Anda di halaman 1dari 15

Menyikapi Radikalisme dan Ekstremisme Brutal

dalam Masyarakat Multikultural di Era Post Truth


Eddy Prayitno (Mataharitimoer) *

Isu radikalisme dan ekstremisme agama masih menjadi perhatian bangsa. Sebagai
orang yang pernah terlibat 10 tahun dalam gerakan radikal dan selanjutnya turut
memerhatikan ruang lingkup Countering Violent Extremism (CVE) dalam kehidupan
berbangsa, termasuk di ranah digital, saya mengangkat untuk isu tersebut. Lebih
spesifik saya akan bertutur tentang isu yang masih relevan untuk didiskusikan, yaitu
“Religion, Radicalism and Countering Violent Extremism”. Tentang bagaimana melawan
ekstremisme brutal yang kerap mengatasnamakan agama. Sayangnya ketika kita
membahas persoalan ekstremisme maupun radikalisme, agama yang paling dianggap
radikal adalah Islam. Ini pula yang menumbuhkan Islamophobia di berbagai entitas
publik, mereka anggap Islam adalah agama yang menyeramkan. Merasa tidak nyaman
di dekat orang bercadar, memelihara jenggot, dan ciri khas lainnya yang biasa
dikenakan oleh sebagian umat Islam.

Ini stigma dan phobia yang mau tidak mau menjadi tanggung jawab kita bersama, untuk
memulihkan kekeliruan terhadap Islam dan untuk menampilkan Islam yang toleran,
penuh kasih sayang, damai, dan lucu. Memang rasanya tidak adil, mereka (kelompok
ekstrem) yang brutal tetapi kita yang harus memperbaiki berbagai kerusakan. Mereka
yang melakukan bom bunuh diri, tetapi kita yang ditakuti. Padahal kita sama-sama takut
kena bom tersebut. Tapi begitulah resiko hidup dalam masyarakat multikultural di
Indonesia. Kita mesti memaklumi dan tetap sabar untuk melakukan berbagai upaya
untuk meluruskan kekeliruan.

Kita hidup dalam masyarakat multi-kultural. Kita adalah bangsa yang besar, yang terdiri
dari sekira 1.340 suku bangsa (etnis) dan 1.158 bahasa, dan juga 245 atau lebih agama
lokal. Dunia patut bangga akan kehebatan masyarakat Indonesia yang di dalamnya
ribuan etnis, bahasa, dan ratusan agama bisa hidup bersama, berdampingan, dan saling
menghormati.

1
Ketika Agama Menjadi Komoditi Politik

Dalam sejarahnya, negeri ini memang tak lepas dari konflik, namun konflik tersebut
sejatinya adalah konflik kekuasaan (politik), bukan konflik antar masyarakat, bukan
konflik antar penganut agama lokal, bukan juga konflik budaya. Konflik bermuatan SARA
(Suku, Ras, Agama, dan Antar Golongan) yang terjadi di masyarakat kita pun —kalau
mau jujur diungkap— hanyalah tumbal dari kepentingan politik dan ekonomi yang
kerap tersembunyi di balik berbagai kasus. Tetapi saya hanya akan sedikit menyinggung
soal politik di sini sebab ini bukan esai politik.

Tak perlu flash back jauh ke zaman sejarah pra kemerdekaan. Cukup kita ingat kembali
suasana Pemilu Presiden 2019 dengan berbagai drama yang berakhir pada keakraban
kedua calon presiden di gerbong MRT. Sebuah drama yang secara tidak langsung
menguak pihak mana yang tak suka jika tokoh nasional, seperti Jokowi dan Prabowo,
kembali akrab bersama. Adalah mereka yang memiliki “mimpi hidup bersyariat” yang
amat kuat. Saya tak ingin menyebut mereka kelompok radikal, ekstrem saja sebenarnya
kurang tepat, sebab mereka bukan orang-orang yang bernyali untuk disebut
radikal/ekstrem. Disebut oportunis, mungkin lebih tepat.

Dalam beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, terutama dalam konteks politik
kekuasaan, isu agama begitu kuat dalam membelah masyarakat karena perbedaan
pilihan politik. Pilkada DKI Jakarta adalah salah satu fakta bagaimana sikap
keberagamaan yang ekstrem berhasil mengalahkan Gubernur Petahana, Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok). Isu anti Cina, Kafir, dan penistaan agama begitu mengemuka sehingga
sebagian besar warga Jakarta menafikan prestasi sang petahana dan memenangkan
kubu yang didukung oleh kelompok yang mengemas kampanye dengan agama sebagai
perekat utamanya. Bukan hanya kalah pada Pilkada DKI Jakarta, Ahok sendiri pun harus
menjalani hukuman di Penjara Mako Brimob karena tuduhan penistaan agama.

Pemilihan presiden 2019 antara Jokowi-Ma’ruf versus Prabowo-Sandi juga tak lepas
dari isu agama. Dalam konteks ini malah kedua belah pihak sama-sama memainkan isu
agama dengan caranya masing-masing. Kedua kubu sama-sama mengklaim didukung
ulama. Pada pemilu sebelumnya di Indonesia, semua capres selalu menakar dukungan
suara kalangan Muslim. Sekarang ulamanya langsung yang diusung untuk terlibat

2
dalam kampanye politik kekuasaan. Yang membuat miris adalah masing-masing
pendukung saling “meragukan” ulama di kubu seberang. Merasa kubunya yang “paling
ulama”. Yang satu merasa didukung ulama besar dan kalangan tarekat, sedangkan
satunya didukung sekumpulan Muslim yang menggelar Ijtima Ulama versi 2.1

Beberapa orang dari kubu Jokowi meragukan keulamaan Ijtima Ulama versi 2. Mantan
alumni 212 yang merapat ke PDIP pun meragukan kontrak politik Ijtima Ulama dengan
Prabowo. Alasannya, Prabowo mengabaikan hasil Ijtima Ulama versi 1. Kubu Prabowo
merasa yakin dengan dukungan Ijtima Ulama versi 2 yang dipimpin oleh Imam Besar
mereka: Rizieq Shihab yang terlantar di tanah leluhurnya. Pertalian kepentingan
mereka memang sejak lama terjalin. Mereka meragukan kesetiaan Jokowi terhadap
kepentingan umat Islam. Apalagi isu kriminalisasi habaib dan ulama dan isu komunisme
kerap digaungkan oleh kubu ini.

Dukungan terhadap Prabowo pun menjadi sebuah fatwa Imam Besar, yang levelnya
naik menjadi sebuah Jihad. Seruan jihad menyebar di media sosial dan grup chatting
(yang populer adalah Whatsapp). Mereka menyerukan bahwa memilih Prabowo-Sandi
merupakan jihad dan memilih yang lain merupakan wujud kafir terhadap fatwa Ulama.
Auto-Kafir. Sebaliknya di kubu Petahana, para buzzer mendengungkan seruan bahwa
kampanye yang dilakukan kubu lawan bersifat radikal dan mengancam keutuhan NKRI.
Apalagi dengan adanya unsur organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang
mengidealkan Khilafah sebagai bentuk ideal pemerintahan di Indonesia. Keduanya
mengemas isu agama seolah-olah yang diperjuangan dalam pesta demokrasi adalah
kepentingan agama.

Saya melihat semua ini berlangsung sebagai laboratorium politik Indonesia di era media
sosial. Kedua kubu menggunakan bukan hanya media mainstream yang tak dipungkiri
memiliki kecenderungan berpihak, tetapi juga memanfaatkan masyarakat (baca: media
sosial) secara bebas dan kadang tanpa perasaan. Masyarakat tidak diajak untuk kritis
terhadap program pemberdayaan ekonomi calon presiden, tidak diajak untuk
memahami konsep pembangunan dan hak asasi manusia, juga tak diajak untuk

1 Memanfaatkan Pamor Ulama dalam Pemilu 2019 https://mataharitimoer.com/manfaatkan-pamor-ulama/-7396/

3
mengerti haluan politik luar negeri calon presiden. Memang panggung debat terlihat
membahas isu-isu yang serius dan relevan untuk calon kepala negara tetapi di
lapangan, terutama di media sosial yang terlihat adalah saling cerca. Seseorang
diarahkan untuk memilih A karena membenci B. Tidak ada arahan dari unsur politik
untuk memilih A namun tetap menghormati B. Dan lagi-lagi kebencian ini disebarkan
dengan kemasan agama.

Radikalisme dan Intoleransi

Di antara kedua kubu Pemilu, ada pihak lain yang dikhawatirkan akan memanfaatkan
momentum Pemilu yang dituduh berencana menciptakan kekacauan. Mereka adalah
kalangan yang selama ini dituduh sebagai kelompok teroris. 68 terduga teroris telah
ditangkap di berbagai wilayah di Indonesia. Penangkapan puluhan teroris itu
dilakukan sejak dari Januari hingga pertengahan Mei 2019. 2 Pemerintah khawatir
kelompok terduga teroris akan memanfaatkan momen PEMILU hingga pelantikan
Presiden dengan melakukan serangan terhadap kepolisian dan juga masyarakat
sipil. Apakah kekhawatiran tersebut berdasar?

Selain isu radikalisme dan ekstremisme, persoalan yang masih kerap terlihat di
negeri yang masyarakatnya multikultural ini adalah intoleransi. Dalam konteks
tersebut kita dapat menyaksikan kasus persekusi maupun diskriminasi terhadap
3
kelompok minoritas. Kasus ibu Meiliana di Tanjung Balai adalah salah satu
contoh pelintiran kebencian yang dipicu lewat media sosial. Begitupun dengan
kasus jemaat Ahmadiyah yang mengalami persekusi. Setidaknya delapan rumah
rusak berat, memaksa tujuh keluarga yang terdiri dari 24 orang untuk mencari
perlindungan di Polres Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. 4

Terlalu banyak Pekerjaan Rumah dalam kehidupan berbangsa dan beragama di


negeri ini. Pelintiran kebencian, persekusi, intimidasi, intoleransi, ekstremisme,

2 Jokowi Serahkan Penanganan Teroris Jelang Pengumuman Pemilu pada Polisi


https://www.suara.com/news/2019/05/19/190258/jokowi-serahkan-penanganan-teroris-jelang-pengumuman-
pemilu-pada-polisi
3 Rekayasa Kebencian Dalam Kasus Meiliana Tanjung Balai https://tirto.id/rekayasa-kebencian-dalam-kasus-

meiliana-di-tanjung-balai-cUEe
4 Penganut Ahmadiyah Dipersekusi Lagi https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44189085

4
dan radikalisme seolah misteri yang tak tertemukan akar masalahnya. Apakah
kita masih ingin persoalan seperti itu tetap terjadi di era baru pasca pemilu
2019?

Radikalisme, sikap ekstrem dan intoleran bagaikan duri dalam masyarakat


multikultural. Sikap keberagamaan masyarakat masih saja mudah terpicu persoalan
tersebut. Padahal agama pada konsep dasarnya membawa pemeluknya untuk
mendapatkan rasa damai. Profesor DR. Quraish Shihab menyatakan bahwa pada
hakikatnya Islam sendiri memiliki makna antara lain: keselamatan, kedamaian, dan
kepasrahan. Maka muslim berarti orang yang memberi rasa aman juga damai bagi
dirinya dan orang di sekelilingnya.5

Rasa damai dan mendamaikan orang di sekeliling sepertinya kurang disadari oleh
pemeluk agama. Dalam interaksi sosial pemeluk agama mudah sekali tergiring pada dua
hal, pertama, merasa paling benar. Mereka mencari perbedaan dari agama maupun
madzhab lain untuk mencari kelemahan dan kesalahan. Kedua, mudah merasa terusik
oleh penganut agama maupun aliran keagamaan yang berbeda. Indikasi paling awal
dari sikap ini adalah mendahulukan perbedaan ketimbang persamaan saat berhadapan
dengan kelompok lain. Sulit sekali untuk mengakui bahwa bahwa mereka (yang
berbeda paham dan kelompok itu) adalah bagian dari “kita”. Sebaliknya, yang muncul
dalam benak malah “mereka bukan kita”. Jika sudah begini, perlu upaya ekstra keras
dari masing-masing pihak agar mau berlapang dada menerima perbedaan sebagai
sunnatulloh.

Belum lagi soal ritual keagamaan yang kadang menjadi isu yang sensitif di masyarakat.
Sebagai masyarakat multi-kultural kita memahami bahwa setiap agama dan keyakinan
spiritual memiliki lantunan, wewangian, maupun bebunyian yang khas. Lantunan
spiritual sepantasnya disikapi sebagai sesuatu yang sakral. Tidaklah pantas kesakralan
setiap ajaran dituding sebagai pengganggu kehidupan. Keragaman tak perlu dijadikan
bahan untuk beradu argumentasi soal cara beribadah orang lain. Yang tak suka
mendengar suara azan, tak perlu minta pengurus Masjid agar mengurangi volume

5Islam yang Saya Anut https://alif.id/read/muhammad-saiful-umam/m-quraish-shihab-islam-yang-saya-anut-


b208429p/

5
speaker. Yang tak suka mendengar nyanyian umat Nasrani tak perlu memintanya
berhenti dan pindah lokasi. Tak perlu mengusik mereka yang sedang menikmati
sakralitas agamanya lewat ibadah. Tak perlu mendepak mereka yang beribadah di
depan dupa.

Kehidupan kita akan lebih nyaman apabila setiap orang bisa mendamaikan hatinya
sendiri dari suara maupun aroma spiritual agama lain. Sudah banyak persoalan yang
membuat kita begitu mudah dipancing amarah, yang saat ini sering kita temukan di
berbagai media, termasuk media sosial di dalamnya. Jika suara itu terlalu keras,
lembutkan hati kita. Besarkan hati daripada suara-suara yang dianggap mengganggu.

Countering Violent Extremism

Apakah setelah penangkapan besar-besaran kelompok jejaring teroris pada saat


PEMILU membuat mereka jera? Jawabannya, kemungkinan besar tidak! Kita
menyaksikan sendiri pada 11 Oktober 2019 bahkan Wiranto menjadi korban penusukan
seorang yang diduga anggota Jamaah Ansharud Daulah (JAD).

Berdasarkan pengalaman saya, jaringan ekstrem amat disiplin dalam melakukan


perekrutan dan kaderisasi. Apabila ada yang tertangkap di suatu daerah, entah karena
melakukan kejahatan terorisme maupun digrebeg, biasanya mereka sudah
menanamkan benih baru di lokasi tersebut. Jadi apabila ada yang tertangkap ataupun
mati tertembak, mereka tak akan kehabisan kader sebab benih-benih baru yang
ditanam sedang tumbuh. Mereka akan dijejali dotrin bahwa tokoh yang mereka
hormati telah ditangkap ataupun dibunuh oleh negara. Doktrin itu tertanam dalam
batin dan pikiran kader muda dan tentu membuat mereka semakin militan dan pada
saatnya akan melakuan serangan balasan.

Memang ada kaum tua yang memilih hibernasi dari agenda pergerakan politik jihadis.
Mungkin mereka lelah dengan fenomena disintegrasi, rekonsiliasi, dan segala drama
politik jihadis yang tiada habisnya. Sayangnya sikap tersebut tak diikuti oleh kelompok
muda yang semangat jihadnya masih bergolak. Mereka bahkan menganggap semangat
jihad kaum tua semakin luntur dimakan usia. Kaum muda yang heroik ini akhirnya

6
menjalin relasi dengan jejaring di luar dan mengambil langkah sendiri. Teknologi
memudahkan mereka terhubung dengan organisasi sejenis. Propaganda, rekrutmen,
dan pembinaan militansi pun cukup efektif dengan menggunakan media sosial dan
berbagai aplikasi lainnya.

Selain kelompok yang dalam UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Terorisme dapat disebut teroris6, ada juga sekelompok penganut agama yang merasa
tertindas dan dipecah-belah, merasa dikalahkan oleh kekuatan politik sekuler.
Pandangan ini menumbuhkan semangat perlawanan politik berbasis agama. Ketika
perlawanan politik tersebut dilakukan secara legal—dalam parlemen—menurut saya
lumrah. Itu merupakan hak politik yang dilindungi oleh Undang-undang Dasar 1945
pasal 28 dan 29. Lain soal ketika perlawanan politik tersebut dilakukan dalam bentuk
pesan-pesan tersembunyi yang dapat bertransformasi menjadi gerakan
radikal/ekstrem. Yang seperti ini biasanya bersikap tegas memisahkan antara agama
dan yang berbau sekuler, antara mereka dengan masyarakat sekitar, antara kesalehan
dan kekafiran. Ujungnya sama, yaitu menggerakkan para pengikutnya untuk bersikap
anti terhadap pemerintahan dan berjuang mewujudkan negara dalam konsep khilafah
yang mereka idealkan. Isu sosial, ekonomi, dan tentunya politik merupakan bahan yang
efektif dan dikemas dalam konsep perjuangan kaum jihadis.

Hal tersebut sudah berjalan cukup lama dan kini semakin mudah menyebar di era
media sosial. Masyarakat kita yang rata-rata gagap teknologi dan buta literasi digital,
begitu mudah dipengaruhi dengan gagasan anti negara sekuler dan membeo terhadap
sebaran informasi yang mengandung pelintiran kebencian. Pengaruh tersebut langsung
sampai ke tangan setiap orang yang terkoneksi dengan smartphone.

Jika sepuluh-duapuluh tahun lalu seseorang yang tertarik dengan gagasan radikalisme
harus bersusah payah mencari kelompok dan informasi yang mereka cari, kini hal
tersebut tak perlu mereka lakukan. Bahkan tanpa dicari pun, mereka bisa terpapar
gagasan radikalisme melalui smartphone yang menyertainya kemana pun dan di mana

6 Dalam UU No 5/2018 Terorisme didefinisikan sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat
massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup,
fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

7
pun. Wajar jika sebuah studi melaporkan bahwa generasi muda cenderung mencari
informasi tentang agama dan pengajaran agama melalui media sosial,7 sebab memang
mereka hidup di zaman yang di dalamnya teknologi digital menjadi teknologi yang vital
bagi manusia sekarang.

Contoh yang belum lama terjadi adalah ketika seorang pelajar SMA menyatakan diri
pro terhadap negara khilafah. Sebaran banner tersebut memicu kritik netizen dengan
segala kenyinyirannya. Apakah pelajar tersebut kapok dan kembali menyatakan cinta
kepada NKRI? Tidak! Sebab ia hidup dalam lingkungan yang tetap mendukungnya
bersikap demikian. Lingkungan media sosialnya pun berada pada lingkaran yang
memiliki sikap yang sama terhadap ide khilafah.

Dari mana kaum muda dibentuk pemikirannya? Lebih dominan melalui konektivitas
digital. Inilah tantangan bagi tokoh agama dan ormas keagamaan. Mereka sebaiknya
tidak alergi terhadap teknologi mutakhir (baca: media sosial dan platform digital
lainnya) yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, khususnya generasi Post
Milenial. Terutama kalangan tua, yang kerap menganggap smartphone sebagai alat
buang-buang waktu bagi anak-anaknya. Mereka mesti menginsyafi bahwa smartphone
sudah menjadi “indera pelengkap” bagi manusia kekinian. Daripada melarang dan/atau
membatasi penggunaan smartphone, lebih baik kaum tua beradaptasi dengan
teknologi terkini dalam mendidik dan menjaga mereka melalui “indera pelengkap”
tersebut.

Apa yang perlu dilakukan dalam mengobati ekstremisme agama dan kelumpuhan logika
di era Post Truth? Mungkinkah melawan sebaran hoaks dan pelintiran kebencian
sekaligus melindungi kebebasan beragama dan menghormati kepercayaan dan nilai-
nilai agama?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu memahami sedang di mana kita sekarang
ini. Ada di zaman seperti apa dan bagaimana algoritma zaman membentuk kita.

7Survei terbaru pada tahun 2017 dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (Pusat Studi Islam dan Masyarakat
[PPIM]) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, menunjukkan bahwa 54,87% generasi Z mencari pengetahuan tentang
agama melalui internet, termasuk blog, situs web dan media sosial lainnya.

8
Kita berada pada zaman di mana konektivitas menjadi kebanggaan. Jangan salahkan
mereka yang sangat mencintai Facebook, Instagram, dan Twitter karena bisa
mempertemukannya dengan keluarga atau teman yang pernah hilang dan tak tahu ke
mana rimbanya. Media sosial seolah dapat menyatukan mereka yang terpisah oleh
ruang dan waktu. Pada awalnya demikian, tetapi dalam perkembangannya apakah
media sosial benar-benar dapat mempersatukan keragaman? Kita tak menyadari
bahwa teknologi yang mengagungkan konektivitas ini juga bisa melakukan
diskonektivitas kebangsaan (national disconnectivity).

Kita adalah komoditas dari berbagai platform digital. Jarang yang menyadari bahwa
perilaku di media sosial dan apa yang kita lakukan merupakan data yang bisa mereka
manfaatkan. Kita begitu bahagia dengan keberkahan media sosial berupa konektivitas
tanpa pernah membaca term and conditions. Semua yang kita akses, gesek/tap kartu,
lokasi yang kita sambangi, dan perilaku kita dalam rekaman digital melekat dengan
identitas kita. Kabar buruknya adalah bisa diakses oleh siapa saja dan oleh pihak mana
pun, yang dapat mengakses dan mengolah data untuk kepentingan bisnis, politik,
maupun bisnis politik. Pun di antaranya adalah para perekrut dari gerakan
ekstremisme. Pernahkah Anda membayangkan ada sekelompok orang yang melakukan
profiling di media sosial untuk melakukan rekrutmen? Itu bukan cuma pekerjaan
karyawan digital marketing. Kalangan ekstremis juga melakukan kerja seperti itu.

Pada satu sisi media sosial dengan algoritmanya dapat menyatukan entitas
sepemikiran, namun sekaligus membedakan, bahkan menjauhkan dengan entitas yang
berbeda pemikiran. Kita begitu mudah dipisahkan mulai dari hal-hal sepele. Misalnya
antara tim bubur diaduk vs bubur tidak diaduk, antara tim drakor vs anti drakor, tim
Jokowi vs tim Prabowo, NKRI vs NKRI Bersyariah, Islam Nusantara vs Islam Sunnah.
Media sosial begitu apik memisahkan orang sesuai dengan seleranya. Yang tidak saling
kenal bisa bertemu dengan yang lain selama ada satu keterkaitan selera (like,
comments, share).

Wajar apabila setiap entitas merasa dirinyalah yang paling tren, paling keren, paling
populer, dan bahkan merasa kelompoknyalah yang paling benar. Sampai di sini kita
baru menyadari bahwa algoritma media sosial begitu mudah mengelompokkan dan
memasok informasi sesuai selera kelompok masing-masing.
9
Mungkin ini yang disebut filter bubble yang membentuk ruang gema di mana tumbuh
post truh di setiap kelompok yang berbeda. Pada level ini seseorang akan amat sulit
dikoreksi. Fakta yang kita sodorkan untuk mengklarifikasi hoaks yang mereka sebar-
ulang, boleh jadi malah dianggap hoaks lainnya.

Kita menyaksikan sendiri bahwa sebaran disinformasi dan misinformasi (kerap tren
disebut hoaks) berhubungan dengan sikap keberagamaan (dan sikap politik) yang
intoleran dan ekstrem. Kalangan ini mudah sekali terbawa arus hoaks dan hanya
menerima informasi dari ekosistem informasinya sendiri. Bahkan mereka punya tim
Digital yang fokus melakukan propaganda dan rekrutmen dengan berbagai varian dan
jejaringnya.

Ikhtiar Menangkal Ekstremisme dan Radikalisme

Tokoh agama, tokoh masyarakat, penggerak kampung, dan komunitas sebaiknya lebih
aktif dalam menyebarkan informasi yang benar dan damai melalui saluran publik yang
berlapis-lapis. Tak cukup hanya di website resmi organisasi yang biasanya kaku dan
membosankan. Lakukan juga pada channel media sosial lainnya yang lebih dekat
dengan generasi terkini. Sampaikan konten tentang kebebasan beragama untuk
generasi terkini, sehingga mereka terbuka menerima keragaman agama dan budaya.
Coba sesekali melakukan pencarian di Youtube dengan kata kunci “Kajian Islam”.
Bandingkan dari video yang muncul, apakah muncul tokoh agama yang didukung ormas
besar seperti NU dan Muhammadiyah atau lebih banyak tokoh agama yang populer di
kalangan milenial?

Saya melakukan penelusuran atas beberapa tokoh agama yang “eksis” di Instagram dan
Youtube. Mereka memiliki followers yang banyak dan engagement rate yang tinggi.

10
Dari tabel Instagram para tokoh tersebut di atas, jumlah followers tertinggi dimiliki oleh
OSD, HA, AG, FS, YM. Apa yang bisa kita petik dari temuan ini? Instagram sebagai media
sosial yang paling banyak diminati anak muda saat ini semakin meningkatkan
popularitas tokoh tersebut. Itu baru satu akun. Biasanya satu orang tokoh memiliki
banyak akun tambahan yang dikelola oleh murid maupun oleh simpatisannya. Belum
lagi sebaran hashtag. #felixsiaw misalnya, saat ini sebaran konten dengan hashtag
tersebut mencapai 7.555 buah.

Satu hal yang perlu kita insyafi adalah, umumnya di Indonesia, seorang penonton
sebuah konten/akun tak selalu follow akun tersebut. Hal ini juga terjadi pada channel
Youtube, di mana sekira 90% penonton saluran youtube adalah non-subscriber. Para
subscriber hanya tercatat rata-rata 10% saja yang menonton channel tersebut. Ini
menunjukkan bahwa penonton non-subscriber orang yang baru mendapatkan channel
tersebut, simpatisan baru. Bayangkan jumlah non-subscriber tersebut terus bertambah
setiap jam, setiap hari.

11
Pada tabel Tokoh di Youtube ini khusus untuk HRS memang tidak memiliki akun khusus,
sebagaimana di Facebook dan Instagram yang kerap diblok karena dianggap bagian dari
Dangerous Organization. Namun Channel yang representative bagi HRS adalah FrontTV
yang memiliki Engagement Rate yang cukup tinggi. Sementara tokoh panutan
Nahdlatul Ulama, yakni Gusmus ada di urutan ke-9. Sedangkan Prof. M. Quraish Shihab
“tertolong” reputasinya di Youtube karena memiliki serial khusus di Channel anaknya,
Najwa Shihab yaitu Shihab+Shihab. Menurut saya channel ini lumayan membantu
mengenalkan Islam Damai ke kalangan penggemar “Najwa” saja.

Saatnya menghapus stigma Mayoritas–Minoritas: “Mayoritas melindungi, Minoritas


tahu diri”. Stigma ini merupakan warisan kegelapan yang masih menguasai cara berpikir
dan bersikap masyarakat. Bagaimana mungkin kita bisa mewujudkan toleransi, respek,
dan hidup damai bersama apabila bingkai Mayo-Mino ini masih ada. Mayoritas arogan,
minoritas nyinyir. Lengkap sudah luka bangsa ini. Oleh karena itu, biarlah urusan mayo-
mino menjadi urusan Badan Pusat Statistik dan Departemen Agama saja. Kita yang
berinteraksi langsung di masyarakat sudah saatnya melepas bingkai mayo-mino di
setiap kesempatan.8

8Tulisan MT tentang sikap toleran yang mengedepankan respek dan pembauran


https://mataharitimoer.com/biarkan-suara-itu-besarkan-saja-hatimu/-7365/

12
Keimanan adalah soal kualitas bukan kuantitas. Tidak ada yang bisa menakar keimanan
seseorang. Di sinilah kita mesti merenungkan kembali bahwa kehidupan beragama
dalam masyarakat multikultural adalah soal kualitas sikap keberagamaan dalam
bermasyarakat, bukan berapa banyak jumlah penganut agamanya.

Apa yang saya sampaikan di atas boleh jadi pas untuk mereka yang belum terpapar ide-
ide ekstremisme dan radikalisme. Khusus bagi mereka yang terpapar dan terlibat
gerakan ekstrem dan intoleran, jangan melulu ditangani berdasarkan UU Anti
Terorisme. Hukuman berdasarkan UU tersebut hanyalah penjara, mulai dari 2 hingga
15 tahun. Bagi kita yang tak pernah bersinggungan secara langsung dengan gerakan
radikal, hukuman penjara mungkin akan membuat pelaku jera. Tetapi, perlu disadari
pula bahwa dalam struktur penalaran para jihadis, “DIPENJARA” merupakan salah satu
tahapan pencapaian mereka sebagai jihadis, yang pada gilirannya akan mendongkrak
reputasi yang dipenjara di kalangan sesama jihadis. Bukannya jera, tetapi mereka malah
bangga karena perjuangannya mendapatkan level yang lebih berat dibandingkan jihadis
lainnya yang belum pernah dipenjara. Penjara, sekali lagi, bukan hukuman yang mereka
takutkan.

Perlu dicoba hukuman yang bisa menyentuh nurani kemanusiaan mereka, misalnya
dengan program rehabilitasi. Kejahatan terorisme adalah kejahatan luar biasa
atau extra ordinary crime seperti narkotika. Jika seorang pelaku kejahatan Narkotika
bisa direhabilitasi, kenapa tidak untuk pelaku kejahatan terorisme?

Menurut saya memungkinkan apabila narapidana terorisme direhabilitasi seperti


melakukan kerja sosial di tempat yang dapat memantik rasa kemanusiaan dan
kesadaran akan keragaman bangsanya, maupun dengan program pembauran dalam
masyarakat multikultural. Misalnya mempekerjakan mereka di rumah duka, Rumah
Sakit Jiwa, Panti Jompo, rumah ibadah agama lain, maupun kerja sosial pada
masyarakat multikultural. Rehabilitasi dengan pembaruan dalam masyarakat yang
multikultural yang dapat menumbuhkan rasa kemanusiaan mereka. Berdasarkan
pengalaman saya, pembauran minimal dapat mengubah ekspresi ideologis mereka
menjadi lebih manusiawi. Jika kita tak bisa mengubah ideologi mereka, paling tidak
dengan berubahnya ekspresi ideologis menjadi lebih damai dan menyadari keragaman,
maka lambat laun mereka tidak lagi menjadi ancaman bagi masyarakat.
13
Penutup Kata

Sikap ekstrem dalam beragama ternyata bukan hanya ada pada agama tertentu saja.
Hampir semua agama punya sisi gelap yang berisikan riwayat kelam para pemeluknya
yang mengekspresikan keyakinan agamanya secara berlebihan. Sikap ini biasanya
muncul dari hasil pembacaan realitas, yang menurut mereka tidak sesuai dengan ajaran
agama yang mereka pahami. Realitas yang tidak sesuai itu harus “ditaklukkan” dengan
pelbagai cara, termasuk dengan cara-cara kekerasan sekalipun.

Cukup banyak studi yang telah dilakukan terkait maraknya sikap ekstrem dalam
beragama ini. Kebanyakan fokus kajiannya diarahkan untuk menjawab pertanyaan:
Mengapa orang bisa terpapar paham radikal? Setelah pertanyaan ini terjawab,
pertanyaan selanjutnya adalah kelompok mana dan dengan latar belakang apa saja
yang paling banyak terpapar? Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara
menanggulanginya? Serangkaian cara dan solusi pun diajukan. Dari mulai memberi
pemahaman yang benar tentang Islam, pengawasan orangtua yang lebih ketat
terhadap anak-anak mereka, hingga melakukan pemblokiran terhadap situs-situs yang
dianggap menyebarkan paham radikal.

Apakah masalahnya selesai? Ternyata tidak, karena upaya-upaya tersebut hanya


menanggulangi sebagian kecil saja persoalan ini. Bagi mereka yang baru mulai terpapar,
upaya-upaya semacam itu mungkin efektif. Tetapi bagi mereka yang sudah terpapar
secara mendalam, bahkan ikut aktif terlibat dalam serangkaian aksi teror, cara-cara
semacam itu tak berarti banyak. Karena struktur penalaran mereka sudah terkunci
untuk menerima pasokan informasi dari luar kelompok mereka dan hanya mau
menerima pasokan informasi yang bersumber dari kelompoknya sendiri.

Hingga di sini seharusnya kita menyadari bahwa ekstremisme dan radikalisme dalam
beragama bukanlah sikap dan tindakan yang terjadi begitu saja. Ada proses-proses yang
membentuknya sehingga seseorang yang pada mulanya hanya tertarik secara kognitif
bisa bermetamorfosis menjadi seorang jihadis yang siap mengorbankan apa saja dan
dengan cara apa saja, demi mencapai tujuan ideologi mereka. Atas dasar itu,
penanggulangannya pun harus sistemik dan terprogram, yang melibatkan banyak
pihak, tidak hanya pemerintah dan tokoh agama, melainkan juga keluarga dan

14
lingkungan. Programnya pun tidak hanya meng-counter dan membatasi penyebaran
paham radikal, melainkan juga “mengobati” mereka yang sudah terpapar secara
mendalam dan terpidana teroris dengan program rehabilitasi. Tujuannya adalah
menghidupkan kembali sisi-sisi kemanusiaan sang pelaku teror yang selama ini
(mungkin) telah dimanipulasi oleh paham ideologi mereka. Jika tujuan hukuman
(punishment) adalah menyadarkan orang yang melanggar agar tidak mengulangi
kesalahannya dan kembali ke “jalan yang benar”, maka bagi pelaku teror, rehabilitasi
(menurut saya) lebih tepat daripada penjara! Wallâhu a’lam.

* Penulis Novel Jihad Terlarang, tentang proses perubahan anggota gerakan radikal menjadi moderat.
KaylaPustaka, Agustus 2007, Literati, Februari 2011. Penulis aktif di jejaring inisiatif dalam isu literasi
digital, kebebasan berekspresi, dan toleransi. (ICT Watch, SAFEnet, dan KopiToleransi). Profil penulis dapat
dilihat pada linked.in/mataharitimoer, blog mataharitimoer.id, dan Instagram @mataharitimoer. |

15

Anda mungkin juga menyukai