Anda di halaman 1dari 76

Julianto Simanjuntak

Roswitha Ndraha

Mencinta
Hingga
Terluka

Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2013


Buku ini kami dedikasikan kepada kedua Ibunda kami.

Jasmine Hulu
Dan
Nurmala br Simorangkir

Mereka mencinta, mereka terluka


Mereka berjuang, dan mereka menang.

Ebook ini hanya terdiri dari 5 bab,


jika ingin memesan hard copy hubungi:
pesanbuku@pelikanindonesia.com
Daftar Isi

Pengantar
Ucapan Terimakasih

Bab 1
Jangan Takut Terluka

Bab 2
Cinta Itu Memaafkan

Bab 3
Mengampuni Tak Harus Melupakan

Bab 4
Cinta Itu Memulihkan

Bab 5
Cinta Harus Berkorban

Bab 6
Cinta Itu Sabar

Bab 7
Cinta Itu Tangguh

Bab 8
Merawat Cinta

Refleksi Akhir

Tentang Penulis
Pengantar

Edisi Revisi

Mencinta sampai terluka. Tema ini terinspirasi dari


Mother Teresa yang sangat dikenal dengan gerakannya di
Calcutta. Dikisahkan, suatu hari, Bunda Teresa berkeliling
dari gang ke gang di kampung-kampung Calcutta.
Bunda Teresa! teriak seorang pengemis yang
sambil menggelesotkan kakinya mendekat pada Bunda
Teresa.
Ini untukmu. Aku ingin memberikannya padamu,
kata pengemis itu sambil memberikan semangkuk uang
receh rupee hasil jerih payahnya mengemis hari itu
Mother Theresa menolak halus dan berkata,
Mengapa, Bu? Bukankah ini untuk makan Ibu hari ini?
Tidak usah, Bu.
Pengemis itu memandang Bunda Teresa dengan
mata berkaca-kaca. Dia memang belum makan dari pagi.
Teresa memperhatikan baju yang lusuh dan kulit berbalut
tulang yang berlutut di depannya. Bunda Teresa
mendekat.
Tapi, Bunda, bujuk pengemis itu, ada yang jauh
lebih menderita dari pada aku. Terimalah, Bunda. Berikan
uang ini kepadanya, kata si Pengemis itu penuh harap.
Bunda Teresa tidak berani menolak. Baik, baik aku
terima. Terimakasih, ucap Bunda Teresa, menepuk haru
bahu pengemis itu, tanda menghargai jerih payahnya.
Suatu pesan dia tangkap dari hadiah sang pengemis
itu. Betapa ia memberikan hartanya dengan segala cinta
demi membahagiakan orang lain. Inilah mencintai sampai
terluka. Pengemis itu tidak mengindahkan keringat,
keletihan dan luka goresan di jalanan berdebu dan panas,
yang dialaminya hari itu. Ia memberikan dengan cintanya.
Dalam buku ini Anda akan belajar beberapa kekuatan
cinta. Cinta bukanlah sekedar perasaan, keinginan atau
pikiran. Cinta bukanlah sekedar harapan atau cita-cita
dalam diri kita. Cinta adalah ketrampilan. Cinta sejati
adalah cinta yang dihidupi dan dimiliki lewat berbagai
ujian. Cinta sejati justru diuji oleh peristiwa dan orang,
yang menaburkan hal-hal yang bertentangan dengan cinta
itu sendiri.

Beberapa bagian buku ini ada penjelasan sederhana


dan kesaksian tentang aspek cinta: cinta itu sabar, cinta
memaafkan, cinta itu tangguh, cinta itu keras, cinta itu
berkorban dan cinta itu memulihkan. Dari pengalaman
konseling, kami akhirnya menyadari bahwa cinta itu
membutuhkan latihan; ujian cinta juga membutuhkan
model dan pembelajaran yang konsisten.

Selamat membaca!

Maret 2011
Julianto dan Roswitha
Ucapan Terima kasih

Sejak kami mendapatkan banyak respon dari para


para pembaca buku kami Seni Merayakan Hidup yang
Sulit, kami mulai menyadari salah satu kesulitan besar
yang dialami klien dan pembaca kami adalah masalah
relasi. Minimnya skill mengampuni, rendahnya harga diri
serta rendahnya kemampuan berempati telah
menimbulkan banyak luka dan sakit hati pada mereka.
Masalah utama klien kami adalah bukan seberapa besar
lukanya, tetapi seberapa besar cintanya menanggung luka
hatinya.

Terima kasih pada setiap klien dan sahabat yang


sudah berbagi luka dengan kami di ruang-ruang konseling
kami. Terimakasih khususnya untuk rekan yang bersedia
menampilkan kisah lukanya dalam buku ini. Semua nama
kami samarkan. Memang tidak gampang menceritakan
ulang luka hidup kita, karena seperti mengorek luka lama.

Terimakasih untuk Persekutuan Pembaca Alkitab


yang memberikan izin kepada kami mengutip sebagian
dari halaman-halaman buku Berdoa Sesuai Firman.
Terima kasih kami kepada semua sahabat pendukung,
pengurus serta staf kantor Pelikan. Terima kasih untuk
banyak lembaga yang memungkinkan pelayanan konseling
kami tersebar luas hingga ke seantero negeri ini.
Terima kasih untuk Prof. Yohanes Surya, yang
banyak memberikan inspirasi dan motivasi baik saat
mengajar di komunitas Pelikan maupun saat sharing
pribadi. Bapak telah memberikan kami semangat lebih
untuk terus menulis dan bergiat dalam pelayanan
konseling kami.
Juga untuk lebih seratus fasilitator ahli yang pernah
menyempatkan mengajar di Komuntas Pelikan.
Penghargaan kami yang tulus kepada Bapak Jakob
Oetama, yang berkenan sharing tentang pelayanan
konseling dengan kami dan menerbitkan buku-buku ini
dan lainnya. Terima kasih kepada pihak Gramedia Pustaka
Utama yang bersedia mencetak buku ini yang kini sudah
dicetak 9 kali dan menjadi best-seller
Untuk anak kami Josephus dan Moze, permata hati
dan milik pusaka kami. Mereka anak-anak yang penuh
toleransi dan mengerti beban hati kami dalam pelayanan
konseling. Mereka memberi kami semangat dan inspirasi
dalam pelayanan konseling kami.

2011
Julianto Simanjuntak dan
Roswitha Ndraha
BAB I

Jangan Takut Terluka

Berbahagialah kamu yang sekarang menangis


karena kamu kelak akan tertawa

Suatu hari saya nyaris frustrasi karena anak bungsu


kami yang waktu itu sudah lebih dari lima tahun usianya,
belum juga bisa naik sepeda. Hampir tiap hari saya
menuntun sepedanya ke lapangan rumput di depan
rumah.
Naik, ya. Papa pegang di belakang. Kamu tidak akan
jatuh. Papa jaga, kata saya. Selama beberapa hari dia taat.
Saya memegang bagian belakang sepedanya sambil
berlari-lari kecil, sementara dia belajar mengayuh. Mula-
mula agak kaku, lama-lama terbiasa. Saya tetap
memegang sepedanya. Tetapi dia langsung berhenti dan
turun kalau merasa ada tanda-tanda saya mau melepaskan
pegangan saya.
Jangan dilepasin, Pa, pintanya sambil melihat ke
belakang. Saya mengangguk, maka dia belajar lagi.
Lama-lama saya berpikir, sudah saatnya melepas
Moze. Dia nampaknya mau bermain saja, sementara saya
terengah-engah di belakang. Tetapi sejak dia tahu saya
mencoba melepaskan pegangan saya, Moze sama sekali
tidak mau main sepeda lagi. Saya hampir putus asa.
Bagaimana caranya sehingga Moze mau berlatih naik
sepeda?
Saya dapat ide. Beberapa hari setelah itu saya
mengajaknya ke lapangan lagi. Kami duduk-duduk di
pinggir lapangan, dekat sepeda. Moze masih tidak mau
mencoba naik. Nanti aku jatuh, luka, berdarah, kilahnya.
Tiba-tiba saya memandang lutut saya. Lihat lutut
Papa, kata saya kepadanya. Dengan antusias anak saya
memerhatikannya. Wah, ini bekas luka ya, Pa? Kapan
Papa luka? tanyanya.
Maka saya pun bercerita. Waktu Papa seumur kamu,
Papa juga belajar naik sepeda. Tetapi, suatu kali waktu
sedang belajar, Papa jatuh. Lutut Papa luka.
Banyak darahnya, Pa? Sakit?
Lumayan-lah. Sakit juga. Papa meringis-ringis. Tapi
Papa tidak berhenti belajar. Setelah lukanya diobati, Papa
kembali belajar. Akhirnya Papa bisa naik sepeda. Papa
senang sekali, main sepeda dengan teman-teman Papa.
O.... kata Moze sambil mengelus-elus bekas luka
saya. Papa juga pernah luka, ya. Papa pernah
kesakitan....
Tiba-tiba anak saya naik ke atas sepedanya.
Pegangin sebentar ya, Pa. Nanti kalau sudah sampai di
tengah coba Papa lepaskan. Aku juga mau belajar. Jatuh
nggak apa-apa, ya Pa.
Sejak saat itu, Moze bisa naik sepeda. Hari itu saya
menjadi sadar bahwa ternyata luka saya waktu naik
sepeda dulu sangat berguna bagi Moze sekarang. Bekas
luka saya telah memberikan kepada ana saya keberanian
untuk terluka.
Dari pengalaman ini kami belajar satu kebenaran,
kami belajar bahwa luka hidup kita, (karena dihina,
dikhianati, dilecehkan, dan lain-lain) tak pernah sia-sia.
Luka hati itu kelak berguna dan memberi keberanian
terluka pada sesama kita.
Kami memimpin satu pertemuan dari mereka yang
sedang menghadapi masalah perceraian dan
perselingkuhan. Lewat kelompok ini mereka belajar
bagaimana mencinta, hingga terluka. Sharing di antara
mereka menjadi sarana mendapat pencerahan,
pembelajaran baru, atau menerima sesuatu yang baru.
Biasanya setelah mendengarkan curhat teman lain, ada
komentar peserta baru : Ah.....ternyata ada yang jauh
lebih menderita daripada saya...sharing Ibu menguatkan
saya...terima kasih.. Pengalaman luka anggota lama yang
sudah sembuh justru menjadi penyembuh bagi rekan yang
lain. Pertemuan sharing saling membagi luka itu
ternyata bisa menjadi salep mujarab yang
menyembuhkan.

Cinta Kami Tumbuh Lewat Konflik

Lima tahun pernikahan saya dan Roswitha penuh


dengan konflik. Berbeda di tahun keenam dan seterusnya
setelah kami belajar banyak lewat konseling. Saya sering
sekali melukai hati Roswitha dengan cara mendiamkannya
berhari-hari. Kami sering menangis bersama, tak tahu
harus berbuat apa bila konflik itu sudah menusuk tajam
hati kami berdua. Meski di Gereja saya adalah Pendeta
yang dihormati, dan di dalam pelayanan dihargai, namun
berbeda sekali saat berada di rumah. Rasanya seperti
neraka. Roswitha menuliskan pengalaman ini demikian:

Inilah hal pertama yang memicu pertengkaran kami


sebagai suami dan istri yang baru dua minggu menikah.
Seperti tradisi Batak, selama minggu pertama sesudah
acara pernikahan, kami harus tinggal di rumah keluarga
laki-laki. Mertuaku (dua-duanya) sudah tidak ada. Jadi, di
minggu pertama kami menginap di rumah abang tertua
suami saya. Di situ ada beberapa abang dan adik yang
datang dari Sumatera untuk menghadiri pernikahan kami.
Walaupun berat hati, aku menerima hal ini. Aku
menghibur diri dengan mengatakan, inilah kesempatan
berkenalan dengan keluarga suamiku. --- sebenarnya, aku
lebih senang menghabiskan minggu pertama hanya
dengan suamiku; menebus hari-hari yang hilang selama
masa pacaran kami yang tiga tahun, berpisah kota.
Setiap hari kakak iparku memasak makanan khas
Batak. Enak, dan kami menikmatinya. Setelah masa bulan
madu berakhir dan kami kembali ke tempat kos, suamiku
menganjurkan aku belajar masakan Batak pada kakak
iparku. Itu usul yang tidak popular buatku, karena aku
segan ke rumah iparku. Belum lagi, sekali sebulan kami
mesti ikut arisan keluarga. Setelah kurenungkan sekarang,
mungkin itu baik juga, karena merupakan kesempatan
mengenal keluarga suamiku lebih baik. Tetapi waktu itu
aku menolaknya mentah-mentah.
Aku berangkat kerja pukul enam, tiba di rumah lagi
pukul lima. Hampir setiap malam ada kegiatan gereja
yang harus kami ikuti. Hari Minggu aku mesti ke rumah
keluargaku, mengambil barang-barangku yang tersisa.
Kapan lagi bertandang ke rumah saudara? Aku merasa
penolakanku beralasan. Untuk arisan keluarga yang sekali
sebulan, dengan setengah hati aku menjalaninya. Aku
merasa itu kegiatan membuang waktu. Kami pulang gereja
pukul 11, langsung ke arisan. Pukul 3 kami harus pamit
karena sorenya pelayanan gereja. Padahal keluarga lain
baru pada datang pukul 2. Belum lagi, aku sangat
keberatan dengan asap rokok yang dikepulkan tak henti,
yang membuatku pilek-batuk berhari-hari.
Karena dalam hal belajar masak itu suamiku terus
mendesak, aku nggak tahan. Pergi saja, sana! kataku,
tinggal sama kakakmu!
Kalimatku ini memicu pertengkaran kami. Aku ini
orang Batak. Kalau sudah menikah kita mesti mengikuti
acara-acara keluarga seperti arisan. Kalau kamu nggak
bisa menyesuaikan diri dengan keluargaku, kita pisah
saja, kata suamiku. Aku terhenyak. Cuma begitu saja?
Berpisah? Kami baru menikah dua minggu!
Aku keluar dari gereja. Aku mau kembali ke
pekerjaanku yang lama di Semarang. Kamu di Jakarta
saja. Kita bertemu sekali dua bulan, suamiku
menambahkan. Aku tidak menjawab. Berhari-hari kami
tidak bercakapan. Ini suasana neraka buatku. Hatiku
berbicara sendiri: Siapa pria yang kunikahi ini? Kok aku
tidak kenal dia. Sikap diam begini tidak lazim dalam
keluarga kami. Berkali-kali aku mengajaknya bicara, tapi
dia diam saja. Seolah-olah aku tidak ada di sana. Di rumah
orangtuaku, kami terbiasa membicarakan masalah di
antara kami dalam acara persekutuan doa malam.
Sehebat-hebatnya orangtuaku bertengkar, aku seringkali
mendengar mereka cekikikan di kamar sebelum tidur.
Setelah beberapa hari baku diam, entah ada apa,
malam itu suamiku memelukku. Bagiku, itu sudah cukup.
Kami baru mulai saling mengerti. Duabelas tahun
kemudian barulah aku tahu isi hatinya berkaitan dengan
peristiwa tersebut. Dia menulis demikian kepada saya:

Akhirnya saya tahu istri saya tidak merasa nyaman


di lingkungan baru. Mula-mula saya kira karena dia
tidak menyukai keluarga saya. Tetapi akhirnya saya
mengerti bahwa istri saya punya masalah di situ. Dia
tidak biasa berkunjung ke mana pun. Keluarga istri saya
nyaman bergaul di antara mereka sendiri, dan jarang
berkunjung ke rumah keluarga lain.
Setelah beberapa minggu, saya mendapat insight
baru. Saya tidak bisa memaksa istri saya berubah. Jadi,
sayalah yang berubah. Saya menunda kunjungan ke
keluarga saya. Saya tunggu istri saya siap. Saya bantu
mempersiapkan dia. Apa gunanya kami memaksakan
diri, tetapi istri saya kehilangan sejahtera. Dengan
abang saya, kami hanya bertemu beberapa jam. Tetapi
sehari-hari saya bersama istri saya. Perubahan itu
menolong istri saya terbuka dan belajar bersosialisasi.
Saya juga menyadari bahwa sikap memaksa istri
pada mula-mula pernikahan kami sebenarnya adalah
manifestasi dari kecemburuan saya. Keluarga istri saya
hangat dan saling peduli. Berbeda dengan keluarga asal
saya yang pecandu. Ayah-ibu saya alcoholic, saudara-
saudara saya pecandu drugs.
Sikap diam saya dalam konflik dengan istri saya
sebenarnya adalah cara saya menahan diri. Saya tidak
mau memperlakukan istri saya seperti papaku
memperlakukan mamaku dengan kekerasan. Tapi saya
tidak tahu cara menghadapinya. Jadi, sebenarnya saya
pun tersiksa dengan diam itu.

Dalam rumah tangga, masalah yang dilatarbelakangi


oleh perbedaan tradisi memang muncul silih berganti.
Saya bersyukur, kami menemukan cara menjembatani
perbedaan itu. Pada tahun kedua dan ketiga kami
mengalami hal lain. Tuhan memberi aku seorang anak
laki-laki, bagus dan sehat.
Aku bertekad mengasuh sendiri anakku. Seperti
Mamaku, kataku pada suamiku. Mama bisa mengasuh
tujuh anak tanpa pembantu, masa aku tidak bisa! Suamiku
berpendapat, kami harus punya pembantu dan pengasuh
anak. Dia berniat mengambil anak ito-nya (kakak
perempuan) yang tamat SMA dan belum bekerja, untuk
mengasuh Josephus. Aku kurang setuju, tapi merasa tidak
berdaya.
Mary, keponakan kami, tiba beberapa hari sebelum
aku kerja kembali. Aku tidak mau mengajari dia mengurus
bayi. Bahkan aku tidak mau berakrab-akrab dengan dia.
Mauku, Jo dimandikan papanya. Mary paling-paling
memberi susu saja. Hari pertama aku kerja, aku geli
mendengar bagaimana suamiku memandikan Jo. Lantas
Mary mengajak Jo di panas matahari. Jo tidur, sore dia
bangun, kembali papanya memandikannya. Begitu terus
selama beberapa hari.
Kemudian suamiku mengajakku berkunjung ke
jemaat. Karena aku tidak mau meninggalkan Jo pada
Mary, aku terpaksa membawanya. Masalah mulai timbul
kalau kami mengunjungi jemaat yang sakit. Bagaimana
kalau bayi kami tertular? Lagipula, aku sudah capek kerja,
masih diajak kunjungan. Belum lagi kalau akhirnya Jo
sakit, akulah yang harus begadang bermalam-malam.
Akhirnya aku menolak diajak kunjungan. Ada saja
alasanku. Aku takut anakku tertular penyakit. Itu alasan
yang sering kusampaikan. Benar, kan? Kami sering
bertengkar. Suatu kali suamiku sampai mengeluarkan
kata-kata, Tuhan ambil nanti anakmu, ya!
Hatiku sedih sekali. Aku ingin mendukung pekerjaan
suamiku, tapi aku tidak mau menelantarkan anakku ke
tangan orang lain. Tidak mungkin. Hatiku berkata-kata:
Mudah bagi suamiku untuk membiarkan anaknya diasuh
orang lain; sebab dia pun mengalami demikian. Ibunya
Mary adalah pengasuh suamiku saat dia kecil. Bagiku
tidak gampang melakukannya. Ibuku sampai keluar dari
pekerjaan waktu aku lahir.
Akhirnya toh aku memang keluar dari pekerjaan,
demi keluargaku. Tetapi tidak lama setelah itu, suamiku
pun keluar dari pelayanan gereja penuh-waktu, salah satu
penyebabnya adalah karena saya sulit mendukung
pelayanannya. Tentang hal ini suami saya menjelaskan,

Sesudah saya belajar konseling keluarga, saya mengerti


bahwa apa pun yang saya lakukan, haruslah
membangun keluarga saya. Jadi, kalau istri saya tidak
mendukung, saya harus meninjau kembali keputusan
saya bekerja di tempat itu. Pelayanan gereja cukup
menuntut pendampingan istri. Padahal istri saya tidak
siap. Jadi, setelah lima tahun menjadi gembala jemaat,
saya memutuskan meninggalkan pelayanan gereja, demi
keluarga saya. Melalui keputusan itu saya mengerti
bahwa Tuhan sedang memimpin saya untuk
menggumuli pelayanan baru, yaitu konseling. Itulah
pekerjaan yang saya tekuni sampai hari ini.

Begitulah. Kami menjalani hari demi hari.


Membangun komunikasi kami sebagai suami dan istri,
belajar dari setiap kesalahan dan mencoba melihat tangan
Tuhan ada dalam setiap pengalaman kami. Kami
bersyukur, justru lewat semua ujian cinta dan luka itu
cinta kami bertumbuh.
BAB 2
Cinta Itu Memaafkan

Mengampuni adalah seperti bunga Natninole yang


memberikan keharumannya kepada orang yang
menginjaknya

Dalam pengalaman konseling kami masalah


utama klien kami adalah bukan pada seberapa besar luka
yang ia alami, tetapi seberapa besar cinta yang ia miliki
untuk menjalani luka itu. Kalau cintanya kecil, maka luka
kecilpun menjadi masalah besar. Tetapi kalau ia berjiwa
besar dan memiliki cinta yang besar juga, maka dia lebih
kuat menanggung luka hati yang ia terima dari orang lain.
Banyak orang salah mendefinisikan apa itu
memaafkan. Salah satunya adalah sebagian orang dengan
mudah mengatakan : memaafkan adalah melupakan
kesalahan orang lain. Sebagai orang yang normal dan
belum pikun atau ingatan belum terganggu, tidak
mungkin kita lupa terhadap orang atau peristiwa yang
melukai hati kita. Jadi sebaiknya jangan gunakan lagi
defisini tersebut.
Definisi pengampunan yang terbaik bagi saya adalah
sebuah kalimat yang saya temukan di sebuah bukit doa di
Tarutung Sumatera Utara. Waktu itu saya baru saja
memberi pelatihan konseling pada staf anak jalanan
sebuah LSM di Medan. Saya tidak tahu siapa yang
menuliskannya, dan saya juga tidak ingat nama bunga
yang dimaksudkan: Mengampuni adalah seperti bunga
natnitnole yang memberikan keharumannya kepada
orang yang menginjaknya. Kalimat itu mirip dengan
perkataan yang akrab di benak saya, berbuat baiklah
pada musuhmu.

Kalimat itu benar-benar menggelitik, sebab saya


(Julianto) tumbuh menjadi seorang yang sangat sulit
memaafkan orang. Saya orang yang sensitif, mudah
tersinggung dan menyimpan kesalahan serta slit
memaafkan.

Johan Arnold memberikan definisi lain. Ia berkata1


memaafkan adalah pintu perdamaian dan kebahagiaan.
Pintu itu kecil, sempit dan tidak dapat dimasuki tanpa
membungkuk. Benar sekali. Kalau mau menjadi pribadi
yang bahagia dan penuh damai, milikilah roh yang
memaafkan.

Hati yang tidak memaafkan seperti penjara yang


membelenggu jiwa seseorang. Dan penjara itu kejam
sekali, karena dapat merampas seluruh kebahagiaan
hidup. Namun untuk punya jiwa memaafkan tidak
mungkin tanpa kesediaan merendahkan diri, atau
mengosongkan diri.

Kristus sudah menjadi contoh klasik. Untuk


mendamaikan kita dengan diriNya, maka turun menjadi
manusia, sama seperti kita. Dia merendahkan diriNya
bahkan sampai mati di atas kayu salib.

Pengampunan membutuhkan pengorbanan dari yang


memaafkan bagi orang yang dimaafkan. Penyangkalan
diri, pengakuan bahwa kita ikut bertanggungjawab
terhadap masalah yang terjadi menjadi bagian penting
dalam proses memaafkan dan menerima maaf. Salah satu
pepatah menarik sing waras ngalah menguatkan hal ini.
Tak ada jalan lain untuk berdamai dengan seseorang yang
kita kasihi, kecuali dengan mengalah. Menyangkal diri,
dan rela berbagi pengampunan.

Pengampunan juga berarti memberi orang lain


kesempatan yang kedua serta berani memulai hubungan
yang baru. Di kampung kelahiran saya dulu di banyak

1
Arnold, Johan, Why Forgive.
warung kopi ada tulisan : hari ini kontan, besok boleh
bon. Kalau kita datang besok hari, tulisan itu masih
terpajang. Itu berarti kita tidak akan pernah ada
kesempatan ngebon atau ngutang.

Prinsip itu dekat dengan apa yang ditegaskan kitab suci


tentang kemarahan. Paulus dalam Ef.4:26-27
menegaskan, Apabila kamu menjadi marah, janganlah
kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam,
sebelum padam amarahmu, dan janganlah beri
kesempatan kepada Iblis. Kemarahan jangan pernah
lama disimpan. Setiap hari kita perlu membayar
kemarahan dengan melepaskan pengampunan pada orang
yang membuat kita marah. Dulu saat saya belum punya
skill menyatakan kerahan pada istri, saya lebih suka
menyimpannya berhari-hari lamanya. Saya menyimpan
lalu menghitung kesalahan istri. Sampai suatu hari
kemarahan itu meledak dalam perilaku yang tidak terpuji,
misalnya mendiamkan istri atau membenatk istri dengan
kemarahan besar. Firman di atas menegaskan,
menyimpan kemarahan hanya memberi kesempatan
kepada Iblis. Setiap kita perlu belajar mengungkapkan
kemarahan dengan pas, secara sertif kepada orang yang
kita kasihi. Kalau kita menyimpan, maka kita merusak
emosi dan pikiran kita sendiri. Jadi kalau marah, bayarlah
dengan pengampunan. Jangan pernah ngebonin orang
dengan kesalahan yang tidak diampuni.

Kalau kita menyimpan kemarahan atau kepahitan


kepada seseorang, salah satu yang muncul (godaan setan)
adalah keinginan membalas. Membalas yang jahat dengan
jahat adalah tendensi manusia pada umumnya. Kuasa
benci mirip dengan cinta. Ada kuasa negatif yang
mendorong kita ingin melakukan hal yang jahat, atau
memikirkan atau mengharapkan agar terjadi hal yang
buruk pada seseorang yang kita benci. Ini tentunya
mengambil sebagian energi kita, dan lama kelamaan
merusak emosi dan pikiran kita. Kebencian dan
kemarahan yang tersimpan bisa menimbulkan banyak
akibat buruk, termasuk berbagai penyakit dalam tubuh
kita. Saya teringat pepatah china mengatakan : orang yang
mau membalas dendam, sebaiknya dia menggali dua
lubang kubur. Atau pepatah kita yang terkenal berkata :
orang yang ribut, menang jadi arang yang kalah jadi abu.
Tidak ada gunanya balas dendam. Sebaliknya ampunilah!

Tiga Jenis Manusia

Dalam pengalaman konseling, kami menemukan tiga


jenis orang. Pertama, ada orang yang tahu bahwa dia
harus memaafkan. Dia tahu, memaafkan itu adalah hal
yang baik dan diperkenan Tuhan. Namun dalam hatinya
dia tetap tidak mau memberi maaf. Ada banyak alasan
mengapa seseorang berat hati memaafkan. Satu di
antaranya adalah seperti seorang ibu muda yang
pasangannya berselingkuh. Saat dia diajak untuk
memaafkan suaminya, dia langsung mengatakan,
Wah....kalau saya maafkan kesalahan suaminya saya
nanti dia ngelunjak (menindas), dan akan berbuat serong
lagi sesuka hatinya...saya tidak akan maafkan
kesalahannya.
Kedua, adalah orang yang mau memaafkan tetapi
tidak tahu bagaimana caranya. Meskipun ingin, tetapi
mereka merasa tidak mampu. Kemarahan dan dendam
terus menguasai hati mereka. Ada dua penyebab mengapa
orang sulit memaafkan:
Pertama, kita sulit memaafkan karena kita
memandang status orang yang melukai kita. Mungkin dia
adalah ayah kandung kita atau mertua kita, dan
sebagainya. Umumnya orang terluka dengan orang
terdekat, seperti adik, kakak, orangtua, anak, mantu,
terhadap atasan, dan sebagainya. Benarlah apa kata Raja
Salomo : besi menajamkan besi manusia menajamkan
sesamanya Perjumpaan yang intens membuat konflik
sering tak terhindarkan. Namun bagaimana kita
mengelola konflik tadi menjadi bahasan kita. Beberapa
klien kami sulit sekali memaafkan ibu kandung mereka
yang bersikap membeda-bedakan anak-anaknya.
Beberapa yang lain menympan dendam pada sang ayah
karena si ayah keras dan cenderung kejam pada saat dia
masih kecil.
Menghadapi situasi ini kami mengajak klien dan sahabat
kami untuk merenungkan kembali tentang siapa manusia
itu. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma (3:23)
menegaskan bahwa semua manusia sudah berdosa. Dia
bisa berbuat salah, bisa melukai kita. Siapapun dia dan
apapun statusnya setiap orang punya potensi berbuat
salah dan melukai kita.
Kedua, kita sulit memaafkan karena orang yang
melukai kita adalah orang yang pernah kita tolong dan
berbuat baik. Kalau kita cenderung menghitung jasa,
maka sakit hati kita terpelihara. Beberapa kasus yang
kami layani misal: Seorang Ibu sakit hati luar biasa kepada
anaknya, yang setelah sukses tidak tahu berbuat baik
kepada sang Ibu. Maka si Ibu yang mengingat betapa dia
sudah bersusah payah membesarkannya, menjadi kecewa
luar biasa. Seorang istri sakit hati luar biasa kepada
suaminya yang menyeleweng. Dia ingat telah berusaha
menjadi seorang istri yang baik, tetapi suami membalas
dengan penghianatan. Contoh lain, seorang jemaat sakit
hati kepada pendetanya, karena dia sudah merasa
mengorbankan segala sesuatu untuk mengembangkan
gereja, tetapi nsuatu hari si Gembala tidak menghargai
dirinya lagi.
Solusinya, daripada menghitung jasa kita, marilah
kita ingat bahwa kita pun punya kekurangan. Dalam setiap
konflik kita selalu punya andil sehingga masalah itu
muncul. Jauh lebih baik kita mencoba mengingat
kebaikan daripada orang yang sedang melukai kita. Kalau
kita mau memaafkan, lakukanlah dua hal: hitung
kekurangan Anda dan hitung kelebihan orang yang sedang
melukai Anda.
Tipe ketiga adalah orang yang tidak saja tahu
mengampuni itu baik dan memiliki motivai untuk
memaafkan, tetapi dia terus belajar untuk bisa
memaafkan orang lain. Dalam pengalaman saya sampai
mampu memaafkan saya di bantu dua orang konselor.
Selama setahun saya dikonseling. Pertama saya dibantu
mengeluarkan uneg-uneg dan kepahitan saya dari masa
lalu. Kedua, saya dilatih untuk memiliki cara pandang
baru terhadap luka dan kepahitan masa lalu. Melalui
training dan sekoah konseling pemahaman saya tentang
realita hidup menjadi lain. Saya melihat bahwa setiap
pengalaman negatif pun bisa menjadi positif, karena ada
maksud Tuhan di dalamnya. Ketiga, saya dibantu lewat
proses yang kami sebut reparenting. Saya mencari da
bergaul dengan beberapa pria dewasa yang saya anggap
seperti ayah saya sendiri. Karena buruknya pengalaman
saya dengan ayah kandung, maka saya mencoba menyerap
melalui beberapa orang yang memiliki figur ayah yang
baik. Pengalaman itu membuat saya berkesimpulan baru,
bahwa tidak semua ayah buruk. Ada ayah yang baik, dan
saya belajar dari mereka pengalaman baru menjadi
seorang ayah. Disamping itu saya memperbaiki hubungan
dengan Tuhan sebagai seorang Bapa yang baik. Ketiga
pengalaman ini : konseling, training dan reparenting,
telah mengubah dan membaharui hidup saya.

Pintu Untuk Memaafkan

Seorang bijak mengatakan: bersalah itu manusiawi dan


memaafkan itu Ilahi. Kalau kita mau memaafkan dengan
tuntas, pertama-tama kita merubah cara pandang kita
akan manusia. Paulus telah menjelaskan kepada kita
bahwa, Semua orang sudah berbuat dosa dan
telah kehilangan kemuliaan Allah2. Jika semua
orang disekitar kita, termasuk orang terdekat adalah orang

2
Roma 3:23
berdosa, maka selalu ada kemungkinan dia melukai kita.
Selalu ada saja kemungkinan orang lain berbuat salah
kepada kita. Sebaliknya kitapun bisa melukai orang lain.
Dengan lain perkataan semua orang butuh maaf.
Kedua, kita perlu memahami bahwa orang yang
melukai itu justru menyadarkan kita bahwa kita adalah
orang berdosa yang bisa marah, kecewa, dan sakit hati.
Tanpa mereka (yang menyakiti kita) mungkin kita akan
sombong. Kita adalah orang yang baik hati dan tak pernah
membenci atau sakit hati. Akibat yang lebih buruk adalah
kita akan merasa tidak membutuhkan Tuhan dan
Juruselamat. Seringkali kita menjadi lebih dekat dan
mencari Tuhan karena ada gesekan dengan sesama kita.
Kita membutuhkan pengampunan dan kemampuan untuk
memaafkan.
Ketiga, memberi maaf adalah bukti kualitas hidup
orang yang mengenal Tuhan. Memaafkan adalah tanda
yang paling jelas dari seorang anak Tuhan. Dalam Kotbah
Di Bukit, Yesus menegaskan kepada pendengar-Nya
demikian, Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi
kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga
berbuat demikian3? Dalam ayat yang lain Yesus berkata,
Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak
Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi
orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan
hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar
4.

Bagaimana Melihat Orang yang Melukai Anda

Dalam mengampuni proses lebih pentingh daripada


hasil. Ada beberapa langkah yang perlu kita alami sebelum
mampu memaafkan.
Pertama, kita sendiri sudah mengalami dan
menerima pengampunan Tuhan. Tanpa kesadaran ini
3
Matius 5:46
4
Matius 5:45
maka kita sulit memberi pengampunan. Makin besar kita
menerima pengampunan Tuhan maka lebih besar
kemungkinan kita cepat memaafkan. Rasul Paulus punya
kesadaran yang baik akan hal ini. Dia berkata dalam
suratnya kepada Timotius, ... di antara orang berdosa
akulah yang paling berdosa5. Kesadaran ini membangun
pribadi Paulus yang pemaaf. Dia berhasil menangani
begitu banyak konflik yang ia hadapi dalam pelayanannya.
Siapakah dari antara kita yang berani berkata,
saya tidak pernah bersalah? Alasan kita memaafkan
adalah karena hanya itulah jalan untuk menunjukkan
kasih Allah pada sesama kita. Sebelum mengampuni
orang lain, kita harus mampu menerma dan mencintai diri
kita sendiri tanpa syarat. Kita mampu menerima dan
memaafkan orang lain karena kita sudah melakukannya
untuk diri kita sendiri. Mengampuni adalah tanda bahwa
kita sudah merdeka.

Kedua, kita perlu lebih dulu memaafkan diri sendiri.


Artinya menerima dan berdamai dengan masa lalu kita
sendiri. Mengatasi semua rasa bersalah dan menangani
ketidakpuasan yang masih ada dalam diri kita. Apakah
anda masih mempunyai kebiasaan menghakimi dan
menyalahkan diri sendiri? Hal ini akan menghambat
kemampuan Anda mengampuni orang lain. Jika Anda
masih belum berdamai dengan diri sendiri, baik sekali jika
Anda pergi menemui seorang konselor profesional. Ada
contoh yang unik dalam pengalaman konseling saya.
Seorang Ibu yang begitu marah pada suaminya yang
berselingkuh, setelah menjalani konseling sikapnya
berubah. Dia akhirnya berkata, Apapun yang dilakukan
suami saya, saya akan tetap mencintainya. Aku
harus memaafkan suamiku. Aku sudah memilih dia
sebagai suami, aku harus siap menerima kesalahan dan
kelemahannya juga. Aku harus memaafkan diriku sendiri,

5
I Timotius 1:15
mengapa aku memilih dia sebagai suami. Aku harus
membantu dia mengatasi masalah ini.

Proses Memaafkan

Ada lima tahap penting dalam proses kita


mengampuni orang lain. Pertama, adalah kemampuan
menyadari dan menerima rasa sakit hati kita akibat
perbuatan orang lain. Jangan menolak, menyangkal atau
menganggap remeh sakit hati anda itu. Sadari juga
akibat-akibat yang sudah ditimbulkan rasa sakit itu.
Kedua, cobalah memahami alasan orang itu
menyakiti hati anda. Mengampuni hanya akan terjadi bila
kita mengulurkan tangan kita kembali kepada pihak yang
bersalah. Berusaha melihat nilai-nilai baik yang ada pada
orang yang melukai kita. Belajar memahami dari
perspektif orang tersebut, meski hal ini tidaklah mudah.
Ketiga sadarilah bahwa ada kalanya anda tidak
sanggup memikul akibat itu sendirian. Anda perlu
membagikan kesusahan dan penderitaan anda pada
seseorang yang anda percayai. Ada kalanya anda frustrasi
menghadapi kenyataan itu dan kadang menjadi begitu
sayang diri. Misalnya muncullah pertanyaan, Mengapa
saya harus mengalami hal ini? Kita juga perlu ingat
bahwa masa lalu adalah kenyataan yang tidak dapat
diubah, kita harus belajar menerimanya dan bahkan
menjadikannya bagian penting dari pembentukan diri kita
seutuhnya. Dengan kesadaran ini akan muncul kekuatan
dan kemauan untuk membangun kembali hubungan
dengan orang yang sudah melukai kita. Pengampunan
berarti kita membuka dan membangun kembali hubungan
yang sudah rusak dan retak tadi.
Keempat, kadang juga timbul kemarahan. Kita tidak
mau menjadi korban dari kesalahan orang lain.
Tahap kelima adalah, anda mulai menerima
kenyataan anda terluka dan harus menghadapi itu secara
riel. Pada tahap ini anda berusaha menjadi pribadi yang
tetap bahagia meski mengalami kesusahan akibat ulah
orang lain. Satu hal yang kita syukuri adalah bahwa
pengalaman terluka ini akan membuat kita punya
kekuatan untuk menghadapi luka yang akan terjadi di
masa yang akan datang. Dalam sebuah relasi yang dekat
dan kuat akan selalu ada kemungkinan untuk kita saling
mengecewakan.

Tidak Memaafkan Adalah Kejahatan

Memaafkan atau tidak adalah sebuah pilihan.


Memaafkan atau tidak adalah sebuah pencobaan yang
besar. Kita harus memutuskan bagi diri kita sendiri, kita
mengampuni atau tidak. Mengampuni memang berisiko.
Kita berkorban perasaan, harga diri, dan lainnya. Tetapi
bila kita memutuskan tidak mau mengampuni, itu juga
pilihan yang berisiko. Ini dapat menyita energi, semangat
bahkan kesehatan kita. Jika kita tidak mengampuni, itu
justru menghukum diri kita sendiri. Dendam akan
menghukum kita, merampas energi, waktu kita,
menghancurkan kesenangan dan juga kesehatan kita.
Pepatah Cina berkata, Siapa bermaksud membalas
dendam, ia harus menggali dua lubang kubur. Dendam
juga dapat merusak hubungan pribadi kita dengan Allah.
Di samping itu bila kita merenungkan bagian Doa
Bapa Kami, ada tertulis demikian .... dan janganlah
membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah
kami dari pada yang jahat6. Tidak mengampuni adalah
sebuah kejahatan. Kualitas kejahatan ini jelas dalam kisah
tentang seorang hamba yang tak rela memaafkan hutang
temannya yang hanya 100 dinar. Sementara hutangnya
yang 10.000 talenta telah dihapuskan. Camkanlah kisah
ini secara lengkap, temukanlah dalam diri Anda, apakah
jiwa hamba yang jahat ini masih menguasai diri Anda.

6
Matius 6:13
Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang
hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-
hambanya. Setelah ia mulai mengadakan perhitungan
itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang
sepuluh ribu talenta. Tetapi karena orang itu tidak
mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan
supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala
miliknya untuk pembayar hutangnya. Maka sujudlah
hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu,
segala hutangku akan kulunaskan. Lalu tergeraklah hati
raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia
membebaskannya dan menghapuskan hutangnya. Tetapi
ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang
hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia
menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya:
Bayar hutangmu! Maka sujudlah kawannya itu dan
memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu
akan kulunaskan. Tetapi ia menolak dan menyerahkan
kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya
hutangnya. Melihat itu kawan-kawannya yang lain
sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi
kepada tuan mereka. Raja itu menyuruh memanggil
orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang
jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena
engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkau
pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah
mengasihani engkau?
Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya
kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh
hutangnya. Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat
demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-
masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap
hatimu7."

7
Matius 18:23-35
Selain suatu kejahatan, tidak mengampuni adalah sebuah
ikatan, sebuah penjara yang paling kejam. Hanya kuasa
cinta Tuhan dapat membebaskan kita.

Beberapa Langkah Praktis Untuk Memaafkan :

Ada beberapa langkah praktis yang perlu untuk


mengolah hati, emosi dan pikiran, serta perilaku baru.
Sangat baik jika dilakukan dalam group counseling. Kami
sudah memberikan pelatihan ini di beberapa kota seperti
Aceh, Bali, Medan, Bandung, dan Jakarta. Jika Anda
tertarik, Anda dapat mengikuti sesi ini di Kantor LK3.
Anda dapat juga mengundang LK3 memberikan pelatihan
dalam bentuk in house training di Gereja atau Lembaga
saudara. Banyak dari mereka yang mempraktekkan modul
how to forgive ini merasakan kelepasan dari kepahitan.
Demikian beberapa saran praktis untu dapat mengampuni
:

1. Mengakui kebutuhan anda untuk


disembuhkan

Bagi banyak orang hal ini bukan masalah, tetapi


jika kita terluka dan tidak mengakui, maka jelas tidak
ada tempat untuk pertolongan. Mengakui kebutuhan
kita merupakan suatu tanda kesehatan mental yang
baik dan bukti sikap yang jujur. Seringkali kita ingin
mengakui tapi kita takut untuk ditolak. Kerelaan
untuk belajar dan kerendahan-hatilah yang akan
mengizinkan kesembuhan dimulai. Mulailah
bersikap jujur dengan Allah, kemudian cari teman
yang bisa mengerti keadaan anda. Kejujuran akan
mendatangkan kasih karunia Allah dalam hidup kita.

2. Mengakui emosi yang negatif


Beberapa di antara kita mengarungi kehidupan
dengan mengumpulkan emosi yang negatif. Kita
tidak diajarkan bagaimana mengenali atau
mengkomunikasikan perasaan kita sehingga kita
menimbun kemarahan, kekecewaan, ketakutan,
kepahitan dan emosi negatif lain sejak kanak-kanak.
Kita menindih emosi negatif yang satu di atas yang
lain, sama seperti menumpuk sampah. Proses
penimbunan emosi ini menghasilkan akibat yang
tragis.
Emosi itu sendiri bukanlah dosa. Emosi dapat
menghasilkan sikap berdosa jika diarahkan dengan
cara yang negatif kepada Allah, diri sendiri, dan
orang lain. Untuk memutuskan lingkaran penindasan
emosi mintalah Allah untuk memberi Anda
kesempatan mengungkapkannya kepada orang yang
mengerti anda dan memberikan dorongan untuk
jujur dengan perasaan anda.

3. Belajar mengampuni

Mengampuni bukan sekedar melupakan kesalahan


yang dilakukan seseorang terhadap kita.
Mengampuni berarti memaafkan orang untuk
kesalahan yang telah diperbuatnya. Mengampuni
berarti menunjukkan kasih dan penerimaan,
meskipun disakiti. Mengampuni seringkali
merupakan suatu proses dan bukan suatu tindakan
sekali jadi.
Pengampunan adalah membuat keputusan
secara sadar untuk berhenti membenci karena
kebencian itu sama sekali tidak ada gunanya. Kita
terus mengampuni sampai rasa sakit itu hilang.
Semakin dalam lukanya, semakin besar energi atau
daya pengampunan itu diperlukan. Memaafkan
bukanlah tindakan yang dilakukan kadang-kadang
saja, melainkan merupakan sikap yang permanen.
Sama seperti seorang dokter harus membersihkan
luka di tubuh kita dan menjaga agar jangan terkena
infeksi supaya dapat sembuh dengan baik. Begitu
pula kita harus menjaga kebersihan luka-luka batin
kita dari kepahitan supaya luka itu cepat sembuh.
Mengampuni adalah antiseptik bagi luka batin
kita. Jika kita sudah menerima pengampunan
secara cuma-cuma oleh korban Kristus,Tuhan
meminta kita memaafkan sesama kita yang bersalah
kepada kita. Tetapi itu tidak cukup. Sang Penebus,
meminta kita menjadi agen penebus yang
mendistribusikan kasih dan pengampunan-Nya itu
kepada sebanyak mungkin orang. Inilah tugas
konseling. Anda dipanggil untuk melatih sesama
mengampuni sesamanya.
Akhirnya, Menerima Maaf Melegakan Hati.
Memaafkan Diri Sendiri itu Sehat. Memaafkan
Sesama, itu Ilahi. Melatih Orang Memaafkan, itu
Mulia. Membantu Orang Menerima Pengampunan
Tuhan, itu memberinya Hidup Kekal.

BERDOA SESUAI FIRMAN:


Beberapa Doa Sebagai Terapi Untuk Hati yang
Sulit mengampuni

Dalam buku Berdoa Sesuai Firman yang


diterjemahkan oleh Persekutuan Pembaca Alkitab8 ada
beberapa doa alternatif yang ditawarkan kepada kita
selama proses mengampuni. Doa ini bisa dipilih dan
didoakan sesering Anda bisa. Tentu ini bukan jimat atau
mantera, tetapi hanya menjadi contoh betapa Firman
kalau kita gunakan sebagai doa, sangat berkuasa. Inilah
beberapa contoh doa yang bisa Anda praktekan:
Tuhan, sesulit apa pun aku mencoba untuk mengerti,
firman-Mu jelas: jika aku mengampuni orang lain yang
berdosa terhadap aku, Engkau juga akan mengampuni

8
Moore, Beth. Berdoa Sesuai Firman. Jakarta, Persekutuan Pembaca Alkitab, 2004, hal. 200-210.
aku (Mat. 6:14). Ya Tuhan Allah, jika aku tidak
mengampuni dosa-dosa orang lain, Engkau Bapaku, tidak
akan mengampuni dosa-dosaku (Mat. 6:15).
Ya Bapa, sesuai dengan firmanMu, jika aku
menghakimi orang lain, akupun akan dihakimi, dan
dengan ukuran yang kupakai, demikian juga itu akan
diukurkan kepadaku (Mat. 7:1-2).
Tuhan, pada titik manapun ketika aku menghakimi
orang lain, firman-Mu berkata bahwa aku sedang
menghukum diriku sendiri, karena siapa pun dari kami
yang memberikan penghukuman atas sesuatu, melakukan
juga hal-hal yang sama. Sekarang aku tahu bahwa
penghakimanmu terhadap mereka yang melakukan hal-
hal tersebut didasarkan atas kebenaran. Sehingga, ketika
aku, yang hanya seorang manusia saja, memberikan
penghukuman kepada orang lain tetapi melakukan hal-hal
yang sama, apakah aku berpikir bahwa aku akan luput
dari penghukuman-Mu? (Rm.2:1-2).
Tuhan, aku harus menanyakan diriku sendiri
mengapa aku dapat melihat setitik serpihan kayu di mata
orang lain dan tidak menaruh perhatian pada balok yang
ada dimataku sendiri. Bagaimana aku dapat berkata
kepada saudaraku, Biarkan aku mengambil serpihan itu
dari matamu, sementara masih ada balok di mataku? Ya
Tuhan, tolonglah aku supaya tidak menjadi seorang
munafik! Berikan kepadaku kejujuran dan keberanian
untuk pertama-tama mengeluarkan balok dari mataku
sendiri, dan aku dapat melihat dengan jelas untuk dapat
mengeluarkan serpihan kayu dari mata orang lain (Mat.
7:3-5).
Ya Tuhan, firman-Mu, memberitahukan aku bahwa
ketika aku berdiri untuk berdoa, jika aku masih mengingat
kesalahan orang lain, aku harus mengampuninya, supaya
engkau, Bapaku yang di sorga, boleh mengampuni dosa-
dosaku (Mrk. 11:25).
Tuhan, hati nuraniku jernih, tetapi itu tidak berarti
bahwa aku tidak berdosa. Engkaulah yang menghakimi
aku. Dengan demikian aku tidak dapat menghakimi
apapun sebelum waktu yang ditentukan; firman-Mu
memberitahukanku agar aku menunggu sampai Engkau
datang. Engkau akan menerangi apa yang tersembunyi di
dalam kegelapan dan akan menyingkapkan maksud-
maksud dari hati manusia. Pada saat itu masing-masing
orang akan menerima pujian dari Allah (1 Kor. 4:4-5).
Jika aku tidak menghakimi, aku tidak akan dihakimi.
Jika aku tidak menghukum, aku tidak akan dihukum. Jika
aku mengampuni, aku akan diampuni (Luk.6:37).
Tolonglah aku, ya Tuhan, supaya aku dapat menunjukkan
belas kasihan yang lebih banyak lagi, supaya aku dapat
terus menerima lebih banyak belas kasihan!
Ya Tuhan Allah, ampunilah dosa-dosaku, karena aku
juga memaafkan mereka yang berbuat salah terhadapku.
Dan jangan bawa aku ke dalam pencobaan (Luk.11:4).
Tuhan, aku mengaku kepada-Mu bahwa salah satu dari
cobaan terbesar bagiku adalah untuk menolak
memberikan pengampunan kepada orang lain. Tolonglah
aku agar dapat melihat kenyataan yang sesungguhnya dari
kehendak-Mu dalam hal ini.
Allah Bapa, firman-Mu berkata bahwa jika seseorang
berbuat salah terhadapku tujuh kali dalam satu hari, dan
tujuh kali ia kembali kepadaku dan berkata, aku
menyesal, maka aku harus mengampuninya (Luk.17:4).
Aku berkeinginan untuk menaati Engkau. Kuatkan aku, ya
Tuhan.
Ya Bapa, tolong aku agar dapat mengerti bahwa
penghukuman dan akibat-akibat yang terjadi pada orang-
orang ketika mereka berbuat salah, sering kali setimpal
bagi mereka. Ketimbang menimbulkan kesusahan yang
lebih banyak lagi, firman-Mu berkata bahwa aku harus
mengampuni dan menghibur orang tersebut, sehingga ia
tidak akan dikuasai oleh rasa sesal yang berlebihan
(2Kor.2:7). Tuhan, tolong aku agar dapat menjadi seperti
sosok yang dapat melayani aku seperti yang kuinginkan
bila aku gagal.
Tuhan, Engkau menyuruh aku untuk memaafkan
orang lain di hadapan Kristus supaya setan tidak dapat
memperdayai aku. Tolonglah aku agar terus peka terhadap
rancangan-rancangannya (2Kor.2:11). Tolonglah aku
untuk dapat melihat seberapa besar musuh mendapatkan
keuntungan dari ketidakmauanku untuk mengampuni.
Aku menawarkan kepada dirinya setapak tempat berpijak
setiap kali aku menolak untuk mengampuni.
Tuhan Allah, kuatkan aku untuk dapat sabar dengan
orang lain dan mengampuni apapun kesusahan yang
kurasakan karena orang lain. Tolong aku untuk dapat
mengampuni sebagaimana Engkau, ya Tuhan, telah
mengampuni aku (Kol.3:13).
Tuhan, Engkau telah mengaruniakan anugerah yang
sedemikian besar kepadaku. Engkau telah mengampuni
kebejatanku dan tidak lagi mengingat dosa-dosaku (Ibr.
8:12). Tolong aku agar dapat mendemonstrasikan rasa
syukurku dengan cara mengampuni orang lain!
Tuhan, aku telah mendengar bahwa Kasihilah
sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Akan tetapi
Engkau memerintahkan aku untuk mengasihi musuh-
musuhku dan berdoa bagi mereka yang menganiaya aku,
sehingga aku boleh menjadi anak Bapaku yang di surga
(Mat.5:43-44).
Jika Engkau, O Tuhan, mencatat dosa-dosa, siapakah
yang dapat bertahan? Akan tetapi, bersama-Mu ada
pengampunan; karena itu engkau ditakuti (Mzm.103:4).
Tuhan, setelah segala sesuatu yang telah Engkau lakukan
bagiku dan setelah semua dosa yang telah engkau ampuni
di dalam kehidupanku, tolonglah aku agar aku memiliki
ketakutan dan penghormatan kepadaMu yang demikian
sehingga aku tidak akan menunda pengampunan kepada
orang lain.
Tuhan Allah, tolong aku agar tidak kalah oleh
kejahatan, tetapi agar aku mengalahkan kejahatan dengan
kebaikan (Rm.12:21).
Tuhan Yesus, darah perjanjian-Mu yang berharga
telah dicurahkan bagi banyak orang untuk pengampunan
dosa (Mat.26:28). Setelah Engkau mencurahkan darah-
Mu sendiri bagi pengampunanku, tolong aku agar aku
tidak berespons dengan hati yang terlalu mengeras untuk
dapat memaafkan orang lain.
Di dalam Engkau, ya Yesus, aku memiliki penebusan
melalui darah-Mu, pengampunan dosa-dosa menurut
kekayaan anugerah Allah (Ef.1:7). Aku memiliki kekayaan
anugerah-Mu sehingga aku akan selalu dapat memberikan
pengampunan kepada mereka yang telah melukai aku.
Berbahagialah aku karena pelanggaran-
pelanggaranku diampuni. Berbahagialah aku karena dosa-
dosaku ditutupi (Mzm.32:1). Biarlah rasa syukurku yang
dalam dapat tampak melalui cara aku berelasi dengan
orang lain, o Tuhan.
Ya Tuhan, aku berkehendak untuk tidak membuat
sedih Roh Kudus dari Allah, yang dengan-Nya aku
dimeteraikan untuk hari penebusan. Melalui kuasa Roh-
Mu, tolong aku agar dapat menyingkirkan semua
kepahitan, murka dan amarah, cercaan dan celaan, beserta
berbagai bentuk itikad jahat. Aku berkeinginan untuk
bersikap baik dan berbelas kasih kepada orang-orang lain,
memaafkan orang lain, sebagaimana juga di dalam Kristus
Engkau telah mengampuni aku (Ef.4:30-32).
Tuhan, sesuai dengan firman-Mu, kasih itu sabar,
kasih itu baik. Ia tidak iri hati, ia tidak menyombongkan
diri, ia tidak tinggi hati. Ia tidak kasar, ia tidak mencari
kepentingan sendiri, ia tidak mudah dibuat marah, ia
tidak mengingat kesalahan-kesalahan. Kasih tidak
menyukai kejahatan tetapi bersukacita dalam kebenaran.
Ia selalu melindungi, selalu percaya, selalu berharap,
selalu bertekun. Kasih tidak pernah gagal (1 Kor.13:4-8).
Bapa, aku mengaku kepadaMu bahwa aku belum memiliki
kasih seperti ini dalam diriku. Satu-satunya cara aku dapat
mengalami dan mengekspresikan kasih seperti ini adalah
dengan menyerahkan hatiku kepada-Mu dan meminta
Engkau untuk mengosongkannya dari segala isi
kedagingannya dan membuatnya menjadi bejana kasih-
Mu. Gunakan hatiku untuk mengasihi mereka yang sukar
dikasihi dan mereka yang telah melukai aku, ya Tuhan
kekasihku. Aku menanti-nantikan Engkau melakukan
sebuah mukjizat didalam dan melalui hatiku.
Aku tahu siapa yang kupercaya, dan aku yakin bahwa
Engkau, Tuhan, mampu menjaga apa yang telah
kupercayakan kepada-Mu (2 Tim.1:12). Aku
mempercayakan situasi ini kepada-Mu, ya Tuhan.
Ya Bapa, tolong agar kasih Kristus menguasaiku
untuk melakukan apa yang benar di dalam situasi yang
menantang ini (2 Kor.5:14).
Ya Tuhan Allah, kuatkan aku untuk berusaha sekeras
mungkin untuk hidup dalam kedamaian dengan semua
orang dan hidup kudus; tanpa kekudusan tidak ada
seorang pun yang akan melihat Tuhan. Tolong aku agar
aku dapat melihat bahwa aku tidak menjauhkan diri dari
anugerah Allah dan tidak ada akar pahit yang bertumbuh
sehingga menyebabkan permasalahan dan mencemarkan
banyak orang (Ibr.12:14-15).
Bab 3

Mengampuni Tak Harus Melupakan

Tetapi Yusuf berkata kepada mereka: "Janganlah takut,


sebab aku inikah pengganti Allah?
Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap
aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk
kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi
sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang
besar. (Yusuf)

Beberapa klien kami di LK3 masih ada yang


beranggapan bahwa untuk bisa mengampuni kita harus
melupakan peristiwa dan orang yang melukai kita. Ini
jelas anggapan yang salah. Kita tak mungkin bisa
melupakan, kecuali kita terkena amnesia atau pikun.
Peristiwa dan orang yang memahitkan hidup kita bisa saja
terus kita ingat. Tetapi pengampunan yang kita
berikan akan membuat kita tidak merasa sakit lagi dengan
kenangan itu. Kenangan itu justru akan mengajar kita
untuk tidak melakukan hal yang sama kepada orang lain.

Pengampunan Menurut Meninger, sebagaimana


dikutip Anastasia Adelina9 berarti : ketetapan hati yang
menyatakan tidak ada gunanya lagi membalas dendam.
Pengampunan adalah melepaskan semua emosi negatif
yang berkaitan dengan peristiwa masa lampau.
Pengampunan merupakan tanda dan landasan adanya
harga diri yang positif dan selanjutnya membuatnya
semakin kokoh. Karena energi yang ada di dalam diri
tidak digunakan untuk membalas dendam, tetapi untuk
mengerjakan hal-hal yang lebih baik dan mencari jalan
keluar yang lebih positif.

9
Anastasia, Adelina. Intervensi pengampunan Dalam Terapi Rasional Emotif Terhadap
Penurunan Emosi Negatif dan Peningkatan Emosi Posiif. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas
Katolk Sugijaparanata, Semarang, 2002.
Dengan pengampunan, diri menjadi bebas untuk
menempuh jalan yang memungkinkan perkembangan
sejati menuju kematangan, mengembangkan diri
sebagaimana seharusnya. Pengampunan membuat kita
mampu untuk melihat diri kita sendiri, orang lain,
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup kita
sebagaimana adanya. Pengampunan tidak berarti
menyangkal, tidak ambil pusing, mengecilkan, berpura-
pura atau tidak menganggap serius apa yang telah
dilakukan orang lain terhadap kita atau penderitaan yang
kita tanggung karena tindakan itu. Kalau kita
mengampuni, kita membuat diri kita sendiri mampu
melihat luka-luka serta bekas-bekas luka dalam diri kita
seperti adanya. Kita dapat melihat betapa banyak energi
yang sudah terbuang karena kita tidak mengampuni dan
kita mulai sadar seberapa jauh kita melangkah dalam
perjalanan hidup ini .

Saya (Julianto) tidak akan pernah bisa melupakan


apa yang ayah dan ibu saya lakukan kepada saya waktu
saya kecil. Saya ditolak, dan dibedakan dari saudara-
saudara saya. Tetapi kini saya tidak lagi menyimpan
dendam atau kemarahan, saya justru belajar banyak dari
penolakan orangtua saya. Pengalaman pahit itu justru
mendorong saya melakukan pelayanan konseling kepada
orang-orang yang hidupnya pahit dan sulit. Pengalaman
saya pribadi justru ikut membantu proses pemulihan
klien saya. Beginilah kisah saya:

Bulan Desember 1962 ibuku hamil muda.


Kehamilan ini ia ceritakan pada suaminya (ayahku),
seorang polisi dan alkoholik yang sangat keras dan
kasar, "Pa, aku hamil anak kita keenam."
Suaminya (papaku) bukannya menyambut
senang, tapi dengan kasar mengancam ibuku, "Aku
tidak mau anak laki-laki lagi. Beri saya anak
perempuan! Memang, sudah lima kali ibu kami
melahirkan, semuanya laki-laki.
Ibu menjawab, "Kalau laki-laki lagi, gimana?"
"Kamu saya ceraikan!"
Aduh! Ibu sangat stres dengar kalimat Ayah. Dia
tahu benar sifat Papa yang keras. Saat aku duduk di
kelas III SMA Mama cerita padaku, "Julianto, waktu
Mama melahirkan kamu, mama stress, akhirnya
blooding (pendarahan) dan hampir meninggal
dunia."
Saat aku masih kecil, sulit bagiku mengerti
perlakuan mama dan papaku. Papa seorang pejabat
kepala keuangan polisi. Kami sering dikunjungi
famili dan tamu kantor papa. Juga para tetangga.
Biasanya mama dengan bangga memperkenalkan
anak-anaknya, mulai dari yang sulung, Ini Johnny,
ini Albert. Ini nomor tiga Helman, lalu Jerry dan
anak kelima Agustinus. Ini? Witner, anak ketujuh.
Lhaaaa? Saya kok tidak dikenalkan? Hatiku
berbisik dan protes keras. Lalu para tamu spontan
bertanya dengan menunjuk kepadaku, "Yang ini
siapa?"
Ibuku menjawab ketus, "Tanya aja sendiri!"
Para tamu pun bertanya kepadaku, "Ucok
(panggilan akrab bocah Batak), siapa namamu?"
Dengan polos, aku menjawab, "Aku Julianto,
Om. Aku nomor enam!"
Peristiwa seperti itu kerap terjadi jika ada tamu
baru datang ke rumah. Yang lebih tidak nyaman dan
membuat batinku berontak keras adalah, saat papa
memaksaku memakai rok. Papa membelikan
beberapa baju perempuan. Baju dan rok perempuan
itu aku harus kenakan sehabis mandi sore. Sambil
tertawa dan melucu Papa, Mama dan para abangku
memanggilku dengan nama Puan. Rupanya itu
singkatan dari perempuan.
Aku merasa begitu dilecehkan, tapi aku tak tahu
harus berbuat apa. Usiaku masih balita. Pada tahun
kelima, aku mulai sadar, bahwa aku dipermainkan
dan diolok-olok. Baju dan rok perempuan yang
sedang dipakaikan padaku, segera kubuka. Dengan
rasa marah dan jengkel, aku lemparkan itu jauh-jauh
sambil menangis.
Setelah sadar, aku menjadi marah setiap kali
diminta pakai rok. Kemarahanku kutampakkan
dengan tidak mau ke sekolah. Orangtuaku
memaksaku sekolah di Taman Kanak-kanak pada
usia 6 tahun. Tapi aku selalu menangis dan lari dari
kelas. Barulah di usia 7 aku mau ke sekolah.
Penolakan Ibu kurasakan bertahun-tahun.
Bahkan tak akan pernah saya lupakan ketika suatu
hari Ibu lagi bentrok keras dengan Ayah (orangtuaku
sering bertengkar). Beberapa tamu datang ke rumah.
Lalu ada yang menanyakan nama-nama kami. Ibu
memperkenalkan kelima abang dan satu adik saya.
Namun ia tetap tidak mempedulikan saya. Tamu
bertanya sambil menunjuk ke saya, Yang ini
namanya siapa dan nomor berapa? Mamaku
dengan ketus menjawab, Tanya sendiri! Anak dari
tong sampah itu! Saya sangat terkejut, dan
perkataan itu masih terngiang-ngiang sampai hari
ini.
Masa remajaku sangat buruk. Tidak beda jauh
dengan abang-abangku. Akrab dengan kartu, alcohol
dan dunia preman. Syukurlah, saat aku duduk di
kelas II SMA Negeri I Medan, Kristus menjamahku
lewat retreat yang diadakan Persekutuan Doa sekolah
kami. Hari kedua retreat yang kami adakan di Binjai
itu, mengubah hatiku. Aku menerima Kristus secara
pribadi.
Singkat cerita, setelah menamatkan SMA, aku
mendapat kesempatan kuliah di Institut Injil
Indonesia di Batu. Selesai itu aku memutuskan
mendalami konseling di Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga dan studi lanjut bidang di Sekolah
Tinggi Teologi Reformed Injili (STTRII) Jakarta.
Selama belajar konseling, aku terus belajar
mengampuni orangtuaku. Aku merasa cukup
berhasil, namun sesungguhnya belum.
Pada tahun 2001, saat masih bekerja sebagai
konselor di Reformed AfterCare (RACE), sebuah
pusat konseling narkoba, aku sempat menonton
sebuah VCD bersama dengan beberapa residen.
Lewat VCD itu barulah aku sadar, bahwa aku belum
sepenuhnya memaafkan Mamaku. Dalam VCD Sex
Education yang disampaikan Pam Stenzel itu
menceritakan pengalaman unik Pam. Pam ternyata
berlatar belakang seorang anak hasil perkosaan. Dia
bersaksi, betapa ia mengagumi ibunya yang memilih
tidak menggugurkan Pam, tetapi memilih
melahirkannya. Selanjutnya Pam berkata dalam VCD
itu10:

Ayah biologisku adalah pemerkosa. Aku bahkan tak


tahu kebangsaanku. Tapi aku tetap manusia dan
punya nilai. Nilai hidupku tak kurang sedikitpun
dari kalian karena caraku dikandung. Dan aku tak
layak dihukum mati akibat kejahatan ayahku. Aku
sudah dengar gelak tawa mereka. Di Mineapolis
mereka berkata, Anak selalu diinginkan dan
direncanakan. Dirimu adalah kesalahan!

Aku tak percaya itu. Aku percaya setiap anak


diinginkan seseorang dan Tuhan mengasihinya.
Aku tak mampu menjelaskannya sampai bertemu
muka dengan-Nya nanti. Tapi aku percaya Tuhan
punya rencana untukku, dan Tuhanku amat
mempesona. Dia mampu mengambil rasa sakitmu
yang paling parah. Apa pun pilihan buruk yang kau
ambil atau perlakuan orang merusak dirimu. Dia
mampu menjadikan hal itu indah jika kalian
menyerahkannya pada-Nya.

10
Stenzel, am. Sex, Love & Relationship, VCD Ceramah Edukasi Tentang Seks Remaja.
Aku belum bertemu ibu kandungku, kuharap suatu
hari nanti bisa. Jika tak bisa di bumi, mungkin di
sorga. Itu doaku sejak umur 4 tahun. Jika nanti
kami bertemu, akan kugenggam tangannya dan
berkata, betapa aku sangat mencintainya karena
dia mencintaiku. Dia cukup mencintaiku untuk
memberiku hidup dan juga hadiah paling istimewa
yang pernah diberikan kepadaku: keluargaku. Aku
tak tahu apa diriku hari ini jika Ibu memutuskan
menggugurkanku. Aku amat bersyukur, dia cukup
mencintaiku dan memberiku keluarga.

Aku tertegun mendengar perkataan perkataan


Pam Stenzel di atas. Air mataku pun mulai
mengalir. Barulah aku sungguh tersadar, berkat
terbesar yang diberikan ibu dan ayahku adalah
HIDUP. Aku teringat kata kata Yesus, Bukankah
HIDUP itu lebih penting daripada makanan, pakaian
(fasilitas hidup).. Ya, hidup itu lebih penting dari
fasilitas hidup, kegagalan hidup, kebanggaan hidup,
keberhasilan hidup dan dari apa pun di dunia ini.
Orangtuaku telah memberikan hidup kepada
ku....Saat itu aku merasa lega dan berdoa, bersyukur
untuk Ibu yang pernah mengandung dan
melahirkanku. Seperti ada batu-batu kerikil, terjatuh
dari hatiku. Meski ia pernah menolak, mengabaikan,
dan melecehkanku, hari itu aku baru memaafkan
Ibuku dengan tuntas. Aku juga berpikir, toh
orangtuaku tak sengaja melakukannya. Mereka tak
pernah belajar menjadi ayah dan ibu.
Sebagai tanda kasih dan mengenang Ibuku awal
Mei tahun 2001 aku menuliskan sebuah syair lagu
untuknya : Kasih Ibu Kan Kukenang Selalu

Be-ta- pa mu-lia cin-ta ka- sih-mu


Be-ta- pa dah-syat pengorba nan mu
yang ku tri-ma dari mu I bu
Yg Allah brikan ba - gi ku
Darah ter- curah, mela-hir - kanku
Tanganmu lelah, membesar kanku
Kasih I - bu spanjang hi - dupku
A-kan ku kenang se - la lu

Reff.
Meski I - bu ki-ni tlah ti-a-da
Na-mun kasih mu takkan kulupa
Bagiku kasih I bu ti- a-da du-anya
Kasih Ibu wa-ri-san mu-li- a

Mengampuni bukan untuk melupakan kesalahan,


tetapi untuk menjadikan hal itu sebagai pembelajaran.
Mengampuni adalah kita masih mengingat tetapi ntidak
lagi sakit. Kini setiap kali aku mengingat dan
menceritakan pengalaman ini kepada orang lain hati saya
tidak lagi sakit, malah bersykur bahwa Tuhan
mengizinkan masa laluku yang pahit. Hal inilah
memberiku dorongan menjalani karir sebagai konelor.
Aku bersyukur dan tidak pernah menyesal lahir dari kedua
orangtuaku. Mereka ikut memberi warna dan melukis
kepribadianku. Aku percaya Tuhan terlibat dalam semua
pengalaman itu. Ia sanggup membuat segala sesuatu
indah pada waktunya.

Kepahitan, Virus yang Mematikan

Ada kalanya seseorang bisa mengampuni, tapi tak


jarang ada yang menyimpan kepahitan bertahun-tahun
lamanya. Meskipun ingin mengampuni tapi tak ada daya
yang cukup untuk itu. Sementara akibat kepahitan itu tak
terasa, tetapi lama kelamaan dia menyebar bagaikana
racun yang merusak semua sendi kehidupan kita. Ada
juga dari kita sengaja menunda pengampunan dengan
tujuan memberi sedikit hukuman kepada orang yang
melukai kita. Tetapi sesungguhnya, menunda
pengampunan adalah sebuah bentuk pembalasan dendam
yang halus. Mengapa? Karena berbuat demikian adalah
berharap bahwa orang yang berbuat salah itu akan merasa
sakit sedikit juga, supaya ia dapat mengerti. Akan tetapi
jenis pembalasan dendam seperti ini menghilangkan
kemerdekaan Anda dan membiarkan orang yang bersalah
atas Anda tersebut tetap mengendalikan Anda.
Kepahitan adalah virus yang mematikan. Ironisnya
virus ini umumnya tidak disadari sebagian kita. Tiba-tiba
virus itu menggerogoti seluruh hidup orang yang
memeliharanya. Salah satu sahabat kami Arie,
menceritakan satu pengalaman saat ia masih di asrama
seminari. Begini kisahnya :
Beberapa hari sebelum wisuda, kami
mengadakan sharing dengan beberapa teman
sekamar. Waktu itu kami sedang membahas
tentang saat-saat kita bahagia. Kami semua saling
bercanda dan bercerita, tetapi ada satu teman kami
yang tetap bungkam tak bersuara. Keesokan
harinya dia mendatangi saya dan saya dikejutkan
dengan satu pertanyaan, Apakah kamu ingin tahu
kapan saya merasa sangat bahagia?
Saya mengangguk dan melihat sesuatu yang
aneh. Dia tersenyum namun ada satu kepedihan
yang selama ini terkunci dan siap meledak. Saat
paling bahagia dalam hidupku adalah saat aku
berusia 16 tahun, yakni saat itu aku mendengar
bahwa kedua orangtuaku meninggal dalam sebuah
kecelakaan kereta api. Aku sangat senang mereka
mati, dan melihat mereka dikubur adalah satu-
satunya keinginanku. Sudah lama itu kudambakan.
Dari percakapan sahabat saya dengan
temannya itu, ternyata kematian kedua
orangtuanya menjadi saat yang paling
membahagiakannya karena dia adalah seorang
anak yang tidak diinginkan. Setiap hari
orangtuanya selalu mengatakan hal-hal yang
menyakitinya. Saat mengandung, ibunya berusaha
menggugurkannya namun gagal. Kebenciannya
pada orang tuanya begitu dalam, hatinya terluka
dan tersimpan hingga dewasa.

Peristiwa-peristiwa negatif yang kita alami, seringkali


meninggalkan luka yang dalam; bisa jadi itu
pengkhianatan, penolakan, ataupun pemerkosaan; bisa
juga penganiayaan, kecemburuan, perasaan tersinggung
yang tidak diselesaikan, dan disiplin tanpa kasih. Jika hal
ini tidak diatasi dengan benar dapat menimbulkan akar
pahit yang bisa merusak kesehatan mental dan fisik kita,
juga spiritualitas kita.
Kepahitan bisa menjadi satu lobang hitam yang
menyeret kita masuk kedalamnya dan menghancurkan
hidup kita. Luka hati bagaikan satu perangkap atau
penjara yang dapat mengurung hidup kita. Ketika terluka,
kita cenderung menyalahkan orang lain untuk
membenarkan kebencian, amarah, dan dendam kita
kepada orang yang membuat kita menjadi korban. Atau
kita memilih untuk menyembunyikan luka hati itu rapat-
rapat dan berusaha melupakannya. Ini sama halnya
dengan menimbun sampah atau kotoran yang
menyebarkan banyak virus dan kuman dalam relasi kita
dengan sesama.
Memang alamiah, jika ketika kita terluka, kita
telusuri sumber luka itu. Tak ada yang salah dalam hal ini.
Namun apabila kita melakukannya hanya dengan maksud
mengkambinghitamkan orang lain, maka luka kita malah
berubah menjadi dendam dan kemurkaan.
Begitu sakit hati itu kita pelihara, maka secara
perlahan ia akan menggerogoti sehingga kita terjatuh dan
merusak semua yang ada di sekeliling kita. Orang yang
terluka mempunyai ingatan yang tajam tentang persoalan
yang menyakitkan hingga detailnya. Mereka menjadi
bergumul dalam rasa kasihan kepada diri sendiri. Mereka
mencatat setiap serangan yang ditujukan padanya dan
siap memperlihatkan kepada orang lain betapa mereka
telah terluka. Dari luar mereka kelihatan begitu tenang
dan sabar, tetapi di bagian dalam mereka siap
menyemburkan dorongan perasaan yang meledak-ledak.
Orang yang terluka menyimpan dendam mereka secara
terus-menerus. Mereka merasa dilukai hingga sedemikian
dalam, sehingga membuat mereka tersingkir dari
kebutuhan untuk mengampuni. Hati mereka dipenuhi
dengan amarah dan dendam sehingga tidak lagi
mempunyai kemampuan untuk mencintai.
Kepahitan lebih dari sekedar pandangan negatif
terhadap hidup. Kepahitan merupakan kekuatan yang
merusak relasi kita dengan siapapun tetapi terutama
menghancurkan diri kita sendiri. Seperti bisul yang
semakin meradang, demikianlah kepahitan yang
dipelihara. Akibat luka batin sangat kompleks, dapat
membuat fisik kita sakit, menghambat pertumbuhan
rohani kita, merusak kesehatan emosi kita, sehingga kita
tak dapat menikmati hidup.
Orang yang terluka dan punya akar pahit cenderung
menyendiri, karena merasa tidak dapat mempercayai
orang lain. Cenderung posesif, manipulatif, sulit diajar
atau dikritik; sebaliknya suka mengkritik orang lain.
Apakah masih ada akar kepahitan, kebencian, dendam
atau amarah tersembunyi kepada seseorang dalam jiwa
saudara? Pilihan mengampuni atau menyimpan kepahitan
ada di tangan saudara.

Pemaafan Selalu Memberi Kesempatan Kedua

Salah satu kisah memaafkan yang menyentuh


hati kami adalah pengalaman dari almarhumah Corrie ten
Boom dan keluarganya. Mereka mengalami kekejaman
selama tahun tahun terakhir perang dunia ke II. Ia dan
keluarganya dikirim oleh Nazi ke kamp pembantaian di
Ravensbruck, Jerman. Akhirnya, hanya Corrie yang
selamat. Sesudah perang, ia menjadi penulis terkenal dan
sering berbicara tentang kasih Allah. Namun di dalam
hatinya, ia masih merasakan kepahitan terhadap Nazi atas
apa yang sudah mereka perbuat terhadap dirinya dan
keluarganya. Dua tahun sesudah perang, Corrie berbicara
di Munich, Jerman, tentang topik pengampunan Allah.
Sesudah kebaktian, ia melihat seorang pria yang ikut
menyiksa dirinya bersama keluarganya berjalan ke
arahnya. Beginilah kisahnya11 :

Pria yang sedang berjalan menghampirinya


adalah seorang penjaga salah seorang dari
penjaga yang paling keji. Sekarang orang ini ada di
hadapan Corrie dengan tangan terulur. Pia itu
berkata, Pesan yang bagus Ibu! Betapa senangnya
mengetahui bahwa, seperti Anda katakan, semua
dosa kita sudah dibuang ke dasar laut! Dan saya,
yang baru saja berbicara dengan fasih tentang
pengampunan. Saya tak kuasa menerima
salamnya. Aku hanya , meraba-raba buku saya,
bukannya menyambut tangan yang terulur itu.
Tentu saja orang ini tidak akan mengingat saya
bagaimana mungkin ia ingat seorang tahanan di
antara ribuan wanita itu?
Namun, saya ingat kepadanya dan cambuk kulit
yang mengayun dari ikat pinggangnya. Darah saya
serasa membeku.

Anda menyebutkan Ravesbruck dalam ceramah


Anda, orang itu berkata. Saya dulu menjadi
penjaga di sana. Tidak, ia tidak ingat saya.
Tapi, sejak saat itu, ia melanjutkan, saya
menjadi orang Kristen. Saya tahu Allah sudah
mengampuni saya untuk hal-hal keji yang saya
lakukan di sana. Tetapi saya ingin mendengar dari
bibir Anda juga ibu, sekali lagi tangan itu terulur
maukah Anda mengampuni saya?

11
Moore, Beth. Berdoa Sesuai Firman (Jakarta : Persekutuan Pembaca Alkitab, 2005)
Saya berdiri di sana saya tidak sanggup
mengampuni. Betsie saudaraku meninggal di
tempat itu dapatkah orang ini menghapus
kepahitannya hanya dengan meminta maaf?
Tidak mungkin lebih dari beberapa detik orang itu
beridiri di sana dengan tangan terulur, tetapi bagi
saya rasanya berjam-jam sementara saya
bergumul dengan perkara paling sulit yang harus
saya lakukan.
Karena saya harus melakukannya saya tahu itu.
Pesan bahwa Allah mengampuni didahului dengan
kondisi : bahwa kita harus mengampuni mereka
yang sudah menyakiti kita. Jika engkau tidak
mengampuni kesalahan orang lain, Yesus berkata,
maka Bapamu yang di sorga tidak akan
mengampuni dosamu juga.
Saya tahu itu bukan hanya sebagai perintah Allah,
tetapi juga sebagai pengalaman sehari-hari.
Sesederhana itukah?
Dan saya masih berdiri di sana dengan hati yang
membeku. Namun pengampunan bukanlah emosi
saya juga tahu itu. Pengampunan adalah tindakan
dari kehendak, dan kehendak dapat berfungsi lepas
dari suhu hati saat itu. Yesus, tolong saya! Saya
berdoa dalam hati. Saya dapat mengangkat
tangan saya. Saya dapat berbuat sejauh itu.
Engkaulah memberikan perasaan itu.
Dengan kaku dan seperti mesin, saya pun
mengulurkan tangan untuk menyambut tangan
yang terulur itu. Ketika saya melakukannya, suatu
kejadian luar biasa terjadi. Ada aliran yang timbul
dimulai dari bahu saya, merambat turun ke lengan
saya. Lalu menyebar ke tangan kami yang saling
menggenggam. Kemudian, kehangatan yang
menyembuhkan ini tampak membanjiri seluruh diri
saya sehingga mata saya banjir dengan air mata.
Saya mengampunimu, Saudara, saya berseru,
dengan segenap hati saya.
Untuk waktu yang lama kami saling menggenggam
tangan satu sama lain, mantan penjaga dan
mantan tahanan. Saya tidak pernah mengetahui
kasih Allah begitu kuat, seperti yang saya rasakan
saat itu. Namun, meskipun begitu, saya sadar itu
bukan kasih saya. Saya sudah berusaha dan tidak
mempunyai kekuatan untuk itu. Itu adalah kuasa
Roh Kudus seperti tercatat dalam Roma 5:5,
karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati
kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan
kepada kita.

Memaafkan selalu memberi orang kesempatan


kedua. Mengampuni adalah jalan terbaik orang dapat
melihat Kristus dalam diri kita yang sesungguhnya.
Mengampuni adalah sisi mutiara kasih Kristus yang paling
nampak sinarnya bagi kita yang melihatnya. Kami belajar
banyak dari pengalaman Corrie di atas. Kiranya hati anda
tersentuh membaca kisah tersebut dan mengambil
keputusan memberikan pengampunan pada seseorang
yang menantikannya dari diri saudara.
Bab 4
Cinta itu Memulihkan

Siapa menutupi pelanggaran, mengejar kasih,


tetapi siapa membangkit-bangkit perkara, menceraikan
sahabat yang karib.

Sebagai orang percaya yang ditebus menjadi anak-


anak Tuhan kita tak luput dari kesalahan dan pelanggaran.
Bahkan setelah mengalami karya penebusan Tuhan dan
kelahiran baru, kesadaran kita akan dosa semakin tajam.
Dosa dan kebiasaan buruk yang tadinya kita anggap biasa,
sekarang kita sadari merupakan sesuatu yang buruk dan
harus kita tanggalkan. Namun tak semudah itu. Seringkali
kita tahu apa yang baik dan kudus, tetapi kita tak mampu
menjalani. Kadang sebalinya yang kita hidupi dan
lakukan. Juga tak ada jaminan, bahwa kalau kita telah
menjadi orang percaya dan di baptis jalan hidup kita akan
selalu aman dari godan dan cobaan. Sebaliknya, godaan
dan cobaan yang datang akan semakin berat seiring
dengan dekatnya hubungan kita dengan Tuhan.
Tantangan dan tekanan akan semakin keras seiiring
dengan jabatan dan pelayanan kita.

Kita tentu mengenal istilah purna jual atau after


sales. Setiap kali kita membeli barang elektronik selalu
ada kartu garansi. Ada jaminan produk setahun atau lebih.
Jika barang rusak, maka kita bisa membawa barang itu ke
pusat servis dan akan diperbaiki atau diganti. Umumnya
perusahaan yang punya nama baik seperti Toyota dikenal
memiliki after sales yang baik. Kita mudah mendapatkan
spare part, pusat servis dan ahli yang memperbaiki. Hal
yang sama berlaku dalam hidup kita sebagai anak-anak
tebusan. Tuhan yang menebus juga memberi garansi atau
jaminan. Salah satu garansi itu kita baca dalam I Korintus
10:13 Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah
pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi
kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia
tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui
kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan
memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu
dapat menanggungnya. Tuhan selalu setia menolong
kita saat cobaan datang. Dia akan mengangkat saat kita
jatuh. Memulihkan saat hidup kita gagal.
Namun untuk itu Tuhan membutuhkan orang yang
melakukan pemulihan itu. Kami menyebutnya orang
demikian bekerja sebagai agen penebus. Orang yang
menghibur, menguatkan dan melatih anak-anak Tuhan
yang jatuh dosa kembali ke jalan Tuhan. Orang yang
bersedia dipakai untuk meneguhkan kembali iman orang
kristen yang tawar. Orang yang mau memotivasi dan
meneguhkan kembali orang percaya yang jatuh ke dalam
dosa. Semua ini adalah bagian dari pelayanan kasih yang
memulihkan.

Dalam peristiwa kejatuhan Raja Daud berzinah


dengan Batsyeba, ada seorang yang membantu pemulihan
Daud. Seorang yang bijak, sabar dan tenang. Seorang
pribadi yang tidak menghakimi, tetapi penuh empati.
Namanya adalah Natan. Lewat sebuah kisah sederhana
Natan berhasil memulihkan kembali hati Daud kepada
Tuhan. Pemulihan Raja Daud telah membawa arti yang
besar bagi pemulihan kerajaan-Nya. Untunglah ada satu
pribadi yang bernama Natan. Pribadi yang penuh kasih.
Bagaimana cara Natan memulihkan Daud? Sangat
sederhana lewat sebuah cerita. Begini ceritanya :

TUHAN mengutus Natan kepada Daud. Ia


datang kepada Daud dan berkata kepadanya: "Ada
dua orang dalam suatu kota: yang seorang kaya,
yang lain miskin.Si kaya mempunyai sangat
banyak kambing domba dan lembu sapi; si miskin
tidak mempunyai apa-apa, selain dari seekor anak
domba betina yang kecil, yang dibeli dan
dipeliharanya. Anak domba itu menjadi besar
padanya bersama-sama dengan anak-anaknya,
makan dari suapnya dan minum dari pialanya dan
tidur di pangkuannya, seperti seorang anak
perempuan baginya. Pada suatu waktu orang kaya
itu mendapat tamu; dan ia merasa sayang
mengambil seekor dari kambing dombanya atau
lembunya untuk memasaknya bagi pengembara
yang datang kepadanya itu. Jadi ia mengambil
anak domba betina kepunyaan si miskin itu, dan
memasaknya bagi orang yang datang kepadanya
itu."Lalu Daud menjadi sangat marah karena orang
itu dan ia berkata kepada Natan: "Demi TUHAN
yang hidup: orang yang melakukan itu harus
dihukum mati. Dan anak domba betina itu harus
dibayar gantinya empat kali lipat, karena ia telah
melakukan hal itu dan oleh karena ia tidak kenal
belas kasihan." Kemudian berkatalah Natan kepada
Daud: "Engkaulah orang itu!...(II Samuel 12:1-7)

Luar biasa, kisah sederhana itu menggugah hati Raja


Daud sedemikian kuatnya. Cerita itu membawa Daud
kepada pertobatan sejati. Pelayanan Natan sangat
dibutuhkan dewasa ini. Pelayanan yang memulihkan
anak-anak Tuhan, para Hamba Tuhan dan pemimpin
bangsa yang tak berdaya dengan dosa. Pelayanan ini
membutuhkan kematangan emosi dan pribadi, serta skill
berkomunikasi yang baik. Salah satu media pelayanan ini
adalah pelayanan konseling.
Sejak tahun 1996 kami memutuskan menekuni
pelayanan konseling. Salah satu aspek pelayanan ini
adalah membantu pemulihan orang percaya dari dosa dan
kegagalan hidup mereka. Banyak orang yang datang ke
kantor kami adalah para pimpinan gereja dan orang-orang
percaya serta aktifis gereja. Ada yang karena
pernikahannya gagal, anak mereka kecanduan narkoba
dan ada beberapa kasus perselingkuhan. Kami ingin
menceritakan salah satunya, tentu dengan nama dan
peristiwa disamarkan.
Pada suatu hari saya menerima sebuah email yang
cukup panjang. Dia seorang aktifis sebuah gereja. Kami
kagum, sebab dia tidak malu membagikan masalahnya
kepada kami. Dia menceritakan kehancuran hidup dan
keretakan rumah tangganya kepada kami lewat email. Di
antaranya dosa melakukan hubungan seks dengan
beberapa wanita yang bukan istrinya. Demikian sebagian
sharing-nya :

Saya mulai melayani Tuhan sejak masih usia


saya sangat muda. Saya bahkan sempat belajar
Alkitab walau tidak tamat. Di akhir 1980-an, saya
pindah ke Jakarta. Disana saya bertemu dengan Rita
yang kemudian menjadi istri saya. Dia adalah
seorang pegawai di sebuah perusahaan swasta. Saya
sendiri bekerja di sebuah Yayasan Kristen.
Sejak awal pernikahan banyak miskomunikasi
antara saya dan istri. Pernikahan kami disfungsi.
Tentu ini mengganggu kegiatan pelayanan saya.
Kami berbeda dalam visi hidup kami. Saya senang
memulai hal-hal baru, istri saya lebih senang
dengan kemapanan. Kadang istri saya meninggalkan
rumah, atau saya yang pergi meninggalkan rumah.
Begitu parahnya pernikahan kami.
Untuk memulihkan diri sendiri, saya mencoba
kembali masuk sekolah Alkitab. Saya rindu
meningkatkan skill pelayanan saya. Suatu hari saya
mengalami kecelakaan. Saya terpukul. Semangat
pelayanan saya menjadi hilang. Apalagi saat
keuangan keluarga kami menipis. Akhirnya saya
memaksakan diri bekerja di bidang jasa yang bukan
bidang saya.
Pergaulan dalam dunia kerja yang baru itu
membuat saya terjatuh. Sebab saya sering tugas
keluar kota. Saya tergoda berhubungan dengan
wanita. Karena sering keluar kota komunikasi saya
dengan istri memburuk. Kalau kami bertemu, kami
hanya ribut. Untuk melupakan konflik itu saya
menghabiskan waktu di depan komputer. Tanpa saya
sadari, akhirnya lewat chatting saya berkenalan
dengan seorang gadis yang sedang bermasalah
dengan calon suaminya. Wanita itu sangat
memperhatikan saya, sampai kami sangat dekat.
Akhirnya kami menjadi sangat intim.
Sementara itu istri saya makin ngotot minta
bercerai. Proses itu kami coba jalani. Sementara
mempersiapkan proses perceraian kami, saya
berhubungan lagi dengan wanita muda tak jauh dari
tempat saya bekerja. Wanita itu sangat baik dalam
pandangan saya. Namun lama kelamaan saya
merasa dia sangat dominan mendikte saya.
Hubungan ini lama dan on-off (sambung-putus).
Sampai suatu hari saya menderita sakit sesak nafas
luar biasa. Mau mati rasanya. Saat itulah terasa ada
kerinduan memperbaiki relasi dengan istri saya. Di
sini titik balik rohani saya. Kesehatan saya berangsur
pulih, tetapi emosi belum.
Untuk membantu emosi saya saya mencari
bantuan konseling. Lewat konseling dan bimbingan
akhirnya saya dipulihkan. Saya bersyukur Tuhan
menerima saya apa adanya. Tuhan sungguh baik, Dia
tidak meninggalkan saya yang sudah berkali-kali
mendukakan roh-Nya. Pemulihan yang alami
sungguh mendorong saya untuk memberi hidup
melayani Tuhan lebih sungguh. Istriku juga belajar
menerimaku apa adanya. Penerimaan dan
dukungannya membantuku pulih dan bersemangat
lagi.

Saat ini sahabat saya ini sudah kembali bekerja


penuh waktu di ladang Tuhan. Dari kisah ini kita melihat
bagaimana Cinta itu memulihkan. Memulihkan adalah
mengembalikan posisi seseorang pada posisi semula.
Menerima orang yang gagal seperti dia tak pernah gagal.
Cinta yang memulihkan berarti kita tidak menyimpan
kesalahan orang yang pernah melukai kita. Sikap hati
demikian akan membuat kita tidak lagi mengungkit-
ungkit kesalahan masa lalu. Kita tidak terjebak pada
kecurigaan yang tak berdasar pada pasangan atau
anggota keluarga kita. Hati yang pulih akan membuat
kita semangat untuk menjaga diri agar tidak jatuh pada
hal yang sama. Demikianlah cinta itu memulihkan. Cinta
yang memulihkan juga adanya kerelaan mendorong dan
memotivasi orang yang gagal dan bersalah untuk bangkit
kembali.

Membantu Pemulihan Suami

Salah satu klien kami yang memahami arti menjadi


agen penebus adalah Alin. Alin dan Adi (suaminya, nama
samaran) berpacaran selama 4,5 tahun. Mereka teman
sekampus. Orangtua keduanya tidak keberatan. Mereka
menikah tahun 1989.
Awalnya semua baik-baik saja, kata Ibu Alin.
Suaminya seorang yang jujur dan bertanggung jawab.
Pandangan mereka sejalan dalam banyak hal. Adi seorang
yang supel dan pandai bergaul, berbeda dengan Alin.
Tetapi ini tidak menjadi masalah. Adi juga bukan suami
yang rewel.
Nampaknya masalah mulai muncul di tahun ketiga.
Bulan Februari putri sulung mereka lahir. Karena Alin
bekerja, mereka pindah ke rumah orangtua Alin. Opa dan
Oma dengan senang hati membantu merawat cucu
mereka.
Tetapi dalam hubungan Alin dan Adi sebagai suami
dan istri, mulai muncul kerikil. Kami mulai jarang
melakukan hubungan intim. Bisa-bisa sekali seminggu
atau sekali dua minggu, kata Alin. Makin bertambah
tahun pernikahan, makin jarang. Pada tahun ke-10,
paling-paling dua-tiga bulan sekali.
Tanpa terasa, Alin merasa hampa dalam
hubungannya dengan Adi. Saya berusaha keras bersikap
terbuka, mengingat sifat saya yang introvert. Saya sangat
kecewa dengan sikap Adi yang tidak menanggapi dan
menuduh saya mengada-ada. Adi merasa tidak dapat
membahagiakan saya. Padahal saya nggak merasa begitu,
lho, bantah Alin, saya merasa cukup dan bisa menerima
kekurangannya.
Perasaan-perasaan itu diungkapkan Alin kepada
suaminya. Tetapi sebagai suami mungkin sulit bagi Adi
untuk menerima kondisinya sendiri. Alin mengajaknya ke
dokter, tapi menolak. Komunikasi yang sulit ini membuat
Alin sering emosi. Saya merasa, usul saya tidak
ditanggapi. Hubungan kami sudah sangat tawar. Ketika
saya mengajak dia membicarakan hal ini, suami saya tidak
terima dan menjadi marah, kata Alin lagi.
Alin juga merasa suaminya kurang tegas dan tidak
jelas maunya. Dia sering bilang terserah kalau ada
masalah. Menurut Alin, suaminya tidak peduli terhadap
keluarga serta selalu menyerahkan urusan anak kepada
istri. Pernah suatu kali saya minta suami meluangkan
lebih banyak waktu untuk anak-anak. Dia menolak. Kalau
di rumah, suami saya lebih banyak menghabiskan waktu
untuk menonton TV, dia tidak peduli keadaan sekitar,
cerita Alin.
Lama-lama, Adi mulai sering menghabiskan waktu
dengan teman-temannya, main kartu. Sebenarnya
sebelum menikah pun Adi sering main judi. Tapi luput
dari pengamatan Alin. Setelah kebiasaan ini berkembang
makin serius, Alin menuntut suaminya berkomitmen
untuk tiba di rumah sebelum tengah malam.
Masalah-masalah yang tidak terselesaikan ini
mencapai puncaknya pada awal Februari 2002. Seorang
ibu menelepon Alin, memberi informasi bahwa Adi
selingkuh. Saya kaget dan tidak percaya, Alin
mengungkapkan perasaannya. Dia bingung dan tidak tahu
harus bersikap bagaimana. Dalam beberapa hari saja
berat badan saya turun sampai 5 kilogram. Saya tidak
ingin membicarakan ini dengan keluarga saya maupun
mertua.
Alin berusaha mendapatkan pertolongan ke pendeta
dan pengerja gereja, tapi mereka sibuk. Akhirnya melalui
salah seorang temannya, dia bertemu dengan konselor.
Alin disarankan untuk mengkonfirmasikan berita itu
kepada suaminya. Saya bersyukur, suami saya tidak
berbelit-belit. Dia mengaku punya wanita idaman lain
(WIL). Saya sangat terpukul, kosong, sedih, kecewa,
disepelekan, dicampakkan, terhina! Alin mengakui.
Apalagi ketika suaminya mengatakan, WIL-nya sedang
hamil, dia mencintainya, tidak main-main dan tidak
menyesal. Adi juga minta izin untuk menikahi wanita itu.
Dia sudah melamarnya dan ingin punya keluarga lain. Alin
betul-betul merasa hancur!

Adi berkenalan dengan wanita lain itu ketika ayah


wanita ini menolongnya dalam suatu kecelakaan di Jawa
Tengah. Menurut Adi, dia kasihan kepada wanita itu
karena terpaksa menjadi pekerja rendahan di desanya.
Dalam per-curhat-annya, Adi mengakui
ketidakmampuannya membahagiakan Alin dalam hal
seks. Wanita itu berusaha meyakinkan Adi bahwa dia
mampu. Dia bilang aku mampu, aku masih muda. Dia
tidak percaya aku tidak bisa, Adi bercerita kepada
istrinya. Itulah awalnya.
Sekarang semuanya sudah terjadi. Mulanya Adi
bermaksud bercerai, tapi Alin menolak. Dia mau tetap
bertahan. Kalau perlu, Alin bersedia mengadopsi anak
suaminya dari wanita lain itu. Apa yang mendorongnya
bertahan? Alin menjawab, Saya percaya, pernikahan
kami diberkati Tuhan. Dia selalu setia pada firman-Nya.
Saya percaya janji-janji-Nya. Saya percaya ada rencana
Tuhan di atas semua ini. Saya juga punya andil dalam
kejatuhan suami saya, saya ingin memperbaikinya. Saya
ingin tetap setia pada janji nikah kami. Saya ingin
membantu suami saya mengenal Tuhan. Saya ingin anak-
anak saya belajar dari cara saya mengatasi kemelut
keluarga ini; agar tali perzinahan, perselingkuhan, dan
kawin-cerai yang mentradisi selama ini di dalam keluarga
suami saya, dapat diputuskan.

Kisah Mantan Waria


Cinta Tuhan yang memulihkan juga dialami sahabat
kami Yani. Dia pernah salah jalan dan mengampil
keputusan hidup yang salah. Namun dia tak mau terus
menyesali apa yang sudah terjadi. Dia terus meyerahkan
diri agar Cinta Tuhan memulihkan jiwanya yang lama
terluka karena penolakan yang hebat, baik dari dirinya
sendiri maupun orang lain.

Yani saat ini tinggal dan bekerja dengan usaha salon


di Surabaya. Puluhan tahun dia menderita karena
pergumulan dan pemberontakan jiwanya. Dia seorang
pria, tetapi jiwanya hampir seratus persen wanita. Orang
menyebut dia dan kaumnya sebagai waria (wanita tapi
pria). Namun pengembaraan pergumulannya akhirnya
tuntas berkat cinta Tuhan yang setia membimbingnya.
Pengalamannya menerima kasih Tuhan yang tak bersyarat
itu mendorongnya membentuk persekutuan doa di antara
kaum gay dan waria di Surabaya. Dalam sebuah acara
persekutuan gabungan LK3, Yani hadir memberikan
kesaksiannya.
Sebelum kenal Tuhan, saya penyembah berhala,
Yani bercerita. Usaha salon saya laris, saya punya cukup
banyak uang. Jujur sejak saya memilih untuk menjadi
waria, keinginan saya adalah menjadi wanita yang
sempurna. Itu sebabnya saya mulai mengoperasi wajah,
payudara dan akhirnya kelamin. Tahun 1989 saya
bertobat. Saya benar-benar menyesal mengapa bertobat
sesudah operasi. Seandainya saya bertobat
sebelumnya, saya tidak akan pernah operasi
kelamin. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, saya harus
menerimanya. Bagaimana sisa hidup saya bisa
mempermuliakan nama Tuhan. Menjadikan bubur itu
menjadi bubur kepiting nan lezat.
Tuhan akhirnya memberi Yani kesempatan dan
beban untuk membawa berita keselamatan bagi teman-
teman senasib, yakni para gay dan waria di Surabaya.
Awalnya dalam bentuk persekutuan doa dengan anggota 7
orang, sekarang ada sekitar 80 orang, di beberapa kota.
Pertobatan Yani terjadi karena Tuhan
menyembuhkan ibunya dari penyakitnya yang parah.
Saat itu juga mami percaya Yesus dan dibaptis. Dari
situlah saya ingin menyerahkan hidup saya pada Tuhan,
Yani melanjutkan kesaksiannya. Namun ketika saya
mengajukan diri untuk dibaptis ternyata tidak semudah
yang saya bayangkan. Pendeta mempertanyakan status
saya. Apakah gereja boleh membaptis waria? Melalui
proses yang agak alot, akhirnya saya dibaptis juga.
Kehidupan Yani sesudah menjadi Kristen dan
wanita sempurna juga tidak mudah. Masalah tetap ada
dan pandangan negatif itu masih melekat. Sebelum kenal
Tuhan Yani marah sekali, namun sesudah kenal Tuhan
saya hanya bisa bersyukur dan mendoakan mereka.
Di akhir kesaksiannya Yani memberikan tips untuk
melayani waria. Katanya, jangan memaksa mereka untuk
berubah. Belajarlah menerima mereka apa adanya, sambil
tetap memberitakan kebenaran dan kasih anugerah. Kita
hanya berserah pada Tuhan, biar Tuhan sendiri yang
mengubah. Dalam pengalaman Yani, tidak sedikit teman-
temannya yang waria akhirnya berubah tanpa dipaksa.
Mereka mulai nggak nyaman dengan pakaian wanita dan
mulai berganti dengan pakaian laki-laki, tidak dandan
dan memotong rambut panjangnya. Sampai sekarang,
demikian sharing Yani masih sisa penyesalan saya
mengapa saya harus operasi kelamin. Tapi ya sudah, nasi
sudah jadi bubur, saya jadikan bubur ayam yang enak.

Bagi Yani, penyesalan karena operasi kelamin atau


pengaruh pilihan yang diambilnya sebagai waria, sampai
sekarang tetap dipikulnya. Tetapi itu menguatkan dia
untuk mencari jiwa-jiwa bagi Kerajaan Allah. Jangan
sampai menyesal seperti saya, kata Yani jika ada yang
menanyakan boleh-tidaknya operasi kelamin. Inilah ciri-
ciri pemulihan Allah. Kita bisa menerima diri kita sendiri
apa adanya, kemudian bersyukur untuk semua yang sudah
dikerjakan Tuhan dalam hidup kita.
Hal-hal apa yang Tuhan sedang kerjakan untuk
memulihkan hidup Anda sekarang ini? Jangan menolak
kesulitan yang Tuhan izinkan, karena itu bagian dari
pembentukan Tuhan yang akan memulihkan hidup kita.
Belajar menerima jalan hidup sebagai anugerah Tuhan,
akan membuat kita pulih. (*)
Bab 5
Cinta itu Berkorban

Kita bisa memberi tanpa mencintai, tetapi


kita tak bisa mencintai tanpa memberi

Masa kecil saya (Roswitha) cukup menyenangkan kalau


saya pikirkan sekarang. Walaupun, pada saat saya
menjalaninya saya merasa sayalah bocah paling malang
sedunia. Bayangkan! Saya punya enam adik yang
dilahirkan dalam tempo sepuluh tahun. Ibu saya tidak
cocok dengan semua pembantu yang bekerja di rumah
kami, sehingga kami hampir-hampir tidak punya
pembantu. Keadaan ini membuat Ibu saya harus bekerja
keras, dan kami membantunya sebisa mungkin. Pekerjaan
saya yang terutama saat itu adalah menjaga adik. Tidak
ada waktu bermain dengan teman-teman sebaya. Kalau
adik-adik saya tidur, saya bertugas membersihkan sayur.
Maka sampai sekarang saya paling benci sayur, walaupun
saya berusaha juga memakannya demi kesehatan saya
sendiri.

Di akhir usia saya yang keenam, lahirlah adik saya


nomor lima. Dia adik yang paling ditunggu, sebab empat
di atasnya perempuan. Waktu kecil adik ini cukup sering
sakit. Saya masih ingat serangkaian upacara ritual kalau
ada di antara kami yang sakit. Mama akan menggendong
si sakit, sambil berjalan mondar-mandir, dia terus-
menerus mengucapkan doa Bapa Kami dan Pengakuan
Iman Rasuli, dalam bahasa Nias dan bahasa Indonesia.
Kalau sakitnya demam tinggi, dekat tempat tidur pasti ada
air kompres dan sebuah sendok. Suatu kali, iseng-iseng
saya tanya Mama, apa guna sendok itu?
O itu, jawab Mama, untuk menolong adikmu kalau
dia step (kejang).
Walaupun percakapan itu dilakukan sambil lalu,
kata-kata Mama tetap saya ingat. Saya tidak tahu bahwa
rasa ingin tahu saya itu akan menyelamatkan jiwa anak
saya sendiri kelak. Begini ceritanya :

Josephus, anak saya pertama, lahir dengan operasi


caesar 20 Agustus 1993. Dia sehat, gemuk, dan
menyenangkan. Waktu dia berusia setahun, dia
mengalami step yang pertama. Panasnya belum terlalu
tinggi sebenarnya, hanya sekitar 39, tapi dia sudah mulai
hilang sadar. Saya teringat percakapan dengan Ibu saya,
tapi tidak sempat menyiapkan sendok. Untung, ada
tetangga menolong dengan gel dingin yang dikompreskan
di dahi dan kepala belakang. Beberapa menit kemudian
Josephus tenang kembali. Sejak itu, kalau Josephus panas,
saya selalu siapkan sebuah sendok dekat bantalnya.
Kejadian yang sama berulang setahun kemudian.
Saya tidak akan lupa tanggalnya, 20 Desember 1995.
Tengah malam, suami saya tidur di samping Josephus. Dia
kecapaian setelah memimpin sebuah acara Natal. Saya ke
ruang makan untuk membuatkan Josephus susu. Saya
memperhatikan nafasnya teratur tapi dia agak gelisah.
Waktu sedang mengocok susu tiba-tiba saya tertegun, kok
sepertinya nafas Joseph terdengar lain? Saya berlari ke
kamar. Yang saya lihat betul-betul menegakkan bulu
roma: Josephus sedang kejang-kejang, matanya terbalik-
balik, mukanya membiru, mulutnya terkatup rapat. Dia
berusaha bernafas tetapi sulit sekali.
Pa! saya teriak memanggil suami saya, sambil
berusaha memasukkan gagang sendok di antara giginya.
Mulutnya terbuka, tapi sendok itu tidak bisa mencapai
tenggorokannya. Jadi saya menyelipkan telunjuk kiri saya
ke mulut Josephus, supaya mulutnya tidak terkatup lagi.
Sendok besar! Sendok besar! teriak saya pada
suami saya yang terbengong di situ. Suami saya melompat
mengambil sendok. Dengan tangan kanan saya
mendorong gagang sendok besar sampai mencapai
tenggorokan Joseph, terus saya tekan pangkal lidahnya.
Barulah dia bisa bernafas biasa kembali. Terlambat
beberapa detik lagi kami akan kehilangan dia. Suami saya
berdoa dengan suara keras, Jangan ambil dia, Tuhan
Yesus. Selamatkan dia!
Kemudian saya memberi Josephus stesolid yang
dimasukkan lewat duburnya. Dia tertidur tenang kembali.
Saya periksa luka di tangan saya, putih sampai kelihatan
tulang; dan baru terasa sangat sakit sampai sekarang,
sudah sebelas tahun lewat, bekas luka itu masih kelihatan
jelas.
Untung, saya pernah ditugaskan Mama menjaga
adik-adik saya. Jadi saya bisa merawat anak-anak saya
sendiri tanpa canggung. Walaupun dulu saya melakukan
tugas itu dengan bersungut-sungut, Saya terus, saya
terus, pada Mama saya, saya bersyukur bahwa saya
menikmati buahnya sekarang. Ini namanya bahagia yang
tertunda

Mencinta memang harus berkorban. Tak ada cinta


tanpa pengorbanan. Izinkan kami mengutip sebuah kisah
ilustrasi yang kami terima dari sebuah e-mail di milis
kami.

Musim hujan sudah berlangsung selama dua bulan


sehingga di mana-mana pepohonan tampak menjadi
hijau. Seekor ulat menyeruak di antara daun-daun hijau
yang bergoyang-goyang diterpa angin.

"Apa kabar daun hijau!" katanya.

Tersentak, daun hijau menoleh ke arah suara yang datang.


"Oo, kamu ulat. Badanmu kelihatan kecil dan kurus,
mengapa?" tanya daun hijau.
"Aku hampir tidak mendapatkan dedaunan untuk
makananku. Bisakah engkau membantuku sobat?" kata
ulat kecil.

"Tentu ... tentu ... mendekatlah ke mari."

Daun hijau berpikir, jika aku memberikan sedikit dari


tubuhku ini untuk makanan si ulat, aku akan tetap hijau,
hanya saja aku akan kelihatan belobang-lobang, tapi tak
apalah.

Perlahan-lahan ulat menggerakkan tubuhnya menuju


daun hijau. Setelah makan dengan kenyang, ulat
berterimakasih kepada daun hijau yang telah merelakan
bagian tubuhnya menjadi makanan si ulat. Ketika ulat
mengucapkan terimakasih kepada sahabat yang penuh
kasih dan pengorbanan itu, ada rasa puas di dalam diri
daun hijau. Sekalipun tubuhnya kini berlobang di sana
sini, namun ia bahagia bisa melakukan bagi ulat kecil yang
lapar.

Tidak lama berselang ketika musim panas datang,


daun hijau menjadi kering dan berubah warna. Akhirnya
ia jatuh ke tanah, disapu orang dan dibakar.

Apa yang terlalu berarti di dalam hidup kita sehingga


kita enggan berkorban sedikit saja bagi sesama? Toh
akhirnya semua yang ada akan binasa. Daun hijau yang
baik mewakili orang-orang yang masih mempunyai "hati"
bagi sesamanya. Yang tidak menutup mata ketika melihat
sesamanya dalam kesulitan. Yang tidak membelakangi
dan seolah-olah tidak mendengar ketika sesamanya
berteriak minta tolong. Ia rela melakukan sesuatu untuk
kepentingan orang lain dan sejenak mengabaikan
kepentingan diri sendiri. Merelakan kesenangan dan
kepentingan diri sendiri bagi sesama memang tidak
mudah, tetapi indah.
Ketika berkorban, diri kita sendiri menjadi seperti
daun yang berlobang, namun itu sebenarnya tidak
mempengaruhi hidup kita. Kita akan tetap hijau, Allah
akan tetap memberkati dan memelihara kita.

Bagi "daun hijau", berkorban merupakan satu hal


yang mengesankan dan terasa indah serta memuaskan.
Dia bahagia melihat sesamanya bisa tersenyum karena
pengorbanan yang ia lakukan. Ia juga melakukannya
karena menyadari bahwa ia tidak akan selamanya tinggal
sebagai daun hijau. Suatu hari ia akan kering dan jatuh.

Demikianlah hidup kita, hidup ini hanya sementara


kemudian kita akan mati. Itu sebabnya isilah hidup ini
dengan perbuatan-perbuatan baik: kasih, pengorbanan,
pengertian, kesetiaan, kesabaran dan kerendahan hati.

Jadikanlah berkorban itu sebagai sesuatu yang


menyenangkan dan membawa sukacita tersendiri bagi
anda. Dalam banyak hal kita bisa berkorban.

Mendahulukan kepentingan sesama, melakukan


sesuatu bagi mereka, memberikan apa yang kita punyai
dan masih banyak lagi pengorbanan yang bisa dilakukan.
Jangan lupa bahwa kita pernah menerima pengorbanan
yang tiada taranya dari Yesus hingga kita bisa
diselamatkan seperti sekarang ini. Amin

Menjadi Agen Penebus

Siapa yang tidak kenal produk alat-alat rumah tangga


merek tupper ware? Mengapa produk ini cukup laku dan
digemari para ibu meski harganya mahal? Kenapa produk
TOYOTA dan NOKIA menjadi No.1 merebut konsumen.
Salah satu daya tariknya adalah garansi atau jaminan serta
pelayanan After sales nya yang terjamin. Tempat servis
dan tenaga teknis banyak, serta spare parts yang relatif
mudah diperoleh. Bagi pembeli umumnya, pelayanan
purna jual atau after sales menjadi sangat penting. Untuk
layanan purna jual ini perusahaan mengeluarkan biaya
yang mahal.
Tetapi inilah yang kurang diperhatikan komunitas
gereja & oleh kita semua. Kita menawarkan produk
kasih Kristus yang begitu mahal dan luar biasa, yakni
penebusan & pengampunan. Kristus membayar mahal
untuk itu. Penebusan ini dibutuhkan banyak orang,
namun sebagian orang belum atau tidak tertarik. Lalu
penawaran penebusan itu dikemas dengan banyak cara.
Gereja membenahi gedung dan fasilitasnya. Sebagian
memprogramkan acara acara Kebangunan Rohani, dan
segala cara lainnya. Tujuannya orang mendengar Injil dan
menerima produk cinta Kristus, yakni penebusan. Lalu
orang ditantang menerima Kristus, dengan segala janji
dan jaminan yang indah-indah.
Namun apa yang terjadi saat mereka yang sudah
menerima Kristus, jatuh dan rusak ke dalam dosa. Ada
banyak kemungkinan kerusakan terjadi dalam diri orang
percaya. Diantaranya : hamil diluar nikah, kecanduan
zat/judi/seks, dan lainnya; bercerai, berzinah, korupsi,
masuk penjara. Bisa juga mereka mengalami penyakit-
penyakit yang sulit, seperti terinfeksi virus HIV.
Apa yang gereja dan kita siapkan menolong mereka?
Tersediakah tenaga purna jual yang siap melayani
mereka dengan cinta kasih. Adakah komunitas dan tenaga
profesional konseling yang siap membantu mereka di
gereja ? Sebagian aktifis gereja, anak-anak Tuhan, dan
hamba Tuhan yang konseling ke LK3 merasa kecewa,
karena kerusakan mereka, hanya menerima cemoohan
dan penolakan. Tidak cukup tersedia tenaga profesional
yang dapat mereparasi atau memulihkan hidup mereka.
Yesus adalah penebus, kita dipanggil menjadi agen
penebus. Dia memberi contoh dalam pelayananNya sesuai
misi hidupNya, mencari orang yang sakit, hilang dan
berdosa. Yesus memberi waktu khusus pada Zakheus.
Mengunjungi perempuan Samaria punya lima suami,
mencari dan melayani orang sakit mental/ jiwa dan
kerasukan di kota Gerasa. Menyembuhkan si kusta dan
memulihkan perempuan yang berbuat zinah. Yesus
adalah penebus, Dia membutuhkan para agen-agen
penebus yang siap mereparasi atau memulihkan
UmatNya yang rusak dan jatuh dalam dosa.

Nurma, Menjadi Agen Penebus Bagi Suaminya

Salah satu kisah yang menjelaskan pengorbanan


cinta adalah kisah cinta Tiurma dan Theo. Tiurma setia
mendampingi suaminya yang belasan tahun hidup sebagai
pemabuk dan penjudi yang berat. Seluruh harta terkuras,
harga diri Tiurma terhempas. Dia pernah melarikan diri
dan terpaksa tidur di kuburan anaknya demi
menghindarkan pukulan sadis suaminya. Kesetiaan
Tiurma menghasilkan pemulihan keluarganya. Empat
anaknya yang juga sempat menjadi pemabuk, bertobat
dan dipulihkan.

Tiurma berkenalan dengan Theo tatkala dia sedang


bertugas sebagai perawat di sebuah rumahsakit. Cinta
mereka berkembang bak sinetron. Ketika itu si cantik
Tiurma juga ditaksir pria lain. Sampai-sampai Theo dan
sang pesaing sempat duel memperebutkan cinta Tiurma.
Alhasil, Theo-lah pemenangnya, walaupun dia harus
mengorbankan telinganya yang robek dalam duel.
Sejak hari itu Theo selalu memperingati hari
ulangtahun kuping. Peristiwa ini juga diceriterakan
kepada ketujuh anak-anak mereka, yang lahir dari
perkawinan Tiurma dan Theo kemudian. Sayangnya,
romantisme ini tidak berlangsung lama.
Theo punya kebiasaan judi dan minum. Seperti
umumnya mereka yang punya kebiasaan demikian,
kekerasan menjadi sesuatu yang akrab. Kalau dia sudah
marah, semua yang dalam rumah kena imbasnya.
Ditempeleng, dicambuk dengan ikat pinggang, atau
dilempari kursi. Tiurma pun diperlakukan sewenang-
wenang oleh suaminya. Hal-hal kecil saja seringkali
memicu amarah pria yang bekerja sebagai polisi ini. Kalah
judi, marah. Tiap hari Theo pulang dari kantor, makan
siang, lantas pergi ke rumah teman-temannya. Kadang-
kadang, teman-teman mereka bertandang ke rumah. Itu
berarti judi dan mabuk. Dalam situasi ini, Tiurma harus
selalu waspada, jangan sampai membuat suaminya marah.
Selain mendampingi suaminya sebagai istri polisi
dan aktif di persatuan ibu-ibu Bhayangkara, Tiurma
membuka toko kelontong di sebelah rumah mereka. Bakat
Tiurma sebagai pedagang mulai nampak. Kehidupan
ekonomi keluarga mereka membaik. Mereka membeli
televisi, yang membuat rumah mereka selalu ramai
dengan anak-anak tetangga yang ikut menonton. Kaum
kerabat pun kerap menumpang di rumah dan beberapa
bahkan disekolahkan. Mereka dikenal sebagai keluarga
yang pandai bergaul dan murah hati.
Pasangan Tiurma dan Theo dikaruniai delapan anak,
laki-laki semua. Waktu anak pertama lahir, laki-laki, tidak
terkatakan sukacita mereka. Sudah ada penerus marga.
Dalam waktu yang tidak lama lahir berturut-turut lima
anak laki-laki. Theo mulai berpikir, Tidak ada boru (anak
perempuan)-ku? Theo sendiri adalah anak bungsu dari
tiga bersaudara laki-laki semua.
Anak ini harus perempuan, kata Theo kepada
istrinya ketika Tiurma hamil untuk keenam kalinya.
Kalau tidak, kuceraikan kamu!
Aduh, Tuhan! teriak Tiurma dalam hati. Bagaimana
ini? Apa aku yang menentukan kelamin anak ini?
Bagaimana kalau suamiku benar-benar menceraikan aku?
Apa kata keluarga? Betapa malunya! Tidak ada yang
bercerai dalam keluarga kami. Ke mana aku harus
berlindung?
Sepanjang masa kehamilannya yang sembilan bulan
sepuluh hari, Tiurma hidup dalam ketakutan akan
diceraikan oleh Theo. Belum lagi tekanan-tekanan dan
kekerasan yang dilakukan suaminya kalau kalah judi atau
pulang dalam keadaan mabuk.
Akhir Juli 1963 Tiurma melahirkan anak laki-laki
lagi. Stress berat yang dialaminya selama ini membuat
Tiurma mengalami pendarahan hebat dan hampir
meninggal. Atas saran dokter, semua keluarga sudah
berkumpul, siap melepas Tiurma mengakhiri
penderitaannya. Tapi Tuhan belum memanggilnya.
Beberapa hari kemudian, Tiurma sembuh dan boleh
membawa bayinya pulang. Melihat keadaan istrinya
demikian, Theo tidak tega menceraikan Tiurma.
Theo masih tetap menantikan hadirnya seorang anak
perempuan. Dua tahun kemudian Tiurma hamil anak
ketujuh. Tetapi yang datang laki-laki. Tidak sampai
setahun, Tuhan memanggil si Bungsu ini. Tiurma sangat
sedih. Entah mengapa, perasaannya kepada putra
bungsunya sangat mendalam, sehingga dia merasa
kehilangan sekali. Teddy (nama samaran) dimakamkan
tidak jauh dari rumah mereka, di pemakaman umum.
Suatu kali dalam keadaan mabuk, Theo marah besar.
Entah apa masalahnya, Tiurma tidak ingat. Tapi demikian
marahnya suaminya sampai dia tidak puas hanya
menendang dan menempeleng istrinya sampai ke luar
rumah. Waktu Theo masuk untuk mengambil gagang
sapu, Tiurma melarikan diri dari rumah. Malam itu
Tiurma tidur di atas nisan (kuburan) Teddy.
Nak, mengapa kau tidak mengajak Mama?
tangisnya terisak-isak, sambil membelai batu itu.
Mengapa aku tidak mati saja, Tuhan? Dia tidak peduli
kegelapan malam. Paginya, anak-anaknya menemukan ibu
mereka, pulang dengan wajah babak belur.
Mama dari mana? tanya si anak nomor enam.
Dari kuburan adikmu.

Waktu terus berjalan. Anak-anak mereka tumbuh


dewasa. Sifat buruk Theo menurun kepada anak-anak
mereka. Judi dan mabuk dengan mudah mereka pelajari
dari ayahnya. Rumah mereka seperti hotel. Anak-anak
tidak pernah di rumah, kecuali untuk mandi, makan dan
tidur. Dalam situasi seperti ini, lahirlah anak ke delapan
tahun 1968.
Tidak lama setelah itu, karier Theo di kepolisian
mengalami masalah. Rupanya selama lima tahun terakhir
Theo menggunakan gaji polisi yang dipercayakan
kepadanya untuk main judi. Negara dirugikan tujuh puluh
juta rupiah pada tahun 1975. Kepadanya diberi pilihan:
mengembalikan uang negara atau dibui selama dua tahun
dan dipecat dari kepolisian. Theo memilih yang pertama.
Dalam tempo singkat mereka jatuh miskin. Linglung,
seperti tidak berpijak di tanah, Tiurma membawa ke
pegadaian, emas dan berlian yang dikumpulkannya
selama puluhan tahun, dalam sebuah kaleng biskuit.
Beratnya hampir 20 kilogram. Ini dilakukannya untuk
menebus suaminya dari bui. Semua tanah dijual. Toko
kelontong bangkrut. Keluarga yang tadinya sering dibantu,
memalingkan diri. Mereka tidak memiliki apa-apa lagi.
Gaji pun masih dipotong untuk membayar sisa hutang.
Tetapi kehidupan mesti jalan terus. Anak-anak baru
satu yang bekerja. Maka, Tiurma kembali menjadi
penyelamat. Dia membuka usaha jualan warung nasi soto
di pasar bagi penjual sayur dan kuli pasar. Tiurma
menanggalkan semua kebanggaannya sebagai istri perwira
polisi. Dia turun ke pasar, bergaul dengan tukang becak
dan kuli.
Bertahun-tahun, dia berjuang. Saat orang-orang
mulai lelap di peraduan, Tiurma bangun, dan mulai
memasak, subuh sudah jualan. Lepas tengah hari Tiurma
pulang sambil membawa belanjaan untuk didagangkan
besoknya. Tidak sempat istirahat, Tiurma masih harus
mengurus suami dan ketujuh anaknya; membersihkan
rumah, mencuci, dan semua pekerjaan rumahtangga
lainnya. Selain itu, Tiurma juga melayani kekejaman
suaminya yang menghebat sejak Theo mengalami
masalah di kantor.
Selain masalah di kantor suaminya, Tiurma juga
harus menghadapi masalah anak-anaknya. Mereka tidak
serius belajar sehingga mendapat pendidikan seadanya.
Kebiasaan buruk yang sudah menurun membuat tiga
anak-anaknya yang terbesar seringkali pulang dalam
keadaan mabuk.
Suatu ketika di tahun 1981, Tiurma dirawat di
Rumah Sakit, tak lama setelah Tuhan menjamah anak
keenamnya. Anak yang masih kelas 2 SMU ini bertobat.
Hatinya yang baru disentuh Injil sangat menggebu-gebu
untuk melayani keluarganya, terutama Mama yang
dikasihinya. Saat Tiurma dalam keadaan putus asa karena
penyakit yang tidak kunjung sembuh, putranya berkata,
Ma, berdoalah. Minta kesembuhan dari Tuhan.
Tuhan tidak ada! jawab Tiurma ketus. Kalau
Tuhan ada, saya mau Dia mengeluarkan saya dari sini.
Yakinlah, tantang putranya. Dia akan memberi.
Walaupun ragu-ragu, Tiurma berdoa. Dia memohon
Tuhan mengasihaninya. Tuhan menjawab. Malam itu
dokter menemui Nurma dan berkata, Besok Ibu boleh
pulang.
Sejak saat itu, hidup Tiurma berubah.
Anugerah Tuhan belum berhenti. Dia juga menjamah
Theo. Melihat perubahan besar dalam diri istri dan
putranya, Theo digerakkan mencari Tuhan. Dia
mengalami pembaruan dalam sebuah kebangunan rohani
di Medan. Theo menjadi sangat rajin membaca Alkitab,
melayani dan banyak memberitakan Injil. Buah
pertobatannya membuat anak-anaknya ikut berubah dan
akhirnya menerima Kristus.
Sejak itu kehidupan rumahtangga mereka sungguh
berubah. Kesabaran Tiurma membuahkan hasil. Anak-
anak mereka dan banyak anggota keluarga lain akhirnya
mengenal Kristus melalui pertobatan mereka.
Sampai suatu saat Tiurma jatuh sakit. Dia
mengalami komplikasi maag dan berbagai penyakit
lainnya. Kelelahan, telat makan dan banyak pikiran,
membuat kesehatan Tiurma anjlok drastis. Akhirnya
Tiurma meninggal lebih dulu seminggu sebelum Theo juga
dijemput ajal. Tiurma melakukan komitmennya,
berjuang mengurus suaminya yang sedang sakit. Suami
yang dulu sering menyiksa hidupnya. Itulah kuasa cinta.
Menebus keluarga. Itulah yang dilakukan Tiurma.
Keluarga yang sudah mati perlu dihidupkan. Tuhan adalah
penebusnya, tetapi Ia membutuhkan agen-agen penebus.
Setiap kita dipanggil menjadi agen penebus. Menjadi agen
penebus di tengah keluarga, terutama bagi pasangan kita
yang menyakiti hati kita membutuhkan pengorbanan.
Cinta sejati membutuhkan pengorbanan dan harga yang
mahal. Seandainya, di tengah perjalanan Tiurma menjadi
putus asa dan bercerai dari Theo, tentu keluarga, tetangga,
dan anak-anaknya tidak akan menyaksikan akhir cerita
yang demikian dramatis. Banyak orang bersyukur.
Pengorbanan Tiurma menjadi teladan bagi putra-putranya
dan banyak orang lain. (*)
Tentang Penulis

Julianto Simanjuntak menyelesaikan pendidikan


doctor teologia di STT Jaffray, Jakarta. Sedangkan
Magister Divinitas di bidang konseling diselesaikan di
Sekolah Tinggi Teologia Reformed Injili Indonesia
(STTRII). Gelar Magister Sains diraihnya Fakultas
Teologia Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Saat
ini Julianto bekerja sebagai terapis untuk masalah-
masalah keluarga dan kesehatan mental. Juga menjadi
tenaga pengajar bidang konseling dan rutin memberikan
seminar pemberdayaan di bidang konseling dan
pendidikan di lebih 80 kota.
Julianto Simanjuntak menikah dengan Roswitha
Ndraha tahun 1991. Mereka dikaruniai dua putra,
Josephus (21) dan Moze (17). Mereka mendirikan Yayasan
LK3 dan Yayasan Pelikan, dengan visi: rindu melihat
berdirinya pusat konseling di setiap kota di Indonesia
serta tersedianya secara merata tenaga psikolog, psikiater
dan konselor di seluruh tanah air.
Untuk itu Julianto Simanjuntak dan tim melakukan
kampanye lewat seminar konseling di kota-kota, serta
mengajar Program Strata-2 Konseling di beberapa tempat.
Selain itu memberi konseling edukasi dengan menulis
buku-buku konseling yang diterbitkan oleh Gramedia
Pustaka Utama, Penerbit Visi dan Andi Offset.
Roswitha Ndraha adalah alumna Institut Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Jurusan
Jurnalistik. Dia melanjutkan studi Strata Dua di STT
Jaffray Jakarta dan meraih gelar Magister Pendidikan
Kristen (M.Pd.K.). Saat ini Roswitha adalah dosen tetap
PAK di STT Jaffray, Jakarta.

Judul buku Julianto dan Roswitha:


1. Seni Merayakan Hidup yang Sulit (Pelikan)
2. Mencinta Hingga Terluka (Gramedia)
3. Kesehatan Mental dan Masa Depan Anak (Gramedia)
4. Perlengkapan Seorang Konselor (Pelikan)
5. Transformasi Perilaku Seksual (Pelikan)
6. Mendisiplin Anak Dengan Cerita
7. Tidak Ada Anak yang Sulit
8. Mengambil Hati Remaja (Pelikan)
9. Mengubah Pasangan Tanpa Perkataan (Visi)
10. Membangun Harga Diri Anak (Pelikan)
11. Mendidik Anak Utuh Menuai Keturunan Tangguh
(editor)
12. Banyak Cocok Sedikit Cekcok (Visi)
13. Ketrampilan Perkawinan (Pelikan)
14. Mengenali Monster Pribadi: Seni pemulihan diri dari
trauma, emosi negatif dan kebiasaan buruk (Pelikan)
15. Konseling dan Amanat Agung: dari konseling intervensi
ke edukasi
16. Alat Peraga Di Tangan Tuhan: Mengapa hal buruk
menimpa keluarga baik-baik? (Pelikan)
17. Perlengkapan Seorang Konselor (Pelikan)
18. Hidup Berguna Mati Bahagia (Pelikan)
19. Ayah yang Hilang: Membawa kembali hati ayah kepada
keluarganya (Pelikan)
20. Istriku, Matahariku (Pelikan)
21. Membangun Karakter Seksual Anak (Pelikan)

Apresiasi terhadap buku Julianto dan Roswitha


datang dari Jakob Oetama (Preskom Kompas Gramedia),
Agung Adiprasetyo (CEO Kompas Gramedia), Prof.
Yohanes Surya (Fisikawan), Prof. Irwanto, Ph.D. (Guru
Besar Fakultas Psikologi Unika Atmajaya), James Riady
(CEO Lippo Group), Andrias Harefa, Jonathan Parapak,
Ph.D., Prof. Dr. Wimpie Pangkahila, Prof. Taliziduhu
Ndraha, Prof. Mesach Krisetya, Ph.D., Pdt. Paul Gunadi,
Ph.D., dan lain-lain.
Julianto mendapatkan piagam penghagaan dari
Ketua Badan Narkotika Nasional (BNN) di Denpasar pada
tahun 2006 atas kiprah pelayanan di antara keluarga
pecandu narkoba. Sejak 2004 Julianto Simanjuntak dan
Roswitha Ndraha rutin memberikan pelatihan konseling
keluarga dan kesehatan mental di pelbagai kota dan
negara.

KONTAK
Website : www.juliantosimanjuntak.com
Twitter: @PeduliKeluarga dan @DrJSimanjuntak
Appstore:
http://juliantobooks.mahoni.com
www.TokoBukuRohani.Mahoni.com

Jika Saudara rindu berpartisipasi untuk mendukung


pelayanan konseling kami, silakan mengirimkan donasi
sukarela ke rekening:

BCA Indocement
A/C 4593046543
An. Yayasan Layanan Konseling Keluarga dan Karier
TESTIMONI BUKU-BUKU JULIANTO DAN
ROSWITHA

Jakob Oetama (Preskom Kompas-Gramedia)


Sungguh suatu paradoks yang menggetarkan: Tuhan
hadir justru ketika pencobaan hidup menimpa kita. Buku
Seni Merayakan Hidup yang Sulit berisi kisah nyata
tentang akrabnya penderitaan dan kehadiran Tuhan.

Agung Adiprasetyo (CEO Kelompok Kompas-


Gramedia)
Buku Mencinta Hingga Terluka mengajarkan kekuatan
cinta dalam pengampunan yang memulihkan dan
menghidupkan.

Prof. Yohanes Surya, Ph.D.


Tanpa masalah dunia ini terasa hambar dan tidak akan
muncul penemuan dan orang-orang besar. Sdr Julianto &
Roswitha dalam bukunya Seni Merayakan Hidup Yang
Sulit, telah begitu jeli melihat masalah dari sisi positifnya
dan menyadarkan kita bahwa Tuhan selalu bersama kita
saat menghadapi masalah.

Paul Gunadi PhD, (Gembala Sidang, Dosen dan


Konselor, tinggal di California)
Secara pribadi saya menikmati buku Banyak Cocok
Sedikit Cekcok. Tuhan telah melengkapi Julianto dan
Roswitha bukan saja dengan pengetahuan yang dalam
tentang dinamika pernikahan dan persiapannya, tetapi
juga pengalaman yang kaya dalam menangani masalah
keluarga. Buku ini sangat baik digunakan sebagai
panduan pranikah, dan bahkan bagi yang sudah menikah.
Kisah-kisah pribadi ini menyentuh sekaligus menambah
pemahaman kita akan dinamika pernikahan.
Prof. Irwanto, Ph.D. (Guru Besar Psikologi Unika
Atma Jaya Jakarta)
Buku Mencinta Hingga Terluka tidak sekedar berteori
tetapi bertutur tentang hidup, contoh nyata, dan
keimanan yang berakar pada rasa yang dapat kita maknai
bersama.

Prof. Dr. FG. Winarno


Buku Seni Pemulihan Diri karya Julianto meski
sederhana tetapi sangat menyentuh hati saya.

Jonathan Parapak (Rektor UPH)


Buku Seni Merayakan Hidup yang Sulit memberikan
kita inspirasi untuk selalu berpengharapan dalam
mengarungi berbagai tan-tangan kehidupan.

James Riady (CEO Lippo Group)


Tuhan punya tujuan untuk setiap kesulitan kita. Dia yang
Maha Kasih tidak mungkin mengizinkan kesulitan tanpa
maksud baik. Buku Seni Merayakan Hidup yang Sulit
memberikan kita wawasan bagaimana kita menjalani
penderitaan dari perspektif Tuhan.

Anne Parapak, M.A. (Praktisi Pelayanan


Keluarga)
Membina anak adalah misi yang berdampak kekal.
Alangkah pentingnya kita mempunyai visi yang jelas dan
membekali diri mengemban tugas yang mulia ini. Buku
Tidak Ada Anak Yang Sulit mengajarkan kita banyak hal
tentang mendidik anak.

Dr. Dwidjo Saputro, Sp.KJ. (Psikiater)


Buku Bebas dari Gangguan Jiwa karya Julianto sangat
bermanfaat bagi para konselor di Indonesia dalam
melakukan konseling, terutama masalah gangguan jiwa.
Prof. Dr. Mesach Krisetya (Guru Besar Emeritus
Bidang Konseling - UKSW)
"Karunia membedakan roh, merupakan salah satu karunia
rohani yang kita butuhkan untuk mendiagnosa gangguan
jiwa. Buku Bebas dari Gangguan Jiwa ini menolong
pembaca bagaimana melaksanakannya."

Prof. Taliziduhu Ndraha (Kybernolog):


Buku Seni Merayakan Hidup yang Sulit sungguh
bernilai karena isinya tidak sekedar pengetahuan tetapi
pengalaman jatuh-bangun hidup penulis sendiri. Di sini
Penulis membagikan nilai-nilai hidup yang bermakna
bagi sesama pengembara agar dapat merayakan Hidup
Yang Sulit..

Prof. Irwanto, Ph.D (Guru Besar Psikologi Unika


Atma Jaya Jakarta)
Dalam buku Seni Pemulihan Diri ini Anda akan
berkenalan dengan teman-teman Penulis yang berbagi
pengalaman hidup. Pengalaman yang dapat membawa
para pembaca ke dalam proses belajar untuk mengenal
diri sendiri dan menggunakan pengetahuan itu untuk
menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang
menggelayuti Anda bertahun-tahun.

Andrias Harefa :
Buku Seni Merayakan Hidup Yang Sulit sarat
dengan kesaksian-kesaksian dari orang-orang yang
diterpa badai-badai kehidupan. Penulis menantang
pembaca untuk mendefinisikan ulang makna kesulitan
dan masalah-masalah kehidupan, agar dapat tetap
merayakan dan mensyukuri hidup itu sendiri sebagai
anugerah dan rahmat besar.

Anda mungkin juga menyukai