalam melakukan pengujian Perda.

Proses pembentukan Perda pada dasarnya sama dengan proses pembentukan UU.
Perda juga dibentuk oleh lembaga perwakilan rakyat di daerah bersama dengan kepala
daerah. Perda juga memiliki prolekda sebagaimana UU juga mempunyai proleknas.
Pada tahap perencanaan hingga tahap pembahasan proses pembentukannya sama
dengan UU akan tetapi sebelum dilakukannya penetapan dan pengundangan oleh
kepala daerah Perda harus disampaikan kepada kementerian dalam negeri untuk
mendapatkan no register4 dan untuk Perda yang mengatur mengenai RPJPD, RPJMD,
APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah,
retribusi daerah dan tata ruang daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 245 ayat
(1) UU No 23 Tahun 2014 harus mendapatkan evaluasi terlebih dahulu sebelum
diberikan no register dan ditetapkan oleh kepala daerah.

Perda yang mengatur mengenai hal-hal di luar dari RPJPD, RPJMD, APBD,
perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi
daerah dan tata ruang daerah mendapatkan pembinaan oleh kementerian dalam negeri
hal ini dipertegas dalam Pasal 87 Peremndagri No 80 Tahun 2014. Pembinaan yang

4
Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No, 244
Tahun 2014, TLN No. 5587, Psl 242 ayat (3)
dilakukan oleh Kemendagri adalah pemberian fasilitas terhadap Rancangan Perda
sebelum mendapatkan persetujuan bersama dengan DPRD5. Dalam hal ini Gubernur
harus menyampaikan Rancangan Perda kepada Kemendagri untuk mendapatkan
fasilitas tersebut. Setelah diberikan fasilitas oleh Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian akan memberitahukan Kepala Daerah melalui surat atas nama Menteri
Dalam Negeri. Surat tersebut ditindaklanjuti oleh Kepala Daerah. Tujuan dari
diadakannya fasilitas ini disebutkan dengan jelas dalam Pasal 90 ayat (3) untuk
menghindari dilakukannya pembatalan6 .

Pembinaan yang diberikan oleh Kemendagri terhadap Rancangan Perda-Perda


yang tidak mendapatkan evaluasi merupakan bentuk executive preview. Permendagri
No 80 Tahun 2015 dan UU No 23 Tahun 2014 tidak menyatakan secara tegas bahwa
pembinaan juga dalam rangka untuk menguji apakah Rancangan Perda tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau tidak.
Dilihat dari tujuan diadakannya pembinaan atau pemberian fasilitas ini adalah untuk
menghindari dilakukannya pembatalan. Artinya dalam pembinaan Kemendagri tentu
akan menguji apakah rancangan Perda tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan atau tidak dan apakah materi muatannya telah sesusai atau tidak,
sehingga nantinya ketika Rancangan Perda tersebut telah ditetapkan oleh Kepala
Daerah Perda tersebut tidak terkena pembatalan karena tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum kesusilaan.
Berdasarkan hal tersebut pembinaan ini merupakan hal yang sama dengan evaluasi
yang dilakukan kepada Perda yang mengatur mengenai RPJPD, RPJMD, APBD,
perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi
daerah dan tata ruang daerah.

Proses pembuatan Perda dapat digambarkan sebagai berikut:

5
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Peraturan Mentri Dalam Negeri tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah, Permendagri No. 80 Tahun 2015, Psl 88
6
Ibid, Psl 90 ayat (3)
Perencanaan
Program Pembentukan Perda

Penyusunan
Usulan rancangan Perda dapat
berasal dari Kepala Daerah
maupun DPRD

Pembahasan bersama antara Pembinaan Rancangan Perda


oleh Kemendagri terhadap
Kepala Daerah dengan DPRD
Perda yang tidak mendapatkan
evaluasi
15 hari

Evaluasi dan pemberian no


Penetapan oleh Kepala Daerah 3 hari Register oleh Kemendagri

7 hari no reg

Pembatalan bagi Perda yang


Pengundangan bertentangan dengan
7 hari
peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi
oleh Kemendagri
30 hari

Kementerian dalam negeri setidaknya melakukan 3 (tiga) kali pemeriksaan


terhadap Rancangan Perda provinsi hal ini berlaku bagi baik Perda yang mengatur
mengenai RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah maupun yang
bukan. Setelah disetujui dalam rapat pembahasan dan sebelum ditetapkan oleh Kepala
Daerah, Kepala Daerah diharuskan untuk menyampaikan Rancangan Perda tersebut
kepada Kemendagri baik itu untuk dilakukan evaluasi, pembinaan, maupun untuk
mendapatkan no register Perda. Setelah ditetapkan Kepala Daerah harus
menyampaikan kembali Rancangan tersebut kepada Kemendagri untuk diuji apakah
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau tidak.

Perda yang mengatur mengenai RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD,


pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang
daerah setelah disetujui bersama dalam rapat pembahasan harus disampaikan oleh
Kepala Daerah kepada Kementerian untuk dilakukan pengujian. Dalam UU No 23
Tahun 2014 maupun Permendagri No 80 Tahun 2015 tidak menyebutkan berapa hari
maksimal dilakukannya evaluasi terhadap Perda tersebut. Hal ini berbeda dengan
pembinaan yang dilakukan untuk Perda yang tidak mendapatkan evaluasi dalam Pasal
89 Permendagri No 80 Tahun 2015 maksimal 15 hari dalam memberikan fasilitas
apabila dalam tenggang waktu tersebut Kemendagri tidak memberikan fasilitas maka
Perda tersebut dapat dilanjutkan kepada tahap selanjutnya.

Proses evaluasi tidak hanya melibatkan Kemendagri akan tetapi kementerian-


kementerian sektoral yang terkait. Perda yang dilakukan evaluasi akan dikelompokkan
terlebih dahulu dan disampaikan kepada dirjen di Kemendagri yang diberikan
kewenangan oleh Permendagri No 80 Tahun 2015. Rancangan Perda yang mengatur
tentang APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak
daerah, retribusi daerah disampaikan kepada Direktur Jendral Bina Keuangan Daerah,
Rancangan Perda yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, tata ruang daerah dan
rencana pembangunan industri provinsi disampaikan kepada Direktur Jendral Bina
Pembangunan Daerah7. Selanjutnya masing-masing direktorat yang telah diberikan
kewenangan melakukan koordinasi dengan kementerian-kementerian terkait tidak
hanya itu kementerian juga dapat melibatkan para ahli dan Pemerintah Daerah.

7
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Peraturan Mentri Dalam Negeri tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah, Permendagri No. 80 Tahun 2015, Psl 92
Pasal 93 menugaskan kepada masing-masing dirjen untuk berkoordinasi dengan
kementerian terkait8:

a. Melalui Direktur Jendral Bina Keuangan Daerah terhadap Rancangan Perda


Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah berkoordinasi dengan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan;
b. Melalui Direktur Jendral Bina Pembangunan Derah terhadap Rancangan Perda
Provinsi tentang tata ruang daerah dan berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang tata ruang;
c. Melalui Direktur Jendral Bina Pembangunan Daerah terhadap Rancangan
Perda Provinsi tentang rencana pembangunan industri dan berkoordinasi
dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah dibidang
perindustrian.

Keterlibatan kementerian sektoral dalam rangka pengharmonisasian kebijakan antara


kebijakan yang diambil oleh sektoral dengan Pemerintah Daerah dalam hal pajak
banyak sekali kasus perbedaan nilai pajak yang dipungut oleh daerah dengan pusat dan
sering kali daerah menginginkan pemasukan daerah yang lebih tinggi sehingga tidak
sesuai dengan nilai pajak yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Pada praktiknya Pemerintah Daerah juga dilibatkan dalam evaluasi Rancangan


Perda. Dengan adanya Pemerintah Daerah dalam tim evaluasi Rancangan Perda maka
hasil evaluasi akan jauh bisa diterima oleh Pemerintah Daerah karena adanya proses
tanya jawab dan diskusi antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Semua keberatan yang
ditemukan oleh Pemerintah Daerah juga dapat diproses secara langsung dalam tim
tersebut.

Pembinaan sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 87 Permendagri No 80


Tahun 2015 berbeda prosesnya dengan evaluasi. Pembinaan dapat dilakukan sebelum
mendapatkan persetujuan bersama dengan DPRD. Jadi Rancangan Perda tersebut dapat

8
Ibid, Psl 93
disampaikan kepada Kemendagri baik sebelum dilakukannya pembahasan maupun
pada proses pembahasan dengan DPRD. Pembinaan Rancangan Perda tersebut harus
diawali dengan permintaan dari Gubernur untuk dilakukannya pembinaan dengan surat
setelah itu Rancangan Perda disampaikan kepada Kemendagri lalu Kemendagri
melalui Dirjen Otonomi Daerah mengirimkan surat atas nama Menteri kepada
Pemerintah Daerah tentang hasil pembinaan tersebut. Surat tersebut yang
ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah. Akan tetapi dalam Permendagri No 80 Tahun
2015 belum terdapat mekanisme keberatan atas hasil pembinaan tersebut.

Aturan mengenai pembinaan berupa pemberian fasilitas Rancangan Perda oleh


Kemendagri kepada Pemerintah Daerah hanya terdapat pada Permendagri No 80
Tahun 2015 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Aturan mengenai hal ini
tidak terdapat dalam UU No 23 Tahun 2014. Pasal 1 ayat (24) memberikan definisi
fasilitasi adalah tindakan pembinaan berupa pemberian pedoman dan petunjuk teknis,
arahan, bimbingan teknis, supervisi, asistensi dan kerja sama serta monitoring dan
evaluasi yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri kepada provinsi serta Menteri
Dalam Negeri dan/atau gubernur kepada kabupaten/kota terhadap materi muatan
rancangan produk hukum daerah berbentuk peraturan sebelum ditetapkan guna
menghindari dilakukannya pembatalan9. Definisi fasilitasi tersebut lebih luas
dibandingkan dengan definisi evaluasi. Fasilitasi tidak hanya menguji apakah Perda
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi secara
hierarki dan kepentingan umum akan tetapi juga mengawasi dan memberikan arahan
agar terbentuk Perda berkualitas baik secara materil maupun formil.

Pasal 87 sampai dengan 90 Permendagri No 80 Tahun 2015 tidak memberikan


aturan lebih lanjut mengenai pemberian pedoman dan petunjuk teknis, arahan,
bimbingan teknis, supervisi, asistensi dan kerja sama serta monitoring sebagaimana
yang disebutkan dalam definisi pada Pasal 1. Pasal 87 sampai dengan 90 hanya
menegaskan bahwa yang berwenang untuk memberikan fasilitasi adalah Kemendagri

9
Ibid, Psl 1 ayat (24)
dan Gubernur menyampaikan Rancangan Perda kepada Kemendagri untuk
mendapatkan fasilitasi. Dalam praktiknya fasilitasi adalah tindakan pasif dari
Kementerian dan merupakan tindakan aktif dari Gubernur. Rancangan yang
disampaikan akan diperiksa oleh Kemendagri setalah itu Kemendagri akan
memberitahukan hasil pemeriksaan melalui surat kepada Pemerintah Daerah. Hasil
pemeriksaan tersebut belum diketahui apakah berbentuk rekomendasi atau keharusan
sebagaimana hasil evaluasi sehingga belum ada aturan yang jelas apakah Pemerintah
Daerah wajib untuk mengikuti hasil tersebut atau tidak.

Setelah dilakukannya evaluasi atau fasilitasi oleh Kemendagri, Rancangan Perda


harus mendapatkan no register agas dapat ditetapkan oleh Kepala Daerah. Pasal 243
ayat (1) dengan tegas menyebutkan bahwa Rancangan Perda yang belum mendapatkan
no register tidak dapat ditetapkan oleh Kepala Daerah. No register pada dasarnya
ditujukan untuk mencatat jumlah Perda yang telah dibentuk oleh daerah. Sebelum UU
No 23 Tahun 2014 belum terdapat aturan mengenai no register sehingga di Kemendagri
tidak ada data yang jelas mengenai berapa jumlah Perda yang telah dibentuk oleh
daerah. Perda yang mendapatkan evaluasi setelah dilakukannya evaluasi dan
dinyatakan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dan kepentingan umum akan diberikan no register. Sedangkan Perda yang dinyatakan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan ketertiban
umum harus dibahas kembali oleh DPRD dan Kepala Daerah setelah diperbaiki
Kemendagri akan mengecek kembali dan apabila hasil perbaikan Rancangan Perda
tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih dan
kepentingan umum akan diberikan no register. Sedangkan untuk Perda yang
mendapatkan fasilitasi setalah disetujui bersama antara DPRD dan Kepala Daearah
maka Kepala daerah paling lama dalam waktu 3 hari harus menyampaikan Rancangan
Perda tersebut untuk mendapatkan no register.

Fungsi no register tidak hanya mendata produk hukum daerah, dengan adanya
aturan bahwa Rancangan Perda belum dapat ditetapkan oleh Kepala Daerah apabila
belum mendapatkan no register telah menjadikan no register sebagai syarat formil
dalam penetapan dan pengundangan suatu Perda. Pada proses pembentukan Perda yang
mendapatkan evaluasi no register juga dijadikan tahapan untuk memeriksa apakah hasil
evaluasi ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah atau tidak. Dikarenakan pada tahap
pengajuan no register untuk Perda yang pada evaluasi dinyatakan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum harus
menyertakan Keputusan Menteri mengenai hasil evaluasi apabila telah sesuai
Rancangan Perda tersebut mendapatkan no register10. Perda yang tidak mendapatkan
evaluasi setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan DPRD, Kepala Daerah
menyampaikan Rancangan Perda tersebut untuk mendapatkan no register.

No register Rancangan Perda dapat dijadikan sebagai bagian dari proses evaluasi
dan fasilitasi Rancangan Perda. Tahapan ini dapat dijadikan sebagai tahapan terakhir
bukan hanya pada proses evaluasi akan tetapi juga pada tahap pembinaan yang
dilakukan oleh Kemendagri. No register juga dapat dijadikan pengujian terakhir apakah
setelah dilakukannya evalusi dan fasilitasi oleh kementerian Rancangan Perda tersebut
masih bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
tidak, apakah Pemerintah Daerah telah menindaklanjuti hasil evaluasi atau fasilitasi
dari Pemerintah Pusat atau tidak. Dengan adanya double chek maka kemungkinan
adanya pembatalan Perda setelah dibatalkan tentu akan jauh lebih kecil

Penetapan Rancangan Perda menjadi Perda dilakukan oleh Kepala Daerah


dengan membubuhkan tanda tangan. Selanjutnya Perda yang telah ditetapkan
diundangkan dengan ditempatkan di lembaran daerah. Untuk Perda yang mendapatkan
evaluasi tahapan ini merupakan bukti bahwa Rancangan Perda tersebut telah lulus dari
mekanisme executive preview. Semua Perda yang telah ditetapkan oleh Kepala Daerah
harus disampaikan kembali kepada Kemendagri untuk dilakukan pengujian (executive
review).

Pembatalan yang dilakukan oleh Menteri terhadap Perda provinsi secara


prosedur memiliki permasalahan dan bersinggungan dengan kewenangan yang dimiliki

10
Ibid, Psl 106 ayat (2)
oleh MA untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang
terhadap undang-undang. Dengan adanya pembatalan yang dilakukan oleh
Kemendagri maka selama proses pembentukan hingga penetapan suatu Perda
mengalami 3 (tiga) kali proses pengecekan oleh Kemendagri.

Proses pembatalan yang dilakukan oleh Kemendagri dalam rangka mencegah


adanya Perda-Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dan kepentingan umum. Dalam Pasal 250 ayat (2) yang dimaksud dengan
bertentangan dengan kepentingan umum meliputi:

a. Terganggunya kerukunan antar warga masyarakat;


b. Terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
c. Terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
d. Terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat; dan/atau;
e. Diskriminasi terhadap suku, agama, dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan
gender.

pada dasarnya kerugian yang ditimbulkan akibat terganggunya kepentingan umum


sebagaimana yang telah digambarkan dalam Pasal 250 ayat (2) tersebut belum ada
karena Perda yang telah ditetapkan dalam waktu paling lama 7 hari harus disampaikan
kepada kementerian. Artinya Kementerian dalam negeri memberikan tindakan
preventif agar kerugian tersebut tidak muncul dikemudian hari.

Dalam pengujian yang dilakukan oleh Kemendagri terdapat tiga hal yang akan
diperiksa yaitu kewenangan, prosedur, dan substansi dari Perda tersebut11. Dengan
diperiksanya tiga elemen tersebut Kementerian dapat memutuskan bahwa suatu Perda
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan
umum atau tidak. Aspek kewenangan yang dinilai adalah apakah Perda tersebut

11
Hasil wawancara yang dilakuakan tgl 19 mei 2016 waktu 14.00 wib di Kementrian Dalam
Negeri Republik Indonesia dengan kepala sub bagian fasilitas kebijakan daerah wil. II Biro Hukum,
setjen Kementrian Dalam Negeri Belly Isnaeni, S.H, M.H.
mengatur materi muatan terkait dengan urusan yang telah diberikan kepada Pemerintah
Daerah. Dalam penjelasan UU No 23 Tahun 2014 dijelaskan bahwa terdapat urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal
dengan istilah urusan pemerintah absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren.
Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan
pemerintahan pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, daerah provinsi, dan daerah
kabupaten/kota. Urusan pemerintahan wajib dibagi dalam urusan pemerintahan wajib
yang terkait pelayanan dasar dan urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan
dasar. Selain itu dalam UU No 23 Tahun 2014 juga dikenal dengan urusan
pemerintahan umum yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan
yang terkait pemeliharaan ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika, menjamin hubungan yang serasi
berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan sebagai pilar kehidupan berbangsa
dan bernegara serta memfasilitasi kehidupan demokratis. Presiden dalam pelaksanaan
urusan pemerintahan umum di Daerah melimpahkan kepada Gubernur sebagai kepala
pemerintahan provinsi dan kepada bupati/wali kota sebagai kepala pemerintahan
kabupaten/kota12.

Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana yang dimaksud oleh UU No 23


Tahun 2014 telah dibagi secara rinci dalam lampiran UU No 23 Tahun 2014.
Kemendagri nantinya akan memeriksa apakah Perda yang sedang diuji mengatur
mengenai urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada pemerintahan daerah
apabila tidak maka Perda tersebut bertentangan dengan UU No 23 Tahun 2014.
Prosedur mengenai pembentukan Perda diatur dalam UU No 23 Tahun 2014 dan
Permendagri No 80 tahun 2015. Dalam hal ini Kemendagri akan memastikan Perda
tersebut telah melewati tahapan-tahapan sesuai dengan perintah dari UU No 23 Tahun
2014 terutama mengenai dipatuhinya hasil evaluasi dan adanya no register. Sedangkan

12
Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No, 244
Tahun 2014, TLN No. 5587, penjelasan
yang hal subtansi yang diperiksa oleh Kemendagri adalah mengenai pedelegasian
kewenangan apakah telah sesuai dengan aturan yang diatasnya.

Kriteria diatas dapat menguji apakah suatu Perda bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau tidak. Akan tetapi untuk menentukan
apakah suatu Perda bertentangan dengan kepentingan umum atau tidak dibutuhkan
kriteria yang lebih khusus. Dalam sistem pengujian ini kerugian yang ditimbulkan
akibat suatu Perda belum tampak dikarenakan setalah ditetapkan oleh Kepala Daerah
Perda harus segera disampaikan kepada Kemendagri artinya Perda tersebut belum
dilaksanakan. Tentu saja sebelum adanya Keputusan Menteri mengenai pengujian
Perda tersebut maka Perda dianggap tetap berlaku dan mengikat umum. Persoalan yang
akan ditemui yaitu sulitnya untuk menguji apakah suatu Perda bertentangan dengan
kepentingan umum sedangkan Perda tersebut belum dilaksanakan secara maksimal.
Poin diskriminasi dan terganggunya ekonomi dalam Pasal 250 ayat (2) UU No 23
Tahun 2014 masih dapat diprediksi dari materi muatan sedangkan tiga poin sisanya
harus melihat kondisi faktual setelah dijalankannya aturan tersebut.

Proses executive review tidak melibatkan pihak-pihak yang merasa dirugikan


kepentingannya yang ditimbulkan dengan ditetapkannya Perda tersebut. Hal ini tentu
sangat berbeda dengan pengujian dalam judicial review. Artinya masyarakat sebagai
subyek pengaturan dari Perda tersebut tidak terlibat dalam proses pengujian. Dalam hal
ini dapat dipahami bahwa upaya pengujian yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat lebih
bersifat preventif daripada menyelesaikan masalah sebagaimana yang dilakukan oleh
MA. Pihak yang paling aktif dalam executive review adalah Pemerintah Pusat
sedangkan dalam judicial review yang aktif adalah warga masyarakat yang merasa
kepentingannya dirugikan dengan adanya Perda tersebut. Apabila pengujian antara
executive review dan judicial review diselaraskan makanya akan terwujud keterlibatan
antara masyarakat sebagai subyek dari Perda tersebut dengan Pemerintah Daerah
sebagai pelaksana dari Perda tersebut.

Secara filosofi adanya executive review dan judicial review sangat berbeda.
Executive review muncul dalam rangka pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah
Pusat terhadap Pemerintah Daerah supaya tidak terjadi kekacauan diakibatkan tidak
selarasnya produk-produk hukum didaerah dengan undang-undang sebagai suatu
kebijakan nasional. Sedangkan judicial review merupakan bentuk dari pemisahan
kekuasaan dan adanya cek and balances sehingga tidak ada lagi lembaga yang superior,
tetapi justru lembaga negara yang kedudukannya sederajat dan dibedakan pada fungsi
dan tugas sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara RI Tahun 194513.

UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah melibatkan MA dalam


proses pengujian Perda. Pasal 145 ayat (5) mengatakan bahwa apabila
provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada
Mahkamah Agung14. Dalam UU No 32 Tahun 2004 pembatalan Perda dilakukan
dengan peraturan presiden sedangkan dalam UU No 23 Tahun 2014 pembatalan Perda
dilakukan dengan Keputusan Menteri. Dikarenakan yang membatalkan adalah
Presiden maka keberatan atas peraturan presiden tersebut diserahkan kepada MA.

Mekanisme kebaratan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 145 ayat (5)
merupakan upaya untuk menghubungkan antara executive review dengan judicial
review akan tetapi mekanisme tersebut menimbulkan persoalan baru. Dalam analisis
Perkara Pengujian Perda Nomor: 05 P/HUM/2005 tentang Pengujian Perda Kabupaten
Indramayu Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pajak Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi
yang ditulis oleh Imam Soebechi dalam bukunya Judicial Review Perda Pajak dan
Retribusi Daerah. Menjelaskan bahwa dalam pengujian Perda tersebut MA telah
melakukan dua kali uji materil yaitu15:

13
Zaenal Arifin Hoesein, Judcial Review Di Mahkamah Agung Republik Indonesia: Tiga
Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, ed.1, cet.1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009). hlm 77
14
Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004, LN No, 125
Tahun 2004, TLN No. 4437, Psl 145 ayat (5)
15
Imam Soebechi, Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, cet. 2, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2014), hlm 226
1. Hak uji materil dalam Perkara Nomor 11 P/HUM/2003 yang diajukan oleh
Bupati Kepada Daerah Indramayu atas Keputusan Menteri Dalam Negeri
tanggal 13 Maret 2003 Nomor 13 Tahun 2003 tentang Pembatalan Perda
Kabupaten Indramayu Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pajak Pengelolaan
Minyak dan Gas Bumi. Sedangkan pihak termohon adalah Pemerintah Pusat
dalam hal ini Menteri Dalam Negeri yang mengeluarkan Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2003.
2. Hak uji materil dalam perkara Nomor: 05 P/HUM/2005 Tentang Pengujian
Perda Kabupaten Indramayu Nomor 25 Tahun 2002 yang diajukan oleh
Pertamina dan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB). Pihak
termohon adalah Bupati Kabupaten Indramayu.

Pada tahap awal dilakukan executive review terhadap Perda tersebut, Pemerintah
Pusat telah membatalkan Perda Indramayu tentang pengelolaan minyak dan gas bumi
dengan Keputusan Menteri No 13 Tahun 2003. Selanjutnya Pemerintah Daerah
mengajukan keberatan mengenai keputusan yang diberikan oleh Menteri kepada MA.
Oleh MA Keputusan Menteri tersebut dinyatakan batal sehingga Perda Indramayu
tentang pengelolaan minyak dan gas bumi dinyatakan berlaku kembali akan tetapi oleh
warga masyarakat yang tergabung dalam Pertamina dan Federasi Serikat Pekerja
Pertamina Bersatu (FSPPB) mengatakan bahwa MA telah keliru dalam memutuskan
perkara keberatan yang diajukan oleh Bupati Indramayu sehingga FSPPB mengajukan
uji materil kepada MA mengenai Perda Indramayu tersebut.

Kasus tersebut terjadi pada tahun 2002-2003 aturan yang berlaku adalah UU No
22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sehingga masih terdapat perdebatan
apakah MA dapat menerima keberatan Bupati. Akibat dari pengujian dua kali yang
dilakukan oleh MA membuat pelaksanaan dari Perda tersebut terganggu sehingga
kepastian hukum tidak terwujud.

Pengujian dua kali sebagaimana yang telah disebutkan dalam analisis putusan
tersebut kemungkinan besar dapat terjadi dalam mekanisme yang diatur dalam UU No
32 Tahun 2004. Oleh UU No 23 Tahun 2014 mekanisme keberatan kepada MA
dihilangkan. Keberatan atas pembatalan dalam UU No 23 Tahun 2014 langsung
diajukan kepada Presiden. sisi positifnya MA hanya dapat menerima pengujian materil
yang diajukan oleh warga masyarakat saja sehingga tidak akan terjadi lagi pengujian
dua kali oleh MA. Walaupun MA tidak lagi mempunyai kewenangan untuk menerima
keberatan dari Pemerintah Daerah MA masih memiliki kewenangan untuk menguji
Perda terhadap UU kemungkinan terburuk dapat terjadinya pengujian berbarengan
antara Kemendagri dengan MA.

Terhadap peraturan daerah demikian maka dimungkinkan dilakukan pengajian


melalui dua mekanisme yaitu executive review dan judicial review. Terhadap kondisi
demikian maka kemungkinan terjadi adalah16:

1. Hasil executive review Pemerintah Pusat menyatakan menyetujui rancangan


peraturan daerah yang bersangkutan dan putusan judicial review tidak
menerima atau menolak permohonan maka dengan sendirinya peraturan daerah
tetap diberlakukan dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2. Hasil executive review Pemerintah Pusat menyatakan menolak rancangan
peraturan daerah dan putusan judicial review menyatakan permohonan
beralasan dan menyatakan permohonan dikabulkan maka dengan sendirinya
Pemerintah Daerah harus mencabut peraturan darah yang bersangkutan.
3. Salah satu membatalkan atau menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat suatu peraturan daerah.
a. Jika hasil executive review Pemerintah Pusat menyatakan menolak
Rancangan peraturan daerah, sementara putusan judicial review oleh
warga negara tidak diterima atau ditolak maka yang berlaku adalah
keputusan penolakan dari Pemerintah Pusat dan paling lama 7 (tujuh)
hari kerja setelah keputusan pembatalan, Kepala Daerah harus
memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD
bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan daerah dimaksud.

16
Ibid, hlm 230
b. Begitu juga sebaliknya, jika hasil executive review menyatakan
Pemerintah Pusat menyetujui peraturan daerah tetapi putusan judicial
review memutuskan permohonan warga negara beralasan dan
memutuskan Perda dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat maka dengan sendirinya putusan judicial review yang berlaku
yaitu Perda.
c. Dengan demikian, jika salah satu pengujian menyatakan membatalkan
atau menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat suatu
peraturan daerah maka kepala daerah harus memberhentikan
pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD bersama Kepala
Daerah mencabut Peraturan Daerah yang bersangkutan.

Kondisi-kondisi di atas lebih banyak memberikan dampak buruk terhadap


pelaksanaan Perda terutama apabila terdapat perbedaan hasil pengujian antara
Kemendagri dengan MA kondisi tersebut hanya menegaskan bahwa belum ada
kepastian hukum dalam pengujian Perda. Kondisi-kondisi tidak akan terjadi apabila
Pemerintah Pusat menguatkan fungsi dari executive preview dan masalah pembatalan
Perda diserahkan kepada judicial review17.

Proses keberatan pada UU No 23 Tahun 2014 tidak lagi diserahkan kepada MA


akan tetapi langsung kepada Presiden. Oleh karena itu Kemendagri diberikan
kewenangan untuk membatalkan Perda dengan menggunakan Keputusan Menteri.
Keputusan Menteri ini harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah dengan
melakukan pencabutan terhadap Perda yang dinyatakan batal oleh Menteri18.

Dalam lampiran II UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan


Perundang Undangan pada poin 158 menegaskan bahwa peraturan Perundang-
undangan hanya dapat dicabut dengan Peraturan Perundang-udangan yang

17
Ibid, hlm 231
18
Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No, 244
Tahun 2014, TLN No. 5587, Psl 251 ayat (5)
tingkatannya sama atau lebih tinggi19. Aturan yang meminta kepada Pemerintah
Daerah untuk mencabut Perda setelah dinyatakan batal oleh Kemendagri adalah sesuai
dengan aturan pada lampiran II UU No 12 Tahun 2011 yang perlu disimak adalah
apakah tepat Pemerintah Pusat membatalkan suatu Perda menggunakan Keputusan
Menteri?

UU No 12 Tahun 2011 tidak mengenal istilah pembatalan peraturan perundang-


undangan. Istilah “batal” sedikit disinggung dalam penjelasan Pasal 5 huruf b yang
antara lain mengatakan bahwa peraturan perundang-undangan dapat dibatalkan atau
batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak
berwenang20. Tentu saja konteks yang diungkapkan penjelasan UU No 12 Tahun 2011
dengan yang dimaksud dalam Pasal 249 UU No 23 Tahun 2014 cukup berbeda.

Secara konteks penggunaan istilah “pembatalan” dan “pencabutan” adalah sama


yaitu untuk menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak lagi
mengikat secara umum. Pembatalan lebih sering digunakan kepada suatu ketetapan
(beshiking) contohnya adalah pembatalan hak yaitu pembatalan keputusan pemberian
suatu hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah karena keputusan mengandung cacat
hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hukum agraria. Sedangkan dalam
peraturan (regeling) isitlah yang digunakan mengacu kepada UU No 12 Tahun 2011
yaitu pencabutan. Oleh karena itu pembatalan Perda juga harus mengacu kepada UU
No 12 Tahun 2011.

Perda adalah peraturan perundang-undangan yang secara hierarki ditegaskan


oleh UU No 12 Tahun 2011 berada dibawah UU. Maka untuk menyatakan suatu Perda
tidak memiliki daya ikat umum harus menggunakan peraturan perundang-udangan

19
Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan, UU No 12
Tahun 2011, LN No, 82, Tahun 2011, TLN No, 5234, lampiran II
20
Tri Jata Ayu Pramesti, Seluk Beluk Pencabutan Undang-Undang,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt542f9da05dba4/seluk-beluk-dan-proses-pencabutan-
undang-undang, Diunduh 3 Juni 2016
yang sejenis atau yang lebih tinggi. Kementerian tidak dapat membatalkan suatu
peraturan perundang-undangan dengan menggunakan Keputusan Menteri karena
Keputusan Menteri bukanlah peraturan perudang-undangan yang bersifat abstrak,
umum, dan berlaku terus menerus.

Mekanisme dalam Pasal 249 sampai dengan 252 menggambarkan bahwa setelah
diterbitkannya Keputusan Menteri tentang pembatalan Perda maka dalam waktu 7 hari
Kepala Daerah harus menghentikan pelaksanaan Perda tersebut dan bersama dengan
DPRD mencabut Perda tersebut. Secara teori perundang-undangan Perda tersebut tidak
lagi memiliki daya ikat umum pada saat dilakukan pencabutan oleh Pemerintah Daerah
bersama dengan DPRD bukan pada saat Keputusan Menteri diterbitkan. Sehingga
dapat ditafsirkan bahwa Keputusan Menteri lebih bersifat memberikan perintah kepada
Kepala Daerah bersama DPRD untuk mencabut Perda.

Instrumen yang digunakan untuk membatalkan Perda dalam UU No 23 Tahun


2014 tidak sesuai dengan teori hierarki norma dan instruksi dalam UU No 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sebaiknya Pemerintah
Pusat harus memperbaiki ketentuan dalam UU No 23 Tahun 2014 sehingga tidak
menimbulkan perdebatan dikemudian hari.

4.2 Pengujian Efektif dan Efisien Terhadap Perda Provinsi

Permasalahan utama yang menyebabkan pengujian Perda memakan waktu yang


cukup lama adalah banyaknya pemeriksaan terhadap Rancangan Perda yang sama
sampai Perda tersebut diundangkan. Proses tersebut dimulai pada saat evaluasi dan
fasilitasi, pemberian no register dan pembatalan Perda. Kewenangan Kemendagri
untuk membatalkan Perda juga bersinggungan dengan kewenangan MA untuk menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang hal ini dapat menyebabkan
pengawasan.

Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya bahwa Perda pengawasan Perda dapat


dilakukan dalam mekanisme yaitu:
1. Executive preview (pengawasan preventif) yaitu kewenangan Pemerintah Pusat
untuk melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda sebelum diundangkan.
2. Executive review (pengawasan represif) yaitu kewenangan Pemerintah Pusat
untuk menyetujui atau membatalkan Perda yang sudah diundangkan21.
3. Keberatan atas proses executive review disampaikan langsung kepada Presiden
dan keputusan Presiden bersifat final dan mengikat.

Mekanisme di atas adalah mekanisme yang tertulis dalam UU No 23 Tahun 2014


sedangkan di luar itu berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan MA mempunyai kewenangan untuk
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang.

Kewenangan yang dimiliki oleh Kemendagri dan MA yang sama-sama dapat


melakukan pengujian terhadap Perda akan menimbulkan kondisi-kondisi sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya. Kondisi-kondisi tersebut dapat
dihindari apabila Pemerintah Pusat lebih menguatkan mekanisme pengawasan
preventif (executive preview) dan menyerahkan kewenangan untuk membatalkan Perda
kepada MA dalam hal ini judicial review.

Kelemahan yang dimiliki oleh pengawasan represif (executive review) adalah


tidak adanya peran masyarakat dalam pengujiannya. Pihak yang terlibat dalam proses
pengujian adalah Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan apabila Pemerintah
Daerah keberatan dengan hasil pengujian yang dilakukan oleh Kemendagri maka
Pemerintah Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Presiden. Seluruh proses
tersebut tidak memberikan peluang kepada masyarakat untuk memperjuangkan haknya
apabila Perda tersebut merugikan mereka. Satu-satunya pilihan yang dipunyai oleh
masyarakat adalah dengan melakukan judicial review ke MA. Oleh karena itu
mekanisme pengujian Perda dari tahap evaluasi sampai dengan adanya keputusan dari

21
Imam Soebechi, Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, cet. 2, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2014), hlm 275
MA memerlukan waktu yang sangat lama hal inilah yang menyebabkan kurangnya
efisiensi waktu dalam mekanisme pengujian Perda.

Perda-Perda yang telah melewati proses evaluasi (executive preview) setelah


ditetapkan harus disampaikan kembali kepada Kemendagri untuk mendapatkan
persetujuan atau dibatalkan karena Pasal 249 UU No 23 Tahun 2014 tidak
membedakan mana Perda dapat dibatalkan atau tidak sehingga semua Perda yang telah
ditetapkan baik itu yang mendapatkan proses evaluasi atau tidak harus di uji kembali
oleh Kemendagri. Hal ini menyebabkan adanya pengawasan dua kali.

Secara substansial pengujian pada tahap executive review dan executive preview
memiliki kesamaan alat pengujian22. Kedua dari pengujian tersebut menggunakan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi daripada Perda sebagai batu uji,
lembaga yang melakukan pengujian pun tetap sama yaitu Kemendagri. Kesamaan
organ yang menguji dan kesamaan alat uji dalam executive preview dan executive
review tersebut menyebabkan terjadinya pengulangan pengawasan dari Pemerintah
Pusat terhadap Pemerintah Daerah terhadap kewenangan pengaturan (legislation). Hal
tersebut menjadi tidak efektif jika materi yang diuji sama pengulangan pengujian tidak
akan terjadi apabila executive preview berjalan efektif. Penguatan executive preview
juga dibutuhkan karena jika Perda sudah diundangkan maka dengan sendirinya
mengikat bagi warga masyarakat23.

Penguatan executive preview juga diperlukan untuk menyederhanakan dan


mempercepat proses pengujian. Mekanisme executive preview sebaiknya juga
diterapkan dalam pembinaan yang dilakukan oleh Kemendagri. Dalam proses
pembinaan Kemendagri harus menegaskan proses pemberian fasilitas sehingga
nantinya semua Rancangan Perda harus melewati proses executive preview. No register
juga dapat diluaskan fungsinya tidak hanya sebagai sarana pendataan Perda yang
dibentuk oleh daerah akan tetapi juga sebagai sarana untuk memastikan apakah

22
Ibid, hlm. 276
23
Ibid, hlm 278
Pemerintah Daerah telah memperbaiki Rancangan Perda yang memiliki kecacatan
formil dan/atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Dengan mekanisme executive preview yang efektif dan efisien diterapkan kepada
semua Perda maka Pemerintah Pusat tidak perlu lagi melakukan pembatalan terhadap
Perda yang telah ditetapkan. Sehingga nantinya Perda yang telah ditetapkan dan
diundangkan dapat segera dilaksanakan. Apabila nantinya terdapat kerugian yang
dialami oleh masyarakat maka proses pengujian diserahkan kepada MA. Pembatalan
yang dilakukan oleh Kemendagri tentu memberikan dampak yang besar, selain tidak
menjamin adanya kepastian hukum Perda yang telah dibatalkan dianggap tidak pernah
ada dan apabila ingin diundangkan kembali harus melewati proses pembentukan dari
awal. Hal ini berbeda dengan executive preview Perda-Perda yang dinyatakan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat diperbaiki
dan dibahas kembali.

Apabila ada urgensi oleh Pemerintah Pusat untuk melakukan pembatalan maka
proses executive review sebaiknya dijadikan sebagai proses yang pasif artinya
Kemendagri dapat melakukan pengujian terhadap Perda tersebut apabila terdapat
pengaduan dari masyarakat. Hal dapat dilakukan karena Pasal 132 ayat (1)
Permendagri No 80 Tahun 2015 mengatur bahwa Kemendagri dapat melakukan
pengujian Perda atas usulan dari setiap orang, kelompok orang, Pemerintah Daerah,
badan hukum, dan/atau instansi lainnya24. Tim pembatalan dalam melakukan
pengkajian usulan tersebut dapat melakukan koordinasi dengan MA mengenai apakah
terdapat permohonan pengujian kepada MA terhadap Perda yang sama. Hal ini
diperlukan untuk menghindari terjadinya pengujian berbarengan. Dengan demikian
peran masyarakat dilibatkan dalam proses executive review.

Penguatan executive preview dan pengsingkronisasian dengan judicial review


merupakan kunci utama untuk mewujudkan pengujian yang efektif dan efisien

24
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Peraturan Mentri Dalam Negeri tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah, Permendagri No. 80 Tahun 2015, Psl 132 ayat (1)
terhadap Perda. Harapannya dengan pengujian Perda yang efektif dan efisien dapat
mewujudkan Perda-Perda yang berkualitas dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan di atasnya. Dengan demikian Pemerintah Daerah dapat
mengupayakan kesejahteraan daerahnya dengan maksimal.
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Mekanisme pengujian Peraturan Daerah Provinsi dalam UU No 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah yaitu:
a) Evaluasi (executive preview)
Setelah mendapatkan persetujuan dari DPRD pada tahap pembahasan,
Gubernur harus menyampaikan Rancangan Perda Provinsi yang
mengatur mengenai RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pajak
daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah kepada Kementerian
Dalam Negeri untuk mendapatkan evaluasi. Apabila Rancangan Perda
tersebut dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi maka Pemerintah Daerah harus
memperbaiki Rancangan Perda tersebut selama 7 hari lalu disampaikan
kembali kepada Kemendagri. Apabila telah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi Rancangan Perda akan
diberikan no register.
b) Pembinaan berupa pemberian fasilitasi
Rancangan Perda yang tidak mendapatkan evaluasi harus mendapatkan
fasilitasi dari Kemendagri. Gubernur menyampaikan Rancangan Perda
kepada Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan fasilitasi. Selama 15
hari Kemendagri melalui Dirjen Otonomi Daerah akan melakukan
fasilitasi. Hasil fasilitasi akan dibuat dalam bentuk surat oleh
Pemerintah Daerah surat tersebut yang akan ditindaklanjuti. Apabila
dalam waktu 15 hari tersebut Kemendagri tidak melakukan fasilitasi
maka Rancangan Perda tersebut dapat dilanjutkan pada tahap
berikutnya. Pemberian fasilitasi ini dilakukan pada saat pembahasaan
sebelum dilakukannya persetujuan bersama. Setelah disetujui bersama
oleh Kepala Daerah dengan DPRD Rancangan Perda tersebut
disampaikan kembali kepada Kemendagri untuk mendapatkan no
register. Pasal 243 UU No 23 Tahun 2014 menyebutkan bahwa
Rancangan Perda yang belum mendapatkan no register belum dapat
ditetapkan dan diundangkan.
c) Pembatalan (executive review)
Semua Perda baik yang telah mendapatkan evaluasi maupun yang tidak
harus disampaikan kepada Kemendagri setelah ditetapkan untuk diuji
apakah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dan kepentingan umum kesusilaan atau tidak. Kemendagri akan
membentuk tim pembatalan yang akan memeriksa selama 30 hari.
Pemeriksaan Perda terkait tiga hal yaitu kewenangan, prosedur
pembentukan dan substansi. Perda yang dinyatakan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan
kepentingan umum dan kesusilaan akan dibatalkan dengan Keputusan
Menteri. Keberatan atas Keputusan Menteri tersebut dapat diajukan
oleh Pemerintah Daerah kepada Presiden. Secara teori Perda tidak dapat
dibatalkan dengan Keputusan Menteri karena suatu peraturan
perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan peraturan perundang-
undangan yang sejenis atau di atasnya sedangkan Keputusan Menteri
bukanlah suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini juga telah
ditegaskan dalam lampiran UU No 12 Tahun 2011 poin 158.
Mekanisme Pembatalan Perda tidak sesuai dengan teori norma hukum
berjenjang.
2. UU No 23 Tahun 2014 dan Permendagri No 80 Tahun 2015 belum mengatur
mengenai keselarasan pengujian antara executive review dan judicial review.
Pengujian tersebut dilakukan oleh lembaga masing-masing tanpa koordinasi
yang jelas sehingga dapat terjadi pengujian berbarengan. Pengujian
berbarengan ini akan memperpanjang proses pengujian Perda. salah satu
kondisi yang dapat terjadi adalah ketika Pemerintah Pusat menyatakan bahwa
suatu Perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya,
oleh Pemerintah Daerah diajukan keberatan atas keputusan tersebut kepada
Presiden kemudian keberatan diterima oleh Presiden, Perda tersebut dinyatakan
berlaku dan mengikat akan tetapi masyarakat tidak menyetujui keputusan
Presiden dan masyarakat mengajukan permohonan pengujian kepada MA.
Kondisi tersebut terjadi karena executive review tidak melibatkan peran dari
masyarakat.
3. Pengujian Perda yang efektif dan efisien akan terwujud apabila Pemerintah
Pusat memperkuat executive preview dan menyerahkan pembatalan Perda
kepada judicial review. Hal ini akan mencegah terjadinya pengawasan ganda
yang terjadi pada tahap evaluasi dan pembatalan terhadap Perda yang sama.
Semua Rancangan Perda harus mendapatkan evaluasi dari Pemerintah Pusat.
Perda yang telah dinyatakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dapat diberikan no register. Fungsi no register tidak hanya
berfungsi sebagai pendataan Perda akan tetapi juga sebagai tahap akhir dari
evaluasi dimana Pemerintah Pusat akan memeriksa kembali apakah hasil
evaluasi ditindaklanjuti atau tidak oleh Pemerintah Daerah. Dengan
menyerahkan pembatalan kepada MA maka partisipasi masyarakat diharapkan
dapat meningkat dalam pengawasan suatu Perda dan hal ini akan mencegah
terjadinya pengujian berbarengan oleh Pemerintah Pusat dengan MA. Perda
yang telah ditetapkan dapat langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu
persetujuan dari Pemerintah Pusat.

5.2 Saran

Aturan mengenai mekanisme pengujian Perda dalam UU No 23 Tahun 2014


sebaiknya diubah dan harus dirumuskan kembali agar mewujudkan pengujian Perda
yang efektif dan efisien. Aturan mengenai evaluasi (executive preview) sebaiknya
diterapkan kepada semua Rancangan Perda Provinsi. Fungsi no register dapat dijadikan
sebagai tahap pemeriksaan apakah suatu Rancangan Perda yang dinyatakan
bertentangan dengan peraturan perundang-undang dan kepentingan umum kesusilaan
telah diperbaiki atau belum. Terhadap pembatalan sebaiknya Pemerintah Pusat
menyerahkan kepada MA dan mendorong partisipasi masyarakat untuk aktif terlibat
dalam pengawasan Perda.
DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara. cet.


2. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang. Cet. 1. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manullang. Pengantar Ke Filasafat Hukum.


ed. 1. cet. 3. Jakarta: Preneda, 2010.

Chalid, Pheni. Otonomi Daerah Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik. Cet. 1. Jakarta:
Kemitraan. 2005.

Farida Indriati S, Maria. Ilmu Perundang-Undangan (2) Proses Dan Teknik


Penyusunan. Cet. 11. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Farida Indriati S, Maria. Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi, dan Materi


Muatan. Cet. 5. Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Hidayat, Syarif. “Desentralisasi Untuk Pembangunan Daerah Dialog Kelompok


Positivists dan Realitivitists.” Jantera Jurnal Hukum (Oktober-Desember 2006):
5-31.

Hoesein, Zaenal Arifin. Judcial Review Di Mahkamah Agung Republik Indonesia: Tiga
Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan. ed.1. cet.1. Jakarta:
Rajawali Pers, 2009.

Huda, Ni’matul. Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaran


Pemerintah Daerah. cet. 1. Jakarta: FH UII Press, 2007.

Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945

Indonesia. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan. UU


No 12 Tahun 2011. LN No. 82. Tahun 2011. TLN No. 5234.
Indonesia. Undang-Undang Pemerintahan Daerah. UU No. 23 Tahun 2014. LN No,
244 Tahun 2014. TLN No. 5587.

Indonesia. Undang-Undang Pemerintahan Daerah. UU No. 32 Tahun 2004. LN No,


125 Tahun 2004. TLN No. 4437.

Kelsen, Hans. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif [Pure Theory
Of Law]. diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien. Bandung: Nusamedia & Nuansa,
2007.

Manan, Bagir. Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945. cet. 1.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1994.

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. Peraturan Mentri Dalam Negeri tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah. Permendagri No. 80 Tahun 2015.

Pambudhi, Agung. P. “Peraturan Daerah dan Hambatan Insvestasi.” Jantera Jurnal


Hukum (Oktober-Desember 2006): 32-53.

Pramesti, Tri Jata Ayu. Seluk Beluk Pencabutan Undang-Undang,


http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt542f9da05dba4/seluk-beluk-dan-
proses-pencabutan-undang-undang. Diunduh 3 Juni 2016

Royono, Rivandra. “Harga Sebuah Peraturan Daerah Analisis Biaya dan Manfaat
Dalam Pembentukan Kebijakan Publik.” Jantera Jurnal Hukum (Oktober-
Desember 2006): 54-72.

Sabarno, Hari. Untaian Pemikiran Otonomi Daerah Memandu Otonomi Daerah


Menjaga Kesatuan Bangsa. Cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Sarman, Mohammad Taufik Makarao. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia.


Cet. 1. Jakarta: Rineka Cipta. 2011.

Soebechi, Imam. Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah. Cet. 2. Jakarta:
Sinar Grafika, 2014.
Sunarno, Siswanto. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Cet. 2. Jakarta: Sinar
Grafika. 2008.

Widiyanti, Ninik, Y. W. Sunindhia. Kepala Daerah Dan Pengawasan Dari Pusat. Cet.
1. Jakarta: Bina Aksara, 1987.

Anda mungkin juga menyukai