Anda di halaman 1dari 5

Meskipun Sering Dihina, Buya Hamka Mengajarkan Agama Kepada Anak

Pramoedya
Penulis Zahra Adonara - Maret 8, 2016

Buya Hamka Dan Pramoedya, dua sastrawan besar Indonesia

SangPencerah.com- Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau bisa dikenal dengan Buya Hamka adalah
ulama besar yang meninggalkan jejak kebaikan bagi umat dan bangsa ini. Semasa hidup, ulama kelahiran
Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908, ini dikenal sebagai sosok ulama yang santun dalam
bermuamalah, namun tegas dalam akidah. Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah, tidak
bisa dijual lagi kepada pihak manapun,demikian tegasnya ketika dilantik sebagai Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI).

Hamka salah seorang ulama yang mendapat gelar Doktor Honouris Causa dari Universitas Al-Azhar,
Mesir, karena kiprah dakwahnya dalam membina umat. Ia dikenal dengan fatwanya ketika menjabat
sebagai Ketua MUI, yang mengeluarkan fatwa haram bagi umat untuk Islam mengikuti Perayaan Natal
Bersama. Ia juga yang menolak undangan untuk bertemu Paus, pemimpin Katholik dunia, ketika datang
berkunjung ke Istana Negara pada masa Presiden Soeharto. Dengan tegas, Buya Hamka mengatakan
perihal penolakannya bertemu Paus tersebut, Bagaimana saya bisa bersilaturrahmi dengan beliau,
sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh
perintahnya?

Demikian ketegasan Buya Hamka dalam soal akidah. Namun dalam bermuamalah, ia santun dan lembut,
sikapnya mencerminkan pribadinya. Ia sosok pemaaf, tak pernah menaruh dendam.
Beberapa waktu lau, anak kelima dari Buya Hamka, Irfan Hamka, merilis ulang sebuah buku yang
menggambarkan tentang sosok dan pribadi ulama tersebut. Buku berjudul Ayah itu menceritakan
pengalaman hidup Irfan Hamka bersama sang ayah, dan suka duka perjalanan hidup ayah tercintanya,
baik sebagai tokoh agama, politisi, sastrawan, dan kepala rumah tangga. Sebelumnya, putra kedua Buya
Hamka, Rusjdi Hamka, juga pernah menulis buku yang mengisahkan tentang sosok sang ayah, yang
berjudul Pribadi dan Martabat Buya Hamka.

Ada hal menarik yang diceritakan dalam buku Ayah tersebut. Terutama tentang bagaimana sosok
pribadi Buya Hamka ketika menghadapi orang-orang yang pernah memfitnah, membenci, dan
memusuhinya. Sebagai ulama yang teguh pendirian, tentu ada pihak yang tak suka dengan sikapnya.
Irfan Hamka menceritakan bagaimana sikap Buya Hamka terhadap tiga orang tokoh yang dulu pernah
berseberangan secara ideologi, memusuhi, membenci, bahkan memfitnahnya. Ketiga tokoh tersebut
adalah Soekarno (Presiden Pertama RI), Mohammad Yamin (tokoh perumus lambang dan dasar negara),
dan Pramoedya Ananta Toer (Budayawan Lekra/Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi seni dan
budaya yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia).

Betapapun ketiga tokoh itu membenci dan memusuhi Buya Hamka, namun akhir dari kesudahan
hidupnya mereka justru begitu menghormati dan menghargai pribadi dan martabat Buya Hamka.

Soekarno ketika menjabat sebagai Presiden RI dan memaksakan ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama,
Komunis), menahan Buya Hamka selama dua tahun empat bulan dengan tuduhan yang tidak main-main:
terlibat dalam rencana pembunuhan Presiden Soekarno. Pada 28 Agustus 1964, Buya Hamka ditangkap
dan dijerat dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Anti Subversif Pempres No.11. Hamka ditahan
tanpa proses persidangan dan tanpa diberikan hak sedikitpun untuk melakukan pembelaaan. Tak hanya
itu, buku-buku karyanya pun bahkan dilarang untuk diedarkan. Hamka dijebloskan ke penjara,
diperlakukan bak penjahat yang mengancam negara. Begitu zalimnya sikap Soekarno terhadap ulama
tersebut.

Namun apa yang terjadi, setelah bebas dari penjara, dan Buya Hamka sudah mulai beraktivitas kembali,
sementara kekuasaan Soekarno sudah terjungkal, peristiwa mengharukan terjadi. Soekarno yang mulai
hidup terasing dan sakit-sakitan, di akhir hayatnya kemudian menitipkan pesan kepada orang yang dulu
pernah dizaliminya. Pesan tersebut disampaikan kepada Buya Hamka lewat ajudan Presiden Soeharto,
Mayjen Soeryo, pada 16 Juni 1970. Isi pesan tersebut berbunyi, Bila aku mati kelak, minta kesediaan
Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku. Bahkan ketika hendak meninggal Bung Karno pun ingin
ditutupi jenazahnya dengan bendera Muhammadiyah, ormas yang dibesarkan Buya Hamka.

Hamka terkejut, pesan tersebut ternyata datang seiring dengan kabar kematian Soekarno. Tanpa pikir
panjang, ia kemudian melayat ke Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan. Sesuai wasiat
Soekarno, Buya Hamka pun memimpin shalat jenazah tokoh yang pernah menjebloskannya ke penjara
itu. Dengan ikhlas ia menunaikan wasiat itu, mereka yang hadir pun terharu. Lalu, apakah Buya Hamka
tidak menaruh dendam pada Soekarno. Dengan ketulusan ia mengatakan, Saya tidak pernah dendam
kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan
saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya,
sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Quran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak
mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu

Peristiwa mengharukan tentang kebesaran jiwa Buya Hamka dalam memaafkan orang-orang yang pernah
membencinya adalah terkait dengan kematian Mohammad Yamin, salah seorang founding father negeri
ini, tokoh kebangsaan yang juga termasuk perumus dasar dan lambang negara. Meski berasal dari
Sumatera Barat, namun Yamin adalah produk pendidikan sekular. Ia aktif di Jong Sumatranen Bond
(Ikatan Pemuda Sumatra) yang bercorak kesukuaan dan sekular. Ia juga menjadi anggota Gerakan
Theosofi, sebuah organisasi kebatinan yang juga mengedepankan sekularisme dan paham kebangsaan.

Mohammad Yamin begitu membenci Buya Hamka karena perbedaan ideologi. Ia aktif di Partai
Nasionalis Indonesia (PNI), sedangkan Buya Hamka aktif di Partai Masyumi. PNI menginginkan
Pancasila sebagai dasar negara, sementara Partai Masyumi berpegang teguh pada sikap ingin menjadikan
Islam sebagai dasar negara. Kebencian Yamin tersulut, ketika dalam Sidang Majelis Konstituante, dengan
lantang Buya Hamka berpidato dan mengatakan, Bila negara kita ini mengambil dasar negara
berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka!

Pidato Buya Hamka yang tegas tersebut kemudian menyulut kebencian Mohammad Yamin. Ia
menyuarakan kebenciannya kepada Hamka dalam berbagai kesempatan, baik ketika dalam ruang Sidang
Konstituante, ataupun dalam berbagai acara dan seminar. Rupanya bukan saja wajahnya yang
memperlihatkan kebencian kepada saya, hati nuraninya pun ikut membeci saya, begitu kata Buya
Hamka.
Tahun 1962, Mohammad Yamin jatuh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Buya
Hamka memantau perkembangannya lewat radio dan media massa cetak. Hingga tiba pada suatu hari,
Chaerul Saleh, menteri di kabinet Soeharto menelponnya dan ingin menyampaikan kabar mengenai
kesehatan Mohammad Yamin. Chaerul Saleh kemudian menagatakan kepada Hamka, Buya, saya
membawa pesan dari Pak Yamin. Beliau sakit sangat parah. Sudah berhari-hari dirawat. Saya sengaja
menemui Buya untuk menyampaikan pesan dari Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir beliau,
ujarnya.

Hamka yang tertegun kemudian bertanya, Apa pesannya? Sang menteri itu kemudian mengatakan,Pak
Yamin berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah sakit. Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya dapat
mendampinginya. Saat ini, pak Yamin dalam keadaan sekarat,terangnya. Selain itu, kata sang menteri,
Beliau mengharapkan sekali, Buya bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya. Kepada Buya
Hamka, Menteri Chaerul Saleh itu juga mengatakan, Yamin khawatir, masyarakat Talawi, Sumatera
Barat, tempatnya berasal, tidak berkenan menerima jenazahnya.

Mendengar penuturan Chaerul Saleh, saat itu juga Buya Hamka kemudian minta diantar ke RSPAD,
tempat Yamin terbaring sakit. Melihat kedatangan Hamka, Yamin yang tergolek lemah kemudian
melamabaikan tangan. Hamka mendekatinya, kemudian menjabat hangat tangannya. Yamin memegang
erat tokoh yang dulu pernah dimusuhinya itu. Sementara Hamka terus membisikan ke telinga Yamin
surat Al-Fatihah dan kalimat tauhid, Laa ilaaha illallah. Dengan suara lirih, Yamin mengikuti. Namun
tak berapa lama, tangannya terasa dingin, kemudian terlepas dari genggaman Buya Hamka.

Mohammad Yamin menghembuskan nafas terakhirnya disamping sosok yang dulu menjadi seterunya. Di
akhir hayat, tangan keduanya berpegangan erat, seolah ingin menghapuskan segala sengketa yang pernah
ada. Orang yang hadir ketika itu mungkin terlibat dalam keharuan yang sangat. Memenuhi wasiat Yamin,
Hamka pun kemudian turut mengantar jenazah salah seorang tokoh nasional itu sampai ke pembaringan
terakhirnya.

Cerita terakhir adalah tentang Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer. Keduanya berseberangan
secara ideologi. Pram, sapaan akrab sastrawan kelahiran Blora itu, menyuarakan aspirasi kaum kiri dan
aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan PKI. Lewat rubrik Lentera di Surat
Kabar Bintang Timoer, Pram dan kawan-kawannya tak henti-hentinya menyerang Hamka. Karya-karya
novel Hamka dituding sebagai plagiat, pribadinya diserang sedemikian rupa. Fitnah dan penghinaan itu
tak lain adalah karena Buya Hamka adalah seorang sastrawan yang anti Komunis, tokoh Muhammadiyah
dan Masyumi.

Namun takdir perseteruan itu menemukan jalan ceritanya yang sungguh mengharukan. Suatu ketika,
Astuti, putri Pramoedya mengutarakan keinginannya untuk menikah. Ia sudah menentukan calon
pendamping bernama Daniel Setiawan. Pram tentu bersenang hati atas keinginan anaknya tersebut.
Namun ada satu ganjalan di hatinya, sang calon menantu yang berasal dari peranakan etnis Tionghoa,
ternyata berlainan keyakinan dengan putrinya. Saya tidak rela anak saya kawin dengan orang yang
secara kultur dan agama berbeda, demikian ujar Pram, sebagaimana disampaikannya kepada Dr.
Hoedaifah Koeddah, dokter yang mengobatinya dan dekat dengan keluarganya.

Singkat cerita, Pram kemudian meminta putri dan calon menantunya itu untuk datang menemui Buya
Hamka, sosok ulama yang menjadi seterunya. Ia meminta calon menantunya itu untuk belajar Islam
kepada Hamka. Saya lebih mantap mengirimkan calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama
pada Hamka, meski kami berbeda paham politik, demikian Pram menjelaskan.

Bersama Astuti, sang calon menantu Pram itu kemudian mendatangi kediaman Buya Hamka. Ia
menceritakan maksud kedatangan, agar Buya bersedia mengajarkan kekasihnya itu ajaran-ajaran Islam.
Setelah itu, ia memperkenalkan diri sebagai anak dari Pramoedya Ananta Toer. Buya Hamka tertegun
sejenak, raut wajahnya seperti ingin meneteskan air mata. Ia kemudian dengan ikhlas membimbing sejoli
itu untuk belajar Islam. Tak lupa pula, ia menitipkan salam untuk ayah sang putri itu. Suasana begitu
haru.

Astuti, putri Pramoedya itu tak menyangka, sosok yang dulu begitu dibenci oleh ayahnya, ternyata adalah
lelaki yang bersahaja dan berlapang dada. Ia sungguh terharu, dan berterimakasih bisa diterima untuk
menimba ilmu agama. Mereka kemudian larut dalam kehangatan dan melupakan segala dendam.

Begitulah sosok Buya Hamka. Ulama yang tegas dan bersahaja. Lelaki yang tak pernah memelihara
dendam dalam hatinya, meski musuh yang begitu membencinya sudah tak berdaya. Ia berjiwa besar,
berlapang dada, dan menganggap segala kebencian bisa sirna dengan saling memaafkan dan menebarkan
cinta. Keteladanannya kini, tetap bersinar seperti mutiara.

Anda mungkin juga menyukai