Anda di halaman 1dari 6

Tugas.

1 Filsafat Hukum
Opened: Monday, 24 April 2023, 12:00 AM
Due: Sunday, 7 May 2023, 3:00 PM
To do: Make a submission
1. Artikel:
Peningkatan jumlah penyintas COVID-19 secara statistik belum menunjukkan
perlambatan dari sisi laju eksponensial. Pemerintah mengambil langkah
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sebagai solusi untuk
mengurangi peningkatan kasus COVID di Indonesia. Secara teknis, PPKM dijalankan
dengan mengurangi aktivitas pergerakan dan kerumunan masyarakat di masa
pandemi. Penyekatan dan jam malam diberlakukan sebagai bagian integral dari
PPKM.
Fakta problematiknya, PPKM Darurat di sejumlah wilayah di Indonesia menyisakan
beragam persoalan pada level implementasi. Kemacetan pada titik penyekatan dan
perselisihan antara aparat penegak PPKM dengan masyarakat kerap mewarnai
pemberitaan media. Konflik lapangan seakan-akan menjadi plot akhir dalam
penindakan pelanggaran. Tak ayal, kritik mengalir deras kepada Pemerintah selaku
decision maker. Pertanyaan reflektifnya: mengapa hal ini terjadi?
Sumber: kumparan.com

Pertanyaan:
Berdasarkan artikel diatas disampaikan bahwa pemberlakuan PPKM yang
merupakan solusi untuk mengurangi kasus covid 19 dalam implementasinya
menimbulkan beragam persoalan, analisislah hal tersebut berdasarkan pemikiran
Roscoe Pound tentang hukum!

Jawaban :
Roscoe Pound (1870-1964):terkenal dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk
memperbarui (merekayasa) masyarakat (law is a tool of social engineering). Untuk
memenuhi perannya sebagai alat merekayasa masyarakat, Pound membuat
penggolongan-penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi
oleh hukum sebagai berikut:
1) Kepentingan
a) kepentingan negara sebagai badan hukum;
b) kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2) Kepentingan masyarakat (social interest):
a) kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;
b) perlindungan lembaga-lembaga sosial;
c) pencegahan kemerosotan akhlak;
d) pencegahan pelanggaran hak;
e) kesejahteraan sosial.
3) Kepentingan pribadi (private interest):
a) kepentingan individu;
b) kepentingan keluarga;
c) kepentingan hak milik.
Di Indonesia, konsep Pound dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmaja yang
dikenal dengan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
Roscoe Pound, tokoh aliran hukum Sociological Jurisprudence, mengatakan
bahwa hukum semestinya dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Hukum mesti
dipahami sebagai suatu proses (law in action) yang sama sekali berbeda dengan
hukum yang tertulis (law in books). Peraturan dan kebijakan tentang Covid-19
semestinya dilihat dalam konteks ini, bahwa aturan tersebut bukanlah norma-
norma tertulis saja, tetapi norma yang harus dihidupkan dan dilekatkan dengan
lembaga kemasyarakatan.
Roscoe Pound mengatakan, hukum berkaitan dengan kepentingan-kepentingan
dalam masyarakat. Kepentingan tersebut ada 3 (tiga),
1. public interest yang meliputi kepentingan negara yang tugasnya memelihara
hakikat negara dan menjaga kepentingan sosial.
2. kepentingan perseorangan yang meliputi kepentingan pribadi dan
kepentingan dalam rumah tangga.
3. , kepentingan sosial yang terkait dengan keamanan umum, moral umum,
kemajuan sosial, dan kehidupan individu.

Kepentingan penanganan Covid-19 dengan merujuk pemikiran Pound sudah


sangat memadai dalam dimensi kepentingan pribadi, sosial, dan negara.
Persoalannya terletak bagaimana peraturan yang ada dapat menggerakkan
lembaga masyarakat untuk mendorong tujuan-tujuan sosial dan perseorangan
di bidang kesehatan. Jika konsep ini dilakukan, peraturan dan kebijakan Covid-
19 tentu akan menjadi alat rekayasa masyarakat (law as a tool of social
engineering) Persoalannya perilaku masyarakat saat ini tidak banyak berubah untuk
menaati protokol kesehatan. Penggunaan masker, menjaga jarak, dan aktivitas cuci
tangan tidak ditaati. Kegiatan bergerombol dan mobilitas masyarakat masih sangat
tinggi. Situasi ini bermakna bahwa aturan dan kebijakan belum berjalan dengan
semestinya. Aparat yang memiliki kewenangan penanganan Covid-19 belum mampu
membangun kesadaran yang utuh akan makna penting protokol kesehatan.
Sejauh ini sudah banyak peraturan dan kebijakan mengenai Covid-19, antara lain
Instruksi Presiden No 4 Tahun 2020 tentang refocussing kegiatan, realokasi anggaran
serta pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan pandemi
korona (Covid-19); Keputusan Presiden No 11 Tahun 2020 tentang
Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19, Keputusan Presiden No 12
Tahun 2020 tentang penetapan bencana nonalam penyebaran Covid-19 sebagai
bencana nasional, Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan
Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Selain itu
ada Keputusan Presiden No 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Pencepatan
Penanganan Covid-19,
Keputusan Presiden No 9 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Keputusan
Presiden No 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-
19. Ada juga Undang-Undang No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan dan Permenkes No 9 Tahun 2020 yang secara spesifik mengatur
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor HK.01.07/Menkes/382/2020 tentang Protokol Kesehatan yang di
antaranya mengatur kebijakan tentang mencuci tangan, menjaga jarak, dan
memakai masker, dan terakhir Instruksi Menteri Dalam Negeri No 01 Tahun 2021
tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan untuk Pengendalian Penyebaran
Covid-19.

Terdapat banyak faktor hukum dan dimensi sosial politik yang memengaruhi
lemahnya ketaatan hukum masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan.
Sebagian besar masyarakat belum menangkap kebenaran protokol kesehatan
sebagai sesuatu yang penting dan pada sisi yang lain penegakan hukum masih
sangat lemah. Tentu masih banyak faktor lain yang bisa diidentifikasi dan ditemukan
akar masalahnya. Mengubah perilaku masyarakat tidak mudah, apalagi di dalamnya
ada dimensi sosial keagamaan. Butuh multi-pendekatan untuk menciptakan
kesadaran akan makna penting menaati kebijakan protokol kesehatan. Kegagalan
penanganan Covid-19 saat ini lebih pada konteks ini: tidak fokus pada pokok masalah,
bersifat sentralistik, bahasa kebijakan yang tidak membumi, dan kebijakan yang selalu
berubah-ubah sehingga cenderung membingungkan masyarakat atau bahkan
pemerintah sendiri.

Sumber :
Sumber : Buku Materi Pokok HKUM4103
Dr. I Ketut Wirawan, S.H., M.Hum. Prof. Dr.I , PengantarFilsafat Hukum, Fakultas
Hukum Universitas Udayana Denpasar 2016
https://nasional.sindonews.com/read/329910/18/dimensi-hukum-penanganan-covid-
19-1612868552

2. Kasus
Bukan rahasia lagi fenomena kasus rakyat jelata yang terjerat hukum karena kasus
sepele dan kecil sudah berlangsung sejak lama di Indonesia. Apapun itu bentuk
kasusnya memang harus diproses secara ketat, namun tidak sedikit hukum yang
diberlakukan untuk rakyat kecil kadang dipandang tidak tepat sasaran, diantaranya
yang menjerat orang-orang sudah lanjut usia dan melakukannya terpaksa karena
himpitan ekonomi. Tidak sedikit tuduhan pidana serta kerugian yang ditimbulkan
sangatlah ringan, namun faktanya mereka tetap diproses dan berujung kepada
hukuman penjara.
Salah satu contoh adalah kasus yang menimpa nenek saulina Boru Sitorus di Medan,
pada 29 Januari 2018 nenek berumur 92 tahun tersebut divonis hukuman penjara 1
bulan 14 hari karena terbukti melakukan perusakan akibat menebang pohon durian
berdiameter lima inci milik kerabatnya yang berada di tanah wakaf di Dusun
Panamean Desa Sampuara, Uluan, Toba Samosir Sumatera Utara.
Tak terima kerabatnya melaporkan ke polisi. Kasus ini, semakin menyedot perhatian
karena anak-anak dari nenek Saulina ikut didakwa. Bahkan hakim dinilai terlalu dini
memutuskan bahwa tanah tersebut milik pelapor. Keenam anaknya divonis hukuman
masing-masing 4 bulan 10 hari. Padahal menurut pengakuan Saulina seperti dikutip
dari kompas.com dirinya dan anak-anak pernah meminta maaf kepada pelapor,
namun upaya damai tidak tercapai karena mereka tidak sanggup menuruti nominal
pelapor yang mecapai ratusan juta.

Sumber:bangka.tribunnews.com :
Pertanyaan:
Berdasarkan kasus diatas, analisislah apakah hukum yang dijatuhkan oleh majelis
hakim terhadap nenek Saulina dan keluarganya sudah sesuai dengan cita hukum
(recht idee) yang idealnya berlaku di Indonesia yang notabene adalah negara hukum?
Jelaskan!
Jawaban:
hukum yang dijatuhkan oleh majelis hakim terhadap nenek Saulina dan keluarganya
menurut saya belum sesuai dengan cita hukum (recht idee) yang idealnya berlaku di
Indonesia yang notabene adalah negara hukum dikarenakan tidak sesuai dengan
keadilan yang seharusnya diperoleh oleh nenek Saulina yang merupakan salah satu
cita hukum . Penegakkan hukum secara prosedural tidak salah. Namun demikian
unsur-unsur yang dikedepankan tidak dapat dirasakan, karena tidak maksimal dalam
memberikan keadilan yang hidup di masyarakat.

Keadilan Sebagai Salah Satu Cita Hukum (Recht Idee)


Tiga Teori tentang Tujuan Hukum:
1. Teori Etis;
Hukum semata-mata untuk menemukan Keadilan sehingga essensi hukum ditentukan
oleh keyakinan etis tentang apa yang adil dan tidak adil
2. Teori Utilitas;
Hukum bertujuan menjamin kebahagiaan/kesenangan yang terbesar bagi manusia
untuk jumlah yang sebanyak-banyaknya
3. Teori Campuran; Mencapai Ketertiban demi terciptanya masyarakat yang teratur.

Cita Hukum memiliki fungsi yang sangat penting untuk mengakomodasi seluruh
dinamika masyarakat yang serba kompleks.Cita Hukum Indonesia berupa Pancasila
telah dirumuskan secara tegas dalam pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945,
yaitu Cita Hukum memiliki arti penting sebagai dasar sekaligus pengikat dalam
pembentukan perauran perundang-undangan sehingga setiap perundangan yang
dibuat haruslah mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai
cita Hukum Bangsa indonesia.

Tahap Pembentukan peraturan perundang-undangan:


1. Tahap sosiologis; proses penyusunan berlangsung didalam masyarakat itu
sendiri yang emrupakan tempat timbulnya permasalahan atau tujuan sosial
2. Tahap politis; agenda pemerintahan
3. Tahap Yuridis; pengorganisasian masalah dalam perumusan hukum.
Perubahan Negara Hukum menjadi Negara Kekuasaan dengan ciri-ciri:
1. Kaidah Hukum; rumusan pikiran totaliter
2. Supremasi dari kaidah dasar berada diatas konstitusi
3. Hukum bersifat membudak; Kaidah politik menjadi lebih tinggi daripada hukum
4. Birokrasi totalitarian untuk kaum elit yang berkuasa
5. Trias politica proforma
6. Kepatuhan terpaksa (dead end legitimacy)
7. Tipe rekayasa merusak (dark social engineeering)

Pemikiran filosofis Keadilan yang berkaitan dengan filsafat hukum berkaitan dengan
pemikiran John Rawis yang mengungkapkan tiga faktor utama :
1. Perimbangan tentang Keadilan (gerechttigkeit)
2. Kepastian Hukum (rechtessisherkeit)
3. Kemanfaatan Hukum (zweckmassigkeit)
Korelasi antara filsafat, hukum dan keadilan sangat erat karena terjadi tali temali
antara kearifan, norma, serta keseimbangan hak dan kewajiban.
Hukum yang hidup di masyarakat bersumber pada hukum positif :
1. Undang-undang (constitutional)
2. Hukum Kebiasaan (adat Law)
3. Perjanjian Internasional (International treaty)
4. Keputusan Hakim (jurisprudence)
5. Doktrin (doctrine)
6. Perjanjian (Treaty)
7. Keadaran Hukum (Consciousness of law)
Keadilan dalam arti Umum;
Kedilan dalam arti ini terdiri dari dua unsur yaitu fair dan sesuai dengan hukum.
Tidak fair adalah melanggar hukum, tetapi tidak semua tindakan melanggar hukum
adalah tidak fair. Keadilan dalam arti umum terkait erat dengan kepatuhan terhadap
hukum.
Kedilan bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar sosial, yang memiliki makna luas
dan bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dengan hukum sebagai salah satu
tata nilai sosial.

Keadilan dalam arti khusus;


1. Sesuatu yang terwujud dalam pembagian penghargaan, uang atau hal lainnya
kepada mereka yang memiliki bagian haknya.
2. Perbaikan suatu bagian dalam transaksi.
Pembagian Keadilan menurut Aristoteles :
1. Keadilan Komutatif; perlakukan terhadap orang tidak melihat jasanya
2. Keadilan distributif; perlakuan terhadap orang sesuai dengan jasanya
3. Keadilan Kodrat alam; memberi sesuatu sesuai dengan yang diberikan orang
kepada kita
4. Keadilan Konvensional; seorang yang telah mentaati perundangan yang diwajibkan
5. Keadilan menurut Teori Perbaikan; seseorang yang telah berusaha memulihkan
nama baik seseorang yang tercemar

Hukum adalah kaidah sosial yang mengatur hubungan antar individu dalam
masyarakat. Hukum berkembang bersama dengan kaidah sosial yang berasal dari
pedoman moral dalam diri manusia, dilandasi oleh kepercayaan yang dianut, kaidah-
kaidah sosial yang muncul dalammasyarakat, ada istiadat dan lainnya. Ada hubungan
yang kuat antara hukum dan kaidah-kaidah sosial, sehingga ada kalanya dalam
penegakan hukum terjadi ketidaksesuaian antara hukum dan kaidah sosial.
Penegakan hukum adalah implementasi secara empiris di masyarakat oleh penegak
hasil memaknai kasus yang terjadi. Pada proses memaknai hukum penting untuk
menegakkan tiga unsur yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Tiga unsur
tersebut perlu dipertimbangkan dan dilaksanakan pada proses penegakan hukum,
sehingga tidak menyebabkan ketimpangan

Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan


kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dijelaskan mengenai rambu-rambu pada hakim bahwa dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman maka hakim wajib menggali nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat. Pada kenyataannya beberapa kasus lupa akan hakikat pasal ini,
karena lebih mengedepankan pada lex scripta yang tertulis dalam peraturan hukum
positif (legal-positivism). Menegakkan hukum menggunakan pendekatan lex scripta
dan secara prosedural tidak salah. Meski demikian unsur-unsur yang dikedepankan
tidak dapat dirasakan, karena tidak maksimal dalam memberikan keadilan yang hidup
di masyarakat. Situasi ini dalam beberapa kasus menjadi kontroversi sehingga
menimbulkan reaksi dari masyarakat. Beberapa kasus hukum yang diputus
menggunakan cara konvensional dan mengedepankan keadilan prosedural dapat
memberikan reaksi dari masyarakat sebagai berikut: Pada 2018, kasus Nenek Saulina
berusia 92 tahun divonis 1 bulan 14 hari penjara karena telah dituduh melakukan
perusakan tanaman.

Adanya hukum di masyarakat berguna untuk melayani kebutuhan manusia dan


bertujuan untuk memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Gagasan
hukum progresif muncul untuk menekankan bahwa hukum bukan hanya sekedar teks,
tetapi menempatkan perilaku atau kemanusiaan lebih penting sebagai faktor dalam
berhukum. Hukum progresif bukan hanya taat pada formal prosedural birokratis tetapi
juga material substantif. Hukum ini harus diingat bahwa tidak serta merta bebas dari
peraturan-peraturan yang ada. Melainkan berkolaborasi dengan peraturan yang ada
namun yang diutamakan adalah kepekaan pada perilaku dan dampak sosial dari
hukum itu sendiri. Hakim sebagai pihak yang bertugas menegakkan hukum memiliki
kebebasan untuk memutuskan perkara didasarkan atas pikiran dan hati nurani. Hakim
dalam memutuskan suatu seharusnya tidak hanya menggunakan hukum yang tertulis
melainkan harus memperhatikan nilai- nilai yang hidup dan memenuhi rasa keadilan
masyarakat yang bersangkutan atau lingkungan sosial. Hakim memiliki peran yang
penting dan strategis untuk menebarkan justice for people dengan keberaniannya
untuk melakukan rule breaking. Misi mulia tersebut akan terealisasi jika hakim
mendedikasikan dirinya sebagai penjaga dan penegak keadilan. Penafsiran hukum
yang dilakukan secara serius merupakan implementasi dari semangat hukum
progresif yakni semangat pembebasan untuk menemukan dan mewujudkan keadilan
dalam teks undang-undang yang terkadang tidak jelas ataupun belum ada aturannya

Sumber :
Sumber : Buku Materi Pokok HKUM4103
Arianto, Henry. “Hukum Responsif Dan Penegakan Hukum Di Indonesia.” Lex
Jurnalica 7, no. 2 (2010): 115–123. https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Journal-
4690-Henry- Arianto.pdf
Kompas.com, “Alexandra Gottardo Akhirnya Bertemu Nenek Saulina,” Kompas.Com,
last modified 2018,
https://entertainment.kompas.com/read/2018/02/04/230947910/alexandra-gottardo-
akhirnya-bertemu-nenek-saulin

Anda mungkin juga menyukai