Anda di halaman 1dari 5

Ayam Jantan dari Timur

Orientasi

Ayam jantan dari timur merupakan julukan yang diberikan oleh Belanda kepada Sultan
Hasanuddin.
Sultan Hasanuddin, merupakan putera dari Raja Gowa ke-15, I Manuntungi Daeng Mattola
Karaeng Lakiyung Sultan Muhammad Said. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa
mulai tahun 1653 sampai 1669. Kerajaan Gowa adalah merupakan kerajaan besar di Wilayah
Timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Pasalnya, ketika pemuda itu berunur 16 tahun ia telah memiliki kekuatan pedang yang luar
biasa. Bahkan, para pemuda seusia dia tidak mudah melakukan teknik-teknik yang di lakukan
Sultan Hasanuddin.
Sultan Hasanuddin. Jelas saja dari namanya dia adalah seorang sultan. Dia anak dari Raja
bernama Sultan Malikussaid.
"Waktunya sarapan, pangeran," ujar seorang pelayan, yang menemuinya di tempat pelatihan
pedang. Usia yang genap 16 tahun, dengan tubuh tinggi dan kekar. Itulah Sultan Hasanuddin.

---
Pengungkapan Peristiwa

Siang itu, kerajaan yang di duduki oleh Sultan Hasanuddin sedang melakukan kegiatan
makan siang, karena memang sudah waktunya.
"Terima kasih, atas makan siangnya," ujar Sultan Hasanuddin.
Dia dengan tulus melontarkan kalimatnya kepada pelayan tersebut.
Kakinya, kini melangkah keluar gerbang istana, setelah pamit dengan Raja Sultan
Malikussaid. Sultan kecil tersebut, membawa pedang yang di taruh pada sarung pedang di
pinggangnya. Tangannya sedikit kasar, akibat latihan tanpa henti yang di lakukannya hingga
saat ini.
"Izinkan aku menemani Pangeran," tawar seorang prajurit di ambang gerbang. Sontak
langkah Pangeran terhenti, kemudian tersenyum ke arah Prajurit.
"Sediakan saja kuda hitam, kebanggaanku," jawabnya, dengan halus dia menolak tawaran.
Selang beberapa menit, Sultan Hasanuddin pun meninggalkan kerajaan. Lima orang Prajurit
itu pun menggelengkan kepala tak percaya.
"Anak itu lain dari yang lain," ujar seorang Prajurit.
"Dia baik hati dan dermawan. Aku seperti sedang menjaga surga," sahut prajurit lain.
"Selain baik, teknik pedangnya juga patut di banggakan. Aku yakin, dia akan menjadi Raja
selanjutnya. Keagungannya mendarah daging."
Mereka terlalu asik berbicara, hingga tak sadar bahwa perbincangan mereka terdengar oleh
telinga Raja.
---
Menuju Konflik

"Lepaskan anak kami!" jerit seorang wanita.


Suara itu terdengar oleh Sultan Hasanuddin. Dia sedang berkeliling desa, ingin melihat
situasi kehidupan rakyat. Sementara, di punggung kuda yang di gunakannya, tersimpan
beberapa bungkus makanan olahan. Kemaslahatannya tampak nyata di mata rakyat.
"Ada apa ini?" Suara serak terdengar keluar dari mulutnya.
Sontak, beberapa penduduk desa yang menyaksikan keributan tersebut, menatapnya terkejut.
Dua pria seusia Ayahnya terlihat sedang menarik seorang gadis. Sedangkan, wanita yang
menjerit tadi berlari menunduk hormat kepada Sultan Hasanuddin.
Dengan mantap, Pangeran itu turun dari kudanya. Menatap tajam ke arah kedua pria asing
tersebut. "Tolong kami pangeran, Putri kami di paksa menikah dengannya. Padahal, aku janji
akan melunasi hutang ku minggu depan," ujar wanita tua.
Dapat di tebak, dia adalah ibu dari gadis itu.
'Hiks... Hiks... Hiks...' Suara tangisan mulai terdengar dari gadis tersebut, cengkraman pria
asing itu menyakiti tangan gadis yang menangis.
"Aku akan melunasi hutang mereka, lepaskan gadis itu," ujar Pangeran.
'Hahahahaha' suara tawa yang berasal dari kedua pria asing tersebut.
Tampaknya mereka berdua adalah penduduk dari wilayah lain, Sultan Hasanuddin telah
menebak adanya penyusup di kawasannya.
"Anak ingusan, dari mana asal mu? Sampai kau dengan sombong mengatakan kalimat itu?"
tanya salah seorang pria.

Puncak Konflik

Pakaian yang sederhana, berwarna merah polos, tak menggambarkan dia adalah seorang
pangeran. Namun, kuda yang di gunakannya serta pedang di pinggangnya mungkin
menggambarkan segalanya. 'Shut' suara tarikan pedang, berasal dari sarung pedang miliknya.
'Hahahaha' kedua pria itu tak henti tertawa, mereka masih menganggap sampah keberadaan
Sultan Hasanuddin.
"Jangan bermain pedang itu anak muda, nanti kau yang akan terluka," celahnya, lagi-lagi
mereka tertawa. Sultan Hasanuddin dengan santun menundukkan kepala hormat.
Sebelum memulai pertarungannya, dia memberikan senyuman termanisnya.
"Genggam pedangmu juga dan layangkan ke arahku. Jika tak mau, tanganmu akan terpotong
menjadi beberapa bagian," ujar Pangeran.
"Hiaaa! Matilah kau!" teriak salah seorang pria, dia dengan kesar melepaskan
cengkramannya terhadap gadis tersebut.
Dengan segera, gadis itu berlari memeluk Ayahnya.
'Cling' Hanya satu gerakan. Namun, pedang itu sudah berada di leher pria tersebut.
"Hampir saja memenggal kepalamu, bapak tua," ujar Pangeran.
Sultan Hasanuddin kemudian menarik pedangnya, memasukkannya kembali pada sarung
pedang miliknya.

Kemudian, dia melangkahkan kaki mengambil beberapa emas pada kantongan yang di
bawanya. Setelah menerima beberapa kepingan emas untuk membayar hutang warga, kedua
pria itu menaiki kuda mereka. Menjauh dengan cepat dari hadapan Sultan Hasanuddin.
"Terima kasih pangeran, kau memang sangat baik dan dermawan. Kemaslahatan darimu
tampak dari sikapmu tadi." Jujur wanita tua tersebut.
Sultan Hasanuddin hanya tertawa kecil, sebenarnya dia tidak suka pujian.
"Jangan terlalu memujiku, ini sudah tugasku menjaga masyarakat."
"Aku yakin pangeran, Kerajaan Nagari Sani, akan menjadi Kerajaan luhur untuk selamanya.
Aku suka teknik pedangmu, sangat luar biasa." Puji Ayah dari gadis tersebut.
Lagi-lagi, Sultan Hasanuddin hanya tertawa kecil. Dia mulai menatap satu per satu warga di
desa itu, terlihat memiliki kedamaian menyambut dirinya.
Penyelesaian

Pangeran muda itu pun menghembuskan napas lega, kemudian beralih mengambil bungkusan
makanan olahan yang di bawanya.
"Ini beberapa makanan olahan, semoga cukup untuk kalian semua," ujar Sultan Hasanuddin.
Dengan antusias, para warga berbaris rapi. Sementara Sultan Hasanuddin, membagikan
makanan olahan untuk mereka. Keagungan dan kemaslahatan benar-benar merangkul hangat
warga desa tersebut.
"Aku akan selalu mendoakanmu pangeran, semoga hidupmu bahagia. Keagungan dan
kemaslahatanmu selalu merangkul kami," ujar seorang warga.
"Kami semua berharap, engkau yang akan menjadi Raja berikutnya. Kemuliaanmu ini akan
membekas di hati kita semua," tutur seorang warga lagi.

Sultan Hasanuddin hanya tersenyum ramah.


"Jangan terlalu memujiku, aku hanya seorang pangeran. Masih banyak melakukan
kesalahan," sahut Sultan Hasanuddin.
"Baiklah, aku akan kembali ke istana. Semoga kalian bisa hidup dengan damai," ujar Sultan
Hasanuddin. "Tunggu!" teriak seorang gadis.
Gadis bermata coklat, dengan hidung mancung, tubuh sedikit kurus dan kulit putih.
Rambutnya terikat asal, kemudian di tangannya ada gantungan indah, berbentuk bunga
menur.
"Aku tak punya apapun selain ini. Aku ingin kau memilikinya, ini adalah buatanku sendiri,"
tutur gadis tersebut.
Air matanya masih tersisa di pipinya. Dia meraih tangan Sultan Hasanuddin, dan
memberikannya gantungan berbentuk bunga menur.
"Terima kasih," ucap Sultan Hasanuddin.
Setelah pemberian itu, dia kembali menaiki kudanya, menjauhi pedesaan. Tanpa pengawal,
Sultan Hasanuddin meneruskan langkah menuju istana.
---
Koda

Usai kembali dari pedesaan, Sultan Hasanuddin menemui Sang Raja. Dengan sopan dan
santun, dia membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat.
"Ada apa gerangan? Kau sudah membawa makanan olahan untuk warga?" tanya Raja.
Sontak, Sultan Hasanuddin menaikkan alisnya, terkejut. Dia tak menyangka kegiatannya
yang di lakukan selama seminggu ini sudah diketahui oleh Sang Raja.
"Mohon maaf Tuan, aku tidak meminta izin kepadamu sebelum melakukannya. Padahal,
keagunganmu lebih dariku," sahutnya.
Sultan Malikussaid terkekeh, dia menepuk pundak anaknya kemudian mengelusnya.
"Jangan terlalu tegang nak, bertingkahlah selayaknya aku ini adalah Ayahmu. Kita tidak
sedang berada pada pertemuan resmi," ucap Sultan Malikussaid.
"Maaf," ucap Sultan Hasanuddin.

Pemikirannya sedang kacau, hingga candaan dari Ayahnya pun tak masuk di otaknya.
"Aku sedang mencemaskan sesuatu," ujar Sultan Hasanuddin.
“Apa yang kau cemaskan?" tanya Ayahanda.
Dia menghela napas berat, pikirannya terlalu banyak membawa beban. Bahkan dia juga
merasakan beban menjadi Raja seperti Ayahnya.
"Aku ingin menghancurkan dua kerajaan terbesar, bagian utara. Raja di sana tidak tampak
keagungannya," ujarnya. Pangeran itu bangkit dan menatap pedesaan dari balik jendela
istana. Lampu-lampu di sana terlihat menyala dengan damai. Setelah beberapa menit setelah
ucapan Sultan Hasanuddin, Ayahanda bangkit. Menepuk pundak anaknya. "Kamu selalu
mengetahui apa yang Ayah sedang pikirkan," ucap Ayahanda. "Perbudakan. Aksi itu sedang
berlangsung di kawasan utara, aku tidak ingin rakyat tanpa dosa meninggal dengan sia-sia.
Dan mengenai kemaslahatan, benar-benar punah di makan manusia rakus," ujarnya.
"Baiklah, kita akan merancang penyerangan. Kamu harus terus berlatih, ini mungkin akan
menjadi penyerangan besar. Pasukan kita harus bertambah," ujar Ayahanda.
Menganalisis Novel Sejarah
1. Menggunakan banyak kalimat bermakna lampau
Seperti : Usai kembali dari pedesaan, Sultan Hasanuddin menemui Sang Raja. Dengan sopan dan
santun, dia membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat.

2. Menggunakan kata yang menyatakan urutan waktu


Seperti : Siang itu, kerajaan yang di duduki oleh Sultan Hasanuddin sedang melakukan kegiatan
makan siang, karena memang sudah waktunya.

3. Menggunakan kata kerja material


Seperti : Kemudian, dia melangkahkan kaki mengambil beberapa emas pada kantongan yang di
bawanya.

4. Menggunakan kalimat tidak langsung


Seperti : Pangeran itu bangkit dan menatap pedesaan dari balik jendela istana. Lampu-lampu di sana
terlihat menyala dengan damai.

5. Menggunakan kata kerja mental


Seperti : Kedua pria itu tak henti tertawa, mereka masih menganggap sampah keberadaan Sultan
Hasanuddin.

6. Menggunakan banyak dialog


Seperti :
-"Waktunya sarapan, pangeran,"
"Terima kasih, atas makan siangnya,"
"Izinkan aku menemani Pangeran,"
"Sediakan saja kuda hitam, kebanggaanku,"
"Anak itu lain dari yang lain,"
"Dia baik hati dan dermawan. Aku seperti sedang menjaga surga,"
"Selain baik, teknik pedangnya juga patut di banggakan. Aku yakin, dia akan menjadi Raja
selanjutnya. Keagungannya mendarah daging." dan sebagainya.

7. Menggunakan kata sifat


Seperti:
Dengan antusias, para warga berbaris rapi. Sementara Sultan Hasanuddin, membagikan makanan
olahan untuk mereka. Keagungan dan kemaslahatan benar-benar merangkul hangat warga desa
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai