Anda di halaman 1dari 12

RELASI TIGA PILAR PENDUKUNG DEMOKRASI ( CIVIL SOCIETY, MARKET, STATE )

Oleh:
Chikita Hesa Nova Pratama
NIM : 125120401111018
KELAS : B.HI.1

Abstraksi
Berkembangnya masyarakat sipil (civil society) memunculkan persoalan penting untuk dijawab sekaligus
juga menjadi alasan mendasar bagi dilakukannya studi ini, yaitu persoalan menyangkut kontribusi peran
masyarakat sipil terhadap demokratisasi yang bergulir. Tujuan dari studi ini adalah untuk
mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi oleh organisasi masyarakat sipil dalam
mengimplementasikan perannya terkait dengan aspek enabling environment (faktor eksternal) dan
kapasitas organisasi serta pengembangan karakter (faktor internal), memperoleh gambaran mengenai
profil perkembangan masyarakat sipil dalam konteks kontribusi peran sebagai aktor penting pemajuan
demokrasi, dan menyusun rekomendasi kebijakan terkait dengan kontribusi dan peningkatan peran
masyarakat sipil dalam proses konsolidasi demokrasi. Studi tentang masyarakat sipil (civil society)
kaitannya dengan demokrasi pada dasarnya membicarakan serangkaian partisipasi politik dalam
hubungan sosial yang dilakukan secara sukarela. Dengan demikian, demokrasi mengandaikan mekanisme
keterlibatan aktif masyarakat. Dalam pemerintahan demokratis, partisipasi masyarakat dijamin
eksistensinya. Partisipasi politik, secara umum diartikan sebagai aksi sukarela (voluntarily) untuk
mengubah keadaan atau kebijakan publik (Barnes, Kaas, 1978). Partisipasi politik terbagi menjadi dua,
yaitu: partisipasi politik itu sendiri dan partisipasi sosial. Tumbuhnya civil society memiliki kaitan yang
amat signifikan terhadap tumbuhnya rejim-rejim yang mengusung demokrasi sebagai paham dan
ideologinya. Dalam paham demokrasi pemerintah menyediakan kesempatan yang sangat luas kepada
semua individu dalam lapangan ekonomi dan seiring dengan meningkatnya kesejahteraan warga negara
membuat masyarakat memiliki posisi tawar terhadap kebijakan pemerintah.

Kata kunci: Civil society, demokrasi.

PENDAHULUAN

Demokrasi dan masyarakat sipil (civil society) bagaikan dua sisi mata uang, keduanya bersifat ko-
eksistensi. Dengan civil society yang kuat, demokrasi akan berjalan dengan baik (Putnam, 1993). Dan
dalam suasana negara yang demokratis, civil society akan berkembang dan tumbuh dengan kuat pula.

1
Nurcholish Madjid (1999) membuat metafor yang cukup menarik, civil society adalah rumah
persemaian demokrasi. Jadi demokrasi tidak hanya tercermin dalam pemilu yang bebas dan demokratis,
tetapi juga diperlukan persemaian dalam rumah, yaitu civil society.
Larry Diamond (1994) mengatakan bahwa civil society memberikan kontribusi yang cukup besar
bagi tumbuhnya demokrasi. Pertama, civil society menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi,
kebudayaan dan moral untuk menjaga dan mengawasi keseimbangan negara. Asosiasi independen dan
media yang bebas memberikan dasar bagi pembatasan kekuasaan negara melalui kontrol publik. Kedua,
beragam dan pluralnya dalam masyarakat sipil dengan berbagai kepentingannya, bila diorganisasi dan
dikelola dengan baik, maka hal ini dapat menjadi dasar yang penting bagi persaingan yang demokratis.
Ketiga, akan memperkaya peranan partai-partai politik dalam hal partisipasi politik, meningkatkan
efektivitas politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan (citizenship). Keempat, ikut menjaga
stabilitas negara. Dalam arti bahwa civil society, karena kemandiriannya terhadap negara, mampu
menjaga independensinya yang berarti secara diam-diam mengurangi peran negara. Kelima, sebagai
wadah bagi seleksi dan lahirnya para pemimpin politik yang baru. Keenam, menghalangi dominasi rezim
otoriter.
Namun dalam pelaksanaannya dihadapkan pada kendala antara lain adalah masih minimnya
tingkat pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam melakukan agregasi dan artikulasi aspirasi
politik mereka untuk disalurkan melalui prosedur dan mekanisme politik yang sah, konstitusional dan
beradab. Kondisi seperti ini dapat dipahami sebagai proses awal dari dekratisasi. Sebuah demokrasi tidak
akan terwujud tanpa adanya sebuah kesadaran dari masyarakat yang merupakan pelaku demokrasi.
Ketidaksadaran masyarakat akan membuat mereka terbimbing masuk dalam sikap politik yang membuat
mereka menjadi massa yang tidak lagi mengerti tentang pilihan-pilihan politik. Depotisme kemudian
terjadi akibat dikorupsinya public spirit yang menyebabkan civil society menjadi kehilangan arah (Keane,
1988).
Civil society merupakan salah satu indikator cerminan tingkat kemampuan dan kemajuan masyarakat
yang tinggi untuk bersikap kritis dan partisipatif dalam menghadapi berbagai persoalan sosial. Dan
merujuk pada ciri demokrasi adalah adanya partisipasi efektif rakyat dalam pembuatan keputusan publik
yang menyangkut nasib dan kepentingan rakyat dan adanya kontrol sosial untuk mengawasi pemerintah
sehingga masyarakat yang beradab adalah salah satu syarat penting dalam mewujudkan demokrasi di
Indonesia.
Dan kembali pada sejarah Indonesia, masa Orde Baru selama 32 tahun bisa dikatakan demokrasi
sepertinya telah mati. Mati dalam artian tanda kutip karena memang pelaksanaannya hanya sebatas
pemilihan umum, itu pun tidak lepas dari kediktaktoran pemerintahan yang berkuasa pada masa itu
sehingga rakyat selama 32 tahun terampas haknya untuk menyuarakan pendapatnya. Dan ketika masa

2
reformasi, good governance digadang-gadang sebagai sebuah pandangan atau sistem yang dapat
mewujudkan sebuah demokrasi yang murni di Indonesia.
Istilah good governance yang dinyatakan oleh Garry Stocker (1998), yang berpendapat bahwa
pemerintahan itu harus fleksibel. Good governance bersumber dari tujuan negara dan juga fungsi negara
serta fungsi pemerintahan yang sistematis dan terpadu sehingga mewujudkan good governance yang
selanjutnya terciptalah clean goverment yang terkait dengan akuntabilitas publik serta kontrol publik dan
akhirnya terwujudlah demokrasi yang murni. Setidaknya yang menjadi dasar berkembanganya demokrasi
di Indonesia ini di pengaruhi oleh beberapa hubungan diantara ketiga pilar penyokong demokrasi, civil
society, market dan state.
II
PENGERTIAN CIVIL SOCIETY

Civil Society mungkin masih terdengar asing di kalangan masyarakat Indonesia untuk lebih
mudah memahaminya kita dapat menransfernya dengan bahasa yang lebih ringan. Civil Society juga dapat
dipahami dengan arti masyarakat madani. Masyarakat madani adalah masyarakat yang tanggap dan juga
beradab dan tentunya masyarakat yang memiliki budaya dan dapat menjaga budaya aslinya meskipun
terjadi pertukaran budaya yang besarbesaran saat ini. Masyarakat madani adalah suatu konsep yang
diambil oleh Indonesia dari Kota Madinah, dimana Kota Madinah ini telah mempunyanyi peradaban yang
sudah sangat lama dan baik dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang hingga saat ini masih
dinilai sebagai peradaban tertinggi. Dahulunya Madinah tersebut bernama asli Yasrib yang berada di
wilayah Arab. Madani tersebut berate Kota (city state) sedangkan dalam bahasa Yunani disebut dengan
Polis yang artinya juga sama yaitu kota. Civil Society merupakan satu cara untuk memahami relasi antara
individu dan negara yang melestarikan kebebasan dan tanggungjawab.
Pengertian Civil Society menurut Jean L. Kohen dan Andrew Arato (1992) adalah Modern
Civil Society is based on egalitarian principle and universal inclusion experience in articulating the
political will and in collective decision making is crucial to the reproduction of democracy1. Civil society
yang dimakasudkan adalah suatu masyarakat sipil yang didasari oleh kesetaraan dan selain itu juga
masyarakat yang mampu mempengaruhi kebijakan umum serta masyarakat yang didasari oleh demokrasi
sehingga dapat membentuk masyarakat yang mandiri.
Civil society, dua kata tersebut kurang popular di ruang lingkup masyarakat Indonesia jika
diubah ke bahasa Indonesia yang artinya adalah masyarakat sipil. Kebanyakan masyarakat pada

1
Arbi Sanit, dalam bukunya yang berjudul Swadaya Politik Masyarakat menjelaskan pengertian Lembaga Swadaya Masyarakat
yang di dasari oleh konsep pluralism yang terbentuk dari kelompok masyarakat.

3
umumnya mengaitkan antara kata sipil dengan militer. Berbeda dengan masyarakat madani , meski tidak
semua memahami apa arti masyarakat madani tersebut namun sudah tidak asing di telinga masyarakat
Indonesia. Namun sebenarnya memang tidak ada perbedaan antara masyarakat madani, civil society dan
masyarakat sipil tersebut.
Suatu kondisi kehidupan masyarakat yang tegak diatas prinsip prinsip egaliterisme yang
sederajat dan inklusivisme universal. Secara konkret, masyarakat sipil bisa terwujud bebagai organisasi
yang berada di luar institusi pemerintah yang mempunyai cukup kekuatan untuk melakukan counter
hegemoni yang sudah pasti dapat memengaruhi kebijakan umum.
Etnisitas juga merupakan aspek dimana civil society menghancurkan demokrasi. Salah satu kasus
yaitu situasi hubungan antaretnis di Indonesia pasca Orde Baru seolah-olah membenarkan pendapat Jack
Snyder bahwa demokratisasi yang dilakukan secara tiba-tiba di dalam masyarakat yang pluralistis
berpotensi untuk menyulut konflik dan kekerasan internal sehingga menciptakan instabilitas politik2.
Beberapa saat setelah Reformasi digulirkan, konflik etnis segera merebak. Di Kalimantan Tengah,
sentimen anti-Madura di kalangan penduduk asli Dayak makin berkembang seiring dengan meningkatnya
marjinalisasi di kalangan masyarakat Dayak. Sekalipun kaum imingran Madura hanya tujuh persen dari
total penduduk di Kalimantan Tengah, mereka memiliki andil yang besar di berbagai sektor ekonomi
seperti transportasi (darat dan sungai), pertambangan perkayuan (logging), dan perdagangan (formal
maupun informal). Generasi pertama kaum pendatang Madura datang ke wilayah tersebut pada dekade
1960-an sebagai transmigran, yang disusul dengan gelombang pendatang yang lebih besar pada dekade
1970-an dan 1980-an. Tidak sedikit dari mereka yang sukses dalam usaha perhotelan, restoran, pompa
bensin, angkutan umum, perdagangan sembako, dan lain-lain. Selama beberapa dekade, peningkatan
kesejahteraan kaum pendatang Madura ini berjalan seiring dengan marjinalisasi penduduk asli Dayak.
Akibatnya, kebencian atas etnis Madura di kalangan etnis Dayak semakin memuncak.
Insiden kecil yang melibatkan kedua suku sudah cukup membuat kerusuhan yang lebih besar.
Pada 15 Desember 2000, sebuah perkelahian antara pemuda Madura dan Dayak di sebuah bar karaoke di
Kereng Pangi telah menyulut kerusuhan etnis yang mengerikan. Isu bahwa seorang Dayak terbunuh
dalam perkelahian tersebut telah memobilisasi para pemuda Dayak untuk menyerang toko, kantor bahkan
pemukiman milik orang Madura di Sampit, sehingga memaksa sekitar seribu orang untuk lari ke hutan-
hutan di sekitarnya. Pembalasan yang dilakukan kaum madura beberapa hari kemudian ternyata memicu
kerusuhan yang lebih besar dan berdarah. Selama Februari hingga Maret 2001, pembunuhan terhadap
etnis Madura terus berlangsung dan melebar ke kota-kota lain seperti Palangkaraya, Pangkalan Bun, dan

2
Lihat Jack Snyder (2000). From Voting to Violence: Democatization and Nationalist. New York: W.W. Norton.

4
Kuala Kapuas. Diperkirakan 400 orang Madura tewas terbunuh dan 108.000 lainnya mengungsi ke
berbagai tempat di Jawa Timur.
Fenomena etnis sebagaimana yang digambarkan di atas menunjukkan kepada kita bahwa civil
society tidak kebal terhadap kemungkinan untuk dijadikan alatoleh kalangan tertentu (biasanya yang
memiliki ambisi politik berlebihan tetapi tidak memiliki cukup modal sosial-ekonomis untuk mecapainya)
untuk menjalankan hal-hal yang membuat mereka menjadi uncivil society atau bad society. Jika
situasinya demikian, maka demokrasi tidak lagi dapat mengandalkan pada civil society dalam rangka
untuk mencapai tahap konsolidasi.
Oleh karena itu, civil society dibentuk sebagai upaya menghindari masalah diatas. Tujuan
dibangunnya civil society antara lain3:

1. Kemandirian individu sebagai warga negara

Kemandirian individu sebagai warga negara yang dimaksudkan adalah individu yang bisa mengerti
akan pentingnya peranan mereka dalam membatu perkembangan bangsa. Hal kemandirian ini dapat di
implementasikan kepada masyarakat yang taat dan patuh akan hukum serta dapat menyampaikan
pendapatnya secara baik dan terarah untuk membantu pertimbangan kebijakan publik yang akan di bentuk
ataupun yang perlu di revisi uantuk kepentingan masyarakat luas.

2. Jaminan Hak Asasi Manusia

Sebagaimana yang telah tertulis dalam Undang Undang Dasar Negara Rebublik Indonesia bahwa
setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan Hak Asasi Manusia tersebut, hal ini ditujukan agar
warga negara dapat dengan tenang melakukan segala aktivitasnya dan pastinya tidak mengganggu
kepentingan orang lain.

3. Kebebasan bicara dan menyatakan pendapat

Civil society yang memiliki tujuan untuk menjadi masyarakat yang patuh akan hukum dan juga
memiliki prinsip demokrasi dan juga dapat mempengaruhi kebijakan umum hal tersebut diperlukan
dengan adanya keberanian mengungkapkan pendapat, wadah wadah yang dapat menampung aspirasi atau
pendapat masyarakat contohnya seperti lembaga ataupun lembaga lembaga kemasyarakatan.

4. Keadilan yang merata

3
Dikutip dari http://justcindyz.wordpress.com/2011/11/11/pengertian-civil-society/ tentang Pengertian Civil Society.

5
Keadilan merata bagi seluruh warga negara baik dalam bidang hukum maupun pelayanan masyarkat
lainnya .

5. Pembagian sumber daya ekonomi

Pembagian sumber daya ekonomi yang merata sehingga masyarakat dapat hidup lebih mandiri dan
tidak selalu tergantung kepada pemerintah saja dan menunggu bantuan bantuan yang di berikan oleh
pemerintah.

III
PENGERTIAN PRIVATE SECTOR (market)

Dalam mengelola hubungan yang baik dengan pihak swasta sering kali kita dengar istilah private
sector. Pada dasarnya private sector memiliki tujuan utamanya yaitu untuk menghasilkan keutungan
sebesar-besarnya dengan melakukan pengawasan yang lebih ketat pada kinerja perusahaan dengan
memperhatikan juga arus balance sheet perusahaan apakah sedang mengalami keuntungan atau kerugian
karena disinilah tujuan utama dari sektor privat. Sektor privat berbeda dengan sektor publik yang lebih
mementingkan kepentingan umum, sektor private sangat lebih mementingkan pemegang sahamnya,
bagaimana menghasilkan tingkat keuntungan yang besar sehingga nantinya dari jumlah profit yang makin
meningkat tersebut akan dapat meningkatkan jumlah penerimaan dari saham yang makin besar kepada
para pemegang saham yang ada. Hal ini memaksa para manajemen perusahaan untuk berusahan secara
maksimal dan melakukan segala sesuatu yang dapat mereka lakukan untuk dapat memenuhi target
keuntungan tersebut.

Pada saat ini sektor privat sendiri selain tetap mempertahankan tujuannya yang selalu berorientasi
pada keuntungan tetapi juga sisi politisnya sudah meulai diperhatikan. Dalam hal ini peran pemerintah
melalui regulasi-regulasi yang mereka luncurkan serta pengawasan yang ada membuat sektor privat mau
tidak mau harus memperhitungkan sisi politis yang ada. Sebagai contoh sektor privat dipaksa untuk
mengikuti peraturan bahwa harga atap sebuah produk harus pada nilai tertentu dan sektor privat wajib
mematuhi hal tersebut, contoh lainnya mengenai monopoli, sektor private dipaksa untuk tidak melakukan
adanya sistem kartel dan monopoli yang tentu saja akan merugikan masyarakat banyak.

6
IV
PENGERTIAN STATE

State (negara) adalah suatu organisasi dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang
bersama-sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengakui adanya satu pemerintahan yang mengurus
tata tertib serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia. Menurut Abraham arti
sebuah negara menjadi dua, negara dalam arti objektif dan negara dalam arti subjektif. Negara dalam arti
objektif berarti segala sesuatu yang menyangkut ruang lingkup kedaulatan suatu kelompok komunitas
masyarakat, dimana didalamnya terdapat strukutur kehidupan sosial atas kehendak organ masyarakat pada
suatu wilayah tertentu; dengan tujuan menjalankan segala bentuk aktivitas hidupnya. Sedangkan negara
dalam arti subjektif diartikan dengan adanya sekelompok komunitas manusia yang menghendaki suatu
bentuk teritorial kedaulatan, yang kemudian dibentuk semacam konsensus atau kontrak sosial. Kontrak
sosial itu tak lain ialah mufakat bersama dengan tujuan untuk membentuk wilayah kedaulatan sesuai
kehendak komunitas dan memiliki seorang pimpinan komunitas sosial. Negara bukan sekadar
sekumpulan keluarga belaka atau suatu persatuan organisasi profesi, atau penengah di antara kepentingan-
kepentingan yang saling bertentangan antara perkumpulan suka rela yang diizinkan keberadaannya oleh
negara. Dalam suatu komunitas politik yang diorganisir secara tepat, keberadaan negara adalah untuk
masyarakat dan bukan masyarakat yang ada untuk negara. Pasalnya, keberadaan negara bermula dari
perkembangan manusia (rakyat) yang kompleks dengan segala permasalahannya sehingga dibutuhkan
adanya sebuah organisasi yang dilengkapi kekuasaan, disepakati bersama oleh rakyat tersebut, dan
berfungsi menyelesaikan perselisihan untuk mengatur dan menciptakan ketentraman serta kedamaian
dalam hubungan kemasyarakatan.
Logikanya, jika misalnya, keadaan rakyat dengan segala kompleks permasalahannya telah tentram
dan damai maka rakyat tidak memerlukan adanya organisasi kekuasaan lagi. Dengan kata lain, bisa saja
organisasi kekuasaan tersebut dibubarkan keberadaannya oleh rakyat. Akan tetapi, logika ini mungkin
akan sangat sulit terealisasi karena kompleksitas permasalahan rakyat selalu ada seiring dengan
berkembangnya kepentingan manusia. Namun, hal ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa negara boleh
menerapkan represifitas terhadap rakyat, karena hakekatnya keberadaan negara adalah untuk rakyat bukan
rakyat yang ada untuk negara.
Keberadaan negara menjelma dalam sistem penyelenggaraan negara yang dijalankan oleh tiga
lembaga kekuasaan negara. Yakni lembaga legislatif (sebagai pembuat undang-undang), lembaga
eksekutif (yang menjalankan undang-undang) dan lembaga yudikatif (pengadil terhadap pelanggaran atas
undang-undang). Lembaga-lembaga kekuasaan negara ini menjalankan fungsinya dengan prinsip
demokrasi (penyelenggaraan negara dari, oleh, dan untuk rakyat).

7
V
HUBUNGAN TIGA PILAR SEBAGAI SUKSESOR DEMOKRASI

Demokrasi adalah awal dari penguatan civil society untuk bergembang didalam negara, dan
demokrasi adalah penyangga civil society4. Jadi dapat dipahami bahwa demokratisasi adalah proses
pemberdayaan civil society. Berbicara tentang civil society dan demokrasi maka dapat dipahami bahwa
civil society merupakan penegakan nilai-nilai demokrasi. Oleh sebab itu, pembangunan civil society
haruslah disertai dengan penciptaan banyak ruang gerak untuk masyarakat untuk melakukan perubahan
hidup yang lebih sejahtera dan jauh dari penindasan seperti beberapa syarat untuk dikatakan madani
diatas, serta tidak adanya pengingkaran terhadap masyarakat. Civil society adalah rumah bagi berbagai
macam perserikatan, kelompok, jamaah, partai ormas dan berbagai LSM lainnya. Mengingat kembali
bahwa peran civil society sangatlah berguna untuk mematahkan kekuasaan otoriter dan sewenang-wenang
(kasus jatuhnya Soeharto).
Namun, yang perlu diingat adalah civil society tidak menghilangkan pemerintahan, sifat civil society
adalah penerima manfaat, dari pada sebuah kekuasaan penghancur. Setelah masyarakat patah arang
dengan mengaharapkan masyarakat kelas menegah untuk mewujudkan demokrasi, akhirnya civil society
dieluh-eluhkan dengan tidak melihat sisi negative dari civil society sendiri, padahal civil society memiliki
banyak kekurangan, sikap mementingan diri sendiri, prasangka dan kebencianakan berjalan seiring
dengan keadaan, belum lagi sifat civil society yang tak terkontrol akan menimbulkan chaos, sesuai dengan
ungkapan kebebasan seseorang terbatasi oleh kebebasan orang lain. Jadi civil society haruslah tunduk
oleh nilai-nilai civility.
Dan akhirnya, demokrasi benar-benar menjadi elemen penting dalam civil society. Ernest Gellner ,
no civil, no democrazy. Civil society bergantung pada tumbuh suburnya demokrasi didalam suatu
negara, semakin demokrasi berbunga-bunga, civil society semakin memiliki ruang yang besar dalam
negara. Bergeliat dan menyebar dengan baik, dan sebaliknya bila demokrasi bagai bunga yang layu dalam
suatu negara, maka kualitas civil society sangat diragukan untuk berkembang. Jadi, demokrasi dan civil
society tidak dapat dipisahkan. Tanpa demokrasi akan sulit menciptakan civil society, dan berakhir pada,
penghancur civil society.
Demokratisasi akan menciptakan banyak ruang gerak bagi masyarakat untuk melakukan perubahan
hidup, dari yang tidak manusiawi menuju hidup yang manusiawi, mencari ruang-ruang kebebasan tanpa

4
Kutipan Muhammad AS Hikam, Demokrasi adalah awal dari penguatan civil society untuk
bergembang didalam Negara

8
penindasan. Abraham Lincoln berpendapat bahwa pemerintahan itu berasal dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Dengan semua dikembalikan kepada rakyat, rakyat akan mempunyai ruang gerak yang luas
untuk memperkuat civil society, masyarakat akan merasa aman dengan perisai yang kuat. Negara tidak
akan semena-mena. Perisai inilah yang juga akan menaikan posisi kedaulatan rakyat dihadapan negara
Dalam civil disobedience, Arendt menemukan dimensi inti dari civil society modern adalah asosiasi-
asosiasi suka rela dan gerakan-gerakan social. Hal ini diungkapkannya ketika ia sedang menjelaskan tipe-
tipe tindakan politik yang ekstra-institusional. Ia menegaskan, legitimasi demokrasi yang utama bukannya
pada sistem politik atau pemerintahan akan tetapi dalam civil society.
Dalam hubungan masyarakat dengan negara, civil society memiliki tiga fungsi, yaitu: Pertama,
sebagai komplementer di mana elemen-elemen civil society mempunyai aktivitas memajukan
kesejahteraan untuk melengkapi peran negara sebagai pelayan publik (public services). Kedua, sebagai
subtitutor. Artinya, kalangan civil society melakukan serangkaian aktivitas yang belum atau tidak
dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas. Dan
ketiga, sebagai kekuatan tandingan negara atau counterbalancing the state atau counterveiling forces.
Kalangan civil society melakukan advokasi, pendampingan, ligitasi, bahkan praktik-praktik oposisi untuk
mengimbangi kekuatan hegemonik negara atau paling tidak menjadi wacana alternatif di luar aparatur
birokrasi negara.
Fungsi-fungsi di atas, mengandaikan perbedaan titik-tekan implementasi gagasan-gagasan civil
society, antara ranah sosial budaya ataukah pada lingkup politik. Iwan Gardono (2001) berpendapat,
bahwa civil society yang menekankan pada aspek sosial budaya dapat bersifat horisontal biasanya terkait
erat dengan civility atau keberadaan dan fraternity. Indigenisasi konsep civil society dilakukan dalam
rangka menarik relevansi dengan konteks keumatan. Sedangkan civil society dalam konotasi vertikal lebih
merujuk pada dimensi politis, sehingga lebih dekat pada aspek citizen dan liberty. Perbedaan titik-tekan
tersebut berimplikasi pada pemaknaan yang beragam, atau setidaknya istilah-istilah yang beragam untuk
menyebutkan civil society.
Dengan mengkombinasikan secara horisontal dan vertikal, maka fungsi komplementer, subtitutor,
dan countervailing forces menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Barangkali persoalannya terletak
pada bagaimana kalangan civil society dalam pelbagai sektor dan area of concern dari aktivitas yang
mereka lakukan dapat berbagi peran menuju terciptanya demokratisasi yang berbasis masyarakat.
Jangan dilupakan pula, setelah demokrasi, civil society haruslah beradab, berbudaya dan otonom,
bukan bermental budak dan inlander. Manusia yang otonom adalah yang mandiri, independen dan dapat
dengan bebas bergerak aktif dalam segala hal yang berkaitan dengan masyrakat pada umumnya. Inilah
keuntungan dari demokrasi dan civil society, masyarakat tidak bergantung pada pihak lain, sehingga bisa
berkiprah dalam wacana ataupun praktis. Sikap inisiatif atau voluntaristik juga penting dalam menjalin

9
hubungan social ekonomi dan organisasi. Sikap ini juga menguntungkan untuk tumbuhnya civil society.
Selain mengandalkan demokrasi, civil society juga harus memnfaatkan ruang-ruang dimana mereka
bergambung, ruang dimana tidak ada pengaruh keluarga dan kekuasaan negara. Diruang inilah posisi civil
society berada. Munculnya paradigma baru mengenai tata ekonomi dan politik global berimbas pada
bentuk pelayanan pemerintahan kepada stake holdernya. Pemerintah dituntut untuk selalu memberikan
pelayanan yang terbaik terhadap aktifitas ekonomi, politik dan sosial kepada masyarakatnya. Paradigma
baru yang muncul terhadap tata ekonomi merupakan revisi dari paradigma lama yang memandang bahwa
arena global sebagai jalan raya ekonomi, bebas dari pengaruh sosial dan politik, atau dengan kata lain
perang institusi pasarlah yang harus dominan dalam kegiatan ekonomi, jika dibandingkan dengan institusi
negara. Akibatnya peranan pemerintah menjadi tidak nampak, dan dalam rentang waktu tertentu hal
demikian ini akan berimbas pada kinerja pelayanan pemerintah, khususnya pelayanan kepada masyarakat
akan terabaikan dan pemerintah lebih cenderung mengikuti kehendak pasar. Menghadapi situasi seperti
ini tentu diperlukan kembali penataan terhadap berbagai aspek pemerintahan atau sering disebut dengan
istilah good governance agar tercipta suatu pola hubungan yang harmonis antara pasar, negara dan
masyarakat. Sebab pada kenyataannya di negara-negara yang telah maju, kemampuan dalam mencapai
tujuan pembangunan nasionalnya, ketiga unsur penting di atas tak dapat dipisahkan (interlock) antara
negara; (state), masyarakat madani (civil society) dan sektor swasta (private sector). Substansi dari ketiga
elemen tersebut adalah sebagai berikut5:

1. Elemen Penyelenggaraan Negara (State)


Dari sudut penyelenggaraan negara, governance diartikan sebagai pelaksanaan kewenangan
politik, ekonomi, dan administrasi untuk mengelola urusan bangsa, mengelola mekanisme, proses dan
hubungan yang kompleks antarwarga negara yang menjalani kepentingannya. Governance pada
penyelenggaraan negara sering disebut dengan Good Government Governance (GGG)
2. Elemen Pelaku Bisnis / Pasar (Private Sector)
Dari sudut pandang pelaku bisnis governance biasa juga disebut sebagai Good Corporate
Governance (GCG) yang diartikan sebagai struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh organisasi
perusahaan. GCG dimaksudkan untuk memberi nilai tambah perusahaan yang berkesinambungan dalam
jangka panjang bagi pemegang saham, dengan tetap memerhatikan stakeholder lainnya berlandaskan pada
peraturan perundangan dan norma yang berlaku.

5
Oyugi, W.O, Good Governance and Local Government, substansi ketiga hal yang mendukung
keberhasilan good governance terjemahan

10
3. Elemen Masyarakat (Society)
Dari sudut pandang masyarakat, governance biasa juga disebut dengan Society Governance, akan
tetapi lebih sering disebut dengan istilah society saja. Dalam hal ini masyarakat yang terdiri atas individu
maupun kelompok akan saling berinteraksi secara sosial, ekonomi dan politik dengan aturan formal
maupun informal. Society ini meliputi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi profesi, dan
lainnya.
Kesejajaran tiga elemen di atas mengandung arti akan pentingnya redefinisi peran dan hubungan
ketiga institusi (negara, pasar, dan masyarakat) dalam mengelola sumber daya ekonomi, politik, dan
sosial budaya yang ada dalam masyarakat. Keterkaitan tiga elemen diharapkan dapat menciptakan
hubungan yang harmonis sehingga terwujud suatu negara yang bersih dan responsif (clean and responsive
state), semaraknya masyarakat madani (vibrant civil society), dan kehidupan bisnis yang
bertanggungjawab (good corporate governance). Untuk terciptanya tiga elemen ini diperlukan kehadiran
institusi negara yang kuat yang dapat mengembangkan dan menegakkan rule of law sebagai instrumen
untuk mengatur elemen lainnya dari praktik penyimpangan.

VI
KESIMPULAN
Ketika kita menyadari bahwa civil society mempunyai dua wajah, yaitu sebagai pembangun
demokrasi sekaligus penghancur demokrasi, hendaknya kita berhati-hati dalam menyikapi kebangkitan
civil society. Kecenderungan untuk memerlakukan civil society sebagai sesuatu yang sakral akan
membuat kita mengagung-agungkan civil society sebagai hal yang membangkitkan demokrasi. Padahal
tidak semua kelompok yang masuk ke dalam kategori civil society dapat diandalkan dalam upaya kita
untuk mencapai suatu tahap konsolidasi demokrasi. Civil society menghidupkan demokrasi manakala dia
memobilisasi diri untuk menumbangkan rezim-rezim otoriter, menciptakan semacam ruang publik (public
space) bagi masyarakat, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan, dan
memberikan jaminan bahwa demokrasi adalah the only game in town. Sementara itu, civil society
berpotensi merusak demokrasi ketika ia menolak pluralisme dalam masyarakat, mengedepankan
kekerasan dalam memerjuangkan kepentingan, menggembar-gemborkan hegemoni kelompok,
mengingkari hak kaum minoritas, serta tidak menolerir perbedaan pandangan.
Tulisan ini mencoba untuk mengingatkan agar para pengamat tidak terjebak dalam ruang
lingkup ideologi tertentu dalam memandang civil society. Civil society hendaknya dipandang sebagai
sesuatu yang netral, sehingga dia dapat berkarakter baik dan dapat mengfasilitasi demokrasi untuk
tumbuh dan berkembang; dan bisa juga berkarakter buruk jika dia memaksakan hegemoni identitas, nilai
atau norma tertentu melalui pemaksaan dan kekerasan. Desakralisasi konsep civil society dapat membantu

11
kita untuk berfikir lebih jernih melihat keterkaitan atau hubungan antara civil society dengan demokrasi.
Jika sebelumnya kita memandang civil society sebagai sesuatu yang identik dengan demokrasi, namun
kita juga bisa melihat bahwa civil society juga berpotensi untuk melumpuhkan demokrasi.

Daftar pustaka

1. Amos, H.F. Abraham. 2005. Sistem Ketatanegaraan Indonesia dari Orla, Orba Sampai Reformasi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
2. Asshiddiqie, Jimly. Prof. Dr. S.H. 2004. Format Kelembagaan dan Pergeseran Kekuasaan dalam
UUD 1945. Yogyakarta: FH UII Press
3. Denhardt, RB & Denhardt, JV, The New Public Service, Public Administration Review (PAR), Vol.
60 No. 6, 2000
4. Manan, Bagir. Prof. Dr. MCL. SH. 2004. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press
MPR-RI. 2002. Persandingan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekjen
MPR-RI
5. Muhammad AS Hikam Wacana Intelektual Tentang Civil Society di Indonesia dimuat di
PARAMADINA, volume 1, Nomor 2 Th 1999, hal 39-40 , Dalam Yusron Elite Local dan Civil
Society, (Jakarta:LP3ES,2009), hal 16.
6. Oyugi, W.O, Good Governance and Local Government, Tokyo, Tokyo University Press, 2000.
7. Snyder, Jack. 2000. From Voting to Violence: Democratization and Nationalist. New York: W.W.
Norton.

12

Anda mungkin juga menyukai