Anda di halaman 1dari 17

DOKTER MUSLIM SEPANJANG

SEJARAH
Wednesday, 01 December 2010 11:18

Tahukah anda bahwa banyak Muslim yang mengukir prestasi dalam bidang kedokteran? Berikut adalah 10
diantaranya.

 Ibnu Masawayh

Dokter Spesialis Diet.

Abu Zakariyya Yuhanna Ibnu Masawayh, atau lebih popular disebut Ibnu Masawayh adalah dokter yang
termasyhur pada abad ke-3 H. Kariernya sebagai dokter dimulai sejak pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid
hingga Al-Mutawakkil. Buku terjemahannya dari karya-karya Yunani menjadi sumbangan besar bagi ilmu
pengetahuan pada masa itu.

 Zakariya Ar-Razi

Muslim Pertama yang menulis buku medis.

Zakariyya Ar-Razi atau biasa disingkat Ar-Razi adalah dokter muslim pertama yang menulis tentang medis. Ia
juga ahli kimia yang belajar dan bekerja di Baghdad, Irak. Ar-Razi pun ilmuwan pertama yang
mengklasifikasikan berbagai macam zat kimia ke dalam tiga bagian : mineral-mineral, hewan-hewan dan
tumbuh-tumbuhan.

 Ibnu Jazzar

Akrab dengan Kaum Fakir.

Nama lengkapnya Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim bin Abi Khalid Ibnu Jazzar. Masyarakat mengenalnya sebagai
ahli ilmu kedokteran. Ayahnya juga seorang dokter. Jazzar terkenal sangat dermawan, sangat disiplin, hemat dan
cermat. Ilmu yang diperolehnya tidak hanya untuk masyarakat kelas atas, tetapi juga untuk kaum fakir. Sebuah
karya tulisnya yang berjudul Thibb al-Fukara atau Medicine for the Poor (obat-obatan untuk kaum fakir) khusus
didekasikan untuk kaum miskin. Buku berisi 20 judul ini menyebar ke berbagai negara, terutama Spanyol.

 Ibnu Wafid

Ahli Farmakologi dan Obat bius.

Ibnu Wafid adalah ahli farmakologi muslim asal Andalusia (Spanyol). Selain itu ia juga menguasai ilmu
kedokteran dan teori-teori pertanian.

Sebagai ahli di bidang farmasi, dia jarang menggunakan obat-obat kimia untuk menyembuhkan pasiennya. Selain
itu dia pun ahli dalam obat bius. Ia banyak mengajarkan bagaimana kelakuan obat bius dalam tubuh manusia.

 Ibnu Rusyd
Perintis Ilmu Kedokteran.

Ibnu Rusyd adalah filsuf ulung, ahli Al-Qur’an serta ilmu-ilmu alam. Di Barat ia dikenal dikenal dengan nama
Averror. Ibnu Rusyd adalah perintis ilmu Jaringan Tubuh (Histology). Ia berjasa dalam bidang penelitian
pembuluh-pembuluh darah serta penyakit cacar.

 Ibnu Hubal

Dokter sekaligus Penyair.

Ibnu Hubal adalah Tabib yang lahir di Baghdad sekitar 1118H. Namun ia kemudian beralih mempelajari ilmu
kedokteran. Dengan ilmunya yang baru ia berhasil menjadi dokter yang cemerlang. Karyanya yang paling penting
adalah al-Mukhtarat fi ath Tibb (edisi Haydarabad 4 jilid). Ibnu Hubal terkenal juga sebagai Penyair. Ia belajar
tata bahasa Arab dan ilmu fiqh di Nizamiyah.

 Ibnu Abi Ushaybi’ah

Ahli sejarah kedokteran.

Ibnu Abi Ushaybi’ah dikenal sebagai ahli kedokteran muslim Arab dan bibiliographer. Ia ahli sejarah kedokteran
pertama yang menulis sejarah kedokteran Arab. Ia berasal dari keluarga dokter. Ayahnya sendiri adalah dokter
mata.

 Abi Mahasin

Dokter Spesialis Mata.

Abi Mahasin dikenal sebagai dokter spesialis mata. Ia memiliki nama lengkap Khalifah bin Abi Mahasin al-
Halabi, berasal dari Aleppo, Suriah. Ia telah mulai menulis sejak tahun 1256 M. Salah satu karya tulisnya adalah
al Kafi fi al-Kuhl. Buku ini mengupas ilmu-ilmu apthalmologi (kedokteran mata). Pada beberapa bagian buku ini
diterangkan gambaran tentang pembedahan terhadap penyakit katarak, gambar-gambar sinopsis dan ilustrasi yang
menunjang buku yang ditulisnya. Banyak yang menganggap bahwa buku ini merupakan karya yang tinggi
levelnya.

 Abdul Latif

Ahli Anatomi.

Abdul Latif lahir di Baghdadmpada tahun 1162 M. Ia seorang pengembara dan ahli kedokteran anatomi. Selama
hidupnya Abdul Latif menulis kurang lebih 116 buah buku. Ia menjadi ahli anatomi pertama yang memberi
deskripsi lengkap tentang tengkorak kepala manusia dan wajah, termasuk tulang rahang bawah. Teori Galineus
mengenai tulang bawah dan tulang yang menghubungkan tulang punggung dan tulang kaki disempurnakannya
selama berada di Mesir.

 Ibnu Sina

Dokter “Super”.

Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama “Avicenna” Ia lahir di Afganistan, 980M. Pelajaran pertama yang
diterimanya secara privat saat kanak-kanak adalah Al-Qur’an dan sastra. Tak Seorang pun menyangsikan
ketajaman otaknya. Di usia 10 tahun, Ibnu Sina telah menguasai ilmu-ilmu agama : tafsir, fiqh tasawuf dan ilmu
perbandingan agama. Dan di usia 18 tahun ia telah menguasai seluruh cabang ilmu pengetahuan saat itu.

Ilmu kedkteran dia kuasai dalam waktu hanya satu setengah tahun tanpa bimbingan satu orang guru pun. Buku
yang membuat namanya melejit adalah Asy-Syifa’ (the book of discovery, buku tentang penemuan). Naskah
aslinya masih tersimapan di Oxford University. Buku ini merupakan karya marathon selama puluhan tahun.

Wahyu Murtiningsih/Buku Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah/Suara Hidayatullah/Edisi 04/XX/Agustus


2007

Perkembangan Ilmu kedokteran Dalam Peradaban Islam

AL-RAZI & IBNU SINA; Dokter Paling Berpengaruh Abad Pertengahan

Oleh : Mohammad Anwar

BAB I

Pendahuluan

 “Ilmu kedokteran tak lahir dalam waktu semalam,'' ujar Dr Ezzat Abouleish MD dalam
tulisannya berjudul Contributions of Islam to Medicine.[1] Studi kedokteran yang berkembang
pesat di era modern ini merupakan puncak dari usaha jutaan manusia, baik yang dikenal maupun
tidak, sejak ribuan tahun silam. Begitu pentingnya, ilmu kedokteran selalu diwariskan dari
generasi ke generasi dan bangsa ke bangsa. Cikal bakal ilmu medis sudah ada sejak dahulu kala.
Sejumlah peradaban kuno, seperti Mesir, Yunani, Roma, Persia, India, serta Cina sudah mulai
mengembangkan dasar-dasar ilmu kedokteran dengan cara sederhana.

Tapi peradaban keilmuan, khususnya dalam bidang kedokteran yang dicapai oleh bangsa-bangsa
itu akhirnya bergeser. Zaman pertengahan, peradaban ada ditangan Islam, dimana Ilmu
pengetahuan mendapat perhatian penuh. Tidak terkecuali ilmu kedokteran, ketika penerjemahan
dilakukan secara besar-besaran. Dari kegiatan itu, dapat dikatakan kejayaan Islam dalam
keilmuan dimulai. Inilah zaman menuju keemasan Islam, yang dalam dunia politik kekhalifahan
dipegang oleh bani Abbasiyyah.

Kontribusi peradaban Islam dalam dunia kedokteran sungguh sangat tak ternilai. Di era
keemasannya, peradaban Islam telah melahirkan sederet pemikir dan dokter terkemukan yang
telah meletakkan dasar-dasar ilmu kedokteran modern. Dunia Islam juga tercatat sebagai
peradaban pertama yang mempunyai Rumah Sakit dan dikelola oleh tokoh-tokoh professional.
Dunia kedokteran Islam di zaman kekhalifahan meninggalkan banyak karya yang menjadi
literatur keilmuan Dunia.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis, topik tentang perkembangan Ilmu kedokteran di dunia
Islam sangat penting untuk dikaji. Khazanah keilmuan Islam terbentang luas di berbagai penjuru
Dunia. Dimana itu menjadi dasar kegiatan keilmuan akademis dan praktek pengobatan lembaga-
lembaga rumah sakit sampai sekarang. Dalam makalah ini, penulis tidak bermaksud untuk
membicarakan keagungan Islam zama itu, tapi tiada lain supaya menjadi pemacu keingintahuan
dalam keilmuan. Sehingga dapat meningkatkan semangat para akademis dalam penelitian
maupun kegitan keilmuan lainnya.

Maka, dalam rangka memenuhi tujuan penulisan di atas, penulis akan mencoba memaparkan
bagaimana perkembangan ilmu kedokteran dalam dunia Islam. Baik dalam ilmu medis atau
institusi-institusi terkait. Siapa tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dalam bidang ini?
Bagaimana karya-karyanya? Dan kontribusinya terhadap Dunia Ilmu kedokteran. Tapi
sebelumnya, perlu ditelusuri lebih dahulu awal sejarah perkembangan keilmuan ini.

BAB II

Sejarah Perkembangan Ilmu Kedokteran

1. Awal Perkembangan Sebelum Islam

Seperti ungkapan Dr. Ezzat Abouleist di statemen awal pendahuluan, “Ilmu kedokteran tidak
lahir dalam waktu semalam”. Keilmuan yang berkembang dan praktek-prakteknya tidak tanpa
mula. Tapi mempunyai sejarah panjang yang dihasilkan para pendahulu hingga hasilnya dapat
dilihat saat ini. Awal mula kelahirannya dimulai pada masa peradaban Yunani. Dan bangsa-
bangsa lain sekitar pada masa itu.

Dalam peradaban Yunani, orang Yunani Kuno mempercayai Asclepius sebagai dewa kesehatan.
Pada era ini, menurut penulis Canterbury Tales, Geoffrey Chaucer, di Yunani telah muncul
beberapa dokter atau tabib terkemuka. Tokoh Yunani yang banyak berkontribusi
mengembangkan ilmu kedokteran adalah Hippocrates atau `Ypocras' (5-4 SM). Dia adalah tabib
Yunani yang menulis dasar-dasar pengobatan.

Selain itu, ada juga nama Rufus of Ephesus (1 M) di Asia Minor. Ia adalah dokter yang berhasil
menyusun lebih dari 60 risalah ilmu kedokteran Yunani. Dunia juga mengenal Dioscorides. Dia
adalah penulis risalah pokok-pokok kedokteran yang menjadi dasar pembentukan farmasi selama
beberapa abad. Dokter asal Yunani lainnya yang paling berpengaruh adalah Galen (2 M). Ketika
era kegelapan mencengkram Barat pada abad pertengahan, perkembangan ilmu kedokteran
diambil alih dunia Islam yang telah berkembang pesat di Timur Tengah, menurut Ezzat
Abouleish[2], seperti halnya lmu-ilmu yang lain.

1. Pada Masa Peradaban Islam

1. Masa Awal

Perkembangan kedokteran Islam melalui tiga periode pasang-surut. Periode pertama dimulai
dengan gerakan penerjemahan literatur kedokteran dari Yunani dan bahasa lainnya ke dalam
bahasa Arab yang berlangsung pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Pada masa ini, sarjana dari
Syiria dan Persia secara gemilang dan jujur menerjemahkan litelatur dari Yunani dan Syiria
kedalam bahasa Arab.

Rujukan pertama kedokteran terpelajar dibawah kekuasaan khalifah dinasti Umayyah, yang
memperkerjakan dokter ahli dalam tradisi Helenistik. Pada abad ke-8 sejumlah keluarga dinasti
Umayyah diceritakan memerintahkan penterjemahan teks medis dan kimiawi dari bahasa Yunani
ke bahasa Arab. Berbagai sumber juga menunjukkan bahwa khalifah dinasti Umayyah, Umar ibn
Abdul Aziz (p.717-20) memerintahkan penterjemhan dari bahasa Siria ke bahasa Arab sebuah
buku pegangan medis abad ketujuh yang ditulis oleh pangeran Aleksandria Ahrun.[3]

Pengalihbahasaan literatur medis meningkat drastis dibawah kekuasaan Khalifah Al-Ma'mun


dari Diansti Abbasiyah di Baghdad. Para dokter dari Nestoria dari kota Gundishpur dipekerjakan
dalam kegiatan ini. Sejumlah sarjana Islam pun terkemuka ikut ambil bagian dalam proses
transfer pengetahuan itu. Tercatat sejumlah tokoh seperti, Yuhanna Ibn Masawayah (w. 857),
Jurjis Ibn-Bakhtisliu, serta Hunain Ibn Ishak (808-873 M) ikut menerjemahkan literatur kuno dan
dokter masa awal.

Karya-karya original ditulis dalam bahasa Arab oleh Hunayn. Beberapa risalah yang ditulisnya,
diantaranya al-Masail fi al-Tibb lil-Mutaallimin (masalah kedokteran bagi para pelajar) dan
Kitab al-Asyr Maqalat fi al-Ayn (sepuluh risalah tentang mata).  Karya tersebut berpengaruh dan
sangat inovatif, walaupun  sangat sedikit memaparkan observasi baru. Karya yang paling
terkenal dalam periode awal ini disusun oleh Ali Ibn Sahl Rabban al-Tabari (783-858), Firdaws
al-Hikmah. Dengan mengadopsi satu pendekatan kritis yang memungkinkan pembaca memilih
dari beragam praktek, karya ini merupakan karya kedokteran Arab komprehensif pertama yang
mengintegrasikan dan memuat berbagai tradisi kedokteran waktu itu.

Perkembangan tradisi dan keberagaman yang nampak pada kedokteran Arab pertama, dikatan
John dapat dilacak sampai pada warisan Helenistik. Dari pada khazanah kedokteran India.
walaupun keilmuan kedokteran India kurang terlalu mendapat perhatian, tidak menafikan adanya
sumber dan praktek berharga yang dapat dipelajari. Warisan ilmiah Yunani menjadi dominan,
khususnya helenistik, John Esposito mengatakan “satu kesadaran atas (perlunya) lebih dari satu
tradisi mendorong untuk pendekatan kritis dan selektif “.[4] Seperti dalam sains Arab awal.

2. Masa Kejayaan

Pada abad ke-9 M hingga ke-13 M, dunia kedokteran Islam berkembang begitu pesat. Sejumlah
RS (RS) besar berdiri. Pada masa kejayaan Islam, RS tak hanya berfungsi sebagai tempat
perawatan dan pengobatan para pasien, namun juga menjadi tempat menimba ilmu para dokter
baru. Tak heran, bila penelitian dan pengembangan yang begitu gencar telah menghasilkan ilmu
medis baru. Era kejayaan peradaban Islam ini telah melahirkan sejumlah dokter terkemuka dan
berpengaruh di dunia kedokteran, hingga sekarang. `'Islam banyak memberi kontribusi pada
pengembangan ilmu kedokteran,'' papar Ezzat Abouleish[5].

Era kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran terkemuka, seperti Al-Razi, Al-
Zahrawi, Ibnu-Sina, Ibnu-Rushd, Ibn-Al-Nafis, dan Ibn- Maimon. Al-Razi (841-926 M) dikenal
di Barat dengan nama Razes. Ia pernah menjadi dokter istana Pangerang Abu Saleh Al-Mansur,
penguasa Khorosan. Ia lalu pindah ke Baghdad dan menjadi dokter kepala di RS Baghdad dan
dokter pribadi khalifah. Buku kedokteran yang dihasilkannya berjudul “Al-Mansuri” (Liber Al-
Mansofis) dan “Al-Hawi”.

Tokoh kedokteran lainnya adalah Al-Zahrawi (930-1013 M) atau dikenal di Barat Abulcasis. Dia
adalah ahli bedah terkemuka di Arab. Al-Zahrawi menempuh pendidikan di Universitas
Cordoba. Dia menjadi dokter istana pada masa Khalifah Abdel Rahman III. Sebagain besar
hidupnya didedikasikan untuk menulis buku-buku kedokteran dan khususnya masalah bedah.

Salah satu dari empat buku kedokteran yang ditulisnya berjudul, 'Al-Tastif Liman Ajiz'an Al-
Ta'lif' - ensiklopedia ilmu bedah terbaik pada abad pertengahan. Buku itu digunakan di Eropa
hingga abad ke-17. Al-Zahrawi menerapkan cautery untuk mengendalikan pendarahan. Dia juga
menggunakan alkohol dan lilin untuk mengentikan pendarahan dari tengkorak selama membedah
tengkorak. Al-Zahrawi juga menulis buku tentang tentang operasi gigi.

Dokter Muslim yang juga sangat termasyhur adalah Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037 M).
Salah satu kitab kedokteran fenomela yang berhasil ditulisnya adalah Al-Qanon fi Al- Tibb atau
Canon of Medicine. Kitab itu menjadi semacam ensiklopedia kesehatan dan kedokteran yang
berisi satu juta kata. Hingga abad ke-17, kitab itu masih menjadi referensi sekolah kedokteran di
Eropa.

Tokoh kedokteran era keemasan Islam adalah Ibnu Rusdy atau Averroes (1126-1198 M). Dokter
kelahiran Granada, Spanyol itu sangat dikagumi sarjana di di Eropa. Kontribusinya dalam dunia
kedokteran tercantum dalam karyanya berjudul 'Al- Kulliyat fi Al-Tibb' (Colliyet). Buku itu
berisi rangkuman ilmu kedokteran. Buku kedokteran lainnya berjudul 'Al-Taisir' mengupas
praktik-praktik kedokteran.

Nama dokter Muslim lainnya yang termasyhur adalah Ibnu El-Nafis (1208 - 1288 M). Ia terlahir
di awal era meredupnya perkembangan kedokteran Islam. Ibnu El-Nafis sempat menjadi kepala
RS Al-Mansuri di Kairo. Sejumlah buku kedokteran ditulisnya, salahsatunya yang tekenal adalah
'Mujaz Al-Qanun'. Buku itu berisi kritik dan penambahan atas kitab yang ditulis Ibnu Sina.
Beberapa nama dokter Muslim terkemuka yang juga mengembangkan ilmu kedokteran antara
lain; Ibnu Wafid Al-Lakhm, seorang dokter yang terkemuka di Spanyol; Ibnu Tufails tabib yang
hidup sekitar tahun 1100-1185 M; dan Al-Ghafiqi, seorang tabib yang mengoleksi tumbuh-
tumbuhan dari Spanyol dan Afrika.

Setelah abad ke-13 M, ilmu kedokteran yang dikembangkan sarjana-sarjana Islam mengalami
masa stagnasi. Perlahan kemudian surut dan mengalami kemunduran, seiring runtuhnya era
kejayaan Islam di abad pertengahan. sampai disini, penulis tidak akan menjelaskan nasib Ilmu
kedokteran masa kemunduran Islam. Karena sudah jelas Peradaban Islam mengalami kematian.
Oleh karena itu, dalam sub-bab selanjutnya penulis akan terus menulusuri warisan-warisan
peradaban Islam berkaitan dengan bidang ini. Karena banyak sekali warisan peradaban Islam
dalam bidang kedokteran, baik itu berupa teori-teori pengobatan, lembaga-lembaga, beserta
sistemnya.

C.    Warisan-Warisan Peradaban Islam Dalam Bidang Kedokteran


Era kejayaan Islam, kegiatan kedokteran semakin maju pesat. Dokter-dokter Islam sangat berjasa
dengan kontribusinya pada dunia ilmu kedokteran. Hal ini dapat dilihat melalui penemuan-
penemuan mereka dalam menganilisis dan menemukan penyakit beserta obat penawarnya, cara-
cara pengobatan, institusi-intitusi pengobatan maupun pendidikan, serta bangunan-bangunan
lembaga tang berdiri kokoh hingga sekarang.  Dibawah ini akan dipaparkan warisan-warisan
Islam yang dijelaskan diatas.

Penemuan-penemuan  Islam Dalam Bidang Medis

1)      Urologi, Bakteriologi, Anesthesia, Surgery, Ophthamology, Psikoterapi

Salah satu penemuan Islam yang juga diungkap oleh karya-karya Barat dalam bidang medis
adalah Urologi. Urologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang khusus menangani tentang
penyakit ginjal dan saluran kemih serta alat reproduksi. Mengenai cabang ilmu ini ditulis dalam
kitab Prof. Rabie E Abdel-Halim, bertajuk Paediatric Urology 1000 Years Ago. Dikitab ini
disebutkan keberhasilan dunia kedokteran muslim pada seratus tahun seribu tahun silam dalm
bidang Urologi.

Dalam ilmu Urologi dikaji oleh empat dokter Islam dalam karyanya masing-masing. Kitab
keempat dokter tersebut ialah Kitab al-Hawi fi al-Tibb karya al-Razi, Risalah fi Siyasat as-Sibian
wa- Tadbirihim, karya Ibnu al-Jazzar, kitab at-Tasrif li-man ‘Ajiza ‘an at-Ta’lif, karya Al-
Zahrawi, dan Al-Qanun fi at-TIbb, karya Ibnu Sina. Dalam Urologi ini, mereka membahas dan
menganalisis penyakit ginjal dan yang lainnya dengan gejala-gejal yang timbul tentunya. Mereka
berhasil mengembangkan warisan-warisan ilmu medis YUnani dan menciptakan penemuan baru.

Cabang-cabang Ilmu kedokteran yang  tidak bias saya jelaskan semuanya dari  ilmuwan Islam,
diantaranya Anesthesia, Surgery, Ophthamology, Psikoterapi. Bakteriologi, Ilmu yang
mempelajari kehidupan dan klasifikasi bakteri. Dokter Muslim yang banyak memberi perhatian
pada bidang ini adalah Al-Razi serta Ibnu Sina. Anesthesia, suatu tindakan menghilangkan rasa
sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Ibnu Sina tokoh yang memulai mengulirkan ide menggunakan anestesi oral. Ia
mengakui opium sebagai peredam rasa sakit yang sangat manjur.

Surgery, Bedah atau pembedahan adalah adalah spesialisasi dalam kedokteran yang mengobati
penyakit atau luka dengan operasi manual dan instrumen. Dokter Islam yang berperan dalam
bedah adalah Al-Razi dan Abu al-Qasim Khalaf Ibn Abbas Al-Zahrawi. Ophthamology, cabang
kedokteran yang berhubungan dengan penyakit dan bedah syaraf mata, otak serta pendengaran.
Dokter Muslim yang banyak memberi kontribusi pada Ophtamology adalah lbnu Al-Haytham
(965-1039 M).

Selain itu, Ammar bin Ali dari Mosul juga ikut mencurahkan kontribusinya. Jasa mereka masih
terasa hingga abad 19 M. Psikoterapi, serangkaian metode berdasarkan ilmu-ilmu psikologi yang
digunakan untuk mengatasi gangguan kejiwaan atau mental seseorang. Dokter Muslim yang
menerapkan psikoterapi adalah Al-Razi serta Ibnu Sina.[6]

2)      Aneka Metode Terapi dalam Medis Islam


Kometerapi, Krometerapi, Hirudoterapi

Kometerapi adalah metode peratan penyakit dengan menggunakan zat kimia untuk membunuh
sel penyakit kangker. Perawatan ini berguna untuk menghambat kerja sel. Dalam penggunaan
modernnya, istilah ini merujuk kepada obat antineoplastik yang digunakan untuk melawan
kangker. Kometerapi pertama kali dikenalkan oleh dokter legendaris muslim, Al-Razi. Al-Razi
merupakan dokter pertama yang memperkenalkan penggunaan zat-zat kimia dan obat-obatan
dalam penyembuhan. Zat-zat itu meliputi belerang, tembaga, merkuri, garam arsenik, sal
ammoniac, gold scoria, ter, aspal dan alcohol.

Krometerapi merupakan metode perawatan penyakit dengan menggunakan warna-warna. Terapi


ini merupakan terapi suportif yang dapat mendukung terapi utama. Menurut praktisi krometerapi,
penyebab dari beberapa panyakit dapat diketahui dari pengurangan warna-warna tertentu dari
system dalam menusia. Terapi ini dikembangkan oleh Ibnu Sina. Ia mampu menggunakan warna
sebagai salah satu bagian paling penting dalam mendiagnosa dan perawatan. Seperti yang telah
ia ungkapkan dalam kitabnya, The Canon of Medicane, “warna merupakan gejala yang nampak
dalam penyakit”.[7]

Hirudoterapi merupakan terapi penyembuhan penyakit dengan menggunakan pacet/lintah


sebagai obat untuk tujuan pengobatan. Metode terapi ini juga diperkanalkan oleh Ibnu Sina
dalam karya yang sama. Tapi dalam kemajuannya, pengobatan dengan lintah inidiperkenalkan
lagi oleh Abdel-Latief pada abad ke-12 M[8]. yang kurang lebih menulis bahwa lintah dapat
digunakan untuk membersihkan jaringan penyakit setelah operasi pembedahan.

Metode-metode ini banyak disadur dan dikembangkan dalam dunia modern. Hingga istilah dan
penyebutannya pun berbeda. Misalnya, kometerepi, di dunia modern bisa digunakan kombinasi
sitostika dan disebut regimen kometerapi. Padahal sebelumnya penggunaan kometerapi
digunakan satu jenis saja. Kometerapi pertama modern adalah asrsphenamine karya Paul Ehrlich,
sebuah Arsenic komplel ditemukan pada tahun1909 dan digunakan untuk merawat sipilis[9].
Dan tentunya masih banyak lagi metode terapi atau cara pengobatan lain dari khaazanah ilmu
kedokteran Islam.

Institusi-Institusi dan Sistemnya

1.      Pendidikan

Abad ke-12 dan ke-13 gelombang besar melanda aktivitas kedokteran, ketika para dokter dari
seluruh dunia Muslim mengejar karir institusi medis di Damaskus dan Kairo. Karena sudah
banyak Rumah Sakit yang didirikan dan memerlukan lebih banyak dokter dalam
pengoprasiaanya. Rujukan pertama dalam mendapatkan ilmu kedokteran adalah Institusi
pendidikan seperti madrasah (sekolahan).

Di Damaskus abad ke-13, Muhadzadzab al-Din al-Dakhwar membuat sebuah sekolahan dalam
rangka pengajaran kedokteran eksklusif.[10] Sekolah tersebut disambut gembira oleh pemimpin
otoritas keagamaan kota tersebut. Ada yang mengatakan, sekolah kedokteran pertama yang
dibangun umat Islam sekolah Jindi Shapur. Khalifah Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah yang
mendirikan kota Baghdad mengangkat Judis Ibn Bahtishu sebagai dekan sekolah kedokteran itu.
Pendidikan kedokteran yang diajarkan di Jindi Shapur sangat serius dan sistematik.

Pendirian Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang tidak hanya mempelajari bidang
keagamaan, mulai gencar pada abad ke-14 pada era Usmaniah hingga Sultan Muhammad
berkuasa. Madrasah tersebut banyak mencetak yang tidak hanya ulama’, tapi seorang ilmuwan.
Dokter-dokter pun banyak terlahir dalam pendidikan ini. Pendidikan era Usmani ini, mempunyai
konsep dan metode khusus  dalam mendidik tenaga medis, selain sudah memiliki tabib, yang
dikenal spesialis penyakit pada era itu.

Ternyata dalam era Usmani, pendidikan kedokteran tidak hanya dilakukan di gedung sekolahan,
tapi juga di sebuah Rumah Sakit yang memang ada khusus tempat didik calon dokter. Bedanya
dengan madraah, di RS tidak hanya diajari teori-teori seputar kedokteran, tapi juga praktek medis
langsung. Sedangkan Madrasah lebih banyak mempelajari seluk beluk kedokteran secara teoritis.

2.      Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan salah satu prestasi institusional terbesar masyarakat Islam abad
pertengahan. Antara abad ke-9 dan ke-10 lima RS dibangun di Baghdad. Rumah sakit paling
terkenal adalah RS Adudi yang dibangun di bawah pemerintahan Buyudiyah pada tahun 982.
Setelah periode ini jumlah RS meningkat signifikan. Ketika institusi terkenal seperti RS Nuri di
Damaskus (abad ke-12), dan RS al-Mansuri di Kairo (abad ke-13) dibangun bersamaan dengan
RS lain di Qayrawan, Mekkah, Madinah, dan Rayy. [11]

Institusi-intitusi medis terbuka bagi semua orang yang memerlukan pengobatan atau obat. Tidak
memandang gender, ras, kelas, orang miskin atau kaya, agama. Perawatan medis bergerak secara
bergilir ke pelosok-pelosok desa dan juga melayani pengobatan para narapidana. System
peraturan dan menageman  RS juga telah diterapkan. Dengan adanya pemisahan antara pasien
wanita dan laki-laki, jadwal kerja para dokter, terdapat seorang administrator kepala, seorang
kepala setaf yang juga memiliki wewenang menjalankan operasi medis.

Beberapa RS tersedia tempat pendidikan, perpustakaan dan juga ruang-ruang khusus operasi atau
pembedahan. Regulasi yang telah terorganisasikan secara sistematis, juga didukung dengan
sarana-sarana lainnya. Seperti Muhtasib (supervisor pasar) yang merupakan pegawai public,
berwenang untuk memberikan perlindungan melawan praktek curang. Manual hisbah (supervise
pasar), disusun untuk menjelaskan kewajiban muhtasib.

Dalam RS lebih maju terdapat berbagai fasilitas seperti apa yang telah dijelaskan. Termasuk
apotek (toko obat) khusus untuk melayani pembelian obat masyarakat umum. Berbicara
mengenai apotek, Islam juga mewarisi apotek-apotek yang dibangun oleh apoteker Islam zaman
dulu. Sharif Kaf al-Ghazal dalam tulisannya bertajuk The Valueble contributions of Al-Razi in
the History of pharmacy during the middle Ages, mengungkapkan, apotek pertama di dunia
berdiri di kota Baghdad pada tahun 754 M. Saat itu Baghdad sudah menjadi Ibu kota
Kekhalifahan Abbasiyah.[12]
Selain itu, peradaban Islam juga merupakan pendiri sekolah farmasi pertama. Dengan
berkembangnya ilmu farmasi yang begitu cepat membuat apotek atau toko-toko obat tumbuh
berdiri di kota-kota Islam. Hampir di setiap RS besar dilengkapi dengan apotek instalasi
farmakologi. Bahkan di era Abbasyiah, para ahli-ahli obat mempunyai apotek sendiri
dirumahnya dan menggunakan keahliannya untuk meracik, menyimpan aneka obat-obatan
sendiri. Pemerintah Islam juga mendukung pembangunan dibidang farmasi, dengan tujuan
adanya selektifikasi atau ketelitian dalam obat.

 Secara bersamaan, praktek sosial medis ini menjadikan kedokteran Islam berada pada satu
tingkatan yang tak terprediksikan dalam sejarah yang selanjutnya memberi kontribusi pada
perkembangan tradisi medis Timur maupun Barat.

Etika Kedokteran

Dalam praktek pengobatan dan perawatan pada pasien perlu diterapkan etika. Para dokter harus
memiliki sikap tersebut dalam menjalankan profesinya itu. Karena itu sangat berpengaruh pada
keberhasilannya dalam menyembuhkan pasien. Selain sikap itu khusus untuk menjaga nama baik
atau keprofesionalan seorang dokter, sikap-sikap etis dokter juga berkaitan dengan psikologi
pasien. Bagaimana seorang dokter mampu menciptakan suasana, menciptakan rasa percaya diri
untuk sembuh dan sebagainya.

Profesi dokter yang disandang  seseorang, sangat terhomat di mata pasiennya. Oleh karena itu
untuk menjaga kehormatan, nama baik maupun keharmonisan antara dokter dan pasiennya, perlu
diterapkan sikap-sikap etis yang diemban para dokter. Berangkat dari situ, tradisi kedoteran para
era kejayaan Islam menetapkan peraturan atau kode etik harus diemban oleh para dokter. Hingga
era kekhalifahan Usmani peraturan berjalan sangat ketat. Para dokter muslim diwajibkan
memegang teguh etika kedokteran dalam mengobati pasiennya.

Akdeniz (sari) N mengatakan dalam karyanya, Osmanlilarda Hekim ve Hekimlik Ahlaki (Dokter
Ottoman dan Etika Kedokteran), “setiap dokter harus mematuhi etika kedokteran dalam setiap
tindakannya”.[13] Menurut is secara garis besar ada empat hal yang harus dipegang teguh oleh
para dokter di era kekhalifahan Turki Usmani, yaitu kesederhanaan/kesopanan,
kepuasan,harapan dan kesetiaan. Akdeniz juga berpendapat berdasarkan catatan para tokoh di
zaman Turki Usmani, etika kedokteran mengatur dokter saat berinteraksi dengan pasiennya.

Nilai kesopanan dalam kutipan Akdeniz, tercermin dari sikap seorang dokter bijak abad 16 M
zaman Turki Usmani yang bernama Nidai. Nidai menasehati pasiennya ketika memuji dirinya
setelah berhasil menyembuhkan, bahwa Allah-lah yang sebenarnya menyembuhkan. Nilai
kesetiaan disarankan dokter terkemuka era Turki, Vesim Abbas bahwa dokter harus setia dengan
pasien dalam pengobatannya walaupun pasien bertindak tidak baik.

Dalam nilai kepuasan ia juga menuturkan bahwa seorang dokter harus merasa puas terhadap
keberhasilannya mengobati dan menyembuhkan pasien tanpa ambisi mendapatkan uang. Begitu
juga rasa optimisme, seorang dokter tidak boleh menyebabkan pasiennya mengalami
keputusasaan. Seperti yang diajarkan dokter abad 15 M, Ibnu Shareef, dokter harus
mengembangkan dan menumbuhkan rasa optimisme para pasiennya. Bahkan tidak boleh
memberitahukan terkait kematiannya.

Tapi dalam karyanya, “Tip Deontolojisi” Prof. Nil tampaknya menunjukkan kesayanga.
Menurut Prof. Nil dizan modern ini, telah terjadi perubahan yang begitu besar. Akibat pesatnya
perkembangan pengetahuan dan teknologi medis.[14] Akibatnya nilai-niai moral yang dipegang
teguh dokter mulai terkikis dan tergantikan dengan nilai-nilai baru. Berbeda dengan ungkapan
Beauchamp LT dalamkarya Childress FJ: Principless of Biomedical Ethics, pada abad ke-20 M,
kemajuan besar telah dicapai dibidang studi etika medis. Etika medis saat ini terkonsentrasi pada
pemecahan pilihan moral sesuai dengan prinsip-prinsip etika dan peraturannya.[15]

BAB III

AL-Razi dan Ibnu Shina; Analisis Pemikiran & Komparasi antara Keduanya

Menelusuri kembali kelahiran dan perkembangan ilmu kedokteran Islam, tidak mungkin kita
lewatkan para tokoh yang sangat berperan dalam meletakan karya dan ilmunya, khususnya
dalam bidang kedokteran. Al-Razi dan Ibnu Sina adalah tokoh penting yang karya-karyanya
paling berpegaruh  di dunia. Para tokoh dan dokter di dunia tidak melewatkan literatur dari
keduanya sebagai acuan dasar dalam keilmuan.

Sebenarnya ada banyak dokter Islam lainnya yang tidak kalah penting dari karya dan
penemuannya dalam bidang medis. Dengan kedua tokoh tersebut, penulis tidak hanya
menunjukkan karya dan kontribusinya yang di kenal dunia. Tapi lebih melihat perbedaan titik
poin atau kefokusan penelitian keilmuan medis antara keduanya.

A.    AL-RAZI

Dunia keilmuan, khususnya kedokteran modern, harus mengakui peran dan gagasan tokoh Islam
yang satu ini. Selain seperti yang kita kenal, Ibnu Shina yang merupakan perintis awal Ilmu
kedokteran. Dia adalah Muhammad bin Zakaria Al-Razi, atau lebih dikenal dengan nama Al-
Razi. Menempati bidang ini pada usia yang dapat dibilang sudah tidak muda lagi.

Ia lahir di Rayy, dekat Teheran, Iran, pada tahun 846 M. (w. dikota yang sama pada tahun 925
M).[16] Al-Razi yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad Zakaria al-Razi sebagai seorang
pribadi atau pemikir, dia sangat disegani dan dihormati kalangan sarjana barat.  Seperti A.J.
Aberry, yang menulis pengantar dalam buku Al-Razi, The Spiritual Physic of Rhazes
(penyembuhan rohani). Walaupun sudah menginjak usia tua, ketekunannya dalam bidang
kedokeran menghasilkan karya-karya sangat monumental. Humayun bin Ishaq adalah gurunya di
Baghdad.

Dengan karya-karya yang dihasilkan dalam bidang kedokteran, pengabdian dan kejeniusan al-
Razi diakui oleh Barat. Banyak ilmuan Barat menyebutnya sebagai pionir terbesar dunia Islam
dibidang kedokteran. “Razhes merupakan tabib terbesar dunia Islam, dan satu yang terbesar
sepanjang sejarah”, jelas Max Mayerhof. Sementara sejarawan barat terkenal, George Sarnton,
mengomentari al-Razi , “AL-Razi dari Persia, dia juga kimiawan dan fisikawan. Dia bisa
dinyatakan salah seorang salah seorang perintis latrokimia zaman renaisans,,,maju dibidang teori,
dia memadukan pengetahuannya yang luas melalui kebijaksanaan Hippokratis”.[17]

Dalam karyanya, Al-Mansuri” (Liber Al-Mansofis) Ia menyoroti tiga aspek penting dalam
kedokteran, antara lain; kesehatan publik, pengobatan preventif, dan perawatan penyakit khusus.
Bukunya yang lain berjudul 'Al-Murshid'. Dalam buku itu, Al-Razi mengupas tentang
pengobatan berbagai penyakit. Buku lainnya adalah 'Al-Hawi'. Buku yang terdiri dari 22 volume
itu menjadi salah satu rujukan sekolah kedokteran di Paris. Dia juga menulis tentang pengobatan
cacar dan cacar air dalam Kitab fil al-Jadari wal-Hasba yang merupakan catatan pertama tentang
metode diagnosis dan perawatan atas dua penyakit dan gejal-gejalanya.

B.     IBNU SINA

Dunia Islam memanggilnya Ibnu Sina, tapi kalangan Barat menyebutnya dengan panggilan
Avicenna. Ia merupakan seorang ilmuan, filsuf dan dokter pada abad ke-10. Selain itu dia juga
dikenal dengan penulis yang produktif. Dan sebagian banyak tulisannya berisi tentang filsafat
dan pengobatan. Karya-karyanya membanjiri literatur modern dan mengilhami karya-karya
pemikir barat. Abu Ali Al-Hussain bin Abdullah bin Sina lahir di Afshana, dekat kota Bukhara,
Uzbeskiztan pada tahun 981 M. Kecerdasannya ditunjukkan pada usia 17 tahun, dengan tingkat
kejeniusan yang sangat tinggi dia telah memahami seluruh teori kedokteran yang ada pada saat
itu dan melebihi siapun juga. Karena kecerdasannya itu dia diangkat sebagai konsultan dokter-
dokter praktisi.

Pengaruh pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam
tetapi juga merambah Eropa. Berbicara tentang karya-karyanya, tulisannya mencapai 250 karya.
Baik dalam bentuk risalah maupun buku. Karyanya bayak dijadikan rujukan dalam bidang
kedokteran oleh banyak kalangan pemikir. Diantaranya Qanun fi Thib, dalam buku ini berisi
tentang bagaimana cara penyembuhan dan obat-obatan. Dalam dunia Barat kitab ini
diterjemahkan dengan nama The Canon of Madicine. Dan ada pula yang menyebutnya
Ensiklopedia pengobatan.  Asy-Syifa, dalam buku ini berisi menganai berbagai jenis penyakit,
obatnya dan sekaligus cara pengobatannya berkaitan dengan penyakit bersangkutan.

C.    Analisis & Komparasi Metode Dasar antara Al-Razi dan Ibnu Sina Dalam Ilmu
Kedokteran

Sebelum membandingkan kedua pemikiran tokoh tersebut, perlu dijelaskan bagaimana landasan
pengobatan menentukan adanya gejala penyakit sehingga bidang medis menjadi sebuah ilmu
yang terstruktur. Yang nantinya menjadi dasar pemikiran kedua tokoh tersebut. Kembali pada
Abad kesembilan atau tepatnya pada akhir abad kesembilan, tradisi kedokteran Islam
berkembang pesat. Hal itu ditandai dengan terintegrasinya sistem patologi[18] jenaka (humoral)
dari Galen dalam kedokteran Islam. Patologi Humoral didasarkan pada empat gagasan humor
(darah, lendir, empedu biru, dan empedu hitam) dan kaitannya dengan empat elemen (udara, air,
api dan tanah), juga pada empat kualitas (panas, basah, dingin, kering).

Keseimbangan humor dan kualitas ini menentukan kesehatan, karena itu, ketidak seimbangan
dianggap sebagai sebab timbulnya penyakit. Inilah titik sebab kenapa perawatan dan pengobatan
itu dilakukan, agar dapat membangun atau memelihara kembali keseimbangan kondisi tubuh
yang kacau (sakit). Artinya internal tubuh didapat dalam keadaan baik sebagaimana fungsinya
dan tentunya harus didukung kondisi atau cuaca lingkungan yang kondisif. Melalui penggunaan
jenis-jenis makanan, obat-obat tertentu dan melalui pengeluaran darah kotor serta pencahar (obat
cuci perut).

Sistem yang menjelaskan ilmu kedokteran ini, telah didasari dengan tingkat argumentasi logis
tertentu. Didukung dengan observasi medis untuk menentukan adanya penyakit yang hinggap
dan memberikan penawarnya (obat). Maka dari itu diskursus teoritis sangat ditekankan pada
observasi klinis, dan pertimbangan teoritis memainkan  peran utama dalam strukturisasi dan
organisasi pengetahuan medis. Artinya, penelitian atau pengamatan medis tidak hanya bergerak
dalam ranah teori atau wacana. Tapi juga harus didukung pengamatan  empiris (klinis).

Kalau kedua dasar dalam membentuk sebuah ilmu pengetahuan medis tersebut dapat dilakukan
dengan dengan seimbang. Maka kegiatan keilmuan akan menjadi sempurna dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga dapat menjadi disiplin ilmu yang dapat diaplikasikan atau
diamalkan. Hal itulah yang dikembangkan ilmu kedokteran Islam dengan sistemisasi dan
rasionalisasi. Dimana yang pertama kali dilakukan adalah usaha untuk mengorganisir bidang luas
ilmu kedokteran dan semua cabangnya menjadi satu struktur komprehensif dan logis.

Tapi sejarah mengatakan, dalam keilmuan medis ada yang fokus pada pengkajian atau
pengamatan klinis dalam membangun keilmuannya. Dengan menekankan pada kedokteran klinis
atau kedokteran kasus dalam prosedur perawatannya. Representasi yang cukup mewakili dalam
penggunaan metode ini adalah Al-Razi. Dalam tulisan-tulisannya dapat dilihat bagaimana al-
Razi mengungkapkan kritikan terhadap teoritis atas ilmu kedokteran yang diwarisinya. Dimana
dia memfokuskan pada metode dan praktek.

Dalam karyanya yang lain, Al-Razi memberi tekanan lebih besar pada diagnosis dan terapi
observasional daripada diagnosis teoritis atas sakit dan perawatannya. Metodenya ini dibuktikan
dalam karyanya yang berjudul  Kitab fi al-Jadari wal-Hasba (buku tentang cacar dan cacar air).
Ketidak sepakatannya dengan metode teoritis semakin jelas jika dilihat dari kitab terbesarnya, al-
Hawi fi al-Tibb. Karena kitab ini sudah jelas tidak diatur menurut paradigma teoritis formal.
Didalamnya berisi tentang ensiklopedi kedokteran klinis hasil observasi al-Razi sendiri.

 Dalam keilmuan medisnya, baik dari karya kitab, risalah-risalah maupun metode pengobatan ,
Al-Razi menggunakan klasifikasi ilmu kedoktran terapis, bukan teoritis. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa dasar perawatannya mengandalkan hasil-hasil eksperimentasi. Seperti yang
dikatakan John L.E. “Al-Razi tidak melakukan perawatan berdasarkan kesimpulan logis; namun
ia melakukan apa yang sering mampu mengendalikan ekperimentasi”. Dan terakhir, secara logis
penulis mempunyai kesimpulkan sementara bahwa al-Razi menolak metode teoritis (logis),
kecuali sesuai, setelah dilakukan ekperimentasi (pengamatan empiris).

Masih membahas metode dasar keilmuan medis (kedokteran), Ibnu Sina mempunyai metode
yang berbeda dari al-Razi dalam melakukan kajian keilmuan medis. Ia lebih memfokuskan pada
kajian teoritis, dan melakukan sistematisasi ilmu kedokteran sebagai sebuah disiplin ilmu. Oleh
karena itu ia terkenal sebagai bapak kedokteran Islam, bahkan dunia. dalam perjalanan
intelektual Ibnu Sina, dalam hal ini bidang medis, ia melakukan kajian ulang terhadap warisan-
warisan karya medis.

Hal itu dimenivestasikan dalam karya monumentalnya, al-Qanun fil al-Tibb (kanon kedokteran).
Magnum opusnya al-Qanun ditulis dengan maksud membuat karya kanonis definitif mengenai
kedokteran, yang sangat komprehensif sekaligus teoritis.[19]  Semua refleksi teoritis dan
sistematis atas karya-karya sebelumnya tercover dalam buku ini. Berawal dari anatomi, kemudia
fisiologi, patologi dan akhirnya terapi. Walaupun dia juga melakukan observasi, kegiatannya ini
terbilang lemah atau tidak fokus dilakukan.

Corak teoritis dalam karya kedokterannya, bisa dibilang terpengaruh dengan pemikirannya
dalam bidang filsafat yang tak lepas dari pengaruh Aristoteles. Dimana ia lebih menekankan
pada pendekatan logis sistematis. Sistem ilmu kedoteran yang disusun olehnya, menghasilkan
koherensi dari aplikasi kontinyu dengan memegang prinsip logis dan teoritis. Kekhasan karya-
karya Ibnu Sina dapat merubah tradisi ilmu kedokteran Islam yang mengutamakan praktek dalam
pengobatan. Yang tidak melihat relevansinya terhadap kajian teoritis.

Jika dilhat lagi keidealan ilmu pengetahuan yang terungkap dalam paragraf-paragraf pertama,
kedua pemikiran antara al-Razi dan Ibnu Sina dapat digabungkan menjadi disiplin Ilmu
kedokteran yang kuat. Walaupun Ibnu Sina mendapat penghargaan atas disiplin Ilmu kedokteran,
namun ia lemah dalam pengamatan empiris. Tapi tidak lantas dapat disimpulkan keduanya
menolak pendekatan teoritis atau observatif. Hanya saja titik perhatiannya terfokus salah satu
metode yaitu antara obserfatif dan teoritis logis.

Al-Razi tidak menolak kesimpulan logis dalam ilmu medis, tapi menerima dengan syarat
melakukan ekperimentasi lebih dulu. Sedangkan Ibnu Sina tidak juga menolak metode observatif
atau klinis, bahkan dia melakukannya. Tapi hanya saja, pusat perhatiannya lebih pada logis
teoritis. Pemikiran kedua tokoh kedokteran tersebut mempunyai kekhasan tersendiri. Oleh karena
itu metode keduanya dapat memberi masukan satu sama lain. Sebagai contoh, pengamatan medis
secara Al-lRazi sebagai dasar perawatannya dapat diperkuat dengan diskursus teoritis logia ala
Ibnu Sina.

BAB IV

Penutup

Dari penjelasan yang panjang lebar di atas, mengenai tema Ilmu Kedokteran dalam Islam dapat
diambil kesimpulan bahwa Khazanah Pengetahuan Islam dalam bidang kedokteran sangat kaya
dan luas. Hal itu dapat dilihat dari karya-karya para tokoh kedokteran Islam. Saksi sejarah yang
lain juga terlihat pada bangunan-bangunan Institusi kedokteran atau rumah sakit, apotek dan
institusi yang lain.

Wearisan-warisan Islam dalam bidang kedokteran tersebut tidak hanya menjadi kenangan masa
lampau. Tapi lewat karya dokter-dokter Islam, para ilmuwan Timur maupun Barat dapat
menguras habis teori-teori atau metode pengobatan dan analisis berbagai penyakit beserta
obatnya. Dengan begitu literature-literatur Islam dalam ilmu medis dapat mengilhami banyak
ilmuwan atau dokter dunia.

Al-Razi dan Ibnu Sina adalah salah satu dari sekian banyak dokter Islam yang menurut penulis
paling berpengaruh dalam keilmuan ini. Dimana dapat dilihat penjelasan di atas, khazanah
pemikiran dan kontribusinya sangat luas  dan kaya. Dengan dasar kekhasan pemikiran kedua
tokoh tersebut penulis menempatkan bab khusus untuk membanding metode atau titik fokus
dalam kegiatan kedokterannya. Dan didapatkan suatu keharmonisan yang saling melengkapi jika
metode-metode tersebut dikaji dan diaplikasikan dengan tetap memagang prinsib keseimbangan.

Hal itu sudah terwujud dengan melihat perkembangan kedokteran sekarang. Seperti, cara
pengobatan yang sudah maju, penemua penawar (obat) bagi penyakit-penyakit, adanya dokter-
dokter profesional dan sebagainya. Dengan ini semua seharusnya Islam tidak hanya berbangga
diri tapi dijadikan suatu cambukkan untuk terus semangat, kreeatif dan berkerja keras dalam
mengambangkan ilmu pengetahuan.

 Jakarta, 17 Januari 2010

DAFTAR PUST AKA


Esposito, L. John.Sains-Sains Islam. Terjemahan oleh M. Khoirul Anam.2004. Jakarta: Inisiasi
Press.

Sucipto, Hery.2003. Ensiklopedi Tokoh Islam, dari Abu Bakar sampai Nasr dan Qardhawi.
Jakarta: Penerbit Hikmah.

Seyyed Hossein, Oliver Leaman.2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Bandung: Mizan.

“Ibnu Sina Bapak Kedokteran Dunia”, REPUBLIKA, 15 Juli 2009.

“Al-Razi, Pencetus Kemoterapi”, __________. 16 Juni 2009.

“Pendidikan Kedokteran di Era Turki Usman”, _________. 2 Juni 2009.

“Etika Kedokteran di Era Turki Usmani”, ___________ . 16 Juni 2009.

“KEMOTERAP, Terapi Penyembuhan Kanker Warisan Islam”,_____________ 20 Mei 2009.

[1] http://www.gaulislam.com/menguak-jejak-kedokteran-islam

[2] Ibid,

[3] John L. Esposito, Sains-Sains Islam,.(terjmh). Jakarta: Inisiasi Press 2004. hal.67.

[4] Ibid. hal. 69.

[5] http://www.gaulislam.com/menguak-jejak-kedokteran-islam.

[6] Ibid.

[7] “KOMETERAP, terapi penyembuhan kangker warisan Islam”, REPUBLIKA.

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] John L. Esposito, Sains-Sains Islam,.(terjmh). Jakarta: Inisiasi Press 2004. hal.77.
[11] Ibid.

[12] “Ilmuan Muslim Penopang Apotek” REPUBLIKA. 18 Juli 2009.

[13] “Etika Kedokeran di Era Turki Usman”,REPUBLIKA. 15 Juli 2009.

[14] Ibid.

[15] Ibid

[16] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam, dari Abu Bakar sampai Nasr dan Qardhawi.
(Jakarta: Hikmah 2003). Hal.123.

[17] Ibid,hal 125

[18] “cabang bidang kedokteran yang berkaitan dengan ciri-ciri dan perkembangan penyakit
melalui analisis perubahan fungsi atau keadaan bagian tubuh”.

[19] John L. Esposito, Sains-Sains Islam,.(terjmh). Jakarta: Inisiasi Press 2004. hal.72.

Anda mungkin juga menyukai