Anda di halaman 1dari 3

Beternak Hama di Ladang Sendiri

Sebuah Keprihatinan Penyelenggaraan World Tobacco Asia 2012 di Indonesia

Mengapa melarang pameran industri rokok? Toh, industri rokok telah meningkatkan
pendapatan negara, menghidupi banyak orang, membantu perindustrian dan membuat
perekonomian Indonesia lebih baik. Benarkah?

World Tobacco Asia merupakan sebuah ajang pameran dan forum bagi industri-industri rokok
internasional untuk membangun relasi serta mempromosikan produk dan pelayanannya kepada
perusahaan-perusahaan tembakau dan rokok yang ada di Asia Pasifik. Ironisnya, tahun ini merupakan
kali ke dua Indonesia mendapat ‘kesempatan’ untuk menjadi tuan rumah dalam penyelenggaran
kegiatan ini. Tak bisa dipungkiri, lemahnya regulasi, tumbuh dan meningkatnya jumlah perokok sebagi
pasar yang menggiurkan, serta kuatnya pengaruh industri rokok dalam tatanan pemerintahan telah
membuat negeri ini menjadi tempat yang sangat menjanjikan untuk pelaksanaan kegiatan ini. Tak aneh
memang, jika Indonesia dikenal sebagai surga bagi para perokok dan industri rokok. Tapi, pantaskah
semua itu untuk dibiarkan? Apa pengaruh yang akan ditimbulkan dengan diadakannya WTA 2012 di
Indonesia? Benarkah pelarangan justru akan mempermalukan bangsa, membantu perekonomian
negara, serta mengancam kesejahteraan petani tembakau? Atau malah justru sebaliknya?

Pasar tembakau di Indonesia dianggap sebagai pasar dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.
Hal ini menjadi salah satu hal yang dipaparkan dalam media promosi WTA 2012 ini. Tidak hanya itu,
Indonesia juga dinyatakan sebagai pasar tembakau yang bersahabat dengan tidak adanya regulasi yang
menghambat serta larangan merokok, sangat berbeda dengan negara-negara ASEAN tetangganya.
Sungguh miris memang, ketika hal-hal yang jelas sangat merendahkan martabat bangsa malah justru
menjadi sebuah info promosi pelaksanaan kegiatan yang akan dilaksanakan di negeri ini. Bahkan,
pemerintah pun terkesan tak acuh atau mungkin justru mendukung sehingga Indonesia kembali
‘dianugerahi’ kesempatan menampung para penyebar racun yang semakin buas menggerogoti. Sungguh
mengejutkan, di saat berbagai pihak tengah berusaha meningkatkan derajat kesehatan bangsa,
banyaknya penolakan menjadi tuan rumah pelaksana WTA oleh berbagai negara, pihak penyelenggara
WTA malah dengan gampangnya mengantongi izin tuk mengadakan sebuah kegiatan untuk
mempromosikan dan mengembangkan produk-produk yang mengancam jiwa di indonesia. Hal ini
sangat menggambarkan betapa kuatnya pengaruh industri rokok di negeri ini. Kedigdayaan lobi dan
kedekatan industri dengan pemerintah telah menjadi sebuah ancaman yang sangat mengenaskan.
Dalam sebuah dokumen internal British American Tobacco, salah seorang petinggi perusahaan ini
menyatakan bahwa Direktorat Bea Cukai, Departemen Keuangan RI sebagai anak perusahaan. Hal ini
menjadi salah satu bukti betapa dekatnya hubungan antara industri rokok dan pemerintah Indonesia.
Akankah semua itu kita biarkan? Betapa buruk dan rendahnya citra Indonesia di mata dunia, minimnya
regulasi, lemah dan buruknya integritas pemerintah, apakah semnua itu masih kurang. Apalagi jika WTA
2012 ini dapat terlaksana dengan baik di Indonesia, betapa rendahnya kedaulatan negeri ini dalam
melindungi dan menyejahterahkan bangsanya sendiri.
“Mengapa melarang pameran industri rokok? Toh, industri rokok telah meningkatkan pendapatan
negara, menghidupi banyak orang, membantu perindustrian dan membuat perekonomian Indonesia
lebih baik.” Benarkah semua itu? Mari kita lihat! Cukai rokok yang merupakan salah satu pemasukan
besar bagi pemerintah, dan secara silogisme rakyat pun juga akan mendapatkan keuntungan dari hal
tersebut. Hal ini merupakan sebuah pernyataan yang sering dijadikan alasan pentingnya peranan
industri rokok di tanah air. Apakah hal itu benar? Jika kita gali lebih lanjut, cukai yang selama ini menjadi
tameng bagi pemerintah dibayar oleh para perokok sebagai konsumen tentunya dan bukan oleh
industri. Ironisnya, bahkan rokok menjadi pengeluaran kedua terbesar setelah beras. Selain itu,
pernyataan tersebut juga akan semakin goyah jika kita sandingkan dengan betapa besarnya pengeluaran
kesehatan yang harus ditanggung rakyat sebagai dampak negatif rokok. Jika diakumulasikan beban biaya
penanganan penyakit yang ditimbulkan oleh rokok dapat mencapai lima kali lipat dari jumlah cukai.
Tidak hanya itu, perlu kita ketahui saham dari produk rokok yang ada di Indonesia sebagian besar telah
dikuasai oleh pihak asing. Sebagai contoh, PT. Philip Morris International telah menguasai 98 persen
saham dari PT HM. Sampoerna pada tahun 2005. Selain itu, 57% saham PT Bentoel Internasional telah
dikuasai oleh PT. British American Tobacco dan 60% saham milik PT Trisakti Purwosari Makmur telah
dikuasai oleh sebuah perusahaan korea yang bernama KT&G. Lalu, masihkah kita percaya keuntungan
dari industri rokok akan mengalir ke bangsa ini? Masih relakah kita terus membiarkan industri ini terus
berkembang apalagi dengan diadakannya WTA 2012 di negeri ini? Layaknya bom waktu, pelan tapi pasti,
industri rokok ini akan segera meluluhlantahkan kesejahteraan negera ini.

Ketika berbicara mengenai industri rokok semua itu tentu tidak akan lepas dari orang-orang yang
menggantungkan hidupnya pada industri ini. Hal ini jualah yang terus menajdi salah satu batu
penghalang disahkannya berbagai regulasi terkait industri rokok di Indonesia. ”Tidakkah Anda sadar,
ketika industri rokok mati, maka jutaan orang akan kehilangan mata pencaharian seketika.” Pernyataan
hiperbolik ini selalu dilontarkan, bahkan ditanamkan di tengah-tengah masyrakat serta diamini oleh
pemerintah. Padahal, kondisi lapisan terbawah dalam hierarki industri rokok seperti petani tembakau
dan buruh linting rokok hampir tak pernah diungkap secara mendalam. Hal ini seperti diungkapkan oleh
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDFEUI) berdasarkan hasil riset pada tahun
2000-2006, upah bulanan buruh industri rokok rerata adalah Rp 425.000,-, jumlah ini berada jauh di
bawah rerata upah industri lain di Jawa Timur dan Jawa Tengah yakni sebesar Rp 728.000,- per bulan.
Tidak hanya itu, di Kendal, upah buruh tani tembakau tidak sampai separuh dari upah minimum regional
hanya 47%, yaitu sebesar Rp 413.374 per bulan. Di tempat lain pun, kondisi ini tidak jauh berbeda. Di
samping itu, petani tembakau pun bisa dibilang tak punya kekuatan. Ketika musim panen datang, para
tengkulak, pedagang pengumpul, dan pabrik rokok memegang kuasa penuh dalam menentukan grade
dan harga tembakau. Dengan seenaknya, mereka bisa memainkan harga. Alhasil, mau tidak mau, para
petani mesti menjual tembakau mereka dengan harga yang ditentukan. Hal ini juga berhubungan erat
dengan produksi tembakau di indonesia. Perlu kita ketahui, produksi tembakau tanah air masih belum
mencukupi kebutuhan rokok yang terus meningkat. Namun, bukannya malah memajukan para petani
dengan membantu meningkatkan produksi dan kualitas tembakau, industri rokok cenderung memilih
jalan impor. Hingga tahun 2010 telah terjadi peningkatan impor tembakau yang sangat besar di
Indonesia, bahkan telah terungkap fakta bahwa 35% tembakau didatangkan dari Zimbabwe. Meskipun
Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor rokok dan nilai ekspor rokok lebih besar dari impor
rokok, namun untuk daun tembakau kecenderungan net importir, dimana nilai impor tembakau jauh
lebih besar dari nilai ekspornya. Hal ini jelas sangat merugikan para petani tanah air. Lalu, apa hubungan
WTA dengan petani rokok? Dengan diadakannya WTA, akan semakin mengukuhkan Indonesia sebagai
tempat yang nyaman bagi industri rokok. Namun, kemajuan industri rokok tidak akan menjamin
kemakmuran para buruh rokok dan petani tembakau. Selain itu, produsen-produsen rokok akan
memamerkan teknologi terbaru mereka di WTA ini, yang tentunya juga dapat menggantikan posisi
buruh linting maupun pekerja pabrik rokok lainnya. Hal ini justru akan menjadi sebuah ancaman bagai
para buruh dan petani. Jadi, masihkah kita percaya industri rokok mampu memberikan penghidupan
dengan layak dan menjanjikan bagi para petani tembakau maupun buruh industri rokok? Benarkah
rokok dapat menghidupi banyak orang atau malah justru sebenarnya bangsa ini tengah dibunuh secara
perlahan?

Penjelasan di atas telah memberikan jawaban kepada kita atas berbagai pertanyaan yang sering
dilontarkan terkait berbagai polemik tembakau dan rokok di tanah air. Di samping itu, juga sekaligus
telah memberikan gambaran dampak yang akan ditimbulkan dengan adanya penyelenggaraan WTA
2012 di Indonesia. Pantaskah jika kita kita lebih memilih utuk memicingkan mata menutup telinga
sedangkan kedaulatan negeri ini tengah tergoyahkan? Relakah kita terus dibohongi oleh industri rokok
padahal perekonomian kita tengah digerogoti? Sudikah kita digantung dengan sesuatu yang tidak
menjanjikan? Masihkah kita membiarkan atau bahkan mendukung terlaksananya WTA 2012 ini? Jika
memang goal kita sama dan spiritnya sama untuk menyelamatkan, menyejahterahkan, serta
menyehatkan Rakyat Indonesia, hanya satu suara: TOLAK WTA!

Hidup Mahasiswa!!!
Hidup Rakyat Indonesia!!!
Bersama Tolak WTA!!!

Departemen Kajian dan Aksi Strategis


BEM IKM FKUI 2012

Anda mungkin juga menyukai