Anda di halaman 1dari 21

PEMBERIAN YANG TULUS

Share
 Today at 6:50am
Ketika masih Remaja, mungkin waktu itu sekitar 13 tahun, aku memperoleh pelajaran yang
sangat Berharga dari Ibuku..
Pelajaran yang takkan terlupakan !

Pada suatu hari, ketika kami sedang berada di sebuah toko kecil,
Aku melihat 3 orang masuk..
Tampaknya mereka sekeluarga terdiri atas seorang Ibu, Anak & Cucunya yang kedua2nya
Perempuan..
Penampilan mereka rapi..
Tapi, dari pakaian yang sudah usang tampak bahwa hidup mereka tidak bisa dibilang
berkecukupan..
Mereka berkeliling toko sambil membawa kereta belanja..
Dengan seksama mereka memilih barang2 belanjaan, yang pada umumnya tanpa merek serta
bahan pangan yang diperlukan..

Ketika selesai berbelanja, kami menuju ke tempat Kasir untuk membayar..


Ternyata ketiga orang itu sudah lebih dulu sampai di sana..
Ada seorang Pembeli lain yang menunggu giliran membayar..
Pembeli itu berdiri di belakang mereka & di depan kami..

Sementara aku memperhatikan keluarga itu meletakkan belanjaan mereka satu demi satu di
depan kasir,
Aku mendengar wanita yang paling tua setiap kali menanyakan berapa jumlah yang harus
dibayar, karena uang mereka mungkin tidak cukup untuk membayar semuanya..
Proses itu memakan waktu & Orang yang menunggu giliran di depanku tampak mulai tidak
sabar & bahkan menggumamkan kata2 yang aku yakin pasti terdengar oleh ketiga wanita itu..

Ketika Kasir menjumlahkan semuanya, ternyata uang mereka memang tidak cukup, sehingga
wanita yang paling tua lantas menunjuk berbagai bahan pangan yang terpaksa dikembalikan..

Ibuku mengambil dompetnya, mengambil selembar uang 20 Dollar & menyodorkan kepada
wanita itu..
Wanita itu sangat kaget, lalu berkata :
"Saya tidak bisa menerimanya !"

Ibuku menatapnya & berkata dengan pelan :


"Kenapa tidak?
BISA saja..
Anggap saja ini Hadiah..
Tidak ada sesuatupun dalam kereta belanja itu yang tidak benar2 Anda perlukan, jadi saya harap
Anda sudi menerimanya"

Setelah mendengar kata2 Ibuku, wanita itu menerima uang yang disodorkan itu..
Digenggamnya tangan Ibu sesaat & dengan air mata berlinang2, ia berkata :
"Banyak TERIMA KASIH..
Baru kali ini aku melihat ada orang yang Murah Hati seperti Anda.."

Aku masih ingat bahwa kemudian aku meninggalkan toko itu dengan mata berkaca2..
Kejadian itu akan senantiasa membekas dalam hati sanubariku..

Masalahnya, Orangtuaku harus membesarkan 6 Anak & Uang mereka sendiri tidak bisa dibilang
banyak, meski sepanjang ingatanku kami tidak pernah mengalami kekurangan apapun..

Aku sangat Bahagia karena mewarisi Sifat PEDULI Ibuku..


Aku juga pernah memberi dengan Perasaan TULUS & tidak ada perasaan lain yang lebih
Menyenangkan !
(Dee M. Taylor)

KEPEDULIAN terhadap Orang lain merupakan Bekal yang lebih Baik dalam Kehidupan anak2
Anda daripada Gelar Kesarjanaan..
(Marian Wright Edelman)

Semakin banyak kita memberi,


Semakin banyak saja kita memperoleh lagi..
(Grace Speare)

Sumber : A Cup of CHICKEN SOUP for the Soul

Jangan Salahkan Saya


 Today at 11:46am
Hakim sedang menghadapi Ringgo, Rino dan Roni, tiga terdakwa kejahatan besar yang
tertangkap basah. Ketiganya melakukan pembelaan diri.

Ringgo: “ Pak Hakim, memang saya benar melakukannya, tapi ini karena saran dan petunjuk
teman saya Amir, saya tidak bersahah, Amir lah yang harusnya dipersalahkan.”

Rino berkata: “ Pak Hakim, benar saya juga melakukan, tapi kata terapist saya memang saya
mengindap kelainan jiwa dan perlu melalukan ini, dan dia setuju hal ini memang tidak bisa saya
hindari. Mohon jangan salahkan saya, kalau mau dihukum mestinya terapist saya yang
dihukum.”

Roni: “ Pak Hakim, menurut ahli nujum saya, ketika Neptunus berada pada resi bintang Aries,
memang hal ini akan saya lakukan dan sudah menjadi takdir saya untuk melakukannya. Jangan
salahkan saya dong, ini kesalahan ahli nujum saya. Hukum dia saja.”

Hakim terdiam sejenak, masuk kedalam, dan keluar lagi dengan keputusannya: “ Memang ini
kasus yang baru dan pelik, saya sampai harus meminta pendapat para senior saya. Saya putuskan
menghukum kalian bertiga penjara seumur hidup. Saya sudah mengkonsultasikan ke senior saya,
mohon bisa dimaklumi, jangan salahkan saya, salahkan mereka. “

Ketika kita masih kecil, berjalan dan jatuh kena meja, ibu kita berkata: “ Meja nakal, meja jahat,
lihat si Upik sampai terjatuh dan berdarah.” Maka kita sudah sejak kecil diajarkan tentang
kambing berwarna hitam dan pengalihan tanggung jawab atas semua kesalahan dan kelakuan
kita.

Kesadaran dan penolakan atas kambing hitam, akan mamberikan kekuatan kepada kita untuk
mau maju dan bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan. Dan menguatkan kita untuk lebih
mau berupaya dalam menuju perbaikan kehidupan kita. Salam merdeka.

Tanadi Santoso

 Yesterday at 7:28pm
Seorang kurcaci duduk di depan pintu rumahnya. Ia terlihat murung dan lesu. Tak lama
kamudian, lewatlah seorang peramal. Peramal itu kasihan melihat si kurcaci dan menegurnya,
“Mengapa engkau terduduk lesu wahai kurcaci?” Si kurcaci menjawab dengan sedih, “Aku ini
makhluk paling malang di seluruh Fairland. Sudah seminggu ini aku berjualan jamur, tak ada
seorangpun yang mau membeli!”

Mendengar hal itu si Peramal membuka buku ramalannya, lalu terpekik dengan gembira, “Wah
hentikanlah wajah murungmu itu nak! Besok adalah hari keberuntunganmu. Kau akan
memperoleh untung besar!” Lalu si Peramal mengucapkan mantra untuk mengikat
keberuntungan si Kurcaci. Mendengar hal ini si Kurcaci menjadi bersemangat. Ia
mempersiapkan jamurnya dan membersihkan kiosnya dengan sangat teliti malam itu.

Esoknya di pasar Fairland, si Kurcaci dengan semangat menawarkan jamur – jamurnya. Melihat
semangat dan senyum si Kurcaci, penduduk pun berdatangan dan memberli jamurnya. Si
Kurcaci bahagia sekali! Sorenya ia pulang ke rumah dengan puas dan berujar, “Aku beruntung
sekali hari ini. Berkat mantra dari si Peramal, hari keberuntunganku berjalan dengan baik.” Lalu
ia menyiapkan lagi jamur – jamur untuk dijual besok. Sebelum tidur,terbersit pemikiran di
benaknya, “Bagaimana jika keberuntunganku sudah habis ya? Kan hari keberuntunganku sudah
berlalu….”

Esoknya, benarlah pemikiran si kurcaci. Jamurnya tak tersentuh sama sekali, kendati ia telah
berteriak – teriak menawarkannya. Si Kurcaci yang sedih segera mencari sang Peramal. Ia
bermaksud untuk meminta mantra pengikat keberuntungan. Berjalanlah ia hingga larut malam ke
pondok si peramal.
Sesampainya di pondok Peramal, ia mengetuk pintu dan menemui si Peramal seraya
menceritakan pengalamannya. Ia juga minta agar Peramal mau mengajarkan mantra pengikat
keberuntungan. Mendengar hal ini si Peramal hanya tersenyum dan berkata, “Nak, sesungguhnya
aku tak mempunyai sihir atau mantra seperti yang kau minta.” Si Kurcaci sangat terkejut! “Lalu
apa yang kau lakukan hari itu hingga membuat hariku sangat beruntung?” tanya kurcaci.

“Aku tidak melakukan apapun. Engkaulah yang membuat harimu beruntung. Ketika aku
mengatakan ramalan baik dan mengucapkan mantra, hatimu menjadi ringan dan terhibur.
Senyummu menjadi indah dan suaramu enak didengar. Itulah yang membuat harimu ccerah dan
penuh keberuntungan. Lihatlah dirimu saat ini! Wajahmu cemberut, senyummu terpaksa, dan
nada suaramu terdengar tajam. Keraguan menyelinap di hatimu dan mengacaukan semuanya.
Tidak ada mantra ataupun sihir yang bisa mengubah harimu, Nak. Dirimulah satu – satunya yang
menentukan baik atau buruknya hari itu.”

Tanadi Santoso

MASALAH SEL(ES)AI
Share
Waktu itu tahun 1933..
Aku baru saja diberhentikan dari Pekerjaan paruh waktuku, sehingga tidak bisa lagi ikut memberikan
sumbangan bagi nafkah keluarga..
Satu2nya pemasukan kami adalah yang dapat diperoleh IBU dengan menjahit pakaian orang..

Kemudian Ibu jatuh sakit selama beberapa minggu sehingga tidak mampu bekerja..
Aliran listrik Rumah diputuskan oleh Perusahaan Listrik karena kami tidak membayar Rekening..
Lalu Perusahaan Gas memberhentikan aliran Gas..
Selanjutnya Perusahaan Air Minum..
Tetapi Dinas Kesehatan menyuruh Perusahaan Air mengalirkan air lagi atas pertimbangan Kesehatan..
Lemari makan kami hampir tidak pernah ada isinya lagi..
Kami mempunyai Kebun Sayuran & dapat memasak sebagian dari hasilnya dengan menggunakan api
unggun di pekarangan belakang..

Lalu pada suatu hari adik perempuanku datang sambil melompat2, pulang dari Sekolah..
Ia berkata :
"Besok kami disuruh membawa sesuatu ke Sekolah, untuk diberikan kepada Orang Miskin"

Ibu langsung mengatakan :


"Ibu tidak tahu siapa yang masih lebih miskin daripada kita"
Ketika NENEK, yang waktu itu tinggal bersama kami,
Memegang tangannya sambil mengerutkan kening,
Untuk menyuruh IBU diam..
Kata NENEK :
"EVA, jika kau membuat anakmu merasa bahwa ia ORANG MISKIN pada umur semuda itu,
Maka ia akan menjadi ORANG MISKIN seumur Hidup..
Di dalam lemari makan masih ada botol SELAI buatan kita sendiri..
Itu bisa dibawanya ke Sekolah besok"

NENEK menemukan selembar kertas tisu & sepotong pita biru..


Dengan bahan2 itu dibungkusnya botol SELAI &
Keesokan harinya adikku pergi dengan Bangga ke sekolah, membawa HADIAH UNTUK ORANG MISKIN..

Setelah itu, bila ada masalah di lingkungannya, ia menganggap bahwa sudah sewajarnya ia mengambil
bagian dalam penyelesaiannya
(Edgar Bledsoe)

Orang yang Bersyukur akan hal2 Kecil, sudah pasti adalah Orang yang sering banyak Bersyukur
(Frank Clark)

Sumber : A Cup of CHICKEN SOUP for the SOUL

Sudahkah kau BERSYUKUR hari ini :


Atas Anugrah yang kau miliki..
Atas Keluarga yang kau punya..
Atas Kesehatan yang Prima..
Atas Pekerjaan yang ada..
Atas TEMAN & SAHABAT yang perhatian kepada kita..

Kenapa aku sipit bu?


Anak-anak, sering kali pemikirannya membuat kita takjub. Pertanyaannya membuat kita bingung harus
menjawab apa. Begitu pertanyaan terlontar dari mulut mungilnya, kita serasa disengat lebah. Kaget,
heran, tak bisa berpikir cepat.

“Kenapa aku sipit, Bu?” Kudengar sayup-sayup suara Si Sulung dari kamar. Kupikir dia sedang asyik
nonton video Pentas Seni kemarin.
“Yla ngomong sama Ibu, Nak?” Aku yang di depan komputer menghampiri ke kamar.
“Iya. Kenapa mataku sipit, Bu?”
???
Hang.
Bingung.

Gak cukup kata menggambarkan perasaanku saat itu. Berpikir-pikir bagaimana menjelaskannya ya? Mati
aku!

Hm…
Sambil terus berpikir, aku rangkul dia.
“Begini, Tuhan menciptakan manusia itu seperti yang Tuhan suka. Tidak ada yang sama. Seperti juga
binatang yang bentuknya beda-beda. Nah, kamu kan anak orang Cina. Orang Cina itu kan kulitnya putih,
matanya sipit. Kalau kamu anak orang negro, kulitnya hitam, rambutnya keriting.”
“Tapi aku gak mau sipit, Bu.” Si Sulung malah sedih.
“Memangnya kalau sipit kenapa?”
“Gak mau…” matanya mulai berkaca-kaca.
“Yla, mata sipit itu bukan hal yang jelek. Mata Ibu juling, tapi Ibu gak sedih. Dulu, waktu kamu di perut,
semua orang berdoa sambil elus perut Ibu terus bilang, “semoga bayinya lahir sehat dan sempurna”.
Begitu kamu lahir, Om Dokter bilang, “Bu, diperiksa dulu bayinya. semua lengkap ya. Terus Ibu hitung
jumlah mata, tangan, kaki, semua jari. Lengkap. Artinya, kamu lahir sempurna.”
“Tapi aku sipit…” Air matanya mulai turun.

“Yla, mata sipit itu bukan cacat. Tuhan pasti punya maksud kenapa matamu sipit. Inget Om Anton yang
temennya Om Bayu? Kedua tangannya cacat. Tapi Om Anton gak sedih. Om Anton malah nyanyinya
bagus sekali kan? Karena Om Anton senang diciptakan seperti itu sama Tuhan.” Anton dan Bayu yang
aku maksud adalah para personil Jamaica Cafe. Aku kenal Bayu sejak jaman SMA dulu.
Air matanya mulai jadi sungai kecil. Duh, Tuhan…

“Yla, mata ayah juga sipit. Duluu… waktu kamu kecil, kata orang kamu mirip Koh Ezra. Ibu liat fotonya
Ezra waktu kecil, memang mirip banget. Ada lagi yang bilang muka kamu kayak Emak. Berarti kamu
memang anak Ayah, cucunya Emak.”
Aku menahan napas sejenak.

“Yakin deh, Tuhan ciptakan Yla dengan mata sipit, kulit putih, pasti ada maksudnya. Semua orang bilang
Yla cantik. Biar sipit Yla cantik. Harus bersyukur karena Yla tidak punya cacat. Ya?”
Si Sulung mengangguk. Pelan sekali.

“Masih sedih?”
Si Sulung menggeleng, juga pelan.
“Besok lagi kalau kamu sedih, ingat sama Om Anton ya. Om Anton memang cacat, tapi bangga sama
dirinya. Bisa nyanyi bagus sekali. Kamu senang dengerin lagu-lagunya Om Anton kan?”
Si Sulung mulai tersenyum.

“Nah gitu, Tuhan sayang sama semua orang. Pasti Tuhan punya maksud kenapa kita diciptakan lain-lain.
Kalau kamu merengut terus nanti cantiknya luntur…”
Senyumnya makin lebar.
Legaaa…

Si Sulung, memang baru 6 tahun. Entah kenapa merasa minder karena matanya sipit. Karena kamu anak
Ayah, Nak. Kalau kamu hitam dan keriting, jangan-jangan kamu bukan anak Ayah…

Monyet dan Kepiting

TERBAIK MENURUT KITA, BELUM TENTU TERBAIK MENURUT ORANG.....

Di suatu pantai, hiduplah seekor kepiting, yang berteman akrab dengan seekor monyet.
Setiap hari si Monyet ke pantai dan mengobrol bersama si Kepiting.

Monyet selalu bercerita kepada Kepiting tentang asyiknya berada pada pohon yang tinggi sehingga bisa
melihat alam yg indah, berayun-ayun sambil bermain di pohon, serta mendapatkan makanan yang enak-
enak di atas pohon.

Lalu suatu hari Monyet berkata kepada Kepiting, " Kepiting, saya kasihan kepada kamu, karena kamu
hanya bisa melihat air saja, dan tanah, kamu tidak pernah bisa melihat keindahan laut sesungguhnya
dari atas pohon, dan menikmati makanan enak di atas sana. Bagaimana kalau hari ini saya akan bawa
kamu ke atas pohon untuk menikmati alam ini"

Kepiting menjawab, "Terima kasih Monyet, tapi saya takut ketinggian, dan saya tidak bisa memanjat."

Lalu jawab sang Monyet, "Tidak apa, saya akan menggendongmu ke atas sebentar saja."

"Terima kasih Monyet, saya sudah senang dengan keadaan saya ini." tolak halus Sang Kepiting.

Namun sang Monyet terus memaksa, dan berjanji hanya sebentar saja,dan akhirnya sang Kepitingpun
bersedia.

Lalu sang Monyet mengangkat Kepiting ke atas sebuah pohon kelapa yg tinggi, sehingga Kepiting dapat
melihat alam lebih banyak.

Sang Monyet lalu turun dan segera mencari setandan pisang untuk dibawa ke atas pohon kelapa.

Setibanya sang Monyet di atas, kagetlah sang Monyet mendapati sang Kepiting telah berubah warna
menjadi merah, dan mati karena kekeringan dan kepanasan.
Banyak hal yang kita pikir dalam melakukan kehidupan ini baik, dan kita sering memaksakan kehendak
kita kepada orang lain karena merasa hal itu baik, namun akibat pemaksaan kita itu tak jarang justru apa
yang kita rasa baik itu malah menimbulkan banyak masalah di dalam kehidupan ini.

Mari belajar memulai memperbaiki hidup ini dengan memikirkan secara bersama yang terbaik dan tidak
memaksakan kehendak kita.

kiriman Felix Irwan

LUKA TIDAK PERNAH BISA TERHAPUSKAN

Ada seorang anak lelaki, memiliki hati yang baik, namun memiliki suatu kelemahan, yaitu sifat amat
pemarah, dan setiap kali dia marah, selalu mengucapkan kata-kata kasar. Melihat hal itu, amat sedihlah
orang tuanya. Lalu berusaha dengan sejuta nasehat, namun terasa sia-sia, karena anak itu tetap saja sia-
sia, pada setiap kali anak itu marah, tetap anak itu mengucapkan kata-kata kasar yang melukai.

Pada suatu hari, sang ayah menghampiri sang anak saat di belakang rumah, membawa selembar papan
polos bersih, beberapa buah paku, dan sebuah palu, lalu sang ayah berkata, "Nak, setiap kali kamu
marah, kamu ambillah paku ini, lalu kamu pukulkan paku ini ke papan polos ini,lampiaskanlah
kemarahanmu pada papan ini, sampai marahmu reda."

Lalu anak itu melakukan seperti apa yang ayahnya katakan, setiap marah anak itu marah, dia berlari ke
belakang rumah, kemudian memukul paku itu sekuat-kuatnya ke papan itu sampai kemarahannya reda.

Setelah seminggu sang ayah memanggil sang anak ke belakang rumah dan berkata kepada sang anak,
"Anakku, sekarang kamu cabutkan paku-paku yang telah kamu tancapkan itu."
Lalu sang anak mencabut paku itu dan berkata kepada sang ayah, "Ayah, susah sekali paku ini dicabut."
Lalu sang ayah berkata, "Kamu merasa susah, itulah kesusahan kita untuk bisa menahan marah dan
berdamai dengan orang yang telah kita marahi."
Lanjut sang ayah lagi, "Nach sekarang kamu lihat bekas yang ada khan, itulah luka-luka yang kamu
timbulkan saat kamu memarahi orang itu. Setiap kemarahan, pasti akan menimbulkan luka bagi orang
lain. Semakin besar kemarahan kamu, semakin dalam paku kamu tancapkan, semakin susah kamu
mencabutnya, itu artinya semakin susah kamu berdamai dan semakin besar luka yang kamu tinggalkan.
Nach anakku, belajarlah menahan amarah dan emosi. Diamlah pada saat marah, sehingga kemarahan
tidak menimbulkan luka pada orang lain."

Fr : Franklin Filbert Irwan


Cinta Yang Terpenting

Namanya Aini. Sosok kecil yang baru berumur delapan bulan itu tengah berdiri di dalam box tempat
tidurnya. Jemarinya yang kecil memegang erat pinggiran box, berusaha untuk tetap berdiri di atas
kakinya yang belum kokoh. Ia tengah menatap Jane. Dan ketika Jane tersenyum padanya, wajah mungil
nan manis itu langsung balas tersenyum. Saat itulah Jane jatuh cinta padanya. Jatuh cinta pada pemilik
mata polos dan indah itu.

Aini tumbuh menjadi gadis muda yang ceria dan bahagia. Bundanya adalah seorang wanita yang penuh
dengan kasih sayang dan kelembutan. Namun, pernah juga sekali ia menanyakan mengapa ia tak
memiliki seorang Ayah. Bundanya berkata bahwa sang Ayah adalah seorang tentara yang telah
meninggal dalam tugas. Sejak itu, Aini tak pernah lagi membicarakan topik tersebut, karena ia tak mau
bundanya sedih. Pastilah sangat menyakitkan ditinggal sang kekasih, pikirnya.

Sampai suatu hari, ketika ia bertengkar dengan Dita, sepupunya jauhnya, yang juga sekelas dengannya.
Persoalan sepele, namun tampaknya Dita begitu marah. Dita kemudian mengatakan sesuatu yang
membuat Aini shock. Sesuatu yang tak ingin dipercayainya namun sekaligus membuat jantungnya
berdetak begitu cepat. Ia langsung berlari ke kantor bundanya dan memaksa untuk masuk.

Saat itu jane sedang menemui seorang klien, namun karena mendengar dari Riris sekretarisnya bahwa
Aini ingin bertemu dengannya untuk sebuah urusan mendesak, Jane minta diri sejenak dengan kliennya
dan menemui Aini. Baginya, putrinya adalah yang terpenting dari segalanya.

"Ada apa, Nak?"

Wajah Aini merah dan tegang. Tampak menahan kemarahan.

"Dita bilang aku anak angkat."

Jane terhenyak kaget. Ia baru akan duduk di kursinya saat itu. Gerakannya langsung terhenti.

"Dita bilang aku tak punya Ayah. Ayahku yang Bunda bilang telah mati dalam tugas itu adalah karangan
Bunda semata. Aku ini dipungut dari panti asuhan."

Wajah Jane memucat. Jantungnya seakan terhenti saat itu juga.

"Dita bilang Bunda berbohong padaku tentang semuanya. Dan Ayah bundaku tak pernah
menginginkanku. Benarkah semua itu Bunda?" tanya Aini dengan nada mendesak.

Ia berharap bundanya menggeleng dan menghiburnya bahwa Dita hanya iri padanya sehingga
mengucapkan kata-kata kosong itu. Ia berharap bundanya menyambar telepon di meja, menelepon
Tante Giska, ibu Dita dan menegur wanita itu atas omong kosong anaknya. Tapi bundanya hanya berdiri
terpaku, tak mampu berkata-kata.

"Bunda..." Aini tercekat. Debaran jantungnya semakin cepat. Keringat dingin mulai mengucur dari
keningnya. "Jangan katakan semua yang dikatakan Dita benar."

Dan seperti mendengar berita kematian dirinya, Aini merasa dunianya runtuh seketika bersamaan
dengan anggukan pelan bundanya.

"Aku anak angkat? Jadi Bunda selama ini membohongiku? Bunda bukan bundaku???"

"Aini, dengarkan penjelasan Bunda dulu..."

"Tidak!" Aini bangkit dari kursinya dengan kemarahan yang meluap. "Jadi ayahku tidak mati dalam
tugas? Jadi siapa ayahku? Siapa bundaku???"

Jane mendekat, mencoba meraih Aini. Namun gadis muda itu menepis tangannya dengan kasar.

"Maafkan Bunda, Nak..."

"Kau jahat! Kau bukan bundaku! Aku benci padamu! Kau tak tahu apa yang kurasakan ini!" sembur Aini
tanpa sadar lagi apa yang dikatakannya.

Jane terhenyak, airmatanya jatuh. "Nak, maafkan Bunda. Maafkan Bunda..." Hanya kata-kata itu yang
mampu diucapkannya berulang-ulang.

"Siapa orangtuaku? Aku ingin tahu!"

Jane menggeleng sedih. "Bunda pun tak tahu, Nak. Bunda pun tak diberitahu. Tapi Bunda tak akan
melarangmu mencari tahu."

Dan berbekal dari nama dan alamat panti asuhan tempat dulu dirinya diambil, Aini mendatangi tempat
itu. Berharap bisa menemukan jejak kedua orangtuanya. Namun sayang, pengurus panti yang lama telah
meninggal dunia. Panti itu sekarang dipimpin oleh seorang wanita setengah baya bernama Ibu Tini.
Menurut Ibu Tini, lima tahun yang lalu panti tersebut ditimpa musibah kebakaran dan semua dokumen
mengenai anak-anak yang pernah tinggal di sana telah hangus terbakar api, yang artinya tak ada jejak
sedikitpun yang tertinggal bagi Aini. Hancur sudah harapannya. Seketika itu hidupnya gelap tak
bercahaya.

Karena merasa putus asa dan marah, Aini kabur dari rumah dan tinggal di rumah Anna, sahabat
karibnya.

Suatu sore, bundanya muncul di sana. Aini tak mau menemuinya. Akhirnya bundanya pulang dan hanya
menitipkan sebuah tas ransel pada Anna untuk diberikan pada Aini. Tas itu berisi semua perlengkapan
pribadi Aini, termasuk buku diary-nya dan boneka beruang kesayangannya yang sedari kecil
menemaninya. Dan juga sejumlah uang. Jane tahu anaknya pergi dari rumah tanpa membawa apapun,
karena itulah ia singgah untuk memberikan barang-barang tersebut. Sebenarnya ia ingin membujuk Aini
untuk pulang, namun ia pikir mungkin Aini belum memaafkannya, karena itu Jane malah menyiapkan
barang-barang Aini agar Aini tetap merasa nyaman selama berada di rumah Anna.

Tapi hati Aini tidak tergerak sedikitpun ketika menerima barang-barang tersebut. Ia tak mampu melihat
cinta dan perhatian bundanya. Setelah beberapa hari di rumah Anna, Aini mulai merasa bosan dan
berniat pergi ke rumah omanya. Namun sejenak ia merasa ragu, bukankah omanya kini bukan omanya
lagi? Apakah omanya masih mau menerimanya? Lagipula harusnya ia merasa marah juga pada omanya
yang selama ini juga ikut membohonginya. Namun karena rasa rindu pada wanita tua itu semakin
menggebu di hatinya, akhirnya Aini membulatkan tekad untuk pergi ke sana.

Omanya menyambutnya seperti biasa. Pelukan yang erat, ciuman yang mesra di pipi kanan dan kiri dan
secangkir teh manis. Tidak ada yang berbeda. Bahkan senyum dan mata wanita itu tetap memancarkan
kelembutan dan kehangatan yang sama. Hanya saja Aini menjadi sedikit canggung, tak bisa melupakan
kenyataan bahwa dirinya hanyalah seorang anak angkat. Seorang asing di tengah-tengah keluarga
mereka. Harusnya omanya sudah mendengar dari bundanya bahwa dirinya telah tahu tentang rahasia
itu.

"Oma sudah mendengar cerita dari Bunda?" tanya Aini ragu.

Omanya mengangguk. "Oma punya cerita untukmu. Kau mau mendengarnya?"

Aini mengangguk cepat. Rasa penasaran menguasainya seketika. Akankah Oma menceritakan kisah
hidupnya?

"Waktu itu bulan Desember. Bundamu mengunjungi sebuah panti asuhan dengan niat memberi
sumbangan. Saat itulah bundamu melihatmu di sana. Kau masih berumur delapan bulan. Sepulang dari
sana, bundamu menyatakan keinginannya pada Oma dan Opa untuk mengadopsimu. Saat itu kami
menentang keinginannya."

Oma berhenti sejenak melihat reaksi Aini. Gadis itu tampak menahan napas.

"Bukan kami tidak menyukaimu, kami bahkan belum sempat melihatmu. Tapi Jane waktu itu masih
berumur dua puluh lima tahun dan belum menikah. Dia memang memiliki pekerjaan yang bagus sebagai
pengacara, pasti mampu membiayaimu. Namun dia belum menikah. Kami khawatir, bila suatu hari nanti
Jane jatuh cinta pada seorang lelaki, apakah dia akan dapat menikah dengan status memiliki seorang
anak angkat? Akankah lelaki itu menerimanya? Tapi Jane berkeras dengan keinginannya. Ia bilang ia
telah jatuh cinta padamu."
Mata Aini berkaca-kaca mendengar penuturan omanya. Ada rasa sesak membuncah dalam hatinya.

"Sebulan kemudian, Jane pulang membawamu. Dia benar, kau malaikat termanis yang pernah kami
lihat. Dan kami juga ikut jatuh cinta padamu."

Airmata Aini jatuh. Rasa bersalah kini mendekapnya erat. Orang-orang ini, yang sama sekali tidak
memiliki hubungan darah dengannya bisa mencintainya sedemikian besar?

"Dan semenjak itu, Jane tak pernah memiliki hubungan khusus dengan laki-laki. Lama kelamaan, Oma
dan Opa tidak pernah menyesali hal itu lagi karena setelah melihat Jane yang menjadi seorang Ibu,
betapa bahagianya dia, kami tak bisa tak ikut merasa bahagia. Dia telah menemukan hidupnya dalam
dirimu."

Oma berdiri dan pindah duduk di samping Aini. Dipeluknya Aini seraya menghapus airmatanya.

"Tahukah kau kalau bundamu juga anak angkat?"

Aini terperangah tak percaya. "Anak angkat?"

Oma tersenyum dan mengangguk. Matanya memandang keluar, menerawang, seakan melihat lagi
kilasan peristiwa di masa lalunya. "Dulu, setelah Oma menikah dengan kakekmu hampir lima tahun,
kami tidak dikarunia seorang anakpun. Akhirnya kami memutuskan untuk mengadopsi seorang anak.
Jane, bundamu. Kami menyayangi Jane seperti anak kami sendiri. Dan ketika Jane berusia dua puluh
tahun, kami memutuskan untuk memberitahunya tentang jati dirinya. Awalnya bundamu terkejut,
seperti juga reaksimu setelah tahu akan hal itu. Tapi setelah beberapa hari berlalu, bundamu datang
berbicara pada Oma dan Opa. Kami bertanya apakah dia mau mencari orangtua aslinya? Kami bersedia
membantu. Tapi bundamu menolak."

"Mengapa Bunda menolak?"


"Kata Bunda yang terpenting baginya bukan darah yang sama, tapi cinta yang ada di dalam hati kami dan
hatinya." Oma mendekat,meletakkan tangannya di dada Aini. "Di sini. Cinta di dalam hati. Yang
menyatukan kita semua sebagai satu keluarga."

Dan tangis Aini pun pecah. Ia teringat akan kata-kata kasar yang dilontarkannya pada bundanya
beberapa hari yang lalu. Ia sungguh jahat, bundanya tak pantas menerima kata-kata itu. Bundanya tahu
semua rasa yang dirasakannya karena bundanya pun sendiri pernah mengalami semua ini. Hanya saja
bundanya tidak mempermasalahkan asal usulnya karena bundanya menghargai cinta yang begitu besar
yang telah diberikan orangtuanya. Aini merasa malu. Malu karena tidak tahu akan pengorbanan
bundanya untuknya. Malu karena lupa akan cinta bundanya untuknya. Bundanya benar, bukan darah
yang terpenting. Cinta di hati lah yang terpenting. Cinta yang menyatukan mereka menjadi satu
keluarga.
By Angel Li
KATAK
Di kolam kecil dekat sebuah pertanian, hiduplah seekor katak hijau. Si katak menikmati hari – harinya
dengan berenang, bernyanyi, atau duduk diatas daun teratai sambil makan nyamuk.

Hingga suatu hari seekor burung hantu hinggap di dahan pohan dekat kolam. Si katak menyapa burung
hantu dan mengajaknya bermain, tapi burung hantu menolaknya. Kata si burung hantu, “Kegiatanmu
tampaknya memang sangat mengasyikkan! Tapi apa gunanya? Kau harus mencari kegiatan yang lebih
berguna! Seperti aku memburu tikus yang menyusahkan petani…” Si katak tertegun mendengar hal itu.
Lalu si katak bergumam, “Ah, benar juga apa kata si burung hantu. Aku ini makhluk tak berguna. Yang
kutahu hanya berenang! Aku harus mencari kegiatan berguna…”

Maka pergilah si katak ke kandang ayam. Ia melihat ayam sedang duduk diatas tumpukan jerami. “Apa
yang sedang kau lakukan wahai Ayam?” tamya si Katak. “Aku baru saja bertelur. Sekarang aku sedang
mengerami telur – telurku dan tuanku si Petani akan sangat menyukainya!” jawab si Ayam. Katak
mengangguk – angguk lalu berkata, “Kalau begitu aku juga mau mengerami telur!” “Wah, kau tentu saja
harus bertelur dulu!” Jawab si Ayam. Katak menggeleng, “Aku tidak bisa bertelur…”

Pergilah si Katak ke kandang sapi, dan melihat petani sedang memerah susu. “Wahai sapi, apa yang
kaulakukan?” Tanya si katak. “Petani sedang memerah susuku, kawan. Aku makan rumput dan
menghasilkan susu, dan susuku sangat berguna untuk manusia,” jawab si sapi. “Kalau begitu akuakan
makan rumput dan menghasilkan susu juga!” sahut si katak. Maka si katak mendekati tumpukan rumput
kering dan mencoba memakannya. Baru gigitan pertama, si katak sudah memutahkan kembali rumput
tersebut. “Oh, rasanya sangat menjijikkan! Aku tidak bisa makan rumput…” “Kalau begitu kau tidak bisa
menhasilkan susu,” jawab sapi.

Katak melangkah gontai kembali ke kolamnya. “Aku makhluk tak berguna, aku bodoh dan buruk rupa…”
tangisnya sedih. Ia duduk diatas daun teratai dan hanya makan sedikit sekali nyamuk.

Hingga tiba – tiba seraut wajah mungil muncul di depannya! Ternyata putri si petani. Gadis kecil itu
tersenyum melihat si Katak, “Ah, rupanya disitulah kau berada. Aku suka sekali mendengarkan suaramu,
membuat hatiku ringan saat aku sedih. Dan terima kasih karena telah menangkap nyamuk – nyamuk
yang mengganggu tidurku!” ucap gadis kecil tersebut.

Katak pun tersadar dari kesedihannya. Ia bukanlah makhluk tak berguna. Ia adalah katak, dan ia berguna
sebagai seekor katak!

Tanadi Santoso
Kemarahan

Marah Bukanlah respon yang cerdas. Org bijak selalu bahagia. dan orang yang bahagia tak akan marah.
marah terutamanya adalah tidak masuk akal.

Suatu hari mobil kami berhenti di lampu merah di samping ada sebuah mobil lainnya. Saya
memperhatikan pengemudi mobil itu mamaki-maki lampu merah: " Kamu lampu brengsek! Kamu tau
aku ada janji penting! Kamu tau sudah terlambat dan kamu membiarkan mobil di depan ku lewat. Dasar
babi!

Dia menyalahkan lampu merah, seolah-olah si lampu merah punya banyak pilihan. Dia pikir si lampu
merah memang sengaja menyakitinya: "Aha!! ini dia datang. aku tahu dia terlambat. Aku akan
membiarkan mobil lain lewat dulu. lalu… MERAH!! Berhenti!! kena dia!! Si lampu merah mungkin
tampak jahat, tetapi mereka hanyalah lampu merah, itu aja. Apa sih yg anda harapakan dari sebuah
lampu merah?

Dan saya bisa membayangkan orang itu terlambat pulang dan istrinya memakinya, "Kamu suami
brengsek! Kamu tahu kita ada janji penting. Kamu tau tidak boleh terlambat dan kamu malah
mendahulukan urusanmu ketimbang aku. Dasar babi! Ini juga bukan yg pertama kali…
Si istri menyalahkan suaminya. Seolah-olah si suami punya banyak pilihan.

Dia pikir suaminya memang sengaja menyakitinya. "Aha! aku ada janji penting ma istriku. Aku akan
terlambat! Kena dia! parah suami mungkin tampak jahat. tapi mereka hanyalah para suami, itu saja! apa
sih yang anda harapkan dari para suami?

Konsekuensi Lain dari kemarahan yang harus kita camkan dalam pikiran yaitu bahwasannya kemarahan
menghancurkan hubungan dan memisahkan kita dari teman-teman kita. Mengapa setelah melewatkan
tahun-tahun penuh kebahagian bersama seorg kawan, namun ketika suatu kali dia melakukan suatu
kesalahan yang sangat menyakiti hati, kita menjadi begitu marahnya sampai-sampai menyudahi
hubungan kita untuk selama-lamanya? Seluruh momen indah yg kita lewatkan bersama (998 bata bagus)
di anggap tidak pernah ada. Kita hanya melihat satu kesalahan mengerikan (2 bata jelek) dan
menghancurkan segalanya. Rasanya itu kok tidak adil. JIKA MEMANG INGIN KESEPIAN, PUPUK SAJA
KEMARAHAN.

oleh Ajahn Brahm (Membuka Pintu Hati)

View: Full | Compact


 Kisah-kisah Inspiratif's Notes

Jadilah Pelita
Share
 Fri at 8:40pm
Pada suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat
membekalinya dengan sebuah lentera pelita. Orang buta itu terbahak berkata: "Buat apa saya
bawa pelita? Kan sama saja buat saya! Saya bisa pulang kok." Dengan lembut sahabatnya
menjawab, "Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu." Akhirnya
orang buta itu setuju untuk membawa pelita tersebut. Tak berapa lama, dalam perjalanan,
seorang pejalan menabrak si buta. Dalam kagetnya, ia mengomel, "Hei, kamu kan punya mata!
Beri jalan buat orang buta dong!" Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.

Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, "Apa
kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!" Pejalan itu
menukas, "Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!" Si buta tertegun....
Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, "Oh, maaf, sayalah yang 'buta', saya tidak
melihat bahwa Anda adalah orang buta."

Si buta tersipu menjawab, "Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya." Dengan
tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka pun
melanjutkan perjalanan masing-masing.

Dalam perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta kita. Kali ini, si buta
lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, "Maaf, apakah pelita saya padam?" Penabraknya
menjawab, "Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama." Senyap sejenak... secara
berbarengan mereka bertanya, "Apakah Anda orang buta?" Secara serempak pun mereka
menjawab, "Iya...," sembari meledak dalam tawa. Mereka pun berupaya saling membantu
menemukan kembali pelita mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan.

Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia menubruk kedua
orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut. Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka
adalah orang buta. Timbul pikiran dalam benak orang ini, "Rasanya saya perlu membawa pelita
juga, jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan
mereka."

Pelita melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti menjalankan kebijaksanaan


dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari
berbagai aral rintangan (tabrakan!).

Si buta pertama mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan, kebebalan,
ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, tidak sadar bahwa lebih banyak jarinya
yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Dalam perjalanan "pulang", ia belajar menjadi bijak
melalui peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena
menyadari kebutaannya dan dengan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi
pemaaf.

Penabrak pertama mewakili orang-orang pada umumnya, yang kurang kesadaran, yang kurang
peduli. Kadang, mereka memilih untuk "membuta" walaupun mereka bisa melihat. Penabrak
kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang sebetulnya menunjukkan
kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa menjadi guru-guru terbaik kita. Tak
seorang pun yang mau jadi buta, sudah selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu..
Orang buta kedua mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita.. Betapa sulitnya
menyalakan pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat pelitanya. Orang buta sulit menuntun
orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk terus belajar agar kita menjadi makin melek,
semakin bijaksana. Orang terakhir yang lewat mewakili mereka yang cukup sadar akan
pentingnya memiliki pelita kebijaksanaan.

Sudahkah kita sulut pelita dalam diri kita masing-masing? Jika sudah, apakah nyalanya masih
terang, atau bahkan nyaris padam? JADILAH PELITA, bagi diri kita sendiri dan sekitar kita.
Sebuah pepatah berusia 25 abad mengatakan: Sejuta pelita dapat dinyalakan dari sebuah pelita,
dan nyala pelita pertama tidak akan meredup. Pelita kebijaksanaan pun, tak kan pernah habis
terbagi.

kiriman Sugiarto

MENUNGGU

Menunggu umumnya bukan suatu kegiatan yang menyenangkan, dan biasanya jauh dari
produktif. Maka mungkin kurang tepat juga disebut sebagai kegiatan. Orang tidak dengan sadar
mau menunggu, itu hanya dilakukan karena dipaksa oleh keadaan. Apalagi bila menunggu cukup
lama, di tempat yang tidak mengenakkan, dan dalam keadaan kita sakit atau lelah, menunggu
terasa lebih berat. Ditambah lagi bila kepastian hal yang ditunggu tidak jelas dan tidak tampak
progress yang berarti. Jaman yang serba tergesa-gesa oleh persaingan hidup dan serba instan ini
membuat sebisa mungkin orang menghindari menunggu. Namun kebanyakan kegiatan
menunggu menguji kualitas kesabaran kita. Menunggu antrian di bank sementara pekerjaan di
kantor masih menumpuk, atau menanti di ruang tunggu rumah sakit dalam keadaan tubuh yang
lemah karena sakit, seringkali membuat kita merasa tidak berdaya. Seiring dengan kesabaran
yang mulai menipis, kemarahan dan gerutu pun mulai menebal.

Sayangnya dalam setiap dalam setiap episode kehidupan, pasti ada saatnya kita harus mengalami
saat-saat menunggu. Lamanya bervariasi, bisa hanya lima belas menit antri membayar di kasir
yang itupun sudah cukup membuat kita resah. Bisa juga sepuluh tahun bila yang ditunggu adalah
pertobatan seorang anak atau kehadiran sang buah hati dalam sebuah pernikahan. Menunggu
menjadi lebih ringan jika kita mempunyai pengalih perhatian yang produktif atau ditemani
seseorang dan / atau situasi yang menyenangkan, sehingga kita tidak bete atau mati gaya, istilah
anak muda jaman sekarang. Namun bagi saya itu tidak harus, setelah apa yang saya lihat di
sebuah hari yang terik di sudut kota Bandung mengubah cara pandang saya terhadap suatu
penantian dan kegiatan terpaksa yang bernama menunggu.

Siang itu, sambil berjalan di antara kerumunan pengunjung yang berbelanja di pasar Simpang,
Bandung, saya melihatnya. Seorang bapak tua yang duduk berjongkok di trotoar jalan masuk
menuju jalan Cisitu. Nampaknya tubuhnya yang kurus kering membuatnya tidak sulit untuk
bertahan dalam posisi jongkok dalam waktu yang lama. Yang membuat saya trenyuh adalah
benda yang ditungguinya dengan sabar di hadapannya. Sebuah timbangan badan. Dan wajah
rentanya itu. Begitu pasrah, tenang, dan sabar. Bapak itu tidak tampak diburu apapun, bahkan di
mata saya ia tampak tidak memerlukan apapun. Wajahnya begitu damai, walau nampak gurat
kelelahan dan kegerahan.

Timbangan badan. Di tengah hilir mudik manusia dengan berbagai kepentingan dan urusan yang
seolah tidak dapat ditunda lagi atau disela barang sedetikpun. Di tengah kebutuhan perut-perut
lapar yang harus segera diisi. Dan panas terik matahari siang yang membuat orang ingin segera
sampai ke tempat tujuan. Tak seorangpun rasanya di antara manusia-manusia yang sibuk berlalu
lalang itu akan terpikir untuk menghampiri bapak tua itu dan menimbang berat badannya.

Saya menelan ludah, terasa kering dan tercekat. Hawa kemisikinan dan ketidakberdayaan tiba-
tiba terasa begitu pekat menyekap hidung saya sehingga saya merasa tarikan napas di dada
menjadi berat. Gerahnya udara kemarau Bandung seolah menambah rasa ketidakberdayaan itu.
Tetapi kesabaran Bapak itu menunggu, dalam kepasrahannya, dalam usahanya yang begitu
bersahaja, terasa menyejukkan hati saya sampai ke dalam tulang. Betapa cengengnya saya kalau
harus menunggu sebentar saja. Gelisah mencari cara agar proses penantian itu bisa dikurangi
semaksimal mungkin atau kalau perlu dipangkas sekaligus. Semuanya harus cepat dan efisien.
Tetapi ingatan dan kenangan saya akan bapak tua yang menyewakan timbangan badan demi
sepeser seratus rupiah untuk setiap pelanggan, di tengah teriknya mentari kota besar, dengan
kesabaran dan ketenangan hingga ke ujung hari, telah mengubah cara pandang saya kepada
sebuah proses menunggu. Menunggu melatih kesabaran jiwa, sebuah kesempatan untuk
menemukan kembali jati diri kita yang sesungguhnya. Yaitu jati diri manusia yang dinilai karena
ikhtiarnya, ketegarannya, dan kerelaannya, untuk menjalani hidup dan tantangan di dalamnya
dengan mawas diri dan kerendahan hati.

Caecilia Triastuti
San Donato, 20 Agustus 09
Updated on Friday

175 people like this.

View all 39 comments


I Love You Anyway
Share
 Fri at 7:44am
Dalam Hidup ini ada banyak yang mengisi kehidupan kita. Ada Iman ada pengharapan & ada
Kasih. Nah yang terbesar diantaranya adalah Kasih.

Hari itu Jum'at pagi dan seorang manajer muda akhirnya memutuskan untuk minta kenaikan gaji
pada pimpinannya. Sebelum berangkat kerja, diapun juga memberi tahu istrinya apa yang akan ia
kerjakan. Sepanjang hari ia merasa gelisah serta kuatir. Akhirnya, sore harinya ia kumpulkan
segala keberaniannya untuk menjumpai majikannya, dan betapa gembiranya dia, ternyata bosnya
itu menyetujui permohonannya.

Suami yang berbesar hati itu tiba dirumah dan disambut dengan meja makan yang tersiap begitu
indah dengan porselen terbaik dan lilin2 menyala. Mencium ada bau makanan untuk pesta, ia
curiga, men-duga2, seseorang dari kantornya pasti telah menilpon istrinya dan membocorkan
kabar gembira itu. Ia mencari istrinya didapur, ia begitu bersemangat membagikan detail kabar
balk itu. Mereka saling merangkul dan berdansa disekeliling ruangan itu sebelum duduk
menikmati masakan enak yang disediakan sang istri itu. Disebelah piringnya ia temukan secarik
catatan artistik sekali, bunyinya:
"Selamat ya, sayangku, aku sudah tahu kau bakal mendapatkan kenaikan ini! Makan malam ini
untuk menyatakan padamu betapa aku mencintaimu. "

Belakangan, selagi berjalan ke dapur hendak menolong istrinya menyajikan makanan kecil, ia
melihat ada sehelai kartu kedua yang jatuh dari saku istrinya. Sambil mengambilnya dari lantai,
ia membaca, "Jgn kuatir jika kau tak mendapat kenaikan gaji! Walau seharusnya kau layak
menerimanya. Makan malam ini utk menyatakan padamu betapa aku mencintaimu. Apapun yg
terjadi..."

Menerima seluruhnya, mendukung sepenuhnya, mencintai seluruhnya secara total. Istrinya


berdiri dibelakangnya walau apapun yg terjadi, melembutkan hantaman2, menyembuhkan luka2
& meyakini serta percaya padanya. Kita boleh saja ditolak oleh banyak orang asal kita dicintai
oleh seseorang.

oleh : Nyoto Wibowo


http://www.pengharapan.com/

Terbentur
Pada tahun pertama saya di Thailand, kami sering pergi dari satu vihara ke vihara lain dengan
duduk di belakang truk kecil. Bhikku senior duduk di tempat yang paling nyaman, tentu saja di
depan. Kami bhikku2 junior duduk berjejalan di bangku yang keras di bak belakang. Di atas bak
belakang terdapat kerangka besi yang rendah, yang di atasnya dilapisi terpal untuk melindungi
kami dari hujan dan debu.

Seluruh jalanan adalah jalan tanah, tidak terpelihara. Ketika rodanya melintasi lubang, truk jatuh
ke bawah dan bhikku2 terlompat ke atas. Jeduk ! Sudah beberapa kali kepala saya terbentur
kerangka besi itu. Lebih2, sebagai bhikku gundul saya tidak punya "pelindung" untuk
mengurangi benturannya.

Saya menyumpah setiap kali kepala saya terbentur-dalam bahasa Inggris tentunya, supaya
bhikku2 Thai itu tidak paham. Namun ketika bhikku2 Thai yang terbentur kepalanya mereka
hanya tertawa ! Saya tidak mengerti. Bagaimana mungkin anda bisa tertawa saat kepala anda
sakit terbentur begitu keras ? Mungkin, pikir saya, bhikku2 Thai itu sudah terlalu sering terbentur
kepalanya sehingga sudah terjadi kerusakan permanen pada otak mereka.

Sebagai mantan ilmuwan, saya memutuskan untuk melakukan percobaan. Saya mencoba untuk
tertawa, seperti halnya bhikku2 Thai, sewaktu kepala saya terbentur lagi, untuk mengetahui
bagaimana rasanya. Tahukah anda apa yg saya temukan ? Saya menemukan bahwa jika anda
tertawa ketika kepala terbentur, sakitnya berkurang banyak.

Tawa membuat hormon endorphin dilepaskan ke aliran daarah anda, yg merupakan pereda sakit
alami. Hormon itu juga memperkuat sistem kekebalan tubuh anda untuk melawan infeksi. Jadi,
tertawa sewaktu anda kesakitan itu memang membantu. Jika anda masih tidak percaya, cobalah
sendiri saat kepala anda terbentur.

Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa saat hidup ini menyakitkan, sakitnya berkurang kalau
anda melihat sisi lucunya dan bisa tertawa.

by Ajahn Brahm (Membuka Pintu Hati)


Updated on Thursday

166 people like this.

View all 51 comments


Belajar dari angin
Share
 Thursday, August 27, 2009 at 12:58pm
Suatu sore, seorang sahabat bercerita,"Dee, aku mau cerita sesuatu. Tapi jangan menilai apapun,
ya? kasus nya agak beda." Kalau sekedar cerita, ok deh.. :) kadang kalau kita lagi ada sesuatu
kurang enak, ada juga keinginan untuk cerita. Allah memberi saya 2 telinga untuk
mendengarkan. Semampu saya dan dalam batasan yang tidak menurunkan semangat. Karena
perlu waktu untuk menata hati. Dan tiap orang beda.

Teringat ucapan seorang teman,"Dee, kenapa aku beda ya? Kenapa ujian ku dari Allah begini?"
Bantuan yang saya berikan hanyalah meminjamkan telinga saya saja.

Setelah panjang bercerita, sahabat saya itu agak lega. Alhamdulillah.

Beberapa cerita yang saya dengar berkisar pada perasaan nya, yang kadang berupa perasaan
senang, perasaan rileks, perasaan bingung atau bahkan perasaan sedih.

Sabtu sore, saya buka puasa bareng 1500 orang di masjid agung. Orang yang datang dari
berbagai penjuru. Saya memilih tempat duduk dekat pilar sambil menunggu adzan
berkumandang.

Waktu itu saya niatkan memang untuk melakukan inner journey. Saya menikmati suasana sore
itu dan menutup mata. Thikluk.. Ting!!! Kemudian angin sore bertiup...

Awal nya angin bertiup itu terlewatkan oleh saya.

Hanya sekedar angin bertiup yang mendinginkan suasana sekitar pelataran masjid.
Tiba-tiba...

deg...

Terasa sekali bahwa angin yang bertiup ini rasanya lain..lain...

Angin pertama rasanya hangat...

Angin kedua rasanya bergelombang...

Angin ketiga rasanya dingin

Angin keempat rasanya menusuk....

Angin yang tenang

Subhanallah... saya baru sadar sekarang... angin ini ibarat perasaan kita sendiri..
perasaan yang bisa berganti2...Dan angin ini sebenarnya cuman lewat saja.

Jadi, bila suatu saat kita pernah merasa kecewa (angin yang bergelombang), merasa marah
(angin yang panas bergelombang). Rasa sedih (angin yang dingin). itu hanyalah perasaan yang
mampir lewat dalam hati.

Apapun yang ada dalam hati, kita terima saja.. karena perasaan itu seperti angin yang lewat.
Yang bila kita terima, rasa apapun itu juga akan lewat.

Dan terasa mudah memahami arti dari ucapan Rumi ini:

Mari Kemari, Datang... Datanglah


Mari kemari datanglah siapapun dirimu.
Pengelana, Peragu, dan Pecinta mari..kemari datanglah
Tak penting kau percaya atau tidak..
Mari, kemari … datanglah

Kami bukanlah caravan yang patah hati …


atau pintu-pintu dari keputus asa-an,
Mari kemari datanglah…
Meski kau telah jatuh ribuan kali,
Meski kau telah patahkan ribuan janji,
Mari kemari…datang. .. datanglah sekali lagi…

Ya Allah, dengan segala rahmat Mu, wahai yang Maha Membolak balik hati, jagalah hati kami
semua.
Apapun perasaaan yang ada dalam hati kami, kami terima dengan tangan dan hati terbuka, dan
kuserahkan semuanya kembali kepada Mu, dan aku melihatnya pergi menguap.
Ya Allah Yang Maha Melembutkan, lembutkanlah hati dengan nama-nama indah MU. Karena
kami adalah khalifah MU.

Ya Allah, hanya dengan ijin Mu, aku mengijinkan Engkau menuntun hati ku, dan hati semua
umat MU.

Ya Allah, dengan ijin Mu, aku mengijinkan diriku untuk mengenali rasa apapun yang ada dan
mengijinkan nya pergi. Sekarang...

Menata hati untuk ridha Mu saja. Apapun yang ada, aku terima. Hanya kepada Mu, kami
berserah.

"TuhanMu tidak meninggalkan kamu dan tidak pula benci. Dan sungguh akhirat itu lebih baik
daripada dunia. Dan Sungguh kelak Tuhan mu akan memberi karunia Nya, maka kamu akan
menjadi puas "(93:3-5)

"Dan tidak seorangpun memberikan suatu nikmat yang ada padanya yang harus dibalasnya.
Kecuali karena mencari keridhaan Tuhan nya" (92:4-5)

Ya Allah, jadikan kami semua selalu bersyukur, dan mengembalikan hati menjadi jernih. Seperti
hati yang bening yang pernah Kau berikan pada kami. Untuk tidak menuruti hawa nafsu dan
hanya melakukan hal2 baik dalam berkata, berbuat, dalam perbuatan dan hati.

Selamat puasa, semoga kita menjadi hamba Nya yang lebih baik. Amin

oleh : Tristiningsih Dian Ekoputri

Anda mungkin juga menyukai