Anda di halaman 1dari 5

Nama : Shela Jenari Marbun

Nim : 2233210016
Kelas : Sasindo B
Matkul : Menulis Fiksi (Cerpen)

Surat Terakhir Ibu

Malam ini cukup terang, dengan bulan indahnya, kami lagi berkumpul di kamar tidur
dengan anak dan istriku. Aku akan sedikit bercerita kembali, mengenang seorang yang
seharusnya kupanggil ibu, yang kuat, tegar, dan lemah-lembut kepada sang buah
hatinya. Seorang orang tua tunggal, berusaha yang terbaik di bawah tekanan hidup,
yang menjerit hari-harinya setelah meninggalnya suami tercinta. Bersama sang buah
hati, yaitu aku. Kemudian hidup bersama atas kepedulian keluarga sahabat suaminya.
Hingga aku diadopsi seteleh ibu meninggal akibat kecelakaan.
Namaku Belco Archen Aydin, akrab disapa Belco. Nama tengahku adalah pemberian
dari orang tua angkatku. Aku anak tunggal dari Bundo Ezni dan Ayah Arthur. Mereka
adalah orang tuaku saat ini. Begitulah panggilanku untuk mereka Ayah dan Bundo.
Bundo adalah salah satu panggilan "ibu" dari daerah Sumatera Barat.
Kala itu..... tepat tanggal 4 Desember peringatan meninggalnya ibu. Teringat saat cerita
yang sedang aku baca dari surat-surat peninggalan ibu dahulu. Di umurku sekitar lima
tahunan, aku sudah menjadi yatim piatu setelah kematian beliau. Begitu yang
diceritakan bundo kepadaku, membenarkan isi surat yang sedang aku baca saat itu.
Bundo adalah orang tua angkatku sekarang. Aku sudah menginjak sekolah menengah
pertama (SMP), di salah satu sekolah yakni SMP Negeri 2 Poso, tak jauh dari rumahku.
Bersama teman-teman di teras, sambil memainkan gitar. Sore itu, saat lagi asyik
bermain di teras rumah selepas pulang sekolah, Seorang kawan berkata.
"Bundo kamu itu, bukan orang tua aslimu Bel", dengan suara berbisik dan
terbawa logat daerah Posonya.
"Dari mana, kamu tahu?" Saat bersama kawan-kawan, aku selalu menggunakan
bahasa Indonesia. Mereka tahu aku tidak paham dan belum fasih berbahasa
daerah Poso.
“Iya, mama-mama kami bilang,” Sahut seorang lagi membenarkan perkataan si
Albert kawanku.
"Ah, mana mungkin. Salah dengar saja kalian itu," dengan polosnya aku
mencekal perkataan mereka sembari tertawa.
Dan sepertinya terdengar oleh bundo, beliau langsung memanggilku dengan mengajak
untuk pulang.
"Belco, baliak karumah lakkeh," memanggilku dengan bahasa Padangnya.
Bundo yang sedari dulu mengajariku berbahasa minang begitu pula dengan ayah.
Mereka memang asli keturunan minangkabau. Bundo fasih berbahasa minang dan tak
sekalipun mengajariku berbasa poso, yang jelas-jelas adalah bahasa ibu kandungku
Terkadang, sekali-kali kami pun menggunakan bahasa indonesia di rumah. Ayah sangat
susah berbahasa Poso, beda dengan bundo yang cepat belajar. Ayah hanya mengerti saja.
Jika berbincang dengan masyarakat, ia tetap menggunakan bahasa Indonesia.
"Iyo bun, ko kapulang ha," aku balas teriakan Bundo tadi, sambil berlarian
menuju suara beliau.
"Kamari santa," ajak bunda sambil menggenggam tanganku sembari menuntun
jalan menuju ruang tengah rumah.
"Manga bundo, apo carito tu?"
"Balian bundo minyak makan ka kadai lah, bundo nio mamasak," pintanya.
Mungkin maksud bundo, agar fokusku pada cerita dari kawan-kawanku dapat
teralihkan kala itu.
"Oke bundo, siap," langsung dengan semangat aku berlarian, menuju kedai yang
sedikit jauh dari rumah. Dan aku masih terngiang-ngiang, apa yang kawan-
kawanku bicarakan tadi di sepanjang perjalanan. Selepas kembali dari kedai...
"Iko bundo, alah Belco balian. Baliak pitihnyo untuak Belco yo?" sambil
senyum aku meminta kembalian uang belanjaan tadi.
"Ambiaklah Bel."
"Oh iyo bundo, Belco nio nanyo ha. Tadi kawan-kawan ngecek samo Belco,
bundo itu indak urang tuo asli Belco. Batuah tu bundo?" Bundo sejenak terdiam.
"Indak batuah tu," jawab bundo setelah itu, mengelakkan jawaban.
"Masak iyo bun, tapi mode meyakinkan bana ko ha kecek si Albert tu?" aku
tanya heran, mendesak bundo terus.
Dan aku terus bertanya demi pembenaran bundo. Sebenarnya, aku juga sering
mendengar ibu-ibu di sekitaran rumah menggunjing. Berarti, benar apa yang aku dengar
selama ini adalah perihal orang tua kandungku. Karena aku yang mendesak terus, bundo
akhirnya memberi penjelasan. Mungkin ia sadar, aku sudah patut mendengar cerita itu
atau ia sadar aku sudah terlanjur tahu, hingga tidak perlu ditutupi lagi.
"Okelah, Sabananyo..." bundo pun mulai bercerita.
Lalu bundo mengeluarkan kotak kayu, berisi barang-barang peninggalan dari orang tua
asliku dari lemari kamar beliau. Di sana terdapat cukup banyak surat-surat yang
mengejutkanku dan aku pun mencoba membacanya. Surat yang masih di dalam kotak
tersusun dengan rapi, bukti belum pernah dibuka oleh siapapun.
Aku pun duduk untuk mulai membaca satu persatu isi surat itu...
Sebenarnya, aku adalah anak angkat dari mereka berdua atau orang tuaku saat ini. Aku
diadopsi oleh bundo setelah kejadian itu, beliau merawat dan menganggapku seperti
anaknya sendiri. Bundo dan ayah, kala itu belum secara sah mengadopsiku. Tapi, dalam
waktu tujuh hari setelah aku ditinggal ibuku, mereka mengajukan surat permohonan
untuk mengangkatku sebagai anak angkat mereka. Dan kebetulan saat itu, mereka tidak
akan bisa dikaruniai seorang anak. Bundo meminta kepada ayah untuk mengadopsiku,
dengan setengah memaksa yang akhirnya ayah pun menyetujuinya.
"Da, awak adopsi sajo si Belco ko yok da? Baa menurut uda?" bundo kala itu
dengan setengah memaksa, mengayun-ayunkan lengan ayah meminta untuk
mengadopsiku.
"Hmmm," ayah masih terdiam berpikir, Tutur bundo padaku.
Ternyata ayah berpikir, bahwa kala itu tidak enak saja langsung mengadopsi aku setelah
kemalangan itu. Bundo sembari bercerita ketika ayah dulu berterus terang, dan
memberhentikan aku membaca sejenak. Karena aku membaca suratnya sedikit bersuara.
Bundo kala itu duduk di sebelahku, bertugas melengkapkan cerita di surat dengan versi
bundo, agar aku paham makna dari isi surat itu.
"Buliah sajo, malahan rancak mah. Uda mandukuang sajo. Tapi, lebih rancak
awak tunggu agak seminggu dulu. Indak elok langsuang-langsuang modenyo,
indak lamak awak dipandang urang beko. Untuak saat iko awak rawat sajo dulu,
salagi awak ma urus berkas-berkas Belco," Seketika ayah menenangkan bundo
yang antusias sekali.
"Terimakasih banyak uda," dengan senyum merekahnya.
Kala itu, bundo sungguh kasihan dan berempati sangat kepada aku dan ibu. Mungkin,
jiwa keibuannya keluar, Pikirku. Orang tua asliku, juga tidak mempunyai sanak sudara.
Ibuku dulu adalah seorang anak dari panti asuhan, yang tak tahu asal usul keluarganya.
Beliau berparas Jawa, dan ayu rupanya, dinikahi oleh bapak yang beradat Jawa-Minang.
Bapak adalah seorang yang sangat ramah dan baik hati. Seperti itu surat-surat yang
ditulis ibuku, menerangkan bagaimana bapak dan terselip juga foto-foto kenangan
mereka di dalamnya.
Ibuku setiap pulang dari pekerjaan sebagai tukang sapu jalanan kota, dan paginya
menjual jamu dengan sepeda, ia selalu menulis. Beliau berharap dengan surat-surat
yang ia tulis, aku dapat mengenal bapak dan ibu, Orang tua kandungku. Melalui
membaca karangan darinya untuk melepas rinduku kelak. Mungkin seperti itu maksud
ibu kandungku, dalam surat itu.
Bapak kandungku meninggal karena konflik peperangan perihal isu sara di daerah poso,
saat itu aku berumur dua tahun. Bapak adalah seorang anak muda, yang ditugaskan di
kota kelahiran ibuku. Bapak juga dari keluarga yang tidak memiliki sanak saudara, dan
diusir dari kampungnya juga, oleh hukum adat kala itu. Hingga lahirlah bapak di
perantauan, yang jauh dari tanah Sumatera Barat.
Dan saat bapak sudah terbilang sukses di rantau pun, tidak ada sanak saudara yang tahu,
karena komunikasi sudah lama terputus. Perekonomian orang tua angkatku, ternyata tak
beda jauh dengan bapak dan ibu. Walau bapak adalah PNS dari seorang anggota
kepolisian, hidupnya juga tidak seperti yang kebanyakan orang pikirkan. Kala itu, gaji
bapak hanya bisa pas-pasan kebutuhan rumah dan untuk menutupi biaya berobat
nenekku. Setelah itu bapak, teramat sedih ditinggal oleh ibunya, dan ibuku berusaha
menenangkan bapak. Aku tidak bisa membayangkan bapakku, yang ditinggal seorang
ibu yang merawat dan membesarkannya dengan penuh cinta serta pengorbanan seorang
diri. Di bawah kesulitan hidup mereka di perantauan. Tak sadar, air mataku seketika
jatuh saat membaca bagian surat. Bundo menyeka air mataku dengan jemarinya.
"Jangan menangis Bel, sudah sini bundo simpan saja surat-suratnya. Tidak kuat
bundo melihatmu bersedih nak," dengan suara gontai bundo menyeka sambil
memelukku. Kalau tidak salah bahasanya berubah ke bahasa Indonesia.
"Jangan bundo, Belco masih ingin lanjut membaca surat-surat ibu," jawabku
sambil terisak-isak.
Terhitung dua minggu setelah bapak pergi. Setelah kerusuhan yang mematikan beberapa
sektor perekonomian masyarakat, seiring bertambah sulit perjuangan ibu. Ditinggal
sang suami saat masih memiliki tanggungan seorang anak, dan kondisi keuangan yang
setiap hari kian menipis. Karena hanya beberapa aset dan sebuah rumah yang aku dan
ibu tempati. Menjadi peninggalan terakhir dari bapak setelah beliau meninggal.
Tunjangan bapak saja yang menopang kami, itu pun tak cukup memadai. Sedikit geram
aku dengan pemerintahan, saat membaca isi surat. Nyawa bapak demi keamanan
bangsanya, hanya dilupakan begitu saja. Tidak ada tunjangan penghargaan yang cukup
dengan ibuku yang menjanda karenanya. Begitu penuturan bundo. Ibuku sering
mengadu ke bundo, kadang untuk makan saja menumpang di rumah bundo. Untung
saja, kala itu aku masih menyusui tidak dengan susu bantu.
Ibuku tidak memiliki keahlian khusus, ia hanya seorang anak perempuan yang
dibesarkan dari rumah panti asuhan, di didik sekadarnya tanpa pendidikan yang tinggi.
Sesuai keterangan surat yang kubaca, Ibuku hanya mengenyam pendidikan sampai
tamatan sekolah menengah pertama saja. Ibuku kala itu, mencoba mendaftar bekerja
pada saat seperti ia muda dulu. Ibuku sudah terkendala umur, dan sudah kelihatan
tuanya walau baru menikah tiga tahun. dikarenakan memiliki anak dan ditempa
kerasnya hidup.
Akhrinya, doa ibu pun terkabul, ia diterima kerja di sebuah unit pelayanan tata kota
sebagai petugas kebersihan di sebuah jalan komplek. Paginya ia menjadi penjual jamu
keliling dengan memanfaatkan sepeda lama bapak, serta keahlian meracik jamu yang
dipelajari dari bundo. Walau ibu awalnya sedikit canggung, ia mencoba menguatkan
hati untuk bekerja demi sang anak. Karena lamaran kesana-kemari telah ia coba dan
hasilnya tetap nihil dan akhirnya hanya pekerjaan itu yang bisa ibu dapat. Akibat krisis
moneter juga melanda daerah kami. Sudah dua minggu ibuku bekerja, Pagi itu
berangkatlah beliau bekerja, setelah sebelumnya menitipkan aku beserta sebuah kotak
kayu di rumah bundoku. yaitu Bundo Enzi. Sepucuk surat terakhir, nasihat dari ibu,
tertulis dari luar surat.
Untuk Anakku Tersayang: Belco Aydin, dan Kemudian aku membuka surat terakhir
itu...
"Ini mungkin surat terakhir dari ibu nak, Entah kenapa akhir-akhir ini ibu bermimpi
badan ibu remuk semua seperti akan mati saja. Sudah tiga hari berturut-turut Tapi, ibu
tidak sampai hati meninggalkan buah hati ibu sendiri di dunia fana ini. Kalaulah Tuhan,
ingin seepatnya bertemu dengan ibu, ibu ikhlas. Tapi ibu ingin, kau dilindungi-Nya
dengan kuasanya. Sebenarnya ibu, belum ingin meninggalkanmu Belco, anakku. Tapi
sepertinya, Tuhan berkata lain. di mimpi ibu barusan, ibu tersentak karena dimimpi itu
ibu berlumuran dengan darah. Kalaulah telah sampai ajal ibu, ibu hanya bisa berserah
kepada-Nya. Ibu cuma ingin menitip pesan, untuk terakhir kalinya, jadilah anak yang
baik, jangan lupakan Tuhan, Selalu murah senyum, Jangan kasar kepada perempuan.
Pegang teguh kejujuran dan amanah Karena, amanah itu mulia, dan kejujuran itu mahal
dan maafkan ibu tidak bisa melihatmu tumbuh hingga dewasa. Mungkin melalui tulisan
ini, kau bisa melepaskan rindu dengan ibu kelak. Menulislah nak, karena dengan
menulis kau akan tetap ada, ibu percayakan engkau pada Tante Enzi Hanifah dan
Suaminya Arthur, semoga dikau diangkat menjadi anak oleh mereka kelak Karena, ibu
tahu mereka orangnya ramah dan baik sekali pada kita. Sore ini akan ibu titipkan
sekotak kayu yang berisi berkas-berkas penting peninggalan bapak dan ibu akan
sertakan surat-surat yang akan engkau baca dengan sebuah batu delima siam hadiah dari
bapakmu untuk ibu dulu. Semoga dikau dalam lindungan Tuhan selalu Anakku
tersayang."
Begitulah bunyi surat yang kubaca. Masih segar diingatan, ada bercak-bercak noda
seperti noda air. Dan aku masih sangat yakin hingga sekarang bahwa, ibuku sambil
menangis menulis surat kala itu. Bundo pun yang bercerita kemudian bagaimana ibuku
meninggal saat sedang bekerja, ibu tertabrak sebuah mobil L300 Mitsubishi dengan,
plat nomor yang tidak begitu jelas. Seketika terpelanting terhempas ke jalan raya,
dikepalanya begitu banyak bersimbah darah dan warga pun berhamburan menolong
ibuku. Begitulah bunyi surat yang kubaca. Masih segar diingatan, ada bercak-bercak
noda seperti noda air. Dan aku masih sangat yakin hingga sekarang bahwa, ibuku sambil
menangis menulis surat kala itu.
Kembali di masa sekarang...Di bawah sinaran lampu tidur, dan ruangan ber-AC di salah
satu villa daerah Bandung, bersama isteriku. Aku kembali mendongeng lagi untuk anak
lelakiku, isteriku yang sudah terlelap mendengar kisah kisah hidupku, dengan matanya
selalu berkaca-kaca. Padahal, sudah sering ia mendengarnya dari awal semenjak anak
pertamaku ini lahir.
"Jadilah anak yang baik dan Jangan lupakan tuhan. Selalu murah senyum, Jangan kasar
kepada perempuan, Pegang teguh kejujuran dan amanah. Karena amanah itu mulia, dan
kejujuran itu mahal. Begitulah nak, ingatlah sebagai seorang laki-laki yang dilihat itu
adalah perkataan dan tanggung jawabnya. Jika hilanglah dua itu maka, sudah hinalah
seorang laki-laki itu. Ingat pesan ayah anak”.

Anda mungkin juga menyukai