Ahmad Sholikin
Demokrasi memberikan tempat bagi kita belajar hidup bersama musuh karena
hanya demokrasi yang memungkinkan ketegangan dan paradoks, yang bersumber dari
kebebasan, terjadi di masyarakat. Berbeda dengan masa Orde Baru, kita kini bisa
menikmati kebebasan berpendapat dan berasosiasi. Kebebasan tersebut pada
gilirannya bisa menghasilkan ketegangan. Hubungan antara elemen masyarakat yang
satu dengan yang lainnya, atau hubungan antara negara dengan elemen masyarakat,
bisa tegang karena perbedaan kepentingan dalam mengatur tatanan sosial dan politik.
Cherian George, guru besar studi media pada Departemen Jurnalisme di Hong
Kong Baptist University, sekaligus direktur Pusat Riset Media dan Komunikasi,
meluncurkan buku berjudul “Hate Spin: the Manufacture of Religious Offense and Its
Threat for Democracy” pada akhir tahun 2016. Buku ini memotret fenomena global
komodifikasi ujaran kebencian berbasis agama oleh broker-broker politik di tiga
negara, yakni Amerika Serikat (AS) , India, dan Indonesia. Buku ini menggambarkan
cara kerja politisasi atau pelintiran kebencian yang digunakan dalam kontestasi
pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan Pemilihan Kepala Negara. Sebagai hasilnya,
pelintiran kebencian menjadi mesin politik yang tidak hanya mempengaruhi cara kerja
demokrasi, melainkan menimbulkan dilema demokrasi dan dipercaya dapat
membusukkan demokrasi secara perlahan tapi pasti.
Buku ini berdasar kegelisahan Cherian George melihat naiknya ancaman politik
pertikaian agama yang dia sebut “pelintiran kebencian terhadap demokrasi”. Demokrasi
terancam ketika kelompok rentan terus mengalami intimidasi atau diskriminasi dan
suara-suara yang dianggap melukai perasaan kelompok dominan yang semakin
dibungkam. Wabah intoleransi agama biasanya dianggap sebagai fenomena yang
spontan dan berakar pada tradisi agama-agama itu sendiri, yang saling bertabrakan.
Tapi dalam buku ini, Cherian George memperlihatkan bahwa wabah tersebut sebagian
besarnya melibatkan kampanye dahsyat para oportunis politik untuk memobilisasi
pendukung dan menyingkirkan lawan. Jaringan sayap-kanan memanfaatkan ujaran
kebencian dan ketersinggungan agama sebagai instrumen identitas politik, seraya
mengeksploitasi ruang demokratis untuk mempromosikan agenda yang
menghancurkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
1
Catatan Singkat untuk Diskusi Online Cultural School Bidang Seni dan Olahraga IMM Cabang Kota
Surabaya
terbesar di dunia, di mana kelompok-kelompok intoleran dalam Hindu sayap-kanan
India, Kristen sayap-kanan Amerika, dan Muslim sayap-kanan Indonesia menjadi pelaku
pelintiran kebencian. Dia juga menunjukkan bagaimana Internet dan Google telah
membuka kesempatan baru bagi munculnya pelintiran kebencian lintas-batas.
Dalam buku ini George mengajak berbagai pihak untuk lebih mendorong
kesetaraan warga negara dan tidak gegabah dalam mempidanakan ujaran. Kembali
pada Cherian. Menurut mantan jurnalis The Straits Time ini, pelintiran kebencian
merupakan bombardiran hasutan yang merakayasa ketersinggungan. Biasanya, ada
jeda antara kasus aktual dengan pengaduan, sesuai dengan adanya kepentingan
strategis segelintir kelompok yang hendak memanfaatkan peluang. Hasutan ini, kata
Cherian, mengincar minoritas atau kelompok rentan sebagai korbannya. Di berbagai
kasus, kelompok yang lebih lemah atau kalah kuat dengan mayoritas selalu menjadi
objek pelintiran kebencian. Ironisnya, polisi ragu-ragu mengambil tindakan karena
takut akan opini publik yang digulirkan oleh tokoh-tokoh mayoritas.
Cara kerja pelintiran kebencian telah ditiru oleh pelaku lain. Di Indonesia, kasus
persekusi terhadap Ustad Somad oleh kelompok Hindu garis keras di Bali menjadi
contoh paling dekat. “Mereka menggunakan cara yang sama (seperti yang dilakukan
oleh pelaku pelintiran kebencian di Pilkada DKI Jakarta). Inilah kenapa hate
spin menciderai demokrasi.
Pemerintah dan aparat penegak hukum mesti cerdas dan tepat menangani tren
pelintiran kebencian yang mungkin akan semakin banyak terjadi di negeri ini,
mengingat Indonesia memasuki tahun-tahun politik. Kuncinya, pemerintah dan aparat
harus berpijak pada perlindungan konstitusi setiap warga negara, tak mengambil jalan
pintas menghindari amarah warga, dan menyelesaikan melalui cara-cara demokratis.
Jadi, ketika misalnya ada diskusi yang diadakan oleh minoritas di suatu daerah yang
mendiskusikan hal yang berlawanan dengan pandangan mayoritas di sana, polisi
harusnya melindungi hak warga negara yang melakukan diskusi itu, bukan justru
membubarkan diskusi karena ingin menghindari kemarahan warga.
Cherian George, 2016, “Hate Spin: the Manufacture of Religious Offense and Its
Threat for Democracy”. Massachusetts Institute of Technology.