Anda di halaman 1dari 6

Suara Merdeka

Minggu, 18 Februari 2007


Banjir
Cerpen: Putu Wijaya
MELIHAT
"Memang kenapa?"
"Sebelah kakiku kejeblos lubang, ya air comberan ketelanlah paling tidak
secangkir."
"Ada tahinya?'
Kaciran ketawa.
"Kok ketawa. Ada nggak?"
"Ada kali. Habis dua hari perut jadi mules terus. Tiap kali makan keluar lagi, keluar
lagi."
Tetangga Kaciran sekarang yang ketawa.
"Eee sekarang lhu yang ketawa."
"Habis, kali yang kamu telan itu bekas punya kita."
"Punya kamu?"
"Iya! Kita kan memang lagi sakit perut terus waktu banjir itu. Air comberannya rasa
gulai kepala ikan nggak?"
"Gulai kepala ikan palemu!"
"Ya, pasti gulai kepala ikan kan? Nah, itu yang gua makan keluar lagi!"
Kaciran nyengir, sementara tetangganya ngakak.
Waktu itu, muncul sembilan pelajar dari sebuah sekolah bergengsi yang sedang
melakukan pengamatan di mana akan membagikan bantuan untuk korban banjir.
Melihat Kaciran dan temannya ketawa-ketawa terus, mereka mendekat.
"Bukannya kemarin di sini parah, Pak?"
"Bukan parah lagi, air sudah sampai di sini," jawab Kaciran cepat menunjuk ke
lehernya, "Adik-adik ini dari mana?"
"Kami dari sekolah kami, Pak. Besok kami mau membawa sumbangan yang
dikumpulkan teman-teman untuk disumbangkan. Tapi maunya ke lokasi yang benarbenar membutuhkan bantuan."
"Lho, kami di sini membutuhkan sekali. Mana sekarang?"
"Besok baru akan kami drop."

"Sekarang aja! Semuanya sudah kelaparan di sini. Beras kan udah naik lagi! Jangan
kayak pemerintah, main tunggu-main tunggu terus. Ntar kita mati semua!"
Para pelajar itu bisik-bisik sesamanya berunding. Kaciran juga main kedip-kedipan
mata dengan tetangganya. Kemudian pelajar itu menggelengkan kepala.
"Kelihatannya kami mau ngedrop di tempat lain saja, Pak. Sorry."
Kaciran terkejut.
"Lho kenapa? Kami di sini juga membutuhkan!"
"Tapi kelihatannya Bapak-Bapak ini kok oke-oke saja.?"
"Oke-oke bagaimana?"
"Ya seperti tidak perlu pertolongan begitu."
"Siapa bilang. Ayo kalau mau masuk ke dalam rumahku. Mau? Nanti tanya sendiri
sama nenekku. Apa punya beras untuk dimakan hari ini? Ayo!"
Para pelajar itu berunding. Kemudian seorang pelajar putri maju.
"Kalau Bapak-bapak memang perlu sekali bantuan, nanti kami laporkan pada pos
lain."
"Lho jangan hanya dilapor, berikan saja bantuannya."
"Tapi Bapak-bapak kelihatannya seperti tidak memerlukan bantuan."
"Siapa bilang?!"
"Habis, kan tadi ketawa-ketawa."
Kaciran terdiam. Setelah berpikir, dia tersenyum lebar. Pelajar itu manggutmanggut.
"Orang tersenyum artinya senang! Bapak pasti bahagia karena rumah Bapak tidak
kebanjiran! Tapi Bapak tidak boleh lupa, 200 ribu orang yang diberitakan di internet
menjadi korban banjir 5 tahunan ini."
Kaciran langsung tertawa.
"Adik-adik, di sini semua rata kebanjiran, tidak ada yang tidak. Kalau aku ketawa,
tidak berarti senang. Orang mencoba senang-senang itu tidak berarti tidak perlu
bantuan. Wah, wah, adik-adik ini pasti sudah salah kaprah. Kami ketawa bukan
karena bahagia, tapi justru karena kami sedang kelaparan. Rumah, pakaian, barangbarang yang kami kumpulkan bertahun-tahun hancur dalam dua hari. Apalagi yang
bisa kami lakukan kecuali ketawa. Kan cuma itu yang gratis. Kalau marah lagi, nanti
tenaganya habis percuma. Ya terpaksa ketawa saja. Yang lain kan semua bayar.
Betul nggak, Dul?"
Dul, tetangga Kaciran, kontan menjawab dibarengi tawa lebar.
"Bener Dik, orang ketawa itu bukan seneng tapi susah. Kan ketawa itu sehat. Bikin
awet muda lagi. Makanya meskipun tiap tahun dapat banjir kita ketawa terus,

supaya awet muda terus. Pak Kaciran ini begini-begini udah tiga istrinya, sekarang
udah mau kawin lagi!"
Kaciran ketawa.
"Jangan percaya, Dik. Siapa bilang bini gua tiga? Itu menghina!"
"Habis berapa?"
"Lima!"
Kaciran dan tetangganya ketawa lagi lebih seru.
Pelajar-pelajar itu bengong. Mereka tidak tahu di mana lucunya. Semua pandangpandangan dan bisik-bisik. Yang putri kelihatannya rish sekali. Ia cepat-cepat
menarik teman-temannya untuk pergi.
"Cabut Yuk, ngapain di sini mereka nggak apa-apa kok! Betul juga yang di koran
itu!"
Melihat gelagat mereka sudah mau bergerak, Kaciran mencoba menahan.
"Lho adik-adik mau ke mana? Katanya mau lihat korban banjir. Kan mau ke rumah
melihat nenekku yang aku gendong naik ke rakit? Yang kelihatan di teve itu lho!"
Para pelajar itu tak menjawab, terus bergegas naik ke dalam mobil.
"Kita tunggu bantuannya lho! Kalau nggak ada barang, mentahannya juga boleh!"
"Dua-duanya lebih baik lagi!"
Tapi seruan itu terhapus oleh suara knalpot mobil. Kaciran dan tetangganya
memandang hampa.
"Anak-anak orang kaya sok tahu semua. Berlagak mau jadi pahlawan. Kalau mau
nyumbang nggak usah ngomong gede! Kalau memang ikhlas nyumbang, bawa saja
kemari, pakai ngintip-ngintip segala, paling juga cuma mie seduh yang bikin perut
kita rusak! Dasar! Mana dia tahu kita kelaparan! Koran udah ribut gitu, dia masih
ngetes kita!"
"Anak-anak sekarang mana baca koran, Cir, mereka nonton televisi!"
"Apalagi nonton televisi. Mesti lihat aku gendong nenek sampai negak air
comberan, dong?!"
"Tapi bukan teve kita yang ditonton, MTV atau film kartun!"
Kaciran mencibir.
"O gitu? Makanya nggak heran koran jadi teriak-teriak terus supaya yang buta, yang
budek itu mau sekali-sekali lihat nasib orang di bawah! Coba rasain sebentar di sini,
jangan cuma duduk di kursi tinggi. Enak nggak jadi rakyat!"
Dul mikir.
"Kenapa memang dahi lhu nekuk?"

"Habis lhu bilang, enak kagak jadi rakyat? Gua pikir ya enak juga!"
"Enaknya?"
"Bisa maki-maki kayak lhu itu. Ngomong apa juga kagak salah. Tapi coba mereka?
Salah dikit juga bisa putus nyawanya. Keceplosan ngomong seperti yang lhu bilang
di koran itu, jadi bahan umpatan. Ya nggak?"
"Yang mana?"
"Itu yang lhu bilang nongol kepalanya di air dan berkoar: korban masih bisa tertawa,
media jangan membesar-besarkan soal banjir!"
"O yang di sampingnya ada tengkorak ketawa itu?"
"Itu dia!"
Kaciran dan Dul tertawa barengan.
"Gila, memang! Kali tengkoraknya ketawa karena lihat ada orang masih sempatsempatnya kawin padahal air sudah selutut. Yang masak, yang kondangan,
pengantennya basah semua, tapi terus aja kawin karena udah kebelet."
"Salah! Bukan! Tengkoraknya ketawa karena airnya rasa gulai kepala ikan!"
"Sialan!"
Keduanya ketawa lagi lebih keras dari yang tadi.
Nenek Kaciran keluar dari dalam rumah. Dia memanggil Kaciran. Bujang tua itu
terpaksa mengunci ketawanya, lalu berlari menghampiri satu-satunya keluarga yang
masih hidup di sampingnya itu. Nenek itulah yang telah memberinya kekuatan untuk
terus bertahan. Padahal seluruh keluarganya sudah ditelan oleh ombak waktu
pulang ke kampung.
"Ada apa Nek?"
"Ada kamu di televisi!"
Nenek Kaciran memberi isyarat supaya cucunya cepat masuk. Kaciran melompat
masuk. Di televisi disiarkan kembali musibah banjir yang konon sudah menjadi
makanan tahunan dan bonus 5 tahunan ibukota
Air naik dengan cepat dan lebih dahsyat dari banjir-banjir yang pernah terjadi
sebelumnya. Banyak kawasan yang tidak pernah terjamah, kini tak berdaya. Toh
banyak penduduk yang masih tetap bertahan di rumahnya. Mereka takut hartanya
akan dimaling. Baru setelah air semakin mengancam dan persediaan makanan
habis, orang mulai mau dievakuasi.
"Tadi kamu kelihatan di situ sama Nenek," kata orang tua itu menunjuk ke televisi.
"Gendong Nenek?"
"Ya."
"Kalau tidak ada banjir aku tidak akan pernah masuk televisi."

"Ya itulah gunanya banjir," kata Kaciran melucu.


Tapi neneknya tidak tertawa.
"Kalau tidak ada banjir, aku tidak akan pernah jadi Naga Bonar."
"Apa?"
"Kalau tidak ada banjir aku tidak akan pernah gendong Nenek," kata Kaciram
sembari ketawa.
"Kenapa kamu tertawa?"
"Emang aku tertawa?"
"Ya! Karena Nenek kentut?!"
Kaciran ketawa.
"Memang Nenek kentut waktu itu?"
"Berkali-kali. Aku memang kentut kalau takut."
"Jadi Nenek juga takut?"
"Siapa yang tidak takut. Biar sudah tua, biar tidak punya apa-apa, aku juga takut.
Emangnya Cuma orang kaya yang takut? Kamu tidak takut?"
"Aku juga takut, Nek! Aku kan nggak bisa berenang."
"O jadi kamu juga takut?"
"Ya."
"Kalau takut kenapa ketawa?"
Kaciran tersenyum, sebab ingat hari itu. Ia sudah terminum air comberan dan
diledek. Tidak ada yang percaya dia tidak bisa berenang. Hanya waktu tentara yang
menolong itu bilang Kaciran adalah Naga Bonar kecemplung kali, ia tidak bisa lagi
menahan diri untuk menertawai dirinya dan sekaligus membunuh rasa takutnya.
Nenek Kaciran memandangi cucunya. Satu-satunya cucur darahnya yang
diharapkan akan melanjutkan keturunannya, tetapi sampai sekarang masih belum
berhasil. Masih saja Kaciran belum mampu mengangkat hidupnya supaya keluar
dari kawasan kecoak.
"Kamu ngetawain Nenek ya?"
"Tidak."
"Kalau begitu kamu ketawa, karena kamu bersyukur. Walau pun kena gempa, kena
banjir kamu masih tetap hidup. Begitu?"
Kaciran tak menjawab.

"Itu bagus. Kamu harus selalu mensyukuri semua karuniaNya. Walau pun tiap tahun
kena banjir, nyatanya kita masih tetap hidup. Kamu anak yang soleh Kaciran, kamu
masih bisa tertawa meskipun hidupmu tidak beruntung."
Kaciran ketawa.
"Kok ketawa?"
"Aku nggak tahu, Nek. Mulutku udah ketawa saja duluan, sebelum aku bisa
ngomong."
"Kenapa?"
"Ya mungkin karena aku sudah terbiasa."
"Siapa yang sudah melatihmu?"
Kaciran terkejut.***
Jakarta 2007
karikatur GM Sudarta di koran tentang banjir, Kaciran ngedumel. "Itu ngenyek aku!"
katanya kepada tetangga yang sama-sama kebanjiran. "Memang bener juga aku ketawa
waktu ada orang televisi yang nyorot. Habis lagi gendong nenek untuk dinaikkan ke atas
rakit, mereka bilang aku Naga Bonar kecemplung kali!"

Anda mungkin juga menyukai