Yang terhormat
Yang terhormat
Rektor/Ketua Senat,
Yang terhormat
Dalam kesempatan yang berbahagia ini, perkenankanlah saya memulai pidato dengan puisi
berikut. Puisi ini cukup populer dan menggambarkan kekuatan gerakan protes yang
dipimpin mahasiswa di Indonesia pada masa reformasi.
Puisi Saudara Taufik Ismail di atas mengingatkan kita kepada masa-masa demontrasi
mahasiswa sepanjang tahun 19998 lalu, ketika gerakan protes mahasiswa berhasil
menghentikan laju kekuasaan Soeharto, presiden kedua Republik Indonesia yang semakin
sewenang-wenang di tahun-tahun terakhir pemerintahannya. Dengan puisi ini saya ingin
mendiskusikan dua konsep pokok dalam ilmu politik.
Konsep yang pertama adalah kekuasaan (power) politik yang secara khusus akan ditinjau
dari sudut ketdakberdayaan dan ketiadaan kekuasaan (powerlessness). Sehubungan
dengan kekuasaan, secara singkat, saya akan membahas bebarapa bentuk pelanggaran dan
penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di masa lalu. Mengenai ketidakberdayaan dan
ketiadaan kekuasaan, saya akan membahas beberapa cerminan ketidakberdayaan politik di
Indonesia dan dampaknya. Menurut pendapat saya, baik kekuasaan maupun ketiadaan
kekuasaan sama-sama dapat mengarah kepada fasad atau kerusakan dalam kehidupan
bersama.
Konsep yang kedua dalah demokratisasi. Konsep ini tidak kalah pentingnya dari konsep
kekuasaan. Berbagai kajian dan penelitian mengenai demokratisasi sudah dilakukan para
peneliti politik di berbagai belahan dunia. Dalam kesempatan ini, saya akan mengaitkan
kajian-kajian demokratisasi dengan problematika kekuasaan dan ketiadaan kekuasaan
yang disebutkan di atas. Selain itu, tulisan ini akan memaparkan beberapa kemungkinan
yang dapat menghindari dampak buruk kekuasaan dan ketiadaan kekuasaan.
Seorang ilmuwan politik dari Amerika Serikat bernama John Gaventa pernah mengadakan
penelitian di suatu lembah di Pegunungan Appalachia Tengah, Amerika Serikat. Daerah
yang berada di antara Gunung Pine dan Cumberland itu sebenarnya kaya barang tambang.
Salah satu kekayaan alamnya, yaitu batubara, digarap dan dieksploitasi oleh sebuah
perusahaan tambang raksasa. Akan tetapi, penduduknya miskin. Malahan, miskin sekali.
Menurut perkiraan, sebanyak 70% keluarga setempat hidup di bawah garis kemiskinan,
dan sebanyak 30% keluarga menganggur. Tidak dapat disangkal lagi, daerah Appalachia
adalah kantung kemiskinan di negara adidaya dan kapitalis dunia.
Didaerah itu Gaventa, ilmuwan yang juga aktivis, meneliti konflik antara kepentingan
perusahaan besar dengan hak-hak warga pengunungan. Salah seorang warga yang
diwawancarai Gaventa adalah pensiunan pekerja tambang. Gaventa ingin menyadarkan
pak tua akan hak-haknya di negara demokrasi. Ia menceritakan berbagai ketidakadilan
yang ia temukan setelah meneliti di daerah pak tua. Misalnya, perusahaan penambangan
batubara raksasa di dekat rumah pak tua itu hanya dikenai pajak yang sangat rendah.
Kampung halaman pak tua yang dulu permai sekarang bopeng dan carut marut karena
galian yang tak terurus. Genangan air di bekas galian penuh dengan asam, batubara, dan
endapan lumpur.
Pak tua sendiri tergolong salah satu korban. Karena bekerja cukup dalam di bawah
permukaan tanah, ia menderita sakit paru-paru hitam. Penyakit ini menghinggapinya
karena ia terlalu sering, dan dalam jangka waktu lama, menghirup partikel-partikel debu
batubara hitam. Pendek kata, banyak ketidakadilan di lingkungan hidup pak tua. Gaventa,
bersama-sama mahasiswanya, ingin menyadarkan pak tua supaya bersedia bergabung
dengan para pekerja lain untuk menuntut perusahaan tambang raksasa milik orang kaya
raya dari London, Inggris.
Pak tua duduk terdiam saja mendengarkan semua temuan penelitian Gaventa dan
timnya. Dalam hati ia mungkin bergumam, saya tahu lebih banyak tentang ketimpangan
dan ketidakadilan di kampung saya ini. Sebagai contoh, Anda tidak tahu betapa tanah ayah
saya pun dijarah perusahaan tambang tanpa kompensasi. Karenanya, tidak ada ekspresi
terkejut di wajah pak tua. Juga tidak ada isyarat pak tua berminat terhadap ajakan
pemberdayaan yang dilakukan orang-orang kampus yang datang ke desanya.
Sebaliknya, Gaventa dan timnya hjeran bukan kepalang. Betapa mungkin, demikian pikir
mereka, orang tidak tertarik memperjuangkan hak-haknya yang sah di negara demokrasi
seperti Amerika Serikat? Mengapa serikat buruh setempat, yang dahulu dikenal militan dan
aktif, tampaknya sekarang menjadi pasif dan menerima status-quo? Mengapa korban-
korban ketidakadilan dalam masyarakat terbuka tidak bergerak memperjuangkan
kepentingan mereka? Mangapa, dalam kondisi ketidakadilan dan ketimpangan yang
meluas, orang tidak melawan dan memberontak?
Yang tidak kalah pentingnya adalah, baik kekuasaan maupun keiadaan kekuasaan dapat
menjadi sumber masalah dalam kehidupan bersama. Sehubungan dengan kekuasaan, kita
sudah sering mendengar ucapan seorang bangsawan Inggris bernama Lord Acton. Ia
mengatakan, power tends to corrupt and absolute power corruptsabsolutely. Kekuasan itu
cenderung korup, dan kekuasan yang absolut akan korup secara absolut pula.
Contoh paling tepat dan dekat adalah pengalaman bangsa kita di masa Orde Baru. Pada
masa itu, korupsi kekuasan telah kita saksikan dalam berbagai bentuknya dan berlangsung
selama jangka waktu yang lama. Sampai-sampai, kekuasaan yang korup itu terjelma dalam
diri seorang patron. Begitu kuasaanya sang patron sehingga seluruh negeri ini tidak lebih
dari perluasan, extension, dari rumah tangga sang patron dan sanak keluarganya. Anak,
menantu, keponakan, cucu, ipar, dan istri sang patron kerap diutamakan dan diberi
privelese. Misalnya, dalam tender-tender proyek, para kerabat itulah yang dimenangkan
berdasarkan koneksi, bukan kepakaran. Dalam peristilahan ilmu politik, bentuk korupsi
kekuasaan ini dikenal dengan nama neopatrimonialisme (Bratton & van de Walle, 1994).
Dapat dikatakan bahwa negara Orde Baru adalah negara yang cukup ideal dilihat dari
sudut korupsi kekuasaan ini.
Alangkah tepatnya istilah KKN, yaitu singkatan tiga kata korupsi, kolusi, dan nepotisme
yang menjadi semboyan demonstran dan para pengecam Orde Baru. Istilah ini dengan jelas
menekankan bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang yang terjadi di
masa lalu. Begitu luasnya praktik penyelewengan kekuasaan dalam berbagai versi KKN
sehingga istilah skandal pun tidak relevan lagi di panggung politk Indonesia. Sebab,
skandal mengandaikan ketertiban dan kepastian hukum sehingga suatu pelanggaran atau
penyelewengan dapat dipandang sebagai skandal yang perlu diselesaikan berdasarkan
ketentuan hukum yang berlaku (Bobbio, 1987:85). Oleh karena penyelewengan dan
pelanggaran merupakan kelaziman dan bukan pengecualian, maka skandal tidak
mendapatkan tempatnya di bumi politk Orde Baru.
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana mekanisme transaksi dan jual-beli dirusak oleh
sogok-menyogok yang melibatkan para pengusaha dan para penguasa. Yang pertama
melakukan korupsi dengan menyogok, yang kedua dengan menerima sogokan. Keduanya
berlangsung secara cukup mulus dan dalam jangka waktu yang lama. Korupsi yang hilir-
mudik ke istana negara dan kantor-kantor departemen pemerintahan telah menodai
pelaksanaan pemerintahan. Akibatnya berkembanglah budaya kebal hukum (the culture of
impunity) yang masih terus menjadi rintangan demokratisasi setelah Orde Baru rubuh.
Pada zaman reformasi, praktik-praktik kotor era masa lalu satu persatu mulai terungkap.
Kendati demikian, aparat hukum, khusunya mereka yang masih terus menunjukkan
identitas sebagai penerus Orde Baru, berusaha memperlambat dan merintangi usaha
membongkar praktik-praktik tersebut.
Sambil tetap menyadari sepenuhnya malapetaka korupsi kekuasaan di atas, kita tidak
boleh mengabaikan sisi yang lain. Kita sering lupa bahwa bahaya yang dapat timbul dari
penyalahgunaan kekuasaan tidak berbeda jauh dari bahaya yang dapat timbul dari dampak
negatif tuna kuasa (powerlessness). Ini adalah situasi ketika orang menerima keadaan yang
ada, walaupun keadaan itu tidak menyenagkan, karena mersa tidak punya kuasa untuk
merubahnya menjadi keadaan yang lebih baik. Keadaan tuna kusa dapat merugikan
kerjasama sosial dan kehidupan bersama. Dengan memodifikasi ungkapan Lord Acton yang
telah disebutkan, dapat dikatakan bahwa, powerlessness tends to corrupt and absolute
powerlessnes corrupts absolutly. Tuna kuasa cenderung kearah korupsi, dan tuna kuasa
yang absolut akan menjurus kepada korupsi absolut pula.
Pak tua yang diwawancarai Gaventa dapat dipandang sebagai orang yang tuna kuasa. Ia
merasa tidak berdaya sehingga kehidupan dan lingkungannya merana. Seakan-akan ia
berkata kepada dirinya sendiri, memang saya tidak sesuai dengan yang saya dambakab;
tetapi, apa daya dan apa kuasa; tidak ada yang dapat saya lakukan supaya keadaan
berubah. Pak tua ini tuna kuasa terutama dalam kaitannya dengan perusahaan tambang
raksasa yang rakus dan merusak lingkungan. Dalam puisi Taufik Ismail di atas, dekan vis-a-
vis rektor, dan rektor vis-a-vis menteri, dan menteri vis-a-vis presiden.1
Michael Lerner, seorang aktivis yang berasal dari gerakan perubahan sosial tahun 1960-an,
dengan tegas mengatakan betpa berbahayanya tuna kuasa dan persaan tidak berdaya yang
merasuki benak manusia. Katanya:
When we feel powerless for any extended leght of time, we tend to become more willing to
accept parts of the world we would othewise reject. We act in ways that go counter to our best
visions of who we are and who we can and want to be.
Powerlessness corrupts.
Powerlessness corrupts in a very direct way: it changes, transforms, and distorts us. It makes
us different from how we would otherwise want to be. We look at our world and our own
behavior, and we tell ourselves that although we really arent living the lives we want to live,
there is nothing we can do about it. We are powerless (Lerner, 1991:2).
Anggapan atau persepsi tuna kuasa dapat menimbulkan berbagai efek negatif dalam
kehidupan sosial. Anggapan tuna kuasa menyebabkan orang tidak ingin mengadakan
perubahan yang seharusnya dapat dilakukan. Berbagai kekurangan, ketidakadilan, dan
penyelewengan kekuasaan cenderung dipandang sebgai kenyataan. Karena dianggap
kenyataan, ada rasa khawatir akan kalah, tersingkir, dan dikesampingkan orang lain.
Kekhawatiran ini akan terbukti dan menjadi self-fullfilling prophecy ketika orang bertindak
selaras dengan anggapan dan rasa khawatir tersebut. Apabila angapan ini tidak hanya
dianut oleh satu orang melainkan oleh banyak orang, maka terjadilah penularan dan
penyebaran anggapan dan perasaan tuna kuasa di masyarakat (Lerner, 13).
Di masyarakat Indonesia, situasi dan persepsi tuna kuasa sering timbul dalam berbagai
episode sejarah. Di zaman penjajahan, banyak murid yang berkulit sawo matang percaya
bahwa mereka tidak mungkin berhasil mendapatkan kedudukan tinggi seperti halnya
sinyo-sinyo Belanda. Bahkan, murid pribumi tersebut tidak hanya merasa tuna kuasa.
Mereka juga menyalahkan diri sendiri sebagai pihak yang bertanggungjawab di balik
situasi tersebut. Selama tiga dasarwarsa pemerintahan yang lalu, warganegara Indonesia
cukup terlatih menerima dan memahami keadaan yang ada walaupun keadaan itu penuh
dengan bentuk-bentuk penyelewengan seperti KKN. Berbagai pelanggaran hak asasi
manusia, pelanggaran ketentuan hukum, dan pelanggaran norma dan nilai berlangsung di
depan mata dan warganegara merasa tidak banyak yang dapat dilakukan supaya keadaan
buruk berubah menjadi lebih baik.
Masalah sejanjutnya adalah, mengapa tuna kuasa meluas di masyarakat? Pertanyaan ini
dapat ditanggapi dengan menggunakan tiga perspektif mengenai kekuasaan. Masing-
masing pendekatan menawarkan penjelasan mengapa arang menjadi tuna kuasa sehingga
pasrah menerima keadaan yang ditandai dengan ketidakadilan dan penidnasan. Secara
ringkas, ketiga pendekatan akan dipaparkan berikut ini.
Dalam perspektif pertama, kekuasaan dilihat dari sudut siapa saja yang berpartisispasi di
meja pengambilan keputusan yang akan menetapkan keputusan-keputusan penting dan
mengikat. Yang juga menjadi perhatian adalah siapa yang lebih kuat dan unggul dalam
pengambilan keputusan tersebut, dan siapa pula yang lebih lemah dan gagal. Pihak yang
berhasil mengungguli lawan atau saingannya dalam forum pengambilan keputusan
dipandang sebagai pihak yang lebih kuasa. Ini berarti, misalnya, pihak tersebut memiliki
sumber daya tawar-menawar yang lebih besar dan dapat menggunakannnya untuk
membela dan memenangkan tujuan dan kepentingannya. Sebaliknya, pihak yang kurang
atau tidak berkuasa ialah yang kalah dalam proses pengambiloan keputusan (Gaventa, vii).
Kembali ke contoh yang telah disampaikan di awal uraian, jika dalam suatau proses
pengambilan keputusan yang melibatkan mahasiswa dan dosen ternyata pihak mahasiswa
berhasil memenangkan kepentingan dan tujuan mereka, itu berarti mahasiswa lebih
berkuasa dari dosen. Jika dalam rapat yang diikuti oleh rektor-rektor dan menteri
pendidikan dan kebudayaan, para rektor berhasil mengedepankan kepentingan dan tujuan
mereka dengan mengalahkan kepentingan dan tujuan menteri, maka para rektor lebih
berkuasa dari menteri. Demikian pula apabila pak tua di Appalachia dan kawan-kawannya
berhasil memenagkan tuntutan-tuntutan yang mereka ajukan kepada perusahaan tambang,
berarti pak tua cs. Lebih kuasa dari perusahaan tersebut. Bisa saja, yang terjadi dalam
kenyataan adalah yang sebaliknya, yaitu dosen, menteri, dan perusahaan tambang lebih
kuasa dari lawan mereka, baik karena memiliki posisi tawara-menawar yang lebih kuat
maupun karena memegang otoritas yang lebih besar. Yang penting ditekankan adalah
bahwa arena kekuasaan pertama ini adalah pengambilan keputusan, dan yang ditekankan
adalah konflik-konflik pengambilan keputusan yang dapat diamati.
Apabila ada pihak yang berkali-kali berpartisipasi di forum pengambilann keputusan dan
berkali-kali pula kalah, maka di dalam diri pihak yang kalah itu, secara perlahan-lahan,
akan tertanam rasa dan persepsi tak berdaya dan tuna kuasa. Pada gilirannya, ia akan
berkesimpulan tidak perlu ikut serta dalam forum pengambilan keputusan mendatang
karena ia mengantisipasi kekalahan. Dengan kata lain, dilihat dari perspektif pertama
tentang kekuasaan, tuna kuasa tertanam dan meluas karena pengalaman berulangkali
gagal dalam arena pengambilan keputusan.
Dilihat dari perspektif kekuasaan yang kedua, sikap pasrah dan rasa tidak berdaya maluas
karena ada pihak atau isu yang tidak memiliki akses ke forum dan mekanisme pengambilan
keputusan. Ini dapat terjadi karena banyaknya rintangan-rintangan yang dibuat oleh pihak
yang lebih dominman dan berkuasa. Pihak yang tidak berkuasa, atau isu dan keprihatinan
mereka, tidak dapat masuk ke agenda pengambilan keputusan karena adanya rintangan-
rintangan yang sengaja dibuat untuk mengesampingkan dari forum tersebut. Ada
seperangkat nilai, keyakinan, rityual, dan aturan main yang secara sistematis dan konsisten
membantu kepentingan orang atau kelompok tertentu, tetapi dengan merugikan kelompok
lain. Pihak yang diuntungkan memiliki posisi yang lebih kuat sehingga dapat membela
kepentingan mereka (Gaventa, 14).
Selain itu, pengecualian pihak atau isu tertentu dari arena pengambilan keputusan dapat
terjadi karena adanya keputusan yang diambil untuk menindas atau menggagalkan
perlawanan terhadap nilai dan kepentingan elit yang berkuasa di pemerintahan pusat.
Bentuk ketentuan tersebut bermacam-macam dan hampir semuanya dikenal akraba oleh
siapa saja yang pernah mengalami Orde Baru (Gaventa, 14-15). Salah satu di antaranya
adalah penggunaan kekerasan bersenjata terhadap kelompok yang secara sepihak dinilai
memberontak, melawan, atau mengganggu stabilitas. Dalam sejarah Indonesia, pemerintah
sering menggunakan pendekatan semacam ini terhadap bagian dari bangsa Indonesia
sendiri. Akibatnya, seperti sudah diketahui, beberapa propinsi seperti Aceh, Irian Jaya, dan
Timor Timur merasa dikucilkan dan tidak terwakili. Represi juga pernah digunakan
terhadap kalangan buruh dan petani sehingga mereka pun sering terkucilkan dari arena
pengambilan keputusan. Mereka menjadi non-partisipan, dan isu atau keprihatinan mereka
menjadi non-issue.
Akan tetapi, pengucilan pihak atau isu tertentu dari forum pengambilan keputusan juga
dapat terjadi lewat cara lain, yaitu melalui pemberian ancaman sanksi, baik yang positif
maupun negatif. Dalam hal ini, pemerintah sebagai yang berkuasa, misalnya, dapat
mengintimidasi lawan-lawan politik dengan menggunakan prosedur legal sebagai
ancaman. Dalam hal ini berlaku peradilan politik, yaitu penggunaan pranata hukum dan
peradilan untuk mentingkairkan musuh politik pemegang kekuasaan sehingga musuh itu
tidak dapat bersaing dalam arena pengambilan kebijakan dan keputusan (Kirscheirmer, 6).
Selain penggunaan sanksi negatif, pihak yang berkuasa juga dapat merangkul lawan-
lawannnya sehingga tidak lagi menjadi lawan dalam persaingan pengambilan keputusan
karena sudah terkooptasi.
Cara ketiga ialah dengan menggunakan bias-bias yang ada dalam sistem politik, seperti
norma, perseden historis, atau peraturan tertentu, suapya isu atau tuntutan tertentu, yaitu
yang tidak disukai pemegang kekuasaan, dapat diredam. Warganegara di suatu desa yang
menentang penggunaan bendungan dapat dicap anggota organisasi terlarang, dan
mahasiswa yang suka demontrasi dapat dituduh PKI. Selan itu, musuh-musuh politik
dapat juga dituduh sebagai penghujat, subversif, dan berbagai bentuk manipulasi lainnya.
Dilihat dari perspektif kedua kekuasaan, mekanisme-mekanisme semacam ini akan
menyebabkan suatu kelompok masyarakat tersingkirkan dari agenda pengambilan
keputusan. Selain tersingkir, aspirasi dan kepentingan mereka juga dapat dianggap sepi
oleh pemegang kekuasaan.
Akhirnya, pemegang kekuasaan juga dapat menciptakan simbol dan aturan main baru
untuk merintangi dan membatasi akses suatu kelompok atau isu pengambilan keputusan.
Sebagai contoh, dengan mencipatkan suatu undang-undang, pemegang kekuasaan dapat
membatasi jumlah partai atau mengebiri media massa. Dengan memperkenalkan kepada
publik bahwa, misalnya, demokrasi Pancasila tidak mengenal lembaga oposisi, yang
berkuasa telah berhasil mempersempit kompetisi politik. Dalam kasus-kasus seperti ini,
setiap usaha untuk membentuk partai baru dan melancarkan kritik kepada penguasa, akan
menjadi tindakan yang melanggar hukum atau norma.
Pada masa lalu, alangkah banyaknya peserta dan persoalan yang tidak tertampung dalam
proses pengambilan keputusan yang mengikat. Di awal Orde Baru, misalnya, Partai Sosialis
Indonesia dan Masjumi dilarang. Masalah-masalah perburuhan, seperti upah yang sangat
rendah, dan pertanian sering kali tidak mendapatkan tempat yang semestinya dalam
proses pengambilan keputusan karena protes-protes mereka ditanggapi dengan
pendekatan intelijen dan represi. Profesor-profesor kritis beserta kritik mereka tidak
diperhatikan. Bahkan, tidak jarang karir mereka terancam. Mahasiswa yang menyuarakan
aspirasinya dibubarkan dan diusir, bukan ditanggapi dan didengarkan. Soal-soal yang
menurut pemerintah sensitif atau subversif tidak diperkenankan untuk diperdebatkan di
media massa, dan kinerja anggota DPR sangat banyak dibatasi oleh tata tertib lembaga ini.
Selain batasan berupa aturan, rintangan-rintangan yang diberikan pemerintah adalah
ancaman, represi, adu domba, tindakan balas dendam, dan pengendalian melalui
konstitusionalisme (Schwarz, 236-240).
Akhirnya, perspektif yang ketiga menempatkan kekuasaan sebagai alat untuk membentuk
persepsi dan kesadaran manusiamengenai ketimpangan dan ketidakadilan yang ada
dilingkungannya. Kekuasaan yang lebih besar tidak hanya dapat mengalahkan lawan atau
membatasi aksesnya ke meja pengambilan keputusan. Lebih dari itu, kekuasaan dominan
juga dapat berfungsi membantuk pandangan oranga atau kelompok yang tuna kuasa
terhadap situasi ketidakadilan yang dialami sehingga situasi tersebuit dapat bertahan.
Pemegang kekuasaan, misalnya, dapat menggunakan mitos, bahasa, atau simbol untuk
menundukkan, mengontrol, dan melemahkan lawan politiknya sehingga kekuasaaanya
dapat bertahan langgeng.
Dengan demikian, kekuasaan pada dimensi ketiga ini berhubungan dengan sosialisasi dan
pengendalian informasi dalam rangka membentuk pikiran dan pandangan orang. Akan
tetapi, yang juga tergolong ke dalam perspektif ketiga ini adalah berbagai cara yang tidak
langsung, seperti adaptasi psikologis terhadap keadaan yang ada. Apabila ada seseorang
atau kelompok tuna kuasa dilihat dari perspektif kekuasaan yang pertama dan kedua,
mereka juga akan tuna kuasa dalam perspektif ketiga ini. Manifestasi tuna kuasa dalam
perspektif ketiga termasuk fatalisme yang meluas, apati dan mecela diri sendiri. Rasa tidak
berkuasa juga dapat mengarah kepada penerimaan dan internalisasi nilai, keyakinan, dan
ketentuan pemegang kekuasaan. Akan tetapi, internalisasi ini terjadi dalam rangka
adaptasi. Seolah-olah, hal itu dapat menjadi mekanisme melarikan diri dari rasa tidak
berdaya yang dimiliki.
Masih ada masalah lain yang timbul dari dimensi ketiga kekuasaan yang penuh dengan
dominasi dan hegemoni ini. Dalam situasi ketimpangan kekuasaan, pihak yang tidak
berkuasa akan tergantung kepda yang berkuasa. Masyarakat belajar menghayati dan
mengembangkan budaya diam. Atau apabila mereka bersuara, maka suara dan aspirasi
tersebut tidak tulus, melainkan sesuatu yang palsu, bernada ABS (asal bapak senang), atau
gema dari ibukota yang diikuti pihak yang lemah di daerah. Suara dan pandangan semacam
ini, tentu saja, tidak bersifat tulus dan otentik. Akibatnya, seperti juga kita alami di
Indonesia, terbentuklah masyarakat yang tidak mampu mengartikulasikan kepentingan
mereka dengan baik, tanpa menggunakan cara-cara kekerasan. Ketidakmampuan ini
adalah hasil dari proses sosialisasi yang menuntut mereka tunduk dan patuh kepada
definisi realitas politik seperti yang diberikan pihak yang dominan di masyarakat dan
lembaga-lembaga pemerintahan.
Akan tetapi, loyalitas semata-mata tidak dapat diandalkan, lebih-lebih jika tingkat
partisipasi politik menurun dan dukungan merosot karena, ironisnya, besarnya kekuasaan
pemegang kekuasaan. Dengan kata lain, kekuasaan yang dominan pada akhirnya akan
menyemai bibit-bibit kelemahan dan kekalahannya sendiri. Bentuk-bentuk
penyalahgunaan kekusaan tertentu, khususnya yang populer dengan istilah KKN, dapat
menjadi bencana yang lebih besar dalam konteks krisis ekonomi dan moneter yang
melanda Indonesia, di pihak yang selama ini tuna kuasa juga terjadi perubahan yang
mengarah pada pergeseran hubungan-hubungan antara yang tuna kuasa dan kuasa.
Gerakan reformasi yang dipimpin mahasiswa dengan jelas menunjukkan bahwa, pada
akhirnya, mahasiswa dan masyarakat luas dapat mengubah hubungan-hubungan
kekuasaan. Ketika ideologi, mitos, dan legitimasi pemegang kekuasaan mulai dihadapkan
kepada krisis kepercayaan, gerakan reformasi muncul dan mengedepankan berbagai kritik
dan persoalan dalam sistem politik, mulai dari harga-harga yang melonjak sampai suksesi
kepemimpinan nasional. Persoalan-persoalan ini dikemukakan supaya di kalangan pihak-
pihak yangh tuna kuasa berkembang kesadaran baru tentang pentingnya perubahan dalam
hubungan kekuasaan. Bersamaan dsengan pengajuan isu dan kepentingan baru tersebut,
gerakan reformasi juga menggunkan berbagai aksi dan strategi mengubah perimbangan
kekuasaan dengan menggunakan aksi protes, demonstrasi, dan pengerahan rakyat dalam
jumlah yang banyak.
Aksi yangdigunakan ialah yangselama ini dicurigai, dibatasi, atau dilarang. Selain itu, aksi
tersebut dilakukan di luar forum pengambilan keputusan yang normal dan resmi.
Alasannya sederhana, yaitu karena di forum pengambilan keputusan yang formal tersebut
isu dan kepentingan yang dikemukakan gerakan reformasi tidak mendapat tempat yang
smestinya. Selain itu, akses kelompok pro reformasi ke forum-forum tersebut sangat
terbatas karena dominasi pemegang kekuasaan yang berlangsung selama ini. Karenanya,
tdak mengherankan jika aksi, kepentingan, dan straetgi yang digunakan untuk menentang
hegemoni pemegang kekuasaan ialah yang selama ini dicurigai dan dirintangi.
Apakah dominasi pemegang kekuasaan yang lama sudah benar-benar hilang? Apakah
sikap nrimo dan persepsi tuna kuasa benar-benar menyingkir dari horison politik
Indonesia? Jawaban yang pasti untuk pertanyaan ini akan kita peroleh seiring dengan
berjalannya waktu. Akan tetapi, pada hemat saya, ketiga perspektif mengenai kekuasaan
yang dikemukakan dalam pidato ini masih menyisakan tiga bidang kerja demokratisasi
kekuasaan. Ketiganya perlu mendapat perhatian serius dalam rangka membina format
politik Indonesia masa depan yang sedapat-dapatnya bersih dari penyalahgunaan
kekuasaan dan, pada saat yang bersamaan, memberikan peluang bagi peran serta yang
lebih luas di bidang pengambilan keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan
bersama.
Yang pertama adalah demokratisasi yang menyangkut dimensi pertama kekuasaan, yaitu
kekuasaan yang berada di arena pengambilan kebijakan. Dalam hal ini, agenda
demokratisasi adalah penguatan atau pemberdayaan pihak-pihak yang selama ini tuna
kuasa dan terkalahkan supaya dapat berunding dengan pemegang kekuasaan yang selama
ini menang di forum pengambilan kebijakan. Peningkatan sumberdaya, otonomi, dan
kapasitasnya diperlukan supaya perundingan dapat berjalan berdasarkan asa duduk sama
rendah dan berdiri sama tinggi. Ini merupakan agenda demokratisasi yang penting
mengingat dominasi negara atas masyarakat sduah menjadi ciri utama orde politik
sebelumnya.
Bibliografi
Bobbio, Norberto, 1987. The Future of Democracy: A Defence of the Rules of the
Game, Cambridge: Polity Press.
Brademas, John and Heimann, Fritz, 1998. Tackling International Corruption: No Longer
Taboo,oreign Affairs, Vol. 77 (5), September/October.
Bratton, Michael and Van de Walle, Nicolas, 1992. Popular Protest and Political Reform in
Africa, Comparative Politics, July.
Bratton, Michael and Van de Walle, Nicolas, 1994. Neopatrimonial Regimes and Political
Transitions in Africa, World Politics 46, July.
Budiardjo, Miriam, 1994. Aneka pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Penerbit
Sinar Harapan.
Diamond, Larry, Linz, Juan J., Lipset, Seymour Martin (eds.), 1989. Democracy in
Developing Countries, Colorado: Leynne Reinner Publisher.
Dryzek, John S., 1996. Political Inclusion and the Dynamics of Democratization, American
Political Science review, Vol. 90 (1), September.
Forrester, Geoff & May, R.J. (eds.), 1998. The Fall of Soeharto, Australia: Crawford House
Publishing, Bathrust.
Fox, Junathan, 1994. The Difficult Transition From Clientalism To Citizenship: Lessons
from Mexico, World Politics 46, January.
Gaventa, John, 1980. Power and Powerlessness. Chicago: Universuty of Illinois Press.
Gills, Barry and Rocamora, Joel, 1992. Low Intensity Democracy, Third Eorld
Quarterly, Vol. 13 (3).
Hadad, Ismid (ed.), 1981. Kebudyaan Politik dan Keadilan Sosial, jakarta: LP3ES.
Human Rights Watch, Asia 1994. The Limits of Opennes: Human Rigts in Indonesia and
Eats Timor.
Human Rights Watch, USA, 1998. Academic Freedom in Indonesia, Dismantling Soeharto-
Era Barriers.
Jessop, Bob. 1972. Social Order, Reform and Revolution, London: Macmillan.
Kingsbury, Damien. 1998. The politic of Indonesia, Melbourne: Oxford University Press.
Kirchheimer, Otto, 1961. Poltical Justice: The Use of Legal Procedure for Political Ends, New
Jersey: Princeton University Press.
Kramer, John M., 1998. The olitics of Coruption, Current History, October.
Lerner, Michael, 1991. Surplus Powerlessness. New Jersey: Humanities Press International,
INC.
Noronha, Frederick, Coruptions Costs are High Worldwide, Thrid World Network
Features, Penang.
O, Donnel, Guillermo and P. Schmitter, 1986. Transition from Aithoritarian Rule. Tentative
Conclusions about uncertain Democracies. Baltimore: John Hopkins University Press.
O, Donnel, Guillermo and Schmitter, P.C., Whitehead, L., (eds,), 1992. Transisi Menuju
Demokrasi. Kasus eropa selatan, Jakarta: LP3ES.
Olsen, Marvin E. And Marger, Martin N. (eds.), 1993. Poer in Modern Societies, USA:
Westview Press, Inc.
Quigley, Kevin F.F., 1996. Towards Consolidating Democracy: The Paradoxical Role of
Democracy Groups in Thailand, Democratization 3(3).
Rais, M. Amien, 1996. Pengantar, dalam Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta: LP3ES.
--------------------, 1997. Refleksi Amien Rais: dari Persoalan Semut Samapi Gajah, Jakarta:
Gema Insani Press.
--------------------, 1997. Suksesi & Keajaiban Kekuasaan, Yogyakarat: Pustaka Pelajar.
Schwarz, Adam, 1994. A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s, Australia: Allen &
Unwin.
Soetrisno, Loekman, dkk (ed), 1998. Menuju Masyarakat Madani: Strategi & Agenda
Reformasi,Yogyakarta: P3PK UGM.
Stark, Andrew, 1997. Beyond Quid Pro Quo: Whats Wrong with Private Gain from Public
Office? American Political Science Review, Vol. 91 (1).
Tarrow, Sidney, 1995. Mass Mobilization and Elite Exchange: Democratization Episodes in
Italy and Sapin. Democratization Vol. 2, No. 3, London.
Taylor, Charles, 1998. The Dinamics of Democratic Exclusion, Journal of democracy, Vol. 9
(4), October.
Webb, Keith and Hyde-Price, Arian, 1987. The Structure of Protest, Paradigms Vol., No. 1.
1 Lingkaran tuna kuasa yang digambarkan Taufik Ismail disudahi dengan ironi, yaitu
presiden yang tuna kuasa vis-a-vis mahasiswa. Mengapa mahasiswa dapat mengubah
situasi dari tuna kuasa